• Tidak ada hasil yang ditemukan

tanaman akar wangi atau serai wangi akan mampu melindungi tanggul kecil dari kerusakan erosi akibat aliran air permukaan. Upaya penghijaun dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "tanaman akar wangi atau serai wangi akan mampu melindungi tanggul kecil dari kerusakan erosi akibat aliran air permukaan. Upaya penghijaun dengan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jarak Pagar

Jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah. Tanaman jarak pagar dibawa ke Indonesia dan di tanam paksa pada pemerintahan Jepang yang bijinya dijadikan bahan bakar minyak (BBM) oleh tentara Jepang. Tanaman ini termasuk kedalam famili

Euphorbiaceae, merupakan jenis tanaman yang cepat tumbuh dan menyebar di

berbagai daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan berbagai nama daerah diberikan untuk jarak pagar seperti nawaih (NAD), jirak (Sumatera Barat), kalake

pagar (Sunda), jarak gundul (Jawa), jarak pageh (Nusa Tenggara), paku kase

(Timor), bindalo (Sulawesi) (Prihandana dan Hendroko, 2006).

Minyak jarak pagar selain sebagai bahan baku biodiesel juga digunakan sebagai bahan baku farmasi dan industri kosmetika. Menurut Alamsyah (2006), semua bagian tanaman jarak pagar telah digunakan sejak lama dalam pengobatan tradisional. Minyaknya digunakan sebagai pembersih perut (pencahar), mengobati penyakit kulit dan untuk penyakit rematik. Sari pati cairan rebusan daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antiseptik pasca melahirkan. Bahan yang berfungsi meredakan luka dan peradangan juga telah diisolasi dari bagian tanaman jarak pagar. Berbagai ekstrak dari biji dan daun jarak pagar menunjukkan sifat antimoluska, antiserangga, dan anti jamur. Salah satu produk bahan baku kosmetika seperti yang diutarakan oleh Hambali (2007), bahwa pemanfaatan minyak jarak pagar dapat diolah menjadi sabun apique, transparan dan sabun krim karena mampu memberikan efek positif terhadap kulit, terutama bila ditambahkan gliserin pada formula sabun tersebut.

Selanjutnya Rivaie et al. (2006), menyatakan ampas biji jarak pagar (seed

cake) sebagai hasil samping dari pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak kasar

(crude jatropha oil) merupakan sumber pupuk organik yang potensial. Hasil penelitian menunjukkan ampas dari biji jarak pagar mengandung N (4.44%), P (2.09%), dan K (1.68%).

Manfaat secara ekologi tanaman jarak pagar yang disebut sebagai tanaman pioner, tanaman penahan erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin. Akar lateralnya yang menyebar di permukaan tanah, jika ditanam bersama

(2)

tanaman akar wangi atau serai wangi akan mampu melindungi tanggul kecil dari kerusakan erosi akibat aliran air permukaan. Upaya penghijaun dengan jarak pagar sangat bermanfaat untuk menyerap polusi udara. Kemampuan jarak pagar menyerap gas karbondioksida dari atmosfer cukup tinggi, sebesar 1,8 kg/kg bahan kering tanaman (Prihandana dan Hendroko 2006).

Jarak pagar dapat tumbuh luas di daerah tropis dan sub-tropis. Menurut Okabe dan Somabhi (1989) tanaman jarak pagar yang ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir memberikan hasil produksi tertinggi. Selanjutnya Jones dan Miller (1992) mengemukakan bahwa meskipun jarak pagar terkenal dapat tumbuh di tanah berkerikil, berpasir, dan berliat tetapi di tanah tererosi berat pertumbuhannya kerdil. Bila perakarannya sudah cukup berkembang jarak pagar dapat toleran terhadap kondisi tanah yang kurang subur, namun demikian tanaman jarak pagar apabila di tanam pada pH 5.5-6.5, suhu 11-38 oC dan ketinggian 0-1700 m dpl akan tumbuh dan berproduksi dengan baik ( Heller, 1996).

Henning (2004) menyatakan tanaman jarak pagar membutuhkan curah hujan paling sedikit 600 mm per tahun untuk tumbuh baik dan jika curah hujan kurang dari 600 mm per tahun tidak dapat tumbuh, kecuali dalam kondisi tertentu seperti di kepulauan Cape Verde meski curah hujan hanya 250 mm tetapi kelembaban udaranya sangat tinggi.

