• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III. Analisis Data. 3.1 Pengaruh Perekonomian Bubble di Jepang terhadap Kemunculan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III. Analisis Data. 3.1 Pengaruh Perekonomian Bubble di Jepang terhadap Kemunculan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III

Analisis Data

3.1 Pengaruh Perekonomian Bubble di Jepang terhadap Kemunculan Fenomena AKB48

Remaja atau wakamono (若者) di Jepang merujuk pada orang yang berusia 15-30 tahun, kata ini mulai populer digunakan sekitar tahun 1960 hingga saat ini. Sebelum tahun 1960, sebutan untuk remaja umumnya disebut dengan seinen (青年). (Furuichi, 2011, hal. 49-50)

Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa fenomena AKB48 melalui masyarakat yang lahir sebelum dan sesudah masa perekonomian Bubble. Masyarakat yang lahir di masa ini mengalami perubahan sosial yang besar dalam masyarakat Jepang saat ini.

Dalam negara manapun di dalam masyarakatnya terdapat berbagai macam usia, mereka yang memiliki sifat, pemikiran dan tujuan yang berbeda-beda. Di dalam masyarakat juga terdapat kesenjangan sosial, kita juga mengenal adanya perbedaan wilayah, kekayaan, serta gender. Para remaja yang hidup dan tumbuh besar dalam lingkungan yang berbeda-beda akan membentuk manusia yang juga berbeda-beda.

Di dalam perbedaan yang disebutkan di atas, terjadilah sebuah kritikan kepada generasi remaja dari generasi yang dewasa sampai tua dengan kata-kata, “chikagoro no wakamono wa keshikaran” (近頃の若者はけしからん), yang artinya anak-anak muda akhir-akhir ini tidak bijak. Kata-kata ini tidak dapat mewakili semua remaja secara keseluruhan yang ada di Jepang. Namun para

(2)

generasi dewasa sampai tua di Jepang yang pernah hidup dimasa kejayaan perekonomian Jepang (1970-1990), mereka menganggap generasi remaja terlalu mudah untuk menilai kesetaraan dengan dilihat dari generalisasi tingkah laku dan cara berbicara. (Furuichi, 2011:66)

Sekitar tahun 1960 hingga tahun 1973, Jepang memasuki masa pertumbuhan ekonomi yang pesat pasca perang. Hal ini dikarenakan, generasi yang lahir pada masa baby boomers pertama (1947-1949), mereka kurang lebih sudah genap berusia 20 tahun. Angka kelahiran dari generasi yang ada setelah masa baby boomers pertama ini menunjukkan jumlah yang jauh lebih sedikit. Sedangkan, angka penduduk usia 60 tahun ke atas juga tidak begitu tinggi dibanding angka usia produktif. Dengan kata lain, sebagian besar angka populasi Jepang pada waktu itu berpusat di usia produktif, yaitu usia 20 hingga 30 tahun. Dapat dikatakan bahwa populasi Jepang pada saat itu berada dalam kondisi terbaik untuk pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di piramida penduduk berikut.

(3)

Gambar 3.2 Piramida penduduk Jepang di tahun 1970 (Sumber: Kouryuuの日々雑感)

Pada masa dimana jumlah penduduk usia produktif yang tinggi ini, kata wakamono atau remaja mulai populer digunakan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan meluasnya kesadaran untuk pendidikan, masyarakat Jepang saat itu memiliki pola pikir bahwa untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, seseorang haruslah masuk ke SMA atau Universitas yang baik. Di saat yang sama, sebuah perubahan terjadi dalam masyarakat Jepang, yaitu meluasnya “Paham Kelas Menengah”. Paham kelas menengah ini menganggap dirinya berada di kelas menengah dalam tatanan masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sebagai hasilnya,

(4)

munculah sebuah fenomena dan sebutan 「 一 億 層 中 流 」 (ichiokusouchuuryuu) atau fenomena seratus juta masyarakat kelas menengah.

Menurut statistik penyelidikan opini publik yang dilaksanakan pada saat itu, penduduk Jepang yang beranggapan bahwa dirinya berada di kelas menengah pada tahun 1958 sekitar 72.4%, di tahun 1964 meningkat menjadi 87%, dan terus meningkat menjadi 90.2% di tahun 1973 (Furuichi, 2011: 50).

Memaraknya teori perdebatan mengenai antar generasi di masa itu disebabkan karena memudarnya kesadaran akan adanya kesenjangan sosial, teori kelas dalam tatanan masyarakat Jepang menjadi semakin tidak realistis. Sejak tahun 1955-1965 hingga tahun 1970, angka pendapatan yang biasa digunakan untuk belanja masyarakat Jepang terus meningkat dan memuncak pada tahun 1983, dalam perbandingan antara masyarakat desa dan kota, angka ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari tabel berikut akan dijelaskan mengenai penyebab bertumbuhnya pemahaman “Kelas Menengah” dalam masyarakat Jepang sejak tahun 1955 hingga tahun 1975.

pada tahun 1983, dalam perbandingan antara masyarakat desa dan kota, angka ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari tabel berikut akan dijelaskan mengenai penyebab bertumbuhnya pemahaman “Kelas Menengah” dalam masyarakat Jepang sejak tahun 1955 hingga tahun 1975.

(5)

Tabel 3.1 Tabel angka pendapatan belanja tahun 1955-1970(Sumber: Nakamura Takafusa, A History of Showa Japan,1926-1989, University of Tokyo Press, 1998)

Gambar 3.3 Grafik indeks distribusi pendapatan rumah tangga tahun1963-1991(Sumber: Nakamura Takafusa, A History of Showa Japan,1926-1989, University of Tokyo Press, 1998)

Dalam tabel berikut terlihat perubahan dari pendapatan masyarakat Jepang dari tahun 1960 hingga tahun 1985. Nakamura Takafusa (中村隆英) memberikan penjelasan mengenai perubahan gaya hidup masyarakat Jepang pada masa itu pada tahun 1960.

