• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. P. J Zoetmulder pada buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. P. J Zoetmulder pada buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

P. J Zoetmulder pada buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang

Pandang menuliskan bahwa seluruh dunia telah maklum akan hasil gemilang

yang dicapai bangsa Indonesia dahulu kala dalam bidang kesenian. Lewat karya-karya seni mereka mengungkapkan ide-ide religiusnya beserta pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam. Monumen-monumen seni bangun seperti Borobudur dan Prambanan dikagumi oleh siapa saja. Karya-karya agung dalam bentuk batu maupun perunggu membuktikan, betapa orang-orang pada masa yang jauh silam itu, mengembangkan cita rasa keindahan sampai tingkat yang tinggi. Bentuk-bentuk lain yang mengungkapkan rasa estetik itu seperti tari-tarian dan musik, menjadi pudar, sekali dipergelarkan, lalu lenyap, dan hanya tradisi artisiknya diteruskan kepada angkatan-angkatan yang akan datang (1985: xi).

Ada masanya ketika suatu kesenian berkembang pesat dan menjadi populer pada zamannya, tetapi di kemudian hari semakin padam, bahkan hilang sama sekali, sama halnya seperti sekuat-kuatnya bangunan batu yang lambat-laun ambruk karena tidak dipelihara. Tidak dapat dielak lagi, arus globalisasi dan modernitas yang pertama kali digaungkan oleh bangsa Barat seakan membuka semua pintu di berbagai belahan dunia yang mengundang bermacam budaya untuk masuk, diadopsi mentah-mentah, atau melalui akulturasi agar dapat diterima. Hal tersebut dikenal sebagai budaya pop, budaya yang bersifat energik, lincah, berpengaruh, melenakan, dan mudah disukai, terutama oleh generasi

(2)

muda. Meskipun senang atau tidak senang (Adi, 2011: 1), berdampak buruk atau baik, produk budaya berkualitas atau tidak, budaya populer merefleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Melihat kenyataan ini, banyak pakar mengkhawatirkan melunturnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat.

Kuntowijoyo (2006:39) mengakui bahwa modernitas kebudayaan menyebabkan adanya erosi nilai-nilai budaya tradisional dan retradisionalisasi. Akibatnya, masyarakat, terutama generasi muda (remaja), tidak mampu mengenali dan memahami kebudayaannya, sehingga masyarakat kehilangan karakter dan pedoman hidupnya.

Kesenian tradisional kurang mendapat apresiasi sehingga perkembangannya terhambat, banyak yang diambang kepunahan, bahkan ada kesenian adiluhung milik bangsa Indonesia yang kemudian diklaim sebagai budaya asli negara lain. Hal memiriskan seperti itu bisa terjadi akibat lalai dan kurang merasa memiliki pada budaya warisan leluhur yang seharusnya dijaga dan diapresiasi. Oleh karena itu, seruan pelestarian budaya mulai ramai digaungkan melalui promosi pariwisata, mengirimkan duta-duta sebagai ajang pengenalan budaya ke luar negeri, serta mengadakan pentas-pentas seni ke berbagai negara. Tetapi tidak semua kesenian mendapat perhatian sebesar itu. Kesenian di daerah-daerah terpencil acap kali harus berjuang seorang diri mempertahankan eksistensinya di wilayah yang sempit dan minim apresiasi di luar masyarakat kolektifnya (juga terjadi dalam masyarakat kolektifnya sendiri).

Kesenian tradisional ada yang masih eksis seperti halnya degung, wayang

golek, ada yang keberadaannya telah menjadi samar (ada orang yang tahu dan

(3)

apresiasi dan tergantikan oleh yang dianggap lebih kekinian) seperti seni rudat di Kabupaten Pangandaran, ada yang berinovasi memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan eksistensinya seperti sandiwara radio berbahasa Sunda, dan ada pula yang terancam punah seperi tradisi lisan beluk atau eok1 yang akan menjadi

sorotan utama dalam penelitian ini.

Perubahan masa dan situasi, serta bergesernya cara pandang masyarakat menyebabkan tradisi lisan mengalami perubahan ragam yang berada dalam berbagai situasi: a) tradisi lisan terancam punah karena fungsinya sudah berkurang atau berubah dalam kehidupan masyarakat, b) tradisi lisan yang mengalami perubahan yang lambat seperti yang terdapat dalam upacara-upacara adat dan seremonial kenegaraan, c) tradisi lisan yang berubah cepat sehingga sering tidak dikenali lagi akarnya (Pudentia, 2005).

Upaya pelestarian tradisi lisan sebagai akar budaya nasional perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak tradisi lisan yang punah karena tidak mendapatkan atensi dari masyarakat pendukungnya dan terlepas dari upaya pendokumentasian baik secara audio maupun visual. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan di negara maju yang telah mendokumentasikan budayanya dan diterbitkan dalam bentuk buku sehingga banyak tradisi lisan yang masih bertahan (Rosidi, 1995:125-126).

Vansina (1985:27-28) mengungkapkan bahwa sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan berupa tuturan verbal yang memenuhi ciri-ciri dulce et utile sebagaimana dikemukakan oleh Horatius. Penggunaan bahasa dan struktur

1Intisari wawancara dengan Kepala UPTD Dikbudpora Kecamatan Sidamulih Kabupaten Pangandaran, sesepuh Wak Acim, Kuwu Sepuh, dan Bapak Solih Solihat atau Apih Sawer (2015)

(4)

pembaitannya indah (dulce) dan bermanfaat (utile) antara lain sebagai sarana pewarisan nilai, legitimasi kedudukan sosial politik, ataupun sekadar melipur lara pendengarnya. Pesan, cerita, atau kesaksian tersebut disampaikan melalui tuturan atau nyanyian dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk-bentuk seperti dongeng, puisi, balada, atau kidung.