Tanaman jarak pagar berbentuk pohon perdu dengan tinggi mencapai 5 - 7 meter, dan bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, berbentuk silindris dan bergetah. Tanaman ini mampu hidup sampai berumur 50 tahun. Daun jarak pagar berupa daun tunggal, berwarna hijau muda sampai hijau tua, permukaan bawah lebih pucat daripada bagian atasnya. Bentuk daun menjari (5 sampai 7 sudut) dengan panjang 6 cm dan lebar 15 cm yang tersusun secara selang- seling. Panjang tangkai daun sekitar 4 sampai 15 cm (Prihandana dan Hendroko, 2006). Bunga jarak pagar tersusun dalam rangkaian (inflorescence), biasanya terdiri atas 100 bunga atau lebih, persentase bunga betina 5 sampai 10 %. Bunga memiliki 5 sepal dan 5 petal yang berwarna hijau kekuningan atau coklat kekuningan. Bunga jantan mempunyai 10 tangkai sari yang tersusun dalam dua lingkaran masing-masing berisi lima tangkai sar i yang menyatu berbentuk tabung. Bunga betina lebih besar dari bunga jantan terdiri atas ovari yang beruang 3

(3)

sampai 5 lokul yang masing-masing berisi satu bakal biji. Bunga betina membuka 1-2 hari lebih dahulu dari bunga jantan dengan jangka pembungaan 10-15 hari per infloresensia. Bunga jarak pagar menyerbuk dengan bantuan serangga; bunga menghasilkan nektar yang mudah terlihat dan harum sehingga dihinggapi oleh serangga-serangga (Hasnam, 2006). Menurut Utomo (2007) lama fase berbunga dalam satu malai adalah 14-21 hari. Pada jarak pagar jumlah bunga betina dan hermaprodit dalam satu malai sangat sedikit. Bentuk bunga jantan dan betina dapat di lihat pada Gambar 1.

Buah jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur, berdiameter 2 sampai 4 cm. Berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika sudah masak. Pembentukan buah membutuhkan waktu selama 90 hari dari pembungaan sampai buah masak. Buah jarak pagar masak tidak serentak. Di satu rangkaian akan terdapat bunga, buah muda, serta buah yang sudah kering, buah terbagi menjadi tiga ruang yang masing-masing berisi satu biji (Prihandana dan Hendroko, 2006). Gambar 2 menunjukkan tingkat masak buah jarak yang tidak serentak.

Bunga Jantan Bunga Betina ( Sumber: Info Tek Jarak Pagar 2006)

(4)

(Sumber: Info Tek Jarak Pagar 2006)

Gambar 2 Buah jarak pagar yang masak tidak serentak

Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman. Panjang biji 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang terdiri dari 60 % berat endoperm dan 40 % berat testa. Endosperm biji jarak pagar mengandung sekitar 40 sampai 50 % minyak sehingga dapat diekstrak menjadi minyak jarak yang memiliki komposisi trigliserida yang mengandung asam lemak oleat (43.2%), asam linoleat (34.3%), asam palmitat (14.2%) dan asam stearat (6.9%) (Hambali et al., 2006). Gambar 3 menunjukkan biji jarak pagar dan bagian-bagiannya. Secara umum deskripsi jarak pagar IP-1P terlampir pada Lampiran 1.

Keterangan: (A); caruncle, (B); testa, (C); endosperma, (D); poros embrio (E);kotiledon.

Gambar 3 Biji jarak pagar dan bagian-bagiannya.

A C

E D

(5)

Secara umum morfologi tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat di lihat pada Gambar 4.

( Sumber: Heller 1996) Keterangan:

a = tandan bunga f = penampang melintang buah b = batang g = buah

c = daun h = penampang membujur buah d = bunga betina i = biji

e = bunga jantan

(6)

Indikasi Perubahan Morfologi, Fisiologi dan Biokimia Selama Pemasakan Benih dan Hubungannya Dengan Viabilitas dan Vigor Benih. Sadjad (1980) menyatakan bahwa informasi tentang viabilitas dan vigor benih dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Indikasi langsung diamati berdasarkan kinerja pertumbuhan masing – masing struktur tumbuh kecambah atau bibit. Indikasi tidak langsung melalui pendekatan enzimatis dengan tidak memperhatikan fenomena pertumbuhan tetapi hanya gejala metabolisme saja. Selanjutnya Sadjad (1993) menambahkan adanya indikasi yang didasarkan pada sifat fisik benih dengan tolok ukur daya hantar listrik dan indikasi yang didasarkan pada aspek biokimia ini termasuk dalam kategori indikasi tidak langsung.

A. Perubahan Morfologi dan Fisiologi Selama Proses Pemasakan Benih Tahap perkembangan benih dapat dibagi tiga yaitu tahap perkembangan embrio, tahap akumulasi cadangan makanan (disebut juga tahap pemasakan benih) dan tahap pematangan benih. Tahap perkembangan embrio ditandai dengan pembagian sel yang cepat setelah fusi seksual dan diakhiri dengan embrio yang hampir terbentuk seluruhnya. Tahap akumulasi cadangan makanan ditandai dengan adanya peningkatan cadangan makanan benih karena adanya translokasi cadangan makanan yang dibuat di dalam bagian tanaman yang hijau kepada benih melewati funikulus. Tahap terakhir adalah pematangan benih dimana benih mulai mengering atau mengalami desikasi. Lapisan gabus terbentuk pada dasar benih yang akan memutus hubungan dengan tanaman induk, menutup pasokan air dan membentuk suatu titik lemah yang memudahkan benih masak rontok (Pranoto et

al.,1990).

Hasil penelitian Utomo (2007) di kebun jarak Pakuwon pada provenan Lampung secara morfologi menunjukkan bahwa pada saat buah berumur 37 HSA buah masih berwarna hijau, kulit buah masih keras, biji berwarna putih, ukuran buah satu dengan yang lain masih belum seragam ada yang terlihat sudah besar dan ada yang kecil. Buah berumur 42 HSA berwarna hijau tua, kulit buah masih keras, warna kecoklatan sudah terlihat dibagian ujung biji, sedikit lebih tua, ukuran biji sudah relatif sama antara satu dengan yang lain. Buah berumur 47 HSA kulitnya berwarna hijau kekuningan, bagian tengah biji sudah berwarna

(7)

kecoklatan dan bagian ujung sudah terlihat kehitaman, kekerasan buah sedikit berkurang. Buah berumur 52 HSA kulitnya berwarna kuning, biji berwarna hitam mengkilat, kulit buah tidak keras, mudah dibuka dengan tangan dan saat buah berumur 57 HSA kulit buah berwarna kuning kehitaman, biji berwarna hitam. Hasil penelitian lainnya menunjukkan, benih jarak pagar yang berasal dari klon NTB dipanen pada saat buah berwarna kuning atau lebih dari 50% telah berwarna kuning kehitaman atau telah berumur 45 sampai 55 hari setelah anthesis menghasilkan vigor dan daya berkecambah yang paling baik. Cara panen individu berdasarkan kulit buah merupakan cara panen buah yang paling efektif dilakukan (Adikadarsih dan Hartono, 2007).

Delouche (1983) menyatakan bahwa proses kemasakan benih mencakup perubahan-perubahan morfologi dan fisiologi yang berlangsung sejak fertilisasi sampai bakal benih masak menjadi benih yang siap panen. Selama proses pemasakan benih, terjadi perubahan-perubahan tertentu dalam bakal benih dan bakal buah yang meliputi perubahan ukuran benih, kadar air, berat kering, dan vigor benih. Pada fase pertumbuhan biji kadar air dan berat basah meningkat pesat karena terjadi histodiferensiasi, sampai biji mencapai matang morfologi. Sebaliknya berat kering biji meningkat pesat pada fase penghimpunan makanan, sedangkan penambahan berat basah dan kadar air biji mulai melambat. Pada fase pemasakan umumnya kadar air mulai berkurang, demikian juga berat basah. Akan tetapi berat kering terus bertambah sampai masak fisiologi tercapai dimana berat kering mencapai maksimum ( Kermode 1990).