(6)

Tabel 3.2 Tabel jumlah jam kerja perusahaan dengan 30 karyawan ke atas di tahun 1960-1985(Sumber: Stephen S. Large ed., Routledge Library of Modern Japan、Showa Japan Political,

Economic and Social history 1926-1989, Volume IV, Routledge, 1998)

Dari tabel di atas kita dapat mengetahui bahwa jam kerja rata-rata masyarakat Jepang berkurang secara perlahan dari tahun 1960 hingga 1985. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat membuat penduduk Jepang sangat makmur, bahkan sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa dirinya berada di kelas menengah. Dengan kata lain, orang-orang Jepang di masa itu tidak merasa bahwa mereka adalah orang kaya, namun juga tidak berpikir bahwa diri mereka termasuk golongan miskin. Fenomena ini telah membuat seolah-olah kesenjangan sosial hilang dari antara masyarakat Jepang.

Dalam bukunya yang berjudul “戦後史”(Sengoshi), seorang sejarahwan Jepang yang bernama Nakamura Masanori (中 村 政 則 ) membicarakan mengenai kelahiran “Golongan Menengah Baru” yang dikaitkan dengan kebijakan rencana rekonstruksi kepulauan Jepang yang terjadi pada tahun 1973. (Nakamura, 2005: 155-158)

(7)

Menurut Nakamura, berdasarkan laporan statistik taraf kehidupan rakyat yang dikeluarkan pemerintah Jepang, 80- 90% penduduk di Jepang pada tahun 1960 mengaku bahwa dirinya berada di kelas menengah. Berbeda dengan teori kelas menengah yang diungkapkan oleh teori Karl Marx, fenomena masyarakat konsumtif tingkat tinggi di Jepang dapat juga disebut sebagai “Masyarakat Kelas Menengah Baru”. Terhadap ini, seorang ekonom Jepang yang bernama Kishimoto Shigenobu (岸本 重陳) berpendapat bahwa dalam angket yang digunakan untuk membuat statistik tersebut terdapat pertanyaan yang bermasalah. Menurut asumsi Kishimoto, saat seseorang diberi pertanyaan “Apakah menurut anda, anda termasuk masyarakat kelas “Atas”, “Menengah ke Atas”, “Menengah ke Bawah” atau “Bawah” ”, maka kemungkinan besar jawabannya akan menumpuk di “Menengah ke Atas” dan “Menengah ke Bawah”, oleh sebab itu statistik tersebut tidak dapat dipercaya begitu saja. Pada kenyataannya ditahun 1976 dari 50-70 % orang-orang yang pemasukannya di bawah 1 juta Yen per tahun (kurang dari 90 ribu Yen per bulan), saldo rekening bank di bawah 500 ribu yen dan tinggal di rumah sewa juga menjawab dirinya berada di kelas “Menengah” atau “Atas”. Untuk lebih Jelasnya dapat dilihat di grafik berikut.

(8)

Gambar 3.4Grafik Penyelidikan Taraf Kehidupan Masyarakat oleh Pemerintah Jepang di tahun 2012. Merah: Golongan Atas, Biru muda: Menengah ke Atas, Biru Laut: Menengah, Biru Tua: Menengah ke Bawah, Oranye: Golongan Bawah, Hijau: Tidak Tahu (Sumber: 社会データ図録)

Dengan kata lain, meskipun responden dari angket tersebut sebagian besar tidak mengakui bahwa dirinya adalah golongan orang kaya, mereka tetap memiliki pemikiran sebagai berikut, kehidupan yang sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya, keinginan untuk mengakui kerja keras sendiri, meskipun harus menjalani kehidupan yang keras, namun tetap memiliki materil yang rata-rata ada di masyarakat pada umumnya. (Nakamura, 2005: 156-157)

Dengan alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya, tidaklah heran bahwa sebagian besar masyarakat Jepang di masa itu beranggapan bahwa diri mereka berada di kelas menengah. Kishimoto menyebut fenomena ini sebagai “Ilusi Kelas Menengah”.

(9)

Masalah lainnya adalah adanya perdebatan mengenai perbedaan antar generasi. Namun perdebatan perbedaan antar generasi menghilangkan perbedaan kelas, etnis, gender, wilayah maupun ekonomi untuk menyatukan orang-orang ke dalam satu kategori yang disebut “Remaja” hanya karena rentang usia yang dekat. “Seratus juta Kelas Menengah” hanyalah ilusi untuk menghilangkan perbedaan. Seperti yang disebutkan oleh Nakamura, kesenjangan ekonomi tidak pernah menghilang dari antara masyarakat Jepang.

Mereka hanya tertangkap dalam pemikiran bahwa semua orang, termasuk dirnya sendiri adalah “Kelas Menengah”. Akibatnya, perbedaan kelas maupun wilayah seakan menghilang, sehingga orang-orang lebih sering membicarakan keadaan masyarakat maupun manusia dengan mengaitkannya pada “Generasi”. Tidak heran bila ada pembicaraan atau perdebatan mengenai remaja, orang-orang di masa itu cenderung membicarakannya berdasarkan persamaan “Keadaan” maupun “Kejadian” yang dialami oleh generasi tersebut. Di saat-saat itulah muncul kata-kata seperti, 「現代の若者は『カプセル人間』」 (gendai no wakamono wa kapuseru ningen), 「現代の若者は『モラトリアム 人間』」 (gendai no wakamono wa moratoriamu ningen), 「近頃の若者はけ しからん」 (chikagoro no wakamono wa keshikaran)

Kapuseru ningen yang artinya manusia kapsul adalah sebuah sebutan yang merujuk pada orang-orang tertutup yang hidup dalam dunianya sendiri dan sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Menurut Nakano Osamu, seorang sosiolog Jepang, sejak tahun 1960, radio dan televisi telah membuat sebuah ruang komunikasi unik yang belum pernah ada sebelumnya. Setiap orang hidup di ruang dalam dirinya sendiri dan berkomunikasi dengan orang lain serta

