• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Badan Pelayanan Bantuan Hukum 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Badan Pelayanan Bantuan Hukum 6"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Direito

D w i M i n g g u a n H a k A z a s i M a n u s i a

Yayasan HAK

Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae

Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324 e-mail:direito@yayasanhak.minihub.org E d i s i 17 • 4 Juni 2001

Daftar Isi

Foto: F .X. Sumaryono

Direito Utama “Teruskan! Sekarang Saatnya Kalian Membalas Dendam!” 1-3 ... Dadurus Merah Putih: Angin Puyuh dari Maliana 4-5 Info Hukum ... Kelemahan Rancangan Regulasi Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum 6 Info Hak Asasi ... Pengungsi Terancam Kehilangan Hak Ikut Pemilu 7 Wawancara ... Aniceto Guterres Lopes: Pendekatan Politik Juga Harus Digunakan 8-9 Kesaksian ... Australia Tahu Rencana Pembantaian Maliana 10 ... Sudah Berpolitik Malah Sembunyi 11 Opini ... Impunitas dan Dampaknya Bagi Penegakan Hak Asasi 12-13 Serba Serbi ... UNTAET adalah Fotocopy Misi di Kosovo 14 Ami Lian ... Dan Fernandes Melarikan Diri 15 ... “Mereka cukupdatang dan mengakui perbuatannya” 16

K

PP-HAM yang menyelidiki

pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi antara Januari dan Oktober 1999 mema-sukkannya dalam daftar “Kasus-Ka-sus Utama”. James Dunn, yang ditun-juk oleh Jaksa Agung UNTAET Mo-hamed Othman untuk menyusun la-poran tentang latar belakang kejahat-an terhadap kemkejahat-anusiakejahat-an ykejahat-ang terjadi di Timor Lorosae, memasukannya se-bagai kasus pembunuhan besar di an-tara banyak pembunuhan kecil. Ratusan orang yang berlindung di kantor Polres Maliana sejak tanggal 3 mengalami kekerasan yang luar bi-asa pada Rabu, 8 September 1999 ma-lam.

Berbagai kelompok milisi yang berpangkalan di Distrik Maliana se-belumnya membakari rumah-rumah pendukung kemerdekaan, bahkan membunuh orang-orang yang mereka curigai menjadi pengurus CNRT atau membantu Falintil. Pada hari terakhir kampanye, 27 Agustus 1999 milisi menyerang Desa Memo, membunuh tiga orang, dan merusak 20 rumah.

Tanggal 30 Agustus kota Maliana karena dijaga ketat oleh milisi, unsur-unsur TNI dan Polri. Menurut te-muan KPP-HAM, beberapa orang ak-tivis prokemerdekaan dibunuh di tempat dan hilang diculik oleh milisi Dadurus Merah Putih (DMP) dan Ha-lilintar dibantu aparat Kodim. Tanggal 2 September dua orang staf lokal UNAMET ditembak mati oleh seo-rang sersan TNI di Desa Raifun. Di Desa Lahomea, dua orang pemuda di-bunuh. Dua hari kemudian ratusan ru-mah dibakar, penghuninya diserang dengan senjata tajam oleh personil mi-lisi dan TNI. Sejak hari itu di wilayah Distrik Bobonaro, khususnya di Me-mo dan Batugade milisi mendirikan pos-pos untuk memeriksa mereka yang akan menuju wilayah NTT. Di

“Teruskan! Sekarang Saatnya

Kalian Membalas Dendam!”

Pembantaian di Polres Maliana adalah salah satu kasus besar

pelanggaran hak asasi manusia di Timor Lorosae.

(2)

2

Direito 17 4 Juni 2001

E d i t o r i a l

pos-pos ini milisi mengambil pendu-kung kemerdekaan.

Tanggal 3 September milisi menye-bar ke seluruh kota. Mereka menge-pung rumah orang-orang yang dicuri-gai, kemudian juga menjarah isinya. Mereka pun mengancam orang untuk segera mengungsi ke Polres kalau ingin selamat. Orang banyak yang mau mengungsi ke Polres juga karena sa-ran petugas UNAMET.

Wayne Sievers, seorang perwira intelijen polisi Australia yang saat itu bertugas sebagai CivPol di Maliana dalam wawancara yang disiarkan te-levisi SBS baru-baru ini mengatakan bahwa staf internasional UNAMET memberi saran maut tersebut. Mereka tidak punya informasi tentang hubu-ngan milisi dan TNI sehingga percaya bahwa polisi akan memberikan per-lindungan. (Dateline, 9 Mei 2001)

Tetapi, hari itu juga penduduk me-nyaksikan staf internasional UNA-MET dengan mobil meninggalkan Maliana. Padahal sebelum pemungut-an suara 30 Agustus setiap hari petu-gas UNAMET mengatakan bahwa UNAMET akan tetap di Timor Loro-sae apa pun yang terjadi.

Di hadapan pengungsi di Polres, Kapolres Maliana mengatakan bahwa Komandan Distrik CivPol telah me-nyerahkan tanggungjawab keselamat-an pengungsi kepada Polres. Memkeselamat-ang setelah itu polisi dengan senjata leng-kap melakukan penjagaan dan peman-tauan di sekeliling kompleks Polres. Tetapi milisi tetap bebas keluar ma-suk Polres.

Pagi 4 September. Wajah-wajah pengungsi jadi ceria. Mereka mende-ngar dari radio bahwa opsi kemerde-kaan menang. Manuel Magelhaes (ko-ordinator CNRT Sub-Região Bobo-naro) yang kemudian mati dibunuh milisi, mengeraskan suara radio. Seorang perempuan memintanya mengecilkan kembali dan mengingat-kan bahwa me-reka sedang di Polres. “Kita tidak perlu takut,” kata Manuel, “satu atau dua hari lagi pasukan PBB akan datang.”

Seorang anggota polisi memerin-tahkan semua pengungsi untuk menca-tatkan nama setiap anggota keluarga pada 6 September. Setelah pencatatan selesai, sekitar pukul 9 datang Pang-lima PPI João Tavares, Komandan Kodim Bobonaro Letnan Kolonel Burhanudin Siagian, pemimpin DMP Ir. Natalino Monteiro, Daniel Lopes (wakil ketua DPRD II), dan Jorge vares, ketua DPRD II, adik João Ta-vares. Mereka mengadakan pertemu-an selama kurpertemu-ang-lebih tiga jam de-ngan Kapolres. Setelah itu, João Ta-vares bersama Siagian meninjau para pengungsi. Mereka terlihat terse-nyum-senyum. Sejumlah pengungsi mengira senyuman mereka sebagai pertanda baik.

Tetapi hari itu pengungsi yang ber-ada di dalam asrama yang sebelumnya tidak digunakan, diharuskan keluar. Menurut Kapolres, asrama akan digunakan oleh polisi yang ditarik dari Cailaco dan Lolotoe. Para pengungsi pun ke luar. Mereka mendirikan tenda di halaman Polres. Sore hari 8 September situasi kota Maliana diliputi ketegangan. Asap membumbung dari beberapa bagian kota karena rumah-rumah dibakar. Su-ara senjata api terdengar di mana-ma-na. Anggota-anggota Brimob dari Kontingen Hanoin Lorosae mondar-mandir berjaga-jaga di depan kantor Polres. Muka dan mata milisi-milisi yang sejak tanggal tiga keluar-masuk Polres tampak merah.

Sekitar pukul empat sore banyak milisi berdatangan dan bergerombol di sekeliling kompleks Polres. Mere-ka adalah anggota Hametin Merah Putih, DMP, dan Halilintar yang ber-asal dari Cailaco, Lolotoe, Atabae, Balibo, Bobonaro, dan Maliana Ko-ta. Mereka datang dengan sejumlah mobil antara lain Toyota Kijang mi-lik Pemda Maliana, sebuah Toyota Kijang warna merah berplat nomor merah.

Dua orang anggota DMP, Mateus Moniz dan Henrique menghampiri Lorenço, Manuel Magelhaes, dan

Ma-D

iplomasi adalah lawan dari

keadilan: ia menjadi comblang yang memungkinkan para penindas menghidar dari hukuman. Kata-kata ini ditulis oleh Geoffrey Robertson, seorang pengacara hak asasi terkemuka asal Inggris.

Robertson tidak berlebihan. Selama lebih dari empat puluh tahun sejak dunia memiliki “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” banyak peme-rintah negara besar yang hanya men-jadikan hak asasi manusia sebagai alat diplomasinya. Sebagai sarana propa-ganda untuk mendapatkan dukungan di satu pihak dan alat untuk meng-hantam lawan di lain pihak.

Perhatikan Amerika Serikat yang gembar-gembor menentang pelang-garan hak asasi manusia di negara-negara yang tidak mau tunduk pada kepentingan politik dan ekonominya, tetapi terus mendukung penguasa yang menindas rakyat yang mau menjadi penjaga kepentingan ekonomi dan politiknya. Pada 1975 AS mendukung (atau meminta) Indonesia menginvasi Timor Lorosae. Sepanjang masa pen-dudukan, AS terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada rezim Orde Baru penindas rakyat.

AS juga yang menentang Statuta Roma yang menetapkan pembentukan Mahkamah Kejahatan Internasional, suatu pengadilan tetap untuk mengadili siapa saja yang melakukan agresi, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Proses rekonsiliasi yang sekarang terjadi di Timor Lorosae terancam menjadi diplomasi untuk memenang-kan kepentingan politik semata. Seperti diupayakan di Afrika Selatan, rekon-siliasi adalah sarana untuk mengatasi pelanggaran berat masa lalu. Dengan rekonsiliasi hendak dicapai peng-ungkapan kebenaran tentang yang terjadi masa lalu demi menghindarkan balas dendam karena korban dan ke-luarganya merasa diperlakukan tidak adil. Amnesti diberikan kepada para pelaku yang mau mengungkapkan kejahatan yang dilakukannya maupun yang dilakukan orang lain.

Tetapi sampai sekarang pertemuan rekonsiliasi belum beranjak ke arah ini, masih menjadi sarana diplomasi untuk tawar-menawar kepentingan politik.

(3)

Direito Utama

nuel Barros yang ada di dalam kantor

Polres. Manuel Barros berkata, “Or-sida keta ami mate karik.” (Jangan-jangan nanti kami mati.). Mateus Mo-niz menyahut, “Labele tauk, se la a-kontese buat ida.” (Jangan takut, ti-dak ada apa-apa).

