• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda. Berbagai macam problematika pada proses komunikasi juga turut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berbeda. Berbagai macam problematika pada proses komunikasi juga turut"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat mendukung terjalinnya komunikasi di antara semua orang dari berbagai belahan dunia yang berbeda. Berbagai macam problematika pada proses komunikasi juga turut bermunculan; adanya perbedaan bahasa di antara penutur BSu dan pendengar BSa merupakan salah satu satu kendala dalam proses komunikasi. Salah satu solusi yang diterapkan untuk mengatasi masalah perbedaan bahasa agar pesan dapat tetap tersampaikan adalah penerjemahan.

Aktivitas untuk menghasilkan sebuah terjemahan disebut dengan penerjemahan. Sedangkan, penerjemahan dapat didefinisikan sebagai penggantian materi tekstual dari suatu bahasa dengan ‘padanan’ materi tekstual dalam bahasa lain (Catford, 1965:20). Teori yang menjadi dasar proses terjemahan adalah teori terjemahan. Selanjutnya, J.C. Catford (1965:19) mengungkapkan bahwa teori terjemahan merupakan cabang/terapan dari ilmu linguistik komparatif dan suatu proses penerjemahan harus senantiasa mengikuti kaidah-kaidah teori linguistik umum. Oleh karena itu, seorang penerjemah sudah selayaknya memiliki pengetahuan mendasar tentang ilmu linguistik umum.

Seorang penerjemah dapat dikatakan berhasil apabila terjemahan yang dihasilkannya dapat menyampaikan pesan dari BSu ke BSa. Akan tetapi, terdapat

(2)

kendala dalam mencapai hal tersebut yang disebabkan oleh adanya perbedaan sistem di antara BSa dan BSu dalam tataran gramatikal maupun leksikal. Sangatlah sulit atau bahkan mustahil bagi penerjemah untuk menerjemahkan materi tekstual BSu ke BSa secara utuh. Menurut Nida, tujuan penerjemahan adalah mencapai sebuah efek padan yang sama (atau sedekat mungkin) antara keterbacaan hasil terjemahan dari BSa dan keterbacaan teks dari BSu (Nida via Newmark, 1988:48). Pergantian suatu materi tektual dari BSu ke bentuk padanan BSa dapat disebut sebagai transposition (Newmark, 1988:55). Istilah tersebut merupakan perkembangan dari teori yang terlebih dahulu diperkenalkan oleh J.C. Catford (1965:73) yaitu, shift in translation atau pergeseran dalam terjemahan. Dalam penelitian ini, pergeseran yang terjadi dalam penerjemahan kalimat imperatif bahasa Prancis ke bahasa Indonesia ditelaah sebagai objek formal. Imperatif dalam Le Bon Usage didefinisikan sebagai berikut :

“L’impératif est le mode des phrases injonctives et optatives. Il n’existe qu’aux deux personnes: à la première, seulement au pluriel; à la deuxième, au singulier et au première.”, (Grevisse&Goosse 2007:1101).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa imperatif adalah modus dari injonctive yaitu sebuah kalimat/klausa yang berupa sebuah permintaan atau perintah kepada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Grevisse&Goosse 2007:512) . Sedangkan optative merupakan klausa yang identik dengan injonctive namun lebih menekankan aspek harapan. Pada klausa optative kesediaan/kemauan pendengar untuk melakukan aksi yang diminta penutur tidak begitu dituntut—klausa tersebut merupakan suatu harapan murni dan dalam bentuk subjonctif, “kerelaan” pendengar untuk melakukan aksi yang

(3)