(10)

masyarakat melalui berbagai media komunikasi. (Nakano Osamu, 2001) Dewasa ini pemakaian internet semakin meluas di seluruh dunia, termasuk Jepang, hal ini memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa harus bersentuhan langsung dengan dunia luar. Sebagai hasilnya, banyak remaja Jepang memilih untuk memutuskan hubungan dengan masyarakat dan hidup dalam dunianya sendiri. Sedangkan モラトリアム人間 (moratoriamu ningen) adalah sebutan untuk kondisi mental remaja yang tidak dapat atau ragu untuk menjadi dewasa dan terjun ke dalam masyarakat. (デジタル大辞泉、松本明) Sebutan kapuseru ningen dan moratoriamu ningen mulai populer di Jepang sekitar tahun 1970. Pandangan-pandangan seperti itulah yang berubah menjadi standar yang berlaku untuk seluruh remaja Jepang dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, para remaja yang seharusnya berbeda-beda disatukan dengan sebuah standar secara paksa dalam paradigma masyarakat yang terikat pada paham generasi. Keadaan sosial seperti ini dapat membuat kesalahan seseorang menjadi tanggung jawab seluruh generasi.

Setelah melewati beberapa dekade pun, pemahaman perbedaan generasi ini masih tetap eksis di Jepang. Paradigma masyarakat yang dilemparkan pada para remaja saat ini dapat disamakan dengan paham “Seratus Juta Kelas Menengah” pada masa pertumbuhan pesat ekonomi pasca perang. Namun, dalam kehidupan masyarakat Jepang sekarang yang sudah tidak memiliki pemahaman bersama bahwa semua orang berada di kelas menengah, pandangan terhadap para remaja yang menghilangkan perbedaan wilayah, ekonomi, gender, untuk menyatukan seluruh generasi yang memiliki rentang usia dekat ke dalam suatu kategori yang disebut “Remaja” sama sekali tidak realistis. Karena itu, dalam masyarakat yang memiliki kesenjangan sosial dan

(11)

ekonomi, tidaklah wajar untuk memberi perlakuan sama pada orang-orang yang berada dalam kategori “Remaja”. Paling tidak cara pandang seperti itu sudah tidak dapat digunakan seperti pada masa ekonomi Bubble.

Perkembangan zaman selalu diwarnai dengan adanya berbagai perubahan. Dulu orang-orang dapat berhubungan melalui surat, setelah itu diciptakan telepon yang jauh lebih praktis. Bila manusia dapat merasakan kebersamaan dan ketergantungan kelompok melalui peperangan, maka tidaklah berlebihan jika pada zaman ini para remaja Jepang dapat dihubungkan melalui AKB48. Menurut seorang psikiater yang bernama Wada Hideki, “Sekarang ini para remaja( Jepang) tidak merasakan kesetaraan di dalam masyrakat. Walaupun mereka bukan pihak yang menonjol, dan tidak ingin berkompetisi dalam kampus atau sekolah, semua orang paham bahwa saat mereka terjun ke dalam masyarakat, mereka akan merasakan kesenjangan sosial yang sangat besar. Mereka tidak tahu apa itu “Seratus Juta Masyarakat Kelas Menengah”. Di satu sisi, saat mengalami kesenjangan sosial, mereka diserang oleh pemikiran “Toh, kami sampai kapanpun juga akan terus seperti ini…”. Namun, di antara para fans AKB48, para remaja justru merasakan kesetaraan yang sama sekali berlawanan dengan kondisi sebelumnya. Selain kesetaraan, para fans juga merasakan kesadaran dalam kelompok, serta ketergantungan antar sesama. Hal ini sama dengan konsep Cheerleading yang memberikan dukungan dalam kelompok yang memakai baju seragam. Salah satu kunci terbesar kesuksesan grup idol ini adalah karena mereka dapat memberikan kebersamaan dan ketergantungan dalam kelompok saat para fans menari dan berteriak bersama-sama dalam mendukung idol mereka. Perasaan seperti itu tidak dapat diperoleh dari kehidupan sehari-hari di rumah maupun

(12)

sekolah.” (Hideki,http://www.news-postseven.com/archives/20110123_9762.html).

Dalam masyarakat yang tidak memiliki kesenjangan sosial yang besar, para remaja Jepang merasakan kesetaraan dalam AKB48. Para fans yang selalu dipandang sebagai orang aneh memiliki perasaan kesepian dala diri mereka. Karena itulah saat mereka bersorak-sorai untuk mendukung idol bersama dengan teman-teman mereka yang memiliki hasrat yang sama, para fans merasakan kebahagiaan. Sebab mereka sadar kalau mereka tidaklah sendiri. Bila dilihat seperti ini, AKB48 memiliki sebuah nilai yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyrakat Jepang pada umumnya, yaitu sebagai media untuk menyatukan para remaja Jepang dengan masyarakatnya. Tetapi, pengaruh yang diberikan AKB48 kepada para remaja Jepang tidak selesai sampai di sini.

Tentu, peran seperti ini tidak hanya dapat dilakukan oleh AKB48, bahkan efek ini sudah terlihat sejak idol diciptakan di Jepang. Namun, dampak yang diberikan oleh fenomena AKB48 memiliki skala yang sama sekali berbeda dengan idol yang ada selama ini. Begitu besarnya dampak itu sehingga dapat menarik sorotan masyarakat yang pro maupun kontra dalam menghadapi grup idol ini. Terutama para fans yang menghabiskan uangnya secara tidak wajar, sehingga menimbulkan masalah dalam masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa strategi marketing yang digunakan oleh pihak AKB48 hanya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, tetapi apabila kondisi dalam masyarakat tidak mendukung, maka tidaklah mungkin fenomena sebesar ini dapat terjadi. Para remaja Jepang telah menemukan orang-orang yang memiliki hasrat sama berkat AKB48 yang dapat ditemui

(13)

secara langsung di teaternya. Dalam kesempatan tersebut, AKB48 juga memberikan ruang bagi para fans untuk bersosialisasi dengan sesamanya.