Sekitar pukul lima sore, Mateus Moniz bersama seorang temannya berjalan ke arah pintu gerbang dan melambaikan tangan ke arah ratusan milisi dan TNI di luar kompleks. Para anggota milisi dan TNI itu pun menye-rang pengungsi di kantor Pol-res.

“Orang-orang yang ada di Polres jangan bergerak! Se-mua laki-laki ke luar!” teriak António Metan, seorang ang-gota milisi. Mateus Brewok, anggota militerisasi Kodim Maliana yang bekas katekis memaki, “Kalian sudah makan dan minum dari uang Indone-sia, sekarang mau merdeka dan menolak integrasi!”

Korban pertama adalah se-orang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun berasal dari Cailaco. Saat itu ia berada di halaman kantor Polres. Bagaikan kemasukan setan para milisi mencincang tubuh anak ini. Sebelum mati, anak ini sempat mengerang, “Nai Maromak, hau mate tebes ona. Hau sala la iha.” (Tuhan Allah, aku mati sudah. Aku tidak salah apa-apa.). Filomena da Silva (50 tahun), seorang guru yang berada dua meter dari tempat pembu-nuhan mengenali Mateus Moniz, An-tonio Metan (milisi DMP), Alfredo Asumau (pegawai PU Maliana), Fre-derico (anggota TNI, Kodim Maliana) Romeo (anggota TNI, Kodim Malia-na), Domingos Metan (milisi DMP), dan Assis Fontes (TNI, Kodim Mali-ana) sebagai pembunuh itu.

Polisi-polisi yang siap-siaga ber-jaga di pintu gerbang Polres awalnya membentak para penyerang. Tetapi para penyerang tak menghiraukan. Mereka terus maju menyerang masuk.

Brimob Kontingen Lorosae diam sa-ja. Bahkan ada yang berteriak-teriak, “Teruskan! Teruskan! Sekarang saat-nya kalian membalas dendam!” Ban-dit-bandit anti-kemerdekaan itu pun leluasa membunuh orang-orang tak bersenjata. Seorang anggota milisi bernama Ernesto Metan membentak-bentak pengungsi, “Agora imi ba

la-por imi nia Xanana! Ba bolu imi nia Belo! Lapor ba PBB! Agora imi nia Xanana mai ukun rai ho fatuk! Ohin kalan ne’e ami sei oho hotu mane sira ne’ebe iha ne’e. Halo ahi kose deit mos seidauk hatene hakarak ukun a’an!” (Lapor pada Xanana! Panggil Belo kalian! [maksudnya Us-kup Dili Dom Carlos Belo, Red.]. La-por pada PBB! Xanana akan datang memerintah negara dengan batu! Ma-lam ini kami bunuh semua laki-laki yang ada di sini. Bikin korek api saja belum bisa, mau merdeka!).

Isabel de Araújo, seorang peng-ungsi asal Suco Lahomea, Maliana Kota, melihat beberapa milisi mem-bunuh seorang guru bernama Martin-ho Marces, penduduk Suco Raifun. Para milisi menghantamkan pedang ke tubuh korban. Martinho Marces ja-tuh dan sempat berteriak: “Hau mate ona!” (Aku mati sudah!) sebelum

ma-ti. Dua orang milisi segera menarik mayat korban dan membawanya ke bagian belakang Polres. Milisi yang membunuh Martinho tak bisa dikenali oleh Isabel karena mereka membung-kus muka dengan bendera nasional In-donesia. Tidak lama kemudian Mate-us Brewok dan seorang milisi ber-nama Frederico mengambil sepeda motor milik Martinho Mar-ces yang diparkir di hala-man.

Ketika terjadi serangan, banyak pengungsi yang me-minta polisi bertindak mem-berikan perlindungan. Tetapi sebagian polisi malah meng-usir mereka. “Kalau mau merdeka harus mau meneri-ma konsekuensinya!” kata se-orang anggota polisi.

Sekitar pukul delapan ma-lam, Francisco Barreto se-orang pegawai Dinas Per-tanian Maliana, ditanyai oleh milisi, “Kamu mahasiswa, ya?!” Dia jawab, “Bukan, saya pegawai negeri!” Para milisi segera menusukkan pedang samurainya ke tubuh-nya. Barreto berteriak, “Jesus! Hau mate ona! Jesus! Hau mate ona!” (Yesus! Aku mati sudah! Yesus! Aku mati sudah!). Seorang milisi malah berteriak, “Sekarang juga kamu harus mati seperti Yesus.” Frederico, ang-gota TNI, yang sebelumnya sudah membunuh Lorenço, menikamkan pi-sau di ujung senapannya ke perut Bar-reto.

Menurut penyelidikan INTERFET, lebih dari 70 orang dibunuh dalam pembantaian ini. KPP-HAM yang ke Maliana pada Oktober 1999 mene-mukan sejumlah besar selongsong peluru di kompleks Polres. Kota Maliana 80 persen hancur.

KPP-HAM merekomendasikan se-jumlah orang untuk diadili, termasuk Dandim Siagian dan Panglima PPI Jo-ão Tavares. Perlu dilakukan desakan kuat dari korban supaya rekomendasi itu jadi kenyataan.***

Polres Maliana setelah pembantaian

Foto: F

(4)

4

Direito 17 4 Juni 2001

Direito Utama

Kota Maliana porak-poranda setelah 4 September 1999 diumumkan bahwa tawaran

otonomi ditolak mayoritas rakyat. Delapan puluh persen kota hancur.

Dadurus Merah Putih:

Angin Puyuh dari Maliana

Tidak lama setelah Presiden Indo-nesia B.J. Habibie mengumumkan dua opsi untuk Timor Lorosae, para pendukung kemerdekaan di wilayah Maliana menjadi cemas. Di wilayah ini berdiri satu organisasi bersenjata yang dibina oleh TNI. Nama yang di-gunakan cukup menggentarkan, Dadurus Merah Putih (DMP). Da-durus dalam bahasa setempat berarti angin puyuh.

Kelompok milisi yang beroperasi di Maliana Kota dan sekitarnya ini dibentuk atas inisiatif Komandan Kodim 1636/Bobonaro Letnan Kolo-nel (Infantri) Burhanuddin Siagian dan pimpinan milisi Halilintar João Tavares. João Tavares ini sudah dikenal sepak-terjangnya dalam memimpin kelompok bersenjata. Ia sudah beroperasi bersaman pasukan Kopassus dalam penyerangan ke wilayah Timor Lorosae pada bulan Oktober 1975. Saat itu, bersama Tomás Gonçalves, ia sudah memimpin suatu pasukan yang kemudian diberi nama Halilintar. Pada masa pendudukan Indonesia, ia memasuki kehidupan sipil dengan menjadi Bupati Bobonaro selama tiga kali masa jabatan. Sedang Burhanuddin Siagian dikenal sangat giat membentuk dan mendukung kegiatan milisi. Pada bulan April, bersama João Tavares, ia memimpin eksekusi terhadap sejumlah orang pendukung kemerdekaan, dan mengancam bahwa siapa saja yang menentang pemerintah Indonesia akan dibunuh.

Kendati didirikan oleh tentara In-donesia, di depan umum dikesankan bahwa kelompok milisi ini adalah kelompok masyarakat yang secara spontan terbentuk sebagai reaksi atas

keputusan pemerintah Indonesia mengenai pemberian pilihan otonomi atau merdeka. Upacara pembentukan kelompok ini diselenggarakan di sebuah lapangan sepakbola dekat GOR (stadion) Maliana, dengan dihadiri oleh warga masyarakat dan sejumlah wartawan. Dalam upacara ini para anggota milisi menyatakan kebulatan tekadnya untuk tetap mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari negara kesatuan Indonesia.

Awalnya yang menjadi pemimpin milisi DMP adalah Paulo Soares, seorang pegawai negeri sipil yang sehari-harinya bertugas di Rutan (Rumah Tahanan) Maliana. Paulo Soares adalah orang yang dekat dengan João Tavares dan Burhanuddin Siagian. Sebagian anggota milisi adalah orang Timor Lorosae anggota TNI dari Koramil dan Kodim Bobonaro, yang masih aktif maupun sudah pensiun, sebagian lagi pegawai negeri. Misalnya João Coli adalah pensiunan TNI, sedang João dos Santos adalah pegawai Dinas Penerangan.

Paulo Soares tidak lama menjadi pemimpin tertinggi DMP. Ia digan-tikan oleh Natalino Monteiro, yang saat itu adalah pegawai negeri dengan jabatan Kepala Sub Bidang Tanaman Pangan Departemen Penerangan Maliana dan Pembantu Rektor III Uni-versitas Timor Timur (UNTIM). Ia dikenal dekat dengan TNI, bahkan dianggap sebagai agen SGI. Selain memimpin DMP, ia juga menjadi ketua FPDK Maliana.

Dalam struktur DMP, Natalino Monteiro yang sarjana pertanian lulusan Universitas Negeri Brawijaya (Malang) dan lulusan S-2

Universi-tas Gajah Mada (Yogyakarta) ini membawahi beberapa komandan yang memimpin milisi di tingkat desa. Komandan tingkat desa memimpin beberapa regu milisi. Orang-orang yang dikenal sebagai komandan DMP antara lain adalah Domingos Metan, Filipe, Batista, Jose Barreto, Acoli Forme, Antonio Metan, João Manu Moru, Miguel Goncalves, Ruben Goncalves, Ruben Tavares, Luis Metan, Martinho Mau Buti, dan Mateus Mau Leto.

Masuknya Natalino Monteiro memimpin DMP membuat pemaksaan terhadap penduduk Maliana untuk memilih otonomi semakin meningkat. Juga banyak penduduk yang dipaksa untuk menjadi anggota milisi, dengan ancaman jika menolak akan dibunuh. Semua aksi kekerasan milisi ini ditujukan kepada orang sipil yang diketahui atau dianggap menjadi aktivis klandestin, membantu FALINTIL atau menjadi pengurus CNRT. Tidak satupun serangan ditujukan kepada gerilyawan FALINTIL. Dengan bersenjata tajam dan senjata api (rakitan maupun otomatis) anggota-anggota milisi melakukan pemerasan terhadap penduduk, perusakan rumah-rumah, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Aksi-aksi ini mendapat dukungan penuh Kodim Bobonaro dan kelompok-kelompok milisi lain yang berpangkalan di wilayah kabupaten Bobonaro.

Di kabupaten ini kelompok milisi ada banyak. Yang paling menonjol adalah Halilintar, kelompok bersenjata yang didirikan tahun 1975, kemudian dibubarkan ketika anggota-anggotanya digabungkan dalam ABRI sebagai inti dari Batalyon 744, dan

(5)

Direito Utama

dihidupkan kembali tahun 1998.

