• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Studi Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Studi Pustaka"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Studi Pustaka

II.1 Penuaan dan Perubahan yang Terjadi Akibat Penuaan

Penuaan adalah proses perubahan biologis irreversible yang terjadi pada semua makhluk hidup seiring dengan perjalanan waktu. Proses ini akan berakhir dengan kematian (Roush, 2004). Ketika seseorang menjadi tua, ia kehilangan secara perlahan kemampuan jaringannya untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dari fungsi normalnya (Tarwaka, 2004). Sesorang dianggap kelompok lansia bila dia mulai berada pada usia 65 tahun. Definisi statistik dari usia tua ini berhubungan dengan awal masa pensiun (Agustina, 2002).

Beberapa perubahan umum terjadi pada tubuh manusia karena penuaan. Perubahan yang berhubungan dengan interaksi manusia-produk serta perancangan benda dalam kehidupan sehari-hari dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu: fisik, psikomotorik, sensori, dan kognitif (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998).

II.1.1 Perubahan Fisik

Hal yang termasuk perubahan fisik akibat penuaan yang berhubungan dengan interaksi manusia-produk dalam kehidupan sehari-hari adalah (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998):

a. Dimensi tubuh statis

Dimensi tubuh mempunyai peranan penting terutama saat tubuh harus melakukan kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan produk. Contoh: dimensi genggaman dan bidang penglihatan.

b. Dimensi tubuh fungsional

Bagian yang termasuk perubahan fungsional dinamis adalah panjang langkah, ketinggian langkah, kecepatan berjalan, dan reaching envelopes.

c. Rentang pergerakan persendian

Pergerakan sendi sangat penting saat menangani dan menggunakan produk sehari-hari.

(2)

d. Penggunaan kekuatan

Penanganan dan penggunaan produk membutuhkan penggunaan tenaga untuk menggenggam, memegang, memutar atau membawa. Kekuatan ini akan berkurang akibat penuaan terutama jika otot tidak dilatih.

II.1.2 Perubahan Psikomotorik

Beberapa perubahan psikomotorik akibat penuaan yang berhubungan dengan interaksi manusia-produk dalam kehidupan sehari-hari adalah (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998):

a. Keseimbangan

Berkurangnya kemampuan seseorang untuk menjaga keseimbangan dapat meningkatkan resiko jatuh. Jatuh merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan dan luka fatal terutama untuk kelompok usia lanjut.

b. Keahlian motorik halus

Keahlian motorik halus sangat diperlukan dalam berinteraksi dengan berbagai produk. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menangani produk dan juga untuk menggunakan alat kendali pada produk tersebut.

c. Waktu reaksi

Semua jenis peralatan, terutama elektronik, membutuhkan reaksi dalam waktu terbatas. Seringkali para lansia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan tugas tersebut.

II.1.3 Perubahan Sensori

Informasi tentang lingkungan, termasuk barang-barang dalam kehidupan sehari-hari, ditangkap oleh salah satu dari lima indera. Informasi ini dikirim ke otak melalui saraf, dimana informasi tersebut diinterpretasikan dan menghasilkan reaksi. Indera perasa dan penciuman tidak diikutsertakan karena relevansinya dengan perancangan produk durable sangat kecil jika dibandingkan dengan produk non-durable (seperti makanan). Perubahan sensori yang relevan dengan perancangan produk adalah (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998):

(3)

a. Sistem visual

Sistem visual penting dalam pengenalan, pemilihan, dan penggunaan produk. Perubahan yang terjadi pada sistem visual antara lain: berkurangnya visual acuity, semakin lambatnya adaptasi, dan meningkatnya sensitivitas terhadap cahaya.

b. Sistem auditorial

Kapasitas auditorial menurun bersamaan dengan usia. Perubahan yang terjadi pada sistem auditorial antara lain: berkurangnya rentang frekuensi yang dapat didengar dan meningkatnya kekerasan minimal yang dapat didengar oleh orang tua.

c. Sistem tactile

Dalam interaksi manusia-produk, sentuhan adalah penting untuk kemampuan menempatkan, memanipulasi, dan mengidentifikasikan objek secara manual. Sentuhan memberikan informasi tentang objek yang tidak dapat diterima oleh indera lainnya, seperti kelembutan dan temperatur. Ujung jari memiliki sensor reseptor terbanyak dibandingkan bagian lain dari kulit. Dengan bertambahnya usia, jumlah reseptor ini berkurang dan morfologinya berubah sehingga sensitivitas tactile berkurang.

Pada perubahan kemampuan sensori ini dapat dilakukan pengujian-pengujian untuk melihat keterbatasan lansia, seperti uji tactile, visual, dan lain sebagainya seperti yang tercantum pada sub bab II.7.

II.2 Universal Design

Universal Design (UD) adalah perancangan semua produk dan lingkungannya yang mampu dipakai oleh semua orang di setiap rentang usia, kemampuan dan situasi. (Mace, Hardie dan Place, 1991 dalam Story dan Mueller, 2004). Story (1997) mendeskripsikan UD sebagai “perancangan untuk semua orang dengan segala umur dan kemampuan”. Sedangkan Steinfeld dan Mullick (1990) menggambarkan UD sebagai “ merancang produk yang dapat digunakan oleh semua orang dengan mudah”. Mencapai tujuan kemampupakaian produk bagi semua golongan orang memang sulit, namun hal ini telah menjadi komitmen dari setiap perancang saat ini yang bertujuan untuk kesejahtaeraan.

(4)

Mulai tahun 1997, Center for Universal Design di North Carolina State University melaksanakan penelitian bersama-sama dengan National Institute on Disability and Rehabilitation Research (NIDRR) untuk menetapkan prinsip-prinsip perancangan universal, dimana kelompok penelitian tersebut terdiri dari pakar di bidang arsitektur, perancang produk, peneliti perancangan produk, dan teknisi. Prinsip-prinsip tersebut dibagi ke dalam beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Equitable Use – hasil rancangan dapat digunakan oleh dan dipasarkan kepada

orang-orang dengan berbagai macam kemampuan.

2. Flexibility in Use – rancangan mengakomodasi preferensi dan kemempuan individu yang luas.

3. Simple and Intuitive Use – penggunaan rancangan yang mudah dimengerti; tidak tergantung pada pengalaman dan pengetahuan pengguna, kemampuan bahasa, atau level konsentrasi tertentu

4. Perceptible Information – rancangan mengkomunikasikan informasi yang diperlukan dengan efektif, tanpa tergantung pada kondisi atau kemampuan sensory pengguna

5. Tolerance for Error – rancangan meminimasi bahaya dan konsekuensi kecelakaan akibat pemakaian yang tidak seharusnya secara tiba-tiba.