3.2 Analisa Fenomena AKB48 dan Para Remaja Jepang Terhadap Gaya Hidup Hedonis

3.2.1 Pergeseran Kebutuhan Hidup dari Masa Perekonomian Bubble sampai Masa Sekarang

Bila kita mencoba mengkaitkan fenomena ini dengan ekonomi, remaja Jepang sekarang dianggap “Tidak Suka Berbelanja” oleh masyarakat Jepang. Dalam bukunya, Kenshouhi sedai no kenkyuu (『嫌消費』世代の研究), Matsuda Hisakazu menyebut para remaja yang tidak suka berbelanja ini sebagai “Generasi Pembenci Belanja”. Namun, sebutan ini tidaklah benar. Remaja Jepang saat ini hanya mengalami pergeseran keinginan dalam berbelanja. Bagi masyarakat generasi Bubble, belanja barang-barang mewah biasanya dikaitkan dengan belanja rumah, mobil, atau benda-benda elektronik berukuran besar. Tetapi, seiring berjalannya waktu, keinginan belanja telah mengalami pergeseran. Bahkan perusahaan otomotif ternama Jepang seperti Toyota mengalami penurunan penjualan yang signifikan di tahun 2011. Di tahun 2012, Panasonic, Sony dan Sharp mengalami defisit terparah sejak perusahaan-perusahaan itu berdiri. Pada bulan April hingga Juni tahun 2012 defisit akhir Panasonic mencapai 772,1 milyar Yen, Sony sebesar 520 milyar Yen, dan Sharp sekitar 100 milyar Yen. Menurut “Penyelidikan Konsumsi Aktual dalam Negeri” Jepang, jumlah total otomotif yang dibeli oleh masyarakat berusia 30 tahun ke bawah pada tahun 1989 adalah 5475 buah, di tahun 1999 menurun menjadi 4414 buah, dan 3351 buah di tahun 2009

(14)

(Furuichi Noritoshi, 2011: 93). Jika dilihat dari data-data seperti ini para remaja Jepang memang segan untuk membelanjakan uangnya, tapi itu semua hanya berlaku pada saat kita melihat kondisi ini dari sudut pandang perusahaan otomotif dan barang elektronik.

Di sisi lainnya, saat bisnis dari perusahaan besar tampak banyak yang merosot, penjualan CD Single AKB48 laris bak kacang goreng di pasaran. Single ke-21 AKB48 「Everyday、カチューシャ」(Everyday, Kachuusha) yang berisi kupon voting untuk Sousenkyo AKB yang ketiga di tahun 2011 mencapai penjualan sebesar 1,35 juta keping di minggu pertama. Tetapi, berdasarkan data-data yang dikeluarkan oleh パ イ プ ド ビ ッ ツ ㈱ (PT. Paipudobittsu) angka ini tidak mewakili jumlah pembeli, sebab seperti yang sebelumnya dituliskan dalam bab 1, adalah sebuah kewajaran bagi para fans untuk membeli Single lebih dari sekeping demi memenangkan member favorit mereka dalam kontes ini. Sebagai hasilnya, muncul para fans yang bahkan membeli ratusan, ribuan keping Single demi mendukung Idol mereka. Sedangkan Single AKB ke-26 yang digunakan untuk Sousenkyo keempat di tahun 2012, 「真夏のSounds Good!」(Manatsu No Sounds Good!) berhasil memecahkan rekor Oricon Chart untuk kategori penjualan minggu pertama yang terbesar, sebanyak 1,61 juta keping. Kondisi Sousenkyo di tahun 2012 semakin memanas dengan pengumuman kelulusan Maeda Atsuko dari AKB48 di bulan sebelumnya. Sama seperti tahun sebelumnya, para fans banyak yang membeli Single lebih dari satu untuk kontes ini, bahkan di antara mereka ada yang sampai mengeluarkan jutaan Yen untuk membeli Single tersebut, sebab mendukung Idol dengan pengeluaran sebanyak ini sudah bukan sesuatu yang aneh bagi mereka. Selain itu para fan AKB48 tidak hanya membayar untuk

(15)

ikut serta dalam Sousenkyo, tapi mereka juga mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk tiket konser di teater AKB48 ( lantai 8 gedung Don Quijote, Akihabara), AKB48 goods (Album foto, Kipas, T-Shirt, dsb), serta tiket untuk event salaman yang juga diselipkan di dalam CD Single. Jika dilihat dari keadaan seperti ini, para remaja Jepang sekarang sama sekali tidak benci berbelanja, malah sebaliknya, mereka tampak tidak ragu untuk mengeluarkan uang, asalkan itu demi sesuatu yang menarik hati dan memberikan kepuasan serta kenikmatan bagi diri mereka, kondisi ini sama persis dengan definisi hedonisme yang diungkapkan oleh Wahyudi Kumurotomo (Bab 2).

Gambar 3.5 Tumpukan CD Single ke-26 AKB “Manatsu No Sounds Good! (sumber:AKB48 タイムズ)

(16)

Gambar 3.6 Kupon Voting untuk Sousenkyo AKB48 yang ke-4, (sumber: 777 News )

Sebelumnya penulis telah menyebutkan bahwa para remaja Jepang bukanlah “Generasi Pembenci Belanja”, keinginan berbelanja hanya mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan zaman. Dalam bukunya Furuichi menulis, “Kesimpulannya, para remaja bukan sama sekali tidak membeli barang(mewah). Hanya, barang yang dibeli telah berubah secara jenis dan skala. (Para remaja) tidak membeli mobil seperti dulu, tidak minum-minum seperti dulu, tidak bepergian ke luar negeri seperti dulu, namun, tetap berbelanja untuk kebutuhan pokok “Sandang, Pangan, Papan” yang dibutuhkan untuk hidup, serta membayar untuk biaya komunikasi yang dibutuhkan dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.”(Furuichi, 2011: 94) Bagi masyarakat berusia 40 tahun ke atas (Generasi Seratus Juta Masyarakat Kelas Menengah), belanja barang-barang mewah seperti mobil, baju mahal, rumah yang luas, dan benda-benda elektronik berukuran besar adalah tujuan hidup dan sumber tenaga untuk bekerja. (Nakamura Masanori, 2005) Namun sebagian besar dari barang-barang ini hanyalah kebutuhan sekunder yang tidak harus dimiliki manusia untuk bertahan hidup, dengan kata lain, belanja yang didasari oleh hobi atau keinginan pribadi. Manusia dapat bertahan hidup asalkan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) terpenuhi,