diminta tidak dibutuhkan (Grevisse&Goosse 2007:513). Dalam, tata bahasa Indonesia, imperatif juga merupakan sebuah kalimat/klausa yang menyatakan perintah, sesuai dengan definisi yang ada dalam KBBI : imperatif/im·pe·ra·tif/ /impératif/ 1 a bersifat memerintah atau memberi komando; mempunyai hak memberi komando; bersifat mengharuskan: hukum baru itu kelak harus berwibawa sebagai kekuatan -- yang harus dihormati; 2 n Ling bentuk perintah untuk kalimat atau verba yang menyatakan larangan atau keharusan melaksanakan perbuatan: pergilah! bantulah!.(http://kbbi.web.id/imperatif, diakses pada 22 Maret 2017). Adanya perbedaan mendasar di antara pembentukan kalimat imperatif bahasa Prancis dan bahasa Indonesia disebabkan oleh sistem gramatikal dari kedua bahasa yang berbeda. Hal itu menyebabkan pergeseran-pergeseran dalam terjemahan yang akan ditelaah lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Adapun objek material yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah naskah serial keempat komik Les aventures de Tintin:Les cigares du pharaon (Cerutu Sang Firaun). Karya tersebut dikarang oleh Hergé dan telah diterbitkan pada tahun 1959. Isi dari karya itu bercerita tentang petualangan seorang jurnalis muda asal Belgia yang menemui banyak masalah saat menjalankan tugasnya di Mesir. Di dalam naskah tersebut, ditemukan banyak contoh-contoh kalimat imperatif yang digunakan tokoh-tokoh komik ketika berinteraksi dengan tokoh lainnya. Kalimat imperatif dalam Bahasa Prancis memiliki struktur yang berbeda dari bahasa Indonesia dalam tataran gramatikal maupun leksikal. Terdapat banyak materi tekstual dalam Bahasa Prancis yang tidak dapat disetarakan ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu menyebabkan terjadinya banyak pergeseran terjemahan

(4)

dalam upaya penerjemah mencari ‘padanan berterima’ (closest natural equivalence) (Nida&Taber 1982:13). Kita dapat melihat bentuk padanan dari terjemahan sebuah kalimat imperatif yang diakibatkan oleh pergeseran terjemahan pada contoh berikut:

(21)

TSu : arrêtez-le ! (LCDP , 4: 1)

TSa : stop! berhenti! (CSP, 4: 1)

Pada data 21, terdapat kalimat imperatif yang diucapkan oleh salah satu tokoh komik dari kejauhan kepada Tintin untuk membantunya menangkap secarik dokumen yang melayang-layang di udara. Di dalam teks BSu, kalimat “arrêtez-le” merupakan kalimat imperatif yang berasal dari kata dasar/infintif “arrêter” (berhenti) dan mendapatkan penambahan suatu pronom complement (COD) ‘le’ yang dipisahkan oleh tanda hubung (trait d’union). Secara harafiah klausa ‘arrêtez-le’ tidak dapat diterjemahkan secara utuh ke dalam bahasa Indonesia. Jika ‘prinsip penerjemahan setia’ (Zuchridin&Hariyanto 2003:57) diterapkan, maka kita akan mendapati terjemahan per-kata dalam bahasa Indonesia seperti: “anda(Ø) hentikan itu!” Alih-alih mendapatkan terjemahan per-kata seperti itu,

(5)

hasil terjemahan cenderung bersifat bebas dan penerjemah karya tersebut telah melakukan strategi terjemahan ‘bebas’ yang menyebabkan terjadinya pergeseran.

Pergeseran terjemahan telah diklasifikasikan oleh J.C. Catford menjadi 2 tipe, yaitu level shift dan category shift (1965:73). Pada contoh di atas, terdapat kedua manifestasi dari pergeseran tersebut. Ditilik dari level shift, pergeseran ditemukan pada perubahan struktur gramatikal leksikon “stop!” (n. eng. serapan) dan verba intransitif “berhenti” yang menempati struktur klausa imperatif “arrêtez-le”, yaitu 2e p. pl. conj. arrêter + pronom COD m. ‘le’. Selanjutnya, unit shift yang merupakan sub-kategori dari category shift dapat ditemukan pada kata “stop” dan “berhenti” yang mengalami pergeseran upward rank menempati posisi klausa “arrêtez-le”. Kedua contoh bentuk pergeseran tersebut memang terkadang dirasa mirip dan saling tumpang tindih walaupun pada kenyatannya berbeda. Upaya penerapan strategi terjemahan bebas memang umum dilakukan oleh penerjemah mengingat adanya perbedaan signifikan antara kecenderungan karakteristik Bahasa Prancis sebagai bahasa fusional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa aglutinatif. Oleh karena itu, penerjemah harus mencari ekivalensi dari banyak istilah asing bahasa Prancis agar hasil terjemahan berterima.

Terlepas dari struktur pembentukan kalimat imperatif yang cenderung terbatas dan sederhana pada bahasa Indonesia maupun bahasa Prancis, proses analisis hasil terjemahan dirasa cukup kompleks. Ditemukan problematika-problematika dalam penelitian fenomena pergeseran terjemahan kalimat imperatif yang membutuhkan penelaahan lebih lanjut. Atas dasar itulah, penelitian ini dipilih.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian dalam karya ilmiah ini difokuskan pada penelaahan pergeseran hasil terjemahan kalimat imperatif dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia dalam karya sastra serial komik Les aventures de Tintin:Les cigares du pharaon. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah bentuk dan proses pergeseran terjemahan kalimat imperatif dalam naskah komik Les aventures de Tintin?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian pergeseran terjemahan kalimat imperatif berikut adalah: Mengetahui bentuk-bentuk dan proses pergeseran terjemahan kalimat imperatif dalam naskah komik Les aventures de Tintin.

1.4 Tinjauan Pustaka

Febita Nur Tisani (2009), dalam skripsinya yang berjudul “Pergeseran Terjemahan Nomina Novel L’aube pada Novel Terjemahan Fajar” telah membahas penelitian serupa yang difokuskan pada analisis pergeseran terjemahan nomina. Perbedaan yang terdapat di antara penelitian tersebut dan karya tulis ini terletak pada objek formal penelitian beserta objek material yang digunakan. Dalam karya tulis tersebut, disimpulkan bahwa terdepat pergeseran terjemahan pada nomina bahasa Prancis yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia.

Nadia Ayu Amalina (2014) meneliti pergeseran makna semantis dalam karya tulisnya yang berjudul Pergeseran Makna Semantis dalam “Terjemahan

(7)

bahasa Indonesia Komik Le Muslim Show”. Pergeseran terjemahan yang difokuskan pada aspek semantis telah ditemukan dan ditelaah dengan menggunakan teori terjemahan. Perbedaan yang ada di antara karya tersebut dan penelitian ini terletak pada fokus objek formal yang diteliti yaitu pergeseran pada pembentukan kalimat imperatif dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia.

Amalia Laila Devita Hidayat (2015) juga telah meneliti tentang pergeseran terjemahan yang terdapat pada novel Bonjour Tristesse dan Madame Bovary. Karya tulis yang dihasilkan berjudul “Gérondif dalam bahasa Prancis : Analisis Sintaksis, Semantik, dan Terjemahan dalam bahasa Indonesia”. Proses analisis difokuskan pada pergeseran terjemahan yang terdapat pada bentuk gérondif dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia. Kesimpulan yang dicapai dari hasil penelitian adalah adanya pergeseran struktur (gramatikal) dan kategori.

1.5 Landasan Teori

Sesuai dengan tema dan rumusan masalah penelitian, dibutuhkan teori-teori sebagai landasan untuk proses analisis yang akan dilakukan. Terkait dengan penerjemahan, teori yang digunakan adalah teori terjemahan yang telah digagas oleh J.C. Catford. Selanjutnya, penjelasan tentang teori-teori yang digunakan pada penelitian ini akan dibahas pada sub-bagian di bawah ini:

1.5.1 Teori Terjemahan

Penerjemahan adalah sebuah kegiatan operasional yang dilakukan terhadap bahasa (Catford 1:1965) sesuai dengan definisi yang diungkapkan J.C. Catford, yaitu :

(8)

“(Translation is) the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL).

(Catford 1965:20)”

Penerjemahan adalah penggantian materi tekstual dari bahasa sumber (BSu) dengan materi tekstual yang padan dari bahasa sasaran (BSa). Materi tekstual yang dimaksud oleh Catford adalah bentuk pesan yang dihasilkan penutur berupa teks maupun ujaran (bentuk verbal) beserta strukturnya. Materi tekstual juga merupakan istilah yang mencakup aspek makna, seperti yang diungkapkan Suryawinata (1989:3), “Sebagai ganti konsep “makna” adalah materi tekstual yang padan, ini tentu saja lebih profesional.”.

Berkaitan dengan tujuan penerjemahan, Nida & Taber (1982:10) menyatakan bahwa penerjemahan harus memiliki kepentingan utama untuk mereproduksi pesan yang disampaikan (oleh BSu). Dalam penerjemahan, proses reproduksi pesan dari BSu sedapat mungkin haruslah menghasilkan padanan yang terdekat dan sealami mungkin dalam terjemahan BSa. Padanan terjemahan dalam BSa disebut dengan istilah textual material equivalence (Catford, 1965:27). Suatu bentuk terjemahan yang padan atau berterima bukan berarti selalu setia dengan struktur gramatikal maupun leksikal dari BSu. Sebaliknya, suatu padanan berterima seringkali mengalami pergeseran tingkat (level shift) maupun kategori (category shift) yang menyebabkan adanya pergantian struktur gramatikal atau leksikon di dalam BSa. Di sisi lain, terdapat salah satu aspek kemaknaan (di luar bahasa) yang harus dipertahankan oleh penerjemah dalam upaya menyampaikan pesan dari materi tekstual BSu, yaitu konteks. Sebuah terjemahan yang baik dapat menyampaikan suatu pesan sesuai konteks yang dipahami oleh penutur/pendengar

(9)

BSu, sehingga keterbacaan (readership) pada BSu akan setara dengan keterbacaan pada BSa (Nida via Newmark, 1988:48).

1.5.1.1 Pergeseran dalam Terjemahan

Selaras dengan tujuan penerjemahan yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, terdapat sebuah fenomena yang lazim ditemukan pada suatu hasil terjemahan, yaitu pergeseran atau shift in translation. Istilah tersebut diperkenalkan J.C. Catford. Pergeseran yang dimaksud dapat didefinisikan sebagai perpindahan yang bertolak dari korespondensi formal di dalam proses pemindahan teks dari BSu ke BSa (Catford, 1965:73). Secara sederhana, korespondensi formal dapat dipahami sebagai ‘kesamaan bentuk linguistik’ antara BSu dan BSa (Hariyanto, 2009:2). Pergeseran terjemahan berangkat dari korespondensi formal tersebut ke dalam bentuk-bentuk pergeseran yang telah diperkenalkan J.C. Catford, yaitu: level shift (pergeseran tingkat) dan category shift (pergeseran kategori). Pergeseran seringkali dilakukan oleh penerjemah dalam upaya menghasilkan terjemahan berterima. Tidak menutup kemungkinan, pergeseran juga tidak perlu dilakukan dalam suatu proses penerjemahan, karena TSu dapat disetarakan hingga ke tingkat terkecil (morfem) dalam TSa.

Kemungkinan terjadinya fenomena semacam itu akan meningkat jika sistem kebahasaan dalam BSa mempunyai korespondensi formal sesuai dengan BSu. Selanjutnya, pergeseran tingkat (level shift) dan pergeseran kategori (category shift) akan dibahas di sub-bagian selanjutnya.

(10)

1.5.1.1.1 Pergeseran Tingkat

Pergeseran tingkat/level merupakan perubahan yang terjadi di antara struktur hirarki BSu dan BSa. Pergeseran tersebut terjadi ketika padanan bentuk dalam BSa mempunyai tingkat yang berbeda dalam BSu. Hal tersebut sesuai dengan defiinisi poergeseran tingkat menurut Catford :

“By shift of level we mean that a SL item at one linguistic level has a TL translation equivalent at a different level.” (Catford, 1965:73).

Tingkatan bahasa dalam teori terjemahan yang dimaksud Catford adalah grammar dan leksikon. Jadi, dalam pergeseran tingkat terjadi perubahan grammar ke leksikon atau sebaliknya. Sebagai contoh, pergeseran tingkat dapat ditemukan pada teks berikut:

Il est en train de fumer. Ia sedang merokok.

Pada contoh di atas, struktur grammatikal bahasa Prancis être en train de + infinitif yang menunjukkan sebuah aktivitas yang sedang berlangsung diterjemahkan menjadi leksikon sedang + verba dalam bahasa Indonesia. Terdapat pergeseran tingkat yang terjadi pada pergeseran leksikon dari bahasa Indonesia yang menempati posisi struktur tata bahasa Prancis.

1.5.1.1.2 Pergeseran Kategori

Pergeseran kategori adalah perubahan dari korespondensi formal di dalam proses penerjemahan (Catford, 1965:76). Sesuai dengan teori linguistik umum, pergeseran kategori terjadi pada tataran sintaksis bahasa (klausa, frase, kata, morfem, dll.). Pergeseran kategori sangat lazim terjadi di dalam sebuah proses penerjemahan dalam upaya penerjemah menghasilkan terjemahan yang natural

(11)

dan berterima. Terdapat empat pergeseran kategori yang dipapakar oleh J.C. Catford, yaitu: (a) Pergeseran Struktur, (b) Pergeseran Kelas, (c) Pergeseran Unit, dan (d) Pergeseran Intra-sistem.

Pada proses penerjemahan, keempat bentuk pergeseran kategori dapat saling tumpang-tindih. Penjelasan lebih lanjut terkait empat bentuk pergeseran kategori tersebut akan dipaparkan pada Bab II yang sekaligus mencakup pembahasan analisis terhadap bentuk-bentuk pergeseran terjemahan kalimat imperatif dalam naskah komik Les aventures de Tintin:Les cigares de pharaon. 1.5.2 Semantik

“Merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas aspek-aspek kemaknaan satuan-satuan kebahasaan, baik yang bersifat leksikal maupun gramatikal.” (Wijana, 2015:1). Secara umum, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas makna dalam hubungannya antara penanda dan petanda. Fokus dari ilmu semantik masih berada di dalam ruang lingkup kebahasaan saja. Berbeda dengan cabang ilmu pragmatik, yang mulai membahas faktor di luar aspek kebahasaan sebagai penentu sebuah makna tuturan.

1.5.3. Sintaksis

Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan kata tatein yang berarti “menempatkan”. Secara etimologis, istilah tersebut berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Dalam pembahasan sintaksis, aspek yang dibahas adalah struktur sintaksis yang mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis (Chaer, 2007:206). Istilah sintaksis (Belanda, syntaxis) ialah bagian atau cabang dari ilmu

(12)

bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase (Ramlan, 2001:18). Dalam kamus linguistik, sintaksis didefinisikan sebagai berikut: “Pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan-satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa.” (Kridalaksana, 1982:154). Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari struktur hubungan antar unit dalam suatu tuturan. Unit-unit tersebut mencakup kalimat, klausa, frasa, dan kata sebagai satuan terkecil. Sub-bagian yang mempelajari satuan tuturan yang lebih kecil (morfem) disebut dengan morfologi. Sintaksis erat hubungannya dengan sistem tata bahasa pada tataran kalimat.

Verhaar (2001:161) secara singkat menyatakan bahwa kalimat adalah satuan yang merupakan suatu keseluruhan yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhan. Menurut Kridalaksana (2001:92), kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri; mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu, di dalamnya disertakan pula tanda baca seperti koma, titik dua, tanda pisah, dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lain sepadan dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya dan tanda seru melambangkan kesenyapan.

Menurut Kridalaksana (1982:110) klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangya terdiri dari subyek dan predikat, dan

(13)

mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Klausa belum memiliki intonasi atau tanda baca tertentu. Intonasi atau tanda baca itulah yang membedakan klausa dengan kalimat. Kalimat juga mengandung unsur paling sedikit subjek dan predikat, tetapi telah dibubuhi intonasi atau tanda baca tertentu.

Kridalaksana (1982:59) menyatakan bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Frasa dapat dibedakan atas frasa benda, frasa kerja, frasa adjektif, dan sebagainya. Frasa benda adalah frasa yang intinya kata benda, frasa kerja adalah frasa yang intinya kata kerja, dan frasa adjektif adalah frasa yang intinya kata sifat.

1.5.3.2 Imperatif

Pembentukan kalimat atau klausa imperatif antara tata bahasa Indonesia dan tata bahasa Prancis sangatlah berbeda. Salah satu penyebab dari perbedaan tersebut adalah klasifikasi kalimat optative dan injonctive. Kalimat/klausa imperatif dalam bahasa Prancis merupakan eksponen dari bentuk-bentuk kalimat optative dan injonctive. Berbeda dengan bahasa Indonesia, kedua kategori— bentuk-bentuk klausa/kalimat optative dan injonctive termasuk dalam klasifikasi klausa pembentuk kalimat imperatif atau kalimat perintah. Kalimat perintah atau kalimat permintaan dalam bahasa Indonesia diperinci dalam enam golongan:

1. perintah atau suruhan biasa jika pembicara menyuruh kawan bicaranya berbuat sesuatu.

2. perintah halus jika pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi menyuruh mencoba atau mempersilahkan lawan bicara sudi berbuat sesuatu;

(14)

3. permohonan jika pembicara, demi kepentingannya minta lawan bicara berbuat sesuatu;

4. ajakan dan harapan jika pembicara mengajak atau berharap lawan bicara berbuat sesuatu;

5. larangan atau perintah negatif, jika pembicara menyuruh agar jangan dilakukan sesuatu; dan

6. pembiaran jika pembicara minta agar jangan dilarang. (alwi, hasan dkk. 2014:361).

1.6 Metode Penelitian

Setiap proses penelitian memiliki metode tertentu yang digunakan untuk proses analisis. Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993). Sistematika dari metode yang digunakan terbagi dalam tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah terjemahan kalimat imperatif dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia dalam serial komik Les aventures de Tintin yang berjudul Les cigares du pharaon atau Cerutu Sang Fir’aun. Kedua sumber data berupa komik versi bahasa Indonesia dan versi bahasa Prancis didapatkan dengan mudah karena kepopulerannya dan ketersedian komik di pasaran masih cukup banyak. Selanjutnya metode simak dilakukan denga cara menyimak dan dilanjutkan dengan teknik catat untuk mengumpulkan data yang akan ditelaah (Sudaryanto, 1993:33).

(15)

1.6.2 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan pada karya tulis ini menggunakan metode padan, yaitu metode yang alat penentunya di luar bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993:13). Sesuai dengan klasifikasi dari metode padan, metode yang digunakan dalam penulisan karya ini adalah metode translasional, yaitu metode yang alat penentunya merupakan bahasa lain. Adapun teknik yang digunakan berdasarkan metode tersebut adalah teknik dasar dan teknik lanjutan. Proses analisis pergeseran dalam terjemahan juga didasari oleh teori yang dipaparkan J.C. Catford, yaitu shift in translation (Catford, 1965:73).

1.6.3 Metode Penyajian Data

Penjabaran hasil analisis penelitian menggunakan metode informal. Pemaparan hasil dan proses analisis data dari metode informal menggunakan kata-kata sederhana yang diharapkan mudah untuk dipahami pembaca.

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dikemas dalam Bab I yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan penjelasan sistematika penyajian.

Pada bagian selanjutnya, proses analisis beserta hasil pemaparan penelitian disusun dalam Bab II. Adapun penelitian yang dikaji adalah pergeseran terjemahan kalimat imperatif dari bahasa Prancis ke Bahasa Indonesia dalam naskah serial komik Les aventures de Tintin.

Selanjutnya, dalam Bab III akan dipaparkan hasil analisis bentuk-bentuk pergeseran semantis dalam kalimat imperatif dalam bahasa Prancis ke Bahasa

(16)

Indonesia. Pada bagian terakhir, terdapat Bab IV yang berisi kesimpulan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Adalah proses pembentukan ulir (thread) dalam, dengan menggunakan serangkaian dies yang sesuai dengan dimensi dan bentuk ulir yang diinginkan.. Adapun jenis

Atas dasar pertimbangan masalah tersebut, peneliti bermaksud untuk melakukan pembuatan “Sistem Informasi Jasa Rental Mobil Berbasis Web Pada Rental Mobil

Motivasi, menjelaskan pentingnya materi ajar yang akan disampaikan.. Menjelaskan perhitungan dan penggambaran fungsi linier

LAMPIRAN 6 Hasil Uji Statistik Hipotesis Kedua Analisis Regresi Linier Sederhana.

Kebijakan umum merupakan arah kebijakan yang diambil dalam rangka mencapai sasaran yang terukur dari masing-masing sasaran dalam RPJMD Sedangkan program pembangunan

This study deals with end member (mangrove species) in the Sunderbans Delta of West Bengal, India by spectrally unmixing the mixed pixels by applying N-FINDR

Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan kembali , dan apabila di kemudian hari saya mengalami masalah dalam bidang akademik pendidikan ,maka hal itu akan

Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintah, khususnya dalam kasus Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, maka pembahasan