6. Low Physical Effort – rancangan dapat digunakan secara efisien dan nyaman dan dengan minimum fatique.

7. Size and Space for Approach and Use – ukuran dan bentuk rancangan cocok untuk pengguna, memudahkan dalam menjangkau, dan tidak memerlukan ukuran tubuh, postur, atau mobilitas tertentu dari pengguna.

Dalam penelitian ini, prinsip universal design diatas dipakai untuk mengevaluasi rancangan produk

II.3 Kemampupakaian

Suatu produk dapat dikatakan mudah digunakan jika memiliki tingkat kemampupakaian yang tinggi sehingga konsumen tidak kesulitan atau menemui masalah ketika menggunakan produk. Kemampupakaian (usability) dapat diartikan sebagai kemudahan untuk dipelajari dan kemudahan untuk digunakan

(5)

(Lindgaard, 1994). Sedangkan menurut International Standards Organisation (ISO 9241-11), kemampupakaian didefinisikan sebagai berikut :

“The extent to which a product can be used by specified users to achieve specified goals with effectiveness, efficiency and satisfaction in a specified context of use. Effectiveness refers to the extent to which a goal or task is achieved, efficiency refers to the amount of effort required to accomplish a goal, and satisfaction refers to the level of comfort that the users feel when using a product or how acceptable the product is to users as a means of achieving their goals.” (Stanton, 1998)

Karena kemampupakaian memiliki beberapa konsep yang berbeda-beda menyebabkan cara pengukuran kemampupakaian berbeda-beda pula. Menurut Rubin (1994), Jordan (1998), dan Stanton (1998), ada beberapa faktor yang membentuk konsep kemampupakaian yaitu:

a. Keefektifan: keadaan yang menggambarkan sebuah tugas berhasil dicapai. Berkaitan dengan hal-hal kuantitatif misalnya level performansi pengguna yang diukur berkaitan dengan kecepatan dan kesalahan yang terjadi ketika menggunakan produk.

b. Keefisienan: jumlah usaha yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah tugas.

c. Kepuasan: tingkat kenyamanan yang dirasakan pengguna ketika menggunakan produk atau seberapa besar penerimaan pengguna terhadap produk untuk mencapai tujuan mereka.

d. Kemampuan untuk disukai: Persepsi, perasaan, dan opini pengguna terhadap produk baik lisan atau tertulis dalam hal kelelahan, stres, frustasi, ketidaknyamanan, dan kepuasan.

e. Kemampuan dipelajari: menunjukkan kemudahan bagi pengguna baru atau yang jarang menggunakannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu menggunakan produk dan diukur berdasarkan jumlah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa adanya latihan terlebih dahulu atau dengan latihan yang telah disediakan. Sifat mudah dipelajari juga berarti produk mudah untuk dipelajari kembali setelah beberapa waktu tidak menggunakannya.

(6)

f. Kemampuan penyesuaian / fleksibilitas: variasi dalam strategi penyelesaian suatu pekerjaan. Apapun cara penyelesaiannya, cara tersebut tetap fleksibel atau bisa digunakan saat menggunakan produk.

g. Kemampuan ditebak: merupakan biaya yang harus dikeluarkan pengguna ketika menggunakan produk pertama kalinya. Hal ini berkaitan dengan waktu penyelesaian atau masalah yang dibuat.

h. Performansi pengguna berpengalaman: performansi yang relatif tidak berubah ketika pengguna ahli menggunakan produk berkali-kali dalam melakukan tugas tertentu.

i. Kegunaan: tingkat atau derajat yang menunjukkan sebuah produk memungkinkan seorang pengguna untuk mencapai tujuannya. Jika suatu produk mudah digunakan, mudah dipelajari, dan memuaskan tapi produk tersebut ternyata tidak bisa membuat pengguna mencapai tujuan maka akan percuma.

j. Kesesuaian tugas: terjadi kecocokan antara fungsi yang disediakan sistem dengan kebutuhan atau keinginan pengguna.

II.4 Uji Kemampupakaian

Uji kemampupakaian (usability testing) merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memastikan apakah produk dapat dipergunakan dengan mudah. Definisi uji kemampupakaian menurut Rubin (1994) adalah :

“A process that employs participans who are representative of the target population to evaluate the degree to which a product meets specific usability criteria.”

Pengujian bervariasi mulai dari eksperimen nyata dengan banyak jumlah sampel dan tes yang kompleks sampai dengan studi informal kualitatif dengan satu partisipan.

Tujuan uji kemampupakaian adalah (Rubin, 1994) :

a. Mengidentifikasi dan memperbaiki kekurangan yang ada terlebih dahulu sebelum produk dilepas ke pasaran.

(7)

b. Menemukan masalah dan rekomendasi untuk memperbaiki utilitas perancangan dan pengembangan produk.

c. Menjamin kreasi produk mudah dipelajari / digunakan, memuaskan pengguna, dan memiliki utilitas dan fungsi bernilai tinggi.

Uji ini tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah atau memungkinkan penilaian kuantitatif terhadap tingkat kemampupakaian (Patterson, 1994). Menurut Chapanis (1991), uji ini dimaksudkan untuk menyediakan identifikasi masalah dan menggali informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut, kesulitan-kesulitan, kelemahan, dan area untuk perbaikan, bahkan walaupun uji ini mengungkapkan kesulitan atau kesalahan yang tidak dapat diperbaiki pada produk saat ini, informasi ini tetap penting bagi perancang untuk merencanakan produk di masa mendatang.

Menurut Rubin (1994), terdapat kelebihan dan kelemahan di dalam melakukan uji kemampupakaian pada suatu produk. Kelebihannya adalah:

a. Hasil pengujian dapat digunakan untuk membuat catatan historik kemampupakaian untuk peluncuran masa depan.

b. Mengurangi biaya pelayanan dan telepon karena produk yang bersifat kemampupakaian akan menerima pengaduan pengguna lebih sedikit.

c. Meningkatkan penjualan dan probabilitas pengulangan penjualan terhadap produk karena produk yang bersifat mudah digunakan akan lebih memuaskan pelanggan sehingga pelanggan cenderung menyebarkan berita tersebut ke orang lain dan memilih untuk tetap membeli produk yang sama di masa depan.

d. Mendapatkan pasar karena produk yang telah lolos uji kemampupakaian cenderung bersifat lebih mudah digunakan sehingga bisa membedakannya dari produk competitor yang sejenis.

e. Meminimasi resiko yang terjadi pada produk setelah dikeluarkan.

Sedangkan kelemahan dari pengujian ini adalah pengujian tidak menjamin produk bersifat 100% mudah digunakan karena pengujian merupakan situasi buatan (hanya merupakan gambaran dari situasi pemakaian sebenarnya) dan pengujian

(8)

ini tidak selalu merupakan teknik terbaik untuk digunakan sehingga dapat menggunakan cara lain seperti evaluasi untuk melengkapi hasil.

Terdapat empat jenis pengujian kemampupakaian yaitu (Rubin, 1994) :

a. Exploratory Test (Pengujian Penjelasan): dilakukan pada tahap awal pengembangan produk ketika masih berada pada tahap penentuan dan desain awal. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi, memeriksa, dan menyelidiki keefektifan konsep awal desain produk. Metodologi pada pengujian ini adalah adanya interaksi yang tinggi antara responden dengan penguji untuk mengetahui konsep awal desain. Proses pengujiannya biasanya bersifat informal dan hampir berupa kerjasama antara responden dengan penguji disertai banyak interaksi. Umumnya pada pengujian ini, produk belum ada atau belum jalan sehingga pengujiannya diwakili oleh simulasi.

b. Assessment Test (Pengujian Pendapat): dilakukan pada tahap awal atau pertengahan dalam pengembangan produk, biasanya setelah didesain dalam tahapan tinggi atau telah dibangunnya fungsi utama produk. Tujuannya adalah untuk mengembangkan penemuan yang diperoleh pada uji sebelumnya (Exploratory Test) dengan melakukan evaluasi tingkat kemampupakaian operasi awal dan aspek-aspek pada produk. Pada tahap ini dapat diketahui seberapa baik responden dapat melakukan serangkaian tugas dan mengetahui kekurangan produk. Metodologi pengujian ini berada ditengah-tengah antara Exploratory Test dan Validation Test. Yang membedakannya dengan Exploratory Test adalah responden benar-benar perlu menyelesaikan serangkaian tugas yang diberikan (tidak hanya memberi komentar akan apa yang harus dilakukannya), interaksi antara penguji dengan responden juga berkurang karena penekanan tidak dilakukan pada proses berpikir melainnya tingkah laku responden serta adanya pengumpulan data kuantitatif.

c. Validation Test (Pengujian Validasi): dilakukan pada tahap akhir pengembangan produk (setelah produk telah dibuat) untuk mengukur tingkat kemampupakaian produk. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi bagaimana produk dibandingkan dengan standar kemampupakaian tertentu (bisa dari standar performansi, standar historis perusahaan, maupun standar performansi

(9)

produk kompetitor). Hasil ini dapat dijadikan patokan standar jika ingin meluncurkan produk di masa depan. Tujuan lainnya adalah mengevaluasi bagaimana komponen-komponen pada produk tersebut berinteraksi bersama. Standar performansi biasanya didapat dari tujuan dari pengujian kemampupakaian yang telah ditentukan sebelumnya melalui penelitian, wawancara dengan pengguna, dan kesepakatan dari tim pengembang. Metodologi ini mirip dengan Assessment Test akan tetapi pada pengujian ini telah ditetapkannya standar dalam menyelesaikan suatu tugas sebelum pengujian dilakukan, responden harus menyelesaikan tugas-tugas dengan interaksi seminimal mungkin dengan penguji, dan pengumpulan data kuantitatif menjadi fokus utama dalam pengujian ini.

d. Comparison Test (Pengujian Perbandingan): pengujian ini tidak dilakukan pada tahapan pengembangan produk manapun. Pengujian ini membandingkan dua atau lebih alternatif desain seperti desain sekarang dengan desain baru, dua jenis gaya desain yang berbeda, atau antara desain produk yang dihasilkan dengan desain produk kompetitor. Tujuannya adalah untuk mengetahui desain mana yang lebih mudah digunakan atau dipelajari berdasarkan kekurangan dan kelebihan masing-masing desain yang ada. Pengujian ini dapat diaplikasikan dalam ketiga jenis pengujian sebelumnya. Metodologi pada pengujian ini dapat dilakukan secara informal jika dilakukan untuk Exploratory Test, semi formal untuk Assessment Test, maupun formal / ketat untuk Validation Test.

Menurut Jordan (1998), metode uji kemampupakaian dapat dibagi kedalam : 1) Metode empirik : melibatkan partisipan dalam menyelesaikan tugas-tugas

ketika pengujian produk dilakukan. Umumnya partisipan berasal dari pengguna akhir dan informasi yang didapatkan berasal dari mereka. Metode ini meliputi : b. Think-aloud: metode dimana partisipan diharapkan untuk berbicara

mengenai apa yang mereka pikirkan dan lakukan pada saat berinteraksi langsung menggunakan produk untuk pertama kalinya secara personal. c. Co-discovery: seperti think-aloud tetapi menggunakan dua partisipan

(10)

diperbolehkan untuk berdiskusi satu sama lain sehingga tidak bekerja sendirian.

d. Rekaman percakapan menggunakan kamera secara pribadi: metode dimana partisipan berbicara di hadapan kamera secara individu.

e. Focus Group: metode informal yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data mengenai opini partisipan terhadap produk potensial melalui diskusi yang dilakukan oleh 6-10 orang dalam satu grup. Digunakan pada tahap konseptualisasi produk. Dapat menggali isu-isu lain yang mungkin tidak didapatkan dalam wawancara tetapi kurang tepat untuk digunakan sebagai bahan evaluasi.

f. User Workshop : metode yang dilakukan peneliti terhadap partisipan yang berasal dari orang-orang yang berada di suatu kegiatan workshop yang diadakan perusahaan.

g. Incident-diaries: metode dimana partisipan membuat catatan sendiri mengenai apapun berkaitan dengan produk itu sendiri, masalah yang dihadapi setiap kali menggunakan produk termasuk bagaimana cara mereka memecahkannya, dalam suatu buku log atau diari yang telah dibagikan sebelumnya. Disini peneliti tidak melakukan pengamatan secara langsung melainkan berdasarkan diari tersebut.

h. Feature Checklists: metode ini mengandalkan pengakuan pengguna untuk mengingat kembali keunggulan-keunggulan produk. Disajikan dalam bentuk daftar untuk memperoleh informasi dari memori pengguna.

i. Logging Use: metode pengamatan dengan cara menggunakan aplikasi perangkat lunak atau peralatan untuk merekam setiap kegiatan atau perkataan pengguna beserta perintah yang dipilih pengguna. Metode ini dapat melanggar privasi pengguna dan memakan waktu lama serta biaya besar karena menggunakan program perangkat lunak dan berbagai peralatan teknologi.

j. Penelitian lapangan: metode dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung di lingkungan kerja pengguna dan mengamati apa yang dilakukan pengguna dalam pekerjaan mereka sebenarnya.

(11)

k. Kuesioner: metode untuk mengumpulkan berbagai respon pengguna terhadap pengalaman pengguna menggunakan daftar pertanyaan tertulis yang diberikan kepada pengguna.

l. Wawancara: seperti focus group tetapi wawancara hanya dilakukan terhadap satu orang saja, bukan berupa grup.

m. Metode penilaian: metode yang didasarkan pada apa yang diperdebatkan pengguna beberapa tahun terakhir dan mungkin hingga beberapa tahun kedepan seperti nilai pasar atau laporan rugi-laba, dan lain-lain.

n. Percobaan terkontrol: metode untuk melaksanakan investigasi khusus berdasarkan suatu prosedur eksperimen tertentu. Umumnya eksperimen dirancang untuk mengusulkan atau menguji suatu hipotesis.

2) Metode non-empirik: tidak menggunakan partisipan saat pengujian. Informasi yang didapatkan pun berasal dari sumber-sumber lainnya seperti pendapat para ahli dan lain-lain. Metode ini meliputi :

a. Task analysis : metode dimana peneliti membuat daftar tindakan atau tahap-tahap yang dilakukan pengguna untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Digunakan untuk menetapkan tujuan dan tugas-tugas pengguna lalu membuat rekomendasi tertentu.

b. Property Checklists: metode untuk memeriksa kelengkapan atau milik yang digunakan dalam pengujian.

c. Expert Appraisals: metode yang menggunakan penilaian atau pendapat dari para ahli berkaitan dengan produk.

d. Cognitive Walkthroughs: metode tinjauan dimana para ahli evaluasi menganalisis terus-menerus setiap tahap pada tugas yang telah didokumentasikan sebelumnya. Mereka bertindak seolah-olah mereka sedang mengerjakan tugas-tugas tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencari apakah ada ketidakcocokan antara konsep dimata pengguna dan penulis terhadap tugas,pilihan-pilihan yang lemah, atau tidak cukupnya umpan balik dari konsekuensi suatu tindakan.

(12)

Dari kedua jenis metode di atas, metode empirik memiliki nilai lebih karena informasi didapatkan langsung dari partisipan yang merupakan pengguna akhir produk sehingga dapat membuka beberapa masalah kemampupakaian bahkan yang tidak diharapkan sebelumnya.

II.5 Metodologi Uji Kemampupakaian

Menurut Rubin (1994), ada lima tahap yang harus ditempuh secara berurutan dalam melakukan uji kemampupakaian yaitu:

a. Perencanaan uji kemampupakaian.

Perencanaan pengujian ini merupakan dasar dari keseluruhan pengujian karena pada tahap ini disusun apa saja yang diperlukan dalam uji kemampupakaian melalui suatu format tertentu.

b. Pemilihan dan pencarian responden.

Pemilihan dan pengumpulan partisipan yang memiliki latar belakang dan kemampuan mewakili pengguna akhir yang diharapkan merupakan elemen kritis proses uji kemampupakaian. Pada tahap ini, peneliti menentukan jenis partisipan berdasarkan karakteristik profil pengguna yang telah ditetapkan sebelumnya, lalu mencari informasi mulai dari tempat dimana calon partisipan dapat diperoleh, jumlah dan kategori calon partisipan, hingga merekrutnya menjadi partisipan.

c. Persiapan alat-alat pengujian.

Pada tahap ini, disiapkan material pengujian yang digunakan untuk persiapan pengujian dan berkomunikasi dengan partisipan

d. Melakukan pengujian.

Pada tahap ini, pengujian dilakukan berdasarkan apa yang sudah disiapkan pada tahap-tahap sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa metode pengujian yang ditetapkan dan tingkah laku peneliti sangat mempengaruhi partisipan ketika melakukan pengujian. Pengamatan pengujian dapat dibantu dengan menggunakan rekaman video, kamera, catatan, atau alat perekam agar segala masalah atau peristiwa yang terungkap ketika melakukan pengujian tidak terlewatkan.

(13)

Kwahk dan Han (2002) merumuskan usability evaluation framework seperti yang terlihat pada gambar II.1.

Gambar II.1 Usability Evaluation Framework

Perbedaan tahapan diatas dengan yang dibuat oleh Rubin (1994) adalah:

• Tahapan yang dibuat oleh Rubin (1994) dikembangkan berdasarkan hasil studi kemampupakaian pada website, sehingga aktivitas dan lingkungan pengguna kurang diperhatikan. Hal sebaliknya diperhatikan pada framework yang dibuat oleh Kwahk dan Han (2002)

• Faktor user-interface yang memperhatikan kemampuan sensory tidak diperhatikan oleh Rubin (1994), padahal untuk produk selain website, unsur pengujian sensory sangat dibutuhkan. Kwahk dan Han (2002) memasukkan faktor individu dalam pengujian kemampupakaian.

• Kwahk dan Han (2002) membuat taksonomi beberapa variabel kemampupakaian seperti yang terlihat pada gambar II.2.

(14)

Gambar II.2 Taksonomi Variabel Kemampupakaian

Berdasarkan perbedaan diatas, maka dalam penelitian ini akan digunakan tahapan uji kemampupakaian dengan menggabungkan tahapan yang dibuat oleh Rubin (1994) dan Kwahk dan Han (2002) dengan memasukkan pengujian tactile dan visual.

II.6 Pengujian Tactile dan Visual

Pengujian tactile atau biasa dikenal dengan tactile form recognition adalah suatu pengujian yang dilakukan untuk membedakan bentuk (forms) lewat sentuhan jari. Pengujian tactile ini biasanya dilakukan untuk menentukan dan membedakan bentuk. Dalam melakukan pengujian tactile, subyek diminta duduk didepan meja dimana terdapat media pengujian (Gambar II.3), kemudian diminta untuk menyebutkan bentuk dan perbedaan dari bentuk-bentuk yang disentuhnya. Waktu dan jumlah jawaban benar bisa menjadi ukuran dari kemampuan tactile.

(15)

Gambar II.3 Tactile Form Recognition (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998)

Pengujian Visual (visual aquity) adalah sebuah cara yang digunakan untuk menguji pandangan mata terhadap bentuk-bentuk (bisa tulisan) yang sangat kecil. Biasanya pengujian visual dilakukan pada jarak sejauh 5 atau 6 meter untuk menguji tampilan yang jauh, namun dalam interaksi antara manusia dan produk, near-reading visual acuity lebih tepat. Steenbekkers dan Beijsterveldt (1998) menyarankan untuk melakukan near-reading visual acuity pada jarak kurang lebih 40 cm, sesuai jarak baca normal yang dianjurkan. Sedangkan Kline dan Scialfa (1996) menyarankan jarak pengujian visual untuk lansia sejauh 25 – 55 cm.

Pengujian visual ini biasanya dilakukan dengan cara meminta subyek untuk membaca atau membedakan bentuk atau tulisan pada jarak pandang yang disarankan (Gambar II.4). Waktu dan jumlah jawaban benar dipakai untuk menilai kemampuan visual subyek yang diuji.

Gambar II.4 Near-reading visual acuity (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998)

Selain near-reading visual acuity, uji visual juga dapat dilakukan untuk melihat pengaruh kekontrasan terhadap kemampuan visual, atau biasa dikenal dengan

(16)

visual contrast sensitivity. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Koiijman et.al. (1994) terhadap orang muda (20-35 tahun) dan lansia (60 tahun keatas), didapatkan data bahwa pada kondisi ruangan (100-1000 lx) dengan tingkat kekontrasan 100% (tulisan hitam diatas putih), orang muda mampu membaca setiap ukuran huruf dengan baik, sedangkan lansia hanya mampu membaca huruf yang paling besar (10 pt). Oleh karenanya, bila pengujian visual pada lansia dilakukan untuk mengevaluasi produk yang akan digunakan di dalam ruangan, jauh lebih baik melakukan pengujian near-reading visual acuity secara khusus.

II.7 Proses Perancangan Produk

Proses perancangan produk merupakan suatu hal yang kompleks dan melibatkan fungsi-fungsi marketing, design, dan manufacturing dalam perusahaan (Ulrich dan Eppinger (1995). Secara garis proses perancangan produk dapat digambarkan dalam gambar II.5.

Gambar II.5 Proses Perancangan Produk (Ulrich dan Eppinger, 1995)

Penelitian yang akan dilakukan mengacu pada konsep industrial design dari tahapan diatas, karena dalam penelitian ini hanya akan dibahas tentang interface produk telepon genggam.

(17)

Secara ringkas, dari gambar II.5 di atas dapat dinyatakan bahwa proses perancangan produk meliputi aktivitas-aktivitas:

1. Perencanaan (Planning)

Aktivitas perencanaan sering disebut sebagai “fase nol” dalam proses perancangan produk. Fase ini biasanya dimulai bersamaan dengan disusunya strategi perusahaan, termasuk bila muncul teknologi baru. Proses perencanaan menghasilkan pernyataan misi (mission statement) untuk perancangan produk.

2. Pengembangan konsep (Concept development)

Pada fase ini dilakukan pengidentifikasian kebutuhan pasar (market) dan pembuatan konsep produk. Konsep produk dapat dikembangkan dari bentuk, fungsi, dan fitur produk. Pada tahap ini industrial design sudah mulai dilakukan.

3. Rancangan level sistem (System-level design)

Pada tahap ini komponen dan mekanisme produk sudah mulai dirancang. Komponen dan mekanisme tersebut juga perlu dipertimbangkan dalam industrial design.

4. Rancangan detil (Detil design)

Geometri, spesifikasi, dan analisis material merupakan keluaran dari tahapan ini. Oleh karenanya pada tahap ini, proses industrial design harus juga memperhitungkan hal-hal tersebut.

5. Pengujian (Testing and Refinement)

Pengujian biasanya dilakukan pada prototipe produk. 6. Production ramp-up

Produk mulai dibuat dalam produksi awal, untuk melihat keseuaian proses.

II.8 Industrial Design

II.8.1 Definisi Industrial Design

Industrial Designers Society of America (IDSA) menurut Ulrich dan Eppinger (1995) mendefinisikan industrial design sebagai “kemampuan profesional dari penciptaan dan pengembangan konsep dan spesifikasi yang mengoptimasi fungsi, nilai dan penampilan produk, serta sistem untuk keuntungan bersama bagi

(18)

pengguna dan produsen”. Tujuan penerapan industrial design dalam pengembangan produk baru adalah :

a. Utilitas: Interface produk-manusia harus aman, mudah digunakan, dan intuitif. Setiap fitur harus dapat mengkomunikasikan fungsi produk.

b. Penampilan: Mengintegrasikan bentuk, garis, proporsi, dan warna menjadi produk yang menarik secara keseluruhan.

c. Kemudahan perawatan: Produk harus dirancang untuk mengkomunikasikan bagaimana produk tersebut dirawat atau diperbaiki. d. Biaya rendah: Bentuk dan fitur berpengaruh besar terhadap biaya peralatan

dan produksi sehingga harus dipertimbangkan secara bersamaan oleh tim. e. Komunikasi: Rancangan produk sebaiknya mengkomunikasikan misi dan

filosofi rancangan perusahaan melalui kualitas visual dari produk.

Industrial design biasanya dipengaruhi oleh salah satu dari dua pendekatan perancangan produk, yaitu teknologi (technology driven product) atau pengguna (user-driven product) seperti yang terlihat pada gambar II.6 dan II. 7. Dalam penelitian pendekatan pengguna digunakan sebagai dasar dalam melakukan industrial design, karena faktor pengguna lansia yang menjadi subyek dalam penelitian ini.

Gambar II.6 Proses industrial design untuk dua tipe produk (Ulrich dan Eppinger, 1995)

(19)

Gambar II.7 Peran industrial design menurut tipe produk (Ulrich dan Eppinger, 1995)

II.8.2 Dimensi Utama Industrial Design

Cara yang baik untuk mengetahui seberapa penting industrial design untuk sebuah produk tertentu adalah dengan mengkarakteristikkan kepentingan dalam dua dimensi, yaitu ergonomi dan estetika (Ulrich dan Eppinger, 1998).

Dimensi ergonomi meliputi kemudahan penggunaan, kemudahan perawatan, tingkat interaksi produk-manusia, novelty dalam interaksi produk-manusia, dan keamanan penggunaan produk.Dimensi estetika meliputi diferensiasi produk, kebanggaan akan kepemilikan, image, fashion, serta motivasi dan team pride.

II.9 Prototipe

Prototipe didefinisikan sebagai pendekatan dari produk dalam satu bidang kajian atau lebih. Prototipe dapat diklasifikasikan dalam dua dimensi (Ulrich dan Eppinger, 1995):

1) Derajat prototipe secara fisik atau analitik.

a. Prototipe fisik adalah benda tangible yang dibuat untuk mendekati produk. Aspek produk yang menjadi bidang kajian tim pengembangan dibuat untuk pengujian dan percobaan. Contoh: prototipe proof-of-concept.

(20)

b. Prototipe analitik mewakili produk dalam sebuah benda intangible, biasanya secara matematis. Aspek kajian dari produk dianalisis. Contoh: simulasi komputer dan model komputer geometri tiga dimensi.

2) Derajat prototipe secara komprehensif atau terfokus.

a. Prototipe komprehensif mengimplementasikan semua atau hampir semua atribut dari produk. Contoh: prototipe beta.

b. Prototipe terfokus mengimplementasikan satu atau sedikit atribut dari produk. Contoh: foam model.

Gambar II.1 adalah sebuah plot dengan sumbu yang berhubungan dengan kedua dimensi tersebut beserta beberapa contoh prototipe yang berbeda:

Gambar II.8 Jenis Prototipe dan Contohnya (Ulrich dan Eppinger, 1995)

Prototipe digunakan untuk empat tujuan, yaitu: pembelajaran, komunikasi, integrasi, dan milestone. Ringkasan ketepatan relatif dari tiap tipe prototipe untuk tujuan yang berbeda dapat dilihat pada tabel II.3.

(21)

Tabel II.1 Ketepatan Tipe Prototipe terhadap Tujuan (Ulrich dan Eppinger, 1995)

Pembelajaran Komunikasi Integrasi Milestone

Terfokus-Analitik Terfokus-Fisik Komprehensif-Fisik

Keterangan: ( = lebih tepat, = kurang tepat)

II.10 Ergonomi

Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004).

Ergonomi bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan manusia akan keselamatan dan bekerja secara efisien dipenuhi dalam desain sistem kerja (Bridger, 1995). Untuk mencapai tujuan ergonomi, perlu keserasian antara pekerja dan pekerjaannya sehingga pekerja dapat bekerja sesuai dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya. Secara umum kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia ditentukan oleh (Tarwaka, 2004):

a. Umur

Umur seseorang berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Selanjutnya, pertambahan umur akan diikuti penurunan: volume O2 maksimum yang dapat

dihirup, tajam penglihatan, pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, pengambilan keputusan, dan kemampuan mengingat jangka pendek.

b. Jenis Kelamin

Secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari pria tetapi dalam

hal tertentu wanita lebih teliti daripada pria.

(22)

c. Antropometri

Kesesuaian hubungan antara antropometri pekerja dengan alat yang digunakan sangat berpengaruh pada sikap kerja, tingkat kelelahan, kemampuan kerja, dan produktivitas kerja.

d. Status kesehatan dan nutrisi

Status kesehatan dan keadaan gizi berhubungan erat satu sama lain dan berpengaruh pada produktivitas dan efisiensi kerja. Perlu keseimbangan antara energi yang masuk dengan output yang harus dikeluarkan.

e. Kesegaran jasmani

Kesegaran jasmani adalah suatu kesanggupan atau kemampuan dari tubuh manusia untuk melakukan adaptasi terhadap beban fisik yang dihadapi tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih memiliki kapasitas cadangan untuk melakukan aktivitas berikutnya.

f. Kemampuan kerja fisik

Kemampuan kerja fisik adalah kemampuan fungsional seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu yang memiliki aktivitas otot pada periode waktu tertentu.

II.10.1. Kontribusi Ergonomi di Bidang Perancangan Produk

Ergonomi atau human factor adalah interdisipliner ilmu yang mempelajari interaksi manusia dengan objek yang mereka gunakan beserta lingkungannya. Kontribusi ergonomi terhadap perancangan produk akan menghasilkan produk yang berkualitas baik dan menguntungkan dengan pengertian menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya (user). Pengukuran yang berkaitan dengan hal ini adalah berhubungan dengan sifat-sifat produk terhadap penggunanya, seperti: mudah digunakan (ease of use), mudah dipelajari (ease of learning), high productivity, comfort, safety, dan adaptability (Kristyanto, 1997).

Di sini unsur pertimbangan ergonomis mulai masuk sistem rancangan sejak proses rancangan dimulai dari adanya suatu kebutuhan dimana ergonomi adalah salah satu faktor pertimbangan dalam input.

(23)

Gambar II.9 Ergonomi Sebagai Faktor Input (Kristyanto, 1997)

II.10.2. Antropometri

Antropometri berarti pengukuran tubuh manusia. Data antropometri digunakan dalam ergonomi untuk menspesifikasikan dimensi fisik dari tempat kerja, perlengkapan, perabot,dan pakaian sehingga “fit the task to the man” dan untuk menghindari terjadinya ketidaksesuaian antara dimensi perlengkapan dengan dimensi penggunanya (Bridger, 1995).

Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lain, maka aplikasi data antropometri dalam desain prosuk dapat meliputi: desain untuk ukuran ekstrim (data terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain yang dapat diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil 5 dan persentil 95 dari populasi, serta desain untuk ukuran rata-rata dengan menggunakan data persentil 50 (Tarwaka, 2004).

Data antropometri dibedakan menjadi tiga jenis (Bridger, 1995): 1) Data antopometri struktural

Data ini merupakan pengukuran terhadap dimensi tubuh subjek dalam posisi statis (diam). Contoh: tinggi lutut, lebar pinggul, tinggi mata. Data antropometri struktural digunakan misalnya untuk menentukan dimensi mebel dan menentukan range ukuran pakaian.

kebutuhan

proses rancangan teknik “a better world for us”

(24)

2) Data antropometri fungsional

Data ini merupakan gambaran pergerakan bagian tubuh dari sebuah titik acuan yang tetap. Contohnya adalah jangkauan maksimum ke depan dari subjek yang sedang berdiri. Area yang terjangkau oleh gerakan tangan dapat digunakan untuk mendeskripsikan workspace envelope.

3) Data antropometri newtonian

Data ini digunakan dalam analisis mekanik beban terhadap tubuh manusia. Contoh penggunaan data newtonian adalah untuk membandingkan beban pada tulang punggung dari teknik-teknik pengangkatan yang berbeda.

II.11 Ukuran Diameter Genggaman Optimum (Relative Optimum Grip Span) Ukuran diameter genggaman alat (hand-held devices) merupakan faktor kritis yang menentukan resiko penggunaan alat dan performansi kerja operator . Ukuran diameter genggaman adalah jarak antara dua pegangan paralel pada titik terluarnya.

Gambar II.10 Dua Handles Paralel

Menurut Eksioglu (1999), ukuran diameter genggaman merupakan fungsi dari ukuran Thumb Crotch Length (TCL) seseorang. TCL adalah jarak antara ruas kedua jari tengah dengan ruas pertama ibu jari. Penelitian yang dilakukan Eksioglu membuktikan bahwa ukuran diameter genggam yang optimal adalah 2 cm di bawah ukuran TCL seseorang. Ukuran optimal ini menghasilkan kekuatan penggenggaman maksimal (Maximal Voluntary Grip Force/MVGF).

(25)

II.12 Tombol Numerik

Ada dua macam numerik untuk menginput data, dimana keduanya terdiri dari tiga baris dan tiga kolom dengan angka nol terpisah di bagian tengah bawah. Susunan pertama digunakan pada kalkulator, sementara susunan kedua digunakan pada telepon (lihat Gambar II.4).

Kalkulator Telepon 7 8 9 1 2 3 4 5 6 4 5 6 1 2 3 7 8 9 0 0

Gambar II.11 Susunan Umum Tombol Numerik (Sumber: Kroemer, 2001)

Susunan tombol seperti yang ada pada telepon dapat membantu end-user untuk memasukkan data lebih cepat 0,05 detik serta lebih akurat (Kroemer, 2001).

Salah satu cara perancangan tombol numerik agar mudah dikenali adalah dengan membuat lubang pada permukaan tekannya. Hal ini juga dimaksudkan agar jari tidak mudah tergelincir ketika menekan tombol. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kekasaran pada permukaan tekannya. Apabila tombol ukurannya kecil dan tidak terlalu menonjol, seperti misalnya pada tombol-tombol telepon rumah atau telepon genggam, maka sebaiknya tombol dibuat menonjol. Prinsip dari perancangan semacam ini sebenarnya berdasarkan prinsip tactual display. Ukuran tombol yang kecil mengurangi kecepatan pemasukan input dan menambah kemungkinan terjadinya kesalahan.

II.13 Coding

Ada beberapa cara untuk membantu dalam mengidentifikasi alat kontrol yang hand-operated dan bagaimana untuk mengoperasikannya, mengindikasikan efek pengoperasiannya, dan menunjukkan statusnya. Media coding utama sebagai berikut (Kroemer, 2001):

(26)

a. Lokasi

Kontrol yang memiliki fungsi-fungsi serupa sebaiknya ditempatkan pada lokasi yang relatif sama pada panel.

b. Bentuk

Pemberian bentuk pada kontrol untuk membedakannya dapat digunakan pada indera penglihatan dan sentuhan. Ujung-ujung yang tajam harus dihindari. Berbagai bentuk dan tekstur permukaan telah diperiksa untuk berbagai penggunaan.

c. Ukuran

Pembedaan bentuk dapat dilakukan sampai tiga ukuran yang berbeda. Kontrol yang memiliki fungsi yang sama pada sebaiknya memiliki ukuran dan bentuk yang sama.

d. Modus operasi

Seseorang dapat membedakan kontrol dari cara pengoperasiannya, seperti menekan, memutar, dan menggeser.

e. Label

Pelabelan yang tepat dapat menjadi alat yang aman untuk mengidentifikasi konrol jika label dibaca dengan benar dan dimengerti oleh operator. Label harus diletakkan di tempat tertentu sehingga mudah dibaca, dicahayai dengan baik, dan tidak tertutup. Label membutuhkan waktu untuk dibaca. Label yang transilluminated (back-lighted) yang mungkin disatukan dengan kontrol, biasanya menguntungkan.

f. Warna

Penggunaan warna membutuhkan cahaya yang cukuup dari permukaan warna.

II.14 Label

Pelabelan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga informasi yang diberikan akurat dan cepat. Berikut ini adalah panduan pemberian label (Kroemer, 2001) a. Orientasi

Label dan informasi yang tercetak harus berorientasi horisontal sehingga dapat dibaca dengan mudah dan cepat. (Panduan ini berlaku hanya jika operator terbiasa membaca secara horisontal, misalnya di negara Barat.)

(27)

b. Lokasi

Sebuah label sebaiknya diletakkan pada atau dekat dengan benda yang diidentifikasinya.

c. Standarisasi

Label sebaiknya diletakkan secara konsisten pada peralatan dan sistem. Sebuah label sebaiknya terutama menggambarkan fungsi dari benda yang berlabel tersebut.

d. Singkatan

Singkatan yang umum dapat digunakan. Jika dibutuhkan singkatan baru, artinya harus jelas bagi pembaca. Huruf besar sebaiknya digunakan, titik biasanya dihilangkan.

e. Keringkasan

Tulisan pada label harus seringkas mungkin tanpa merusak maksud dan informasi yang diinginkan. Teks sebaiknya tidak ambigu dan tidak berlebihan. f. Familiarity

Jika memungkinkan, kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang telah familiar dengan operator.

g. Kemudahan untuk dilihat dan kemudahan untuk dibaca

Operator sebaiknya dapat membaca label dengan mudah dan akurat pada jarak baca aktual yang terantisipasi, pada level iluminasi yang terantisipasi, serta dalam getaran dan gerakan pada lingkungan yang terantisipasi. Pertimbangannya antara lain kekontrasan antara huruf dengan background-nya; tinggi, lebar, ketebalan, spasi, dan style huruf; dan pantulan cahaya dari background, cover, dan komponen lainnya.

h. Huruf dan ukuran

Tipografi (style, huruf, pengaturan, dan penampilan dari kata yang tertulis) menentukan kemampuan pesan untuk dibaca. Bentuk huruf sebaiknya sederhana, tebal, dan vertikal; contohnya adalah Futura, Helvetica, Namel, Tempo, dan Vega.

(28)

II.15 Metode Pengambilan Sampel

Secara garis besar ada dua macam metode sampling yaitu probability sampling dan nonprobability sampling (Soeratno, 1995).

1) Probability Sampling

Probability sampling adalah metode sampling yang memberi kemungkinan yang sama bagi setiap unsur dalam populasi untuk dipilih.Yang termasuk dalam probability sampling adalah:

a. Sampling Acak Sederhana

Yang dimaksud dengan acak (random) adalah bahwa setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dimasukkan sebagai sampel. Sampel yang diperoleh merupakan acak (random sample).

b. Sampling Acak Secara Proporsional Menurut Stratifikasi

Di dalam metode sampling ini populasi dibagi atas beberapa bagian (subpopulasi). Penggolongan populasi ini berdasarkan ciri tertentu (stratifikasi) dari populasi tersebut untuk keperluan penelitian. Setelah membuat stratifikasi atau penggolongan menurut ciri yang dikehendaki kemudian diperoleh data tentang jumlah tiap golongan. Penentuan sampel dari tiap golongan dilakukan secara acak.

c. Sampling Acak Tak Proporsional Menurut Stratifikasi

Sampling ini hampir serupa dengan sampling proporsional dengan stratifikasi. Perbedaannya bahwa proporsi subkategori-subkategorinya tidak didasarkan atas proporsi yang sebenarnya dalam populasi. Hal ini dilakukan karena subkategori terlalu sedikit jumlah sampelnya.

d. Sampling Daerah

Jika populasi tersebar di suatu daerah seperti negara, proponsi, kotamadya, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya, maka sampling dapat dilakukan berdasarkan daerah. Pada peta daerah digambar petak-petak. Setiap petak diberi nomor. Dengan cara sampling acak dapat ditarik sejumlah nomor yang dijadikan sampel.

2) Nonprobability Sampling

Kadang kala dalam suatu penelitian tidak dilakukan probability sampling yang memberikan kemungkinan yang sama bagi setiap unsur dalam populasi untuk

(29)

dipilih sehingga dapat diambil kesimpulan atau generalisasi yang berlaku bagi keseluruhan. Nonprobability sampling dilakukan misalnya untuk sekadar menguji reliabilitas alat pengukur tertentu. Yang termasuk nonprobability sampling yaitu:

a. Sampling Sistematis

Sampling sistematis maksudnya ialah memilih sampel dari suatu daftar menurut urutan tertentu. Dalam cara sampling sistematis ini terdapat unsur acak, khususnya mengenai individu pertama yang dipilih. Unsur acak ini diperbesar dengan menggunakan nomor acak lagi sebagai dasar untuk memilih setiap jumlah berikutnya.

b. Sampling Kuota

Sampling kuota adalah metode memilih sampel yang mempunyai ciri-ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang diinginkan. Metode sampling ini tidak menyamai sampling dengan stratifikasi yang memperhitungkan ciri-ciri tertentu dan memilih sampel yang representatif dari setiap kategori. c. Sampling Aksidental

Sampling aksidential adalah sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada. Misalnya menanyakan siapa saja yang dijumpai di tengah jalan untuk diminta pendapat mereka tentang sesuatu.

d. Purposive Sampling

Purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel itu. Sampel yang purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan rancangan penelitian.

e. Saturation Sampling

Sampling dapat dikatakan jenuh (saturation) jika seluruh populasi dijadikan sampel. Sampling bisa dikatakan padat bila jumlah sampel lebih dari setengah populasi. Sampling jenuh dapat dilakukan bagi kelompok yang kecil.

(30)

f. Snowball Sampling

Dalam metode ini, sampling dimulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjukkan kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan itu diminta pula menunjuk kawannya masing-masing dan begitu seterusnya.

Metode sampling diatas didasarkan pada prinsip pengambilan sampel yang dilakukan secara acak, padahal untuk penelitian yang terkait dengan populasi yang sangat besar dan lokasi populasi tidak terdefinisikan dengan jelas, adalah sangat sulit untuk mendapatkan sampel yang random (acak) karena akan sangat menyita waktu dan biaya. Oleh karenanya Roscoe (dalam Sekaran, 2000) membuat rules of thumb untuk menentukan ukuran sampel sebagai berikut:

a. Ukuran sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 cocok untuk sebagian besar jenis penelitian.

b. Dalam penelitian multivariate, ukuran sampel seharusnya adalah sejumlah sepuluh kali jumlah variabel yang diteliti.

c. Untuk penelitian yang dilakukan dengan kontrol oleh peneliti, maka akan didapatkan penelitian yang sukses dengan ukuran sampel antara 10 sampai dengan 20.

Gambar

Gambar II.1 Usability Evaluation Framework
Gambar II.2 Taksonomi Variabel Kemampupakaian
Gambar II.3 Tactile Form Recognition (Steenbekkers dan Beijsterveldt, 1998)
Gambar II.5 Proses Perancangan Produk (Ulrich dan Eppinger, 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks.Tak terkecuali menulis cerpen. Keterampilan menulis cerpen sering dirasa berat bagi siswa karena

Penelitian terdahulu pertama yang di lakukan oleh (Mohammad Doostar, Maryam Kazemi Iman Abadi, Reza Kazemi Iman Abadi) yang berjudul “Impact of Brand Equity on Purchase

Pada awal tahun 1956, selama perayaan Tahun Baru Tibet (Losar), saya mengalami pertemuan yang sangat menarik dengan ramalan Nechung, yang berbunyi: “Permata yang memenuhi harapan

Hipotesis dalam variabel ini adalah H1 : Kegunaan yang dirasakan berpengaruh positif signifikan terhadap Sikap menggunakan M- banking pada Bank CIMB Niaga di

Untuk menjawab permasalahan yang telah disebutkan, peneliti ingin merancang arsitektur microservice yang akan digunakan dalam sistem informasi perpustakaan pusat dengan

Namun demikian peristiwa plagiarisme yang melibatkan sosok-sosok ternama di universitas ternama, seperti misalnya kasus Karl Theodor zu Guttenberg yang mendapat

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran kontekstual terhadap frekwensi pada saat perkuliahan berlangsung bagi mahasiswa PG-PAUD,

Table matrik ini untuk !etiap pa!angan kriteria-kriteria, ukuran Table matrik ini untuk !etiap pa!angan kriteria-kriteria, ukuran kuantitati dan kualitati dari eek yang