(17)

namun manusia juga memiliki sifat dasar yang tidak dapat terpuaskan dengan hanya bertahan hidup. Karena itu, saat kita belanja untuk membeli barang-barang mewah atau benda-benda yang menarik hati, kita akan merasakan kepuasan, kenikmatan serta kebanggaan dari memiliki sesuatu, perasaan itu membuat kita merasa seperti sudah mencapai salah satu dari tujuan hidup. Bagi sebagian orang, menyelami hobi dapat menjadi penghilang stress, sedangkan bagi yang lainnya hobi dapat menjadi tempat pelarian sementara dari kenyataan yang menurutnya kejam, kondisi seperti ini terkadang memberikan kecanduan yang bahkan dapat menyaingi kecanduan rokok atau alkohol.

Pada dasarnya gaya hidup para remaja Jepang sekarang tidaklah terlalu berbeda dengan para pendahulunya di tahun 70-an. Asalkan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) sudah terpenuhi, uang yang tersisa dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Jika ada uang yang dapat digunakan dengan bebas, maka uang akan dibelanjakan untuk kebutuhan sekunder. Keadaan seperti ini sama sekali tidak menunjukkan antipati terhadap belanja. Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh surat kabar Nikkei di tahun 2011 disebutkan bahwa prosentase uang yang dibelanjakan remaja pria yang berusia 20-30 tahun untuk fashion, buku-buku, kosmetik, game, dan sebagainya menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk usia 40 tahun ke atas (Generasi Seratus Juta Kelas Menengah), sedangkan untuk kaum wanita, pengeluaran tinggi terlihat untuk biaya komunikasi, serta biaya makan minum yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Selain itu, untuk angka belanja benda bermerk seperti United Arrows atau Chanel juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk usia 20-30 tahun dibanding usia 40

(18)

tahun ke atas (Furuichi Noritoshi, 2011: 94). Hobi merupakan sesuatu yang sangat abstrak, terkadang hobi seseorang dapat berlawanan dengan akal sehat, serta norma yang berlaku di dalam masyarakat. Untuk orang-orang yang memiliki ketertarikan pada sesuatu yang sulit untuk dimengerti masyarakat pada umumnya, mereka terkadang dipandang sebagai orang yang aneh. Karakteristik dari hobi seperti ini tidak akan mudah untuk dipahami jika bukan oleh orang-orang yang memiliki pemikiran, selera, dan hasrat yang sama. Sudah tentu, tingkah laku para fans AKB48 yang rela mengeluarkan uang hingga jutaan yen untuk mendukung Idol favorit mereka bukanlah suatu tindakan yang wajar, jangankan diterima, untuk dipahami masyarakat saja sudah merupakan sesuatu yang sulit. Namun bagi para fans, hal itulah yang menjadi kebahagiaan dan tujuan dalam hidup. Dengan mendukung Idol, para fans dapat memperoleh kenikmatan dalam diri mereka. Kesimpulannya, sama seperti generasi sebelumnya yang menjunjung tinggi benda-benda mewah seperti membeli rumah, mobil, berlibur ke luar negeri dan sebagainya, membelanjakan uang untuk Single dan goods AKB48 juga dapat memberikan kenikmatan serta kepuasan tersendiri. Hobi seperti ini mungkin tidak akan mudah dipahami oleh orang lain, namun, asalkan orang yang mendalami hobi tersebut merasa bahagia dan tidak membawa kesulitan bagi orang lain, seharusnya itu tidak menjadi masalah. Ini adalah prinsip dasar dari kehidupan masyarakat modern saat ini. Meskipun keinginan berbelanja telah mengalami pergeseran, secara psikologis remaja Jepang yang sekarang tidaklah terlalu berbeda dengan orang-orang di generasi sebelumnya. Selain itu, perekonomian masyarakat yang kita tinggali selalu didukung oleh konsumsi orang-orang yang berada di dalamnya. Tidaklah heran apabila

(19)

kebutuhan-kebutuhan yang baru terus bermunculan. Secara tidak sadar, orang-orang merasa terdorong untuk memiliki sesuatu yang baru, termasuk para remaja.

Remaja Jepang sekarang bukanlah “Generasi Pembenci Belanja”. Selain itu, seperti yang dijelaskan pada subab sebelumnya, penulis tidak menyetujui pandangan yang menghilangkan perbedaan ekonomi, wilayah, serta generasi untuk menyatukan orang-orang yang memiliki rentang usia dekat ke dalam suatu kategori yang disebut “Remaja”. Setelah kehancuran masa Bubble, di Jepang telah muncul generasi remaja yang baru

Gaya hidup hedonisme para fans AKB48 diukur dengan mengacu pada konsep AIO yang didefinisikan oleh Reynold. A yaitu Activities atau kegiatan, I yaitu Interest atau minat dan O yaitu Opinion atau pendapat.

1. Activities (Aktivitas atau Kegiatan)

Kegiatan adalah tindakan nyata atau aktivitas yang dikakukan oleh para fans AKB48. Aktivitas disini meiliputi penampilan, kepemilikan barang yang berhubungan dengan AKB48 (Idol Goods), pola pergaulan, hobi. Di bawah ini dipaparkan beberapa hal untuk mengukur aktivitas:

1. Pemakaian baju dan aksesoris yang berhubungan dengan AKB48

2. Frekuensi menonton konser di teater AKB48, mengunjungi AKB Cafe, mengikuti acara salaman (Akushukai), kontes popularitas (Sousenkyo)dan event-event lainnya.

3. Aktivitas bertemu dan bersosialisasi dengan sesama fans 4. Aktivitas membeli Idol goods, Single, dan Album AKB48

(20)

2. Interest (minat)

Interest atau minat terhadap gaya hidup hedonism adalah tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus ke hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup hedonisme. Interest diukur dengan:

1. Minat terhadap informasi mengenai Idol goods, acara konser, serta informasi mengenai acara salaman, tanda tangan, dan sebagainya.

2. Keinginan untuk berpenampilan dan bertingkah laku layaknya seorang fans idol sejati.

3. Keinginan untuk mendukung idol favorit dengan cara-cara ekstrim.

3. Opinion (Pendapat)

Opini adalah jawaban lisan atau tertulis yang diberikan responden terhadap pertanyaan mengenai gaya hidup hedonisme. Opini berisikan penafsiran, harapan dan evaluasi terhadap gaya hidup hedonisme. Sedangkan opini diukur dengan:

1. Pendapat responden mengenai frekuensi dalam mengunjungi teater AKB48.

2. Pendapat responden mengenai jumlah suara yang dimasukkan dalam kontes popularitas AKB48 dalam Sousenkyo (総選挙).

3. Pendapat responden mengenai cara untuk menanggulangi sisa CD single (総選挙) dalam jumlah besar yang sudah diambil kertas votingnya.

(21)

4. Pendapat responden mengenai kecukupan dari kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) untuk hidup sehari-hari.

3.2.2. Gaya hidup hedonis para penggemar AKB48

AKB48 diciptakan oleh produser Akimoto Yasushi dengan berdasarkan 2 konsep, yaitu, “Idol yang dapat ditemui langsung”, dan “Idol yang dapat dipromosikan oleh para fans”. Kedua konsep inilah yang menjadi perbedaan terbesar dari AKB48 dengan grup idol Jepang yang ada selama ini. Produser Akimoto menjelaskan perbedaan antara AKB48 dengan idol tahun 80 Jepang, yang bernama お ニ ャ ン 子 ク ラ ブ (Onyanko Kurabu) Dalam sebuah wawancara yang tertulis dalam buku AKB48の秘密の教科書(AKB48 no Himitsu no Kyoukasyo), sebagai berikut, “Jika mau disebutkan, perbedaan terbesar dari Onyanko Kurabu dan AKB48 adalah, Onyanko disampaikan secara satu arah melalui media televisi kepada masyarakat, namun AKB48 dimulai dari satu teater yang berkapasitas maksimum 250 orang dan disebarkan melalui jaringan para fans sendiri”. (AKB48 no Himitsu no Kyoukasyo, 2011:15-16). Setelah kesuksesan stragtegi awalnya, prodesuer Akimoto mulai melaksanakan projek “Sister Group”. Projek ini bertujuan untuk membuat grup sub-unit dari AKB48 yang berpusat di teater utamanya di Akihabara. Sebagai hasilnya, di tahun 2008 muncul sub-unit baru di kota Nagoya yaitu, SKE48. Setelah SKE48, AKB48 terus melebarkan sayapnya hingga daerah Namba, Osaka, dengan dibuatnya sub-unit NMB48 di tahun 2010, serta daerah Fukuoka, Kyushu, dengan sub-unit yang bernama HKT48. Tidak hanya itu, setelah projek “Sister Group” berhasil meraih kesuksesan secara nasional, AKB48 juga menargetkan untuk mencapai level internasional

(22)

dengan menciptakan sub-unit di luar Jepang. Pencapaian ini ditandai dengan lahirnya sub-unit di kota Jakarta, Indonesia, yang disebut JKT48, di kota Taipei, Taiwan, TPE48, serta di kota Shanghai, RRC, SNH48. Menaikkan pamor artis dengan cara menggelar konser di luar negeri bukanlah suatu hal yang baru, tetapi pengembangan Idol menuju level internasional dengan pembuatan sub-unit di Negara lain jelas berbeda dengan sistem yang ada selama ini. Ini juga merupakan salah satu keunikan tersendiri dari AKB48.

Dalam Bab 1 telah dijelaskan mengenai latar belakang AKB48, serta sistem kontes popularitas, 総選挙( Sousenkyo). Sousenkyo adalah sistem yang diciptakan oleh produser Akimoto Yasushi untuk meningkatkan popularitas AKB48. Sistem ini menentukan member AKB48 yang berhak untuk ikut serta dalam Single terbaru yang akan dirilis setelah Sousenkyo. Single AKB48 biasanya dinyanyikan oleh para member yang dipilih (Senbatsu Member) oleh produser Akimoto dan para stafnya. Namun melalui Sousenkyo, member AKB48 yang ikut serta dalam Single terbaru ditentukan oleh sistem ranking, sehingga seluruh member memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk ikut serta, tentu saja bagi para member ini adalah kesempatan besar. Selain itu, 21 orang member dengan suara terbanyak akan lebih diutamakan dalam pemunculan di media televisi maupun majalah, . Sistem ini mengikutsertakan para fans dalam melakukan pemungutan suara untuk menentukan ranking. Dengan kata lain, melalui Sousenkyo para fans dapat mempromosikan member AKB48 favorit mereka secara langsung. Sistem pemungutan suara dalam Sousenkyo tampak demokratis, namun sesungguhnya tidak demikian. Sebab untuk memasukkan satu suara dalam Sousenkyo para fans harus membeli CD single terbaru

(23)

AKB48 atau menjadi member fan club, dengan kata lain agar dapat memasukkan suara sebanyak mungkin, para fans harus membeli Single dalam jumlah besar. Hasilnya, banyak fans yang membeli CD single dalam jumlah puluhan bahkan ratusan keping demi memenangkan member favorit mereka, tetapi bagi para fans dedikasi seperti itulah yang memberikan kesenangan dan kenikmatan bagi mereka.

Telah dijelaskan beberapa perbedaan antara AKB48 dengan Idol Jepang yang ada selama ini. AKB48 tidak hanya dapat detemui secara langsung, tetapi dapat juga dipromosikan oleh para fans sendiri. Kedua konsep baru inilah yang membuat AKB48 dapat berkembang secara nasional maupun internasional. Popularitas yang tinggi dan perkembangan yang luas telah mengubah AKB48 dari sekedar Idol Grup menjadi fenomena sosial. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh penulis, secara luas fans AKB48 dapat dibagi menjadi 3 kategori:

1. Penggemar Biasa, penggemar tipe ini menyukai idol, namun mereka hanya memandang idol sebagai media rekreasi atau hobi. Tipe ini sama seperti orang-orang yang menganggap hobi sebagai penghilang stress atau tempat pelarian sementara, setelah hati terpuaskan, mereka dapat kembali untuk menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tipe ini tidak terlalu banyak menghabiskan uang untuk AKB48, mereka hanya ingin mendukung idol favorit mereka dari kejauhan. Mereka membeli CD Single, juga menonton konser AKB, namun itu tetap berada dalam batasan media hiburan.

(24)

2. Penggemar Antusias, penggemar tipe ini memiliki ciri-ciri dari tipe sebelumnya, tetapi mereka lebih antusias dibandingkan tipe penggemar biasa dalam mendukung idol favorit mereka. Tipe ini tidak hanya membeli CD Single, tapi mereka juga membeli goods AKB48 lainnya, seperti kipas, album foto, poster dan lainnya. Mereka selalu mencari dan mengetahui berbagai informasi mengenai AKB48 di atas standar tertentu. Meskipun tipe ini menghabiskan uang lebih banyak jika dibandingkan dengan tipe pertama, mereka masih memiliki kesadaran bahwa idol tidak lebih dari sebuah media hiburan. Namun di sisi lainnya, mereka juga memiliki pandangan hedonis bahwa uang yang dihabiskan untuk hobi adalah untuk membeli kesenangan dan kenikmatan sesaat, dan itu memberikan nilai tersendiri pada diri mereka.

3. Penggemar Fanatik, penggemar tipe ini memiliki semua karateristik dari dua tipe sebelumnya, namun mereka berada di tingkat yang lebih ekstrim. Penggemar fanatik AKB48 sama sekali tidak akan merasa sayang untuk menghabiskan uang untuk mendukung idol mereka. Mereka tidak lagi memandang AKB48 sebagai sekedar media hiburan, tetapi sebagai tujuan hidup. Kesetiaan penggemar fanatik dalam mengikuti konser dan event salaman AKB48 didukung bukan dengan pemikiran untuk mengenal idol mereka, tetapi sebaliknya justru supaya para idol ini dapat mengenal dan mengingat wajah mereka. Beradasarkan data penulis, sebagian besar fans AKB48 yang membeli puluhan, ratusan keping CD Single dalam Sousenkyo termasuk ke dalam penggemar tipe ini. Penggemar Fanatik merasakan kepuasan dan kebanggaan saat mereka berhasil memenangkan member AKB48 yang mereka dukung dalam Sousenkyo, karakteristik seperti ini sangat mirip dengan penggemar fanatik sepak bola. Kritikan serta pandangan

(25)

buruk yang diterima penggemar fanatik dari masyrakat banyak disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas mereka yang tampak tidak wajar. Namun, bagi mereka gaya hidup seperti itu adalah tujuan hidup, beberapa bahkan merasa dapat mengekspresikan dirinya secara jauh lebih baik melalui cara seperti ini. Meskipun pada akhirnya tetap tidak menerima apa-apa selain kepuasan dan kenikmatan sesaat, tetapi itu adalah suatu bentuk kebahagiaan tersendiri.

Grafik berikut menggambarkan angka yang berdasarkan hasil angket yang dibagikan pada Sōsenkyo ke-4, tahun 2011 (hasil dari 471.628 responden)

Gambar 3.7 Grafik jumlah penggemar AKB48 yang memasukkan suara dalam Sōsenkyo ke-4, tahun 2011berdasarkan rentang usia( Sumber: Seijiyama)

(26)

Gambar 3.8 Grafik jumlah penggemar AKB48 yang memasukkan suara dalam Sōsenkyo ke-4, tahun 2011berdasarkan jenis kelamin dan usia( Sumber: Seijiyama)

AKB48 disukai dan dipuja oleh para remaja Jepang dari berbagai golongan, hal ini sudah tidak dapat dipungkiri. Professor Inamasu Tatsuo (稲 増龍夫)dari jurusan sosiologi Universitas Hōsei memberikan pendapatnya mengenai AKB48 sebagai berikut, “Idol seperti Onyanko Kurabu berhasil meraih kesuksesannya di akhir tahun 80-an berkat kekuatan media televisi, namun pencapaiannya yang singkat membuat idol ini tidak dapat bertahan lebih dari 2 tahun.

Produser Akimoto Yasushi ingin menciptakan idol yang dapat bertahan dalam jangka waktu lebih panjang, dengan ide tersebut dibentuklah AKB48. Pertama dengan konsep “Idol yang dapat ditemui secara langsung”, para anggota kelompok dapat memberikan suasana akrab dengan para fansnya. Setelah itu, grup idol ini melebarkan ruang aktivitas promosinya melalui internet. Salah satu aktivitas promosinya adalah Sōsenkyo yang pertamanya

(27)

di tahun 2009. Sistem Sōsenkyo inilah yang membuat para fans merasakan keikutsertaan mereka dalam mempromosikan idol. Sebagai hasilnya, Sōsenkyo bahkan sampai menarik golongan yang tadinya tidak tertarik dengan AKB48, sehingga memunculkan sebuah fenomena di tengah masyarakat.”(Inamasu,http://www.fujitv.co.jp/compass/view_45.html#Aina masu).

Kenyataannya AKB48 juga menuai banyak kritikan dari masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Berdasarkan data-data yang ditemukan oleh penulis, kritikan-kiritkan ini umumnya berkaitan dengan event seperti Sousenkyo, serta strategi marketing untuk meningkatkan angka penjualan goods dan CD yang secara tidak langsung membuat para fans AKB48 menghabiskan banyak uang demi idol mereka.

Ada beberapa cara untuk memasukkan suara dalam kontes Sousenkyo, tetapi cara yang dapat digunakan untuk memasukkan suara lebih dari sekali hanya ada satu. Yaitu dengan membeli CD Single AKB48 lebih dari satu keping. Tidaklah heran saat masa pemilihan sudah berakhir, para fans menumpuk CD sebanyak puluhan hingga ratusan keping. Jika memang ingin mendengar dan menikmati lagu-lagu AKB48, seharusnya membeli satu atau dua keping CD sudah lebih dari cukup. Permasalahannya adalah, semua CD tersebut bernilai lebih karena terdapat kupon voting Sousenkyo yang terselip di dalamnya. Namun, saat kupon dalam jumlah besar itu sudah digunakan, maka semua CD yang kehilangan nilainya itu sudah tidak berguna lagi. Penulis memperoleh data-data angket yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang mengelola toko barang second untuk Game, CD, serta buku-buku yang bernama Sunset Corporation di kota Ichikawa, prefektur

(28)

Chiba mengenai akhir dari CD Single AKB48 yang dibeli dalam jumlah besar. Angket dibagikan dari tanggal 8-14 Mei, 2012 . Jumlah angket yang berhasil dikumpulkan adalah 1610 orang (Pria 1414 orang, Wanita 196 orang, Rentang Usia 10-20 tahun 524 orang, Rentang Usia 20-30 tahun, 639 orang, Rentang Usia 30-40 tahun 329 orang, sedangkan 40 tahun ke atas 118 orang). Hasil dari angket tersebut dibuat menjadi grafik berikut.

Gambar 3.9 Grafik Angket Akhir Penggunaan CD Single AKB48. Oranye: Dijual Kembali ke Toko Barang second, Biru Tua: Menyimpan semua CD, Hijau: Dibagikan ke Teman atau Saudara, Ungu:

Dibuang (Sumber: Diamon d Online)

Berdasarkan grafik di atas, responden yang menjawab “Menjual CD ke toko barang second atau recycle shop” adalah yang terbanyak, sekitar 57,3%. Tetapi, biar bagaimanapun toko-toko ini tetap memiliki batas untuk menampung CD sebanyak itu, bila jumlahnya sudah terlalu besar, maka kemungkinan tidak akan diterima lagi. Jika saat ini kita pergi ke toko barang

(29)

second di Akihabara, kita dapat melihat CD Single AKB48 yang dijual seharga 50 yen sekeping, harga ini menurun drastis bila dibandingkan dengan harga awalnya yang berkisar 1600 yen untuk satu kepingnya. Responden yang menjawab “Menyimpan semua CD yang sudah dibeli”, berjumlah 23,5%. Setelah itu adalah responden yang menjawab, “Membagikan CD secara gratis ke teman-teman” sebanyak 16,5%. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah responden yang menjawab, “Membuang CD Single yang berlebih”. Meskipun jumlah responden yang menjawab seperti ini tidak lebih dari 2,7%, tetapi apapbila di antara orang-orang tersebut ada yang membeli hingga puluhan hingga ratusan keping, akibatnya dapat mengotori lingkungan. Sebagai buktinya, saat Sousenkyo ke-4 berakhir, ditemukan tumpukan CD Single AKBke-48 dalam jumlah besar dalam kardus atau kantong plastik yang dibuang begitu saja di beberapa lokasi di kota Tokyo. Foto tumpukan CD yang dibuang itu mengalir di internet dan menuai banyak kritikan dari masyarakat Jepang. Kejadian seperti ini tidak hanya terbatas pada Sousenkyo, sebab strategi marketing yang sama juga dilakukan dalam penjualan tiket untuk acara salaman member AKB48.

(30)

Gambar 3.10 Tumpukan CD Single AKB48 yang dibuang di kota Tokyo (Sumber:

トレンド

喫茶)

Gambar 3.11 Tumpukan CD Single AKB48 yang dijual di recycle shop (Sumber: トレン

ド喫茶)

AKB48 banyak menerima kritikan yang serius dari berbagai kalangan di dalam masyarakat Jepang. AKB48 memiliki sisi negatif yang membuat orang

mempertanyakan nilai grup ini sebagai sebuah idol, namun justru di balik fenomena AKB48 inilah terdapat jawaban dari gaya hidup hedonis yang ada di antara para remaja penggemar AKB48.

Gambar

Gambar 3.2 Piramida penduduk Jepang di tahun 1970 (Sumber: Kouryuuの日々雑感)
Tabel 3.1 Tabel angka pendapatan belanja tahun 1955-1970(Sumber: Nakamura Takafusa, A History  of Showa Japan,1926-1989, University of Tokyo Press, 1998)
Tabel 3.2 Tabel jumlah jam kerja perusahaan dengan 30 karyawan ke atas di tahun 1960-
Gambar 3.4 Grafik Penyelidikan Taraf Kehidupan Masyarakat oleh Pemerintah Jepang di tahun  2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengelolah gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang berjudul “PERAN SOSIAL BADAN KEMAKMURAN MASJID

Perancangan buku anak jalanan adalah bukti pengabdian penulis sebagai manusia yang ingin memiliki dampak terhadap keberlangsungan hidup manusia lainnya.. Bermula

Menurut penulis android SDK adalah suatu set alat pengembangan perangkat lunak yang memungkinkan untuk pembuatan aplikasi untuk software tertentu, kerangka kerja

Dengan demikian Asosiasi Sistem Informasi Indonesia atau AISINDO dalam payung hukum nasional merupakan organisasi sosial profesi yang berbadan hukum Yayasan, dan dalam

Dengan memperhatikan masalah-masalah yang dialami peserta didik kelas X TSM E dalam pembelajaran menulis serta karasteristik dan langkah-langkah strategi Belajar Memutar,

Hasil penelitian perlakuan oryzalin pada konsentrasi tinggi menurunkan daya hidup tanaman karamunting Pada beberapa tanaman karamunting yang telah ditetesi larutan oryzalin

Pada gambar 3 tampak bahwa kinetin dengan konsentrasi yang optimum baik pada media MS atau pada media B5 menjadi faktor penting dalam pembentukan tunas pada in vitro

Dengan adanya perintah berdasarkan pasal 43 ayat (2) Undang-Undang tentang Wakaf, diharapkan agar para nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta beda wakaf dapat dilakukan