Meskipun sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan akan tetapi penelitian ini akan menggunakan istilah tradisi lisan. Hal ini bermaksud mengupas ekspresi kesusasteraan dari warga suatu kebudayaan yang tersebar dan diturunkan secara lisan, serta mengupas mengenai beragam hal tentang tradisi pertunjukan, teks sebagai karya sastra, dan audience atau penikmat tradisi lisan.

Penggunaan istilah tradisi lisan juga lebih cenderung diterapkan oleh Pudentia (2001:1) yang berpendapat bahwa kebijaksanaan yang mengandalkan homogenitas akan mempersempit kemungkinan bertahannya bahasa-bahasa daerah. Akibatnya, terjadi kemiskinan pengetahuan mengenai masyarakat itu sendiri sehingga tidak muncul keinginan untuk memahami lebih jauh tentang masyarakat tersebut. Dengan kata lain, istilah tradisi lisan akan lebih tepat digunakan sebagai alat untuk melihat lebih jauh keunikan dalam masyarakat pemilik tradisi lisan itu.

Apabila kita amati peristiwa yang terjadi di wilayah Kabupaten Pangandaran, Kabupaten baru di Tatar Sunda bagian selatan yang berdiri pada 25 Oktober 2012, maka dapat dikemukakan bahwa daerah yang terkenal akan keindahan pesisir pantainya ini memiliki beragam kesenian yang unik seperti

wayang golek, ketuk tilu, ronggeng gunung, dan tradisi lisan beluk. Tradisi lisan beluk atau dikenal dengan sebutan eok ini sewaktu-waktu masih dipertunjukkan di

(5)

Kecamatan Sidamulih Kabupaten Pangandaran dan keberadaannya semakin tergeser oleh hiburan-hiburan produk modernitas.

Tradisi lisan yang berkembang di Kecamatan Sidamulih menggunakan bahasa daerah Sunda yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesusasteraan artistik. Rosidi (1995:126) juga menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang menjadi media pengucapan tradisi lisan itu juga merupakan bagian-bagian dari kebudayaan daerah tradisional, yaitu bahasa yang paling tepat dapat mengekspresikan isi kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Di dalam bahasa Sunda terdapat kesusasteraan yang kaya. Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah cerita-cerita pantun, yaitu cerita pahlawan-pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-seling oleh prosa berirama seperti bentuk penglipur lara. Sesudah zaman pantun, dikenal wayang dan

wawacan sebagai pengaruh dari Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Cerita wawacan dalam bahasa Sunda banyak diambil dari cerita-cerita Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan ini disebut beluk. Biasanya seorang

membacakan satu kalimat dari wawacan itu yang berbentuk puisi tembang dari Jawa, dan seorang yang lain menyanyikannya. Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah, atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya. Beluk itu biasa diperdengarkan sambil menunggui orang yang baru melahirkan. Lamanya hampir semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang yang memperdengarkan beluk (Koentjaraningrat, 2010:308-309).

Beluk adalah seni suara vokal daerah Jawa Barat (Tembang Sunda) dalam

bentuk irama bebas dengan syair (rumpaka) yang berpolakan pupuh (puisi Jawa lama). Beluk termasuk bentuk tembang yang mempergunakan nada-nada tinggi

(6)

(eluk) yan penuh alunan suara (legato), dan lekukan atau lengkungan suara.

Rumpaka atau syair yang dipergunakan dari mamaca wawacan (Rosyadi dkk,

1993: 24)

Rosyadi dkk (1993:25) menuliskan bahwa wawacan adalah cerita panjang berbentuk puisi yang disebut dangding. Dangding tersusun dari beberapa metrum yang disebut pupuh. Ada pula karya yang isinya lebih pendek (tetapi tidak boleh kurang dari satu pada) daripada wawacan disebut guguritan. Sedangkan pengertian wawacan menurut Koentjaraningrat (2010: 309) adalah cerita yang berbentuk puisi dan biasanya dinyanyikan dalam membacanya.

Awalnya tradisi lisan beluk bersumber dari tradisi naskah (manuscript) berbahasa Sunda. Menurut Ekadjati (1988: 4) naskah Sunda adalah naskah yang ditulis di wilayah Jawa Barat dan isi naskah berisi cerita atau uraian yang bertalian dengan wilayah dan orang Sunda. Khazanah naskah Sunda mencakup sejumlah naskah dalam koleksi berbagai lembaga publik dan perseorangan yang belum terhitung jumlahnya.

Dalam jurnal “Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi Tulisan

Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad ke-19”,

Moriyama menuliskan bahwa ketika teknologi percetakan diperkenalkan ke dalam tulisan Sunda pada pertengahan abad ke-19, wawacan sangat digemari orang Sunda. Oleh karena itu sarjana-sarjana Belanda berkesimpulan bahwa ini adalah genre yang ‘paling tradisional’ dan ‘paling bergengsi’ di antara berbagai bentuk tulisan Sunda dan sarana paling baik untuk pendidikan. Pemerintah kolonial menerbitkan publikasi berbahasa Sunda dalam bentuk wawacan. Dari 87 buku bacaan, 51 publikasi di antaranya merupakan teks wawacan, yakni hampir 60%

(7)

dari jumlah keseluruhan. Banyak wawacan dipublikasikan dalam dua periode: pertama pada tahun an, kemudian sekitar pergantian abad. Pada tahun 1860-an keb1860-anyak1860-an publikasi berbentuk wawac1860-an, khususnya y1860-ang diterbitk1860-an oleh

Landsdrukkerij. Ini merupakan hasil dari pengaruh K.F. Holle, yang percaya

bahwa wawacan paling efektif dalam memperkuat secara langsung identitas orang Sunda dan membawa pencerahan.

