• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi keintiman individu dewasa awal dengan latar belakang keluarga tidak harmonis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi keintiman individu dewasa awal dengan latar belakang keluarga tidak harmonis."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEINTIMAN

INDIVIDU DEWASA AWAL DENGAN LATAR BELAKANG KELUARGA

TIDAK HARMONIS

Tirsa Brenda Trivena Angel Sampara

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses keintiman individu dewasa awal dengan latar belakang keluarga tidak harmonis. Pertanyaan penelitian adalah bagaimana proses keintiman individu dewasa awal dengan latar belakang keluarga tidak harmonis dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Responden yang terlibat adalah satu laki-laki dan satu perempuan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur, sebanyak dua kali. Validasi data dilakukan melalui triangulasi data dan teori. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara proses keintiman individu dewasa awal dengan latar belakang keluarga tidak harmonis dengan teori yang digunakan dan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya.

(2)

INTIMACY PROCESS OF EARLY ADULTHOOD WITH BROKEN HOME

FAMILY BACKGROUND AND FACTORS THAT INFLUENCE

Tirsa Brenda Trivena Angel Sampara

ABSTRACT

The purpose of this study to determine the process and the factors that affect theintimacy of early adulthood with broken home family background. The method used is qualitative method with descriptive phenomenological approach. Respondents involved is one male and one female. Data collected through semi-structured interview. Validation of data is done through the triangulation of data and theory . The results showed a difference between the intimacy of early adulthood with broken home family background with the theory used and there are factors that influence it.

(3)

TINGKAT MENARIK DIRI KARYAWAN DALAM MENGHADAPI

KEMUNGKINAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Arief Puji Dessy Nugraheni

NIM : 009114159

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

!

"

# $ !

! %

&

'

(

)

(

(

*

$

+ (

(7)

mulailah segalanya dengan bermimpi, dan kejarlah mimpi itu tanpa mimpi takkan ada realita

Ingatlah bahwa satu-satunya jalan untuk menemukan kebahagiaan bukanlah dengan mengharapkan ucapan terimakasih, melainkan

bergembira karena dapat memberi.

(8)
(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 8 Februari 2008

Penulis

Arief Puji Dessy Nugraheni

(10)

ABSTRAK

TINGKAT MENARIK DIRI KARYAWAN DALAM MENGHADAPI KEMUNGKINAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Arief Puji Dessy Nugraheni

Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menarik diri (withdrawal) merupakan suatu reaksi subjektif yang tampak dari gejala afektif, kognitif, dan fisiologis akibat permasalahan-permasalahan yang dialami oleh karyawan yang sedang menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu permasalahan ekonomi, masalah kehilangan status sosial, perasaan tak berguna atau tidak produktif, dan masalah kesepian.

Subjek penelitian merupakan karyawan swasta yang berusia antara 25 tahun sampai 35 tahun yang dipilih berdasar teknik purposive sampling. Subjek berjumlah 62 orang terdiri dari 45 orang subjek laki-laki dan 17 orang subjek perempuan.

Metode penelitian menggunakan skala Tingkat Menarik Diri karyawan dalam Menghadapi Kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Daya diskriminasi item penelitian (rix) minimal sebesar 0,25. Skala yang dipergunakan terdiri dari 45 item yang sahih. Koefisien reliabilitas skala sebesar 0,881. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa secara umum para karyawan memiliki tingkat menarik diri yang relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan mean empirik (101,71) yang lebih kecil dari mean teoretik (112,5). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat menarik diri karyawan masuk dalam kategori rendah.

(11)

ABSTRACT

EMPLOYEE WITHDRAWAL LEVEL IN FACE OF THE FIRED POSSIBILITY

Arief Puji Dessy Nugraheni

Majoring in Psychology, Psychology Faculty Sanata Dharma University

Yogyakarta

This research aimed at knowing at the employee withdrawal level in face of fired possibility. Withdrawal is a visible subjective reaction in affection, cognition, and physiological symptom that caused by problems that employee experienced who facing possibility of fired, such as economical problems, loosing social status, unused feeling or doesn’t productive anymore and loneliness.

Research subjects in this research were employees who attain the age of 25 – 35 years. Samples were obtained by purposive sampling. Total samples were 62 people that consist of 45 male and 17 female.

Research method used employee withdrawal level in face of the fired possibility scale. Research discrimination score (rix) is > 0,25. Scale consists of 45 reliable items. Reliability score is 0,881. Description analysis used to describe employee withdrawal level in face of withdrawal.

The results of the research suggesting that generally employees’ withdrawal levels are low. It can be seen from comparison between empirical mean (101,71) and theoretical mean (112,5). It is suggesting that generally employees’ withdrawal levels are low.

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT yang

telah memberikan rahmatNya sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan

skripsi dengan judul “Tingkat Menarik Diri Karyawan dalam Menghadapi

Kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)”.

Pada kesempata ini ijinkan penulis menyampaikan rasa terimakasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Bp. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku dekan fakultas Psikologi

sekaligus selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan

untuk kesempurnaan skripsi ini.

2. Bp. Dr. T Priyo Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing yang

telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga yang sangat membantu

dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si., selaku dosen wali yang

telah banyak membimbing penulis selama kuliah.

4. Bp. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen wali pengganti.

5. Ibu Henrietta PDADS. S.Psi., selaku dosen penguji yang telah banyak

memberi masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh karyawan di Fakultas Psikologi, mas Gandung, mba Nani, pak

Gi, mas Muji, dan mas Doni yang telah banyak membantu penulis

dalam menyelesaikan studi.

(13)

7. Seluruh teman-teman di fakultas Psikologi, khususnya angkatan 2000,

Widya, akhirnya kita bisa ujian bulan Maret; Banjo & Adis, akhirnya

kita lulus; Puti, makasih info KRS-nya; Hendra & Mpheb, akhirnya

aku bisa nyusul kalian ………

8. Seluruh teman-teman yang banyak mendukung dalam penyelesaian

skripsi ini, Nelly Amaliyah, S.Psi, makasih pinjeman modul SPSSnya;

Wawan, makasih pinjeman CPU & printernya; teh Wahyu, makasih

update gossipnya; Mika, makasih infonya; Indra, buruan selesaiin…..

9. Keluarga Maguwo; om Kokok, makasih telah mengijinkan penulis

tinggal di Maguwo; tante Teki, makasih atas petuah-petuah bijaknya;

mas Abram, ampun DJ…….; jeng Fia, makasih atas keceriaannya;

almarhumah Simbah, makasih atas nasehat-nasehatnya.

10.Keluarga mertuaku; Bp. Radjabyono, terimakasih untuk semuanya; ibu

Een Saeri, terimakasih; my youngest sister in law, Nia, makasih atas

kelucuan-kelucuan yang tanpa sengaja kau ciptakan.

11.Keluarga Alian; mas Timin, makasih udah nganterin kalau mau

bimbingan; bi Momoh, Cecep, & Betyl, makasih udah ngejagain

Milan; semua yang udah ngebantu ngejagain Milan, makasih ya……...

12.Keluarga Tangerang; lè Budi & lè Mumun, makasih nasehat dan

supportnya; mas Lili & mba Atun, makasih atas bantuannya; Aci, aih

lutuna…yang rukun ama Milan ya….; mas Yoyo, makasih udah bantu

nyebar skala….kapan nih… ; Tanto, cepet selesai ya….!; Susi, jadi

nglangkahin Tanto apa ngga…. !

(14)

13.Supraku, AA 5421 ND, makasih udah setia nemenin dari SMU sampai

selesai kuliah…I love you; Freshiano Tkc., makasih udah ngasih

hiburan kalau lagi kesepian; komputerku, makasih udah banyak bantu

nyelesaiin skripsi & banyak ngasih hiburan kalau lagi bete.

14.Bapakku, Drs. Moch. Damiri, nyuwun pangapunten Pak, nembe saged

rampung; ibuku, Wiedajati, akhire Dessy saged rampung bu;

adik-adikku, “Nanang” Mashuri Nur Hidayat, makasih buat semuanya; dè

Eni, makasih udah jadi adik iparku; Ikhsan, Shendo & Putri, sinau sing

rajin nggeh….; “Lilik” Mashudi Adi Nugroho, makasih atas segala

bantuannya, ayo semangat buat kuliah lagi…!; “Agil” Ujianto Tidar

Pamungkas, makasih udah setia nganter-jemput Alian – Ambal;

embahku, Djamangati, terimakasih atas doa-doanya.

15.My family, suamiku “Dhede” Sugeng Supriadi, A.Md., yang dengan

penuh kesabaran mendorong penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi ini, makasih momo…..buat kesabarannya, buat pengertiannya,

& buat semuanya.….akhirnya kita bisa kumpul lagi……..; jagoanku,

Muhammad Milano Arief Supriadi, makasih ya cayang udah nemenin

ibu selama menyelesaikan skripsi….. akhirnya kita bisa pulang & bisa

kumpul lagi ama momo……...

16.Untuk semua yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

kuliah dan skripsi, yang tidak dapat ditulis satu persatu, terimakasih

yang tak terhingga untuk semuanya.

(15)

Penulis menyadari bahwa penulis masih banyak kekurangan dalam

penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari

berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga skripsi ini dapat

menjadi acuan untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, Maret 2008

Penulis

Arief Puji Dessy Nugraheni

(16)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……… i

Halaman Persetujuan Dosen ……….. ii

Halaman Pengesahan ……… iii

Halaman Persembahan ……….. iv

Halaman Motto ………... v

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ……….. vi

Halaman Keaslian Karya ………... vii

Abstrak ………... viii

Abstract ……….… ix

Kata Pengantar ………... x

Daftar Isi ………. xiv

Daftar Tabel ……… xvi

Daftar Lampiran ………. xvii

BAB I PENDAHULUAN ………..………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ………... 6

D. Manfaat Penelitian ………. 6

1. Manfaat Teoretis ……….. 6

2. Manfaat Praktis ……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 8

A. Pemutusan Hubungan Kerja ………... 8

1. Pengertian PHK ……….... 8

2. Sebab-sebab PHK ……….… 9

3. Jenis-jenis PHK ……….. 11

4. Reaksi-reaksi Terhadap PHK ………. 12

B. Menarik Diri (Withdrawal) ……….. 14

(17)

2. Faktor-faktor Menarik Diri ……….... 16

3. Aspek-aspek Menarik Diri ………. 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 19

A. Jenis Penelitian ………. 19

B. Variabel Penelitian ………... 19

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………. 20

D. Subjek Penelitian ……….. 20

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ………... 21

F. Pertanggungjawaban Mutu ………... 24

1. Validitas ………. 24

2. Seleksi Item ……… 25

3. Reliabilitas ……….………….… 26

G. Prosedur Pengumpulan Data ……….………... 27

H. Metode Analisis Data ………... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN ………. 30

A. Persiapan Penelitian ………. 30

B. Pelaksanaan Penelitian ………. 31

1. Deskripsi Subjek ……….………... 31

2. Teknik Analisis Data ……….. 32

C. Pembahasan ……….. 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….…...… 40

A. Kesimpulan ……….. 40

B. Saran ………. 40

Daftar Pustaka ……….. 42

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Bobot Penilaian Skala ………. 23

Tabel 3.2. Spesifikasi Blue-Print ……….. 26

Tabel 3.3. Sebaran Item Penelitian ………... 26

Tabel 3.4. Norma Kategorisasi Skala ………... 29

Tabel 4.1. Item yang Sahih ………... 30

Tabel 4.2. Deskripsi Subjek Penelitian ……… 30

Tabel 4.3. Norma Kategorisasi Skala Tingkat Menarik Diri ………... 33

Tabel 4.4. Kategorisasi Subjek Penelitian ……….... 33

Tabel 4.5. Deskripsi Subjek dengan Tingkat Menarik Diri Tinggi ………….. 33

Tabel 4.6. Deskripsi Subjek dengan Tingkat Menarik Diri Sedang …………. 33

Tabel 4.7. Deskripsi Subjek dengan Tingkat Menarik Diri Rendah ………… 34

Tabel 4.8. Deskripsi Karyawan dengan Tingkat Menarik Diri Tinggi …....… 34

Tabel 4.9. Deskripsi Karyawan dengan Tingkat Menarik Diri Sedang …..…. 34

Tabel 4.10. Deskripsi Karyawan dengan Tingkat Menarik Diri Rendah ...… 34

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Tabel Indikator Penelitian ………. 44

Lampiran B : Uji Coba B1. Skala Uji Coba ……… 47

B2. Tabulasi Skor Uji Coba ……….. 48

B3. Perhitungan Statistik ………... 64

- Correlations ……….. 64

- Reliability ………. 68

- Descriptive Statistics ……… 68

Lampiran C : Penelitian C1. Skala Uji Coba ……… 71

C2. Tabulasi Skor Uji Coba ……….. 72

C3. Perhitungan Statistik ………... 86

- Correlations ……….. 86

- Reliability ………. 89

- Descriptive Statistics ……… 89

- Uji Normalitas ……….. 91

Lampiran D : Surat Keterangan Penelitian ……….. 92

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk mempertahankan hidup manusia harus memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha yang dilakukan manusia demi terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah dengan bekerja. Kerja mempunyai makna

yang penting dalam sejarah kehidupan seseorang karena kerja merupakan hakikat

hidup manusia yang dapat memberikan isi dan makna tertentu bagi kehidupan

manusia.

Dengan bekerja, maka seseorang mendapatkan suatu status sosial tertentu

karena dengan bekerja manusia tidak hanya mampu mempertahankan hidupnya,

melainkan juga mendapatkan suatu taraf hidup yang lebih baik dan juga identitas

diri yang didapatkan dari pekerjaannya (Andari, 2001). Status sosial ekonomi

seseorang sangat ditentukan oleh posisi atau jabatan pada suatu pekerjaan tertentu.

Seorang supervisor pabrik akan jauh lebih dihargai dan dihormati oleh masyarakat

daripada seorang buruh pabrik. Demikian pula halnya dengan kondisi ekonomi.

Seseorang dengan kondisi ekonomi yang lebih mapan akan jauh lebih dihargai

daripada orang dengan kondisi ekonomi yang kurang mapan, dengan kata lain

orang kaya akan lebih dihormati daripada orang miskin.

Pada suatu saat tertentu, manusia harus menghadapi suatu hal besar yang

berkaitan dengan pekerjaan mereka, yaitu berhenti bekerja, baik yang disebabkan

karena adanya pemecatan atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

(21)

ataupun dengan adanya masa pensiun wajib yang harus dijalani. Saat menghadapi

kemungkinan berhenti bekerja, baik itu yang disebabkan oleh Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) ataupun disebabkan orang tersebut telah memasuki masa

pensiun wajib, merupakan suatu hal yang sangat menakutkan dan menyakitkan

bagi sebagian besar karyawan, terutama para karyawan yang telah menggeluti

pekerjaannya selama puluhan tahun dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada

pekerjaan yang digelutinya tersebut. Mereka pada umumnya mengalami post

power syndrome karena pada waktu masih bekerja mereka merasa mempunyai

sesuatu yang bisa dibanggakan yaitu pekerjaan, otoritas, dan penghasilan, namun

setelah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun mereka

merasa kehilangan semuanya itu, sehingga mereka juga mengalami retirement

shock (Prastiti, 2005).

Karyawan akan cenderung bersikap negatif terhadap kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena mereka akan merasa tidak berarti dan

tidak berguna, padahal mereka masih ingin dibutuhkan baik oleh perusahaan

tempatnya bekerja ataupun oleh keluarganya, terlebih lagi masyarakat pada

umumnya akan lebih menghargai orang-orang yang masih aktif bekerja daripada

orang yang tidak bekerja. Kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini

dapat menimbulkan stress pada karyawan karena pada umumnya karyawan akan

merasa kehilangan peran sosial yang dominan dan merasa status atau

kekuasaanya-pun juga akan ikut hilang. Hilangnya pekerjaan berarti juga

terancam kehilangan identitas yang membuat mereka merasa bahwa mereka tidak

(22)

sehingga mereka akan menarik diri dari lingkungan dan memerlukan banyak

waktu untuk sendirian atau mengasingkan diri (Davidoff, 1987).

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan menimbulkan berbagai

perubahan baik yang bersifat psikologis, fisiologis, maupun sosial ekonomi.

Perubahan dari adanya suatu kesibukan yang teratur, penghasilan yang teratur,

dan fasilitas yang memadai, menjadi keadaan dimana fasilitas banyak berkurang.

Perubahan tersebut menyebabkan orang banyak mengalami “kehilangan” yang

menyangkut kehilangan peran, jabatan, pendapatan, kepercayaan diri, harga diri,

kontak sosial, daya guna, tujuan hidup, serta identitas yang didapatkan dari

pekerjaan (Prastiti, 2005). Ketika masih bekerja, orang sering mengidentifikasikan

dirinya dengan pekerjaan yag digelutinya. Kemungkinan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) menyebabkan para karyawan mengalami suatu ketakutan bahwa

semua identitas tersebut terancam hilang, sehingga dianggap sebagai suatu krisis

yang hebat dalam kehidupan mereka.

Karyawan yang menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) akan semakin merasa terpuruk dan menarik diri jika mereka diasingkan

dan hanya diberi sedikit kesempatan untuk bekerja di rumah dan mengembangkan

dirinya. Orang-orang yang menarik diri ini umumnya akan merasa terbuang,

sedih, menyalahkan diri sendiri, dan tidak mempunyai harapan untuk hidup

(Calhoun & Acocella, 1990: 432).

Data yang dikeluarkan oleh kepaniteraan Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P4) Pusat Departemen Tenaga kerja menunjukkan bahwa angka PHK

(23)

pada saat itu mencapai 2.124 kasus. Tahun berikutnya menjadi 2.312 kasus dan

pada tahun 2002 yang lalu jumlahnya terus meningkat hingga menjadi 2.663

kasus. Dan pada tahun 2003, dalam bulan Januari saja sudah tercatat angka

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar 809 kasus, yang berarti sebesar tiga

puluh persen dari total kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tahun 2002

(Darmawan, 2003). Besarnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini akan

semakin membuat para karyawan khawatir dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dalam penelitian ini peneliti ingin membahas mengenai kemungkinan

berhenti bekerja yang disebabkan karena adanya pemecatan atau Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Peneliti melihat

bahwa pemecatan yang dilakukan akhir-akhir ini sudah tidak pandang bulu lagi,

dari karyawan yang baru saja bekerja sampai karyawan yang sudah

bertahun-tahun bekerja di suatu perusahaan, dari tingkat buruh sampai pada tingkat

manajer.

Sebenarnya ada prosedur untuk pemberhentian atau Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK), yaitu Pengusaha yang ingin melakukan Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) terhadap kurang dari sembilan karyaawan harus mendapat ijin terlebih

dahulu dari P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah), dan

harus mendapat ijin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pusat) untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja yang jumlahnya

sepuluh orang ke atas (Panggabean, 2002: 122). Namun demikian, keputusan

(24)

karyawannya tetap saja dinilai kurang adil oleh karyawan yang menghadapi

PHK, apalagi menyangkut pesangon dan masa depan mereka.

Peneliti seringkali melihat adanya suatu kecenderungan menarik diri pada

karyawan yang tengah menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK), terutama jika karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) berada pada tingkat manajerial dan karyawan yang sudah relatif lama

bekerja di suatu perusahaan. Hal itu disebabkan karena mereka mengalami post

power syndrome dan retirement shock.

Menarik diri (withdrawal) merupakan reaksi dari seseorang untuk

mengingkari dirinya sendiri dan terkadang orang-orang lain di sekitarnya, sebagai

reaksi dari keadaan yang menekannya. Mereka mencoba membohongi diri dengan

berpura-pura segalanya berjalan sebagaimana keadaan semula sebelum keadaan

yang menekan terjadi, dan mulai hidup dalam dunia khayalan (Leatz & Stolar,

1992: 37)

Withdrawal (penarikan diri) juga berarti suatu pola dari penghalangan atau

frustrasi. Penarikan diri ini bisa menjadi suatu mekanisme pembelaan diri yang

habitual, yang menyangkut simptom serius berupa pengunduran atau penarikan

diri dari realitas, kecanduan bahan narkotika, alkoholisme, dan sebagainya

(Chaplin, 2002: 540).

Menarik diri (withdrawal) dijadikan sebagai defense mechanism atau

mekanisme pertahanan diri oleh para karyawan yang sedang menghadapi

(25)

sosial membuat mereka merasa lebih aman dan tidak merasa terganggu dengan

lingkungan sosialnya.

Uraian tersebut menjadi alasan bagi peneliti untuk mengetahui adanya

kecenderungan menarik diri yang dialami oleh para karyawan dalam menghadapi

kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh karena itu dengan

penelitian ini peneliti ingin mengetahui lebih dalam bagaimana tingkat menarik

diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah bagaimana tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi

kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

(26)

bidang Psikologi Industri dan Organisasi tentang permasalahan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK).

Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang

masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada peneliti dan pembaca,

khususnya pada karyawan-karyawan swasta yang mungkin akan mengalami

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewaktu-waktu, terlebih berkaitan dengan

masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mereka hadapi, yaitu masalah

kebutuhan ekonomi, peran/jabatan, kepercayaan diri, harga diri, kontak sosial,

daya guna, tujuan hidup, serta identitas yang didapatkan dari pekerjaan.

2. Manfaat Praktis

Dengan mengetahui permasalahan yang akan dihadapi, para karyawan

diharapkan mampu meningkatkan kinerjanya, sehingga akan terhindar dari

kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karyawan juga diharapkan

agar mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena perusahaan dapat melakukan

program Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewaktu-waktu, sehingga akan

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemutusan Hubungan Kerja

Suatu perusahaan / institusi / lembaga tertentu pada dasarnya memerlukan

karyawan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan usaha

perusahaan / institusi / lembaga tersebut. Karyawan adalah seseorang yang bekerja

di suatu perusahaan / institusi / lembaga tertentu yang bertanggungjawab untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu pula. Menurut Suharso (2005 : 226),

karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan

sebagainya) dengan mendapat gaji (upah), selain itu karyawan juga berarti

pegawai / buruh / pekerja. Karyawan yang aktif bekerja pada suatu perusahaaan /

institusi / lembaga tertentu akan menerima upah yang sebenarnya merupakan

balas jasa dari perusahaaan / institusi / lembaga yang mempekerjakan mereka.

Dalam siklus kehidupan suatu perusahaan pasti tidak akan pernah lepas

dari perekrutan karyawan, mutasi, demosi, dan promosi karyawan, bahkan juga

pemberhentian karyawan dari pekerjaannya baik itu karena adanya masa pensiun

wajib, ataupun karena adanya pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

karyawan.

1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pemecatan, atau lebih dikenal dengan PHK (Pemutusan Hubungan

Kerja) adalah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha

sehingga berakhir pula hak dan kewajiban diantara mereka (Panggabean,

(28)

2002: 17). Hal ini merupakan suatu cara untuk menghentikan seseorang dari

suatu jabatan atau pekerjaan. Menurut peraturan perundang-undangan bidang

ketenaga kerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran

hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak

dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan perusahaan (Triando, 2006).

2. Sebab-sebab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pada suatu perusahaan, pemecatan ini biasa dilakukan jika pekerja

melakukan kesalahan berat sebagai berikut (UU Ketenagakerjaan No. 13/2003

dalam www.rcs.co.id/ketenagakerjaan_2003.htm.):

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang

milik perusahaan;

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai

dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di

lingkungan kerja;

d. Melakukan perbuatan asusila di lingkungan kerja;

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi, teman

sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan

(29)

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan

bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi

perusahaan;

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. Membongkar atau membocoran rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam

pidana 5 (lima) tahun atau lebih.

Pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap

karyawan, seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini merupakan metode yang

dianggap cukup efektif untuk mengatasi kebangkrutan suatu perusahaan,

karena dengan dilakukannya pemecatan maka biaya yang dikeluarkan oleh

perusahaan akan jauh berkurang, apalagi untuk suatu perusahaan besar yang

mempekerjakan banyak karyawan maka PHK masal terhadap karyawan

dengan kemampuan yang kurang atau dengan posisi yang sudah tidak

diperlukan lagi merupakan suatu pilihan yang terbaik meskipun PHK masal

ini secara sadar ataupun tidak juga akan merugikan perusahaan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para karyawan juga

dilakukan jika perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan,

peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Penggabungan dan

peleburan perusahaan mengakibatkan perusahaan harus menutup salah satu

(30)

harus dikeluarkan akibat produksi yang tidak kompetitif lagi dan untuk

meningkatkan daya saing perusahaan di pasar.

3. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Ada dua jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu menurut

jangka waktu dan menurut sumber Pemutusan hubungan Kerja (PHK).

Menurut jangka waktunya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terbagi

menjadi dua (2), yaitu :

a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sementara, atau yang lebih dikenal

dengan istilah “dirumahkan”, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

antara perusahaan dan karyawan yang hanya bersifat sementara.

Karyawan yang “dirumahkan” ini masih memiliki kesempatan untuk

kembali bekerja. Hal ini biasanya dilakukan karena adanya pengurangan

produksi sementara perusahaan.

b. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetap, atau lebih dikenal dengan

PHK, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara perusahaan dan

karyawan yang bersifat tetap. Karyawan yang sudah benar-benar di

PHK ini tidak memiliki kesempatan untuk bekerja kembali di

perusahaan sebelumnya.

Sedangkan menurut sumbernya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

antara pekerja dan pengusaha ada 4 (empat) jenis, yaitu (Panggabean, 2002:

121 – 122):

a. Voluntary turnover, yaitu pemutusan kerja atas kehendak sendiri. Hal ini

(31)

mengundurkan diri dari pekerjaannya atas dasar alasan pribadi, misalnya

karena karyawan mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik dari

perusahaan semula.

b. Lay off, yaitu pemberhentian karyawan karena habis masa kontraknya

atau karena karyawan yang bersangkutan tidak dibutuhkan lagi oleh

perusahaan.

c. Retirement atau pensiun, yaitu pemberhentian karyawan karena

karyawan yang bersangkutan telah mencapai usia tertentu. Pada

umumnya pemensiunan karyawan ini dilakukan jika karyawan telah

mencapai usia 55 tahun sampai 65 tahun, tetapi tergantung dari program

masing-masing perusahaan.

d. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas kehendak pengusaha. Hal ini

dilakukan karena adanya pengurangan aktivitas atau penciutan usaha,

atau karena kelalaian karyawan sehingga melanggar disiplin perusahaan.

4. Reaksi-reaksi terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Bagi para karyawan, menghadapi saat-saat berhenti bekerja merupakan

suatu malapetaka yang dirasa merebut sumber daya karena pada umumnya

pemberhentian kerja karyawan terjadi atas kehendak pengusaha. Oleh karena

itu pada umumnya para karyawan bereaksi negatif terhadap Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK), apalagi bila proses pemecatan atau PHK tersebut

diawali dengan proses yang tidak mengacu pada peraturan yang ada, seperti

yang sudah diatur dalam Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 yang

(32)

Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta. Reaksi negatif tersebut antara

lain:

a. Agresi

Karyawan melampiaskan kekecewaannya pada sesuatu yang ada

didekatnya yang sebenarnya ditujukan kepada sumber kekecewaannya

tersebut.

b. Regresi

Karyawan menyalurkan kekecewaannya dengan bentuk keluhan karena

ia tidak mampu menghapus kekecewaannya tersebut. Keluhan ini

dilakukan untuk mendapatkan simpati sekaligus untuk meringankan

beban yang ada dalam pikirannya.

c. Fiksasi

Karyawan menyalurkan kekecewaannya dengan melakukan suatu

tindakan yang tidak memliliki tujuan yang jelas, padahal ia sendiri tahu

kalau tindakannya tersebut akan sia-sia saja.

d. Penyerahan / penerimaan

Karyawan menyerahkan kegagalan sepenuhnya pada nasib. Ia sama

sekali tidak berusaha untuk merubah atau memperbaiki nasibnya agar

menjadi lebih baik.

e. Rasionalisasi dan proyeksi

Karyawan berusaha mendapatkan toleransi/penerimaan atas

kegagalannya dari pihaknya sendiri. Penerimaan tersebut atas hal yang

(33)

alasan itu dijadikan dasar bagi pembelaan diri bagi keseimbangan

pribadi, yang berhubungan dengan self respect-nya. Kadang-kadang

pegawai tersebut memproyeksikan kegagalannya pada orang lain.

f. Disorganisasi (mengalami gangguan mental)

Karyawan menjadi tertekan dan frustrasi, sehingga ia mengalami

disorganisasi pribadi. Ia mengalami emotional break down, dimana

dalam keadaan ini ia dapat mengalami suatu gangguan bicara, bahkan

menunjukkan suatu perilaku yang regresif.

g. Penarikan diri (withdrawal)

Karyawan mengundurkan diri dari konflik yang dihadapinya. Ia

berusaha melupakan kesulitan yang dihadapinya karena ia merasa tidak

akan mungkin lagi mendapatkan pekerjaan yang selayak pekerjaan

sebelumnya. Karyawan yang menarik diri ini biasanya berpikir secara

autistik, berkhayal yang tidak riil, melamun, atau bisa saja merubah

dirinya menjadi seorang pemabuk, pecandu, dan sebagainya.

B. Menarik Diri (withdrawal)

1. Pengertian

Menarik diri (withdrawal) merupakan suatu pola kelakuan

menghindari konflik dengan menarik diri dari masyarakat (Ramali &

Pamoentjak, 2000: 383). Dalam thefreedictionary.com, withdrawal

didefinisikan sebagai penghindaran diri dari suatu keterlibatan emosi;

(34)

emosi; penghindaran diri dari suatu tempat atau keadaan yang telah

bertumpuk-tumpuk. Selain itu withdrawal juga didefinisikan sebagai

penyesuaian psikologis dan mental yang menyertai suatu ketidakteraturan.

Menurut Santrock (1995: 81), withdrawal adalah suatu rasa sakit yang

hebat, yang tidak diinginkan oleh seseorang. Withdrawal merupakan suatu

bentuk passive defense mechanism dimana seseorang menghindarkan dirinya

dari kontak dengan orang lain dan mencoba untuk mengatasi frustrasi dan

kecemasannya sendiri (Strange, 1965: 128). Dalam suatu situasi interpersonal,

withdrawal diperlukan untuk menghindari kecemasan yang sangat kuat.

Withdrawal juga diartikan sebagai penghindaran diri dari suatu konflik,

namun demikian withdrawal bisa menyebabkan seseorang mengalami

kegagalan dalam penyelesaian masalahnya (Morgan & Morgan, 1991: 12),

karena orang tersebut tidak berusaha untuk menyelesaikan masalahnya,

namun hanya menghindari masalah yang sedang dihadapinya.

Menarik diri ini dapat pula menjadi reaksi yang diakibatkan oleh

perubahan hidup yang sangat bermakna dan/atau terhadap peristiwa

kehidupan yang penuh stress, seperti kebutuhan akan pekerjaan untuk

memenuhi hajat hidup yang terbentur oleh ketidakberdayaan orang dalam

menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tingkat menarik diri ini

ditunjukkan dengan adanya suatu penghindaran diri dari lingkungan sosial

oleh karyawan yang tengah menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK). Menurut Davidoff (1987: 531), ketika seseorang menarik diri

(35)

apapun karena pada umumnya mereka menganggap tidak ada yang bisa

mereka lakukan untuk mengatasi permasalahannya.

2. Faktor-faktor penyebab seseorang menarik diri

Ada beberapa faktor yang menyebabkan karyawan menarik diri dalam

menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), antara lain

(Andari, 2001):

a. Faktor Sosial

Faktor ini berkaitan dengan hubungan seseorang dengan orang

lain, yang berhubungan dengan status sosial dan interaksi sosial. Status

sosial akan sangat mempengaruhi prestise seseorang, karena orang yang

mempunyai status sosial yang dianggap lebih tinggi/lebih baik akan

mendapatkan perlakuan yang berbeda oleh masyarakat. Orang yang

bekerja akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang

tidak bekerja, oleh karena itu dalam interaksi sosial para karyawan yang

sedang menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

akan menghindarkan diri dari teman-temannya yang dianggapnya lebih

berhasil, bahkan ia juga akan menghindarkan dirinya dari masyarakat

sekitarnya karena ia merasa malu akan kehilangan pekerjaannya.

b. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi ini berkaitan dengan pendapatan dan

pemenuhan kebutuhan hidup seseorang, serta berkaitan dengan

pekerjaan. Hilangnya pekerjaan yang telah digeluti selama

(36)

menyebabkan karyawan yang menghadapi kemungkinan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) semakin merasa terpuruk. Hilangnya

penghasilan, ditambah lagi dengan masalah peningkatan ongkos

angkutan, dan meningkatnya biaya hidup yang lain dirasakan semakin

menambah keterpurukan hidupnya.

c. Faktor Psikologis

Faktor psikologis ini sebenarnya lebih berkaitan dengan

kepercayaan diri seseorang. Mengikisnya rasa percaya diri akan

melumpuhkan perkembangan dan pertumbuhan dirinya, sehingga

karyawan yang tengah menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) akan cenderung lebih emosional. Ia akan lebih cepat marah

dan tersinggung jika ada hal-hal yang tidak mengenakkannya.

3. Aspek-aspek menarik diri

Menarik diri (withdrawal) merupakan suatu reaksi subjektif yang

tampak dari gejala afektif, kognitif, dan fisiologis akibat

permasalahan-permasalahan yang dialami oleh karyawan yang sedang menghadapi

kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu permasalahan

ekonomi, masalah kehilangan status sosial, perasaan tak berguna atau tidak

produktif, dan masalah kesepian. Ada beberapa aspek yang menyebabkan

seseorang menarik diri dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK), antara lain:

1. Aspek afektif

(37)

2. Aspek kognitif

Aspek ini meliputi kurang mampu konsentrasi dan berkurangnya daya

ingat.

3. Aspek fisiologis

Aspek ini meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, dan gemetar.

Keadaan-keadaan ini nantinya akan diungkap melalui skala tingkat

menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah,

sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Skor tinggi berarti subjek memiliki tingkat

menarik diri yang tinggi, sedangkan skor rendah menunjukkan bahwa subjek

memiliki tingkat menarik diri yang rendah dalam menghadapi kemungkinan

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-kuantitatif yang

bertujuan untuk menggambarkan tingkat menarik diri pada suatu populasi

karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Penelitian deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk

menggambarkan suatu situasi secara sistematis.

Menurut Sugiyono (1999: 21) penelitian deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data

sample atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan suatu analisis dan

membuat kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian deskriptif bertujuan untuk

membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2002: 24).

B. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, artinya

penelitian ini dilakukan tanpa adanya kontrol terhadap variabel, sehingga variabel

penelitian dilihat sebagaimana adanya. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini

adalah tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

(39)

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (1992: 2), variabel penelitian merupakan gejala yang

menjadi fokus penelitian untuk diamati. Variabel penelitian adalah atribut atau

sifat atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang mempunyai variabel tertentu

dalam kelompok itu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik

kesimpulan.

Menarik diri (withdrawal) merupakan suatu reaksi subjektif yang tampak

dari gejala afektif, kognitif, dan fisiologis akibat permasalahan-permasalahan

yang dialami oleh karyawan yang sedang menghadapi kemungkinan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK), yaitu permasalahan ekonomi, masalah kehilangan status

sosial, perasaan tak berguna atau tidak produktif, dan masalah kesepian. Tingkat

menarik diri diukur dengan skala tingkat menarik diri. Adapun aspek yang diukur

meliputi aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisiologis.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian yaitu yang

memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Subjek penelitian pada

dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian. Subjek penelitian

dipilih secara purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 1999: 61). Pertimbangan yang dibuat adalah adalah subjek

penelitian merupakan karyawan perusahaan yang pernah melakukan program

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal terhadap karayawannya. Subjek dipilih

(40)

dari populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam penelitian ini ada

beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan subjek penelitian, antara lain:

1. Karyawan

Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan, yaitu

seseorang yang masih aktif bekerja di suatu perusahaan tertentu dan

menduduki suatu posisi / jabatan tertentu

2. Usia

Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia

antara 25 tahun sampai 35 tahun. Peneliti memilih usia 25 tahun sampai 35

tahun karena pada masa ini orang masih berorientasi pada pekerjaan formal.

3. Pengalaman Kerja

Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan yang telah

bekerja secara formal sedikitnya selama dua tahun, karena pada umumnya

orang yang telah bekerja sedikitnya selama dua tahun telah mengembangkan

identitas dirinya sesuai dengan pekerjaan yang digelutinya.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dengan cara menyebarkan skala pada subjek

penelitian. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala tingkat menarik diri. Skala adalah rangkaian pengukuran mengikuti aturan

tertentu yang mengukur suatu sifat atau atribut (Allen & Yen, dalam Prastiti,

2005). Skala mempunyai karakteristik khusus yang membedakannya dari berbagai

(41)

inventori, dan lain-lain yang mengacu pada alat ukur aspek afektif (Azwar, 2002:

3).

Skala tingkat menarik diri ini disusun berdasarkan definisi operasional

variabel penelitian yang dikaitkan dengan hal-hal yang dapat menimbulkan

kecenderungan menarik diri pada karyawan dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu masalah-masalah kehilangan peran,

jabatan, pendapatan, kepercayaan diri, harga diri, kontak sosial, daya guna, tujuan

hidup, serta identitas yang didapatkan dari pekerjaan.

Tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat diungkap melalui skala tingkat menarik

diri yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah, sedang,

tinggi, dan sangat tinggi. Keadaan ini nantinya akan diukur dengan menggunakan

skala tingkat menarik diri, dengan format tipe Linkert, yang memungkinkan

subjek menjawab dalam berbagai tingkatan pada setiap item yang

menggambarkan tingkat menarik diri. Skor tinggi berarti subjek memiliki tingkat

menarik diri yang tinggi, sedangkan skor rendah menunjukkan bahwa subjek

memiliki tingkat menarik diri yang rendah dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penelitian ini menggunakan format

summated rating, yaitu angka yang dijumlahkan, yang metodenya hampir sama

dengan format tipe Linkert. Skala yang digunakan ini terdiri dari empat alternatif

jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak

(42)

Tabel 3.1. Bobot Penilaian Skala

No. Jawaban Keterangan Nilai

Favorable Unfavorable

1. SS Sangat Sesuai 4 1

2. S Sesuai 3 2

3. TS Tidak Sesuai 2 3 3. STS Sangat Tidak Sesuai 1 4

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa jika seseorang menyatakan

sangat sesuai (SS) pada pernyataan favorable maka berarti ia menarik diri dalam

menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga skornya

tinggi yaitu empat (4), sedangkan bagi subjek yang menyatakan sangat tidak

sesuai (STS) pada item favorable maka skornya rendah yaitu satu (1). Demikian

pula sebaliknya, jika seseorang menyatakan sangat sesuai (SS) pada pernyataan

unfavorable berarti tingkat menarik dirinya rendah, sehingga skornya-pun rendah

yaitu satu (1), sedangkan subjek yang menyatakan sangat tidak sesuai (STS) pada

item unfavorable berarti tingkat menarik dirinya tinggi sehingga ia mendapatkan

skor tinggi yaitu empat (4). Total skor skala merupakan jumlah skor pada

masing-masing item.

Menurut Hadi (1991, dalam Prastiti, 2005: 42) modifikasi skala Linkert

yang terdiri dari empat kategori dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan

yang dikandung oleh skala lima tingkat yang disebut central tendering effect

dimana kategori netral mempunyai arti ganda, dapat diartikan belum dapat

memutuskan, bisa juga netral atau ragu-ragu. Tersedianya jawaban di tengah juga

menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah, terutama bagi mereka yang

ragu-ragu atas kecenderungan arah jawabannya, sehingga akan menghilangkan

(43)

responden. Selain itu, maksud kategori jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S),

tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS) adalah untuk melihat

kecenderungan mendapatkan respon ke arah sangat sesuai (SS) atau sangat tidak

sesuai (STS). Penyusunan item dalam skala ini dilakukan secara acak dengan

pertimbangan subjek menjawab secara spontan tanpa ada pengaruh dari item-item

yang lain, yang mungkin disebabkan oleh adanya pengelompokan.

F. Pertanggungjawaban Mutu

1. Validitas

Validitas adalah tingkat kemampuan suatu alat penelitian untuk

mengungkapkan sesuatu menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan

dengan alat tersebut (Hadi, 1991 dalam Prastiti, 2005: 42). Menurut Azwar (2002:

7), validitas adalah ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur untuk

mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan

dengan alat pengukuran tersebut. Suatu alat ukur memiliki validitas yang tinggi

apabila alat tersebut memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud

dilakukannya pengukuran; atau mampu mengukur apa yang hendak diukur,

mampu mengungkapkan apa yang akan diungkapkan (Hadi, 1991 dalam Prastiti,

2005: 42).

Penelitian ini menguji validitas alat ukur dengan menggunakan validitas

isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi

tes dengan analisis rasional. Validitas isi menunjukkan sejauh mana item-item

(44)

penelitian tersebut, yaitu isinya harus tetap relevan dan tidak keluar dari batasan

tujuan pengukuran. Salah satu cara untuk melihat apakah validitas isi sudah

terpenuhi adalah dengan melihat item-item skala apakah telah ditulis sesuai

dengan blue print nya yang sesuai dengan indikator yang akan diungkap (Azwar,

2003). Pengukuran validitas ini dilakukan dengan metode professional judgement

dimana seluruh item yang hendak digunakan dalam penelitian ini dikoreksi

terlebih dahulu oleh orang yang sudah ahli, yaitu dosen pembimbing sehingga

item-itemnya dipandang sudah mencakup keseluruhan isi objek yang hendak

diukur (Azwar, 2003).

rix minimal 0,25

2. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan sebelum skala digunakan untuk memperoleh

item-item yang berkualitas dan sesuai dengan fungsi skala. Koefisien kesahihan item-item

diperoleh dari korelasi antara skor butir item dengan skor total keseluruhan butir

(korelasi item total). Sebagai kriteria seleksi item berdasarkan korelasi item total

maka digunakan batasan rix 0,25. Semua item yang mencapai korelasi minimal

0,25 daya pembedanya dianggap layak menjadi sebuah item karena memiliki daya

pembeda yang memuaskan, sedangkan item dengan nilai rix < 0,25 dianggap

buruk karena diinterpretasikan sebagai item yang mempunyai daya diskriminasi

rendah sehingga tidak dimasukkan dalam item yang akan digunakan dalam

(45)

Tabel 3.2 Spesifikasi Blue-Print

Aspek withdrawal

Faktor PHK

Afektif Kognitif Fisiologis Total

Sosial 22% 8% 10% 40%

Ekonomi 7 % 10% 10% 27%

Psikologis 15% 10% 8% 33%

Total 44% 28% 28% 100%

Tabel 3.3 Sebaran Item Penelitian

Aspek withdrawal

Faktor PHK

Afektif Kognitif Fisiologis

Total

Reliabilitas adalah keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan,

konsistensi dari suatu alat pengukuran, artinya sejauh mana hasil suatu

pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam

beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama

diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek dalam diri subjek memang belum

berubah (Azwar, 2003: 4).

Pengujian reliabilitas alat tes dilakukan dengan teknik pengujian

konsistensi internal (menganalisis konsistensi antar item) Alpha Cronbach.

Pendekatan Alpha mempunyai nilai praktis dan efisiensi karena hanya didasarkan

(46)

administration). Reliabilitas skala dianggap memuaskan apabila koefisien Alpha

> 0,90 karena berarti variasi atau perbedaan yang tampak pada skor tes tersebut

mampu mencerminkan 90% dari variasi yang telah terjadi pada skor murni subjek

yang bersangkutan, dan 10% dari perbedaan yang tampak disebabkan oleh variasi

eror pengukuran (Azwar, 2003).

G. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mempersiapkan skala untuk mengukur tingkat menarik diri

karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) dengan menggunakan skala Tingkat Menarik Diri

Karyawan Dalam Menghadapi Kemungkinan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK).

2. Menentukan kelompok subjek uji coba yang memiliki karakteristik

yang hampir sama dengan kelompok subjek penelitian

sesungguhnya.

3. Melaksanakan uji coba instrumen penelitian.

4. Melakukan analisis terhadap data uji coba untuk mengetahui

kesahihan item sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya skala

tersebut digunakan dalam penelitian sesungguhnya.

5. Item yang sahih kemudian diujikan kepada kelompok subjek

(47)

6. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji statistik deskriptif untuk

melihat tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi

kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

7. Membuat kesimpulan berdasar hasil uji statistik.

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif yang

meliputi penyajian data melalui tabel/grafik/diagram, modus, median, mean,

standar deviasi, dan perhitungan prosentase (Sugiyono, 1999). Modus merupakan

nilai ukuran lokasi yang ketiga dan merupakan nilai observasi yang paling sering

terjadi atau sering muncul dalam kelompok. Median adalah nilai yang berada di

tengah setelah nilai diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar, atau

sebaliknya dari yang terbesar sampai yang terkecil. Mean merupakan hasil bagi

dari jumlah semua nilai dengan banyaknya nilai, dengan kata lain mean adalah

nilai rata-rata kelompok tersebut (J. Suprananto dalam Puspitorini, 2003: 49).

Penentuan kategori tingkat menarik diri dilakukan dengan kategori jenjang

berdasarkan standar deviasi dan mean teoritik sebagai berikut (Azwar, 2002):

X minimum teoretik : Skor paling rendah yang mungkin diperoleh subjek

pada skala, yaitu 1

X maximum teoretik : Skor paling tinggi yang mungkin diperoleh subjek

pada skala, yaitu 4

Range : Luas jarak sebaran antara nilai maksimal dan

(48)

Standar Deviasi ( ) : Luas jarak sebaran yang dibagi ke dalam 6 satuan

deviasi standar

Mean (µ) : Mean teoretik, yaitu rata-rata teoretis dari skor

maksimal dan minimal

Selanjutnya pengkategorian tingkat menarik diri dilakukan dengan

kategorisasi jenjang berdasarkan standar deviasi. Norma kategorisasi yang

digunakan adalah sebagai berikut (Azwar, 2002: 108):

Tabel 3.4 Norma Kategorisasi Skala

Norma Kategori

x -1,5 -1,5 < x -0,5 -1,5 < x +0,5 +0,5 < x +1,5 +1,5 < x

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Persiapan Penelitian

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakuka uji coba (try out)

skala tingkat menarik diri, yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2007 sampai

dengan 4 September 2007. Uji coba dikenakan pada subjek penelitian yang

memiliki karakteristik yang hampir sama dengan subjek penelitian, hanya saja

pada uji coba peneliti menggunakan subjek yang merupakan karyawan dari

beberapa perusahaan swasta di Tangerang yang dipilih secara random, tanpa

melihat latar belakang perusahaan mereka bekerja. Try out dilakukan dengan

menyebar 100 eksemplar skala kepada 100 orang namun yang kembali hanya 85

eksemplar skala. Dari keseluruhan skala yang kembali, hanya 80 eksemplar skala

yang dapat dianalisis karena adanya 5 eksemplar yang dijawab dengan tidak

lengkap.

Setelah dilakukan perhitungan dengan program SPSS, jumlah butir yang

gugur ada 11 butir, namun setelah dilakukan perhitungan ulang dengan rbt > 0,3

jumlah butir yang gugur menjadi 14, sehingga jumlah butir yang sahih menjadi

46. Atas dasar pertimbangan dan masukan dari subjek penelitian, maka butir yang

sahih yang digunakan untuk penelitian berjumlah 45 butir.

(50)

Tabel 4.1 Item yang sahih

Aspek withdrawal

Faktor PHK

Afektif Kognitif Fisiologis Total

Sosial

1. Deskripsi Subjek

Penyebaran skala untuk penelitian dilakukan pada tanggal 28 Oktober

2007 sampai dengan 18 November 2007 kepada 80 orang subjek. Skala yang

disebarkan berjumlah 80 eksemplar dan kembali 62 eksemplar. Subjek

penelitian terdiri dari 45 orang subjek laki-laki dan 17 orang subjek

perempuan dengan deskripsi sebagai berikut:

Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian

Usia

(51)

karyawannya karena berbagai hal, yaitu PT Mitsuba Indonesia, PT Indah Kiat,

PT Tifico, PT Surya Toto, dan PT Kumatex.

2. Teknik Analisis Data

Setelah pelaksanaan penelitian, peneliti menghitung uji asumsi

normalitas dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji

Kolmogorov-Smirnov adalah 0,856, yang berarti distribusi skala ini normal.

Suatu sampel dikatakan normal jika sampel berasal dari suatu distribusi yang

normal atau populasi yang normal, sedangkan sampel dikatakan tidak normal

jika sampel tersebut tidak layak dijadikan sampel penelitian. Hasil dari skala

ini kemudian dihitung dengan menggunakan uji statistik deskriptif. Dari data

yang dihasilkan peneliti mendapat:

a. N menunjukkan jumlah subjek penelitian, yaitu 62 orang.

b. Skor Minimum Teoretik, adalah skor paling rendah yang

mungkin diperoleh subjek pada skala, yaitu 45 (45 x 1)

c. Skor Minimum Empirik, adalah skor paling rendah yang

diperoleh subjek dalam penelitian, yaitu 75

d. Skor maksimum teoretik, adalah skor paling tinggi yang mungkin

diperoleh subjek pada skala, yaitu 180 (45 x 4)

e. Skor Maksimum Empirik, adalah skor paling tinggi yang

diperoleh subjek dalam penelitian, yaitu 129

f. Mean Teoretik, yaitu rata-rata teoretis dari skor maksimal dan

(52)

180 + 45

2

225

2 135

6

g. Mean Empirik, yaitu rata-rata skor maksimal dan minimal dari

subjek penelitian, yaitu 101,71

h. Median, adalah nilai tengah dari range skor subjek penelitian, yaitu

103,5

i. Modus, adalah skor subjek yang paling banyak frekuensinya, yaitu

90

j. Standar Deviasi atau Simpangan Baku, adalah luas jarak sebaran

yang menunjukkan variasi jawaban subjek, yaitu 12,928

k. Varians, adalah kuadrat dari standar deviasi, yaitu 167,127

Sedangkan hasil perhitungan yang didapat dari data penelitian adalah

sebagai berikut:

Jumlah soal sahih = 45

X minimum teoretik = 45 x 1 = 45

X maksimum teoretik = 45 x 4 = 180

Range = 180 – 45 = 135

Standar Deviasi ( ) = = 22,5

Mean (µ) = = = 112,5

Jadi berdasarkan data tersebut dapat diketahui norma kategorisasi

tingkat menarik diri karyawan dalam menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja

(53)

Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skala Tingkat Menarik Diri

Setelah dilakukan perhitungan statistik deskriptif peneliti tidak

mendapati subjek dengan tingkat menarik diri yang sangat tinggi dan sangat

rendah, oleh karena itu hasil dari skala tingkat menarik diri karyawan adalah:

Tabel 4.4 Kategorisasi Subjek Penelitian

Kategori Jumlah Subjek Prosentase

Tinggi 13 20,97 %

Sedang 37 59,68 %

Rendah 12 19,35 %

Deskripsi kategorisasi subjek penelitian menurut usia, jenis kelamin,

dan lama kerja adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Deskripsi Subjek dengan tingkat menarik diri tinggi

Usia

Tabel 4.6 Deskripsi Subjek dengan tingkat menarik diri sedang

(54)

Tabel 4.7 Deskripsi Subjek dengan tingkat menarik diri rendah

Sedangkan untuk deskripsi hasil skala adalah sebagai berikut:

Tabel 4.8 Deskripsi Karyawan dengan tingkat menarik diri tinggi

Aspek menarik diri Laki-laki Perempuan

Afektif 31,08 % 9,54 %

Kognitif 18,3 % 5,58 %

Fisiologis 27,13 % 8,37 %

Faktor PHK Laki-laki Perempuan

Sosial 25,7 % 8,11 %

Ekonomi 22,06 % 6,75 %

Psikologis 28,75 % 8,63 %

Tabel 4.9 Deskripsi Karyawan dengan tingkat menarik diri sedang

Aspek menarik diri Laki-laki Perempuan

Afektif 29,76 % 11,58 %

Kognitif 17,02 % 6,96 %

Fisiologis 24,75 % 9,93 %

Faktor PHK Laki-laki Perempuan

Sosial 23,92 % 9,65 %

Ekonomi 21 % 8,09 %

Psikologis 26,61 % 10,73 %

Tabel 4.10 Deskripsi Karyawan dengan tingkat menarik diri rendah

Aspek menarik diri Laki-laki Perempuan

Afektif 35,08 % 9,69 %

Kognitif 16,37 % 6,57 %

Fisiologis 22,27 % 10,02 %

Faktor PHK Laki-laki Perempuan

Sosial 25,72 % 8,46 %

Ekonomi 18,37 % 8,13 %

(55)

Dari deskripsi tabel di tersebut dapat dilihat bahwa usia subjek tidak

terlalu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap tingkat menarik diri

seseorang, namun lamanya bekerja memberikan pengaruh terhadap tingkat

menarik diri seseorang. Tabel di atas menunjukkan bahwa subjek yang

memiliki kecenderungan untuk menarik diri adalah subjek yang belum terlalu

lama bekerja di suatu perusahaan (2 – 6 tahun).

Pada tingkat menarik diri tinggi, baik pada laki-laki ataupun

perempuan, aspek afektif merupakan aspek yang paling berpengaruh terhadap

tingkat menarik diri karyawan. Aspek afektif ini menyumbang lebih dari 40%

pada tingkat menarik diri karyawan. Aspek fisiologis merupakan aspek kedua

yang mempengaruhi tingkat menarik diri karyawan sedangkan aspek sosial

merupakan aspek terakhir yang mempengaruhi tingkat menarik diri karyawan.

Hal serupa juga terjadi pada karyawan dengan tingkat menarik diri sedang,

aspek afektif menjadi penyumbang utama dan diikuti oleh aspek fisiologis dan

aspek kognitif. Namun pada karyawan dengan tingkat menarik diri rendah,

pada subjek laki-laki aspek afektif menjadi penyumbang terbesar dan diikuti

oleh aspek fisiologis dan aspek kognitif, dan pada subjek perempuan aspek

fisiologis menyumbang cukup besar dan diikuti oleh aspek fisiologis dan

afektif.

Sedangkan faktor PHK yang paling berpengaruh pada tingkat menarik

diri tinggi, baik pada subjek laki-laki maupun perempuan adalah faktor

psikologis dan diikuti oleh faktor sosial dan ekonomi. Demikian pula halnya

(56)

psikologis merupakan faktor utama yang menentukan tingkat menarik diri

seorang karyawan dan diikuti dengan faktor sosial dan faktor ekonomi.

Tingginya sumbangan yang diberikan oleh aspek afektif ini

dikarenakan subjek memiliki kekhawatiran-kekhawatiran terhadap masa depan

mereka jika di-PHK. Kekhawatiran-kekhawatiran ini yang kemudian

menyebabkan mereka menarik diri.

C. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum subjek penelitian

mengalami tingkat menarik diri yang rendah dalam menghadapi kemungkinan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini dapat dilihat dari perbandingan mean

empirik (101,71) yang lebih kecil dari mean teoretik (112,5). Hasil seperti ini

menunjukkan bahwa rata-rata tingkat menarik diri karyawan masuk dalam

kategori rendah. Selain itu jika dilihat dari skor rata-rata yang cukup rendah

mengindikasikan bahwa subjek penelitian tidak terlalu memikirkan permasalahan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam kehidupan mereka.

Jika dilihat dari tabulasi, terlihat bahwa varians subjek penelitian adalah

167,127. hal ini menunjukkan bahwa variasi jawaban subjek tidak terlalu tinggi.

Ini berarti dalam hal tingkat menarik diri tarafnya tidak terlalu heterogen. Hasil

perhitungan SD yaitu 12,928 menunjukkan kategori tingkat menarik diri subjek

yang relatif rendah. Hal ini didukung dengan modus 90 dengan jumlah subjek 62

(57)

Menurut Davidoff (1987: 531), ketika seseorang menarik diri mereka akan

lebih memilih untuk bersikap pasif dan tidak melakukan suatu apapun karena pada

umumnya mereka menganggap tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk

mengatasi permasalahannya. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya subjek

dengan tingkat menarik diri yang sangat tinggi karena para subjek penelitian

adalah orang-orang yang masih aktif bekerja, selain itu tidak ditemukannya

subjek dengan tingkat menarik diri yang sangat rendah disebabkan karena para

subjek penelitian memiliki suatu kekhawatiran jika mereka mengalami Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK).

Menurut hasil penelitian ini, meskipun usia subjek penelitian telah

terkontrol dengan sendirinya (subjek penelitian adalah karyawan dengan kisaran

usia antara 25 – 35 tahun) namun tampaknya lamanya bekerja memberikan

pengaruh terhadap tingkat menarik diri seseorang. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa subjek yang memiliki kecenderungan untuk menarik diri

adalah subjek yang belum terlalu lama bekerja di suatu perusahaan (2 – 6 tahun).

Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena karyawan yang belum terlalu lama

bekerja di suatu perusahaan sangat menggantungkan hidup mereka pada pekerjaan

yang digeluti pada saat ini, dan karyawan yang belum terlalu lama bekerja di suatu

perusahaan pada umumnya mulai membangun identitas diri sesuai dengan

perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan karyawan yang sudah relatif lama

bekerja di perusahaan swasta akan lebih siap dalam menghadapi kemungkinan

Gambar

Tabel 3.1. Bobot Penilaian Skala
Tabel 3.3 Sebaran Item Penelitian
Tabel 3.4 Norma Kategorisasi Skala
Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam publikasi ini disajikan informasi mengenai gambaran sosial ekonomi Kabupaten Pulau Morotai Tahun 2015 dan komponen penghitungan Indeks Pembangunan Manusia antara lain

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Untuk menjadi pengusaha kontrakor yang sukses harus pandai-pandai mengelola usaha tersebut, secara teknis ketika suatu perusahaan jasa kontraktor menangani suatu

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa persinggungan antara ajaran agama (Islam) yang dibawa oleh Ki Ageng Gribig, modernitas, dan budaya (Jawa) tergambar dalam ritual dan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

masyarakat dalam mencari informasi tempat ibadah yang berada di kecamatan Toboali.tempat ibadah merupakan hal yang penting yang harus ada disetiap daerah. Sarana tempat