Selama periode masak fisiologi benih, perubahan secara fisiologi pada benih jarak pagar IP-1P meliputi penurunan kadar air, maksimumnya berat kering benih dan meningkatnya persentase daya berkecambah dimana masak fisiologi benih tercapai pada umur 52 – 57 HSA (Utomo 2007). Perubahan yang sama juga terjadi pada jenis tanaman lainnya seperti yang ditunjukkan oleh Ratnasari (1996) bahwa kacang tanah varietas Biawak dan Komodo mencapai tingkat masak fisiologi pada panen 85 hari setelah tanam. Perlakuan umur panen berpengaruh sangat nyata terhadap viabilitas benih kacang tanah, terutama saat penentuan masak fisiologi, yang dijabarkan dengan tolok ukur daya berkecambah maksimum, kecepatan tumbuh maksimum, bobot kering benih maksimum, dan

(8)

bobot 1000 butir maksimum. Selanjutnya Prihatiningsih (2001) menyatakan bahwa kadar air benih padi sangat nyata dipengaruhi oleh umur panen. Mulai dari umur panen 21 sampai 36 HSB, kadar air benih padi menurun (35.72 – 24.44%) karena perubahan tekstur gabah dari kesusuan, keadaan setengah cair kemudian padat berisi.

B. Perubahan Biokimiawi (Klorofil dan Karotenoid) Selama Proses Pemasakan Benih.

Viabilitas dan vigor benih dapat dideteksi dengan mengukur perubahan-perubahan secara biokimiawi yang terjadi selama masa pemasakan benih. Sampai saat ini sudah banyak indikator biokimiawi yang dapat digunakan untuk mendeteksi viabilitas dan vigor benih diantaranya adalah kandungan klorofil dan akumulasi karotenoid.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari indikasi biokimia sebagai penentu masak fisiologi pada berbagai jenis tanaman. Hasil penelitian Suhartanto (2003) menunjukkan bahwa kandungan klorofil pada benih tomat berkorelasi negatif dengan daya berkecambahnya. Masak fisiologis yang dicerminkan oleh daya berkecambah mencapai maksimum pada saat kandungan klorofil mencapai minimum. Mutu benih sangat ditentukan oleh tingkat kemasakan benih tersebut, sehingga dapat dikatakan juga bahwa kandungan klorofil benih juga menentukan mutu benih tersebut. Kwong (1991) menunjukkan bahwa benih yang masih hijau memiliki daya berkecambah yang rendah, namun kemampuan berkecambah benih-benih tersebut meningkat bila dikecambahkan dalam media yang mengandung nutrisi. Hasil penelitian Almela, et al.(1996) pada cabai varietas Negral menunjukkan bahwa pada saat proses pemasakan buah terjadi perubahan komposisi klorofil dan total karotenoid. Kandungan klorofil pada buah berwarna hijau dan setengah masak masih tinggi dan pada saat buah mencapai masak fisiologi kandungan klorofil berkurang hanya tinggal sekitar 14%nya. Sementara total karotenoid meningkat sejalan dengan peningkatan stadia kemasakan, hal yang sama diduga juga terjadi pada benih seiring dengan perubahan warna pada buah.

Menurut Bewley dan Black (1994) kandungan karoten berhubungan erat dengan pembentukan klorofil. Pembentukan klorofil dalam perkembangan benih

(9)

sangat dipengaruhi oleh asam absisat (ABA) dan giberelin (GA). Benih tomat yang defisien GA memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi dibanding dengan tetuanya, sedangkan benih yang defisien ABA memiliki kandungan klorofil paling rendah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya hubungan proses biosintesis ABA, GA, dan klorofil. (Suhartanto, 2003).

Karotenoid berfungsi sebagai pigmen membantu menyerap cahaya dalam proses fotosintesis juga berguna untuk melindungi tanaman. Fungsi dasar ß- karoten adalah untuk melindungi kloroplas dari kerusakan fotooksidatif, meskipun karotenoid tidak stabil saat diekspos pada cahaya, oksigen, atau suhu tinggi (Bosland dan Votava, 1999). Selanjutnya Cogdell, 1988 dalam Suhartanto 2002 menyatakan bahwa karotenoid merupakan antioksidan yang mampu bereaksi dengan triplet-klorofil untuk menghasilkan triplet-karoteniod dan ini merupakan proses yang efektif untuk mencegah terbentuknya singlet-oksigen. Didalam benih berlemak, antioksidan berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas akibat proses oksidasi lipid yang berlangsung terus-menerus secara alamiah atau mempertahankan kadar radikal bebas dalam taraf yang tidak bebahaya dalam benih. Bila terjadi penurunan aktivitas antioksidan, maka radikal bebas yang terbentuk tidak dapat dinetralisir, dan bereaksi dengan molekul di sebelahnya yang dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga terjadi deteriorasi benih (Siregar 2004).