Kelompok lainnya adalah Hametin Merah Putih, Harimau Lapar, Kaer Metin Merah Putih, Firmi (Fiar Metin Merah Putih), Srigala Merah Putih, Guntur, Armui, dan Dadurus Merah Putih.

Pembentukan semua kelompok milisi ini tidak terlepas dari Letkol Burhanuddin Siagian dan João Tava-res. Tetapi mereka tidak bertindak ka-rena inisiatif pribadi. Mereka adalah pelaksana dari kebijakan yang dibuat oleh perwira-perwira tinggi TNI.

Setelah Presiden H.M. Soeharto ja-tuh pada Mei 1998, B.J. Habibie yang menggantikannya menyatakan gagasan untuk memberi pilihan status otonomi khusus atau lepas dari Indonesia ke-pada rakyat Timor

Lorosae. Saat itu di Timor Lorosae telah terjadi demonstrasi-demonstrasi menun-tut referendum. Ka-rena khawatir Timor Lorosae lepas, pada Juli-September 1998 sejumlah perwira tinggi TNI meran-cang rencana pem-bentukan milisi. Ren-cana ini mendapat dukungan dari peja-bat sipil seperti Gu-bernur Abilio

Soa-res, Francisco Lopes da Cruz (Duta Besar Keliling khusus mengenai ma-salah Timor Timur), dan tokoh-tokoh pendukung integrasi lainnya.

Dalam kesaksiannya, João Fernan-des, anggota DMP yang diadili di Pe-ngadilan Distrik Dili, mengatakan bahwa pembentukan milisi dilakukan tanggal 10 atau 12 Agustus 1998 pada pertemuan yang dihadiri oleh Pang-dam Udayana APang-dam Damiri, Danrem Kolonel Tono Suratman, João Tava-res, pimpinan Gada Paksi Eurico Gu-terres, dan Cancio de Carvalho.

Berikut ini adalah sebagian dari ak-si kekerasan yang dilancarkan Da-durus Merah Putih.

• Pada 13 April 1999 di Kecamatan Maliana, 10 rumah milik orang-orang yang dianggap pro-kemer-dekaan dibakar.

• Di desa Saburai, desa Oeleu, dan kampung Holsa Atas pada awal Mei memaksa penduduk menerima otonomi luas dan memaksa mereka untuk menjadi milisi. Di Hauba, Marobo, milisi memaksa penduduk memberikan sumbangan satu ekor sapi dan setiap KK diharuskan me-nyerahkan uang Rp 5000.

• Di desa Lahomea, pada 29 Juni DMP menyerang kantor UNAMET, setelah di halaman kantor ini se-kitar 20 orang pemuda meneriak-kan yel-yel, “Viva Timor Leste!” Serangan menyebabkan satu orang

staf internasional dan tujuh orang staf lokal luka-luka.

• Tanggal 17 Agustus, di desa Rita-bou milisi DMP memaksa pendu-duk ikut upacara kemerdekaan In-donesia. Mereka menyiksa tiga orang di dusun Moleana dan 10 orang di desa Halecou, termasuk dua orang perempuan hamil. Di kampung Tagululi sembilan rumah dibakar. Operasi ini dipimpin oleh João Gomblo dan Marcus. Akibat kekerasan ini sekitar 700 orang penduduk mengungsi ke perbatas-an.

• 19 Agustus DMP menyerang desa Raifuik, Leolima, dan Diruana.

Akibat serangan yang dipimpin oleh Amandio Soares, Humberto dos Santos dan kawan-kawan ini tiga perempuan dan delapan laki-laki mengalami luka-luka.

• Ratusan rumah di desa Memo di-bakar pada 27 Agustus 1999. Aksi ini terjadi setelah mobil dinas Se-kretaris Wilayah Daerah bidang Pemerintahan Martino dos Santos dibakar di desa ini.

• Dengan dukungan tentara dan polisi anggota DMP menyerang gedung yang digunakan sebagai kantor DSMPTT dan IMPETTU. Akibat-nya dua staf lokal UNAMET dan dua pemuda meninggal. Keesokan harinya seluruh perwira penghu-bung militer dan Civpol dievakuasi

dari Maliana.

• Setelah pengumuman hasil Kosultasi Rakyat, DMP dan kelompok-kelompok milisi lanya meningkatkan in-timidasi dan teror ter-hadap penduduk sipil yang dianggap mendu-kung kemerdekaan. Ra-tusan orang mencari perlindungan ke kantor Polres. Tetapi pada 8 September gabungan milisi dan TNI melaku-kan penyerangan terha-dap Polres. Lebih dari 70 orang mati.

• Tanggal 9 Agustus, 13 orang yang berhasil melarikan diri dari Polres Maliana, ditemukan tempat per-sembunyiaannya. Natalino Montei-ro segera mengirimkan sepasukan milisi untuk membantai mereka. Korbannya 13 orang, termasuk Ma-nuel Magelhaes.

• Ketika pasukan INTERFET datang, sebagian anggota milisi masih ber-operasi di Maliana. Tetapi kemu-dian mereka melarikan diri ke Atambua bersama TNI. Sampai se-karang kebanyakan belum kembali. Entah apa yang mereka lakukan di sana.***

Foto: Dokumentasi Yayasan HAK

(6)

6 Direito 17 4 Juni 2001

Info Hukum

D

epartemen Kehakiman (Jus

tice Department) UNTAET telah menyelesaikan suatu rancangan mengenai pembentukan ba-dan pelayanan bantuan hukum tanpa suatu proses konsultasi yang mema-dai. Oleh sebab itu pada 7 Mei 2001, Yayasan HAK mengirim surat kepada Administrator Transisi Sergio de Me-llo untuk menyatakan keprihatinan mengenai hal ini.

Dalam surat yang ditandatangani o-leh Joaquim Fonseca, dari Divisi Po-licy Advocacy itu, disebutkan Depar-temen Kehakiman telah mengadakan pertemuan me-ngundang berbagai pihak di dalam struktur UNTAET (se-perti Unit Hak Asasi, Legal Affairs, dan Gender Affairs) dan di luar struktur UNTAET. Tetapi dalam pertemuan ter-sebut, pihak-pihak yang diun-dang itu tidak diberi kesempat-an untuk menyatakkesempat-an penda-pat.

Mereka meminta agar para peserta mengajukan komentar tertu-lis. Tetapi komentar-komentar yang masuk tidak pernah dibahas secara bersama, karena Departemen Keha-kiman tidak pernah menyelenggarakan pertemuan yang telah dijanjikannya dan tidak pernah memberi tahu kapan pertemuan akan diadakan. Seperti departemen-departemen UNTAET lainnya, Yayasan HAK telah meme-nuhi permintaan Departemen Keha-kiman dengan menyampaikan komen-tar tertulis terhadap Rancangan Re-gulasi mengenai Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum dan be-rusaha mencari keterangan kapan pertemuan diselenggarakan. Tetapi

keterangan tetap tidak diperoleh dan tiba-tiba Kabinet menyetujui Ran-cangan Regulasi itu.

Rancangan Regulasi tersebut punya kelemahan mendasar karena rendah-nya independensi kelembagaan Badan Pelayanan Bantuan Hukum terhadap pemerintah. Departemen Kehakiman justru telah membuat amandemen ya-ng memperbesar kelemahan ini.

“Kontrol efektif pemerintah terha-dap Badan Pelayanan Bantuan Hukum punya implikasi serius terhadap

pem-bentukan sistem peradilan yang inde-penden yang bisa melindungi hak-hak rakyat. Timor Lorosae keluar dari ko-lonialisme dimana sistem peradilan tidak memberi keadilan kepada rak-yat,” lanjut surat tersebut. Akibatnya, rakyat tidak mempercayai sistem per-adilan sebagai alat yang melindungi hak-hak mereka. Suatu Badan Pelaya-nan Bantuan Hukum yang independen bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi pengubahan budaya keti-dakpercayaan tersebut.

Sebagian rekomendasi yang disam-paikan oleh Yayasan HAK memang dimasukkan. Tetapi rekomendasi yang diajukan oleh Yayasan HAK

bersa-ma-sama dengan departemen-de-partemen lain UNTAET itu seharus-nya dibahas dalam pertemuan yang te-lah dijanjikan. Tahap ada pemba-hasan Departeman Kehakiman secara sepihak memasukkan rekomendasi-rekomendasi mereka dengan cara yang justru berbeda dengan yang di-maksudkan. “Kami merasa bahwa ko-mentar-komentar kami digunakan de-ngan cara yang tidak seperti yang ka-mi maksudkan.”

Menurut Yayasan HAK, proses pembuatan rancangan re-gulasi ini mencerminkan se-luruh proses pembuatan ran-cangan regulasi pada umum-nya. Antar departemen UN-TAET sendiri tidak ada ko-ordinasi. Akibatnya orang-orang yang bekerja dalam struktur UNTAET sendiri su-lit mengikuti perkembangan dan memberikan komentar. Sedang bagi yang di luar struktur UNTAET, tidak ada akses informasi tentang per-kembangan suatu regulasi, apalagi untuk memberikan tanggapan.

“Yayasan HAK berkomitmen untuk memberikan sumbangan pada regu-lasi-regulasi yang mendasar bagi pembangunan kembali masyarakat Ti-mor Lorosae dan telah terlibat dalam berbagai upaya untuk memberikan tanggapan pada regulasi-regulasi dan implikasi kebijakannya. Tetapi, kami yakin bahwa suatu tanggapan yang baik untuk mengatasi keprihatinan mengenai proses ini sekarang meru-pakan prasyarat yang mendasar bagi sumbagan kami untuk memberikan ni-lai dan makna yang berarti bagi pe-ngembangan regulasi.” ***

Yayasan HAK:

Kelemahan Rancangan Regulasi

Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum

UNTAET mengeluarkan rancangan regulasi tentang pembentukan badan pelayanan bantuan hukum. Yayasan HAK mengajukan keberatan mengenai proses dan isinya.

Foto: Dokumentasi Y

(7)

Info Hak Asasi

.

K

esempatan untuk

mendaf-tarkan diri untuk mengikuti pemilihan umum tinggal kurang dari satu bulan. Pendaftaran ini hanya dilakukan di wilayah Timor Lorosae. Artinya orang Timor Lo-rosae yang berada di luar negeri jika ingin mengikuti pemilu harus pulang ke Timor Lorosae untuk mendaftar. Pemungutan suara nantinya juga dilakukan di Timor Lorosae saja. Jadi berbeda dengan Konsultasi Rakyat 30 Agustus 1999, yang juga dilakukan di beberapa kota di Indonesia, di Aus-tralia dan Portugal.

Karena itu para pe-ngungsi di Timor Barat yang jumlahnya ham-pir 100 ribu orang, terancam kehilangan hak pilihnya. Sebagai orang Timor Lorosae mereka juga punya hak untuk memilih dan di-pilih. Menurut Regula-si UNTAET No.2/ 2001 mengenai Pemi-lihan Umum Anggota Majelis Konstituante, syarat untuk mengikuti pemilihan umum ada-lah setiap orang yang berusia 17 tahun (1) yang lahir di Timor

Lorosae, atau (2) salah satu dari or-ang tuanya lahir di Timor Lorosae, atau (3) yang istri atau suaminya ter-golong dalam (1) dan (2) tersebut.

Pendaftaran dan pemungutan suara untuk pemilu hanya diadakan di Timor Lorosae agar pengungsi di Timor Ba-rat segera pulang. Pemikiran ini perlu dipertanyakan. Salah satu sebab ma-sih banyaknya orang Timor Lorosae di pengungsian, mereka takut

diper-Pengungsi Terancam Kehilangan Hak Ikut Pemilu

Pengungsi di Timor Barat terancam kehilangan hak asasinya untuk mengikuti

pemilihan umum. Pendaftaran pemilih dan pemungutan suara yang akan datang

hanya diadakan di dalam wilayah Timor Lorosae.

lakukan tidak manusiawi di Timor Lorosae. Ketakutan ini muncul karena informasi bohong yang beredar bah-wa pengungsi yang pulang akan di-siksa atau bahkan dibunuh. Selain itu, seperti yang berkali-kali dikeluhkan oleh IOM (International Organisation for Migration), sebuah organisasi in-ternasional yang aktif di bidang trans-portasi pengungsi, milisi melakukan intimidasi dan menghalangi pengungsi pulang.

Karena itu mendorong pengungsi pulang dengan cara itu tidak akan

e-fektif. Yang diper-lukan adalah sua-sana yang aman dan bebas serta in-formasi yang benar mengenai keadaan di Timor Lorosae sehingga pengungsi bisa membuat pilihan sesuai keingin-annya.

Sementara itu, pihak Indonesia pa-da 6 Juni nanti akan mengapa-dakan pen-daftaran ulang pengungsi. Mereka a-kan membuka 607 tempat pendaftaran di seluruh Timor Barat. Pengungsi di-beri pilihan: pulang ke Timor

Loro-sae atau tinggal di Indonesia. Pendaf-taran ini semacam penentuan akhir nasib pengungsi. Yang memilih ting-gal di Indonesia akan dipindahkan da-ri tempat peng-ungsian sekarang untuk ditempatkan di Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Kupang, dan Pulau Alor. Mereka tidak lagi berstatus pengungsi tetapi menjadi warga negara Indonesia biasa. Se-dang yang memilih pulang ke tanah air akan dipulangkan.

“Diharapkan bahwa dengan proses pendaftaran ini, pengungsi yang me-milih kembali ke Timor Timur bisa berpartisi-pasi dalam pemilihan umum yang direncana-kan pemerintah Timor Lorosae diselenggara-kan 30 Agustus,” kata Amin Rianom, seorang pejabat pada Kantor Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Ke-amanan.

Pemerintah Indone-sia juga mengundang UNTAET dan organi-sasi PBB lainnya serta wakil negara-negara Afrika, Eropa, dan Amerika Latin untuk menjadi pe-ngamat. Tetapi, seperti diberitakan oleh kantor berita AP (Associated Press), UNTAET telah menyatakan tidak akan berpartisipasi karena alasan keamanan.

Sebagai pemegang mandat peme-rintahan Timor Lorosae, PBB seha-rusnya mengambil langkah konkret agar para pengungsi segera bisa pu-lang. Hak politik puluhan ribu orang Timor Lorosae tidak bisa dibiarkan berada di tangan milisi.***

Para pengungsi di Mota Ain

(8)

8 Direito 17 4 Juni 2001

Wa w a n c a r a

Aniceto Guterres Lopes:

Pendekatan Politik Juga Harus Digunakan

Bagaiaman kemajuan proses hukum bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia tahun 1999?

Secara umum proses yang sedang berlangsung di Timor Lorosa’e sudah tidak bisa diandalkan karena ada ber-bagai masalah. Jalan yang paling te-pat sekarang adalah pengadilan inter-nasional. Saya ingin mulai dari rasio perlunya pengadilan internasional. Pertama, apa yang terjadi di Timor Lorosa’e 1999 itu bukan perkara kriminal biasa tapi adalah sebuah pe-langgaran serius hukum hak asasi ma-nusia dan hukum humaniter interna-sional. Kedua, apa yang terjadi di Ti-mor Lorosa’e adalah pelanggaran ter-hadap sebuah perjanjian (5 Mei 1999, Red.) yang disepakati di bawah pe-ngawasan PBB. Kedua jenis pelang-garan ini masuk yurisdiksi interna-sional. Karena itu demi penegakan kum hak asasi manusia dan hukum hu-maniter internasional masyarakat in-ternasional sudah seharusnya memin-ta permemin-tanggungjawaban melalui sebu-ah pengadilan internasional, bukan melalui pengadilan di Timor Loro-sa’e atau pengadilan di Indonesia. Ketiga, alasan pengadilan internasio-nal adalah kepentingan akan keadilan dari para korban.

Semua hal ini mengarah pada per-lunya pengadilan internasional. Ko-misi Penyelidik Internasional PBB merekomendasikan penyelidikan le-bih lanjut dan pertanggungjawaban dari orang-orang yang diduga menja-di pelaku melalui pengamenja-dilan nasio-nal. Ini yang menarik. Sejak saat itu, yang mengadili adalah pengadilan na-sional. Boleh di Timor Lorosa’e dan boleh di Indonesia. Dari situlah

mun-cul pengadilan ad hoc (tidak tetap) di Indonesia. Di Timor Lorosae kemu-dian dibentuk bagian serius crime di Pengadilan Distrik Dili. Tetapi itu ti-dak berarti membatasi adanya sebuah pengadilan internasional karena ada satu rekomendasi lain, yakni perlunya sebuah pengadilan internasional. Bagaimana proses di Timor Loro-sae?

Pengadilan serious crime (kejahat-an berat) di Dili ini masih b(kejahat-anyak hambatan. Pertama, karakter dari ka-sus ini memang begitu kompleks. Kompleksitas ini tidak diimbangi de-ngan kesiapan dan kemampuan peng-adilan serious crime untuk menangani semua kasus. Selain itu kompleksitas terjadi karena banyak kepentingan politik yang bermain. Untuk serious crime di Dili, kami mencatat ada usa-ha-usaha untuk menghilangkan barang bukti, dan juga kentara adanya usaha-usaha manipulasi dari segi teknis hu-kum dalam proses penuntutan. UNTA-ET sendiri tidak mampu menghadir-kan barang-barang bukti dan men-transfer saksi, apalagi menghadapkan terdakwa [dari Indonesia ke Timor Lorosae].

Karena kelemahan-kelemahan itu kita bisa menduga, kalau pun proses ini berjalan pasti tidak akan mende-ngar aspirasi rakyat Timor Lorosa’e. Pengadilan ini justru akan menjadi alat untuk melegitimasi bahwa kita sedang memberikan keadilan.

Kelemahan pengadilan di Jakarta juga banyak. Pertama, hukum acara yang akan digunakan dalam proses peradilan itu belum dibuat. Kasus ya-ng akan diadili adalah kejahatan

ter-hadap kemanusiaan bukan pidana biasa yang prosesnya menggunakan Kitab Undang-Undang Huku Acara Pidana (KUHAP). Karena hukum acaranya be-lum ada, pasti

KU-HAP yang digunakan. Saya kira KUHAP tidak akan efektif untuk itu.

Selain itu, ada beberapa hal yang sangat mencurigakan. Misalnya, Tim Kejaksaan Agung sudah datang ke sini. Mereka kemudian menyiapkan dakwaan. Kalau suatu perkara sudah ditentukan berarti berkas perkara sudah siap dan sudah jelas tersangka atau terdakwanya. Tetapi tidak ada usaha untuk memberikan status kepada tersangka atau terdakwa, sebagai tahanan rumah atau tahanan kota. Bagaimana orang yang disangka melakukan kejahatan serius dibiarkan bebas. Orang mencuri ayam saja dita-han. Para terdakwa bisa kabur. Mereka bisa mempersulit proses dengan tidak menghadiri sidang, misalnya.

Kepentingan politik di dalam pro-ses ini terlalu kental. Para pemimpin militer adalah pelaku kejahatan di Timor Lorosae. Dalam konstelasi politik Indonesia, mereka masih di atas angin. Masa depan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak bisa diprediksi. Lihat kejadian terakhir [vonis terhadap pelaku pembunuhan staf UNHCR di Atambua, Red.]. Jangankan korban-nya orang Timor Lorosa’e, korbankorban-nya staf UNHCR saja hukumannya begitu ringan. Kalau seperti itu terus, tidak

Foto: Dokumentasi Y

ayasan HAK

Aniceto Guterres Lopes

Sekarang sedang berlangsung dua proses hukum kasus-kasus kejahatan 1999 di Timor

Lorosae. Di Jakarta sedang dibuat persiapan pengadilan hak asasi manusia dan di Timor

Lorosae sudah berjalan pengadilan serious crime. Berikut ini wawancara Redaksi Direito

dengan Aniceto Guterres Lopes, Direktur Yayasan HAK yang juga anggota NC mewakili

(9)

Wa w a n c a r a

akan efektif. Karena itu kita tidak bisa

berharap pada pengadilan di Dili maupun Jakarta.

Tetapi masyarakat internasional masih memberi kepercayaan kepada Indonesia.

Kepercayaan itu berlebihan, tidak realistis karena tanpa melihat kondisi hukum dan pengadilan Indonesia, yang sangat disubordinasi penguasa politik yang korup. Indonesia diberi kesempatan mengadili tanpa ada batas waktunya. Karena itu sulit menga-takan bahwa pemerintah Indonesia sudah tidak mampu menjalankan mandat mengadili para pelaku. Sekjen PBB yang dulu percaya janji Indonesia, menjadi gusar ketika para pelaku pembunuhan staf UNHCR dihukum sangat ringan.

Sebagai usaha untuk memotivasi pemerintah Indonesia saya kira sah saja. Tapi apakah hukuman itu karena pemerintah Indonesia sudah mencoba tapi tidak mampu atau memang masalah seperti itu dianggap bukan masalah yang penting, sehingga semaunya saja?

Kofi Annan mungkin sudah melihat bahwa tantangan Indonesia untuk melaksanakan pengadilan itu lebih besar. Kedua, sebenarnya Kofi Annan bersikap seimbang, dengan menye-tujui pengadilan serious crime di Timor Lorosae.

Kita jangan sampai terjebak peng-adilan serious crime di Dili. Pertama, Regulasi UNTAET No. 15 yang mem-bentuk pengadilan ini isinya meng-adopsi Statuta Roma. Jadi dari segi hukum material, hukum yang menjadi dasar itu sudah seperti pengadilan in-ternasional. Kedua, komposisi ha-kimnya juga ada hakim internasional dan hakim Timor Lorosae, hakim In-donesia saja yang belum masuk.

Ketika Regulasi No. 15 sedang di-rancang, Peter Galbraight [Anggota Kabinet Bidang Politik, Red.] datang ke sini (kantor Yayasan HAK). Dia bilang ini satu pengadilan

interna-sional melalui pintu belakang. Tetapi bagi saya, pembentukan pe-ngadilan serious crime adalah upaya membarikade tuntutan pembentukan pengadilan internasional.

Kita punya dua pilihan, kalau kita mau pengadilan internasional maka pengadilan serious crime harus dide-legitimasi. Atau pengadilan interna-sional kita lupakan dan kita dorong yang di sini. Tapi transfer barang buk-ti, saksi dan lain sebagainya efektif atau tidak? Untuk itu harus ada inter-vensi internasional. Tidak hanya an-tara UNTAET dan Indonesia main-main seperti ini.

Pengadilan seriuos crime punya ke-lemahan teknis. Dalam kasus João Fernandes, Jaksa tidak menuntut de-ngan pasal kejahatan terhadap ke-manusiaan yang diadopsi dari Sta-tuta Roma.

Masalahnya ada pada Regulasi no. 15 itu sendiri. Statuta Roma diadopsi, tetapi pasal pembunuhan biasa KUHP juga diadopsi. Jadinya rancu.Dengan mengenakan pasal pembunuhan biasa pada kasus João Fernandes, maka banyak pelaku menjadi terlindungi. Komandan yang memberi perintah ha-nya bisa dikenai pasal tentang ke-jahatan biasa, dan itu kompetensinya ada pada pengadilan nasional bukan pengadilan internasional.

Selain jalur hukum, apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan ke-adilan?

Kejadian 1999 itu sangat kom-pleks. Karena itu pendekatan politik juga harus digunakan. Paling tidak ini akan mempercepat proses. Kenapa kita harus mempercepat proses? Se-karang ini banyak korban yang sudah tidak tahan, karena sudah lama keadilan belum juga datang. Mereka sudah frustrasi dan hampir mengambil cara sendiri. Seperti di Suai mereka sudah memberikan ultimatum, kalau tahun sekian tidak selesai kami akan babat saja milisi-milisi ini.

Proses pengadilan akan lama.

Me-ngumpulkan barang bukti juga butuh waktu. Kalau tidak ada pendekatan politis, yang akan mendukung semakin lengkapnya barang bukti, kita akan seperti ini terus.

Pasti masih banyak bukti yang di-pegang oleh orang-orang yang masih dalam pengungsian. Semua kasus ini hanya bisa mendapatkan bukti yang lengkap kalau semua pengungsi ini datang dalam keadaan bebas untuk memberikan kesaksian. Tanpa itu sulit. Banyak korban juga ada di sana. Jangan sampai kita menuntut peng-adilan internasional hanya karena terjadinya pelanggaran hukum dan perjanjian internasional. Kepentingan keadilan orang Timor Lorosae harus diperhatikan. Karena itu kita harus melakukan terobosan-terobosan.

Kejahatan 1999 itu terorganisir. Kita harus punya kiat-kiat tersendiri untuk mengatasinya. Apakah mau mulai dengan pelaku di tengah, baru kita ajak dia untuk membuka yang di atas, sekaligus memperjelas posisi yang kecil-kecil, apakah mereka di-perintah atau melakukan atas inisiatif sendiri. Alternatif-alternatif ini harus kita pikirkan.

Milisi yang kecil-kecil ini harus di-adili dengan hukuman yang ringan suai perbuatannya. Yang di tengah se-perti komandan-komandan milisi harus dimintai pertanggungjawab-annya atas perbuatan anak buahnya dan perbuatan mereka sendiri. Kalau ada yang di atasnya ya harus dibong-kar. Untuk itu tentu saja ada kompromi tertentu. Kalau sesudah itu huku-mannya mau diperberat itu persoalan lain. Kalau tidak begitu paling kita hanya mengadili milisi kecil-kecil saja.

Kita harus memberikan kompen-sasi kepada korban dan harus ada pro-gram pemulihan bagi mereka. Se-bagian NGO sudah menjalankan gram pemulihan. Tapi diperlukan pro-gram kompensasi dan pemulihan korban nasional. Proses pengadilan itu lama, korban dan keluarganya perlu dikuatkan.***

(10)

10

Direito 17 4 Juni 2001

K e s a k s i a n

S

ikap Australia terhadap

petualangan Indonesia di Timor Lorosae ternyata tetap tak berubah dari tahun 1975. Hal yang sama terulang pada tahun 1999. Pe-merintah Australia kembali tidak ber-buat apa-apa setelah badan intelijen-nya — yang dikenal sangat baik dalam pemantauan terhadap kawasan ini — melaporkan bahwa Indonesia akan melakukan perusakan besar-besaran dan pembantaian terhadap tokoh-to-koh perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae jika pilihan otonomi ditolak dalam Konsultasi Popular.

Hal itu dikemukakan Kapten An-drew Plunkett, seorang perwira inte-lijen Australia yang bertugas meman-tau keadaan di Timor Lorosa sejak sebelum pelaksanaan Konsultasi Po-pular dan kemudian bertugas sebagai perwira INTERFET Australia di Ma-liana. Menurutnya, berdasar peman-tauan intelijennya, Australia me-ngetahui rencana pembantaian tokoh-tokoh CNRT Maliana dan melapor-kannya kepada pemerintah. Tetapi la-poran ini didiamkan dan dipetieskan oleh Departemen Luar Negeri Aus-tralia.

Pengakuan Kapten Plunkett ini di-ungkapkan kepada The Sydney Mor-ning Herald dan kemudian wawanca-ranya juga disiarkan dalam acara Da-teline televisi SBS, Australia (9 Mei pukul 20.30). Kapten Plunkett meng-hadapi risiko diadili karena peng-akuannya kepada publik ini. Tetapi, ia telah bertekad akan mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya ini.

Perwira kesatuan siap tempur ba-talyon ke-3 Royal Australian Regi-ment ini ditugaskan ke Maliana bulan September, tidak lama setelah pem-bantaian di Polres. Sebagai perwira intelijen, ia bertugas melakukan in-vestigasi mengenai pembantaian. Setelah melakukan investigasi, ia

me-Pengakuan Perwira Intelijen:

Australia Tahu Rencana Pembantaian Maliana

ngalami gangguan mental yang berat dan harus menjalani perawatan. Pa-salnya, pemerintah Australia meme-rintahkan kepada perwira-perwira tentara Australia agar “memperkecil” angka jumlah korban pembantaian.

Dalam siaran Dateline, Plunkett mengatakan bahwa intelijen Austra-lia punya informasi yang bisa mence-gah pembantaian di Polres Maliana. “Kalau staf PBB punya informasi yang akurat, mereka sama sekali tidak akan percaya pada TNI dan Polri. A-palagi merekomendasikan kepada pa-ra pendukung kemerdekaan untuk ber-lindung di Polres!”

Mereka memang berlindung di Pol-res atas rekomendasi staf UNAMET. Staf UNAMET bahkan mengantarkan sendiri orang-orang yang nyawanya terancam itu ke calon pembunuhnya. “Kalau saja mereka tahu, tentu mereka akan merekomendasikan pendukung kemerdekaan itu untuk lari ke hutan.” Menurutnya, sebelum Konsultasi Popular, intelijen Australia tahu betul bahwa TNI dan Polri sangat terlibat dalam aksi-aksi milisi. Lebih dari itu mereka tahu bahwa Indonesia beren-cana melakukan penghancuran besar-besaran dan eksekusi terhadap pendu-kung kemerdekaan.

Yang mencegah memberikan infor-masi sangat penting kepada staf di la-pangan, termasuk polisi dan pengamat militer Australia adalah pejabat-pe-jabat tingkat tinggi di Departemen Lu-ar Negeri. “Keputusan ini diambil di tingkat pemerintahan yang sangat ting-gi. Pihak militer menyerahkan infor-masi yang berhasil dikumpulkan ke Departemen Luar Negeri, merekalah yang mengarahkan kebijakan tentang seberapa banyak informasi yang dibe-rikan dan kepada siapa.”

Seperti untuk invasi tahun 1975, Departemen Luar Negeri sekarang menolak tuduhan Plunkett. “Kami

me-nolak tuduhan itu. Tuduhan itu sama sekali tidak ada dasarnya,” kata juru bicara Menteri Luar Negeri Alexan-der Downer.

Pengakuan Plunkett ini bukan isapan jempol. Prof. Desmond Ball dari Pusat Penelitian Pertahanan dan Strategis, Universitas Nasional Aus-tralia membenarkan tuduhan Plun-kett. Australia punya perlengkapan in-telijen yang canggih yang menyadap komunikasi militer Indonesia di Ti-mor Lorosae dari Shoal Bay, bagian paling utara Australia.

Menurut Ball yang disadap terma-suk percakapan antara perwira-per-wira intelijen Indonesia dan koman-dan milisi. “Informasi ini nilainya ti-dak terkira,” kata Prof. Ball. “Misal-nya salah satu pita merekam koman-dan-komandan Kopassus membahas dan memberi perintah kepada pemim-pin-pemimpin milisi untuk membunuh orang-orang tertentu, tindakan untuk membakar rumah-rumah tertentu, dan memindahkan keluarga-keluarga. Buktinya sampai tingkat individual semua ada dalam pita rekaman,” ka-tanya. Salah seorang pakar intelijen terkemuka Australia ini sedang me-nulis buku berjudul Silent Witness (Saksi Yang Diam Saja) yang meng-ungkapkan seberapa banyak yang di-ketahui intelijen Australia mengenai keterlibatan Indonesia dalam banjir darah di Timor Lorosae 1999.

Informasi-informasi intelijen yang terungkap tersebut semakin membuk-tikan bahwa Australia terlibat dalam persekongkolan internasional menen-tang perjuangan rakyat Timor Loro-sae. Bahwa Australia adalah pendu-kung setia rezim maut yang mudah ma-in bunuh, baik terhadap rakyat Timor Lorosae yang didudukinya selama hampir seperempat abad maupun rak-yat Indonesia sendiri yang dikuasai lebih dari 30 tahun! ***

(11)

K e s a k s i a n

S

ejak dikeluarkannya dua opsi oleh Habibie, ayah saya, Do-mingos Gonçalves, Kepala Desa Ritabou, sering kedatangan in-telijen Kodim Maliana. Kadang-ka-dang secara resmi tetapi seringkali secara diam-diam.

Selama pendudukan Indonesia ayah saya bekerjasama dengan gerakan pro-kemerdekaan. Tetapi ia selalu berusaha menyembunyikan informasi setiap aktivitas gerakan

klandestin itu. Barangkali aktivitasnya itu telah dike-tahui pihak TNI sehingga mereka sering memantau ke-giatan ayah saya.

Pada 4 September, seki-tar pukul 16.00, Dandim Maliana bersama sejumlah anggotanya yang bersera-gam militer bersenjata leng-kap keliling Desa Ritabou mengumumkan, agar masya-rakat mengungsi ke Polres

dan Kodim Maliana. “Siapa yang ta-kut, datang saja ke Polres atau Kodim. Di sana Anda akan aman!” demikian bunyi pengumuman itu.

Tanggal 5 September sekitar pukul 12.00, ayah kami memutuskan untuk membawa kami mengungsi ke Polres Maliana karena rumah kami sangat dekat dengan rumah Natalino Monte-iro yang selalu penuh Milisi DMP. Kami pergi secara diam-diam. Sebe-lumnya tiga anggota TNI, Francisco Maumeta, Miguel, dan Silverio, se-muanya dari Kodim, mendatangi ru-mah kami. “Kamu ini TNI dan juga kepala desa, tetapi masih melawan In-donesia dan memberi makan Falin-til!”

Di Polres Maliana ternyata banyak orang yang mengungsi di sana. Kami memilih tinggal bersama di dalam sa-tu tenda dengan maun Julio dan Ma-nuel Barros bersama keluarganya.

Manuel dan Julio adalah kakak ber-adik yang juga tewas dibunuh bersa-maan dengan ayah saya. Polisi ber-senjata lengkap juga terlihat berada di antara pengungsi.

Pada 6 September situasi di kantor polisi itu masih tenang, belum terjadi tindak kekerasan apa-apa. Milisi ter-lihat berjalan kesana-kemari. Bebe-rapa yang saya kenal adalah João Fer-nandes, João Gombloh, Marito

war-ga Ritabou. Sekitar pu-kul 10.00 Na-talino, Mateus Mauleto (pe-gawai Pemda Maliana asal Builalo NTT), Marcus Tato (tinggal di Ri-tabou), Dan-dim Maliana Siagian, João Tavares, Jorge Tavares (ketua DPRD II Maliana), Francisco Mau Laleok, dan Kapolres Maliana mengadakan rapat di sebuah ruangan di Polres Maliana. Saya tidak tahu apa yang mereka bahas. Rapat baru berakhir sekitar pukul 12.00.

Pada 8 September 1999, antara pu-kul 10.00-11.00, seorang milisi ber-nama Salvador (35 tahun), menga-takan pada ibu saya bahwa rumah ka-mi sebentar lagi akan dibakar. Ibu sa-ya menjawab, “Bakar saja sesuai ke-inginan kalian!”

Sekitar pukul 18.00, pengungsi di Polres Maliana diserang milisi. Pada saat itu kami sedang memasak, seke-tika itu pula kami lari berhamburan dan mencoba ke asrama polisi yang terletak di dalam kompleks Polres Maliana. Ibu saya ada di barisan ter-depan, sementara saya dan ayah me-nyusul dari belakang. Kami berhasil masuk dan bersembunyi di salah satu

ruangan asrama itu. Sementara ibu bersama keluarga lainnya masuk ke ruangan lain.

Dalam ruangan itu saya dan ayah bersembunyi di bawah kolong meja. Karena khawatir ruangan itu akan di-datangi milisi, ayah menyuruh saya keluar untuk memantau situasi. Di lu-ar, saya melihat satu keluarga sedang duduk ketakutan di depan ruangan tempat kami bersembunyi. Untuk menghindari kecurigaan milisi, saya langsung bergabung dengan mereka.

Ayah saya ternyata kemudian keluar ruangan sambil membawa pedang ka-rena takut. Saya kemudian menyuruh ayah untuk masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruangan tempat kami sembunyi sebelumnya. Di situ saya menyuruh ayah bersembunyi di balik lemari.

Setelah ayah bersembunyi, saya kembali duduk di antara keluarga ta-di. Sesaat kemudian beberapa milisi lewat di depan tempat persembunyian Ayah sambil berteriak-teriak, “Di mana Manuel Magelhaes? Dimana Kepala Desa Ritabou (maksudnya a-yah saya, Domingos Gonçalves)? Cari sampai dapat! Sudah berpolitik malah sembunyi lagi!”

Sekitar pukul 20.00, seorang milisi bernama João Koemeta memasuki ru-ang persembunyiaan Ayah dan berte-riak dari ruangan, “Ida mak ne’e!” Koemeta kemudian memanggil João Fernandes. João segera masuk ru-angan dan menyeret ayah. Sampai di luar saya melihat ayah saya ditikam dengan pedang beberapa kali tepat di bagian punggung yang tembus ke perut dan dada. Milisi lain, João Gombloh dan Koemeta ikut menikam ayah saya. Mereka terus memukul ayah dengan hingga tewas. Saya menyaksikan pem-bunuhan ayah dengan jelas dan me-ngenal dengan pasti pelakunya karena saat itu lampu menyala terang. ***

Isabel Pereira, Anak Domingos Gonçalves

Sudah Berpolitik Malah Sembunyi ...

Lorong kekejaman milisi

(12)

12

Direito 17 4 Juni 2001

O p i n i

Kejahatan terhadap Kemanusiaan

oleh

Redaksi Direito

M

asyarakat internasional

telah mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan yang luar biasa kejam di Timor Lorosae sepanjang Januari hingga September 1999. Setelah melakukan penyelidikan, Komisi Penyelidik Internasional yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan telah terjadinya “pe-langgaran berat hukum hak asasi manusia yang mendasar dan pelang-garan hukum humaniter interna-sional.” Komisi juga menemukan bukti-bukti bahwa tentara Indonesia (TNI) dan kelompok-kelompok milisi terlibat dalam pelanggaran tersebut. Sementara Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur (KPP HAM) Indonesia salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa “telah terjadi pelanggaran be-rat hak asasi manusia yang dilakukan secara terencana, sistematis serta da-lam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perko-saan dan perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumi-hangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Pada kedua hasil penyelidikan tersebut terdapat tiga istilah penting yang pengertiannya masih belum banyak dikenal. Tiga konsep itulah yang diuraikan dalam tulisan ini. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Hukum internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang ditujukan untuk

menjamin dan menjamin perlindungan pada pribadi (individu). Hukum ini memusatkan perhatian pada kepen-tingan individu dan kelompok indi-vidu, dan terutama hubungan individu dengan pemerintah (negara). Tujuan-nya adalah memberikan perlindungan internasional untuk hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu dan kelompok individu dari pelanggaran oleh pemerintah (dan juga pelang-garan individu, kelompok individu, dan organisasi bukan pemerintah) dan menjamin adanya keadaan yang se-suai dengan martabat manusia. Ka-rena tujuaannya itu, hukum ini berlaku di masa damai maupun dalam konflik bersenjata internasional maupun bu-kan internasional.

Meskipun ide-ide tentang hak asasi itu sudah muncul pada abad ke-18, gagasan tentang hukum internasional untuk menjamin hak asasi baru muncul setelah Perang Dunia II. Pada masa perang, banyak sekali orang sipil yang tak terlindungi dari kekajaman perang. Selain itu, pemerintah Nazi Jerman yang mengawali perang, ketika berkuasa banyak melakukan kekejaman terhadap warganegaranya sendiri. Mereka menangkap, memen-jarakan, bahkan mengeksekusi tanpa proses hukum yang adil orang-orang yang berpandangan politik lain. Me-reka bahkan mengirim ke kamp-kamp kerja paksa dan kemudian bahkan me-lakukan pembunuhan massal terhadap orang Jerman yang berdarah Yahudi. Kekejaman-kekejaman tersebut me-nyadarkan perlunya hukum interna-sional untuk melindungdi individu. Salah satu langkahnya adalah pem-bentukan pengadilan internasional (di kota Nuremberg) untuk mengadili

or-ang-orang Nazi. Langkah selanjutnya adalah diterimanya “Pernyataan Semesta Hak Asasi Manusia” oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1949. Dengan adanya hukum interna-sional hak asasi manusia, setiap in-dividu punya hak untuk mendapat per-lindungan minimum dari pemerintah negaranya, dan hak ini mengharuskan pemerintah negara lain melakukan tindakan penegakan jika pemerintah negara bersangkutan tidak menjalan-kan kewajibannya. Dengan kata lain, jika pemerintah suatu negara mem-biarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warganega-ranya sendiri, atau malah pemerintah itu sendiri atau aparatnya melakukan pelanggaran, maka pemerintah nega-ra-negara lain punya kewajiban negakkan hak tersebut dengan me-nangkap dan membentuk pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku pelanggaran tersebut.

Hukum Humaniter Internasional Hukum humaniter internasional adalah semua norma hukum interna-sional yang bertujuan memberi per-lindungan sewaktu timbul konflik bersenjata internasional dan juga kon-flik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bisa menjalankan tugas tempur-nya lagi (karena sakit, luka atau ter-tangkap pasukan lawan), dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Hukum ini juga mengatur hak dan kewajiban negara (dan organisasi bersenjata lainnya) yang berperang serta membatasi me-tode-metode peperangan yang boleh digunakan. Empat Konvensi Jenewa, yang dicapai pada tahun 1949, adalah

(13)

O p i n i

bagian penting dari hukum humaniter

internasional ini.

Pelanggaran terhadap hukum hu-maniter internasional disebut “keja-hatan perang”. Keja“keja-hatan perang ter-hadap anggota pasukan tempur yang tidak lagi bisa bertempur antara lain meliputi pembunuhan; penyiksaan; menimbulkan penderitaan besar, atau luka yang serius terhadap badan atau kesehatan; penghancuran dan peram-pasan luas harta benda, yang tidak di-perlukan oleh kebutuhan peperangan; deportasi atau pemindahan tahanan yang tidak sah; penyanderaan.

Sedang kejahatan perang terhadap penduduk sipil antara lain adalah: me-nyerang penduduk sipil yang tidak libat dalam peperangan; serangan ter-hadap obyek-obyek sipil,

serangan terhadap perso-nil, instalasi, barang, satu-an atau kendarasatu-an ysatu-ang ter-libat misi bantuan kemanu-siaan atau misi perdamai-an; serangan yang diketa-hui akan menimbulkan ke-hilangan nyawa atau luka penduduk sipil, merusak obyek-obyek sipil atau lingkungan yang yang bu-kan tuntutan keharus-an militer; serangan atau pem-boman kota, desa, tempat tinggal atau gedung yang bukan sasaran militer;

pe-mindahan penduduk sipil negaranya ke wilayah negara yang diduduki atau pemindahan penduduk wilayah pen-dudukan di dalam maupun ke luar wi-layah; serangan terhadap gedung peri-badatan, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau amal, monumen se-jarah, rumahsakit dan tempat penam-pungan orang sakit atau luka; pemo-tongan anggota badan atau percobaan medis terhadap orang yang dikuasai, yang tidak diharuskan oleh perawatan medis; menghancurkan atau menyita harta milik musuh yang tidak diperlu-kan oleh kebutuhan perang; memaksa orang dari pihak lawan untuk menja-lankan operasi perang terhadap

nega-ra mereka sendiri; menjanega-rah kota atau tempat yang diserang; menggunakan senjata dan metode perang yang me-nyebabkan luka atau penderitaan yang tidak perlu; melakukan perbuatan bi-adab terhadap kehormatan pribadi; perkosaan, perbudakan seksual, pros-titusi paksa, penghamilan paksa, ste-rilisasi paksa dan kekerasan seksual lainnya; menggunakan kelaparan pen-duduk sipil sebagai metode perang, dengan menghalangi mereka memper-oleh sarana yang diperlukan untuk mempertahankan hidup.

Menurut hukum internasional, Ti-mor Lorosae sejak 7 Desember 1975 adalah wilayah yang diinvasi dan ke-mudian dianeksasi Indonesia. FA-LINTIL berperang melawan

Indone-sia. Dalam konteks itu, kekerasan-ke-kerasan yang dilakukan oleh kelom-pok-kelompok milisi (dengan keter-libatan TNI/Polri) sepanjang 1999, seperti penyerangan terhadap orang sipil, pembakaran rumah, perkosaan seksual, merupakan “kejahatan pe-rang.”

Kejahatan terhadap Kemanusiaan Istilah “kejahatan terhadap kem-anusiaan” digunakan dalah peng-adilan Nuremberg untuk perbuatan kejam Nazi Jerman terhadap warga-negara Jerman sendiri. Istilah ini sa-ngat erat dengan hukum hak asasi ma-nusia, karena biasanya yang dimaksud

adalah pelanggaran berat terhadap (hukum) hak asasi manusia.

Menurut Statuta Roma, yang digo-longkan kejahatan terhadap kema-nusiaan adalah tindakan-tindakan be-rikut ini yang dilakukan sebagai ba-gian dari serangan yang “luas” atau “sistematis” yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil yang merupakan kelanjutan kebijakan Ne-gara: a) pembunuhan; b) pembasmian; c) perbudakan; d) deportasi atau pe-mindahan paksa penduduk; e) pena-hanan atau tindakan pencabutan kebe-basan fisik lainnya; f) penyiksaan; g) perkosaan, perbudakan seksual, pros-titusi paksa, penghamilan paksa, ste-rilisasi paksa, atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang bobotnya sa-ma; h) persekusi terhadap kelompok atau kolektivitas tertentu karena alasan po-litik, rasial, kebangsaan, et-nis, budaya, agama, gender, atau alasan-alasan lain yang secara universal tidak di-perbolehkan menurut hukum internasional; i) penghila-ngan orang secara paksa; j) kejahatan apartheid; k) tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya yang berkarakter serupa yang dimaksudkan untuk menim-bulkan penderitaan besar, a-tau luka yang serius terhadap badan atau jiwa atau kesehatan fisik. Pemberian istilah ini mencermin-kan pengertian bahwa kejahatan itu demikian beratnya sehingga yang di-anggap menjadi sasarannya bukan ha-nya orang per orang yang langsung menjadi korbannya, tetapi seluruh u-mat manusialah yang sesungguhnya menjadi sasaran. Oleh karena itulah yang punya wewenang mengadili pe-lakunya bukan hanya negara yang ber-sangkutan, tetapi negara mana saja ya-ng bisa menaya-ngkap pelakunya, deya-ngan suatu pengadilan berdasarkan hukum internasional. Dalam hal ini yang me-mutuskan adalah Dewan Keamanan PBB.***

(14)

14 Direito 17 4 Juni 2001

Serba Serbi

Y

ang dilakukan PBB di Timor Lorosae di masa transisi sa-ma persis dengan yang dila-kukannya di Kosovo. Demikian dike-mukakan oleh Wakil Ketua Asosiasa-un Nasional Makaer FukAsosiasa-un Timor Lorosae (AMNEFTIL), Adérito de Jesus Soares dalam diskusi dua mingguan Yayasan HAK, 12 Mei lalu. Misi PBB di Kosovo dilakukan ber-dasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1244 yang memberi Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB di Kosovo wewenang eksekutif, legislatif, dan administrasi peradilan. Persis sama dengan Resolusi DK PBB1272 tentang pembentukan UNTAET.

Yang dilakukan Sergio de Mello ju-ga sama denju-gan yang dilakukan Wakil Khusus Sekjen PBB di Kosovo, Ber-nard Kouchner, dari Prancis. Di Kosovo, Kostner mendirikan Dewan Nasional yang beranggotakan 36 or-ang yor-ang dior-anggap mewakili berbagai golongan penduduk Kosovo yang ber-jumlah tiga juta. Persis yang kemu-dian dilakukan di sini oleh Sergio de Mello dengan membentuk Dewan Nasional beranggotakan 33 orang.

Yang terjadi dengan tentara juga sa-ma. Tentara Kosovo, Kosovo Libera-tion Army (KLA) dibubarkan. Anggo-tanya menjalani program pemasyara-katan kembali yang dijalankan oleh IOM (International Organization of Migration). Di Timor Lorosae FALINTIL dibubarkan, para anggota yang tidak lulus seleksi FDTL, men-jalani program yang mempersiapkan kembali ke kehidupan sipil, yang juga dijalankan oleh IOM.

Di Kosovo dibentuk pemerintahan bersama, semacam ETTA. Jumlah ke-menteriannya ada 20, lebih banyak daripada di Timor Lorosae. Di semua

Dari Diskusi Dua Mingguan Yayasan HAK:

UNTAET adalah Fotocopy Misi di Kosovo

kementerian ini ada orang PBB dan orang lokal pada semua tingkatan. Sumberdaya manusia mereka memang lebih siap.

Sama dengan di Timor Lorosae, di sana polisi internasional sangat tidak efektif menangani kriminalitas. Petugas polisi yang berasal dari sa-ngat banyak negara dengan hukum yang berbeda-beda, berkumpul untuk menangani masalah di negeri yang sebelumnya tidak mereka kenal. Militer multinasional yang beroperasi di sana juga tidak bebas dari masalah. Antara tentara negara-negara tertentu terjadi friksi.

Di bidang humanitarian, setelah pemboman besar-besaran NATO, 500 NGO internasional datang. Di antara NGO internasional terjadi friksi. Se-mentara NGO nasional dalam bekerja sikapnya sangat reaktif, yaitu hanya bereaksi terhadap keinginan badan-badan pemberi dana dari luar negeri. Mereka tidak punya agenda yang menyeluruh.

“UNTAET adalah fotocopy UN-MIK (United Nations Mission in Ko-sovo, Misi PBB di Kosovo),” kata Adérito. Sama dengan di Kosovo, UNTAET melemahkan institusi-insitusi lokal, bukan mendukungnya supaya bisa bikin pemerintahan sen-diri. CNRT diabaikan, jaringan klan-destin disingkirkan, FALINTIL dibu-barkan. Padahal dengan jaringan klan-destinnya CNRT antara lain bisa difungsikan sebagai penyalur infor-masi yang pasti akan bisa menjangkau penduduk sampai pedalaman.

Kelemahan internal perlawanan Timor justru ikut mendukung terjadinya pelemahan ini. Setelah kepergian tentara Indonesia, pihak perlawanan tidak berhasil melakukan konsolidasi kekuatan. CNRT terlalu

memberi kepercayaan yang besar kepada komunitas internasional untuk mendirikan negara Timor Lorosae. Dalam hal penanganan pengungsi, kepercayaan terlalu besar diberikan kepada UNHCR. Akibatnya, Gereja Katolik yang berpotensi besar justru tidak berperan.

Karena kepercayaan yang terlalu besar itu, pihak perlawanan juga tidak memiliki agenda transisi. Dalam Ko-ngres Nasional CNRT Agustus tahun lalu, masalah-masalah setelah kemer-dekaan dibicarakan panjang lebar, te-tapi agenda transisi justru tidak di-singgung sama sekali.

NGO Timor Lorosae juga sangat lemah. NGO kita memang belum pu-nya pengalaman melakukan advokasi bersama untuk satu masalah tertentu. Misalnya tidak ada koalisi bersama untuk menangani masalah tanah atau pengungsi. Kebanyakan hanya “melyani” keinginan lembaglembaga a-sing pemberi dana. Dialog antar NGO sendiri juga belum ada untuk mem-bahas agenda perubahan ke depan.

“Kita harus kritis melihat kepen-tingan jangka pendek dan panjang mi-si PBB di mi-sini,” kata Direktur Yayasan HAK Aniceto Guterres Lopes, yang juga anggota Dewan Nasional. Dalam jangka pendek bermain kepentingan staf PBB yang dengan misi di sini i-ngin karirnya naik. Buat mereka, rak-yat Timor Lorosae tidak menjadi per-timbangan penting. “Bagi mereka, yang penting program berjalan lancar sesuai rencana mereka.”

Diskusi ini dihadiri oleh aktivis-aktivis pemuda, NGO, dan jurnalis. Diskusi rutin semacam ini diseleng-garakan untuk mengasah ketajaman analisis supaya mempermudah akti-vitas pemberdayaan rakyat Timor Lorosae. ***

(15)

Ami Lian

M

ajelis hakim khusus, Maria Natercia Pereira, Sylver Ntukamazina, dan Luca L. Ferrero telah menjatuhkan hukuman 12 tahun bagi João Fernandes (23 ta-hun), anggota milisi Dadurus Merah Putih (DMP), pada 25 Januari lalu. Ia terbukti membunuh Domingos Gon-çalves Pereira, pada 8 September dua tahun lalu.

Ia ditangkap pada 18 Juli 2000 oleh CivPol Distrik Bobonaro berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hu-kum Acara Pidana). João mengakui sebagai anggota DMP, pada 8 Sep-tember dia diperintahkan untuk datang ke rumah Komandan DMP, Ir. Natali-no Monteiro di Desa Ritabou. Dia mengakui bahwa dia dan anggota DMP lain diberi pedang “samurai” dan diperintahkan untuk ke Polres Maliana untuk membunuh mereka yang berlindung di kantor polisi itu. Sebelumnya, mereka dibawa ke Ko-ramil (Komando Rayon Militer) un-tuk mencat muka dengan cat hitam.

João juga mengaku, selama di Pol-res dia diperintah untuk membunuh semua laki-laki. Dia juga menyata-kan, Kepala Polres membawa dia dan João Gombloh, anggota milisi yang lain, ke sebuah ruangan di mana Domingos Gonçalves Pereira, kepala Desa Ritabou bersembunyi. João me-ngaku bahwa dia menyeret Domingos dari tempat persembunyiannya dan menusuknya dengan pedangnya di punggung. Dia menambahkan bahwa setelah Domingos jatuh ke lantai, João Gombloh menusuk korban dua kali di bagian dada.

Dia juga mengaku, karena korban masih hidup dan mencoba untuk ba-ngun, maka dia menusuk kedua kali punggung Domingos sehingga me-ninggal. João mengaku bahwa dia

Kasus João Fernandes:

membunuh korban atas perintah TNI dan Natalino Monteiro karena dia a-dalah pendukung kemerdekaan.

Fernandes menerima semua bukti dan pernyataan saksi-saksi. Di antara-nya keterangan Augusta Godinho pada 14 Juli, pernyataan Jacinta Pereira tertanggal 15 Juli, dan saksi Isabel

Pereira pada 17 Juli tahun lalu. Semua saksi dalam pernyataannya meng-identifikasikan João Fernandes seba-gai orang yang menusuk Domingos Gonçalves Pereira sampai mening-gal.

Menurut Isabel Pereira, anak kor-ban, sekitar pukul 20.00, seorang mi-lisi bernama João Koemeta mema-suki ruang persembunyian ayahnya dan berteriak dari dalam ruangan, “Ida mak ne’e!” Koemeta kemudian memanggil João Fernandes. João se-gera masuk ruangan dan menyeret a-yah Isabel. “Sampai di luar saya meli-hat ayah saya ditikam dengan pedang beberapa kali tepat di bagian pung-gung yang tembus ke perut dan dada.” Milisi lain, João Gombloh dan Koe-meta ikut pula menikam ayahnya. Me-reka terus memukul ayahnya hingga tewas. Isabel menyaksikan pembu-nuhan ayahnya dengan jelas dan

me-ngenal dengan pasti siapa pelakunya, karena pada malam itu lampu menya-la terang (baca juga Kesaksian).

Mengingat pengakuan bersalah da-ri João Fernandes pada 10 Januada-ri, berdasarkan Bagian 8 Regulasi UN-TAET No. 15/2000 dan Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Panel Khusus untuk Kejahat-an Berat di PengadilKejahat-an Distrik Dili menghukum João Fernandes dengan hukuman penjara selama 12 tahun atas kejahatan pembunuhan yang didak-wakan kepadanya.

Penjelasannya, menurut Jaksa Brenda Hollis dan Antonino, berda-sarkan pasal 340 KUHP, hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Panel Khusus kepada terpidana yang me-lakukan pembunuhan adalah hukuman mati, seumur hidup atau hukuman penjara selamalamanya 20 tahun. Regulasi No. 1/1999 mencabut hu-kuman mati (bagian 3.3) dan Regulasi No. 15/2000 bagian 10 mencabut hu-kuman penjara seumur hidup, dengan mengatur bahwa harus ditetapkan jumlah tahun, yang tidak boleh lebih dari 25 tahun.

Adilkah hukuman yang dijatuhkan pada João Fernandes? Menurut KPP-HAM penyerangan Polres Maliana merupakan bagian dari pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan meluas di Timor Lorosae 1999. Tetapi Jaksa hanya mendakwa Fernandes dengan pasal pembunuhan biasa. Kenapa? “Karena tidak ada bukti telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Jaksa. Dan Jaksa berjanji, akan mencari keadilan secepatnya meng-ingat Fernandes masih berada di ta-hanan. Tetapi, Fernandes berhasil menggergaji jeruji penjara dan mela-rikan diri entah kemana.***

(16)

Redaksi Direito

Neves, Julio, NK, Pinto, Caminha, TI, Moises, Oscar, Viana, Edio, Kopral, Martinho.

Ami Lian

Diterbitkan atas dukungan:

Orang-orang banyak bicara tentang rekonsiliasi. Mau rekonsiliasi dengan siapa? Kalau mau rekonsiliasi, orang-orang yang melakukan kejahatan itu harus datang dulu ke sini, baru diadakan rekonsiliasi. Kalau mereka tetap di sana, mau rekonsiliasi dengan siapa?

Kami ingin menghilangkan ingatan tentang perbuatan mereka. Tetapi sulit sekali. Perasaan kami sangat mende-rita, kami kehilangan semuanya. Tetapi, kami ingat kembali bahwa dulu kami selalu berpikir “Mate ka moris ukun rasik an” (“Hidup atau mati, yang penting merdeka”). Kalau kami ingat kata-kata itu perasaan kami tenang. Suami saya, yang menjadi ko-ordinator CNRT Sub-Região Bobo-naro [Manuel Magelhaes, yang di-bunuh milisi bersama 12 orang lain-nya setelah melarikan diri dari Polres Maliana, tetapi tempat persembunyi-annya diketahui oleh Duarte Mon-teiro, kakak kandung pimpinan Dadu-rus Merah Putih Ir. Natalino Montei-ro, Red.] selalu mengatakan bahwa kalau mau merdeka, kalau mau punya negara sendiri, harus berani berkor-ban, harus berani mati. Ini adalah se-buah konsekuensi. Kata-kata itu ka-dang membuat perasaan kami tenang, Tetapi untuk menghilangkan semua perasaan sedih hati kami betul-betul tenang itu sulit sekali.

Kami sebagai keluarga korban tidak menuntut macam-macam. Asal orang-orang yang melakukan keja-hatan itu mengakui perbuatannya dan mengakui mengapa mereka berbuat itu. Itu sudah cukup bagi kami. Kami tidak mau menuntut darah dibalas

de-ngan darah. Kami tidak ingin mem-balas dendam. Timor harus hidup ke masa depan dengan baik. Kita harus menghentikan kekerasan. Bagi saya, cukup orang-orang yang membunuh suami saya mengakui mengapa me-reka membunuh, bagaimana meme-reka membunuh, dan di mana mayatnya dibuang. Itu cukup.

Tetapi negara punya hukum dan hukum harus tetap ditegakkan. Orang-orang yang melakukan kejahatan itu harus diadili sesuai hukum yang ber-laku di Timor Lorosae.

Kami yang kehilangan suami dalam pembantaian tahun lalu membentuk Grupo 99 untuk saling berbagi infor-masi dan berdiskui mengenai per-soalan-persoalan kami. Untuk mengu-rangi penderitaan perasaan, seperti trauma, kami bekerjasama dengan FOKUPERS (Forum Komunikasi Pe-rempuan Timor Lorosae, organisasi non-pemerintah untuk pemberdayaan perempuan, Red.). FOKUPERS

“Mereka cukup datang dan mengakui

perbuatannya ...”

(Regina Costa Leite, 42 tahun, koordinator Grupo 99, bekas pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tinggal di Maliana)

“Harus diadili di Pengadilan Internasional”

(Jaime dos Santos, 32 tahun, petugas security, tinggal di Jl. Comoro Dili)

Para milisi yang melakukan ke-jahatan itu harus diadili di Pengadilan Internasional. Agar mereka bisa mengakui kesalahan mereka di mata dunia internasional.

Orang-orang yang dipaksa milisi mengungsi harus cepat diurus oleh

pemerintah Indonesia dan PBB. Agar mereka bisa segera pulang ke Timor Lorosae. Kalau yang betul-betul mili-si biarkan saja mereka di negaranya [Indonesia, Red.]. Mereka dulu mengatakan mati hidup demi merah putih.***

memberikan counseling [semacam bimbingan mental untuk mengatasi trauma, Red.]. Kami juga sering berbicara dengan suster-suster (madre sira). Ini bisa meringankan penderitaan kami.

Ekonomi juga menjadi persoalan keluarga korban. Untuk mengatasinya kami mendirikan koperasi ekonomi. Tetapi kami masih harus banyak belajar. Karena kami baru memulai usaha ini. Kami juga kesulitan transportasi. Tapi kami harus terus berusaha.***

Foto: Nug Katjasungkana

Regina Costa Leite

Setiap orang berhak atas pengadilan yang adil.

Referensi

Dokumen terkait

Beberаpа kаrаkteristik dаri mаskаpаi low cost cаrrier (LCC) аtаu penerbаngаn berbiаyа murаh аdаlаh stаndrаtisаsi pаdа kаbin dаn аrmаdа pesаwаt, menghilаngkаn

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki petani/pengusaha, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Untuk Pelaksanaan Ujian Nasional Tersebut Mendiknas Telah Mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 97 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kelulusan

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi yang berjudul “PROFIL PENYAKIT CAMPAK PADA

Dari persepsi netizen Indonesia, jika pemerintah ingin merevisi logo Asian Games 2018, empat hal utama yang perlu diperhatikan adalah logo perlu memiliki tampilan dan

Namun demikian, Saham Gratis yang terdaftar atas nama Penerima Manfaat akan diambil kembali berdasarkan ketentuan di bawah ini dan Penerima Manfaat tidak dapat

Strip album ONCE UPON A TIME IN THE FUTURE (1991.) objavljuje u saradnji sa izdavacem “Strip Art Features”, da bi album objavili: “Platinum” (SAD), “Arboris” (Holandija),