• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM BUDAYA PAKPAK. Suku Pakpak merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah Simsim,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM BUDAYA PAKPAK. Suku Pakpak merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah Simsim,"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM BUDAYA PAKPAK

2.1 Sejarah Suku Pakpak

Suku Pakpak merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah Simsim, Pegagan, Keppas, Kelassen, dan Boang (Mansehat Manik, 1977:5-7). Sebagaimana dengan suku Batak lainnya yang menggunakan bahasa mereka dalam kehidupan hari, suku Pakpak juga menggunakan bahasa Pakpak sebagai bahasa sehari-hari maupun bahasa pada saat upacara adat berlangsung. Berdasarkan asalnya, suku Pakpak dapat dibagi kedalam lima bagian yang juga sering disebut sebagai Sulang si

lima/Pakpak si lima puak, kelima bagian tersebut adalah Pakpak Boang, yaitu orang

Pakpak yang berasal dari Lipat Kajang dan Singkil, yang sekarang merupakan wilayah Nanggroe Aceh Darussallam bagian Selatan; Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dari Parlilitan, Pakkat, dan Manduamas; Pakpak Keppas yang terdiri dari daerah Sidikalang, Parongil, dan Bunturaja; Pakpak Simsim, yakni meliputi Sukarame, Kerajaan, dan Salak; Sedangkan Pakpak Pegagan merupakan orang Pakpak yang berasal dari Sumbul Pegagan. Masyarakat Kesenian di Indonesia (2008; 73)

(2)

Kurangnya sumber-sumber tertulis mengenai suku Pakpak menjadikan sebuah kesulitan untuk mengkaji sejarah suku Pakpak pada masa lampau, hal ini diungkapkan oleh Batara Sangti (1977:103) bahwa sangat sedikit dijumpai sumber-sumber mengenai sejarah dan kebudayaan suku Pakpak, baik yang berasal dari negara Indonesia maupun dari negara lain.

Menurut cerita rakyat (foklor) yang beredar di kalangan masyarakat Pakpak, suku Pakpak berasal dari keturunan seekor kera yang dikutuk oleh mahluk bunian, kera tersebut bernama Tagandera. Saat itu, di sebuah desa hiduplah sebuah keluarga yang miskin, mereka hanya memiliki satu orang anak, yaitu Tagandera, karena kemiskinan, akhirnya mereka menyuruh si Tagandera agar ia pergi kerumah Puhun (paman)nya, yang berada di Banua Harhar (sebuah tempat yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal Tagandera). Hal ini terpaksa dilakukan karena orangtuanya tidak sanggup untuk menafkahinya. Untuk melakukan perjalanan, mereka menyarankan kepada Tagandera agar berhati-hati diperjalanan, dan mereka juga memberitahu bahwa untuk mencapai desa tersebut, Tagandera harus melewati sebuah air terjun yang memiliki tujuh tingkat. Setelah memahami apa yang dikatakan oleh orangtuanya, akhirnya Tagandera memulai perjalanannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh orang tuanya, ia pergi dengan membawa togok (bekal). Sesampainya di air terjun yang diberitahu orangtuanya itu, ia pun mulai menaiki air terjun tersebut dari tingkatan pertama hingga ke tujuh, namun pada tingkatan ketujuh, dia dihentikan oleh seekor mahluk bunian yang berada di kawasan air terjun tersebut. Mahluk bunian tersebut bertanya kepada Tagandera ”apa yang kau lakukan disini (merkade ko isen)? Ini adalah daerah kekuasaanku, aku tidak mengijinkan seorang

(3)

manusia pun untuk menginjakkan kaki disini (inganan ku tading mo en, oda ne boi

sekalak pe roh mi sen. )”. Mendengar ucapan itu, Tagandera langsung bersujud dan

minta maaf, namun mahluk bunian tersebut tidak memaafkannya, ia mengutuk Tagandera menjadi seekor kera, dan dia berkata kepada Tagandera ”engkau akan kembali menjadi seorang manusia jika air mata seorang gadis jatuh ketubuhmu, kamu akan berubah wujud kembali menjadi manusia setelah 7 hari 7 malam” (ko mulak jadi

jelma mlla eluh sada kalak simanguda kenna mi dagingmu, boi mo kono mulak menjadi jelma kessa pitu ari pitu berngin). Lalu mahluk bunian tersebut pergi

meninggalkan Tagandera. Setelah kejadian itu,Tagandera pun berubah menjadi seekor kera, namun pikirannya masih tetap seperti pikiran manusia, dan masih bisa berbicara layaknya manusia.

Demikianlah Tagandera menghabiskan hari-harinya di tengah hutan tersebut, apabila ia lapar, ia pergi mencari buah dan mengambil kepiting dari sungai. Ia melakukan hal tersebut hingga bertahun-tahun lamanya.

Suatu hari, ketika Tagandera sedang mencari kepiting di sungai, ia melihat selembar selendang yang cantik terbawa oleh arus sungai, dia pun berlari dan menangkapnya. Setelah berhasil mendapatkannya, ia pun menyimpannya dibawah sebuah kayu yang besar, ia berharap akan ada orang yang mencarinya. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya ia melihat seorang gadis sedang mencari sesuatu dipinggiran sungai itu, lalu Tagandera menghampirinya, ia berkata “apa yang sedang kamu cari disini (kade ngo sinilulummu isen?) Mendengar itu, gadis tersebut langsung terkejut apalagi setelah ia melihat bahwa yang sedang berbicara dengannya

(4)

berkata “kamu jangan takut, aku tidak akan menyakitimu, sekarang ceritakanlah apa yang sedang kamu cari disini?” (ulang ko mbiar, aku oda lako mencelakaken ko,

bagendari bogahkn kade mo si ni lulummu isen?). Lalu gadis tersebut menjawabnya “aku ingin mencari selendangku yang hanyut di sungai ini” (aku neng mengelului

slendangku simanun i lae en ), kemudian Tagandera bertanya kembali “apa yang

terjadi hingga selendangmu itu bisa hanyut sampai kesini?” (kade kibakin asa

selendangmi boi manun soh misen?), gadis itu pun mulai bercerita bahwa ia adalah

putri ketujuh dari seorang raja yang berada di sebuah desa yang jauh dari sungai itu, nama dia adalah Nantampukmas, ia memiliki 6 (enam) kakak (saudara). Karena dia pintar dan cantik, ayahnya menjadikannya putri kesayangan, hal ini membuat keenam kakaknya menjadi iri dan cemburu. Suatu ketika, tanpa diketahui oleh Nantampukmas, keenam kakaknya merencanakan malapetaka terhadap Nantampukmas, mereka mengajak dan membujuknya untuk pergi ke hutan mengambil getah kayu Baja lentik.9

Setelah Nantampukmas menyetujuinya, mereka pun berangkat ke hutan, namun ditengah perjalanan, tepatnya di sebuah sungai, mereka menghanyutkan selendang dari Nantampukmas dengan maksud agar Nantampukmas segera mengejarnya, dan benar saja, Nantampukmas langsung bergegas mengejar selendang itu, begitulah ceritanya hingga ia bertemu dengan Tagandera. Saat itu, Tagandera berpikir dan berkata dalam hati ”jangan-jangan dia adalah putri dari pamanku itu..?”

(ntah en mo ndia impal ku i?) lalu dia pergi mengambil selendang yang telah ia dapat

9

Zaman dahulu setiap gadis yang akan menikah, harus meratakan gigi depannya dan menghitamkannya dengan getah kayu Baja lentik yang biasanya hanya tumbuh di tengah hutan yang lebat.

(5)

itu, ia menunjukkan selendang itu sambil bertanya “inikah selendang yang kamu maksud?” (en mo selendang mi ndia?) Lalu Nantampukmas menganggukkan kepalanya untuk mengatakan “iya” (ue en mo). Pendek cerita, kemudian Nantampukmas ingin pamit kepada Tagandera, karena ia masih harus mencari kayu Baja Lentik, namun Tagandera tidak mengijinkannya, Tagandera berkata “ini sudah sore, lebih baik kita mencarinya besok saja, aku sudah tau dimana letak kayu Baja Lentik yang terbaik yang ada di hutan ini.” (en nggo bon ari, lotin mo baremben

silului, nggo kubettoh barang idike bekkas ni kayu baja lentik si mendena i rambah en).

Keesokan harinya mereka pun pergi mencari kayu Baja Lentik tersebut. Akan tetapi, setelah kayu Baja tersebut ditemukan, Nantampukmas malah tidak ingin kembali, malahan menjadi betah tinggal di hutan tersebut bersama Tagandera. Setelah mendapat ijin dari Tagandera, Nantampukmas pun memutuskan untuk tinggal bersama Tagandera di hutan tersebut, dan Taganderapun selalu menafkahi Nantampukmas.

Suatu ketika, Nantampukmas rindu kepada orangtuanya, namun dia tidak tahu lagi kemana arah jalan menuju desanya, ia pun menyuruh Tagandera untuk memanjat pohon yang paling tinggi dengan maksud agar bisa melihat dimana desa tempat tinggal Nantampukmas itu berada. Setelah mengetahui, mereka pun berangkat menuju desa itu, namun ditengah perjalanan, Tagandera berhenti, dan dia berkata kepada Nantampukmas, “kamu sajalah yang pergi, aku disini saja, aku takut digigit anjing” (ko mo laos, isen mo aku, aku mbiar i sarut biang), lalu Nantampukmas berusaha untuk membujuknya, dia berkata “aku akan membuatkanmu kain, agar

(6)

kamu kelihatan seperti manusia.” (kubain pe abit mu, asa I idah deba ko bage jlma), namun Tagandera tetap tidak mau, tetapi Nantampukmas tetap membujuknya, dan setelah beberapa lama, akhirnya Tagandera pun mau, namun mereka menyepakati bahwa Tagandera tidak akan ikut sampai kerumah, dia akan menunggu di tepi hutan. Sesuai kesepakatan mereka, akhirnya hanya Nantampukmaslah yang datang kerumah. Sesampainya di rumah, Nantampukmas mendapati ayahnya sedang sakit parah, dan kata dukun Nantampukmas bisa menyembuhkan ayahnya jika dia mampu mengambil daun Galunggung dan beberapa jenis daun lainnya dari hutan untuk dijadikan ramuan. Lalu Nantampukmas pergi menjumpai Tagandera dan menyuruhnya untuk mengambil dedaunan yang dimaksud, kemudian Tagandera pergi ke hutan. Beberapa lama kemudian Tagandera kembali menemui Nantampukmas dengan membawa daun yang telah dipesannya. Setelah daun itu diolah menjadi ramuan oleh dukun, akhirnya ayahnya pun sembuh. Setelah ayahnya sembuh, Nantampukmas kembali menjumpai Tagandera di tepi hutan, ia bermaksud memperkenalkan Tagandera kepada keluarganya, namun Tagandera tidak mau, ia takut bahwa ia akan digigit oleh anjing, tetapi setelah beberapa kali dibujuk, Tagandera akhirnya mau. Namun belum sampai dirumah, Tagandera langsung dihadang oleh beberapa ekor anjing, dan menggigitnya, Nantampukmas berusaha melepaskan Tagandera dari terkaman anjing-anjing tersebut. Setelah lepas, Tagandera langsung berlari ke tepi hutan ke tempat ia sebelumya menunggu dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Lalu Nantampukmas menemui Tagandera tersebut, dan kembali mengajaknya kerumah, namun Tagandera tidak mau, ia berkata “sudahlah, kamu saja yang pergi, jangan khawatirkan aku, aku pasti akan sembuh..” (nggo mo, ko sambing mo laus mi si,

(7)

ulang ko roga mendahi aku, aku pasti njuah). Seraya meminta maaf, lalu

Nantampukmas menangis dan memeluk Tagandera, dan tanpa sengaja airmata dari Nantampukmas mengenai pipi dari Tagandera. Setelah Tagandera tahu bahwa airmata Nantampukmas mengenai tubuhnya, ia pun berkata kepada Nantampukmas “sudahlah, berhentilah menangis, pergilah dan jangan temui aku hingga 7 hari 7 malam, aku akan baik- baik saja, pergilah.. dan jika kamu menemuiku setelah 7 hari 7 malam, kamu akan menemuiku dalam bentuk manusia.. ”,(nggo mo, ulang ne ko dak

tangis, lako mo laos, janah ulang lbbe jumpai aku pituh ari pituh mberngin en, aku pasti njuah,laos mo ko.. mlla ko no menjumpai aku nggo kessa pitu ari pitu mberngin, jumpannmu mo aku nggo mulak jadi jelma). Nantampukmas tidak percaya atas apa

yang telah diucapkan oleh Tagandera, tapi ia tetap pergi ke rumah meninggalkan Tagandera.

Setelah 7 hari 7 malam, Nantampukmas pergi menemui Tagandera. Dia terkejut melihat Tagandera tidak ada, yang ada hanyalah seorang lelaki tampan, lalu lelaki itu bertanya kepada Nantampukmas “mengapa kamu heran, bukankah aku sudah cerita kepadamu bahwa aku akan menjadi seorang manusia? Inilah aku, aku bukan seekor kera lagi” (kasa ko llngang, tang nggo ku toriken bamu bahwasana aku mulak menjadi jelma? En mo aku, aku oda sada bodat ne ), lalu karena rasa

senangnya, Nantampukmas mengajaknya ke rumah, dan Tagandera mau dengan syarat mereka berdua harus menginjak kepala keenam kakak dari Nantampukmas untuk melampiaskan rasa kesal Nantampukmas kepada keenam kakaknya, akhirnya setelah melalui persetujuan dari ayahnya, Nantampukmas dan Tagandera pun berangkat ke rumah dan menjadikan kepala keenam kakaknya sebagai tangga menuju

(8)

rumah tersebut, dan akhirnya mereka menikah dan mengadakan pesta yang meriah selama 7 hari 7 malam.

Dari cerita ini, oleh masyrakat Pakpak diyakini bahwa keturunan merekalah yang menjadi suku Pakpak. Cerita ini diceritakan langsung oleh Elon Boangmanalu (54 th ).

Selain cerita foklor di atas, terdapat beberapa pendapat tentang suku Pakpak, diantaranya adalah: Survei Monografi Kebudayaan Pakpak-Dairi di Kabupaten Dairi (1995) menyatakan bahwa orang Pakpak berasal dari India Selatan, hal ini dilihat dari pemakaian kunyit sebagai bumbu masakan (nasi kuning yang disebut juga dengan

Pelleng ) di daerah Pakpak. Kunyit sangatlah memiliki peranan penting di masyarakat

Pakpak, tak hanya untuk bumbu makanan, tetapi juga digunakan sebagai ramuan obat tradisional, begitu juga di India bagian Selatan, mereka menggunakan kunyit dalam beberapa penyajian obat tradisional dan juga sebagai bumbu pada makanan. Selain kunyit, kesamaan suku Pakpak dengan masyarakat India Selatan juga ditemukan dalam hal pembakaran mayat. Seperti halnya di India, pembakaran mayat pun dilakukan oleh masyarakat Pakpak pada jaman dulu, yakni oleh merga-merga tanoh (para raja dan pendiri desa), namun kebiasaan membakar mayat telah dihilangkan saat ini di masyarakat Pakpak, dan terakhir kalinya pembakaran mayat dilakukan pada tahun 1953 (Depdikbud, 1977:78).

Sementara hal yang sama juga diungkapkan oleh Mansehat Manik, bahwa nenek moyang suku Pakpak berasal dari India, namun kesamaannya dilihat dari kain selendang adat (oles martonjong) yang hampir mirip dengan pakaian tradisional di India.

(9)

Dalam buku Sejarah Batak yang ditulis oleh Batara Sangti (1977:78), disebutkan bahwa perkembangan suku Batak di Sumatera Utara, termasuk masyarakat Pakpak didalamnya tidak terlepas dari pengaruh kedatangan orang India beragama Hindu yang datang dari India dengan jumlah 1500 orang pada tahun 1088 Masehi. Mereka diduga menyebar dari Barus ke pedalaman Kabupaten Dairi yang akhirnya menetap disana setelah mengalami beberapa pergolakan pada masa itu.

Sementara Patolomeus dari Yunani (tahun 150) mengatakan bahwa kedatangan orang India ke Sumatera Utara saat itu dikarenakan oleh kapur barus (keburun) dan juga kemenyan (kemenjen) yang berada di Barus memiliki kualitas yang sangat bagus, oleh karena kualitasnya yang sangat bagus maka harganya pun pada saat itu sangatlah mahal, yakni delapan kali lipat dari harga kapur barus dan juga kemenyan yang berasal dari daerah lain, hal inilah yang menyebabkan para pedagang yang berasal dari india terpaksa harus turun ke asalnya, yaitu Barus. Sejarah Batak (1977:79).

Tidak hanya dari India, ternyata kapur barus dan kemenyan yang berasal dari Barus ternyata juga ikut diburu oleh masyarakat Tionghoa, Kairo (Mesir), dan juga dari Eropa. I Tsing dalam tulisannya menyebutkan bahwa Barus dikenal dengan nama P’o-lu-shih, dan mereka telah mengenal kapur barus dari kota Barus sejak dari awal abad pertama Masehi. Sama halnya dengan masyarakat India, orang Tionghoa juga ikut ambil bagian dalam perdagangan kapur barus dan juga kemenyan dari kota Barus, hal ini dibuktikan dari adanya beberapa kuburan (makam) tua milik tionghoa yang dapat diumpai di kota Salak, Kabupaten Pakpak Bharat. Pakpak (hiden culture) (1990 : 72).

(10)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedatangan orang asing dari luar negeri ke Sumatera Utara khususnya ke kota Barus dan Dairi dapat dijadikan sebagai ulasan tentang asal-usul masyarakat Pakpak.

2.2 Sistem Kekerabatan pada Suku Pakpak

Seperti halnya dengan suku Batak yang lain, suku Pakpak juga memiliki marga (merga, klen) sebagai identitas mereka, merga pada suku Pakpak didapatkan dari orang tua laki-laki (garis keturunan diturunkan oleh ayah atau patrilineal).

Ada sekitar lima puluh tiga jenis merga yang tersebar diantara suku Pakpak, dan setiap merga tersebut memilki kampung masing-masing yang juga mereka sebut sebagai kuta atau lebuh. Merga yang pertama untuk mendirikan dan berada di sebuah

kuta (lebuh) disebut sebagai merga tanoh, sedang orang bermerga lain yang

mendatangi tempat itu dan tinggal disana disebut sebagai ginemgen atau merga penumpang (G. Colleman, 1983:97).

Kuta atau lebuh yang merupakan daerah lingkungan merga tanoh akan selalu

dipimpin oleh seorang pertaki atau sipande taki, yakni orang yang mampu dan bijaksana untuk mengambil sebuah keputusan yang diwariskan oleh merga-merga

tanoh secara turun-temurun. Secara hukum adat, setiap pertaki harus berdaulat penuh

terhadap wilayah dan masyarakatnya; yaitu mengatur tata kehidupan rakyatnya, baik didalam maupun diluar wilayah tanah (tanoh) kekuasaannya (perkampungannya). Hal ini berlangsung secara terus menerus hingga masa penjajahan Belanda terjadi di kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat.

(11)

Pada masa itu, untuk menjalankan tugas-tugasnya, seorang pertaki biasanya dibantu oleh permangmang, yakni pengetuai dari kelompok merga yang sama. Dalam kesehariannya, permangmang akan memilki tugas khusus dalam sistem peradatan dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pertanian yang pada saat itu masyarakat Pakpak hidup dari usaha mereka di bidang pertanian.10

1. Puang (Kula-kula), yakni merupakan keluarga dari istri kelompok Untuk mengatur tata hubungan antar masyarakat, kedudukan seseorang terhadap orang lain diatur dalam satu sistem kekerabatan sosial yang terdiri dari :

merga pemberi istri,

2. Berru, yaitu kelompok penerima istri,

3. Dengan Sibeltek, yaitu kelompok garis keturunan satu merga.

Sistem kekerabatan ini akan sangat berpengaruh dan tercermin dalam menjalani aspek kehidupan bermasyarakat baik dalam melaksanakan upacara adat

reedual maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari. Namun sistem kekerabatan di

atas bukanlah berlaku secara permanen terhadap satu merga, artinya kita harus menyesuaikan merga kita dengan merga yang mengadakan upacara adat.

Selain hubungan sosial yang berasaskan ketiga golongan kekerabatan fungsional di atas, terdapat juga sistem kekerabatan pembagian nan lima atau disebut

10

Ada beberapa upacara yang berkaitan dengan pertanian pada suku Pakpak pada jaman dahulu yang harus dipimpin langsung oleh pemangmang, yaitu : Menoto, yakni membuka hutan untuk membuat ladang yang baru sebagai lahan pertanian ; mendegeruruk (upacara menanam untuk pertama, kegiatan ini dimulai oleh kelompok permangmang ) ; merani, yaitu upacara syukuran

(12)

juga dengan istilah Sulang si lima. Sulang si lima ini direalisasikan dengan cara pembagian jukut, yaitu daging kerbau atau lembu atau hewan kurban lainnya yang telah dipotong-potong sesuai dengan konteks penyembelihan dalam upacara adat.

Pembagian daging ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten, yaitu pihak yang melaksanakan upacara. Puang akan menerima bagian daging hewan seperti dada atau paha, dengan sibeltek akan menerima bagian badan, sementara berru akan mendapatkan bagian dari daging tertentu seperti kaki atau leher. Bagian kepala dari hewan yang disembelih akan diberikan kepada ketua suku atau pimpinan adat (permangmang/pertaki) dan sisanya adalah untuk petugas yang membagi sulang. (Muhammad Takari, Dkk, Masyarakat Kesenian di Indonesia : 73).

2.3 Sistem Kepercayaan

Suku Pakpak memiliki jenis kepercayaan tersendiri, kepercayaan itu juga disebut dengan agama vambi, agama vambi ini tidaklah percaya kepada nabi, melainkan percaya terhadap kekuatan ghaib pada tempat-tempat tertentu, mereka juga mempercayai dewa dan juga roh-roh nenek moyang mereka. Agama vambi ini masih tetap ada hingga sampai saat ini meski agama wahyu seperti islam dan Kristen sudah lama disebarkan memasuki suku Pakpak sendiri, memang agama vambi ini tidak lagi memiliki banyak umat, dan rumah ibadah merekapun sudah mulai sulit untuk ditemui, menurut Atur P. Solin agama ini sudah semakin tidak dikenal lagi, dan saat ini pemeluk dan rumah ibadah dari agama vambi hanya ada di jumpai di daerah Aceh

(13)

Singkil dan juga Aceh Tenggara. Konsep agama vambi sendiri adalah konsep keercayaan yang mempercayai adanya alam Ghaib, dimana alam ghaib tersebut dibagi kedalam tiga bagian, yaitu Batara Guru (dewa pencipta), Tunggul ni Kuta (dewa penjaga kampung), dan Beraspati ni tanoh (dewa yang menguasai tanah), selain ketiga dewa tersebut, masyarakat Pakpak juga memiliki dan mempercayai bahwa adanya dewa yang lain, seperti Sinaga lae (dewa penguasa air), Jandi ni mora, yaitu dewa penguasa dan penjaga udara, dan Mbarla, yakni mahluk ghaib yang menguasai ikan di dalam air. Semua dewa yang telah disebut di atas adalah merupakan dewa-dewa yang sangat dihormati oleh masyarakat Pakpak dahulu kala atau penganut agama vambi saat ini.11

Pada awal abad ke 19, tepatnya pada tahun 1908 agam Islam mulai memasuki masyarakat Pakpak, agama Islam ini sendiri dibawakan oleh Tuan Pakih Brutu dari daerah Aceh. Pada awalnya penyebaran agama Islam ini adalah bersifat merangsang, yakni selalu memberikan rangsangan terhadap orang banyak dengan mempertunjukkan kekuatan ghaib, seperti menggerakkan batu, kayu, atau besi yang diletakkan di atas tanah. Sementara itu agama Kristen mulai disebarkan di daerah Pakpak pada tahun 1911, penyebaran agama Kristen sendiri di daerah Pakpak diawali dengan terbukanya jalan bagi pedagang- pedagang dari Tapanuli Utara yang datang berdagang ulos ke daerah Simsim. Kegiatan ini berlangsung setelah meninggalnya

(14)

Sisingamangaraja XII di Pearaja, Kelasen pada tahun 1907. Muhammad Takari, Dkk, Masyarakat Kesenian di Indonesia (2008 : 72).

2.4 Gambaran dan Bentuk Umum Pedesaan

Jika sekelompok orang dari merga yang sama mendirikan sebuah perkampungan, maka secara otomatis mereka akan menjadi merga tanoh (pemilik desa, pemilik tanah) dan pertaki (penguasa) bagi desa yang baru itu. Desa pertama yang menjadi asal muasal perkembangan desa selanjutnya disebut lebuh. Lebuh biasanya akan ditandai dengan mendirikan pemukiman kecil berbentuk persegi yang dibangun berdekatan dengan sungai (lae), persegi tersebut dikelilingi oleh parit yang ditumbuhi oleh bambu (buluh), didalamnya terdapat sederetan rumah besar (bages

jojong) dan rumah yang lebih kecil (sapo) yang terletak di kanan dan kirinya.

Berhadapan dengan deretan rumah tersebut terdapat sebuah balai besar (bale

silindung bulan). Balai ini memiliki ukuran yang besar, dibentuk dengan tanpa

dinding. Sehari-harinya balai ini akan digunakan oleh para pria bercengkrama untuk menghabiskan waktu luang mereka. Namun tujuan utama dari balai ini adalah sebagai tempat bermusyawarah tentang kehidupan sosial desa. Diantara bangunan-bangunan tersebut, mereka juga membuatkan lapangan untuk bermain-main bagi anak-anak serta sebagai tempat untuk melakukan upacara adat.

Sebuah desa yang besar akan ditandai dengan adanya mejan (patung manusia menunggangi gajah) yang terletak di depan gerbang lebuh. Selain mejan, desa yang besar juga akan memiliki pohon beringin sebagai tempat cibalen, persilihi (sesajen)

(15)

dan pengulu balang (sebuah patung yang telah diisi dengan kekuatan magis / telah diberi mantra) sebagai penjaga desa yang diletakkan secara berdampingan. Di bagian belakang desa, biasanya terdapat geriten (makam, kuburan) untuk tempat anggota masyarakat yang meninggal dikuburkan. Fischer (1960:61) mengatakan bahwa bentuk seperti ini adalah suatu dunia yang tertutup, akan tetapi juga merupakan suatu kesatuan yang yang hidup, tempat orang diam bersama, juga tempat anak-anak mereka melihat dunia dan tempat meninggal yang mereka harapkan.

Apabila satu lebuh tidak mampu lagi menampung jumlah penduduk yang semakin bertambah, maka masyarakat secara bersama-sama dan atas persetujuan

pertaki, permangmang, dan guru (orang pandai) akan mencari perkampungan (kuta perbekasen) yang lebih luas disekitar wilayah yang menjadi bahagian dari lebuh

tersebut. Jika semakin banyak kuta penyebaran dari lebuh, maka semakin makmur (beak, gabe) pulalah merga tanoh itu, dan dengan sendirinya mereka telah mengangkat harkat dan martabat raja itu dihadapan masyarakat dan desa tetangga.

(16)

Gambar 1: Bentuk dan posisi sebuah lebuh pada Suku Pakpak. Keterangan :

1. Bages jojong, tempat tinggal pertaki (pemimpin suku),

2. Bagas atau sapo, rumah tempat tinggal sibeltek (saudara serumpun dari

pertaki),

3. Bale silindung bulan, yaitu balai pertemuan milik warga desa,

4. Mejan, yaitu patung kepala suku yang terbuat dari batu, berbentuk gajah yang ditunggangi oleh kepala suku tersebuat,

5. Pengulu balang, yaitu patung menyerupai manusia yang juga terbuat dari batu, diyakini memiliki kekuatan untuk menjaga kampung,

6. Pohon beringin yang mereka sebut Siraja onggu-onggu berfungsi sebagai tempat sesajen kepada leluhur mereka,

7. Geritten, jerro, kuburan yang terletak dibelakang desa, 8. Pintu gerbang desa.

2.5 Mata Pencaharian

Hingga saat ini, bercocok tanam merupakan mata pencaharian yang paling pokok bagi warga masyarakat Pakpak Bharat. Setiap keluarga dari semua lapisan

(17)

masyarakat memiliki tanah, baik sebagai ladang, kebun, maupun sebagai sawah yang dijadikan sebagai lahan untuk bercocok tanam.

Berbeda dengan sawah, ladang atau juma hanya dapat diusahai oleh penduduk tanpa sedikitpun mempunyai hak untuk memilikinya. Seluruh tanah kering adalah hak milik dari merga tanoh (kelompok marga pendiri kampung). Untuk menentukan daerah pertanian seperti untuk membuka hutan untuk perladangan akan ditentukan oleh raja tanoh (permangmang) melalui satu upacara yang disebut menoto. Begitu juga dengan hal penetapan hari penanaman, haruslah dilaksanakan secara adat yang juga ditetapkan oleh permangmang, baik dalam hal pembagian maupun dalam hal luas daerah masing-masing.

Selain bersawah, masyarakat Pakpak di Kabupaten Pakpak Bharat juga menanam kopi, kemenyan, dan karet sebagai tanaman mereka.

Gambar

Gambar 1: Bentuk dan posisi sebuah lebuh pada Suku Pakpak.

Referensi

Dokumen terkait

Bencana banjir bandang yang terjadi di Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 2 November 2003 sekitar pukul 22.00 WIB

Ketujuh sektor jasa-jasa dengan pertumbuhan perekonomian tahun 2009 adalah 6,56 persen, kontribusi sektor ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya,

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kedatangan orang-orang Belanda ke Sumatera Timur sejak akhir abad ke-19, baik untuk menjalankan pemerintahan kolonial maupun

Selain hal tersebut juga dapat digambarkan bahwa di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2012 Kabupaten/Kota yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang

Untuk itu laboratorium Proses manufaktur Departemen Teknik Industri Universitas Sumatera Utara telah mempersiapkan bahan-bahan yang digunakan sebelum melakukan proses

Zul Alinur adalah salah satu tenaga pengajar musik tradisi Minangkabau di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, terkadang juga penulis berjumpa dengan Bapak Zul

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 830/II/GSU Tahun 1976 tanggal 7 Oktober 1976 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Sumatera

Beberapa kawasan rawan gelombang pasang (rob) dan abrasi pantai adalah Kecamatan Singkil meliputi Kampung Pulau Sarok, Kecamatan Singkil Utara meliputi Kampung Gosong Telaga Selatan,