• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENGEMBANGAN SISTEM JARINGAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR DI ERA OTONOMI DAERAH 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP PENGEMBANGAN SISTEM JARINGAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR DI ERA OTONOMI DAERAH 1"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENGEMBANGAN SISTEM JARINGAN JALAN

NASIONAL DAN PROPINSI DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DI ERA OTONOMI DAERAH

1

Ofyar Z. TAMIN, Prof, Dr Rizal Z. TAMIN, Dr

Dosen/Peneliti Dosen/Peneliti

Departemen Teknik Sipil, ITB Departemen Teknik Sipil, ITB Jalan Ganesha 10, Bandung 40132 Jalan Ganesha 10, Bandung 40132

No Anggota HPJI: B-01322 Phone/Fax: 022-2502350

Phone/Fax: 022-2502350 E-mail: rzt@bdg.centrin.net.id

E-mail: ofyar@trans.si.itb.ac.id Muhammad ISNAENI, ST, MT Peneliti

Departemen Teknik Sipil, ITB Jalan Ganesha 10, Bandung 40132

Phone/Fax: 022-2502350

E-mail: isnaeni@trans.si.itb.ac.id

Abstrak

Program pembangunan pada suatu wilayah baik Nasional, Propinsi, maupun Kabupaten dalam mencapai visi dan misinya di masa mendatang, perlu didukung oleh tersedianya suatu sistem prasarana wilayah yang memadai. Sistem prasarana transportasi jalan sebagai infrastruktur dasar (basic infrastructure) merupakan prasyarat utama bagi terciptanya pergerakan ekonomi wilayah.

Desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah berdasarkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah harus ditangkap oleh Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai suatu tantangan dimana setidaknya pola perencanaan harus lebih memperhatikan adanya aspirasi daerah. Beberapa perubahan paradigma yang harus dipertimbangkan adalah: sentralisasi menjadi desentralisasi, pendekatan top-down menjadi bottom-up, kajian sektoral menjadi kewilayahan terpadu (regional), inspiratif menjadi aspiratif, mobilisasi menjadi aspiratif, homogenistik menjadi pluralistik, multimoda/antarmoda terpadu, dan lain-lain. Konsep pengembangan yang menggunakan pendekatan bottom-up akan lebih mencerminkan adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi wewenang pemerintahan. Penyediaan sistem jaringan transportasi yang dulunya selalu berorientasi pada perkembangan wilayah (development oriented) harus segera diimbangi dengan konsep pemerataan aksesibilitas (equity). Pengambilan keputusan harus mampu mencerminkan adanya kompromi dimana kehendak (aspirasi) daerah kabupaten/kota harus dipadukan dengan kebutuhan propinsi untuk menyelaraskan aspirasi tersebut secara lintas daerah dan sektoral.

Selain itu, kerangka sistem jaringan transportasi pada tingkat propinsi harus juga terkait dengan kerangka pengembangan tata ruang baik tingkat propinsi maupun nasional. Potensi, kendala, dan batasan yang harus diperhatikan dalam merencanakan sistem jaringan transportasi jalan, mengharuskan adanya suatu proses perencanaan yang matang dengan melibatkan semua pihak terlibat (stakeholders) serta kriteria evaluasi yang lebih luas, tidak hanya dalam skala ekonomis belaka.

Makalah ini akan menjelaskan secara rinci pengembangan sistem jaringan transportasi jalan yang dapat mengakomodir seluruh perubahan paradigma yang telah disebutkan diatas untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Beberapa kriteria pengembangan telah dihasilkan yang diturunkan berdasarkan persepsi dari seluruh stakeholder dimana bobot antar kriteria juga ditetapkan oleh mereka. Teknik Analisis-Multi-Kriteria (AMK) digunakan untuk menghasilkan perangkingan antar prioritas sesuai dengan kemampuannya dalam memenuhi tingkat kepentingan kriteria yang dikembangkan. Konsep pengembangan juga mempertimbangkan kebutuhan sistem jaringan transportasi jalan berdasarkan fungsi (arteri dan kolektor) dan berdasarkan kewenangan pengelolaan (nasional dan propinsi) di masa mendatang termasuk urutan pentahapannya (prioritas). Sehingga dihasilkan suatu sistem jaringan transportasi jalan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terintegrasi, efektif, dan efisien yang dapat menjadi acuan lebih lanjut bagi pengembangan sistem transportasi jalan kabupaten sehingga lebih dapat mendukung perkembangan perekonomian daerah yang lebih kecil di era otonomi daerah.

(2)

1. PENDAHULUAN

UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah akan merubah peran pemerintah pusat dari peran operator menjadi peran fasilitator. Peran fasilitator mengandung makna menciptakan kebijakan dan peraturan yang kondusif bagi timbulnya inovasi dan kreatifitas daerah serta menjamin terciptanya koordinasi dan sinergi antar daerah untuk meminimumkan birokrasi horizontal dan mencegah timbulnya konflik kepentingan antar daerah. Peran operator sepenuhnya akan didelegasikan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Bagi pemerintah daerah, tantangan desentralisasi bukan saja mengatasi kemampuan sumber daya dan teknis pengelolaan yang masih lemah, tetapi juga mencegah timbulnya birokrasi horizontal dan konflik kepentingan antar daerah. Kata kunci adalah adanya koordinasi intensif antar pemerintah kabupaten/kota di setiap propinsi, baik antar pemerintah kabupaten/kota maupun dengan pemerintah propinsi. Untuk itu, mutlak diperlukan adanya suatu dokumen perencanaan yang disepakati yang dapat menjamin integrasi antar daerah, basis data yang akurat, serta kebijakan yang konsisten, dan koheren.

Pengelolaan dan pengembangan sistem jaringan transportasi selama ini umumnya menghadapi permasalahan berikut:

• Terkesan dilakukan tanpa arah pengembangan yang pasti, karena kurangnya dukungan perangkat kebijakan baik dari pusat maupun daerah propinsi yang dapat dijadikan acuan yang disepakati; • Belum mengacu pada kebijakan pengembangan tata ruang baik di tingkat nasional maupun di

tingkat propinsi;

• Belum jelasnya keterkaitan antara sistem jaringan transportasi (khususnya jalan) di propinsi baik dengan sistem jaringan transportasi nasional maupun dengan sistem jaringan transportasi wilayah yang lebih kecil lainnya (kabupaten/kota);

• Terdapatnya kebijakan operasional dan invenstasi prasarana jaringan transportasi yang tumpang tindih, bahkan counter-productive satu dengan yang lainnya akibat koordinasi perencanaan yang belum melembaga. Problem koordinasi ini dapat menjadi lebih kontras jika otonomi daerah telah dijalankan di mana tugas propinsi sebagai koordinator antar kabupaten/kota akan berhadapan dengan kepentingan daerah.

Kenyataan di atas menyebabkan semakin mendesaknya kebutuhan akan adanya statement dan konsensus bersama mengenai bagaimana wilayah propinsi akan dikembangkan berikut sistem transportasi sebagai prasarana dasar (basic infrastructure). Dengan kata lain, platform perencanaan yang jelas harus dikembangkan dalam bentuk Sistem Transportasi Wilayah (Sistrawil) sebagai suatu acuan bagi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam mengembangkan sistem jaringan transportasi di masa mendatang secara terpadu.

Dengan demikian, pengembangan sistem jaringan transportasi di setiap propinsi diharapkan dapat mendukung visi pembangunan wilayah yang dituangkan dalam Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Rencana Strategis (Renstra) daerah propinsi dan kabupaten/kota. Dengan diberlakukannya UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maka setiap daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi lokalnya masing-masing melalui pengembangan Kapet atau kawasan andalan. Selain itu, diharapkan setiap daerah dapat pula memperhatikan keberlanjutan sistem transportasi yang ada, terutama transportasi darat, khususnya untuk terciptanya adanya pemerataan aksesibilitas ke setiap daerah kabupaten/kota, yang selanjutnya akan dapat mendukung program pengembangan Kapet atau kawasan andalan yang ada.

2. INTERAKSI TATA RUANG DAN TRANSPORTASI 2.1 Kebijakan tata ruang

Dengan landasan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai tata ruang melalui PP No. 47/1997 tentang Tata Ruang Nasional atau dikenal dengan RTRWN. RTRWN tersebut dimaksudkan sebagai pedoman perumusan kebijaksanaan

(3)

pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional yang menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah, serta keserasian antar sektor seperti: pariwisata, pertanian, perkebunan, industri, pertambangan, serta pertahanan keamanan, atau perbatasan.

RTRWN ini diharapkan menjadi payung dan acuan bagi setiap propinsi dalam mengembangkan tata ruang dalam skala yang lebih kecil yang dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). RTRWP menjadi acuan bagi rencana tata ruang yang lebih kecil yaitu skala kabupaten atau kotamadya (RTRWK), dimana selanjutnya RTRWK menjadi acuan bagi rencana tata ruang kawasan yang lebih kecil. Dengan kata lain, secara konseptual, pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dimana pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi, dan prioritas masyarakat daerah.

2.2 Kebijakan sistem transportasi

Dalam kaitannya dengan RTRWN, Departemen Perhubungan selaku lembaga perencana dan pengelola sistem transportasi di Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) sebagai pendukung implementasi dari RTRWN. Sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan, maka pelaksanaan Sistranas sangat membutuhkan adanya konsep antar moda secara terpadu untuk menciptakan keterkaitan wilayah pada skala nasional. Dasar hukum bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan strategi pengembangan sistem jaringan jalan adalah UU No. 13/1980 tentang jalan sedangkan bagi pengambil kebijakan sistem pergerakan lalulintas diatur dalam UU No. 14/1992 tentang lalulintas angkutan jalan.

Integrasi sistem transportasi nasional, bagaimanapun juga tidak terlepas dari dukungan sistem transportasi di daerah. Dalam kaitan dengan sistem transportasi wilayah, perencanaan sistem transportasi wilayah tersebut diarahkan dalam usaha mendukung RTRW di wilayah masing-masing dan tetap berada di bawah payung kebijakan pengembangan Sistranas.

2.3 Konsep perencanaan sistem transportasi wilayah dalam kaitannya dengan kebijakan tata ruang

Secara umum keterkaitan antara kebijaksanaan tata ruang dengan sistem transportasi pada berbagai tingkat dapat diperlihatkan pada gambar 1.

Gambar 1: Keterkaitan RTRW dan Sistem Tansportasi Wilayah pada berbagai tingkat Rencana Tata Ruang Nasional

(RTRWN)

Rencana Tata Ruang Wilayah Terpadu

(Pulau/Propinsi/Kawasan)

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) Jaringan Transportasi

Nasional

Sistem Transportasi Wilayah (Pulau/Propinsi/Kawasan) Jaringan Transportasi Wilayah

(Pulau/Propinsi/Kabupaten) Sistem Transportasi Kabupaten/Kota Jaringan Transportasi Kabupaten/Kota Sumber: Tamin (2000)

(4)

Dalam Sistranas, rencana Pusat Kegiatan Nasional diakomodir sebagai masukan dalam merencanakan sistem jaringan transportasi nasional secara multi-moda dimana penyediaan sarana dan prasarana transportasi diharapkan mampu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah unggulan. Dengan demikian, dalam mengkaji Sistem Transportasi Wilayah diperlukan adanya analisis terhadap potensi di Pusat Kegiatan Wilayah, yang meliputi: kawasan industri, pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan, sumber daya mineral, pariwisata, perumahan, dan perdagangan yang semuanya tertuang dalam RTRWP.

Sistem Transportasi Wilayah (Sistrawil) merupakan suatu landasan dan kerangka bagi penyusunan program pengembangan sistem jaringan transportasi di tingkat propinsi yang sudah mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik Nasional, Propinsi, maupun Kabupaten serta mengacu pula kepada Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) sehingga tidak terlepas dari sistem perwilayahan dan transportasi yang berlaku, dan bahkan dapat menjadi penunjang bagi pengembangan wilayah di masa mendatang.

Selanjutnya, sistem transportasi wilayah propinsi diharapkan akan menjadi payung dan acuan bagi setiap kabupaten dan kotamadya dalam mengembangkan sistem transportasi wilayah dalam skala yang lebih kecil yaitu skala kabupaten/kotamadya dengan tetap mengacu pada kebijakan penataan tata ruang yang tercakup dalam RTRWK. Selanjutnya, sistem transportasi regional kabupaten/kotamadya tersebut menjadi acuan bagi sistem yang lebih kecil yaitu sistem transportasi kawasan yang juga diharuskan mengacu pada rencana tata ruang kawasan.

Secara terstruktur kerangka pikir penyusunan sistem transportasi wilayah diharapkan memberikan gambaran mengenai rencana sistem transportasi dalam skala wilayah (propinsi maupun kabupaten/kotamadya) yang mampu mencerminkan keterpaduan antara berbagai rencana pengembangan wilayah dengan kebutuhan dan penyediaan pelayanan transportasi di wilayah yang bersangkutan.

3. USULAN KONSEP PERENCANAAN SISTEM TRANSPORTASI WILAYAH TERPADU Sistem transportasi merupakan prasarana dasar (basic infrastructure) bagi pelayanan masyarakat (public service) yang dampaknya bersifat multi-dimensional. Kemultian penyelenggaraan sistem transportasi, tidak hanya terkait dengan sistem multi-moda yang menyatukan serangkaian moda transportasi: darat, laut, dan udara, tetapi dalam perencanaannya juga harus mencerminkan keputusan yang dapat diterima semua pihak yang memiliki cara pandang yang berbeda (multi-facet), dengan mempertimbangkan variabel dampak dan manfaat yang beragam (multi-variables), melibatkan sejumlah pihak/insitusi yang mencerminkan aspek multi-sektoral.

Dalam level operasional, sejumlah permasalahan transportasi di tingkat propinsi membutuhkan adanya program penanganan yang terpadu, di mana skema program jangka pendek “idealnya” merupakan bagian dari skema jangka panjang dari rencana pengembangan sistem jaringan transportasi secara keseluruhan. Hal ini mengharuskan adanya dokumen perencanaan strategis sistem transportasi wilayah.

Dalam rangka membentuk suatu Sistem Transportasi Wilayah (sistrawil) yang terpadu dan berkesinambungan, maka pemecahan permasalahan sistem jaringan transportasi yang ada harus juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut (lihat gambar 2):

a. Isu otonomi daerah (meningkatkan peran kabupaten/kota) b. Sistem Transportasi Wilayah kawasan lebih luas

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) d. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota (RTRWP dan RTRWKab/Kota) e. Pengembangan sarana dan prasarana multi moda

Seiring dengan diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah maka akan terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem transportasi. Katakanlah dalam proses perencanaan jaringan transportasi nasional/propinsi tidak dapat lagi bersifat top-down dengan pemerintah pusat/propinsi sebagai aktor utamanya. Pendekatan bottom-up akan lebih cocok untuk

(5)

mencerminkan adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi wewenang pemerintahan ke Kabupaten/Kota.

Gambar 2: Masalah sistem jaringan transportasi dan kaitannya dengan isu yang berkembang Untuk itu, dalam mengembangkan kebijakan yang akan tertuang dalam sistem transportasi wilayah setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Partisipatif: dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka bagaimanapun juga aspirasi dan keinginan dari kabupaten/kota harus dipertimbangkan. Namun demikian, penyelenggaraannya harus tetap dalam konteks pengembangan sistem jaringan transportasi wilayah propinsi atau nasional.

2. Bertahap: sesuai dengan kemampuan pendanaan yang ada, maka tidak memungkinkan semua keinginan dalam mengembangkan sistem jaringan transportasi dapat diwujudkan sekaligus. Untuk itu, pelaksanaan pembangunan harus dilakukan seara bertahap sesuai dengan prioritas.

Butir (1) mengimplikasikan bahwa dalam perencanaan program pengembangan sistem jaringan transportasi, sekarang ini perlu adanya perubahan strategi setidaknya untuk menyikapi desentralisasi di era otonomi daerah. Paradigma perencanaan harus lebih partisipatif yang mampu mencerminkan adanya kesepakatan dari semua pihak yang terlibat, baik dari tingkat nasional dan propinsi, maupun dari kabupaten/kota.

Butir (2) mengimplikasikan perlunya dikembangkan suatu alat bantu pengambianl keputusan yang mampu menyusun usulan program pengembangan sistem jaringan transportasi sesuai dengan prioritas yang sudah menjadi kesepakatan bersama yang telah dicapai pada butir (1). Untuk menyusun daftar prioritas tersebut, dibutuhkan adanya sejumlah krirteria yang mampu menyeleksi usulan yang ada secara fair dan telah memperhatikan keinginan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Salah satu pendekatan perencanaan yang memungkinkan diakomodasikannya sejumlah kepentingan dan sejumlah kriteria dalam proses pengamlbilan keputusan adalah Analisis Multi-Kriteria (AMK).

3.1 Konsep Perencanaan Partisipatif

Berpulang pada keterkaitan antara pengembangan tata ruang dan sistem jaringan transportasi, mulai dari tingkat nasional (RTRWN dan Sistranas), sampai dengan tingkat wilayah kabupaten/kota (RTRWK

OTDA Pera ISTR SAN L N n Kab/Kota S AWIL KAWA EBIH LUAS TT,NTB, Bali MASALAH SISTEM JARINGAN TRANSPORTASI SISTRAWIL PROPINSI NTT RTRWN/ SISTRANAS RTRWP/ RTRW Kab/Kota MULTIMODA

(6)

dan Sistem Transportasi Wilayah Kabupaten/Kota) dan berlakunya otonomi daerah (berdasarkan UU no. 22 tahun 1999), maka strategi kebijakan pengembangan sistem jaringan transportasi sudah harus mulai meninggalkan pendekatan top-down, dengan pemerintah pusat sebagai aktor utamanya, dan lebih banyak menggunakan pendekatan bottom-up yang lebih mencerminkan adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi wewenang pemerintahan.

Selain itu, strategi kebijakan pengembangan system transportasi wilayah yang melibatkan banyak pihak sebagai suatu committed master-plan sudah harus dilaksanakan, karena keterkaitan antara sektor transportasi dengan sektor kewilayahan mengharuskan pengelolaannya tidak bisa dilakukan oleh satu pihak yang berwenang.

Namun demikian sesuai dengan konsep Sistranas yang terpadu secara nasional, pengembangan system jaringan transportasi di tingkat daerah harus tetap mengacu kepada pola tata ruang dan sistem transportasi secara nasional. Hal ini menunjukkan aspek perencanaan yang bersifat top-down, di mana konsep pengembangan secara makro di tingkat pusat harus tetap diacu. Dengan demikian, pengembangan system jaringan transportasi wilayah di tingkat propinsi dan tingkat di bawahnya sebaiknya dilakukan sebagai gabungan antara pendekatan bottom-up dengan top-down. Dalam pengertian lain, kedua pendekatan tersebut sering diasosiasikan terhadap sumber identifikasi masalah itu berasal. Bottom-up dimaksudkan untuk mendapatkan masukan permasalahan yang teridentifikasi langsung dari analisis kualitatif tingkat bawah (operasional) maupun masyarakat, sedangkan top-down berupa hasil identifikasi masalah yang diperoleh dari pengamatan manajemen tingkat atas, perencana, pakar atau pengamat lainnya di tingkat pusat.

Secara top-down masalah dapat diidentifikasi dari kesenjangan antara kondisi yang menjadi harapan/tujuan dengan kondisi yang terjadi sekarang. Bila diinginkan terukur, tengantung cakupan tujuan, tujuan/harapan yang kualitatif/abstrak, perlu diterjemahkan menjadi tujuan yang terukur (quantified objective), berupa indikator-indikator kinerja sistem.Secara umum usulan konsep dapat divisualisasikan melalui gambar 3. Konsep berawal dengan menangkap konsepsi otonomi daerah di mana masukan dari rencana pengembangan wilayah Kabupaten/Kota akan menjadi masukan utama dalam menyusun kerangka pengembangan Sistem Transportasi Wilayah Propinsi.

3.2 Analisis Multi-Kriteria (AMK) Dalam Pengembangan Konsep Sistrawil

Pengambilan keputusan dalam perencanaan sistem transportasi akan dihadapkan kepada sejumlah variabel yang kompleks sesuai sifat ke-multi-an dari sistem transportasi. Setidaknya keputusan yang diambil harus mampu mencerminkan adanya kompromi, di mana kehendak (aspirasi) daerah kabupaten/kota harus dipadukan dengan kebutuhan propinsi untuk menyelaraskan aspirasi tersebut secara lintas daerah dan lintas sektoral. Hal ini menjadi lebih kompleks karena Propinsi mengemban tugas dari pusat untuk mengkoordinasikan pengembangan sistem transportasi di daerah sehingga menjalin sistem transportasi yang terpadu.

Selain batasan normatif di atas terdapat juga batasan teknis yang harus dipertimbangkan seperti kebutuhan perjalanan, biaya penyediaan/ konstruksi/ operasi, dan besarnya manfaat ekonomi yang ditimbulkan dari usulan-usulan pengembangan yang diajukan. Di samping itu, dalam konteks pengembangan wilayah, sistem transportasi harus pula dilihat kinerjanya dalam mendukung pengembangan kawasan andalan yang ditetapkan.

Analisis Multi Kriteria (Multi Criteria Analysis) merupakan alternatif teknik yang mampu menggabungkan sejumlah kriteria dengan besaran yang berbeda (multi-variable) dan dalam persepsi pihak terkait yang bermacam-macam (multi-facet). Dalam penelitian ini teknik analisis multi kriteria digunakan untuk menganalisis dan melakukan prioritasi terhadap sejumlah usulan pengembangan sistem transportasi yang digali dari daerah. Bagan alir analisis multi kriteria ini disampaikan pada gambar 4.

(7)

Otonomi daerah

Desentralisasi

RTRWN dan SISTRANAS

Rencana strategis sistem transportasi: - Prediksi demand

- Identifikasi masalah

- Kebijakan Strategi Pengembangan - Indikasi Program Propeda Propinsi RTRWP Propinsi sebagai koordinator antar Kabupaten/Kota Penyerahan kewenangan ke daerah RTRWK (Kabupaten/Kota) Penyusunan Sistrawil Terpadu: - Proses bottom-up - Dinamis - Kebijakan konsensus Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Propinsi Keterpaduan jaringan: - antar moda - Antar wilayah - Antar institusi Keterangan: : Outstanding issues : Dynamic systems : Feed forward : Feed back

Gambar 3: Usulan penyusunan konsep Sistem Transportasi Wilayah Terpadu

Gambar 4: Proses AMK dalam penyusunan kebijakan pengembangan Sistem Transportasi Wilayah Aspirasi/rencana Kab./Kota dan Propinsi Alternatif usulan pengembangan jaringan transportasi Model (transportasi, ekonomi, sosial, dll) Kriteria2 pengem-bangan jaringan transportasi Konsep pengembangan jaringan transportasi (UU, PP, Perda, teori)

Persepsi pihak terkait di Kab/Kota dan Propinsi (wawancara)

Bobot antar kriteria pengembangan jaringan transportasi Indikator kinerja usulan pengembangan Penilaian ahli (Expert judgement) Penilaian kinerja rencana pengembangan Analisis multi kriteria (AMK) Rangking/prioritas alternatif sbg masukan penyusunan kebijakan Optional

(8)

Alternatif usulan pengembangan diperoleh dari hasil survei ke daerah dan propinsi, yang kemudian dengan model transportasi akan diperkirakan kinerjanya sepanjang waktu tinjauan. Tampilan kinerja tersebut akan dinilai oleh para pakar (expert judgement) terhadap kriteria pengembangan yang disarikan dari konsep pengembangan jaringan jalan, seperti dari Sistranas, RTRW, dan kebijakan lainnya. Kriteria pengembangan dipersepsikan kepada para pengambil keputusan di daerah untuk menghasilkan bobot relatif tingkat kepentingan antar kriteria. Melalui proses AMK akan diperoleh perangkingan antar prioritas sesuai dengan kemampuannya dalam memenuhi tingkat kepentingan kriteria yang dikembangkan.

3.3 Spesifikasi Kriteria

Hasil analisis pemodelan transportasi hanya memberikan indikasi kinerja secara teknis dari setiap alternatif sistem yang diusulkan. Dalam konteks pengembangan sistem transportasi yang luas, maka indikasi kinerja secara teknis tidak cukup untuk menunjukkan dampak adanya perubahan dalam sistem transportasi terhadap masyarakat. Kriteria pengembangan sistem transportasi dapat dispesifikasi dari sasaran pengembangan sistem transportasi tersebut. Dalam hal ini, sasaran pengembangan sistem transportasi wilayah terpadu di propinsi Jawa Barat adalah untuk menciptakan sistem transportasi yang terpadu, efisien dan efektif dalam menunjang perkembangan wilayah.

Dalam sasaran tersebut kata terpadu dapat diartikan sebagai keterpaduan antar-moda, antar-daerah, antar-institusi penyelenggara dalam hirarki yang sesuai. Kata efisien dapat diterjemahkan menjadi biaya penyediaan dan operasional yang murah namun kapasitas tetap mencukupi kebutuhan perjalanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan efektif dalam menunjang perkembangan wilayah diterjemahkan dalam konteks pemerataan aksesibiltas/koneksitas ke seluruh wilayah, menunjang pengembangan kawasan andalan.

Dari sasaran tersebut dapat dikembangan sejumlah kriteria (tentatif) yang berkenaan dengan pengembangan sistem transportasi wilayah, yakni:

(1) Akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan (flow function)

(2) Keterpaduan hirarki sistem jaringan transportasi (hierarchical integration) (3) Keterpaduan antar moda transportasi (multi-modal aspect)

(4) Pemerataan aksesibilitas dan koneksitas antar daerah (accessibility/connectivity) (5) Biaya penyediaan dan pengoperasian yang murah (cost efficiency)

(6) Efektifitas dalam mendukung pengembangan kawasan andalan (regional development) (7) Efektifitas dalam mendukung pengembangan core business (sectoral development)

Adapun ukuran kuantitatif/kualitatif yang dapat digunakan untuk mengkuantifikasi kinerja suatu usulan terhadap masing-masing kriteria tersebut disampaikan pada tabel 1. Data-data kuantitatif/kualitatif tersebut digunakan untuk menjustifikasi kondisi dan ekspektasi kinerja dari suatu usulan.

Kriteria ini diajukan kepada pihak-pihak terkait di instansi terkait baik Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota untuk menangkap persepsi mereka terhadap tingkat kepentingan antar variabel yang diusulkan. Dengan demikian bobot antar kriteria perencanaan didasarkan atas persepsi pengelola di wilayah setempat, dan bukanlah hanya berdasarkan intuisi saja. Dengan menggunakan kriteria-kriteria yang telah diberi nilai tersebut, beberapa usulan pengembangan jaringan jalan di NTT (yang dihasilkan dari analisis penyediaan dan kondisi jalan) dapat dinilai kinerjanya secara komprehensif. Penilaian dilakukan dengan memberikan nilai pemenuhan untuk masing-masing usulan terhadap kriteria-kriteria tersebut. Penilaian ini diberikan oleh beberapa pakar (expert) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam perencanaan dan dianggap mampu memberikan penilaian secara obyektif.

(9)

Tabel 1: Kriteria dan Variabel Kriteria yang Dipertimbangkan dalam Menyusun Program Pengembangan Jaringan Jalan N/P di Propinsi Nusa Tenggara Timur

No Kriteria Variabel

1 Akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan (flow function)

(1.a) Volume lalulintas ruas jalan/LHR (smp/hari) (1.b) Kapasitas ruas jalan (smp/jam)

(1.c) Kecepatan ruas jalan (km/jam) 2 Keterpaduan hirarki sistem jaringan

jalan (hierarchical integration) (2.a) Fungsi jalan (A, K, L) (2.b) Kelas jalan (I, II, IIIA, IIIB, IIIC) (2.c) Status jalan (N, P, K)

3 Keterpaduan antar moda transportasi

(multi-modal aspect) (3.a) Jumlah pelayanan AKDP yang melalui (rute) (3.b) Menghubungkan bandara, pelabuhan, terminal 4 Pemerataan aksesibilitas dan

koneksitas antar daerah (accessibility/connectivity)

(4.a) Membuka isolasi daerah (4.b) Jalan alternatif antar kota 5 Biaya penyediaan dan pengoperasian

yang murah (cost efficiency) (5.a) Biaya penanganan jalan (Rp) (5.b) Ekspektasi penghematan biaya perjalanan (BOK dan nilai waktu) dengan adanya perbaikan jalan (Rp)

6 Efektifitas dalam mendukung pengembangan wilayah (regional development)

(6.a) Menghubungkan kota jenjang I, II, III

(6.b) menghubungkan kawasan strategis propinsi (Kapet, Kaw. Industi, Kaw. Pertanian, dll)

7 Kesiapan daerah (Kab/Kota) dalam mendukung efektif dan efisiennya program pengelolaan jaringan jalan (support system)

(7.a) Keberadaan rencana/implementasi pengembangan ekonomi wilayah dalam rencana daerah yang dilalui jalan tersebut

(7.b) Kondisi perekonomian wilayah setempat

IV. ANALISIS KEBUTUHAN PENANGANAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

4.1 Mekanisme analisis

Untuk menyusun daftar kebutuhan penanganan jalan maka perlu dikembangkan suatu mekanisme analisis yang komprehensif untuk dapat menilik kondisi jaringan jalan Nasional/Propinsi (N/P) yang ada (baik secara fisik maupun kualitas pelayanannya). Kemudian berdasarkan kecenderungan ataupun arahan pengembangan wilayah di masa yang akan datang dan daftar kebutuhan penanganan yang ada secara umum akan dapat disusun program penanganan jalan N/P, tentu saja dengan prioritasi sesuai tingkat urgensi penanganan dan adanya batasan kemampuan keuangan.

Pernyataan diatas dapat diekspresikan dalam butir-butir langkah penyusunan program penanganan jalan sebagai berikut:

(1) Mengidentifikasi kondisi fisik dan operasional jaringan jalan N/P yang ada di Propinsi NTT, yang meliputi:

a. Kondisi fisik perkerasan jalan secara umum (baik/sedang/buruk/sedang) dan secara lebih spesifik seperti IRI, lebar, dan kondisi geometrik jalan

b. Konfigurasi fungsional jalan (arteri/kolektor/lokal) disesuaikan dengan idealisasi hirarki pelayanan jalan dan keterpaduan antar moda serta rencana pengembangan wilayah.

(2) Dari hasil butir (1) akan diperoleh daftar (listing) kebutuhan penanganan dan pengembangan jalan di mana dari butir (1.a) akan dihasilkan kebutuhan penanganan jalan berupa pemeliharaan, peningkatan, dan pelebaran jalan, sedangkan dari butir (1.b) akan diperoleh kebutuhan pembangunan jalan maupun perbaikan sistem fungsional jalan yang ada di propinsi NTT.

(3) Dari daftar kebutuhan pengembangan dan pengelolaan jalan N/P dari butir (2) di atas maka akan dapat disusun program penanganan jalan N/P dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut ini:

a. Tingkat urgensi penanganan jaringan jalan N/P dan manfaatnya bagi pengembangan wilayah secara keseluruhan

b. Batasan dana yang ada

(4) Hasil dari butir (3) akan dapat disusun rekomendasi berupa rencana pengembangan dan pengelolaan jalan yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pendanaan yang ada.

(10)

4.2 Identifikasi Kebutuhan Penanganan Jalan N/P

Untuk mengidentifikasi kebutuhan penanganan jalan N/P, maka diperlukan adanya analisis mengenai kondisi fisik dan pelayanan jalan yang ada saat ini. Sehingga atas dasar analisis ini akan dapat disusun kebutuhan penanganan jalan di masa datang. Dalam idealisasi pelayanan jalan sebagai sistem infrastruktur dasar (basic infrastructure) maka di era otonomi daerah, pemerintah pusat telah mendelegasikan sejumlah kewajiban pelayanan masyarakat kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini untuk menjaga terpenuhinya kualitas pelayanan kepada masyarakat, khususnya yang terkait dengan transportasi jalan, departemen teknis terkait (Dept. Kimpraswil) telah mengeluarkan SPM (standar pelayanan minimum) jalan. SPM jalan ini secara konseptual diharapkan menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan jaringan jalan di wilayahnya. Detail dari SPM jalan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2: SPM Jaringan dan Ruas Jalan di Indonesia

No. Standar Pelayanan Keterangan

Kuantitas Bidang

Pelayanan

Cakupan Konsumsi/Produksi Kualitas 1. II. Jaringan Jalan

Kepadatan Penduduk

(jiwa/km2) Indeks Aksesibilitas

Panjang jalan/luas (km/km2) sangat tinggi >5000 >5 tinggi > 1000 >1.5 sedang > 500 >0.5 rendah > 100 >0.15 A. Aspek

Aksesibilitas seluruh jaringan

sangat rendah < 100 >0.05 PDRB per kapita (juta

rp/kap/th) Indeks Mobilitas sangat tinggi >10 >5

tinggi > 5 >2 sedang > 2 >1 rendah > 1 >0.5 B. Aspek

Mobilitas seluruh jaringan

sangat rendah < 1 >0.2

panjang jalan/ 1000 penduduk

pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1 100.000 km. kend.Kecelakaan/ Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 sedang > 500 rendah > 100 C. Aspek

Kecelakaan seluruh jaringan

sangat rendah < 100

Indeks Kecelakaan 2

kecelakaan/ km/ tahun

2 III. Ruas Jalan

Lebar Jalan

Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan 2x7m lhr > 20000 sedang; iri < 6; rci > 6.5 7m 8000 > lhr > 20000 sedang; iri < 6; rci > 6.5 6m 3000 >l hr > 8000 sedang; iri < 8; rci > 5.5

A. Kondisi Jalan

4.5m lhr < 3000 sedang; iri < 8; rci > 5.5 Fungsi Jalan Pengguna Jalan Kecepatan Tempuh Min

arteri primer lalu lintas regional jarak jauh 25 km/jam kolektor primer lalu lintas regional jarak sedang 20 km/jam

lokal primer lalu lintas lokal 20 km/jam arteri sekunder lalu lintas kota jarak jauh 25 km/jam kolektor sekunder lalu lintas kota jarak sedang 25 km/jam B. Kondisi

Pelayanan

lokal sekunder lalu lintas lokal kota 20 km/jam Sumber: Departemen Kimpraswil, 2001

(11)

SPM di bidang jalan ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan, dimana ukurannya merupakan indicator umum (common indicator) yang diinginkan oleh pengguna. Basis SPM dikembangkan dari 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan, yakni:

(1) kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang) (2) tidak macet (lancar sepanjang waktu), dan

(3) dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan) 4.3 Jenis Penanganan Jalan

Dalam kebijakan pengembangan dan pengelolaan jalan terdapat sejumlah kegiatan atau terminologi kegiatan yang lazim dilakukan, yakni:

(1) Pembangunan jalan (new road construction) (2) Pemeliharaan jalan (road maintenance), dan (3) Peningkatan jalan (road betterment)

Dalam hal ini pelebaran jalan akan dimasukkan ke dalam pekerjaan pembangunan jalan, karena skala kegiatannya yang cukup besar. Di dalam tinjauan manajemen pada proyek konstruksi (jalan) maka kegiatan pengelolaan jalan terdiri dari rangkaian kegiatan mulai dari proses perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan supervisi konstruksi, pengoperasian sampai dengan pemeliharaan. Di dalam siklus tersebut membedakan antara proses investasi (perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan) dengan proses pemanfaatan jalan (operasi dan pemeliharaan). Dengan asumsi bahwa proses investasi telah dilakukan dengan benar maka kegiatan pemeliharaan harus dilaksanakan dengan tepat agar investasi yang dilakukan tidak sia-sia dan infrastruktur yang dibangun dapat memberikan pelayanan sesuai dengan rencana. Dengan demikian dalam pengelolaan jalan propinsi perlu dibedakan antara kegiatan investasi (pembangunan jalan baru) dan kegiatan pemeliharaan (peningkatan dan pemeliharaan). 4.4 Prioritas Penanganan Jalan

Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (budget constraint), maka prioritasi terhadap kegiatan yang sifatnya mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah yang sangat wajar, dan jika kondisi keuangan memungkinkan maka penyempurnaan kondisi aset yang ada (assets enhancement) merupakan pilihan kedua yang dapat diambil, dan jika benar-benar dana yang tersedia sangat besar penambahan aset baru (assets expansion) baru bisa dipikirkan. Logika ini merupakan hal yang sudah menjadi kewajaran dalam pengelolaan aset negara yang menjadi tulang punggung perekonomian negara.

Hal ini telah sesuai dengan program penanganan jalan yang telah dilakukan selama ini, dimana program tersebut bertujuan untuk mempertahankan kondisi perkerasan jalan agar tetap dapat melakukan fungsi layannya. Dalam pengertian ini, kegiatan pemeliharaan jalan merupakan kegiatan yang berfungsi untuk menjaga agar penurunan kondisi perkerasan jalan selama masa layannya sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kegiatan peningkatan berfungsi untuk mengembalikan kondisi perkerasan jalan, baik yang telah mencapai kondisi runtuh maupun yang baru mencapai kondisi kritis, ke kondisi awal. Sedangkan kegiatan pembangunan jalan merupakan kegiatan peningkatan kekuatan struktur perkerasan jalan dimana pada ruas jalan tersebut diperkirakan akan menanggung beban lalu lintas yang lebih besar di kemudian hari.

Pada saat ini, dana yang mampu disediakan oleh Pemerintah (Pusat/Daerah) dalam program penanganan jalan sangatlah terbatas. Artinya untuk kegiatan penanganan jalan, seperti kegiatan pemeliharan jalan yang seharusnya dilakukan rutin tiap tahun untuk seluruh ruas jalan, tidak bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Hal ini berarti, untuk kegiatan pemeliharaan jalan saja, tidak bisa dilakukan secara bersamaan atau perlu dilakukan pemilihan ruas jalan berdasarkan prioritasnya. Apalagi untuk kegiatan penanganan jalan yang memerlukan dana yang lebih besar seperti kegiatan peningkatan jalan dan pembangunan jalan. Terlebih untuk kegiatan pembangunan jalan, kemungkinan kegiatan ini merupakan prioritas terakhir bagi pemerintah dalam penanganan jalan. Namun demikian, semangat otonomi daerah juga memesankan adanya semangat untuk memberikan keadilan bagi daerah, khususnya yang penyediaan panjang jalannya masih sangat terbatas. Artinya, harus ada reservasi dana (terutama dari pemerintah pusat) yang diperuntukkan bagi pembangunan

(12)

jalan di daerah tertinggal, sebagai cerminan keadilan (equity).Dengan asumsi tersebut, maka kegiatan pemeliharaan jalan merupakan suatu keharusan (mandatory) yang diprioritaskan dalam pengelolaan jalan, sedangkan kegiatan peningkatan jalan dan pembangunan jalan merupakan kegiatan pilihan (optional) yang dapat dilakukan jika dana dapat disediakan.

Kata dana dapat disediakan perlu mendapatkan perhatian di mana kewajiban untuk membangun jalan sebenarnya juga merupakan kewajiban dari pemerintah dalam rangka menyediakan akses bagi kegiaatan bagi semua masyarakat secara merata di manapun berada. Dengan demikian kegiatan pembangunan jalan, untuk memenuhi SPM, harus tetap diusahakan penyediaan dananya oleh pemerintah dan ini dapat dimungkinkan karena kegiatan pembangunan jalan baru dan peningkatan jalan bukanlah merupakan kegiatan rutin yang setiap tahun harus disediakan dananya.

4.5 Aspek Aksesibilitas Jaringan Jalan di Propinsi NTT

Aspek aksesibilitas terkait dengan kemudahan suatu wilayah untuk dijangkau, tentu saja dalam hal ini melalui jaringan jalan yang ada. Dalam pengertian tersebut, maka satuan SPM-nya pun berupa proporsi antara panjang jalan yang disediakan dengan luasan wilayah daratan yang harus dilayani atau secara dimensional dipresentasikan oleh besaran km jalan/km2 wilayah. Besarnya nilai aspek aksesibilitas atau lebih dikenal sebagai indeks aksesibilitas divariasikan berdasarkan kepadatan penduduk di wilayah tersebut, artinya bahwa tingkat kepadatan penduduk yang berbeda dari beberapa wilayah akan membedakan tingkat kebutuhan jaringan jalan. Tabel 3 menyajikan hasil analisis aksesibilitas jaringan jalan di setiap Kabupaten/Kota di Propinsi NTT. Secara umum untuk seluruh Propinsi NTT terlihat bahwa jaringan jalan yang ada di propinsi ini dari sisi kuantitas relatif terhadap luas wilayah dan kepadatan penduduk telah mencukupi atau di atas nilai minimum yang ditetapkan dalam SPM jalan.

Tabel 3: Indeks Aksesibilitas Jaringan Jalan di Setiap Kabupaten/Kota di Propinsi NTT

No Kab/Kota Luas Penduduk Panjang Indeks aksesibilitas (km/km2) (km2) Jumlah Kpdtn/km2 jalan (km) Eksisting Mini + / - deviasi 1 Kabupaten Sumba Barat 4,051.92 342,138 84 1,165 0.29 0.05 + 0.24 2 Kabupaten Sumba Timur 7,000.50 179,014 26 1,390 0.20 0.05 + 0.15 3 Kabupaten Kupang 7,178.26 389,100 54 1,918 0.27 0.05 + 0.22 4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 3,947.00 384,930 98 1,602 0.41 0.05 + 0.36 5 Kabupaten Timor Tengah Utara 2,669.66 190,034 71 1,009 0.38 0.05 + 0.33 6 Kabupaten Belu 2,445.57 259,171 106 920 0.38 0.15 + 0.23 7 Kabupaten Alor 2,864.60 158,188 55 1,279 0.45 0.05 + 0.40 8 Kabupaten Flores Timur 3,079.23 283,770 92 1,265 0.41 0.05 + 0.36 9 Kabupaten Sikka 1,731.92 256,176 148 980 0.57 0.15 + 0.42 10 Kabupaten Ende 2,064.62 231,348 112 1,026 0.50 0.15 + 0.35 11 Kabupaten Ngada 3,037.88 218,282 72 1,355 0.45 0.05 + 0.40 12 Kabupaten Manggarai 7,136.40 593,290 83 2,324 0.33 0.05 + 0.28 13 Kota Kupang 160.34 221,095 1,379 563 3.51 1.5 + 2.01 PROPINSI NTT 47,368 3,706,536 78 16,796 0.35 0.05 + 0.30 Keterangan: + = di atas SPM - = di bawah SPM

Namun jika dilihat dari besarnya nilai indeks aksesibilitas per Kabupaten/Kota, indeks aksesibilitas eksisting yang ada hampir semuanya berada di bawah angka 1 km jalan per km2 luas pelayanan (kecuali untuk Kota Kupang yang angkanya telah mencapai 3,51 km/km2). Artinya bahwa di setiap km2 wilayah di propinsi NTT hanya tersedia jalan kurang lebih 0,35 km. Katakanlah ruas jalan yang ada tersebut dianggap lurus dan terdistribusi merata di seluruh wilayah maka jaringan jalan yang ada akan tidak terhubungkan (sebagai contoh lihat ilustrasi pada gambar 5). Secara jaringan, dengan memperhatikan ilustrasi pada gambar 5 di atas maka pada dasarnya minimal idealnya setiap bagian wilayah, katakan per 1 km2, harus terhubungkan dengan wilayah lainnnya. Dengan kata lain, sebenarnya di Propinsi NTT masih membutuhkan adanya penambahan panjang jalan, terutama untuk menjangkau wilayah terpencil. Strategi paling baik untuk menambah akses jalan ke setiap wilayah yang ada di Propinsi NTT adalah dengan memisahkan luas wilayah hutan dan kawasan lindung (yang

(13)

memang akses ke wilayah tersebut dibatasi) dan kemudian memeriksa keterhubungan wilayah yang dapat dikembangkan dengan jaringan jalan ke wilayah lainnya.

Gambar 5: Ilustrasi Kondisi Aksesibilitas di Propinsi Nusa Tenggara Timur

Suatu wilayah tidak terhubung dengan wilayah lainnya 0,35 km 1 km Dua wilayah terhubung, namun terisolasi dari wilayah lainnya

4.6 Aspek Mobilitas Jaringan Jalan di Propinsi NTT

Aspek mobilitas terkait dengan kemudahan seseorang untuk melakukan perjalanan, tentu saja dengan menggunakan jaringan jalan yang ada. Dalam pengertian tersebut, maka satuan SPM-nya pun berupa proporsi antara panjang jalan yang tesedia relatif terhadap jumlah penduduk yang harus dilayani (dalam hal ini per 1000 penduduk), atau dalam bahasa teknis diekspresikan dengan besaran km jalan/ 1000 penduduk. Besarnya nilai aspek mobilitas atau lebih tepat dikatakan sebagai indeks mobilitas ini divariasikan menurut PDRB perkapita penduduk di wilayah yang bersangkutan, artinya bahwa semakin tinggi PDRB suatu komunitas penduduk maka kebutuhan perjalanan per orangnya akan bertambah dan oleh karena itu kebutuhan akan jaringan jalan juga akan bertambah.

Hasil estimasi indeks mobilitas jaringan jalan untuk setiap Kabupaten/Kota di Propinsi NTT disampaikan pada tabel 4. Secara umum, di setiap Kabupaten/Kota di Propinsi NTT sudah berada pada tingkatan di mana kebutuhan penduduk akan mobilitas dengan menggunakan jaringan jalan sudah terpenuhi. Namun demikian jika dicermati bahwa pada dasarnya PDRB perkapita di Propinsi NTT masih cukup rendah hanya sekitar 35% dibandingkan dengan kondisi di seluruh Indonesia yang saat ini telah mencapai sekitar 2,1 juta Rp/penduduk/tahun.

Tabel 4: Indeks Mobilitas Jaringan Jalan di Setiap Kabupaten/Kota di Propinsi NTT

No Kab/Kota PDRB Nilai Konstan 1993 (jt Rp) Panjang jalan Indeks mobilitas (km/000 penduduk)

Jumlah Perkapita (km) Eksisting Minimum + / - deviasi

1 Kabupaten Sumba Barat 170,653 0.50 1,165 3.41 0.2 + 3.21

2 Kabupaten Sumba Timur 164,803 0.92 1,390 7.76 0.2 + 7.56

3 Kabupaten Kupang 349,302 0.90 1,918 4.93 0.2 + 4.73

4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 218,175 0.57 1,602 4.16 0.2 + 3.96

5 Kabupaten Timor Tengah Utara 126,363 0.66 1,009 5.31 0.2 + 5.11

6 Kabupaten Belu 165,784 0.64 920 3.55 0.2 + 3.35

7 Kabupaten Alor 111,657 0.71 1,279 8.09 0.2 + 7.89

8 Kabupaten Flores Timur 175,972 0.62 1,265 4.46 0.2 + 4.26

9 Kabupaten Sikka 190,689 0.74 980 3.83 0.2 + 3.63 10 Kabupaten Ende 183,479 0.79 1,026 4.43 0.2 + 4.23 11 Kabupaten Ngada 159,945 0.73 1,355 6.21 0.2 + 6.01 12 Kabupaten Manggarai 317,277 0.53 2,324 3.92 0.2 + 3.72 22 Kota Kupang 479,291 2.17 563 2.55 1.0 + 1.55 PROPINSI NTT 2,834,510 0.76 16,796 4.53 0.2 + 4.33 Keterangan: + = di atas SPM - = di bawah SPM

(14)

4.7 Sistem Fungsional Jaringan Jalan N/P di propinsi NTT

Jika dilihat dari rencana tata ruang wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, maka di Propinsi ini terdapat 3 kota pada Hirarki/Jenjang I, 14 kota dengan Hirarki/Jenjang II, dan 29 kota dengan Hirarki/Jenjang III. Selain itu propinsi NTT juga berbatasan dengan Propinsi NTB di sebelah barat dan di sebelah timur dengan Propinsi Maluku dan Negara Timor Leste.

Pedoman untuk menentukan fungsi jalan yang menghubungkan kota-kota tersebut dilakukan dari hirarki kota yang tertinggi yang akan dihubungkan. Adapun prosesnya sebagai berikut:

(1) Kota Hirarki I harus dihubungkan dengan Kota Hirarki I lain dan dengan Kota Hirarki II oleh rute jalan-jalan yang berfungsi arteri primer.

(2) Kota Hirarki II harus dihubungkan dengan Kota Hirarki II lain dan dengan Kota Hirarki III oleh rute jalan-jalan yang berfungsi kolektor primer.

(3) Jika letak suatu kota merupakan jalur atau rute yang menghubungkan dua kota yang hirarkinya lebih tinggi maka diasumsikan bahwa kota tersebut telah terhubungkan dengan sistem fungsi jalan yang benar.

Problem yang timbul untuk menetapkan fungsi jalan di propinsi NTT ini adalah bahwa kondisi geografisnya yang berupa kepulauan. Dengan kondisi ini maka jaringan jalan yang ada akan dihubungkan dengan lintas penyeberangan dengan fungsi yang sama seperti fungsi jalan yang dihubungkannya. Dengan menggunakan pengertian tersebut maka idealisasi sistem fungsional jalan secara skematis untuk Propinsi NTT dapat digambarkan seperti pada gambar 6 berikut.

4.8 Analisis Kondisi Ruas Jalan di Propinsi NTT

Berdasarkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Ruas Jalan di Indonesia (tabel 2) akan dikembangkan usulan penanganan jalan dari seluruh ruas jalan nasional dan propinsi di Propinsi NTT. Sesuai dengan SPM, usulan penanganan yang dibuat didasarkan pada (secara berurutan):

1. lebar ruas jalan

2. besarnya LHR (dalam kendaraan/hari)

3. kondisi tiap ruas jalan, yang digambarkan dengan prosentase dari kriteria kondisi baik, sedang dan rusak dari setiap jenis perkerasan jalan.

Usulan penanganan yang dibuat adalah dengan melakukan 2 kelompok rencana kegiatan (action-plan), yaitu:

1. melakukan kegiatan pelebaran jalan agar sesuai dengan SPM yang berlaku

2. melakukan kegiatan penanganan jalan yang disesuaikan dengan kondisi jalan yang ada. Kegiatan penanganan jalan yang dilakukan meliputi kegiatan pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, pekerjaan peningkatan dan kegiatan pembangunan jalan baru. Masing-masing kegiatan ini akan dilakukan apabila kondisi jalan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai berikut.

3. Seperti yang telah diuraikan pada awal sub bab ini, jenis kegiatan penanganan jalan terdiri dari kegiatan pelebaran dan penanganan kondisi jalan. Kegiatan pelebaran menggunakan acuan SPM ruas jalan, oleh karena itu setiap ruas jalan yang diperkirakan mempunyai lebar yang kurang dari ketentuan SPM, akan diusulkan untuk dilebarkan sampai dengan batas minimal. Sedangkan jenis penanganan kondisi jalan sangat tergantung pada besarnya prosentase kondisi jalan. Adapun kriteria dari jenis penanganan kondisi jalan ini bisa dilihat pada tabel 5.

Tabel 5: Kriteria Penanganan Jalan

No. Jenis Penanganan Kriteria

1. Pemeliharaan Rutin Jalan beraspal dengan kondisi baik minimum 70% dari total nilai kondisi, 2. Pemeliharaan Berkala Jalan beraspal dengan kondisi baik maksimum 70% dan minimum 50%

dari total nilai kondisi

3. Peningkatan Jalan beraspal dengan kondisi baik maksimum 50% dari total nilai kondidi 3. Pembangunan Jalan kerikil dan jalan tanah, atau jalan beraspal dengan beberapa

(15)

15

Gambar 6: Idealisasi Sistem Fungsional Jaringan Jalan di Propinsi NTT

Mataram Ruteng Bajawa Ende Maumere Larantuka Kalabahi Waikabubak Waingapu Kupang Soe Kefamenanu Lewaleba Mbay Baa Melolo Lewa Maritoing Dilli Lb Bajo Waikilibang Wewerang Baranusa Apui Oelolok Wini Weikelo Kenangar Kenangar Keterangan: : Kota Hirarki I : Kota Hirarki II : Kota Hirarki III

: Jalur/jalan arteri primer : jalur/jalan kolektor primer

Catatan: dalam hal ini jalan yang dimaksud termasuk juga jalur penyeberangan

Seba

Boru

Ngalu

Oekabiti Babau

(16)

4.9 Analisis Biaya Konstruksi Penanganan Jalan

Biaya konstruksi merupakan salah satu kriteria yang akan digunakan untuk menentukan tingkat prioritas penanganan jalan. Analisis biaya konstruksi yang akan dilakukan adalah dengan membagi biaya konstruksi berdasarkan jenis penanganan yang dilakukan. Sebagai acuan diasumsikan biaya penanganan jalan berdasarkan harga-harga per km konstruksi jalan sebagai berikut:

a. Biaya pembangunan jalan baru diasumsikan sebesar Rp 600.000.000,- per km b. Biaya peningkatan jalan diasumsikan sebesar Rp 550.000.000,- per km

c. Biaya pemeliharaan berkala diasumsikan sebesar Rp 20.000.000,- per km d. Biaya pemeliharaan rutin diasumsikan sebesar Rp 5.000.000,- per km

Patut dicatat, bahwa biaya pembangunan dan peningkatan jalan di atas adalah biaya konstruksi jalan tanpa persiapan tanah dasar (dianggap tanah dasar sudah cukup baik). Pada beberapa jalan beraspal, baik jalan nasional maupun jalan propinsi, dengan kondisi 100% baik, dianggap tidak dikenakan biaya penanganan jalan, sehingga dalam analisis biaya konstruksi ini, ruas jalan-ruas jalan tersebut tidak akan diperhitungkan. Selain asumsi-asumsi di atas, beberapa asumsi yang juga digunakan dalam perhitungan biaya konstruksi, terutama yang berkaitan dengan panjang tiap ruas jalan yang akan ditangani, adalah sebagai berikut:

a. Untuk pekerjaan pemeliharaan rutin, kegiatan dilakukan sepanjang ruas jalan yang bersangkutan b. Untuk pekerjaan pemeliharaan berkala, kegiatan hanya dilakukan untuk segmen jalan yang

mengalami kerusakan saja (hanya untuk jenis jalan beraspal saja)

c. Untuk pekerjaan peningkatan jalan dan pembangunan jalan baru, dengan menggunakan asumsi keterbatasan dana yang tersedia (budget constraint), maka kegiatan penanganan jalan pada umumnya akan dibagi menjadi tiga tahap (tiga tahun), terutama untuk ruas jalan-ruas jalan dengan panjang yang harus ditangani lebih dari 5 km.

V. PENYUSUNAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN NASIONAL/PROPINSI DI NUSA TENGGARA TIMUR

5.1 Pendekatan Pengambilan Keputusan Yang Digunakan

Seperti telah dibahas pada Bab II bahwa untuk menyusun program penanganan dan pengembangan jaringan jalan dibutuhkan adanya kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja usulan atau kebutuhan penanganan jalan. Atas dasar evaluasi tersebut, akan dapat dilakukan proses seleksi dan prioritasi dari rencana-rencana yang dibutuhkan atau yang diusulkan.

Umumnya dalam perencanaan pengembangan jaringan jalan selama ini selain atas dasar kelayakan ekonomi, umumnya faktor intuisi juga memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan pengelolaan jalan. Dengan pendekatan ini analisis penyusunan program pengembangan jaringan jalan umumnya hanya didasarkan kepada besaran ekonomi belaka, misalnya dengan indikasi ekonomi Net Present Value (NPV) atau Economic Internal Rate of Return (EIRR).

Makalah ini menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengambilan keputusan di mana pertimbangan tidak hanya didasarkan kepada faktor ekonomis tetapi juga didasarkan atas pertimbangan non-ekonomis, namun tidak hanya berdasarkan intuisi belaka. Kriteria prioritas suatu program juga mempertimbangkan mengenai kemungkinan dukungan fasilitas transportasi terhadap pengembangan wilayah, pemerataan aksesibilitas dan mobilitas wilayah, kesuaian dengan visi dan misi daerah dan lain sebagainya.

Pendekatan yang digunakan untuk penyusunan program pengembangan jaringan jalan adalah dengan Analisis Multi-Kriteria (MCA= Multi Criteria Analysis), di mana persepsi stakeholders menjadi pegangan dalam mengambil keputusan dan prioritas dalam penanganan jalan. MCA memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan proses pengambilan keputusan informal yang saat ini umum digunakan. Keuntungan tersebut antara lain:

- Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak berkepentingan,

- Variabel dan kriteria analisis yang digunakan dapat lebih luas, baik yang kuantitatif maupun yang kualitatif,

(17)

- Pemilihan variabel tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah jika dianggap tidak sesuai,

- Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak terkait yang dilibatkan, - Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan keputusan, diantara para

penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan masyarakat luas

Secara umum proses yang harus dilalui dalam proses AMK untuk aplikasi dalam perencanaan jaringan jalan di Propinsi NTT terdiri dari:

(1) Penyusunan alternatif usulan pengembangan jaringan transportasi. (2) Penyusunan kriteria pengembangan jaringan transportasi, dan (3) Analisis prioritas kegiatan pengembangan jaringan transportasi

Secara sederhana proses pengambilan keputusan tersebut direpresentasikan kembali seperti pada gambar 7 berikut ini.

Usulan pengembangan

Analisis

Multi Kriteria Prioritas Program Pengembangan Kriteria

pengembangan

Gambar 7: Proses Penyusunan Program Pengembangan Jaringan Jalan N/P di Propinsi NTT Sub-bab berikut akan disampaikan mengenai proses pengembangan kriteria perencanaan jaringan jalan dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan pendekatan AMK.

5.2 Kriteria Pengembangan Jaringan Jalan

Tujuh kriteria akan digunakan sebagai alat untuk menyusun prioritas pengembangan jaringan jalan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kriteria-kriteria tersebut diturunkan dari fungsi dan peran jalan dalam melayani kegiatan masyarakat. Ketujuh kriteria pengembangan jaringan jalan tersebut, yaitu:

a. Akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan b. Keterpaduan hirarki sistem jaringan jalan c. Keterpaduan antar moda transportasi

d. Pemerataan aksesibilitas dan koneksitas antar daerah e. Biaya penyediaan dan pengoperasian yang murah f. Efektifitas dalam mendukung pengembangan wilayah

g. Kesiapan daerah (kabupaten/kota) dalam mendukung efektif dan efisiennya program pengelolaan jaringan jalan.

Kriteria-kriteria pengembangan jaringan jalan tersebut perlu ditentukan tingkat kepentingannya sesuai dengan kondisi dan persepsi yang berkembang di propinsi NTT.

5.3 Distribusi Tingkat Kepentingan setiap Kriteria

Secara umum hasil survei wawancara penentuan prioritas kriteria tersebut dirangkum dalam gambar 8 berikut ini dalam suatu diagram distribusi frekuensi prioritas atau tingkat kepentingan dari setiap kriteria yang diajukan.

(18)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Prioritas 1 15 16 12 18 11 16 16 Prioritas 2 8 2 17 9 4 9 2 Prioritas 3 3 7 5 5 5 3 7 Prioritas 4 3 5 3 4 10 3 0 Prioritas 5 5 4 3 3 5 3 2 Prioritas 6 1 4 1 1 3 5 8 Prioritas 7 6 4 0 1 3 3 7 Akomodasi kebutuhan perjalanan Keterpaduan hirarki sistem Keterpaduan antar moda Pemerataan akses/ koneksitas antar Biaya penyediaan/ pengoperasian Dukungan pengembangan wilayah Kesiapan daerah (kab./Kota)

Gambar 8: Distribusi Prioritas Tingkat Kepentingan antar Kriteria di Propinsi NTT

Dari 42 responden, distribusi untuk prioritas 1 terjadi secara merata, di mana semua kriteria mendapat dukungan dari sekitar 10 s/d 20% responden. Sebanyak 17,3% responden menempatkan kriteria pemerataan aksesibilitas dan koneksitas antar daerah sebagai prioritas 1, disusul oleh keterpaduan hirarki sistem jaringan jalan, kriteria efektifitas dukungan terhadap pengembangan wilayah, dan kesiapan daerah (kab./kota) dalam mendukung efektifitas dan efisiennya program pengelolaan jaringan jalan yang masing-masing mendapat dukungan dari sekitar 15,4% responden. Sedangkan kriteria akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan, kriteria keterpaduan antar moda transportasi dan kriteria biaya penyediaan dan pengoperasian yang murah masing-masing mendapat dukungan dari sekitar 14.4%, 11.5%, 10.6% respoden.

Untuk prioritas 2 pilihan terbanyak diperoleh oleh kriteria keterpaduan antar moda transportasi yang dipilih oleh sekitar 33,3%. Dan selanjutnya untuk prioritas 3, 4, 5, 6, dan 7 dapat dlihat pada gambar 8 di atas. Terlihat bahwa distribusi tingkat kepentingan antar kriteria pada umumnya terkonsentrasi pada prioritas 4, dimana untuk prioritas 5 s/d 7 tidak banyak responden yang memilihnya. Hal ini berarti bahwa kriteria-kriteria perencanaan yang ada sebagian besar dipersepsi sangat penting oleh responden yang dipresentasikan oleh distribusi prioritas 1 s/d 4 yang sangat besar.

Secara umum dukungan para responden untuk kriteria pemerataan aksesibilitas dan koneksitas wilayah serta kriteria efektifitas dukungan terhadap pengembangan wilayah cukup besar untuk menempati prioritas 1 dan prioritas 2. Demikian juga untuk kriteria akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan dan kriteria keterpaduan antar moda yang juga mendapatkan dukungan yang cukup besar oleh para responden. Dengan hasil distribusi ini kemungkinan besar keempat kriteria tersebut akan menjadi kriteria dengan bobot yang cukup besar.

5.4 Bobot Kriteria Pengembangan Jaringan Jalan

Penentuan bobot setiap kriteria dilakukan dengan memberikan nilai tertentu untuk setiap prioritas yang diberikan oleh setiap responden. Sistem penilaian dilakukan sebagai berikut: prioritas 1 mendapatkan nilai 1/1, prioritas 2 mendapatkan nilai ½, prioritas 3 mendapatkan nilai 1/3, prioritas 4 mendapatkan nilai ¼, prioritas 5 mendapatkan nilai 1/5, prioritas 6 mendapatkan nilai 1/6, dan prioritas 7 mendapatkan nilai 1/7. Jumlah nilai tersebut untuk setiap responden dinormalisasi terhadap angka 1, sehingga total bobot nilainya adalah 1 dan akan terdistribusi untuk setiap kriteria sesuai dengan nilai yang diberikan oleh masing-masing responden.

Dengan memasukkan nilai tersebut kepada urutan prioritas yang diberikan oleh setiap responden, maka akan dapat diperoleh bobot setiap kriteria yang dipersepsikan oleh masing-masing responden.

(19)

Pada beberapa sub bab berikut disampaikan bahasan mengenai hasil pembobotan kriteria-kriteria tersebut menurut para responden berdasarkan penggolongan responden.

Dengan memperhatikan bobot tingkat kepentingan kriteria menurut kelompok responden (Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Masyarakat) yang disampaikan sebelumnya, maka untuk seluruh responden yang ada dapat diestimasi bobot relatif antar kriteria yang mencerminkan persepsi semua pihak. Dalam hal ini rata-rata bobot setiap kelompok responden dijumlahkan dan dinilai sama, sehingga diperoleh angka bobot antar kriteria secara keseluruhan seperti yang disampaikan pada tabel 6.

Tabel 6: Bobot antar Kriteria Secara Keseluruhan untuk Propinsi NTT Kriteria No Kelompok responden Akomod as i terhadap kebut uhan

perjalanan Keterpaduan hirark

i si st em jari ng an jal an Ket erpaduan

antar moda tran

sp or tas i Pemerataan akse sib ilit as/ kone ks itas antar daerah Biaya penyediaan/ pengoperasia n yang murah Ef ek tifi tas dukungan t hdp pengembangan w ilaya h (kab./kota) dlm menduku ng

efektif dan efisie

nnya pro gram 1 Propinsi 0.1178 0.1401 0.1022 0.1975 0.1088 0.1743 0.1593 2 Kabupaten/Kota 0.1580 0.1112 0.2282 0.1702 0.1050 0.1404 0.0869 3 Masyarakat 0.1378 0.1498 0.1094 0.1915 0.2205 0.0934 0.0976 Total 0.1379 0.1337 0.1466 0.1864 0.1447 0.1360 0.1146

Terlihat bawah untuk seluruh responden diperoleh bobot kriteria mulai dari yang tertinggi adalah sebagai berikut:

(1) kriteria pemerataan aksesibilitas dan koneksitas antar wilayah (dengan bobot 0,1864); (2) kriteria keterpaduan antar moda transportasi (dengan bobot 0,1466);

(3) kriteria biaya penyediaan dan pengoperasian yang murah (dengan bobot 0,1447); (4) kriteria akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan (dengan bobot 0,1379);

(5) kriteria efektifitas dukungan terhadap pengembangan wilayah (dengan bobot 0,1360); (6) Kriteria keterpaduan hirarki sistem jaringan jalan (dengan bobot 0,1337); dan

(7) Kriteria kesiapan daerah (kab./kota) dlm mendukung efektif dan efisiennya program pengelolaan jaringan jalan(dengan bobot 0,1146);

5.5 Variabel Penilaian Kinerja

Seperti telah dijelaskan bahwa variabel penilaian setiap rencana terhadap masing-masing kriteria perencanaan diusahakan sekuantitatif mungkin. Tabel 7 berikut ini menyampaikan kembali variabel penilaian kinerja tersebut.

Tabel 7: Variabel Penilaian Rencana Pengembangan Jaringan Jalan N/P di Propinsi NTT

No Kriteria Variabel

1 Akomodasi terhadap kebutuhan perjalanan

(flow function) (1.a) Volume lalulintas ruas jalan/LHR (smp/hari) (1.b) Kapasitas ruas jalan (smp/jam)

(1.c) Kecepatan ruas jalan (km/jam) 2 Keterpaduan hirarki sistem jaringan jalan

(hierarchical intergration) (2.a) Fungsi jalan (A, K, L) (2.b) Status jalan (N, P, K)

3 Keterpaduan antar moda transportasi

(multi-modal aspect) (3.a) Jumlah pelayanan AKDP yang melalui (rute) (3.b) Menghubungkan bandara, pelabuhan, terminal

4 Pemerataan aksesibilitas dan koneksitas

antar daerah (accessibility/connectivity) (4.a) Sumbangan terhadap indeks aksesibilitas (%) (4.b) Sumbangan terhadap indeks mobilitas (%) 5 Biaya penyediaan dan pengoperasian yang

murah (cost e ficiency)f (5.a) Biaya penanganan jalan (Rp) (5.b) Ekspektasi penghematan biaya perjalanan (BOK dan nilai waktu) dengan adanya perbaikan jalan (Rp)

6 Efektifitas dalam mendukung pengembangan wilayah (regional development)

(6.a) Menghubungkan kota jenjang I, II, III

(6.b) menghubungkan kawasan strategis propinsi (Kapet, Kaw. Industi, Kaw. Pertanian, dll)

7 Kesiapan daerah (Kab/Kota) dalam mendukung efektif dan efisiennya program pengelolaan jaringan jalan (support

sys em)t

Keberadaan rencana/implementasi pengembangan ekonomi wilayah dalam rencana daerah yang dilalui jalan tersebut

(20)

Proses penilaian kinerja suatu usulan terhadap kriteria pengembangan jaringan jalan dilakukan dengan memberikan skor yang dilakukan oleh pakar (expert judgement) yang berkompeten di bidang transportasi, khususnya jalan. Dalam hal ini skor diberikan dengan skala antara 0 s/d 10, di mana angka 10 diberikan untuk alternatif atau usulan pengembangan yang mampu memenuhi syarat kriteria yang tertinggi, dan sebaliknya angka 0 diberikan untuk penilaian terrendah (tidak ada kaitannya sama sekali dengan kriteria). Sehubungan dengan adanya kriteria yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, maka proses skoring untuk kedua jenis kriteria tersebut dibedakan. Adapun cara penilaian untuk masing-masing jenis variabel kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

a. Skoring terhadap Kriteria 1: Akomodasi Terhadap Kebutuhan Perjalanan

Terdapat 3 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) volume lalulintas, dalam smp/hari atau dikenal sebagai LHR, (b) Kapasitas ruas jalan (smp/jam), dan (c) Kecepatan ruas jalan (km/jam). Ketiga variabel tersebut merupakan variabel kuantitatif yang proses skoringnya dapat dilakukan melalui perbandingan langsung dari data-data yang ada di setiap ruas jalan yang bersangkutan.

b. Skoring terhadap Kriteria 2: Keterpaduan Hirarki Sistem Jaringan Jalan

Terdapat 2 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) Fungsi jalan (Arteri, Kolektor, Lokal), dan (b) status jalan (Nasional, Propinsi, dan Kabupaten).

c. Skoring terhadap Kriteria 3: Keterpaduan Antara Moda Transportasi

Terdapat 2 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) Jumlah pelayanan AKDP yang melalui ruas jalan tersebut (rute), dan (b) jumlah simpul pelabuhan, bandara, dan penyeberangan yang dihubungkan oleh ruas jalan tersebut (simpul).

d. Skoring terhadap Kriteria 4: Pemerataan Aksesibilitas dan Koneksitas antar Wilayah Terdapat 2 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) Sumbangan ruas jalan terhadap indeks aksesibilitas wilayah (%), dan (b) Sumbangan ruas jalan terhadap indeks mobilitas wilayah (%). Kedua variabel tersebut merupakan variabel kuantitatif sehingga proses skoring dilakukan dengan perbandingan langsung dari setiap ruas jalan.

e. Skoring terhadap Kriteria 5: Biaya Penyediaan dan Pengoperasian yang Murah

Terdapat 2 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) biaya penanganan jalan (Rp), dan (b) Manfaat penghematan biaya perjalanan (%). Kedua variabel tersebut merupakan variabel kuantitatif sehingga proses skoring dilakukan dengan perbandingan langsung dari setiap ruas jalan. f. Skoring terhadap Kriteria 6: Efektifitas dalam Mendukung Pengembangan Wilayah Terdapat 2 variabel yang digunakan sebagai penyusunnya, yakni: (a) menghubungkan kota jenjang I, II, III (kota, nilai), dan (b) Menghubungkan kawasan prioritas dan terisolir (jumlah kawasan). Variabel (a) harus melalui proses penilaian terlebih dahulu, sedangkan variabel (b) merupakan variabel kuantitatif sehingga proses skoring dilakukan dengan perbandingan langsung dari setiap ruas jalan. g. Skoring terhadap Kriteria 7: Kesiapan Daerah (Kab/Kota) dalam Mendukung Efektif

dan Efisiennya Program Pengelolaan Jaringan Jalan

Kriteria disusun berdasarkan variabel keberadaan rencana pengembangan yang memanfaatkan ruas jalan yang diusulkan ditangani.

5.6 Hasil Penilaian Kinerja

Dengan menggunakan metoda penilaian kinerja maka secara global dapat dinilai kinerja dari suatu usulan penanganan dan pengembangan jalan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam hal ini proses

(21)

penilaian kinerja dipisahkan untuk setiap jenis penanganan jalan, baik untuk pekerjaan pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, peningkatan jalan, dan pembangunan jalan baru.

Namun demikian, kegiatan pemeliharaan jalan, baik rutin dan berkala nantinya tidak akan dimasukkan ke dalam penyusunan program, karena program pemeliharaan jalan merupakan kelompok kegiatan untuk mempertahankan kondisi jalan yang ada (asset preservation). Kegiatan pemeliharaan jalan, baik rutin untuk menangani jalan yang kondisinya baik agar tetap baik dalam mendukung fungsi lalu lintas agar tetap lancar maupun pemeliharaan berkala untuk menjadikan jalan yang kondisinya sedang menjadi baik, merupakan rangkaian program pemeiliharaan yang sudah menjadi keharusan untuk dilakukan setiap tahun oleh penyelenggara jalan (mandatory program). Dengan demikian, kegiatan penilaian kinerja ruas jalan yang memperoleh pemeliharaan rutin dan berkala hanya untuk menunjukkan tingkat prioritas ruas jalan terhadap ruas jalan lainnya yang mendapat jenis penanganan yang sama.

Menurut sudut pandang instansi penyelenggara jalan, analisis penilaian kinerja ruas jalan yang akan ditingkatkan atau ruas jalan yang akan dibangun benar-benar dibutuhkan untuk mendapatkan urutan prioritas ruas jalan yang harus ditangani dikarenakan besarnya biaya peningkatan dan pembangunan jalan yang dibutuhkan, sedangkan di lain sisi biaya yang tersedia tidak sebesar biaya yang dibutuhkan. Di samping dilihat dari sisi ekonomi, diperlukan bukti-bukti lain yang akan memperkuat pendapat mengenai tingkat prioritas suatu ruas jalan terhadap ruas jalan yang lain. Bukti-bukti tersebut tertuang dalam kriteria-kriteria penanganan jalan. Terlihat bisa saja suatu ruas jalan mempunyai prioritas tinggi bukan dikarenakan biaya penanganannya yang lebih rendah, tetapi karena volume lalu lintas yang melalui ruas tersebut sudah tinggi atau karena indeks aksesibilitas dan mobilitas dari ruas jalan tersebut sudah tinggi.

VII. USULAN PROGRAM PENANGANAN JALAN

Usulan program penanganan jalan ini adalah mengacu pada urutan prioritas ruas-ruas jalan yang memerlukan penanganan baik yang berupa peningkatan jalan maupun pembangunan jalan baru, yang disesuaikan dengan ketersediaan biaya (baik yang berasal dari Rupiah murni maupun BLN) yang dialokasikan khusus pada sektor transportasi.

7.1 Prioritas Penanganan Jalan

Berdasarkan pada aturan penanganan jalan yang lazimnya dilakukan, prioritas penanganan jalan akan dilakukan secara berjenjang, dengan pengutamaan program penanganan jalan pada pekerjaan pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, peningkatan jalan dan pekerjaan pembangunan jalan baru. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pekerjaan pemeliharaan jalan (baik pemeliharaan rutin maupun berkala) umumnya tidak dimasukkan ke dalam program penanganan jalan, dikarenakan kegiatan pemeliharaan jalan merupakan kelompok kegiatan yang sudah menjadi keharusan untuk dilakukan setiap tahun oleh penyelenggara jalan (mandatory program). Sehingga dalam penentuan prioritas penanganan jalan ini hanya kegiatan peningkatan jalan dan pembangunan jalan baru (baik untuk jalan propinsi maupun jalan nasional) saja yang diperhitungkan.

7.2 Kebutuhan Anggaran Penanganan Jalan

Kebutuhan anggaran penanganan jalan biasanya besarnya tidak linear bertambah atau berkurang tiap tahun. Berdasarkan data-data sekunder yang diperoleh, biaya penanganan jalan yang dianggarkan untuk jalan propinsi di Propinsi NTT adalah sebesar Rp 38.158.000.000,- (TA 1999/2000) dan Rp 22.940.000.000,- (TA 2001) yang kesemuanya bersumber dari APBN, sedangkan untuk jalan nasional adalah sebesar Rp 47.026.000.000,- (TA 2001) dan Rp 63.144.000.000,- (TA 2002) (Sumber: proposal EIRTP-IBRD 2001/2003) yang merupakan BLN dengan Rupiah sebagai dana pendamping. Perkiraan anggaran tersebut dibuat dengan berpedoman pada kebutuhan anggaran atau rencana anggaran yang pernah ada. Untuk jalan propinsi, diperkirakan kebutuhan anggaran pada tahun-tahun rencana adalah sebesar Rp 35–40 milyar. Sedangkan kebutuhan anggaran untuk jalan nasional diperkirakan akan sebesar Rp 50–60 milyar.

Gambar

Gambar 1: Keterkaitan RTRW dan Sistem Tansportasi Wilayah pada berbagai tingkat Rencana Tata Ruang Nasional
Gambar 2: Masalah sistem jaringan transportasi dan kaitannya dengan isu yang berkembang  Untuk itu, dalam mengembangkan kebijakan yang akan tertuang dalam sistem transportasi wilayah  setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu:
Gambar 3: Usulan penyusunan konsep Sistem Transportasi Wilayah Terpadu
Tabel 1: Kriteria dan Variabel Kriteria yang Dipertimbangkan dalam Menyusun Program  Pengembangan Jaringan Jalan N/P di Propinsi Nusa Tenggara Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Roihana Waliyyul Mursyidah. Pengembangan Materi Ajar PAI Berbasis Model Pemaknaan untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa Sekolah Dasar. Program Studi

Karakteristik fisik buah merah yang menjadi parameter dalam penelitian ini adalah warna, massa, panjang, bentuk penampang, keliling buah, volume, dan massa

Desain iklan politik Risma-Bambang telah me- manfaatkan kode-kode kultural seperti sandal selop, penguin, atau kegiatan membaca untuk mencitrakan masyarakat

Selain itu, kita dapat melihat hilum overlay sign yang mana vaskularisasi hilus di sekitar massa mediastinum masih tampak yang berarti bahwa massa bukan berasal

Output device bisa diartikan sebagai peralatan yang berfungsi untuk mengeluarkan hasil pemrosesan ataupun pengolahan data yang berasal dari CPU kedalam suatu media yang dapat

Give one blank line below keyword paragraph and apply Normal style to it. This can be done by clicking Page Layout from the main menu, select Section

Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Internasional serta Bapak Made Maharta Yasa, SH.,MH, Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas