• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Pengantar. pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui. masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Pengantar. pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui. masyarakat."

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kata Pengantar

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam visinya, yaitu : “Mewujudkan Gunungkidul yang lebih Maju, Makmur, dan Sejahtera “. Serta pada Misi kedua, yaitu : “ Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, peningkatan iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi, dan penggalangan sumber-sumber pendanaan untuk menggerakkan perekonomian daerah“

Oleh sebab itu kebijakan pembangunan ekonomi diupayakan dengan tetap menjaga keseimbangan anata pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang yang serasi untuk kegiatan ekonomi dalam rangka mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan lingkungan hidup, baik penyebab dan dampak permasalahannya, maupun respon pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup. Buku SLHD ini diharapkan sebagai sarana yang penting berkomunikasi, dan mendapatkan informasi mengenai lingkungan hidup, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan serta membantu dalam pengambil keputusan untuk menentukan tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, maka perlu adanya Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Kata Pengantar

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam visinya, yaitu : “Mewujudkan Gunungkidul yang lebih Maju, Makmur, dan Sejahtera “. Serta pada Misi kedua, yaitu : “ Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, peningkatan iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi, dan penggalangan sumber-sumber pendanaan untuk menggerakkan perekonomian daerah“

Oleh sebab itu kebijakan pembangunan ekonomi diupayakan dengan tetap menjaga keseimbangan anata pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang yang serasi untuk kegiatan ekonomi dalam rangka mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan lingkungan hidup, baik penyebab dan dampak permasalahannya, maupun respon pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup. Buku SLHD ini diharapkan sebagai sarana yang penting berkomunikasi, dan mendapatkan informasi mengenai lingkungan hidup, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan serta membantu dalam pengambil keputusan untuk menentukan tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, maka perlu adanya Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Kata Pengantar

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam visinya, yaitu : “Mewujudkan Gunungkidul yang lebih Maju, Makmur, dan Sejahtera “. Serta pada Misi kedua, yaitu : “ Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, peningkatan iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi, dan penggalangan sumber-sumber pendanaan untuk menggerakkan perekonomian daerah“

Oleh sebab itu kebijakan pembangunan ekonomi diupayakan dengan tetap menjaga keseimbangan anata pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang yang serasi untuk kegiatan ekonomi dalam rangka mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan lingkungan hidup, baik penyebab dan dampak permasalahannya, maupun respon pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup. Buku SLHD ini diharapkan sebagai sarana yang penting berkomunikasi, dan mendapatkan informasi mengenai lingkungan hidup, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan serta membantu dalam pengambil keputusan untuk menentukan tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, maka perlu adanya Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... ... ii

Datar Isi ... ... iii

Daftar Tabel... ... iv

Daftar Gambar ... ... vi

Daftar Grafik... ... viii

BAB I. Pendahuluan... ... 1

A. Kondisi umum... ... ... 1

B. Permasalahan... ... ... 7

C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul... 8

BAB II. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya ... 11

A. Lahan dan Hutan ... 11

B. Keanekaragaman Hayati ... 39

C. Air ... ... ... 44

D. Udara .... ... 81

E. Laut, Pesisir dan Pantai ... ... 93

F. Iklim ... 101

G. Bencana Alam ... 102

BAB III. Tekanan Terhadap Lingkungan ... 105

A. Kependudukan ... 105 B. Permukiman ... 107 C. Kesehatan ... 115 D. Pertanian ... 119 E. Industri ... 125 F. Pertambangan ... 127 G. Transportasi ... 129 H. Energi ... 139 I. Pariwisata ... 140 J. Limbah B3 ... 143

BAB IV. Upaya Pengelolaan Lingkungan ... 145

A. Rehabilitasi Lingkungan ... 145

B. Amdal ... 150

C. Penegakan Hukum ... 160

D. Peran Serta Masyarakat ... 163

(4)

Daftar Tabel

Tabel 2-1. Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di

Lahan Kering) menurut PP RI No. 150 tahun 2000 ... 13

Tabel 2-2. Hasil Pengujian sample tanah sawah ... 17

Tabel 2-3. Diameter Ukuran Besar Butir Penyusun Tanah ... 18

Tabel 2-4. Klasifikasi Kecepatan Infiltrasi ... 22

Tabel 2-5. Hubungan antara Nilai DHL (mS/cm) Tanah dengan Pertumbuhan Tanaman ... 25

Tabel 2.6. Hasil Analisa Sampel Tanah dari zone Utara, Dibandingkan Nilai Ambang Kritis Sesuai PP RI No. 150 Tahun 2000 ... 27

Tabel 2-7. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Tengah ... 30

Tabel 2-8. Hasil Analisa Sampel Tanah dari Zone Tengah dibandingkan nilai ambang Kritis sesuai PP RI No. 150 tahun 2000 ... 34

Tabel 2-9. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di zone Selatan ... 36

Tabel 2-10. Luas Kawasan Menurut Fungsi/status ... 37

Tabel 2-11. Potensi Hutan Rakyat Kabupaten Gunungkidul ... 37

Tabel 2-12. Hutan Rakyat yang Dijadikan Kawasan Lindung ... 38

Tabel 2-13. Lokasi Kegiatan Pembangunan Taman Keanekaragaman Hayati di Kabupaten Gunungkidu ... 39

Tabel 2-14. Jenis dan Jumlah Pengkayaan Tanaman Taman KEHATI ... 40

Tabel 2-15. Jenis Flora yang Dilindungi ... 43

Tabel 2-16. Jenis Fauna yang Dilindungi ... 43

Tabel 2-17. Baku Mutu Air berdasarkan Kelas menurut Peraturan Gubernur DIY No.20 Tahun 2008 ... 46

Tabel 2.18 Hasil Pengujian di Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada Bulan Maret ... 48

Tabel 2-19. Hasil Pengujian di Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada Bulan September ... 53

Tabel 2-20. Hasil Pengujian Kualitas Air di Sungai Oyo ... 59

Tabel 2-21. Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air di alur sungai lainnya ... 65

Tabel 2-22. Indeks Pencemaran Air Sungai yang Melewati kota Wonosari ... 67

Tabel 2-23 Indeks Pencemaran Air oyo ... 68

Tabel 2-24. Indeks Pencemaran Air lainnya ... 69

Tabel 2-25. Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Sumber Air ... 70

Tabel 2-26. Hasil Pengujian Parameter-Parameter Air Telaga ... 72

Tabel 2-27. Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Mata Air ... 78

Tabel 2-28. Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Mata Air ... 80

Tabel 2-29. Parameter yang dipantau, baku mutu dan metode pengujian kualitas udara ambient ... 83

(5)

Daftar Tabel

Tabel 2-31. Jumlah Kecamatan dan Desa Pesisir di Kabupaten Gunungkidul ... 93

Tabel 2-32. Hasil identifikasi dan Pengamatan Terumbu Karang ... 95

Tabel 2-33. Hasil Pemgujian Parameter air laut di Pantai Sadeng ... 96

Tabel 2-34. Hasil Pemgujian Parameter air laut di Pantai Sundak dan Pantai Pok Tunggal ... 97

Tabel 2-35. Hasil Pemgujian Parameter air laut di Pantai Wediombo ... 100

Tabel 3-1. Indikator Perumahan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2013 ... 107

Tabel 3-2. Umur Harapan Hidup Penduduk Kabupaten Gunungkidul Tahun 2009-2011 ... 117

Tabel 3-3. Angka Kematian di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2012 ... 118

Tabel 3-4. Sepuluh Besar Penyakit di Puskesmas Kabupaten Gunungkidul ... 119

Tabel 3-5. Perkembangan Populasi Ternak Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013-2014 ... 123

Tabel 3.6. Rincian Pembuatan UPPO dan BIOGAS Tahun 2011-2014 ... 124

Tabel 3.7. JumlaJenis usaha Industri di Gunungkidul ... 127

Tabel 3-8. Luas Areal dan Produksi Pertambangan menurut Jenis Bahan Galia ... 127

Tabel 3-9. Luas Kerusakan Lahan Akibat Pertambangan ... 129

Tabel 3.10. Panjang Jalan Menurut Kewenangan Kabupaten Gunungkidul ... 129

Tabel 3-11. Kondisi Jalan menurut status di Kabupaten Gunungkidul ... 131

Tabel 3-12. Kinerja Ruas Jalan pada Jam sibuk di jalan utama ... 133

Tabel 3-13. Jumlah Kendaraan Bermontor menurut Jenis Kendaraan dan bahan Bakar yang digunakan Kabupaten Gunungkidul ... ... 135

Tabel 3-14. Kendaraan yang di Uji ... . 137

Tabel 3-15. Nama Tempat dan Tipe/Jenis/Klasifikasi Saran Transportasi di Kabupaten Gunungkidul ... 138

Tabel 3-16. Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Gunungkidul 2010-2014 ... 141

Tabel 3-17. Jumlah Kunjungan Objek wisata Pantai di masing-masing pos retribusi ... 142

Tabel 4-1. Lokasi Pengijauan Kawasan Pantai ... . 145

Tabel 4-2. Lokasi Pengujian Tanaman Identitas ... . 145

Tabel 4-3. Daftar Laporan Pelaksanaan RKL RPL yang masuk tahun 2014 ... 151

Tabel 4-4. Hasil Pengawasan terhadap Penangung Jawab Usaha/Kegiatan Tahun 2014 ... 153

Tabel 4-5. Kasus Pengaduan Lingkungan Hidup Tahun 2014 ... 160

Tabel 4-6. Kelompok Masyarakat Binaan dalam Rehabilitas Lahan Krisis ... 164

Tabel 4-7. Keterlibatan Kegiatan Usaha dalam Rehabilitas Lahan Krisis di Kabupaten Gunungkidul ... ... 165

Tabel 4-8. Kelompok Pengelola Sampah di Kabupaten Gunungkidul ... 166

(6)

Daftar Gambar

Gambar 2-1. Segitiga Tekstur ... 19

Gambar 2-2. Pengambilan Sampel Tanah di lahan sawah ... 23

Gambar 2-3. Pengambilan sampel tanah sawah ... 24

Gambar 2-4. Pengambilan sampel tanah di lahan kering ... 32

Gambar 2-5. Pengambilan sampel tanah di lahan kering ... 35

Gambar 2-6. Kondisi Sebelum Pembangunan Taman Kehati ... 41

Gambar 2-7. Kondisi Sebelum Pembangunan Taman Kehati ... 41

Gambar 2-8. Kondisi Sesudah Empat Tahun Pembangunan Taman Kehati ... 42

Gambar 2-9. Kondisi Sekarang Taman Kehati ... 42

Gambar 2-10. Kondisi Sekarang Taman Kehati ... 42

Gambar 2-11. Kondisi Sekarang Taman Kehati ... 42

Gambar 2-12. Pembangunan Jalan Setapak di Taman KEHATI Telaga Sengong,Purwodadi,Tepus ... 43

Gambar 2-13. Pembangunan Jalan Setapak di Taman KEHATI Bajo,Purwodadi,Tepus ... 43

Gambar 2-14. Pengambilan sampel air Sungai Wareng pada bulan April ... 50

Gambar 2-15. Pengambilan sampel air Sungai Wareng pada bulan Maret ... 56

Gambar 2-16. Air Sungai Oyo Watusigar pada Pemantauan bulan Maret ... 61

Gambar 2-17. Air Sungai Oyo Watusigar pada Pemantauan bulan ... 61

Gambar 2-18. Pengambilan sampel air Sungai Pentung ... 66

Gambar 2-19. Pengambilan sampel air Sungai Gedangan Bulan Septembar ... 66

Gambar 2-20. Pengambilan Sample air Telaga Jonge ... 71

Gambar 2-21. Pengambilan Sample air Telaga Suruh ... 73

Gambar 2-22. Pengambilan Sample air Telaga Srilulut ... 75

Gambar 2.23. Pengambilan Sampel Air Pok Blembem ... 79

Gambar 2.24. Mata Air Ngembel ... 79

Gambar 2.25. Pengambilan sampel air Embung Nglanggeran ... 81

Gambar 2.26 Pemantauan kualitas udara ambien di Karangmojo ... 90

Gambar 2.27. Pemantauan kualitas udara ambien di alun-alun Wonosari ... 92

Gambar 2.28. Pengambilan sampel air laut di pantai Sadeng ... 97

Gambar 2.29. Pengambilan sampel air laut di Pantai Pok Tunggal ... 99

Gambar 2.30. Pengambilan sempel air laut di Pantai Sundak ... 100

Gambar 2.31. Pengambilan air laut di Pantai Sadeng ... 101

Gambar 3-1. Trech Method ... ... 111

Gambar 3-2. Area Method ... ... 112

(7)

Daftar Gambar

Gambar 3-7. Dump truck ... ... 113

Gambar 3-8. Kontainer Sampah ... ... 114

Gambar 3-9. Buldozer ... ... 114

Gambar 3-10. Exavator ... ... 114

Gambar 3-11. Bak Sampah terpilah ... 115

Gambar 3-12. Pelatihan pengelolaan sampah ... 115

Gambar 3-13. Pelatihan pengolahan sampah ... 115

Gambar 4.1. Monitoring Proses Pembangunan Sumur Resapan di Dusun Jeruksari ... 147

Gambar 4.1. Monitoring Proses Pembangunan Sumur Resapan di SMP 1 Girisubo ... 147

Gambar 4.3 Penyerahan Bibit Pebghijauan Pantai ... 147

Gambar 4.4. Pembangunan Tanaman Hijau Terminal ... 147

Gambar 4.5. Pembangunan Tanaman Hijau Gapura Pintu Masuk Sisi Barat ... 148

(8)

Daftar Grafik

Grafik 2-1. Porositas total sampel tanah Sawah dibandingkan ambang kritisnya ... 21

Grafik 2-2. Derajat Pelulusan air (permeabilitas) sample tanah sawah dibandingkan ambang kritisnya ... 21

Grafik 2-3. Potensial redoks sempel tanah sawah dibandingkan ambang kritisnya ... 26

Grafik 2-4. Derajat Pelulusan air (permeabilitas) sample tanah di lahan kering dibandingkan ambang kritis bawahnya ... ... 31

Grafik 2-5. Potensial redoks sempel tanah lahan kering dibandingkan ambang kritisnya ... 33

Grafik 2-6. Kandungan nitrat air sungai yang melewati kota Wonosari pada Pemantauan bulan Maret ... 49

Grafik 2-7. Kandungan sulfat di alur air sungai yang melewati kota Wonosari pada Pemantauan bulan Maret ... 51

Grafik 2-8. Nilai BOD dan Cod air sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan Maret ... 52

Grafik 2-9. TDS Air Sungai yang melewati Kota Wonosari pada Pemantauan bulan September ... 54

Grafik 2-10. Nilai BOD dan COD air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan September ... 57

Grafik 2-11. Peningkatan pH di alur air sungai yang melewati Kota Wonosari ... 57

Grafik 2-12. Peningkatan COD di alur sungai yang melewati Kota Wonosari ... 58

Grafik 2-13. Peningkatan pH sungai Oyo ... ... 62

Grafik 2-14. Peningkatan kandungan detergen air sungai Oyo ... 63

Grafik 2-15. Hasil Pengukuran pH air ungai Oyo pada bulan September dibandingkan baku mutunya ... 64

Grafik 2-16. Kandungan Zat Organik air telaga dibandingkan baku mutunya ... 76

Grafik 2-17. Kandungan NO2di 7 titik pantau pada bulan April dan Oktober ... 86

Grafik 2-18. Kandungan SO2di 7 titik pantau pada bulan April dan Oktober ... 87

Grafik 2-19. Kandungan Oxdi 7 titik pantau pada bulan April dan Oktober ... 88

Grafik 2-20. Kandungan CO di 7 titik pantau pada bulan April dan Oktober ... 89

Grafik 2-21. Kandungan Partikel/debu di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober ... 91

Grafik 2-22. Tingkat kebisingan di 7 titik pantau dibandingkan dengan baku mutunya ... 93

Grafik 2-23. Jumlah Kecamatan dan Desa Pesisir di Kabupaten Gunungkidul ... 93

Grafik 3.1. Pertumbuhan penduduk Gunungkidul ... 109

Grafik 3.2. Timbulan sampah penduduk Gunungkidul ... 109

Grafik 3.3. Diagram Pengelola Sampah ... ... 110

Grafik 3.4. Sebaran pelayanan persampahan UPT KP DPU Kabupaten Gunungkidul ... 110

Grafik 3.5. Perbandingan Angka Kematian Ibu (per 100.000 kelahiran hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul ... 118

Grafik 3.6. Perbandingan Angka Kematian Bayi (per 1000 kelahiran hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul ... 118

(9)

Daftar Grafik

Grafik 3.7. Populasi Ternak Besar ... 122

Grafik 3.8. Populasi Ternak Unggas ... ... 122

Grafik 3.9. UPPO dan Biodigester ... ... 125

Grafik 3.10. Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul ... 130

Grafik 3.11. Lebar Rata-Rata Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul ... 130

Grafik 3.12. Kondisi Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul ... 131

Grafik 3.13. Perbandingan Kondisi Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul ... 132

Grafik 3.14. Volume Lalu Lintas Ruas Jalan Utama di Kabupaten Gunungkidul ... 134

Grafik 3.15. VC ratio Ruas Jalan Utama di Kabupaten Gunungkidul ... 134

Grafik 3.16. Kecepatan Kendaraan pada Ruas Jalan Utama di Kabupaten Gunungkidul ... 135

Grafik 3.17 Jumlah Kendaraan Bermontor di Kabupaten Gunungkidul ... 136

Grafik 3.18. Perbandingan Jumlah Kendaraan Bermontor Berdasarkan Jenis BBM di Kabupaten Gunungkidul ... 136

Grafik 3.19 Jumlah Kendaraan Bermontor Wajib Uji dan Realisasi ... 137

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Umum

1. Kondisi Geografi

Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya di Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi iklim tropis Kabupaten Gunungkidul yang terletak antara 110° 21’-110° 50’ Bujur Timur dan 7° 46’-8° 09’ Lintang Selatan.

Kabupaten Gunungkidul terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta (Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Jarak Wonosari sebagai Ibukota Kabupaten Gunungkidul dengan Kota Yogyakarta ± 39 km. Secara geografis Kabupaten Gunungkidul terletak pada 110° 21’ - 110° 50’ Bujur Timur dan 7° 46’ - 8° 09’ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul selain berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga berbatasan dengan kabupaten-kabupaten dari Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.

Batas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebagai berikut:

a. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

b. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah

c. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah d. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia

Secara topografi dan kaitannya dengan pengembangan kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, dapat dikelompokkan menjadi tiga zona topografi/ pengembangan, yaitu: a.Zona Batur Agung

Zona Batur Agung yang terletak di bagian utara ini merupakan pegunungan blok patahan yang tersusun oleh batuan sedimen volkanik berumur Oligo-Miosen – Miosen Tengah. Elevasi pada zona ini adalah 200-800 m dpal, dengan kemiringan lereng 200– 350.

Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan lindung rawan bencana, hutan lindung dan kawasan budidaya tanaman lahan kering dan lahan basah serta kawasan perbatasan. Luas Zona Batur Agung adalah 42.283 Ha. Wilayah zona ini meliputi wilayah Kecamatan Patuk, Nglipar, Ngawen, Semin, Ponjong bagian utara dan Gedangsari bagian utara.

(11)

2 b. Zona Ledok Wonosari

Zona Ledok Wonosari terletak di bagian tengah Kabupaten Gunungkidul, mempunyai topografi hampir datar, bergelombang rendah, tersusun oleh batuan sedimen karbonat (batu gamping) yang berumur Miosen. Sebelah timur dari Ledok Wonosari adalah Tinggian Panggung atau disebut juga sebagai Masif Panggung (istilah geologi) yang tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik berumur Miosen. Elevasi pada Ledok Wonosari berkisar 150-200 m dpal dan Tinggian Panggung berkisar 200-600 m dpal.

Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan pertanian lahan kering dan lahan basah, kecuali pada wilayah hutan dan lembah Sungai Oyo yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan lindung bawahan serta kawasan penunjang sektor andalan. Luas Zona Ledok Wonosari – Tinggian Pangung adalah 27.908,80 Ha. Wilayah zona ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah, Gedangsari dan Semanu bagian Utara.

c.Zona Pegunungan Seribu

Zona di bagian selatan ini mempunyai topografi yang sangat khas, sebagai bentukan ekosistem karst. Bentuk topografi karst ini misalnya: kerucut karst, bentukan ledokan karst (dolina), telaga karst, goa karst, sungai bawah tanah serta morfologi pantai bertebing terjal yang langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia. Elevasi pada zona ini berkisar 300-600 m dpal, dengan kemiringan lereng rata-rata 25o-30o.

Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan lindung setempat, ekosistem karst, goa karst, mata air dan sempadan pantai. Kawasan yang membutuhkan penanganan yang optimal adalah kawasan yang sumberdaya alamnya kritis dan terbatas sumberdaya alternatifnya serta wilayah perbatasan. Luas zona ini 78.344,20 Ha.

2. Kondisi Lingkungan Hidup 2.1. Kondisi Kualitas Air a. Kondisi Kualitas Air Sungai

Hasil pemantauan kualitas air sungai yang melewati kota Wonosari, yaitu sungai Besole (bagian hulu), sungai Kepek, Sungai Krapyak dan sungai Blimbing (bagian tengah) serta sungai Wunut (bagian hilir), pada bulan April mutu air di alur sungai Kepek dan sungai Krapyak, termasuk dalam kategori tercemar sedang bila digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, (mutu air kelas 2) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sedangkan di sungai Blimbing dan sungai Wunut masih memenuhi baku mutu bila digunakan untuk peruntukan yang sama. Pada pemantauan bulan September hampir di semua titik pemantauan, mutu air sungai termasuk

(12)

dalam kategori tercemar ringan kecuali di penggal sungai Besole yang masih memenuhi baku mutu. Parameter yang dominan menyebabkan sungai Kepek dan Sungai Krapyak masuk dalam kategori tercemar sedang pada pemantauan bulan April adalah kandungan nitrit. Parameter yang dominan menyebabkan sungai yang melewati kota Wonosari pada pemantauan bulan September termasuk dalam kategori tercemar ringan adalah kandungan nitrit untuk penggal sungai Kepek dan sungai Krapyak, sedangkan di sungai Blimbing dan sungai Wunut adalah kandungan nitrat.

Hasil pengujian parameter fisika, kimia dan biologi di alur sungai yang melewati kota Wonosari pada pemantauan bulan April maupun September cukup bervariasi. Pada bulan September parameter kimia yang mengalami peningkatan cukup besar dibandingkan dengan hasil pemantauan bulan April adalah parameter kandungan nitrat dan kandungan sulfat di semua lokasi pemantauan, pH di Sungai Krapyak, kandungan amoniak di sungai Blimbing dan sungai Wunut, Biologycal Oxygen Demand (BOD) di sungai Wunut dan terjadi penurunan Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut terjadi Sungai Wunut. Peningkatan kandungan nitrat terjadi di semua titik pemantauan. Peningkatan tertinggi terjadi di sungai Kepek (bagian tengah), sedangkan peningkatan kandungan sulfat tertinggi terjadi di sungai Wunut (bagian hilir)

Dari hasil pemantauan air sungai yang melewati kota Wonosari, yang dilakukan pada bulan April ada parameter yang melampaui baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun 2001, yaitu kandungan nitrit di sungai Kepek dan sungai Krapyak serta Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut di sungai Blimbing. Pada pemantauan bulan September, parameter yang melebihi baku mutu adalah kandungan nitrat di sungai Kepek, sungai Blimbing dan sungai Wunut, kandungan nitrit di sungai Besole dan sungai Krapyak serta DO di sungai Krapyak

Air sungai Oyo mulai dari bagian hulu (Watusigar, Ngawen), bagian tengah (Karangtengah, Wonosari) dan bagian hilir (Getas, Playen), pada pemantauan bulan April, memiliki status mutu tercemar ringan bila dipergunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (mutu air kelas 1) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001, sedangkan pada pemantauan bulan September air sungai Oyo dari hulu sampai ke hilir masuk dalam kategori memenuhi baku mutu. Parameter yang dominan menyebabkan status mutu air sungai Oyo tercemar ringan pada pemantauan bulan April adalah kandungan amoniak untuk alur sungai bagian hulu dan hilir serta kandungan total coliform untuk alur sungai bagian tengah.

Hasil pengujian parameter fisika, kimia dan biologi di sepanjang alur sungai Oyo dari hulu sampai hilir (Watusigar, Karangtengah dan Getas) cukup bervariasi. Pada pemantauan bulan September terjadi peningkatan untuk kandungan nitrat, nitrit, sulfat dan deterjen, serta penurunan kadar Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut dibandingkan pada pemantauan

(13)

4 bulan April. Kandungan nitrat dan deterjen meningkat di semua titik pemantauan. Peningkatan kandungan nitrat tertinggi terdapat di bagian tengah, peningkatan kandungan deterjen tertinggi terdapat di bagian hulu, sedangkan peningkatan kandungan nitrit hanya terjadi di alur sungai bagian tengah. Peningkatan kandungan sulfat terjadi di bagian hulu dan tengah, di mana peningkatan yang lebih besar terjadi di bagian hulu, sedangkan penurunan kadar DO terjadi di alur sungai bagian hulu dan tengah, di mana penurunan yang lebih besar terjadi di bagian hulu.

Parameter yang melebihi baku mutu air kelas 1 menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 di alur sungai Oyo, baik pada pemantauan yang dilakukan pada bulan April maupun September, adalah kandungan amoniak, nitrit, Biologycal Oxygen Demand (BOD) dan total coliform serta terdapat kadar Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut yang kurang dari ambang batas yang dipersyaratkan. Kandungan amoniak yang melebihi baku mutu terdapat di alur sungai bagian hulu dan hilir pada pemantauan bulan April, sedangkan kandungan nitrit yang melebihi baku mutu hanya terdapat di alur sungai bagian hilir pada pemantauan bulan April. Nilai BOD yang melebihi baku mutu terdapat di bagian hulu pada pemantauan bulan April, sedangkan nilai DO atau oksigen terlarut yang kurang dari yang dipersyaratkan terdapat di alur sungai bagian tengah dan hilir pada pemantauan bulan April serta di bagian tengah pada pemantauan bulan September.

Kualitas air di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) pada pemantauan bulan April maupun September memenuhi baku mutu untuk digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (mutu air kelas 2) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001.

Pengujian parameter fisika, kimia dan biologi air di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) pada bulan April dan September hasilnya cukup bervariasi. Parameter yang mengalami peningkatan pada pemantauan bulan September bila dibandingkan hasil pemantauan pada bulan April di kedua sungai ini adalah Total Dissolved Solid (TDS) atau zat padat terlarut, kandungan nitrat, kandungan nitrit, kandungan sulfat, kandungan besi total (Fe), kandungan deterjen, Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemichal Oxygen Demand (COD). Kandungan nitrit, sulfat, deterjen dan BOD meningkat di kedua sungai yang dipantau. Peningkatan kandungan nitrit, deterjen dan nilai BOD yang lebih besar terdapat di sungai Gedangan, sedangkan peningkatan kandungan sulfat yang lebih besar terjadi di sungai Pentung. Peningkatan TDS dan kandungan besi total (Fe) hanya terdapat di sungai Gedangan, sedangkan kandungan nitrat hanya meningkat di sungai Pentung.

(14)

Dari hasil pemantauan bulan April maupun bulan September, di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) tidak ada parameter yang melebihi baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun 2001.

b. Kondisi Kualitas Air Laut

Kandungan bahan-bahan pencemar air laut yang dipantau di pantai Baron, Tanjungsari, pantai Indrayanti dan pantai Siung di Tepus serta pantai Sadeng, Girisubo cukup bervariasi. Hampir semua kandungan parameter kimia air laut di 4 lokasi pantai yang dipantau melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Lampiran 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, kecuali untuk kandungan nitrat dan sianida. Kandungan tembaga, timbal dan krom melebihi baku mutu di semua lokasi pemantauan. Kandungan amoniak melebihi baku mutu di pantai Siung dan pantai Indrayanti, sedangkan kandungan sulfida melebihi baku mutu terdapat di pantai Sadeng dan pantai Baron.

c. Kondisi Kualitas Air Sumber/Mata Air

Hasil pemantauan kualitas air sumber air yang dilakukan di Embung Nglanggeran, baik untuk parameter fisika maupun kimia cukup baik, tidak ada parameter yang melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, namun untuk parameter biologi, yang dilihat dari kandungan total coliform melebihi baku mutu bila dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.

d. Kondisi Air Telaga

Hasil pemantauan kualitas air telaga yang dilakukan di Telaga Kerdonmiri, Karangwuni, Rongkop, Telaga Wuru, Pringombo, Rongkop, Telaga Wotawati, Jerukwudel, Girisubo, Telaga Ngomang, Saptosari dan telaga Kemuning, Bunder, Patuk menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan pencemar di 5 lokasi telaga cukup bervariasi. Hasil pengujian parameter yang melebihi baku mutu menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum adalah kekeruhan dan kandungan zat organik di semua lokasi telaga yang dipantau, kandungan besi total di Telaga Wotawati dan kandungan total coliform di telaga Ngomang dan Telaga Kemuning.

2.2. Kondisi Kualitas Udara Ambien

Kualitas udara di Kabupaten Gunungkidul bisa dikatakan masih cukup baik, karena dari hasil pemantauan yang dilakukan di 7 titik lokasi (simpang tiga Sambipitu, simpang empat Kantor Pos Wonosari, taman parkir Pasar Argosari Wonosari, Kawasan industri Mijahan, simpang tiga Bedoyo, simpang empat Karangmojo dan Pasar Semin) pada bulan Maret

(15)

6 maupun Oktober, hasil pengujian parameter-parameter kualitas udara ambiennya masih berada di bawah ambang batas yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun untuk parameter kebisingan, di beberapa titik sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 176 Tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kandungan gas ozon (Ox) dan partikel (debu) di udara pada pemantauan bulan Oktober di sebagian besar lokasi mengalami peningkatan dibandingkan pada pemantauan bulan Maret.

2.3. Kondisi Kualitas Tanah

Hasil pemantauan kualitas tanah di zone Utara, yang meliputi kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Ponjong dan Semin dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Ngawen melebihi ambang kritis untuk 2 parameter dibandingkan dengan Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di lahan kering) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, yaitu parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Widoro Kulon) melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu parameter berat isi, daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Kemuning), Ponjong dan Semin melebihi ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu untuk parameter berat isi (Ponjong dan Semin), porositas total (Patuk dan Semin), derajat pelulusan air (Patuk dan Ponjong), daya hantar listrik (Patuk, Ponjong dan Semin) serta potensial redoks (Patuk, Ponjong dan Semin). Sampel dari Gedangsari dan Nglipar melebihi ambang batas untuk 5 parameter, yaitu komponen koloid, berat isi, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks untuk sampel tanah di Gedangsari, sedangkan untuk sampel tanah dari Nglipar melebihi ambang batas untuk parameter berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks.

Dari pemantauan kualitas tanah di zone Tengah, yang meliputi kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo dan Semanu dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Playen dan Karangmojo melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu daya hantar listrik dan potensial redoks. Sampel tanah dari Wonosari, baik dari desa Pulutan maupun Karangrejek serta dari Semanu melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk parameter ketebalan solum, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks.

Dari pemantauan kualitas tanah di zone Selatan, yang meliputi kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Paliyan, Tanjungsari, Tepus, Rongkop dan Girisubo dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Saptosari, Paliyan dan Tepus melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu untuk parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks, sampel

(16)

tanah dari Tanjungsari, Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk kebatuan permukaan, DHL dan potensial redoks untuk sampel tanah dari Tanjungsari, sedangkan sampel tanah dari Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk parameter derajat pelulusan air (permeabilitas), DHL dan potensial redoks. Sampel tanah dari Purwosari melebini ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks, sedangkan sampel tanah dari Panggang melebihi ambang kritis untuk 5 parameter, yaitu berat isi, porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks.

B. Permasalahan

Ketersediaan sumberdaya alam di Kabupaten Gunungkidul secara umum masih cukup baik, kawasan hutan yang telah mencapai 55.613,68 Ha, apabila dilihat dari kebutuhan luas hutan minimal yang harus dimiliki 50.000 Ha, berdasarkan amanat Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, bahwa setiap wilayah minimal harus mempunyai zona bervegetasi hutan minimal 30% dari luas total wilayah. Maka Gunungkidul telah memenuhi kebutuhan luas hutan minimananl yang diamanatkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan. Sedangkan luas lahan kritis yang ada di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 adalah seluas 5.773,97 Ha atau menurun dibandingkan luas lahan kritis tahun 2012 yaitu 11.511,33 Ha atau menurun 50%. Lahan kritis terbesar di Kecamatan Panggang yaitu 448.185 Ha dan terkecil di Kecamatan Wonosari. Keberhasilan penurunan lahan kritis ini merupakan indikator keberhasilan penanaman tanaman penghijuan di Kabupaten Gunungkidul.

Kondisi lingkungan di Kabupaten Gunungkidul masih cukup baik berdasarkan pemantauan kualitas lingkungan, baik kualitas udara (udara ambien), kualitas air (air sungai, sumber air, air laut) maupun kualitas tanah. Hal yang mengkhawatirkan bagi lingkungan hidup adalah kerusakan lahan akibat pertambangan berdasarkan data dari Disperindagkoptam tahun 2009 seluas 95.588 M2, yang menyebar di tiga kecamatan yaitu Ponjong, Wonosari, dan Semanu, dengan kondisi yang masuk dalam kriteria antara rusak dan sedang. Pertambangan tersebut berada di 41 lokasi penambangan, dengan jenis bahan tambang adalah batu gamping keprus, dan sebagian besar merupakan penambangan tanpa izin (Peti). Dimungkinkan kerusakan lahan akibat pertambangan pada tahun 2013 semakin luas, apalagi penggunaan alat berat dalam melakukan eksploitasi pertambangan cenderung semakin marak di tahun 2013 ini. Kondisi pertambangan saat ini terus berlangsung tetapi tanpa izin atau illegal, dan kerusakan lingkungan yang terjadi semakin tidak terkontrol. Kerusakan lahan yang ditimbulkan adalah timbulnya lubang bekas penambangan yang tidak di reklamasi atau tidak melakukan pengelolaan pasca tambang/reklamasi. Penggunaan bahan peledak dan alat berat dalam menambang akan menimbulkan getaran, kebisingan dan debu. Teknik penambangan rakyat yang dilakukan tidak sesuai aturan, karena rendahnya pengetahuan penambang

(17)

8 tentang teknik menambang yang benar, sehingga berdampak pada aspek keselamatan dan kerusakan lingkungan.

Kasus pencemaran lingkungan yang terjadi selama tahun 2013 yaitu pencemaran udara, yaitu bau dan lalat dari kegiatan peternakan ayam. Sebagian besar usaha/kegiatan yang diadukan belum memiliki ijin usaha an sebagian lagi sudah berizin tetapi kurang taat dalam melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan perubahan usaha tidak disertai perubahan izin usaha dan dokumen lingkungan hidup. Kasus pengaduan lainnya yang belum terselesaikan dan dampaknya sampai wilayah Jawa Tengah adalah pembuangan limbah cair/bubur/mild dari usaha pemotongan/pengolahan batu alam di wilayah Semin. Apabila dilihat dari Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Gunungkidul tahun 2010-2030 bahwa Desa Candirejo Kecamatan Semin ditetapkan sebagai kawasan industri, di lokasi ini telah tumbuh dan berkembang industri pengolahan/pemotongan batu alam yang menghasilkan limbah cair berupa mild/bubur yang dibuang ke sungai yang melintas wilayah Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah dan menimbulkan keresahan masyarakat petani di sana dikhawatirkan dapat mengancam tanaman pertanian karena air yang digunakan untuk irigasi dari sungai tercampur mild/bubur dari limbah industri pemotongan/pengolahan batu alam di wilayah Semin dan lebih jauh dikhawatirkan dapat mengancam ketahanan pangan. Sebagai tindak lanjut Pemerintah Daerah Gunungkidul dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan operasi bersama terhadap usaha Pemotongan/pengolahan batu alam, diperoleh fakta bahwa sebagian usaha tersebut belum berizin, dan ada yang berizin tetapi tidak taat dalam mengelola dampak yang ditimbulkan. Selanjutnya disepakati diserahkan Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk melakukan pengawasan dan pembinaan serta meninjau tata ruang wilayah.

C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul 1. Ekosistem Perbukitan Karst

Selama tahun 2013 isu lingkungan yang mencuat adalah penambagan tanpa izin dan penggunaan alat berat dalam proses penambangan batu kapur di wilayah karst. Terkait ketidak jelasan aturan pertambangan, beberapa undang-undang yang menjadi referensi belum bisa menjadi jawaban pasti untuk memberi solusi tepat bagi para penambang. Hingga saat ini para penambang terus mengajukan ijin permohonan agar bisa secara resmi mengelola lahan pertambangan. Namun mereka belum mendapat kejelasan legalitas atas hukum dan usaha mereka hingga sekarang, sehingga belum mendapatkan rekomendasi izin. Dalam hal aturan, pemerintah daerah tak hanya mengacu pada satu referensi saja tapi secara garis besar selama ini mengacu pada Permen 17 Tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst, namun untuk peraturan daerah terbaru yang berisikan pemetaan wilayah kawasan karst yang dapat ditambang masih dalam proses dan belum finish.

(18)

Penegakan hukum bagi penambang tanpa izin oleh Satuan polisi Pamong Praja (Pol PP) bahwa sikap Pol PP yang terkesan lamban dikarenakan beberapa alasan, salah satunya regulasi yang masih belum bisa dijadikan landasan hukum bagi Pol PP untuk mengambil sikap tegas dan juga menyangkut lapangan pekerjaan ribuan penambang yang akan hilang bila semena-mena melakukan penutupan sepihak.

2. Ekosistem Pesisir dan Pantai

Kabupaten Gunungkidul memiliki potensi wisata yang cukup potensial dan beragam, mulai dari kekayaan alam berupa pantai, goa, bukit dan pegunungan, tempat bersejarah serta desa wisata budaya maupun wisata religi.

Obyek wisata pantai merupakan obyek wisata unggulan Kabupaten Gunungkidul dengan jumlah kurang lebih 46 pantai yang panjang garis pantai di Kabupaten Gunungkidul menurut data dari BPS adalah 71 km dengan topografi perbukitan karst yang berupa pegunungan terjal yang terbentang dari Desa Girijati Kecamatan Purwosari sampai dengan Pantai Sadeng, Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo. Peningkatan kunjungan wisata mulai dari tahun 2010 mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat baik wisatawan domestik maupun asing. Namun permasalahan lingkungan yang terjadi di ekosistem pesisir dan pantai Gunungkidul masih saja terjadi adalah :

a. Pengambilan pasir pantai untuk kegiatan urug pada lokasi hajatan jika terjadi hujan agar tidak timbul genangan.

b. Penebangan tanaman atau vegetasi disekitar pantai yang merupakan tanaman budidaya masyarakat masih bersifat tebang habis sehingga terkesan gundul ;

c. Penggunaan bahan peledak atau racun untuk mencari atau menangkap habitat perairan laut;

d. Pembangunan bangunan-bangunan liar di kawasan sempadan pantai dan bukit-bukit karst di sekitarnya;

e. Pembangunan emplek-emplek/lapak-lapak pedagang di bibir pantai;

f. Maraknya pembangunan kandang ayam, yang tidak sesuai kaidah tata ruang wilayah. Selain permasalah tersebut diatas, beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan kawasan pesisir antara lain adalah :

a. Sebagian besar perbukitan terjal di sekitar pantai telah gersang, tererosi, dan tanpa vegetasi penutup;

b. Terjadinya abrasi yang telah merusak sempadan pantai; c. Terjadinya pencemaran lingkungan pantai dan laut; d. Penurunan kualitas komunitas fauna;

e. Penurunan kualitas habitat terumbu karang.

Permasalah lain yang ada disebabkan faktor masyarakat pengunjung adalah dengan timbulnya sampah, keberadaan sampah ini munculnya selalu linier dengan jumlah pengunjung yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga dengan demikian keberadaan volume sampah ini tergantung dengan jumlah pengunjung.

(19)

10 Komunitas masyarakat pesisir di Kabupaten Gunungkidul sampai saat ini masih berdiri sendiri-sendiri berdasarkan dari profesi yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi pesisir. Belum adanya suatu komunitas tersendiri secara kewilayahan atau teritorial yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan.

Pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Gunungkidul melalui beberapa upaya yang dilakukan lintas sector, antara lain : 1. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan wilayah pantai yang sejuk, indah, dan nyaman

maka dilakukan kegiatan penghijauan pantai. Destinasi wisata di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Hal ini apabila tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik, maka lambat laun kunjungan akan menurun. Pengelolaan lingkungan wilayah pantai yang segera mendapatkan perhatian adalah penambahan vegetasi untuk keteduhan dan pengelolaan sampah. Penanaman dilakukan oleh kelompok sadar dengan gerakan bersama.

2. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui penerbitan rekomendasi dokumen lingkungan hidup dan izin gangguan dan pengawasan dan pemantauan usaha dan kualitas lingkungan hidup : air, udara dan tanah secara rutin. Pada tahun 2013 Kapedal telah menerbitkan 30 rekomendasi UKL-UPL dan hampir 500 SPPL sebagai syarat diterbitkanya Izin Gangguan. Upaya pengendalian lainnya adalah dengan ditetapkannya peraturan daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul 2010-2030, melalui pengendalian keruangan diharapkan dapat mengendalikan kerusakan lingkungan dengan melakukan penataan kawasan, termasuk kawasan pertambangan yang telah diakses dalam Perda ini sesuai relita yang ada dan aturan.

3. Penyelesaian kasus lingkungan melalui koordinasi dan komunikasi dengan pengusaha dan warga sekitar sebagai upaya persuasif dan pemberian peringatan dan pembuatan surat pernyataan bagi pengusaha untuk melaksanakan dokumen lingkungan sesuai aturan yang berlaku.

4. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan di bidang lingkungan hidup seperti pengelolaan sampah dengan prinsip 3 R, program kali bersih, program langit biru, pantai lestari, kampong iklim, dan sekolah adiwiyata terus dilakukan termasuk pembangunan fasilitasnya.

(20)
(21)

BAB II

KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. Lahan dan Hutan

Tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi, yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik, serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Tanah terbentuk apabila bahan induk berada dalam pengaruh iklim tertentu, organisme dan air dalam periode waktu yang lama. Proses pembentukan tanah secara alami berjalan sangat lambat dan karena itu tanah dapat dianggap sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu sumberdaya alam ini harus dilestarikan.

Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan, di samping sebagai ruang hidup, tanah mempunyai fungsi produksi, antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu dan bahan obat-obatan. Selain itu tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum. Tanah merupakan media tumbuh tanaman, di mana akar tanaman menyerap air dan hara dari dalam tanah. Tanaman memproduksi bahan (biomassa) yang dibutuhkan bagi kehidupan yang lain termasuk manusia. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman.

Kerusakan tanah dapat disebabkan oleh sifat alami tanah, dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah tersebut terganggu/rusak sehingga tidak mampu lagi berfungsi. Kegiatan manusia di dalam memanfaatkan lahan mempengaruhi berbagai proses di dalam tanah, seperti gerakan air, daya tanah menahan air, sirkulasi udara serta penyerapan hara oleh tanaman. Penggundulan hutan sebagai salah satu usaha manusia untuk menambah areal pertanian akan menghilangkan peneduh serta akumulasi sisa-sisa tanaman, sedangkan pengolahan/pemanfaatan tanah yang berlebihan, terutama pada tanah berlereng akan mempercepat dekomposisi bahan-bahan organik, meningkatkan aliran permukaan, menurunkan daya infiltrasi tanah yang kesemuanya menjadi penyebab erosi dan menurunkan produktivitas tanah.

Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor pertanian, maka sumberdaya tanah memiliki nilai yang sangat penting. Mengingat pentingnya tanah, maka pengendalian kerusakan tanah sangat diperlukan, sebab tanah merupakan sumberdaya alam yang terbatas dan senantiasa mendapatkan tekanan yang semakin besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pangan, sandang dan papan yang semakin meningkat. Oleh sebab itu semua orang berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah dengan tujuan melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksinya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

(22)

Berdasarkan kondisi topografinya, Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi 3 (tiga) zone pengembangan, yaitu :

a. Zone Utara

Disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 – 700 m di atas permukaan laut. Keadaannya berbukit-bukit, terdapat sumber-sumber air tanah dengan kedalaman 6 – 12 m dari permukaan tanah. Jenis tanah didominasi latosol dengan batuan induk vulkanik dan sedimen taufan. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin dan kecamatan Ponjong bagian utara.

b. Zone Tengah

Disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari, dengan ketinggian 150 – 200 m di atas permukaan laut. Jenis tanah didominasi oleh asosiasi mediteran merah dan grumosol hitam dengan bahan induk batu kapur, sehingga meskipun musim kemarau panjang, partikel-partikel air masih mampu bertahan. Terdapat sungai di atas tanah, tetapi di musim kemarau kering. Kedalaman air tanah berkisar antara 60 – 120 m di bawah permukaan tanah. Wilayah ini meliputi kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan kecamatan Semanu bagian utara.

c. Zone Selatan

Disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu, dengan ketinggian 0 – 300 m di atas permukaan laut. Batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut dan merupakan kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah. Zone selatan ini meliputi kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Paliyan, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Girisubo, kecamatan Ponjong bagian selatan dan kecamatan Semanu bagian selatan.

Kerusakan hutan dan lahan dapat memberikan dampak yang cukup luas, mulai dari kemerosotan keanekaragaman hayati, banjir, longsor, kekeringan, penurunan kualitas tanah dan air hingga perubahan iklim di tingkat global yang saat ini kita hadapi. Merupakan tantangan bagi kita semua untuk mengendalikan kerusakan hutan dan lahan tersebut. Salah satu upaya pengendalian kerusakan hutan dan lahan adalah dengan melakukan pemantauan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

Pemantauan kualitas tanah tahun 2014 dilaksanakan satu kali dalam setahun, pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2014.

Pengambilan sampel untuk pemantauan kualitas tanah tahun 2014 dilakukan di 20 titik, yang tersebar di desa Genjahan kecamatan Ponjong. Lokasi pengambilan sampel tersebut adalah di : 1. Susukan IV, Genjahan, Ponjong (07.57440 / 110.42133 Elv 225 m)

2. Susukan IV, Genjahan, Ponjong (07.57379 / 110.42248 Elv 229 m) 3. Susukan III, Genjahan, Ponjong (07.57396 / 110.42425 Elv 236 m) 4. Genjahan, Genjahan, Ponjong (07.57299 / 110.42362 Elv 234 m) 5. Genjahan, Genjahan, Ponjong (07.57159 / 110.42404 Elv 246 m) 6. Genjahan, Genjahan, Ponjong (07.56578 / 110.42347 Elv 262 m) 7. Genjahan, Genjahan, Ponjong (07.56508 / 110.42409 Elv 290 m) 8. Genjahan, Genjahan, Ponjong (07.57258 / 110.42482 Elv 236 m)

(23)

9. Simo II, Genjahan, Ponjong (07.57308 / 110.43007 Elv 239 m) 10. Simo II, Genjahan, Ponjong (07.57411 / 110.43018 Elv 227 m) 11. Simo I, Genjahan, Ponjong (07.57561 /110.42539 Elv 236 m) 12. Simo II, Genjahan, Ponjong (07.57550 / 110.43050 Elv 236 m) 13. Tanggulangin, Genjahan, Ponjong (07.58087 / 110.43096 Elv 240 m) 14. Tanggulangin, Genjahan, Ponjong (07.58144 / 110.42583 Elv 241 m) 15. Pati, Genjahan, Ponjong (07.58294 / 110.42537 Elv 245 m)

16. Kerjo II, Genjahan, Ponjong (07.58248 / 110.42293 Elv 227 m) 17. Kerjo II, Genjahan, Ponjong (07.58167 / 110.42443 Elv 217 m) 18. Susukan I, Genjahan, Ponjong (07.58075 / 110.42184 Elv 224 m) 19. Susukan II, Genjahan, Ponjong (07.58062 / 110.424040 Elv 227 m) 20. Susukan III, Genjahan, Ponjong (07.57546 / 110.42314 Elv 226 m)

Pemantauan kualitas tanah dilaksanakan bekerja sama dengan Laboratorium Geografi Tanah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Parameter yang dipantau, baku mutu yang digunakan dan metode pemantauan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.1. Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di lahan kering) menurut PP RI No. 150 tahun 2000

PARAMETER AMBANG KRITIS METODE

Ketebalan solum < 20 cm Pengukuran Langsung

Kebauan permukaan >40 % Pengukuran langsung imbangan batu dalam unit luasan

Komposisi Fraksi < 18 % Koloid ; > 80 % pasir Kuarsitik

Warna pasir, Gravimetrik

Berat Isi > 1,4 g/cm3 Gravimetrik pada satuan volume

Porositas Total < 30% ; >70% Perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis(BJ)

Derajat pelulusan air <0,7 cm/jam ;>8,0 cm/jam Permeabilitas

pH (H2O) <4,5 ; >8,5 Potensiometrik

DHL >4,0 mS/cm Tahanan listrik

Redoks < 200 mV Tegangan listrik

(24)

Penjelasan untuk parameter-parameter yang dipantau tersebut adalah sebagai berikut : a. Ketebalan solum

Ketebalan solum adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke lapisan yang membatasi keleluasaan perkembangan sistem perakaran. Lapisan pembatas tersebut meliputi : lapisan padas/batu, lapisan beracun (garam, logam berat, alumunium, besi) muka air tanah dan lapisan kontras.

b. Kebatuan permukaan

Kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di permukaan tanah. Batu adalah semua material kasar yang berukuran diameter > 2 mm.

c. Komposisi fraksi

Komposisi fraksi tanah adalah perbandingan berat dari pasir kuarsitik (50 – 2.000 µm) dengan debu dan lempung (< 50 µm).

d. Berat isi/Berat volume

Berat isi/berat volume atau kerapatan bongkah tanah (bulk density) adalah perbandingan antara berat bongkah tanah dengan isi/volume total tanah, diukur dengan metode lilin (bongkah tanah dilapisi lilin). Tanah dikatakan bermasalah bila BI tanah tersebut > 1,4 g/cm3 di mana akar sulit menembus tanah tersebut.

e. Porositas total

Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap volume tanah. f. Derajat pelulusan air (permeabilitas)

Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air melewati tubuh tanah secara vertikal dengan satuan cm/jam.

g. pH (H2O)

pH adalah tingkat keasaman tanah yang dicerminkan oleh konsentrasi H+dalam tanah. h. Daya Hantar Listrik (DHL)

Nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada di dalam larutan tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar kadar ionik larutan akan semakin besar DHL nya. DHL dinilai dengan satuan mS/cm atau µS/cm, pada suhu 250C.

i. Potensial Reduksi Oksidasi (Redoks)

Nilai redoks adalah suasana oksidasi reduksi tanah yang berkaitan dengan ketersediaan atau ketidaktersediaan oksigen di dalam tanah.

j. Jumlah mikroba

Jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah yang diukur dengan colony counter.

(25)

Desa Genjahan merupakan salah satu desa yang terdapat di kecamatan Ponjong, yang terdiri dari 11 padukuhan. Luas Desa Genjahan adalah 463,0421 Ha, dengan perincian luas penggunaan lahan sebagai berikut:

a. Lahan sawah : 156,5110 Ha b. Tegal/ladang/kebun : 45,4030 Ha c. Pekarangan : 240,3225 Ha d. Lain-lain : 20,8056 Ha

Kedua puluh lokasi pengambilan sampel tanah untuk pemantauan kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa, ada yang merupakan lahan sawah dan ada yang merupakan lahan kering. Lahan kering tersebut berupa tegalan dan lahan pekarangan.

Tanah sawah berbeda dengan tanah lahan kering. Ciri utama tanah sawah adalah identik dengan genangan air dalam waktu yang lama. Penggenangan tanah menyebabkan terjadinya perubahan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kondisi inilah yang membedakan lahan sawah dengan lahan kering. Penggenangan tanah untuk lahan persawahan dapat menyebabkan perubahan permanen pada sifat-sifat tanah asal yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan tingkat perkembangan profil tanah dan klasifikasi tanah.

Kondisi tanah pada lahan sawah setelah panenan padi yang ditanam pada periode sebelumnya sangat padat, penuh dengan rumput-rumput dan sisa jerami yang ada di sawah. Tanah sawah yang telah ditanami tanaman padi sebelumnya secara otomatis kandungan bahan organik yang ada di dalam tanah akan berkurang, hal itu disebabkan karena bahan organik yang ada telah diserap oleh tanaman yang sebelumnya. Tanah yang akan diolah harus diairi terlebih dahulu dengan tujuan agar tanah sawah menjadi lembek/lunak dan rumput-rumput yang ada menjadi layu dan cepat membusuk, hal ini bertujuan untuk mempermudah saat pembajakan dan menghindari melekatnya tanah pada mata bajak. Pengairan pada sawah disesuaikan dengan kondisi lahan dan kebutuhan.

Lahan sawah yang sudah diolah dengan menggunakan bajak maupun dengan menggunakan cangkul menjadi gembur dan berlumpur, tanah dibalik, rumput-rumput yang ada di permukaan menjadi terbenam serta bahan-bahan organik yang ada di permukaan ikut terbenam. Setelah lahan diolah maka lahan akan mudah untuk ditanami karena struktur tanah menjadi lebih baik dan mudah bagi akar tanaman untuk mencari unsur hara. Bentuk dan macam olahan tanah berbeda karena kondisi dan kemiringan setiap lahan yang akan ditanami itu berbeda. Misalnya pada lahan yang sempit atau pada lahan yang berada di daerah pegunungan diolah dengan menggunakan cangkul, karena tidak mungkin untuk dijangkau oleh traktor.

(26)

Pengolahan tanah sebelum ditanami bertujuan untuk : a. Menciptakan kondisi fisik, kimia dan biologis tanah yang lebih baik. b. Membunuh gulma dan tanaman yang tidak diinginkan.

c. Menurunkan laju erosi

d. Meratakan dan mencampur guludan tanah untuk memudahkan pekerjaan. e. Mencampur dan meratakan pupuk dengan tanah.

f. Mempersiapkan pengaturan irigasi dan dirainase.

g. Membunuh serangga, larva dan bibit hama penyakit lainnya dengan perubahan kondisi lingkungan dan sinar matahari.

h. Untuk membuat tanah menjadi berlumpur.

i. Menempatkan sisa-sisa tanaman pada tempat yang sesuai

Dari 20 lokasi pengambilan sampel di desa Genjahan, yang merupakan lahan sawah adalah lokasi-lokasi sebagai berikut :

1. Lokasi 2 : Susukan IV (07.57379 / 110.42248 Elv 229 m) 2. Lokasi 10 : Simo II (07.57411 / 110.43018 Elv 227 m) 3. Lokasi 11 : Simo I (07.57561 /110.42539 Elv 236 m) 4. Lokasi 12 : Simo II (07.57550 / 110.43050 Elv 236 m) 5. Lokasi 16 : Kerjo II (07.58248 / 110.42293 Elv 227 m) 6. Lokasi 17 : Kerjo II (07.58167 / 110.42443 Elv 217 m) 7. Lokasi 18 : Susukan I (07.58075 / 110.42184 Elv 224 m) 8. Lokasi 19 : Susukan II (07.58062 / 110.424040 Elv 227 m) 9. Lokasi 20 : Susukan III (07.57546 / 110.42314 Elv 226 m)

(27)

30 Tabel 2.2. Hasil pengujian sampel tanah sawah

Parameter Satuan T 2 T 10 T 11 T 12 T 16 T 17 T 18 T 19 T 20 Ketebalan solum Cm 40 25 30 50 60 40 40 40 40 Kebatuan Permukaan % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tekstur: Pasir kasar % 5,83 2,50 5,74 3,59 3,42 2,24 2,42 1,71 4,68 Debu % 91,78 93,07 92,07 95,00 94,05 94,81 94,33 96,70 91,07 Lempung % 2,39 4,41 2,19 1,41 2,53 2,95 3,25 1,59 4,25

Kelas tekstur - Debu Debu Debu Debu Debu Debu Debu Debu Debu

pH H2O - 8,36 8,17 7,88 8,32 8,20 8,10 8,23 8,33 8,18

Redoks mV 212 196 174 208 199 193 203 210 198

DHL µmhos/cm 411 187,6 116,9 188,6 414 104,8 395 486 135,4

Permeabilitas cm/jam 0,20 10,55 0,33 0,10 8,74 2,48 0,11 0,08 1,99

Kelas

permeabilitas - Lambat Agak cepat Lambat Sangatlambat Agak cepat Sedang Sangatlambat SangatLambat Lambat

Berat volume gr/cc 1,56 1,87 1,88 1,90 1,89 2,04 1,69 1,74 2,05

Berat Jenis 2,55 2,69 2,63 2,59 2,57 2,66 2,68 2,65 2,62

Porositas % 38,82 30,48 28,55 26,64 26,46 23,31 36,94 34,34 21,76

Jumlah

Mikroba cfu/g tanah 8,10×10

(28)

Hasil pengujian kualitas tanah di lahan sawah dapat dilihat pada tabel 2.2. Tumbuhan akan lebih leluasa menyerap air, hara dan mempertahankan tubuhnya agar tidak tumbang apabila ruang gerak akarnya longgar. Ruang gerak akar dalam tanah diperankan oleh jeluk efektif (effective depth) yang dikenal sebagai solum tanah. Solum tanah sangat bervariasi dari jenis tanah dan tingkat genesisinya. Tanah yang selalu tererosi dapat sangat dangkal solumnya (kurang dari 10 cm), sedangkan tanah yang lanjut berkembang tanpa erosi dapat mencapai ketebalan solum lebih dari 10 m. Kedalaman efektif dibatasi oleh berbagai faktor pembatas, ada yang bersifat permanen (padas, bahan induk, lapisan pirit) dan ada pula yang bersifat dapat dikelola (misalnya air tanah dangkal, lapisan kontras, dll). Tebal tanah kurang dari 20 cm dianggap sebagai limit zona rizofir yang berkaitan dengan penyediaan hara dan air dalam tanah.

Dari tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa ketebalan solum di lahan sawah yang dipantau berkisar antara 25 - 60 cm. Tanah yang memiliki lapisan solum paling tebal adalah di lokasi 16 (Pati), sedangkan yang solumnya paling tipis adalah tanah di lokasi 10 (Simo II). Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis ketebalan solum untuk kerusakan lahan adalah bila ketebalan solumnya kurang dari 20 cm. Dari hasil pengamatan ketebalan solum tanah di lahan sawah yang dipantau tersebut tidak ada yang melebihi ambang kritis.

Jumlah bahan bukan fraksi tanah di dalam solum tanah dapat mempengaruhi ruang gerak dan penyediaan hara tanaman. Bahan bukan tanah tersebut dapat berupa batu, lapisan kontras, keberadaan gipsum dan batu kapur serta bahan asing lainnya. Bahan-bahan tersebut dapat mengganggu bilamana berada di zona perakaran, sangat mengganggu bila jumlahnya mencapai lebih dari 40 %. Oleh karena itu berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis kerusakan tanah di lahan kering untuk kebatuan permukaan adalah bila persentase tutupan batu di permukaan tanah lebih dari 40 %. Dari hasil pengamatan kebatuan permukaan di lahan sawah yang dipantau, semuanya memiliki kebatuan permukaan sebesar 0 % atau dapat dikatakan bahwa di zona perakaran tanah sawah yang dipantau tidak terdapat bahan bukan tanah.

Tekstur tanah adalah susunan dari besar butir tanah. Ukuran besar butir bahan penyusun tanah biasanya dipilahkan menjadi 7 kelompok (kelas), sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini :

Tabel 2.3. Diameter ukuran besar butir penyusun tanah

Sebaran Besar Butir Diameter limits (mm) (USDA classification)

Koloid Lempung (clay) Less than 0,002

Debu (silt) 0,002 – 0,05

Pasir sangat halus (very find sand) 0,05 - 0,10

Pasir halus(fine sand) 0,10 – 0,25

Pasir sedang (medium sand) 0,25 – 0,50

Pasir Kasar (coarse sand ) 0,50 – 1,00

(29)

Fraksi pasir merupakan salah satu komponen penyusun tekstur tanah di samping debu dan lempung (clay). Peranan tekstur sangat menentukan sifat tanah secara menyeluruh. Lempung dan bahan organik sangat berperan dalam penyimpanan dan penyediaan hara karena luas permukaannya yang sangat besar dan memiliki muatan. Fraksi halus berperan menyatukan butiran tanah membentuk agregat dan memegang lengas, sedangkan fraksi kasar berguna untuk menjaga keseimbangan udara – air dalam tanah. Keberadaan fraksi pasir lebih dari 80 % sebagai penyusun utama tekstur tanah menunjukkan potensi pemegangan hara dan air dalam tanah sangat rendah sehingga tidak mampu menunjang lingkungan tumbuh vegetasi atau tanaman secara umum.

Komposisi fraksi tanah merupakan perbandingan antara berat fraksi pasir kuarsitik dengan fraksi lempung dan debu. Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis untuk fraksi tanah adalah bila bahan penyusun tanah terdiri kurang dari 18 % koloid (lempung dan debu) dan lebih dari 80 % pasir kuarsitik. Dari hasil analisa bahan penyusun tanah (komponen fraksi) pada tanah sawah yang dipantau, komponen koloid (lempung dan debu) berkisar antara 94,17 – 98,29 %, sedangkan komponen pasir kuarsitik (pasir kasar) berkisar antara 1,71 - 5,83 %. Berdasarkan komponen fraksi tanah ini, tidak ada sampel tanah sawah yang melebihi ambang kritis. Sampel tanah yang memiliki komponen koloid terendah dan komponen pasir kuarsitik tertinggi adalah sampel T 2 (Susukan IV), sedangkan yang memiliki komponen koloid tertinggi dan komponen pasir kuarsitik terendah adalah sampel T 19 (Susukan II).

Apabila persentase pasir, debu dan koloid lempung di dalam tanah diketahui, maka kelas tekstur tanah dapat ditentukan. Penentuan kelas tekstur biasanya menggunakan segitiga tekstur sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 2.1. Hasil analisa sampel tanah sawah menunjukkan bahwa semua sampel tanah yang dipantau memiliki tekstur debu.

Gambar 2.1. Segitiga Tekstur

Berat volume (berat isi) tanah sebagaimana berat volume benda-benda lain adalah nisbah antara berat massa (padat) dengan volume total (volume padatan + volume pori) tanah. Berat volume merupakan ukuran tidak langsung dari pori tanah dan dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Berat volume tanah pasiran hanya berkisar antara 1,2 – 1,8 g/cm3, sedangkan tanah lempungan umumnya mempunyai nilai berat volume 1,0 –1,6 g/cm3.

(30)

Pengolahan tanah tidak mempengaruhi tekstur tanah, tetapi mempengaruhi struktur tanah. Pengolahan tanah biasanya menurunkan berat volume, tetapi pemadatan (compaction) meningkatkan berat volume. Peningkatan berat volume akan berarti juga penurunan pori tanah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kandungan lengas (air) tersedia dan aerasi (udara) tanah. Selain pemadatan, terjadinya sementasi (perekatan) partikel-partikel tanah disebabkan oleh bahan-bahan tertentu, misalnya sisa-sisa bahan-bahan pupuk (carrier) dapat meningkatkan berat volume tanah.

Ambang kritis berat volume tanah menurut PP RI No. 150 tahun 2000 adalah bila berat volumenya melebihi 1,4 g/cm3. Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa sampel tanah sawah yang dipantau memiliki berat volume berkisar antara 1,56 – 2,05 g/cm3. Sampel tanah yang memiliki berat volume terbesar adalah sampel T 20 (Susukan III), sedangkan berat volume terkecil dimiliki oleh sampel T 2 (Susukan IV). Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa semua sampel tanah sawah yang dipantau memiliki berat volume yang melebihi ambang kritisnya.

Tanah yang sarang (porous), lepas-lepas teragregasi dengan baik akan mempunyai berat volume yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tanah padat, mampat dan pejal. Hal ini karena pori tanah terisi oleh udara atau air yang mempunyai bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan bahan mineral penyusun tanah. Tanah pasiran mempunyai pori total yang lebih rendah daripada tanah lempungan, itulah sebabnya pada umumnya tanah pasiran mempunyai berat volume yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah lempungan.

Hasil analisa porositas total dari sampel tanah sawah berkisar antara 21,76 – 38,82 %, di mana porositas total terendah terdapat pada sampel T 20 (Susukan III), sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel T 2 (Susukan IV). Menurut PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis porositas total tanah adalah bila nilainya kurang dari 30 % atau lebih dari 70 %. Dari hasil analisa, dapat dilihat bahwa sampel T 11 (Simo I), T 12 (Simo II), T 16 (Kerjo II), T 17 (Kerjo II) dan T 20 (Susukan III) memiliki porositas total yang melebihi ambang kritis karena nilainya kurang dari 30 %. Hasil analisa porositas total sampel tanah sawah dapat dilihat pada grafik 2.1.

Derajat pelulusan air (permeabilitas) tanah adalah kemampuan bahan penyusun tanah untuk melewatkan cairan/larutan melalui pori-pori di dalam tanah. Permeabilitas tanah merupakan salah satu sifat tanah yang penting yang berkaitan dengan aliran air di dalam tubuh tanah, misalnya masalah rembesan dari dam (bendungan), drainase, dan pengisian kembali (recharge) sumur, dsb. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah, antara lain viskositas air, ukuran dan bentuk partikel tanah, tingkat kejenuhan dan void ratio. Void ratio adalah nisbah volume void dengan volume solid. Tetapi pada umumnya permeabilitas berbanding terbalik dengan kerapatan massa tanah.

(31)

Grafik 2.1. Porositas total sampel tanah sawah dibandingkan ambang kritisnya

Grafik 2.2. Derajat pelulusan air (permeabilitas) sampel tanah sawah dibandingkan ambang kritisnya

Permeabilitas sampel tanah sawah berkisar antara 0,08 – 10,55 cm/jam. Permeabilitas terendah terdapat pada sampel T 12 (Simo II), sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampet T 10 (Simo II). Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis permeabilitas tanah adalah bila nilainya di bawah 0,7 cm/jam atau di atas 8,0 cm/jam, dengan demikian, sampel tanah sawah yang dipantau sebagian besar memiliki permeabilitas yang melebihi ambang kritisnya, kecuali sampel T 17 (Kerjo II) dan T 20 (Susukan III). Sampel T 2 (Susukan IV), T 11 (Simo I), T 12 (Simo II), T 18 (Susukan I) dan T 19 (Susukan II) memiliki permeabilitas yang melebihi ambang kritis karena nilainya kurang dari 0,7 cm/jam, sedangkan sampel T 10 (Simo II) dan T 16 (Kerjo II) memiliki permeabilitas melebihi ambang kritis karena nilainya melebihi 8,0 cm/jam. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 T 2 T 10 T 11 T 12 T 16 T 17 T 18 T 19 T 20 Po ro sit as to tal (% )

Porositas total sampel tanah sawah

dibandingkan ambang kritisnya

Porositas total Ambang kritis Ambang kritis 0 2 4 6 8 10 12 T 2 T 10 T 11 T 12 T 16 T 17 T 18 T 19 T 20 Pe rm eab ili tas (c m /j am )

Permeabilitas sampel tanah sawah

dibandingkan ambang kritisnya

Permeabilitas Ambang kritis Ambang kritis

(32)

Kelas permeabilitas tanah (seri tanah) biasanya ditentukan oleh permeabilitas terendah dari lapisan tanah yang terdapat di dalam jeluk 1,5 m dari permukaan tanah. Kelas permeabilitas disajikan dalam tabel 2.4. berikut ini :

Tabel 2.4. Klasifikasi kecepatan infiltrasi

Klasifikasi Kecepatan Infiltrasi (inch/jam)

Sangat lambat (very slow) < 0,06

Lambat (slow) 0,06 – 0,2

Agak lambat (moderately slow) 0,2 – 0,6

Sedang (moderate) 0,6 – 2,0

Agak cepat (moderately rapid) 2,0 – 6,0

Cepat (rapid) 6,0 – 20,0

Sangat cepat (very rapid) > 20,0

Berdasarkan tabel di atas, sampel tanah sawah yang dipantau memiliki kelas permeabilitas yang cukup bervariasi, mulai dari sangat lambat sampai agak cepat. Sampel yang memiliki kelas permeabilitas sangat lambat adalah sampel T 12 (Simo II), T 18 (Susukan I) dan T 19 (Susukan II), yang memiliki permeabilitas lambat adalah sampel T 2 (Susukan IV), T 11 (Simo I) dan T 20 (Susukan III). Sampel T 17 (Kerjo II) memiliki kelas permeabilitas sedang, sedangkan sampel T 10 (Simo II) dan T 16 (Kerjo II) memiliki kelas permeabilitas agak cepat.

Tanah akan menunjukkan reaksi asam dan basa di dalam tanah. Reaksi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman lewat pengaruhnya terhadap ketersediaan unsur hara. Tanah dapat bereaksi asam atau basa (alkalis) tergantung pada konsentrasi ion H dan OH. Untuk mencirikan reaksi tanah tersebut digunakan istilah pH. pH tanah adalah logaritma negatif dari konsentrasi ion H+di dalam larutan tanah. pH tanah merupakan salah satu indikator yang baik dan cepat serta akurat untuk mengetahui sifat-sifat kimia tanah, status dan taraf ketersediaan hara dan taraf pelapukan yang telah berlangsung di dalam tanah. Selain itu nilai pH tanah dapat secara langsung digunakan untuk memberikan anjuran tentang pengapuran.

pH tanah juga penting dalam hubungannya dengan kehidupan biologi tanah. Pada pH rendah, beberapa unsur seperti Ca, Mg, K biasanya kurang tersedia, tetapi sebaliknya unsur-unsur tertentu seperti Fe, Al dan Mn sangat tersedia. Ketidak seimbangan ketersediaan hara ini akan sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.Kisaran pH kurang dari 4,5 atau lebih dari 8,5 mencerminkan tanah tersebut bermasalah. Bila pH kurang dari 4,5 akan terjadi keracunan alumunium dan bila pH lebih dari 8,5 akan terjadi ketidaktersediaan hara dalam kondisi seimbang.

Referensi

Dokumen terkait

- Apakah anda merasakan sebuah perbedaan yang cukup terasa dalam diri anda ketika sebelum anda mengalami terapi dan setelah anda mendapatkan terapi berkaitan dengan keinginan

Penelitian ini membandingkan tingkat kecemasan dua kelompok anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi yaitu kelompok intervensi (kelompok yang diberikan terapi

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, dan dari

Tidak adanya hubungan antara persepsi remaja terhadap harapan orangtua dengan pre stasi belajar kemungkinan disebabkan karena meskipun persepsi subyek dalam hal ini

Dari hasil analisis tersebut di atas dan simpulan yang diperoleh, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Dengan adanya kontribusi pengaruh

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proses tuturan ritual adat Mosooli, formula mantranya, serta fungsi ritual tersebut

Sejauh ini dalam proses desain, anda telah mengidentifikasi kebutuhan target audiens anda dan menentukan beberapa tujuan dan sasaran untuk pelatihan. Isi utama dari pendidikan

• EIS adalah sistem berbasis komputer untuk mendukung manajer puncak dalam mengakses informasi (dalam dan luar) secara mudah dan relevan dengan CSF (Critical Success Factor)