Setelah memasuki era penerbitan, naskah (manuscript) wawacan tidak lagi hanya dimiliki orang-orang tertentu. Wawacan dapat dibeli, dimiliki, dipinjam, dibaca oleh siapapun dalam bentuk wawacan cetak. Membaca wawacan bukan hanya dibaca biasa seperti layaknya prosa, melainkan lebih baik dinyanyikan. Walaupun posisi wawacan berupa manuscript telah tergeser oleh wawacan cetak, fungsi dasarnya sebagai alat hiburan dalam masyarakat Sunda masih utuh. Cerita

wawacan tersebut tidak hanya dibaca perseorangan, melainkan cerita tersebut

ditampilkan secara lisan dalam acara-acara tertentu. Sedangkan wawacan, baik

manuscript maupun cetak, digunakan sebagai pedoman utama menyanyikan cerita

dan bahan pertunjukan (performance) yang dihapal.

Pertunjukan beluk merupakan peristiwa komunal, bersifat sosial atau kekeluargaan yang khas dalam sistem kehidupan pedesaan, terutama di masyarakat petani dan biasanya diselenggarakan di dalam rumah, berupa kenduri kecil, bukan pesta besar dengan panggung yang dibuat khusus, untuk syukuran panen, khitanan, kelahiran bayi, dan sebagainya. Orang yang mempunyai hajat mengundang para penyanyi beluk secara kekeluargaan, yang umumnya para tetangga-kerabat sekampung. Namun demikian, karena teknik suara yang khusus

(8)

itu, tidak banyak orang yang bisa menyanyikannya. Di suatu kampung biasanya hanya terdapat beberapa orang saja yang dianggap baik menyanyi beluk.2

Beluk ditampilkan secara live di depan khalayak (panggung), dibawakan

oleh sekurang-kurangnya dua orang penyanyi, dan tidak ada patokan batasan jumlah maksimal penyanyi. Cerita yang dibawakan bersumber dari wawacan tetapi hanya mengambil bagian-bagian tertentu saja. Di sana-sini juga terdapat

alok atau alokan, yaitu nyanyian selingan atau yang mengimbuhi lagu pokok dan

para penonton bisa turut menyanyi atau meramaikan dengan tepukan tangan berirama.

Wawacan ditulis untuk dinyanyikan sekaligus diperdengarkan kepada

khalayak. Dari segi ini peran kelisanan jelas berperan penting karena tanpa unsur ini wawacan berada dalam kesunyian seperti lirik lagu yang tidak dinyanyikan atau melodi yang tidak dimainkan. Wawacan memang dapat dibaca seorang diri seperti prosa atau puisi, tetapi akan terasa kering, ibarat membaca lirik lagu tanpa menyanyikannya. Wawacan memiliki melodi yang akan keluar aura seninya jika diperdengarkan pada kegiatan-kegiatan komunal.

Tradisi lisan beluk telah mengalami perjalanan yang panjang seiring dengan perkembangan manuscript wawacan hingga memasuki era percetakan modern. Selama perjalanan itu pula beluk mengalami berbagai inovasi dan improvisasi untuk memenuhi selera penikmatnya sehingga menciptakan variasi-variasi yang khas dalam setiap performance di tengah masyarakat kolektifnya. Meskipun materi utama pertunjukan (performance) beluk bersumber pada

2 Intisari wawancara dengan Kepala UPTD Dikbudpora Kecamatan Sidamulih Kabupaten Pangandaran (2015)

(9)

wawacan, penyanyi beluk tidak hanya membaca naskah tersebut di dalam setiap

pertunjukannya, melainkan menghapalkan inti ceritanya (untuk menarasikan

pupuh) dan diimprovisasi sebagaimana ciri tradisi lisan pada umumnya.3 Hal inilah yang menarik untuk menjadi sorotan dalam pembahasan ini.

Beluk pada wawacan Sunda dapat dikatakan sebagai tradisi yang berada di

persimpangan antara kelisanan dan keberaksaraan. Penyanyi beluk yang sudah membaca dan memahami teks sebelum pertunjukan, di dalam performance masih memiliki kebebasan membangun cerita dan berimprovisasi. Kemahiran mengolah bahasa, melodi, menyampaikan cerita yang terikat aturan pupuh, tentu membutuhkan latihan intens dan tidak instan. Latihan yang intens dan penguasaan kosa-kata bahasa Sunda merupakan modal dasar seorang penyanyi beluk. Latihan intens ini akan memberikan pengalaman bagi penyanyi beluk untuk menciptakan, membentuk komposisi beluk yang siap pakai (stock-in-trade).

Lord (1981:13) mengutarakan bahwa komposisi dan pertunjukan merupakan dua aspek yang “sama”. Tradisi lisan tidak bergantung pada komposisi. Pementasan dalam tradisi lisan memegang peranan penting. Pementasan menjadi satu moment bagi penyair untuk melakukan improvisasi.

Improvisasi yang dilakukan pelaku beluk tidak dapat dilepaskan dari pola atau komposisi yang menjadi pakem. Di dalam hal itu, penyanyi beluk memiliki pola dan formula tersendiri berupa komposisi kelompok kata dan frasa yang muncul di beberapa bagian. Kelompok kata atau frasa yang dipersiapkan penyanyi

beluk untuk membantu dirinya memudahkan menyusun cerita, bergantung pada

3 Intisari wawancara dengan Bapak Suhin, salah seorang penyanyi beluk dari Kecamatan

(10)

tema yang dibawakan. Tema sebagai peristiwa atau deskripsi bagian-bagian yang diulang (Lord, 1981: 68) dapat menjadi acuan penyanyi beluk dalam menyusun komposisi kelompok kata tertentu.

Pertunjukan (performance) berkaitan erat dengan proses pewarisan (transmisi). Kesiapan dan kemampuan seorang penyanyi beluk untuk tampil dalam sebuah pertunjukan dapat dilihat pada waktu menjalani proses latihan. Dalam proses latihan ini terdapat tiga tahap, yaitu mendengar, mempraktikkan, dan menampilkan (Lord, 1981: 13).

Dalam ranah teori kelisanan, beluk dapat digolongkan pada tradisi lisan sekunder. Tradisi lisan sekunder dalam kajian kelisanan sempat menjadi perdebatan. Sweeney (2011: 7) berdasarkan buku Richard Dorson “Folklore and

Fakelore: Essays Toward a Dicipline of Folk Studies” (1976), berpendapat bahwa

pengaruh tulisan merupakan kontaminasi atau pencemaran. Sweeney juga menegaskan dengan mengambil contoh kelisanan Tuk Selampit Kelantan, bahwa pengaruh tulisan dapat menjelma dalam gaya penciptaan tetapi pada prinsipnya sistem lisan masih kuat.

Peneliti Walter J. Ong membicarakan mengenai secondary orality. Ong mengemukakan bahwa manusia abad ke-20 sesungguhnya masuk kebudayaan yang sama sekali baru dengan terciptanya media massa modern yang bersifat elektronik, khususnya radio dan televisi. Sarana modern ini memanfaatkan kembali suara sebagai alat utama atau penting untuk menyampaikan informasi dan kuping sebagai indera untuk menerima informasi tersebut. Dari segi ini dapat dikatakan bahwa kita kembali ke masa dimana orality memainkan peran yang penting dalam komunikasi dan penyampaian informasi. Kelisanan sekunder itu

(11)

secara prinsip berbeda dengan kelisanan primer sebagaimana terdapat dalam masyarakat niraksara. Dalam situasi kelisanan sekunder teks tertulis sering mendasari informasi lisan (Teeuw, 1994: 20).

Sebagai contoh kasus, telaah sastra lisan sekunder pernah diterapkan oleh Teeuw dalam analisisnya terhadap Pidato Kenegaraan 1988 yang notabene termasuk kebudayaan cetakan. Teeuw menggunakan pisau analisis Albert B. Lord untuk menelaah Pidato Kenegaraan 1988 dari segi formula dan formulaik (1994: 9). Memang benarlah Pidato Kenegaraan 1988 termasuk kebudayaan cetakan (Teeuw, 1994: 19), baik dari segi penciptaannya maupun dari segi pembawaannya dan menunjukkan cukup banyak ciri khas kebudayaan itu. Tetapi sungguhpun demikian ada juga sejumlah aspek yang memungkinkan kita mendekatinya dari segi lain dan mengaitkannya dengan ciri-ciri yang oleh penelitian tekstual modern dianggap khas untuk kebudayaan lisan. Teeuw (1994: 20) menyatakan bahwa dalam situasi kelisanan sekunder teks tertulis sering mendasari informasi lisan, misalnya seorang pembaca warta berita radio memakai teks tertulis yang dibacakannya untuk pendengar.

Beluk yang termasuk dalam tradisi lisan sekunder tidak menutup

kemungkinan untuk ditelaah menggunakan teori dari Albert B. Lord seperti halnya menganalisis teks Pidato Kenegaraan 1988. Ong (dalam Teeuw, 1994: 21) menjelaskan bahwa secara psikologis baik individual maupun sosial perbedaan antara penyampaian dan penerimaan informasi tertulis dan lisan sangat besar. Penglihatan dan pembacaan sebagai aktivitas yang khusus ditentukan penglihatan memecahbelahkan dan mengindividualisasikan sedangkan pendengaran, sound, mempersatukan. Materi yang dilisankan (dinyanyikan) para penyanyi beluk

(12)

adalah berupa naskah. Wawacan yang dibaca perorangan bersifat mengindivialisasi, dalam artian masing-masing pembaca belum tentu mengikuti jalan yang sama dalam penghayatan dan pemahamannya. Tetapi apabila wawacan tersebut dilisankan oleh para penyanyi beluk di hadapan khalayak akan bersifat mempersatukan. Di sinilah para penyanyi beluk berperan penting sebagai penyampai isi wawacan, sebab (Teeuw, 1994: 21) dalam cerita yang dipentaskan tersimpan informasi dan sistem nilai yang relevan untuk masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, Lord (1981: 32-35) juga menguraikan letak-letak komposisi pembentukan formula, seperti pola melodi. Pola melodi ini mencakup matra, sintaksis, ritme, atau tempo nada, akustik atau bunyi suara. Pola melodi tersebut terdapat dalam wawacan yang berbentuk pupuh dan bermetrum.

Tradisi lisan Beluk yang merupakan perpaduan tradisi tulis dan lisan dapat dianalisis menggunakan teori kelisanan yang dikemukakan Albert B. Lord. Pada saat melakukan performance, juru beluk sepenuhnya menyanyikan pupuh yang terdapat di dalam teks. Akan tetapi, juru ilo melakukan alokan berupa narasi dan pengulangan-pengulangan larik tanpa melihat teks. Juru ilo menyambung nyanyian juru beluk dengan cara menarasikan pupuh secara bebas, sesuai kemampuannya mengingat cerita. Sementara juru ilo bercerita, juru beluk yang memegang naskah menelusuri penceritaan juru ilo di dalam teks sehingga juru

beluk dapat dengan tepat menyambung narasi juru ilo dengan nyanyian

berikutnya. Alokan dari juru ilo inilah yang kemudian akan dianalisis menggunakan teori kelisanan Albert B. Lord dari segi formula.

Damono (1999:4) melihat bahwa pada perkembangan hubungan antara lisan dan media cukup unik. Para penyair yang sudah mengenal dan pandai

(13)

menuliskan karya-karyanya, dalam pelisanan (pembacaan) karya-karyanya dipengaruhi oleh faktor-faktor kelisanan. Faktor kelisanan ini dapat dilihat pada kreativitas penyair ketika melisankan puisinya.

Pembahasan beluk sebagai bagian dari tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari aspek kelisanan yang terjadi. Guna mengetahui aspek kelisanan pada tradisi

Beluk digunakan teori analisis sastra lisan Albert B. Lord. Albert B. Lord

mengajukan analisis kelisanan dalam sebuah sastra lisan yang meliputi pertunjukan (performance), transmisi, formula, dan tema.

1.2 Rumusan Masalah

Menilik kepada latar belakang di atas diketahui bahwa beluk di Kecamatan Sidamulih termasuk ke dalam sastra lisan sekunder (secondary

orality). Walaupun materi beluk bersumber pada wawacan (teks tertulis), pelaku beluk tidak selamanya membaca teks tersebut secara langsung dalam

pertunjukannya, melainkan dengan menghapal beberapa bagian (untuk menarasikan pupuh) menggunakan komposisi-komposisi tertentu sesuai tema yang dibawakannya dan memiliki lahan luas untuk berimprovisasi. Tradisi lisan

beluk mengandung aspek-aspek kelisanan yang akan ditelusuri dalam penelitian

ini. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pertunjukan (performance) tradisi lisan beluk di Kecamatan Sidamulih berlangsung?

2. Bagaimana pewarisan (transmisi) tradisi lisan beluk pada wawacan Sunda di Kecamatan Sidamulih?

(14)

3. Bagaimana struktur formula dan tema pada tradisi lisan beluk di Kecamatan Sidamulih?

1.3 Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yang meliputi tujuan teoretis sebagai tujuan pertama disertai dengan tujuan praktis sebagai tujuan kedua. Tujuan teoretis berupa pengaplikasian konsep-konsep tradisi lisan yang terdapat dalam beluk yang meliputi pertunjukan (performance), pewarisan (transmisi), serta struktur formula dan tema.

Tujuan praktis dalam penelitian ini antara lain mendokumentasikan beluk sebagai sebagai aset kebudayaan masyarakat Sunda khususnya Kecamatan Sidamulih, melestarikan tradisi lisan beluk dari kepunahan mengingat tradisi tersebut mengandung manfaat positif dalam membentuk karakter bangsa, khususnya masyarakat Sunda di Kecamatan Sidamulih sehingga dengan keberadaannya diharapkan masyarakat masih tetap memberikan apresiasi terhadap tradisi tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan peneliti, terdapat berbagai penelitian mengenai tradisi lisan yang menggunakan teori dari Albert B. Lord sebagai pisau analisis. Salah satunya berupa penelitian sastra lisan sekunder yang berjudul Macapatan Surat

Yusuf dalam Tradisi Tingkeban di Desa Wilayut, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo: Kajian Sastra Lisan Albert B. Lord (Nilofar, 2013).

(15)

macapatan Surat Yusuf, menganalisis formula dan tema, serta mengungkapkan

fungsi macapatan Surat Yusuf bagi masyarakat.

Selain itu, Wahedi (2014) melakukan penelitian terhadap sastra lisan sekunder dengan objek material macapat di Madura yang berjudul Tegghesan

Macapat Layang Jatiswara pada Upacara Nyadhar Ketiga Desa Pinggir Papas Sumenep. Penelitian tersebut bertujuan menggambarkan proses dan faktor-faktor

yang berhubungan dengan thokang tegghes dalam melakukan tegghesan berupa penggunaan formula dan ungkapan formulaik, pola pewarisan, dan tema atau ide pokok dalam Layang Jatiswara yang ditembangkan pada macapat upacara

Nyadhar ketiga.

Penelitian selanjutnya mengenai kidung yang berjudul Kidung Madya

Muter (Wirayuda, 2011) yang mengemukakan mengenai lambang, bentuk, dan

struktur kidung Madya Muter yang berkembang dalam masyarakat Bali. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap lambang, bentuk, dan struktur kidung yang pada akhirnya peneliti akan mendapatkan titik terang mengenai makna dari setiap simbol yang terdapat di dalam kidung yang akan membawa pembaca lebih memahami ajaran yang terdapat di dalamnya serta dari hasil analisis tersebut dapat diungkap pula mengenai cara pembacaan terhadap kidung Madya Muter.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Yasmud (2011), mahasiswa S2 Ilmu Susastra Universitas Indonesia dengan judul Tradisi Lisan Mowindahako suku

Tolaki di Sulawesi Tenggara. Penelitian tersebut menganalisis teks mowindahako

(16)

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini akan menggunakan teori yang dapat mengupas masalah di atas secara mendalam. Untuk itu digunakan landasan teori tentang sastra lisan Albert B. Lord yang menguraikan aspek-aspek kelisanan, yaitu performance (pertunjukan), pewarisan (transmisi), formula, dan tema.4

Finnegan (1992: 91-94) berdasarkan deskripsi Lord, menyatakan bahwa

performance adalah suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi

proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan komunikasi yang dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya.

Pertunjukan budaya merupakan konteks yang menonjolkan suasana komunitas yang berkaitan dengan unsur ruang dan waktu. Performance dapat dibagi menjadi dua model, yaitu model performance yang ditampilkan di hadapan penonton dan model performance yang ditampilkan tidak di hadapan penonton (dengan waktu dan tempat yang dikondisikan). Model yang pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan (estetis), sedangkan model yang kedua untuk tujuan sakral. Menurut Finnegan, performance melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan).

Performance berkaitan erat dengan proses pewarisan. Kesiapan dan

kemampuan seorang penyanyi untuk tampil dalam sebuah pertunjukan dapat dilihat pada waktu menjalani proses latihan. Dalam pewarisan, Lord (1981: 13)

4Pengurutan aspek-aspek kelisanan yang terdiri atas performance, transmisi, formula, dan tema yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pengurutan contents dalam buku The Singer of Tales (Lord, 1981) serta kesimpulan yang diperoleh dari pembacaan The Singer of Tales.

(17)

menjelaskan tiga tahapan proses menjadi penyanyi lisan. Pertama, tahap mendengarkan dan menyerap. Dalam tahap ini seorang calon penyanyi lisan menirukan penyanyi lain yang sedang bernyanyi. Di sini calon penyanyi lisan mempelajari cerita-cerita, nama, tempat, dan kebiasaan di masa lalu. Dengan demikian, tema atau cerita yang diceritakan menjadi familiar sehingga dia dapat mencari ekspresi nyanyiannya dan melakukan perulangan frasa dengan enak.

Kedua, tahap menggunakan atau mempraktikkan lagu. Tahap ini ditandai dengan penyanyi menyanyikan sebuah lagu, baik dengan atau tanpa instrumental. Hal utama dalam tahap ini, penyanyi sudah menetapkan ritme dan melodi untuk mengungkapkan ide nyanyiannya (Lord, 1981: 13)

Lord (1981: 22) mengungkapkan, dalam menyusun komposisi nyanyiannya, seorang penyanyi mempertimbangkan dua faktor, yaitu: 1) model teks nyanyian. Seorang penyanyi lisan tidak memiliki ide yang sama untuk menghapal beberapa nyanyian yang didengarnya. 2) durasi waktu. Durasi waktu menjadi perhatian penyanyi dengan pertimbangan untuk menampilkan komposisi nyanyian yang alami, yaitu nyanyiannya mengalir dengan lancar. Selain itu, pertimbangan durasi waktu dengan tujuan menjaga komposisinya agar tetap menarik di depan penonton. Kalau waktu komposisi berlarut-larut, kemungkinan penonton akan jenuh.

Ketiga, tahap menyanyi di depan penonton yang kristis. Tahap ini merupakan tahap dimana seorang penyanyi sudah siap membawakan lagu-lagunya. Pada tahap ini kemampuan penyanyi sudah matang. Secara teknik dan pola nyanyian ia sudah paham betul untuk mengatur ritme, melakukan pergantian dan melakukan penyesuaian demi penyesuaian.

(18)

Selanjutnya, formula dan ungkapan formulaik. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide pokok tertentu (Lord, 1981: 30). Sedangkan ekspresi formulaik ialah larik atau setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula (Lord, 1981: 4). Penggunaan kelompok kata secara teratur atau berulangnya frasa-frasa secara mekanis tidak hanya berguna untuk menimbulkan keindahan bagi penonton. Akan tetapi juga membantu penyanyi untuk menyusun komposisi cerita dengan cepat.

Formula dapat pula dipahami sebagai perpaduan antara pikiran dan lagu yang dinyanyikan. Pikiran dengan segala kemungkinannya dapat berimprovisasi dengan bebas, sedangkan lagu cenderung menyiratkan pembatasan. Lord (1981: 43) mengungkapkan bahwa seorang pencerita menghasilkan ulangan kelompok kata atau frasa itu dengan dua cara, yaitu mengingat frasa-frasa dan menciptakannya melalui analogi dengan frasa-frasa lain yang telah ada. Karenanya, Lord menyarankan untuk memulai kajian formula dengan mempertimbangkan metrik dan musik.

Pembentukan formula ditandai dengan penciptaan frasa, klausa, atau kalimat oleh penyanyi. Dalam pembentukan formula ini, pengalaman dan tradisi menyanyi memiliki pengaruh yang cukup kuat. Pengalaman dan latihan menyanyi merupakan ruang awal penyanyi untuk memahami dan menciptakan frasa-frasanya sendiri. Selain itu, pengalaman menyanyi juga dapat mendorong penyanyi untuk memahami cara melakukan tekanan terhadap suku kata, rentang pengucapan huruf vokal, dan garis berirama.

(19)

Penciptaan formula oleh penyanyi dilakukan ketika ia menyanyikan sebuah lagu. Dalam menyanyikan sebuah lagu, penyanyi tidak sekadar mengingat lagu. Akan tetapi penyanyi tersebut juga belajar menciptakan frasanya. Beberapa frasa yang diciptakannya akan digunakan dalam lagu tertentu dan disusunnya secara teratur. Lord (1981: 35-36) menyatakan bahwa dengan paradigma tensis dan penafsiran mengubah bentuk kata untuk membedakan kasus, jenis, jumlah, dan aspek-aspek bahasa yang dimanfaatkan dalam puisi lisan cenderung bersifat mekanis dan paralelistis.

Lord (1981: 32-35) juga menguraikan letak-letak komposisi pembentukan formula. a) Pola melodi (irama). Pola melodi ini mencakup matra, sintaksis, ritme, atau tempo nada, akustik atau bunyi suara. b) Tekanan suku kata. Hal ini berkaitan dengan durasi pengucapan vokal tertentu, penekanan pada kata tertentu semisal kata kerja, kata bantu, dan lain-lain. c) Subjek, predikat, dan objek. Penyanyi dalam penciptaan frasa-frasa formulanya tidak dapat dipisahkan dari inti cerita. Dalam hal ini, inti cerita berkaitan erat dengan subjek sebagai pelaku peristiwa, predikat sebagai gambaran tentang peristiwa, dan objek yang menjadi teman subjek dalam membangun peristiwa. d) Baris pertama, tengah, dan akhir. Dalam baris ini, penyanyi memperhatikan rima atau pembukaan yang pas untuk menciptakan komposisi dengan ritme tertentu, dan e) kata kunci. Kata kunci atau kata-kata tertentu menjadi penanda terhadap pola atau komposisi yang diciptakan oleh penyanyi.

Formula itu muncul berkali-kali dalam cerita yang mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau lari. Untuk menghasilkan frasa itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yaitu mengingat frasa-frasa itu dan menciptakannya melalui

(20)

analogi dengan perulangan kata, frasa klausa, dan larik yang telah ada. Formula yang stabil akan menjadikan ide-ide puisi lisan yang umum dengan menggunakan kata kunci dari nama aktor, tindakan, waktu, dan tempat yang utama.

Dalam menciptakan dan memanfaatkan formula, penyanyi sering melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk membuat atau membangun jenis-keragaman pola dan ritme, suku kata, pola penekanan dramatik untuk menghasilkan pola yang teratur. Penyesuaian ini sering kali menggunakan kata-kata yang tak memiliki makna.

Penyusunan baris dengan pola formula akan mengakibatkan proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan kebutuhan penceritaan atau penggubahan. Pencerita dapat membangun larik terus-menerus sesuai dengan keinginan dan kreativitasnya. Ekspresi formulaik dapat juga membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan (Lord, 1981: 30).

Ketiga, tema atau kelompok gagasan. Formula sangat dekat hubunganya dengan tema. Yang dimaksud tema adalah kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam ekspresi formulaik (Lord, 1981: 68).

Tema bukanlah kreasi seni yang sungguh-sungguh statis, melainkan kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981: 94). Tema dapat diekspresikan dengan sekumpulan kata-kata. Penyanyi tidak pernah memproduksi tema dengan kata-kata yang persis sama. Ini merupakan suatu keharusan dan

(21)

bersifat normal. Tema bukan sekumpulan kata yang tetap, melainkan merupakan pengelompokan ide-ide (Lord, 1981: 61).

Ada dua macam tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Adapun yang dimaksud tema mayor adalah tema besar, sedangkan tema minor adalah bagian kecil dari tema mayor. Misalnya, adegan persidangan raja dengan para punggawanya merupakan tema mayor dan di dalam adegan ini ada adegan-adegan kecil, misalnya adegan raja menerima surat, raja memerintahkan mengirimkan bala tentara, dan sebagainya (Lord, 1981: 68-71).

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam peneliian ini adalah studi pustaka dan studi lapangan yang mengacu pada pendekatan etnografi. Etnometodologi (Danandjaja, 1998: 36) diartikan sebagai suatu pendekatan yang menekankan dan tertaut dengan peristiwa budaya komunitas tertentu. Oleh karena itu, etnometodologi merupakan sesuatu atau apa yang tampak, apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang menampakkan diri sebagai apa adanya, dan apa yang tampak di hadapan kita. Studi pustaka dilakukan dengan tujuan mendapatkan dasar teori dan referensi-referensi yang diperlukan. Studi lapangan perlu dilakukan untuk mengamati, mempelajari, dan memperoleh data-data, baik berupa teks cerita yang dibutuhkan maupun pandangan-pandangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

(22)

1.6.1 Metode Pengumpulan Data Lapangan

Dalam rangka pengumpulan data di lapangan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus, yaitu sebagai berikut:

a. Informan

Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informan yang berfungsi sebagai pelaku beluk di Kabupaten Pangandaran. Spradley (1997: 35) menyatakan bahwa informan hendaknya merupakan seorang pembicara asli atau penutur asli yang merupakan sumber informasi, secara harfiah mereka menjadi guru bagi peneliti. Dalam konteks penelitian ini, mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan tradisi lisan beluk yang masih berlangsung di Kabupaten Pangandaran.

Informan yang menjadi sasaran dalam penelitian ini ditentukan secara purposif dengan kriteria. Ada lima kriteria yang harus memenuhi standarisasi seorang informan guna mendapatkan informasi yang valid. Kriteria tersebut yaitu bersedia menjadi informan, sehat secara jasmani dan rohani, memiliki keterbukaan dalam berbagai akses informasi yang berhubungan dengan objek kajian tradisi lisan, merupakan warga asli dari lingkungan tradisi lisan beluk itu berkembang, dan merupakan penutur asli bahasa daerah setempat dengan baik.

b. Wawancara

Penelitian ini menerapkan metode wawancara terpimpin atau yang disebut juga interview guide dimana sebelum bertemu dengan informan peneliti akan mempersiapkan berbagai hal yang akan ditanyakan sehingga berbagai hal yang ingin diketahui dapat lebih terfokus, yaitu peneliti sebagai pewawancara terikat oleh suatu fungsi, bukan saja sebagai pengumpul data tetapi relevan dengan

(23)

maksud penelitian yang telah dipersiapkan, serta data pedoman yang memimpin jalannya tanya jawab (Supardi, 2006:100).

c. Perekaman dan Pencatatan

Perekaman data penelitian di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan perangkat handycam, kamera foto, pencatatan, dan wawancara langsung dengan narasumber. Proses perekaman dilakukan dengan alamiah, hal ini dimaksudkan guna mendapatkan data-data penelitian yang benar-benar akurat dan sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Proses perekaman ini juga berfungsi sebagai sarana pendokumentasian dari tradisi lisan beluk sehingga memungkinkan generasi yang akan datang melihat kembali tradisi tersebut dengan sumber dokumentasi yang ada. Dokumentasi hasil perekaman ditansfer dalam bentuk CD.

Teknik pencatatan digunakan untuk media pentranskripsian teks dan mencatat berbagai objek yang berkaitan dengan suasana penceritaan dan informasi-informasi lain yang dipandang perlu selama melakukan proses wawancara.

d. Penurunan Teks

Proses penurunan teks dilakukan setelah proses perekaman pelaksanaan

beluk selesai dilaksanakan. Pada proses ini peneliti mengubah bentuk teks beluk

(yang semula dalam bentuk lisan) ke dalam bentuk tertulis atau yang disebut juga dengan proses transkripsi teks, karena istilah transkripsi juga cocok untuk penerjemahan materi lisan ke dalam bentuk tertulis, misalnya dari bentuk rekaman ke dalam bentuk halaman (Robson, 1994:66). Data ditranskripsikan dan

(24)

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan kemudian disesuaikan dengan masyarakat pendukungnya.

e. Penerjemahan Teks

Setelah proses transkripsi selesai dilaksanakan, dilakukan proses penerjemahan pada beluk. Penerjemahan adalah pengalihan amanat antara budaya dan atau antara bahasa dalam tuturan gramatikal dan leksikal dengan efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan (Kridalaksana, 1982:128). Tugas penerjemah adalah menyimak makna yang ada di balik setiap bentuk kata bahasa sumber dengan memperhitungkan konteks (makna kata-kata lain di dalam kalimat) dan konteks (situasi serta faktor lingkungan budaya tempat berlakunya tuturan), mencari padanannya dalam bahasa sasaran dan selanjutnya mengungkapkan wacana yang secara utuh menggambarkan informasi serta kesan estetis (untuk karya sastra) sebagaimana informasi dan kesan yang diperoleh pembaca karya aslinya (Tadjuddin, 2001:187). Pada tahapan ini peneliti dengan bantuan warga asli yang juga merupakan penutur asli bahasa Sunda menerjemahkan hasil transkripsi dengan menyesuaikan konteks dan makna dari tradisi lisan beluk.

1.6.2 Metode Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dilaksanakan setelah semua data terkumpul. Adapun langkah kerja yang diterapkan sebagai berikut :

a. Merekam secara langsung pertunjukan beluk dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan pertunjukan beluk.

(25)

b. Mengumpulkan informasi dari informan seputar hal-hal yang dapat menjelaskan rumusan masalah penelitian tradisi lisan beluk sesuai fokus penelitian.

c. Mendeskripsikan pertunjukan (performance) sesuai pengamatan yang dilaksanakan sejak tahap persiapan pertunjukan hingga acara selesai dilaksanakan.

d. Merangkum dan mendeskripsikan semua data hasil pengamatan di lapangan.

e. Menarik kesimpulan dari semua proses kerja penelitian. f. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian.

1.6.3 Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teori yang telah ditetapkan yaitu teori kelisanan yang dikemukakan Albert B. Lord. Teori tersebut digunakan untuk mengkaji tradisi lisan beluk dari segi performance (pertunjukan), transmisi, formula, dan tema. Adapun langkah kerja yang diterapkan sebagai berikut :

a. Menganalisis pertunjukan beluk yang berlangsung di Kecamatan Sidamulih sesuai dengan kajian performance yang dikemukakan Albert B. Lord, dari tahap persiapan, prosesi pementasan, hingga pascapementasan. b. Menganalisis transmisi di dalam tradisi lisan beluk di Kecamatan

Sidamulih berdasarkan pengamatan saat pertunjukkan berlangsung serta hasil wawancara dengan para penyanyi beluk maupun pihak yang terkait dengan pengembangan kesenian setempat.

(26)

c. Menganalisis formula yang terdapat di dalam alokan berupa narasi

wawacan, pengulangan setengah larik, maupun pengulangan satu larik

yang dilisankan juru ilo.

d. Menganalisis tema mayor dan tema minor yang terdapat dalam cerita

wawacan yang dipentaskan para penyanyi beluk.

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan pengantar yang diawali dengan menampilkan pembahasan mengenai latar belakang permasalahan yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Pemaparan selanjutnya adalah dengan merumuskan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini dengan diikuti oleh objek penelitian dan tujuan yang hendak dicapai. Tinjauan pustaka selanjutnya dipaparkan dengan tujuan menilik penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan memastikan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu sehingga menjadikan penelitian ini sebagai fresh research yang dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang baru. Teori sastra lisan yang dikemukakan Albert B. Lord selanjutnya dipaparkan sebagai alat untuk membedah permasalahan yang ada dengan diikuti oleh metode penelitian sastra lisan. Bab ini ditutup dengan penyampaian sistematika penelitian.

Bab II menyajikan pembahasan mengenai kondisi sosial budaya dan tradisi lisan di wilayah kesenian beluk berkembang yang meliputi lokasi desa, mata pencaharian, sosial, budaya, dan religi Kecamatan Sidamulih yang berhubungan dengan tradisi lisan beluk serta fungsi yang mengikutinya. Selain

(27)

itu, pada bagian ini membahas orang-orang yang berperan penting dalam pementasan seperti penyelenggara acara dan penyanyi beluk serta perannya dalam memilih wawacan yang akan dipentaskan.

Bab III berisi performance tradisi lisan beluk yang diawali dengan analisis pelaksanaan acara yang terdiri dari tahap persiapan, prosesi pertunjukan, dan acara tambahan pasca pementasan. Selanjutnya menjelaskan pewarisan (transmisi) pada tradisi lisan beluk di Kecamatan Sidamulih.

Bab IV menyajikan pembahasan mengenai struktur formula dan tema pada tradisi lisan beluk di Kecamatan Sidamulih.

Penelitian ini ditutup pada bab V dengan penyampaian kesimpulan penelitian dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

3 Dari hasil pemodelan regresi proportional hazard diperoleh dua variabel yang berpengaruh terhadap waktu survival pasien kanker otak yang menjalani terapi ECCT di C-Tech

a) Abstrak ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia (halaman pertama) dan dilanjutkan dengan abstrak dalam Bahasa Inggris pada halaman selanjutnya. b) Abstrak berisi

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika Ibu Rosmiati, S.Pd 02 April 2018 beliau mengatakan kemampuan literasi matematis peserta

5. Pelayanan sertifikasi karantina pertanian yang cepat, tepat dan simpatik. Adanya kesatuan peran serta masyarakat dalam kegiatan karantina pertanian. Pencegahan dan penangkalan

Guru membagikan gambar sketsa burung melalui grup kelas Whatsapp untuk kemudian di print, atau siswa yang mampu, dapat menggambar sketsa sendiri.. siswa diminta

GAMBA RAN UMUM AR AH KE BIJ AKA N 20 19 LUAN RPJMD DAN RKPD TAHUN 2019 Perda 4 Tahun 2016 tentang RPJMD Ekonomi Kesehatan Pendidikan. IKM ekonomi kreatif, pasar tradisional,

Tugas Akhir yang berjudul “Brown’s Weighted Exponential Moving Average (B-WEMA) dengan Optimasi Levenberg-Marquardt dalam Prediksi Rate of Return Saham ” ini sebagai

Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui