• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. digunakan mengenai penelitian ini, serta studi literatur, dokumen maupun. Tabel 2.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. digunakan mengenai penelitian ini, serta studi literatur, dokumen maupun. Tabel 2."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Tinjauan Peneliti Terdahulu

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai teori-teori yang digunakan mengenai penelitian ini, serta studi literatur, dokumen maupun arsip yang mendukung. Hal ini dilakukan guna memperkokoh bangunan penelitian yang berkaitan dengan konstruksi makna dan menggunakan pendekatan fenomenologi. Berikut ini peneliti temukan hasil penelitian terdahulu yang meneliti tentang penelitian sejenis yang ditampilkan dibawah ini:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Uraian

1 Nama Citra Abadi Winda

Septiana Avedriani Nuranti Dennis K. Mumby Agista Prayana 2 Universitas Universitas Komputer Indonesia Universitas Komputer Indonesia Universitas Padjadjaran D. Southern Illinois Univ Universitas Komputer Indonesia 3 Tahun 2013 2014 2010 1989 2019 4 Judul Penelitian Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita di Kota Konstruksi Makna Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Konstruksi Makna Merk Eiger di Kalangan Konsumen Perempuan Anggota Ideology & The Social Construction of Meaning: A Communicati on Konstruksi Makna Tokoh Semar

(2)

Bandung Komunitas Pelanggan Eiger di Bandung Perspective 5 Maksud Penelitian Untuk mengetahui bagaimana konstruksi makna sosialita bagi kalangan sosialita di Kota Bandung Untuk mengetahui konstruksi makna Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Untuk mengetahui konstruksi makna merk Eiger di kalangan perempuan anggota Eiger Adventures Community (EAC) This paper examines the role of ideology in the social construction of meaning. It is argued that while interpretive philosophical frameworks have attributed a constitutive function to the role of communicatio n in meaning construction, little attention has been paid to the ways in which social relations of power mediate in this process of meaning creation. Ideology, however, is a useful heuristic concept which provides a way of contextualizin g the communicatio n process Untuk mengetahui konstruksi makna Tokoh Semar bagi dalang di Padepokan Giri Harja

(3)

within such power relations. It is argued that communicatio n involves not only the process of creating meaning, but is also intrinsic to the means by which relations of domination are produced and reproduced. The notion of ideology is presented as the conceptual link between communicatio n and power. 6 Metode Penelitian Fenomenolo gi

Fenomenologi Fenomenologi Descriptive Fenomenologi

7 Hasil Penelitian Nilai sosial yang dijadikan sebagai pedoman untuk memaknai tentang makna sosialita adalah informasi dari hasil interaksi yang Memaknai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bagi Anggota MPR RI Periode 2009-Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan anggota komunitas pelanggan Eiger secara memaknai merek eiger sebagai aman, nyaman, efektif dan efisien, peduli This paper lays out a conceptual framework which focuses on the relationships among culture, meaning, and ideology from a communicati on Makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan fenomena sosial. Makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih dari sekedar

(4)

dilakukan dengan lingkungan sosial dan pengalaman yang dimiliki, karena hal itu dinilai memberikan pengetahua n tentang makna sosialita bagi sosialita. Motif menjadi sosialita adalah ingin dikenal oleh banyak orang dengan status sosial yang tinggi, ingin eksis untuk kepentingan individual berupa bisnis, relasi dan sebagainya, serta ingin menjadi orang yang berpengaruh positif bagi orang lain. Pesan artifaktual yang digunakan adalah penampilan 2014, dengan mengetahui nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang bertujuan untuk kedamaian, keimanan, ketaqwaan, keadilan, kesejahteraan, mufakat, keselarasan, persatuan dan kesatuan. Motif untuk meneruskan para pejuang bangsa dan untuk mensejahterak an bangsa Indonesia, kini lebih mementingkan kepentingan individu dan golongan dengan wacana untuk mensejahterak an rakyat. Serta pengalaman dari berbagai kegiatan formal dan nonformal dalam memaknai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan lingkungan dan estetika. Mereka mersa dengan memakai Eiger mereka maskulin, tangguh dan seperti petualang sejati. Mereka juga telah memakai Eiger perspective. It has been argued that a critical approach provides important insights into the ways in which human social relations are structured. Meaning is not reducible to individual interpretive processes, nor does it exist independentl y in a stable, immutable social, world. Rather, it is constituted through the communicati ve interaction of humans in a semiotic environment. This process of meaning construction is the product of the complex interplay of power relationships that characterizes all social collectives. A dominant penafsiran dan pemahaman seorang individu. Dengan adanya nilai seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus bertingkah laku agar tidak menyimpang dari norma yang ada.

(5)

dengan pakaian yang elegant dan diamond sebagai ciri khas sosialita. Pengalaman menjadi sosialita adalah bekerjasama dengan pihak tertentu dalam sebuah event party, launching sebuah brand dan geust star di acara event party. Selain itu membentuk organisasi yang bertujuan untuk kontribusi positif bagi lingkungan sosial. Bernegara tidak membuat perubahan besar untuk membuat bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Dilihat dari cara memaknai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang diaplikasikan didalam kegiatan sehari-hari oleh anggota MPR RI untuk memajukan dan mensejahterak an masyarakat Indonesia, dengan berideologikan Pancasila, berlandaskan konstitusi UUD NKRI Tahun 1945, berkomitmen kebangsaan akan keutuhan NKRI, dan menghargai serta menjunjung tinggi kemajemukan bangsa dalam semboyan Bhinneka social group is therefore that group which is best able to ideologically structure the process of signification such that its own interests are served. However, such ideological meaning formations are never monolithic and all-encompassin g. For every dominant reading of a communicati ve event, there is always an alternative, oppositional interpretation which resists appropriatio n into the existing hegemonic system

(6)

Tunggal Ika. 8 Perbedaan dengan penelitian sebelumnya Perbedaan peneliti terdapat pada objek penelitian dan lokasi penelitian Perbedaan peneliti terdapat pada objek penelitian dan lokasi penelitian Perbedaan peneliti terdapat pada objek penelitian dan lokasi penelitian Perbedaan peneliti terdapat pada metode penelitian dan objek penelitian Perbedaan peneliti terdapat pada objek penelitian dan lokasi penelitian Sumber: Peneliti 2019

2.1.2 Tinjauan Tentang Konstruksi Makna 2.1.2.1 Makna

Menurut A.M. Moefad, “pengerti mendefinisikan sebagai, “kemampuan total untuk mereaksi terhadap bentuk linguistik”.

Konstruksi makna yaitu sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensor mereka untuk memberikan arti bagi lingkungan mereka.

Pembentukan makna adalah berfikir, dan setiap individu memiliki kemampuan berfikir sesuai dengan kemampuan serta kapasitas kognitif atau muatan informasi yang dimilikinya. Oleh karena itu, makna tidak akan sama atas setiap individu walaupun objek yang dihadapinya adalah sama. Pemaknaan terjadi karena cara dan proses berfikir adalah unik pada setiap individu yang akan menghasilkan keragaman dalam pembentukan makna.

A. Memahami Makna

Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi,

(7)

sosiologi, antropologi, dan linguistik. Itu sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1944:6), misalnya, menyatakan, “Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.” Juga Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson (1979:3), “Komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna”.

Lebih dari 2000 tahun, menurut Fisher (1986), konsep makna telah memukau para filsuf dan sarjana-sarjana sosial. “Makna”, ujar Spradley (1997), menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia disemua masyarakat”. Tetapi, “apa makna dari makna-makna itu sendiri?” “Bagaimana kata-kata dan tingkah laku serta objek-objek menjadi bermakna?” dan “Bagaimana kita menemukan makna dari berbagai hal itu?” Pertanyaan ini merupakan salah satu problem besar dalam filsafat bahasa dan semantic general.

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of Meaning, Ogden dan Richard (1972:186-187) telah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik.

(8)

Model proses makna Wendell Johnson yang di kutip oleh Sobur, (2013:258) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antar manusia, yaitu:

a) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita gunakan untuk mereproduksi, dibenak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

b) Makna berubah. Kata-kata relative statis, banyak dari kata-kata yang digunakan sejak 200-300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah dan khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.

c) Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bila mana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

d) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan yang

(9)

berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian dan perilaku dalam dunia nyata.

e) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata-kata, sesuatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna.

Makna dikomunikasikan hanya sebagaian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.

2.1.3 Konstruksi Realitas Sosial

Konstruksi sosial (social construction) merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut Berger, realitas social eksis dengan sendirinya dan struktur dunia social bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya (Kuswarno, 2009:111).

Berger memiliki kecenderungan untuk menggabungkan dua perspektif yang berbeda, yaitu perspektif fungsional dan interaksi simbolik, dengan mengatakan bahwa realitas sosial secara objektif memang ada (perpektif fungsionalis), namun maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu dengan dunia objektif (perspektif interaksionalis simbolik). (Poloma dalam Kuswarno, 2000:299).

Didalam penelitian ini peneliti berusaha mengungkapkan makna Karakteristik Tokoh Semar. Pemaknaan yang diberikan oleh dalang

(10)

mengenai Karakteristik Tokoh Semar (akualitatif), dibutuhkan sebuah landasan yang mendasari penelitian agar lebih terarah terhadap makna karakteristik Tokoh Semar.

Dalam studinya, Bungin dalam buku Filsafat Komunikasi (2013: 71) memaparkan:

“Ketika Berger dan Luckman menjelaskan mengenai konstruksi realitas sosial maka konstruksi sosial yang dimaksud adalah sebuah proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang terjadi antara individu di dalam masyarakat. Ketiga proses di atas terjadi secara stimultan membentuk dialektika, serta menghasilkan realitas sosial berupa pengetahuan umum, konsep, kesadaran umum, dan wacana publik. Dalam pandangan Berger dan Luckmann, konstruksi sosial itu ialah realitas sosial yang berupa realitas objektif, subjektif, maupun simbolis. Sedangkan materi realitas sosial itu adalah konsep-konsep kesadaran umum dan wacana publik.” (Bungin, 2008:212).

Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melewati konsep dialektika, yang dikenal dengan internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi.

1. Internalisasi yakni individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product”.

2. Eksternalisasi yakni penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”.

(11)

3. Objektivasi yakni interaksi sosial dalam dunia interubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.

Melalui proses internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi anggota masyarakat. Dalam tradisi psikologi sosial, Berger dan Luckmann (1966) sebagaimana yang dikutip oleh Margaret Poloma menguraikan:

“Sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu dimasa kecil, disaat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial obyektif. Individu berhadapan dengan orang lain yang cukup berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua), dan bertanggung jawab terhadap sosialisasi anak. Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang cukup berpengaruh itu dianggap oleh si anak sebagai realitas obyektif.” (Margaret, 1979:304)

Karena realitas yang ada tidak mungkin diserap dengan sempurna maka si anak akan menginternalisir penafsiran terhadap realitas tersebut. Setiap orang memiliki versi realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia obyektif. Dengan demikian Berger dan Luckmann menekankan eksistensi realitas sosial berganda. Berger dan Luckmann (1966) menyatakan:

“Realitas objektif dapat langsung diterjemahkan ke dalam realitas subyektif, dan begitu pula sebaliknya. Menurut mereka realitas subyektif dan obyektif memang bersesuaian satu sama lain, tetapi selalu ada realitas yang “lebih” obyektif yang dapat diinternalisir oleh seorang individu saja.” (Margaret, 1979:305)

Yang dapat disimpulkan bahwa seseorang individu memiliki realitas ”subyektif” yang tentunya akan berbeda dengan individu lainnya walaupun mempunyai kesamaan saat memahami realitas obyektif.

(12)

Eksternalisasi, merupakan proses dimana semua manusia yang mengalami sosialisasi yang tidak sempurna dan secara bersama-sama membentuk realitas baru dan individu menyesuaikan dirinya didalam konteks sosial.

Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karekteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi), internalisasi dan objekvikasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari ataupun secara sederhana, eksternalisasi ini dipengaruhi oleh stock of knowledge yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge.

Terbetuknya realitas obyektif bisa melalui legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivikasi makna, karena selain menyangkut penjelasan juga mencangkup nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektifikasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif.

Menurut Peter L. Berger dan Luckmann (1979) disisi sebaliknya, masyarakat, yaitu individu-individu sebagai realitas subyektif menafsirkan realitas obyektif melalui proses internalisasi. Internalisasi berlangsung seumur hidup seseorang individu dengan melakukan sosialisasi. Individu berupaya untuk memahami definisi “realitas obyektif” akan tetapi lebih dari itu, individu ikut serta untuk mengkonstruksi pengetahuan bersama.

(13)

Jadi, individu merupakan aktor yang aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubahan masyarakat.

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.

2.1.3.1 Teori Konstruksi Realitas secara Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

Salah satu mahasiswa dari Alfred Schutz yang tertarik dengan pembahasan tentang konstruksi realitas sosial ialah Peter L. Berger. Berger mampu mengembangkan model teoretis lain mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk. Dia menganggap realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya. Dengan demikian, dia berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang ada (seperti pada perspektif fungsional), tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif (suatu perspektif interaksionalis).

Bersama dengan Thomas Luckmann, Berger menuangkan pikiran tentang konstruksi sosial dalam buku berjudul The Social Construction of Reality. Berger dan Luckmann dalam bukunya menyebutkan bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang repetitive, yang mereka sebut sebagai “kebiasaan” (habits). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang untuk mengatasi suatu situasi

(14)

secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini berguna juga untuk orang lain. Dalam situasi komunikasi interpersonal, para partisipan (“aktor” menurut Schutz) saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain, dan dengan cara seperti ini semua partisipan dapat mengantisipasi dan menggantungkan diri pada kebiasaan orang lain tersebut. Karena kebiasaan ini, seseorang dapat membangun komunikasi dengan orang lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe seseorang, yang disebut sebagai pengkhasan (typication). Dengan berjalannya waktu, kenyataan selanjutnya, beberapa kebiasaan menjadi milik bersama seluruh anggota masyarakat, maka terbentuklah sebuah lembaga (institution).

Institusi memungkinkan berkembangnya suatu peranan (roles), atau kumpulan perilaku yang terbiasa (habitual behavior) dihubungkan dengan harapan-harapan individu yang terlibat. Ketika seseorang memainkan suatu peranan yang dia adopsi dari perilaku yang terbiasa, orang lain berinteraksi dengannya sebagai suatu bagian dari institusi tersebut ketimbang sebagai individu yang unik. Pada institusi tersebut juga berkembang apa yang disebut sebagai hukum (law). Hukum ini yang mengatur berbagai peranan.

Dalam penelitian ini, dalang akan memaknai karakteristik Tokoh Semar dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif, pendekatan fenomenologi, serta menggunakan teori Konstruksi Realitas Sosial sebagai panduan dalam mengungkapkan pemaknaan karakteristik Tokoh Semar tersebut tentang nilai, pergeseran makna dan pengalaman dalam memaknai

(15)

karakteristik Tokoh Semar. Dibutuhkan kerangka pemikiran untuk mengembangkan konteks dan konsep penelitian lebih lanjut, sehingga dapat memperjelas konteks penelitian, metodologi, serta penggunaan teori dalam penelitian.

Pemaknaan yang diberikan oleh Dalang di Bandung Raya tentang “Tokoh Semar” sebagai objek penelitian, dipahami sebagai tolak ukur dalam mengaplikasikan apa yang menjadi nilai dan pandangan terhadap makna “Tokoh Semar” yang dipahami oleh Dalang.

Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan metodologi kualitatif, pendekatan studi fenomenologi, serta menggunakan teori konstruksi realitas sosial sebagai panduan dalam mengungkapkan pemaknaan “Tokoh Semar” tersebut tentang nilai “Tokoh Semar” bagi Dalang di Bandung Raya, serta pengalaman Dalang selama memaknai “Tokoh Semar”.

2.1.4 Tinjauan Tentang Karakteristik Tokoh 2.1.4.1 Pengertian Karakteristik

Karakter (watak) adalah kepribadian yang dipengaruhi motivasi yang menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak. (Sunaryo, 2004).

“Karakter (watak) adalah keseluruhan atau totalitas kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen). Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya unik atau berbeda”. (Sunaryo, 2004)

(16)

“Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk memberitahu satu terpisah dari yang lain, dengan cara bahwa orang tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah fitur karakteristik dari orang yang biasanya satu yang berdir di antara sifat-sifat yang lain.” (Sunaryo, 2004)

Setiap individu mempunyai ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan; karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu, terdapat keyakinan serta kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan.

Hal tersebut merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor yang terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi, makin disadari bahwa apa yang dirasakan oleh banyak anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan. “Natur dan nurture merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan. Sejauh mana seseorang dilahirkan menjadi seorang individu atau sejauh mana seseorang dipengaruhi subjek penelitian dan diskusi. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.” (Sunaryo, 2004)

2.1.4.2 Pengertian Tokoh

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan bahwa tokoh adalah pemegang peran atau tokoh utama (roman atau drama). Tokoh

(17)

dalam karya sastra yang diberikan dari segi-segi wataknya sehingga dapat dibedakan dari toko yang lain. Seorang pengarang dalam menciptakan tokoh-tokoh dengan berbagai watak penciptaan yang disebut dengan penokohan.

Dari beberapa pengertian tokoh di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tokoh adalah peran individu dalam sebuah cerita yang selalu dipandang pokok atau utama dalam membangun cerita secara utuh.

Hal ini menyebabkkan para pembaca merasakan/menghayati para tokoh, aneka konflik, berbagai unsur dalam suatu latar dan masalah-masalah kesemestaan manusia, juga dapat membantu pembaca mengalami kesenangan, keindahan, keajaiban, kelucuan, kesediahn, keharuan, ketidakadilan, dan kekurangajaran.

2.1.5 Tinjauan Tentang Wayang Golek

Wayang Golek merupakan kesenian wayang yang terbuat dari kayu. Kesenian Wayang Golek ini sangat populer di Jawa Barat khususnya di wilayah tanah pasundan.

Menurut beberapa sumber, sejarah Wayang Golek di mulai pada abad 17. Pada awalnya, kesenian Wayang Golek muncul dan lahir di wilayah pesisir utara pulau jawa. menurut legenda, Sunan kudus menggunakan Wayang Golek ini untuk menyebarkan agama Islam di masyarakat. Pada masa itu, pertunjukan Wayang Golek masih menggunakan bahasa jawa dalam dialognya. Kesenian Wayang Golek ini mulai berkembang di Jawa Barat pada masa ekspansi kesultanan mataram.

(18)

Wayang Golek mulai berkembang dengan bahasa sunda sebagai dialognya. Selain menjadi media penyebaran agama, Wayang Golek berfungsi untuk pelengkap acara syukuran atau ruwatan. Pada saat itu pertunjukan Wayang Golek masih tanpa menggunakan sinden sebagai pengiringnya. Wayang Golek mulai menggunakan iringan sinden pada 1920an. Hingga saat ini Wayang Golek terus berkembang sebagai hiburan bagi masyarakat terutama di tanah sunda.

Dalam pertunjukan Wayang Golek ini sama seperti pertunjukan wanyang lainnya, lakon dan cerita di mainkan oleh seorang dalang. Yang membedakan adalah bahasa pada dialog yang di bawakan adalah bahasa sunda. Pakem dan jalan cerita Wayang Golek juga sama dengan wayang kulit, contohnya pada cerita Ramayana dan Mahabarata. Namun yang membedakan adalah pada tokoh punakawan, penamaan dan bentuk dari punakawan memiliki versi tersendiri yaitu dalam versi sunda.

“wayang golek kebanyakan berpakaian jubah (baju panjang) tanpa digeraikan secara bebas dan terbuat dari kayu yang bentuknya bulat seperti lazimnya boneka. Banyak orang menyebut wayang ini dengan wayang tengul. Sumber ceritanya diambil dari sejarah, misalnya cerita Untuk Surapati, Batavia, Sultan Agung, Trunajaya, dan lain-lain. Wayang golek tidk menggunakan kelir seperti wayang kulit.” (Aizid, 2012)

Wayang Golek di Bandung Raya mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan ditentukan oleh manusianya itu sendiri. Proses perkembangan kesenian wayang tidak terbentuk langsung begitu saja dan tidak melalui beberapa tahapan.

(19)

Pertunjukan wayang yang populer di Bandung Raya adalah Wayang Golek. Wayang Golek merupakan kesenian tradisional Jawa Barat yaitu kesenian yang menampilkan dan membawakan alur sebuah cerita yang bersejarah. Wayang Golek sebagai seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi relevan dengan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Secara spiritual masyarakat mengadakan ruwatan guna menolak bala, baik secara komunal maupun individual dengan mempergunakan pertunjukan Wayang Golek.

Dalam catatan sejarah, munculnya Wayang Golek di Bandung diprakarsai oleh Dalem Karanganyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya (1829-1946).

“Kawitna teh wayang Beber, cenah 2000 taun sateuacan masehi wayang geus aya, nu ngawitan teh wayang beber. Wayang beber teh bentuk na gambar, ngagambar dina kulit, atau dina kai, diterangkeun ku dalang, siga nerangkeun dina komik. Tah mereun diguntingan tidinya teh jadi wayang kulit, tina wayang kulit kanu wayang golek”.

“Dulunya wayang Beber, katanya 2000 tahun sebelum masehi wayang sudah ada, yang pertama yaitu wayang beber. Wayang beber bentuknya gambar, menggambar di kulit, atau dari kayu, diterangkan oleh dalang, seperti menerangkan komik. Nah, kayanya digunting jadi wayang kulit, dari wayang kulit jadi wayang golek.”

(Sumber: Wawancara penelitian, Batara Sena 20 Mei 2019)

Sejarah tersebut menunjukan bahwa boneka kayu ini sangat berpengaruh besar di negeri ini. Saat ini wayang golek hidup beriringan dengan zaman, namun sedikit demi sedikit eksistensinya mulai terkikis. Hanya segelintir orang yang bisa mempertahankannya. Hal ini bisa dimaklumi jika dibandingkan dengan bermacam-macam benda yang serba canggih saat ini. Namun inilah fase yang sangat mengkhawatirkan, dimana benda bersejarah sangat banyak dilupakan.

(20)

2.1.6 Tinjauan Tentang Dalang

Dalang merupakan tokoh utama dalam perwayangan. Dalang merupakan penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dandi atas segalanya itu, dadalah pemberi jiwa pada boneka wayang. Fungsinya asal pertunjukkan wayangkulit untuk ritual- termasuk upacara bersih desa, perkawinan, sunatan, kelahiran, ruatan dan sebagainya. Karena kepentingan ritual, dalang dianggap oleh masyarakat pada umumnya mempunyai pengetahuan dan kekuatan yang khusus dan yang berbeda dari orang biasa.

Ward Keeler (1987) dalam bukunya "Javanese Shadow Plays, Javanese Selves", menekankan pesona dalang dalam kebudayaan Jawa. Dia berpendapat pesona itumuncul dari kekuatan dalang dan citra bayangan wayang kulit yang sukar ditangkap atau dipahami dan berlawanan asas” (Keeler 1987:268).

“Dalam artikel lain dia menulis, "bayangan merupakan sesuatu yang, pada waktu yang sama, ada tetapi tidak, nyata. Dalangnya juga, pada waktu yang sama, adalah tokoh yang mempunyai kuasamutlak tetapi juga tidak kelihatan" (Keeler 1991:21).

"Seorang dalang adalah bukan pemain biasa. Seorang dalang menyiapkan diri secara batin dan lahir sebelum sebuah pertunjukkan semalam suntuk dan sering mempertunjukkan dengan tidak sadarkan diri. Seharusnya, dalang itu bermoral tinggi, mempunyai kebijaksanaan dan berhubungan yang sangat dekat dengan dunia kebatinan; karena itu pendapat dan kata-kata dalangnya dianggap penting" (Ruth McVey, 1990: 38-9).

Secara tradisional, pengetahuan pewayangan dan pedalangan diwariskan dari bapak kepada anaknya, termasuk sifat-sifat batin.

(21)

Dalam penelitian ini, peneliti memilih dalang sebagai objek penelitian karena dalang dalam kehidupan sehari-harinya memiliki keunikan tersendiri yang menarik untuk diteliti.

Pemaknaan pribadi menjadi dalang menjadi pondasi dalam mendalang. Selain dalang sebagai profesionalitas, menjadi dalang adalah sebuah takdir dan kedudukannya sejajar dengan kyai yang selalu memberikan ajaran atau nasehat serta sekaligus ikut dalam melestarikan budaya daerahnya tesebut. Pemaknaan mengenai dirinya menjadi dalang dipengaruhi adanya kemampuan dalam memahami mengenai dirinya menjadi seorang dalang.

Kelayakan mendalang ini menjadi pondasi dalam hidupnya suatu pagelaran. Dalang harus bisa menempatkan diri sebagai tokoh masyarakat yang dapat menerapkan ajaran yang disampaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemaknaan dalang terhadap Tokoh Semar merupakan pamomong atau pembantu yang dihormati rajanya. Pemaknaan diri mengenai Tokoh Semar merupakan bukti yang masih berpegang teguh pada adat istiadat yang di tradisikan sejak dahulu, yang dimana masyarakat Pulau Jawa dikenal dengan kehidupan yang penuh dengan simbol-simbol dan hal yang berkenaan dengan mistik. Penampakan kehidupan didalam masyarakat Jawa dikemas dalam bentuk budaya dan seni.

“Hiji manusa anu euuu haus elmu matak mamawa endong semar, dunya ge bisa kasakuan ku eta endong teh hartina jelema ngelmu mah pasti kaelmuan ari ku lekeun mah”.

“salah satu manusia euu yang haus ilmu makannya bawa kantung Semar, dunia juga bisa masuk ke dalam kantung Semar artinya orang yang berilmu pasti keilmuan kalo rajin”. (Wawancara 20 Mei 2019).

(22)

Bagi Bhatara, tokoh semar merupakan sesosok yang diagungkan karena menjadi panutan atas sikapnya dan kekayaan akan ilmu yang dimilikinya bisa disebut sebagai gudangnya ilmu karena semar suka mempelajari hal baru.

“Semar teh jelema-jelema anu karakterna teh ikhlas, narima kaikhlasan. Dimana batur ngahina, batur nembongkeun ka geleuh ka urang, semar mah tara ngalawan. Manehna geleuh urang nyaah, manehna pedit urang berehan.”

“Semar itu orang-orang yang karakternya ikhlas, menerima keikhlasan. Dimana orang lain menghina, oranglain memperlihatkan kebencian ke kita, Semar jarang melawan. Dia benci kita sayang, dia pelit kita berbagi”. (Wawancara, 16 Juli 2019).

Serupa dengan yang dikatakan oleh Bhatara, Yogas juga mengatakan hal tersebut, Yogas berkata kalau semar merupakan panutan dan menjadi tokoh panutan karena karakternya yang ikhlas yang dimana sulit untuk mendapatkan hal tersebut. Semar dijadikan contoh karena sifat dalam karakternya semua itu baik. Seseorang akan belajar banyak dari yang mereka lihat, semar sebagai sosok yang dituakan juga bisa menjadi acuan bagi para penonton dan dalangnya sendiri.

Tokoh Semar mempunyai peran penting dalam kehidupan subjek. Berdasarkan analisis data subjek, Tokoh Semar di kehidupan sehari-hari menjadi figur yang penting untuk dipahami dan dihayati, karena Tokoh Semar ini dapat menjungjung tinggi harkat dan martabat, yang dapat mendorong subjek kearah yang lebih baik. Peran Tokoh Semar bagi kehidupan subjek merupakan bentuk kesadaran yang semakin mendalam.

(23)

2.2 Kerangka Pemikiran

Di dalam penelitian kualitatif, dibutuhkan sebuah landasan yang mendasari penelitian agar lebih terarah. Oleh karena itu dibutuhkan kerangka pemikiran untuk mengembangkan konteks dan konsep penelitian lebih lanjut, sehingga dapat memperjelas konteks penelitian, metodologi, serta penggunaan teori dalam penelitian.

Teori merupakan suatu pernyataan mengenai apa yang terjadi terhadap suatu fenomena yang ingin kita pahami. Teori yang berguna yaitu teori yang memberikan pencerahan, serta pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena yang ada didepan kita. Akan tetapi perlu dijelaskan sebagai suatu arahan atau pedoman penulis untuk dapat mengungkap fenomena agar lebih terfokus. Sekumpulan teori ini dikembangkan sejalan dengan penelitian itu berlangsung. Hal tersebut didasarkan pada suatu tradisi bahwa fokus atau masalah penelitian diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Penelitian kualitatif mementingkan perspektif emik, dan bergerak dari fakta, informasi atau peristiwa menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi (apakah itu konsep ataukah teori) serta bukan sebaliknya dari teori atau konsep ke data atau informasi.

Empat fungsi teori:

1. Menjelaskan atau memberi tafsir baru terhadap fenomena atau data.

(24)

3. Menghubungkan satu studi dengan yang lainnya.

4. Menyediakan kerangka yang lebih terarah dari temuan dan pengamatan bagi kita dan orang lain.

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan menggunakan Teori Konstruksi Realitas Peter L Berger sebagai panduan dari penelitian ini untuk lebih menggali secara mendalam bagaimana konstruksi sebuah makna.

Menjawab dari pertanyaan yang telah dipaparkan, studi fenomenologi dianggap tepat untuk mengkaji makna “Tokoh Semar” dimana fenomenologi mengkaji sesuatu yang nampak dengan pengalaman dan pemahaman yang dimiliki oleh Dalang sebagai aktor dalam dunia sosial. Jika diaplikasikan, proses konstruksi makna tentang karakteristik Tokoh Semar dapat digambarkan dalam sebuah kerangka pemikiran di bawah ini:

(25)

Model Alur Kerangka Pemikiran

Gambar 2.2 Sumber: Peneliti 2019

Makna Tokoh Semar Pada Wayang Golek

Fenomenologi Konstruksi Realitas

Sosial

Pergeseran Makna

Konstruksi Makna Karakteristik Tokoh Semar

Gambar

Tabel 2.1   Penelitian Terdahulu
Gambar 2.2  Sumber: Peneliti 2019

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan bahwa kuskus tergolong jenis hewan pemakan tumbuhan (herbivoral). Kuskus tergolong satwa marsupial herbivoral yang memanfaatkan tumbuhan sebagai

Metode detoksifikasi hidrolisat asam dari ubi kayu yang digunakan sebagai substrat fermentasi untuk menghasilkan bioetanol paling optimal adalah menggunakan katalis NH 4 OH

Nilai tersebut dapat diartikan apabila kedisiplinan kerja, balas jasa tidak berpengaruh terhadap variabel dependen produktivitas karyawan, maka nilai variabel

Semua perangkat lunak bebas adalah perangkat lunak sumber terbuka, tapi Semua perangkat lunak bebas adalah perangkat lunak sumber terbuka, tapi sebaliknya perangkat

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah suatu sistem informasi yang dapat membantu perusahaan dalam melakukan penetapan harga jual produk dalam vulkanisir

Untuk mempelajari BBM ini, terutama agar dapat menerapkan model- model pembelajaran yang terdapat dalam BBM ini Anda diharapkan sudah memiliki pengetahuan tentang

1) Tingkat perkembangan suatu masyarakat tergantung kepada empat faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan tingkat teknologi

Jenis penelitian yang digunakan adalah Kualitatif deskriptif yang mengambil sumber data dari buku-buku perpustakaan (liberary research). Jenis pendekatan yang digunakan