Beberapa hasil penelitian tentang kemungkinan kandungan karotenoid pada berbagai tingkat kemasakan dan hubungannya dengan viabilitas benih seperti yang ditunjukkan oleh Prasetyatiningsih (2006) pada benih jagung manis bahwa total karotenoid berhubungan sangat erat dengan daya berkecambahnya, bobot 1000 butir, KCT serta bobot kering benih. Selanjutnya hasil penelitian Sinuraya

(2007) juga menjelaskan bahwa total karotenoid benih cabai rawit varietas Rama berhubungan sangat erat dengan nilai daya berkecambah, bobot kering benih, bobot 1000 butir dan KCT, dimana masak fisiologi tercapai pada umur panen 50 –

55 HSBM. Hasil penelitian Prasetyatiningsih dan Sinuraya menyimpulkan bahwa tolok ukur total karotenoid dapat digunakan sebagai indikasi biokimiawi tingkat kemasakan jagung manis varietas lokal Manise dan cabai rawit varietas Rama.

(10)

Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Periode Simpan Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih

Salah satu faktor yang mempengaruhi vigor awal benih adalah tingkat masak fisiologi benih. Panen yang dilakukan sebelum masak fisiologi akan menghas ilkan benih yang kurang bermutu. Jika pemanenan ditangguhkan dan benih dibiarkan pada tanaman setelah matang, sebagian akan hilang karena rontok, rebah, dimakan serangga atau burung dan benih yang tersisa di tanaman akan cepat mundur viabilitasnya akibat deraan cuaca. Pemanenan benih pada tingkat kemasakan yang tepat (masak fisiologi) sangatlah penting dalam mendapatkan tingkat mutu benih yang tinggi dan daya simpan yang panjang. Pemanenan yang dianjurkan adalah pada saat vigor maksimum (daya tumbuh maksimum), bobot kering benih maksimum, penurunan kadar air benih (sampai mencapai kadar air keseimbangan) dan peningkatan perkecambahan (Pranoto et

al.,1990)

Menurut Heydecker (1977) perbedaan tingkat kemasakan benih akan menyebabkan perbedaan vigor dalam satu lot benih. Masak fisiologi diartikan sebagai suatu keadaan yang harus dicapai oleh benih sebelum keadaan optimum untuk panen benih dimulai (Suseno, 1980). Beberapa ahli mengungkapkan kriteria kemasakan benih dapat diketahui dari perubahan morfologi, biokimia dan fisiologi yang terjadi pada buah. Mugnisjah dan Setiawan (1990) menyatakan tanda-tanda kunci dalam pematangan dan pemasakan benih meliputi perubahan kadar air benih, ukuran benih dan bobot kering benih.

Secara umum Delouche (1983) menggambarkan daya berkecambah dan ukuran benih telah maksimum sebelum tercapai masak fisiologi. Berat kering dan vigor benih setelah lewat fase masak fisiologi akan menurun secara perlahan-lahan tetapi kadar air benih menurun secara cepat hingga tercapai keseimbangan dengan kondisi dilapangan pertanaman. Masak fisiologi pada benih tanaman tahunan dapat ditelaah dari perubahan warna buah atau biji, bau, kekerasan kulit buah atau benih dan rontoknya buah atau benih dari pohon induk

Menurut Ilyas (2004) pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat masak fisiologis benih tercapai, ditandai dengan vigor, daya berkecambah dan berat kering benih maksimum, dimana kadar air benih masih tinggi. Rata-rata kadar air

(11)

benih tipe ortodoks saat masak fisiologi adalah 30-50 %. Tetapi memanen pada saat kadar air benih masih tinggi sulit dilakukan secara mekanis. Biasanya panen ditunda sampai kadar air benih 20-30 % (masak panen). Keuntungan memanen pada saat yang tepat adalah untuk mengurangi kerusakan akibat cuaca, kerusakan mekanis, kehilangan akibat rontok, kerusakan akibat insek dan tikus, memaksimumkan hasil dan mutu benih.

Benih yang dipanen masih muda atau terlampau tua akan mengalami kerusakan membran yang lebih banyak dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat masak fisiologi. Hasil penelitian Saenong (1986) menunjukkan bahwa benih kedelai yang dipanen terlambat atau terlalu cepat akan mengalami kerusakan mekanis lebih banyak dan akibatnya akan memiliki vigor awal benih yang lebih rendah.

Adikadarsih dan Hartono (2007) menunjukkan benih jarak pagar yang berasal dari klon NTB dipanen pada saat buah berwarna kuning atau lebih dari 50% telah berwarna kuning kehitaman atau telah berumur 45 sampai 55 hari setelah anthesis menghasilkan vigor dan daya berkecambah yang paling baik. Hasil penelitian Utomo (2007) dikebun jarak Pakuwon Sukabumi, menyatakan bahwa benih jarak pagar mencapai masak fisiologi pada umur 52 – 57 HSA dengan kriteria pada 52 HSA biji berwarna hitam mengkilat, kulit buah tidak keras, mudah dibuka dengan tangan dan berumur 57 HSA biji berwarna hitam kusam

Hasnam dan Hartati (2006), menyatakan untuk memperoleh benih jarak yang bermutu tinggi, panen buah dilakukan pada saat benih telah mencapai masak fisiologi, pada jarak pagar ditandai dengan buah telah berwarna kuning bila dibuka biji didalamnya telah berwarna hitam berkilat. Benih yang sudah mencapai masak fisiologi akan menghasilkan viabilitas dan vigor yang baik sehingga benih dapat disimpan pada kurun waktu yang lebih panjang.

Menurut Byrd (1983), tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Selama proses penyimpanan, benih secara alami akan mengalami kemunduran viabilitas sejalan dengan berlangsungnya waktu penyimpanan. Agrawal (1980) menyatakan bahwa mempertahankan viabilitas dan vigor benih tetap tinggi dari

(12)

mulai panen hingga penanaman adalah hal yang paling penting dalam menangani benih. Benih tidak akan berguna jika selama penanaman gagal memberikan pertumbuhan yang baik. Penyimpanan yang baik merupakan suatu keharusan dalam produksi benih. Selanjutnya Justice dan Bass (1994) mengemukakan tujuan dari penyimpanan benih adalah untuk: (1.) Menjaga agar benih dapat mempertahankan energi dan daya berkecambahnya selama jangka waktu antara pengumpulan hingga penyebarannya di persemaian, (2.) Melindungi benih dari kerusakan yang diakibatkan oleh hama dan penyakit, (3.) Persediaan benih bila terjadi saat-saat dimana produksi benih kurang.

Menurut Ilyas (2004) selama penyimpanan, benih mengalami penurunan mutu (deteriorasi) yang disebabkan oleh faktor abiotik seperti RH dan suhu tinggi serta faktor biotik seperti aktivitas mikroba (cendawan, bakteri, virus), insek, kutu, tikus dan sebagainya. Masalah penyimpanan benih berkaitan erat dengan kemunduran benih. Kemunduran benih adalah jatuhnya mutu fisiologis yang menimbulkan perubahan secara menyeluruh di dalam benih yang menyebabkan menurunnya viabilit as benih. Kemunduran benih berlangsung secara kronologis selama proses penyimpanan. Gejala kemunduran fisiologis benih diantaranya adalah perubahan pada warna biji, mundurnya perkecambahan, meningkatnya kecambah abnormal. Gejala biokimia seperti terjadinya perubahan dalam aktivitas enzim, laju respirasi, peningkatan asam lemak, dan berkurangnya persediaan cadangan makanan (Copeland dan McDonald, 2001).

Jarak pagar menghasilkan biji yang terdiri dari 60% berat endosperm dan 40% berat testa. Endosperm jarak pagar mengandung kadar lemak yang tinggi terutama asam lemak oleat (43.2%), asam linoleat (34.3%), asam palmitat (14.2%) dan asam stearat (6.9%) (Hambali et al., 2006).

Beberapa penelitian yang mengkaji benih-benih dengan kandungan lemak yang tinggi telah membuktikan bahwa benih-benih tersebut tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Kurniasari (1993) menyatakan bahwa benih kacang tanah mempunyai daya berkecambah kurang dari 60% setelah disimpan 16 minggu. Syamsuddin (1998) melaporkan hal yang sama, bahwa pada benih gmelina (Gmelina arborea Roxb) total lemak semakin menurun yang diikuti dengan meningkatnya kandungan asam lemak bebas setelah disimpan selama 3

(13)

bulan. Kusmarya (2007) menyatakan bahwa persentase asam lemak bebas (ALB) pada benih jarak pagar mengalami peningkatan seiring dengan menurunnya persentase kadar lemak total ( KLT) selama penyimpanan. Peningkatan mulai terlihat pada periode simpan 1 sampai 2 bulan, dan selanjutnya konstan pada periode simpan 3 bulan.

Salah satu teori tentang kemunduran benih adalah terjadinya oksidasi lemak pada benih-benih yang berkadar air rendah serta terjadinya denaturasi lipoprotein membran. Winarno (1992) menyatakan peningkatan asam lemak bebas selama penyimpanan disebabkan oleh terjadinya proses otooksidasi, akibat adanya radikal bebas yang memotong ikatan rangkap dari lemak menjadi asam lemak bebas.

Radikal bebas adalah sebuah atom atau kumpulan atom- atom yang memiliki elektron yang tidak berpasangan, sehingga dapat bereaksi dengan memberikan elektron pada mole kul-molekul didekatnya, yang mengakibatkan kerusakan biologis. Kerusakan sel seringkali diakibatkan oleh radikal hidroksil dibandingkan radikal superoksida, namun sel mempunyai pertahanan dengan melibatkan senyawa scavenger (antioksidan) yang bereaksi dengan radikal bebas superoksida untuk membentuk oksigen. Menurut Freisleben (2002), terdapat 3 tahap pembentukan radikal bebas, yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi, sehingga ada tiga reaksi yang dapat mengendalikan pembentukan radikal bebas ini, yaitu: pencegahan atau penghambatan terbentuknya radikal bebas dan penghentian propagasi serta memperbaiki kerusakan radikal.

Tahap – tahap reaksi oksidasi meliputi inisiasi, propagasi dan terminasi sebagai berikut:

Inisiasi : RH ? R* + H* Terminasi: R* + R* Propagasi : R* + O2 ? ROO* R* + ROO*

ROO* + RH ? R* + ROOH ROO* + ROO* Dimana

RH = Lemak tidak jenuh ROO* = Peroksida radikal R* = Asam lemak radikal

(14)

Aktivitas penghambatan antioksidan dalam reaksi oksidasi berdasarkan keseimbangan reaksi oksidasi reduksi. Molekul antioksidan akan bereaksi dengan radikal bebas (R*) dan membentuk molekul yang tidak reaktif (RH) sehingga reaksi berantai pembentukan radikal bebas dapat dihentikan. Stuckey (1972) mengemukakan bahwa antioksidan dikenal sebagai zat yang memperlambat reaksi oksidatif oleh radikal bebas dan melindungi lemak dari kerusakan tersebut. Efek perlindungan antioksidan ini dihubungkan dengan sumbangan elektron atau hidrogen pada lemak sehingga radikal bebas tidak dapat berikatan dengan ikatan rangkap pada lemak tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan menulis teks berita siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 1 Kota Jambi siswa yang memiliki frekuensi terbanyak berada pada kategori baik dengan interval nilai 70-85

Motivasi dapat berpengaruh pada meningkatnya kinerja karyawan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Regina (2010), Wahyu (2014), Azin (2013), dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa masalah yang dihadapi oleh batik Indonesia adalah : terjadinya penjiplakan motif, munculnya batik printing, derasnya

Faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti

Tugas pokok kepala seksi pemerintahan adalah membantu camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan

Ketentuan ini bukan merupakan hal yang baru dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah karena hal itu telah diatur juga dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

Dalam pengertian ini pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain pancasila merupakan suatu dasar

Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dipondok pesantren Iqra‟ pada tahun 2007 yang menjadi guru untuk mata pelajaran pondok adalah Azwar Munaf sendiri beserta