BAB I
PENGANTAR
1.1
Latar Belakang
Masa remaja, menurut Stanley Hall, seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika diarahkan dengan baik, maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki tanggungjawab tetapi kalau tidak dibimbing, maka ia dapat menjadi orang yang tidak memiliki masa depan yang baik (Dariyo, 2004). Agustiani (2000) menuliskan masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perubahan secara fisik, psikis, dan sosial. Sejalan dengan perubahan yang dialami oleh remaja, lingkungan sekitarnya juga seperti orangtua atau anggota keluarga, guru, teman sebaya dan masyarakat umumnya menanggapinya dengan cara yang berbeda. Harapan dan tuntutan dari lingkungan sekitar menimbulkan masalah tersendiri bagi remaja sehingga remaja sangat membutuhkan pengertian dari lingkungan sekitar (Gunarsa, 2003).
Pengembangan identitas merupakan isu yang sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa, dapat juga dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadian yang sehat, yang merefleksikan kesadaran diri (Rifany, 2008). Selanjutnya Rosidi (2009) menuliskan masa remaja sebagai masa yang menarik untuk diperhatikan karena pada masa remaja, mereka diperhadapkan pada masalah perkembangan maupun masalah lingkungan.
Tugas perkembangan remaja adalah tugas yang cukup sulit, karena mereka harus mengkoordinasikan berbagai hal untuk menyelesaikan krisis identitasnya. Remaja harus menemukan apa yang mereka yakini, sikap dan nilai-nilai idealnya, yang dapat memberikan suatu peran dalam kehidupan sosialnya. Jika krisis identitas ini dapat diselesaikan dengan baik biasanya suatu rasa identitas optimal ini dialami sebagai rasa kesejahteraan psikososial. Pada masa ini remaja akan mengalami rasa aman dan mengetahui apa yang harus ditempuh, dan suatu keyakinan batin tentang pengakuan yang diantisipasi oleh mereka yang penting baginya. Hal ini mengakibatkan remaja dapat menerima diri dan orang lain, merasa bahwa dia menduduki tempat bermakna dalam keseluruhan kenyataan (Cremers, 1989).
menghadapi konflik identitas akan muncul dengan diri yang stabil dan dapat diterima. Remaja yang belum sukses dalam menghadapi krisis ini akan mengalami apa yang dikatakan oleh Erikson sebagai identity confusion. Kebingungan ini bisa mengakibatkan dua hal yaitu individu akan menarik diri dan mengisolasi diri dari teman dan keluarga atau menenggelamkan diri di lingkungan pergaulan sehingga kehilangan identitas mereka dalam keramaian ( Santrock, 2007). Selanjutnya Cremers (1989) menuliskan kebingungan identitas mengakibatkan suasana ketakutan, ketidakpastian, ketegangan, isolasi, dan ketidaksanggupan mengambil keputusan. Keadaan ini dapat menyebabkan remaja merasa terisolasi, kosong, cemas, dan bimbang.
terutama dengan orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman sebaya.
Untuk mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan yang muncul maka remaja harus mencapainya dengan memiliki identitas diri yang positif, hal ini dapat diketahui melalui kemampuan remaja dalam memahami tentang siapa dirinya, karena pemahaman diri merupakan hal yang penting untuk menjalani kehidupan yang selanjutnya. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, kemungkinan akan hidup dalam ketidakpastian serta tidak mengetahui kelebihan maupun kekurangan dirinya (Gardner dalam Ristianti, 2009). Lebih lanjut Santrock (2007) menuliskan bahwa remaja yang memiliki pemahaman diri yang benar akan dapat mendeksripsikan diri dan mengetahui tentang keunikan dirinya, kemampuan, kelebihan, dan kekurangan dalam dirinya.
kemampuan memilih dan mengambil keputusan, baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup. Boerne (dalam Rosidi, 2009) mengatakan bahwa individu yang telah mencapai rasa identitas diri yang positif setelah masa pencarian yang aktif cenderung lebih otonom dan kreatif.
Fuhrman (dalam Ristianti, 2009) menuliskan, faktor yang memengaruhi identitas diri remaja diantaranya dukungan sosial teman sebaya dan hubungan orangtua-remaja. Pemilihan variabel dukungan sosial teman sebaya dan hubungan orangtua-remaja, dapat dijadikan prediktor
identitas diri remaja, karena lingkungan sosial remaja
selalu bersama dengan keluarga dan teman sebaya,
sehingga dibutuhkan orangtua dan teman sebaya untuk mengarahkan, memberikan penilaian, dan menerima remaja
agar dapat menemukan identitas diri yang positif. Atkinson,
dkk (2000) menuliskan bahwa penilaian yang konsisten dari orangtua dan teman sebaya sangat diperlukan untuk remaja
sehingga pencarian akan identitas diri akan lebih mudah.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada guru Bimbingan Konseling SMA Kristen 1 Salatiga
menyatakan siswa-siswi umumnya mereka memiliki
untuk belajar. Bagi siswa yang nantinya akan melanjutkan studi, mereka dibimbing dan diarahkan agar dapat memilih
jurusan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Melalui
bimbingan ini, dapat menolong mereka untuk tidak mengalami kebingungan dalam mengambil keputusan yang
berkaitan dengan studi dan pekerjaan yang akan dijalaninya
di kemudian hari.
Untuk menolong siswa dalam menentukkan kelanjutan studi atau karier, mereka dibimbing dan diarahkan juga oleh guru bimbingan dan konseling, sehingga mereka juga dapat menentukan langkah dalam studi dan karier, Luyckx,dkk (2002) menuliskan individu yang memiliki identitas diri yang positif mengetahui apa yang akan mereka lakukan dimasa depan sedangkan individu yang memiliki identitas diri yang negatif akan mengalami konflik dalam batin karena tidak mengetahui akan apa yang akan dilakukan di masa depan.
Salah satu tempat untuk remaja dapat saling memberikan dukungan sosial berupa informasi yaitu di sekolah. Hilman (dalam Ristianti, 2009) menuliskan bahwa dukungan sosial teman sebaya biasanya terjadi dalam interaksinya di lingkungan sekolah melalui berbagai macam perkumpulan maupun organisasi yang terdapat di sekolah melalui kegiatan ektrakulikuler. Melalui kegiatan ekstrakulikuler, remaja dapat saling berinteraksi dan saling mengakrabkan diri.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ristianti (2009) tentang adanya hubungan yang signifikan dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta, dengan sumbangan r=0,565 dengan signifikansi 0,000 (p<0,01). Penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan Patrick (dalam Santrock, 2007) menyatakan
bahwa relasi antara teman-teman sebaya di masa
kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi perkembangan identitas diri pada masa selanjutnya.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Meeus dan Dekovi (1999), pada remaja Belanda menyatakan bahwa dukungan dari teman sebaya memberikan pengaruh yang positif terhadap pengembangan identitas diri.
Selanjutnya lingkungan keluarga (orangtua) merupakan tempat remaja mendapatkan penilaian dan
arahan untuk menemukan identitas diri. Dilihat dari segi
psikologis, masa remaja itu merupakan suatu masa yang
sehingga masa remaja disebut masa pancaroba atau storm and stress ,yaitu masa yang penuh tekanan dan kekacauan
emosional. Di masa ini banyak sekali godaan dan gangguan.
Pada masa ini mulai tumbuh secara kuat rasa ingin tahu dan mencoba terhadap segala hal. Oleh karena itu, didikan,
bimbingan, dan bantuan dari orangtua sangat besar sekali
manfaatnya bagi pembentukan kepribadian mereka di masa berikutnya. Jika dalam suasana jiwa yang labil dan sifat
ingin tahu dan coba-coba yang kuat itu, remaja tidak
mendapat didikan, bimbingan, dan bantuan yang tepat,
maka dapat saja mereka kemudian tergelincir ke jalan yang salah seperti senang menggunakan narkoba, melacur,
mabuk-mabukan, tawuran, obyek-obyek yang tidak jelas
arah-tujuannya. Memang masa remaja ini dapat dikatakan masa kritis dalam garis kehidupan manusia. Bila remaja
dapat melewati masa ini dengan baik dan selamat dalam arti
mampu menghadapi godaan-godaan dalam kehidupannya (Gemari, 2007).
Orangtua memiliki pengaruh yang signifikan bagi
remaja dan orangtua dapat memberikan keyakinan kepada remaja untuk menemukan identitas diri (Kusnia dan
ahli perkembangan mulai mengeksplorasi peran dari struktur kelekatan yang sama serta konsep-konsep terkait, seperti keterjalinan dengan orangtua dimasa remaja. Mereka berpendapat bahwa kelekatan yang aman terhadap orangtua dimasa remaja dapat mendorong kompetensi sosial dan kesejahteraan di masa remaja, sebagaimana terlihat dalam karakteristik harga diri, penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik. Pada masa pencarian identitas diri remaja seringkali mengalami konflik dengan orangtua. Oleh karena itu, remaja membutuhkan orangtua yang dapat memahami dan menolong mereka untuk mengerti tentang identitasnya. Hubungan orangtua-remaja dalam interaksi yang terbuka dan saling menghargai dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat dalam konteks yang saling mendukung, akan mengembangkan pola perkembangan identitas yang sehat. Selanjutnya Steinberg (2001) menuliskan, sebagaimana gagasan Erikson tentang "krisis identitas" pada remaja, sebaiknya orangtua memahami remaja dalam masa eksplorasi identitas dan mendorong remaja untuk memiliki kemandirian.
kehangatan dalam keluarga berdampak pada kemampuan remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik sehingga ia dapat menjalani hidup dengan memiliki identitas diri yang positif yaitu hidup dengan penuh simpati. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Copper (1998), secara umum mengindikasikan bahwa pengembangan identitas diri remaja dapat ditingkatkan melalui relasi keluarga. Harter (1990) telah mengidentifikasikan proses-proses lain dalam keluarga yang dapat mengembangkan perkembangan identitas diri remaja. Orangtua yang menampilkan perilaku memperbolehkan (seperti menjelaskan, menerima, dan empati) akan mendorong perkembangan identitas remaja. Selanjutnya Grotevant dan Cooper (1985) melakukan penelitian pada 84 remaja kulit putih dia menyatakan bahwa komunikasi antara orangtua-remaja memberikan kontribusi yang positif terhadap eksplorasi identitas diri remaja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Reis dan Younis (2004) menyatakan bahwa komunikasi yang buruk antara ibu dan remaja serta seringnya konflik dengan teman berhubungan dengan rendahnya perkembangan identitas yang positif. Hasil penelitian (Faber, dkk: 2003) yang dilakukan pada 157 remaja di Midwest University, menunjukkan bahwa kelekatan pada ibu memiliki korelasi yang negatif pada
yang positif terhadap pengembangan identitas diri remaja. penelitian ini menyatakan bahwa beberapa remaja yang memilki kelekatan pada ayah melakukan eksplorasi dan membuat sebuah komitmen identitas. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil kajian Pratiwi (2009) tentang adanya hubungan yang signifikan identitas diri dengan kelekatan pada orangtua, dengan sumbangan sebesar 0,273 dan taraf signifikansi 0,001 (p<0,05). Beberapa penelitian yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari hubungan orangtua-remaja terhadap identitas diri remaja, berbeda dengan penelitian yang lakukan pada remaja Belanda oleh Meeus dan Dekovi (1999), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan orangtua-remaja tidak memberikan pengaruh terhadap identitas diri remaja.
Aspek-aspek dari identitas diri remaja menurut Oya,
Zeynap, Aly (1999) yaitu Social Identity, Physical Identity, Personal Identity, Familial Identity, Moral-Ethical Identity.
Berdasarkan aspek-aspek dari identitas diri dapat dilihat fenomena yang muncul tentang identitas diri yang nampak di SMA Kristen 1 Salatiga, melalui wawancara yang
dilakukan oleh penulis pada salah satu siswa mengatakan
bahwa secara sosial mereka mampu membangun
pertemanan dalam sebuah kelompok terlihat pada penerimaan yang diberikan oleh teman dalam sebuah
kelompok diskusi ataupun kelompok kegiatan
adanya keakraban dan keramahan antara teman, dalam kelompok mereka juga dapat saling memberikan dukungan
bagi teman yang membutuhkan, misalnya mereka dapat
mendiskusikan tentang rencana untuk melanjutkan studi kepada teman, karena terlihat bahwa pada umumnya
mereka banyak yang mengalami kebingungan dalam
memilih tempat dan jurusan yang akan mereka jalani. Jika hal-hal yang dituliskan diatas dialami oleh remaja, maka
melalui penelitian ini kiranya dapat menolong mereka
untuk dapat mengembangkan identitas diri yang positif sehingga tidak terjadi kebingungan identitas, seperti yang
diungkapkan oleh Cremers (1989), remaja yang mengalami
kebingungan identitas akan mengakibatkan pada
ketidakmampuan mengambil keputusan.
Secara teoritis alasan penulis untuk meneliti tentang
identitas diri remaja yaitu pertama, penelitian tentang
identitas diri masih sedikit yang meneliti; kedua, penelitian lain tentang identias diri belum ada yang menghubungkan
dengan hubungan orangtua-remaja, misalnya peneliti
sebelumnya melakukan penelitian dengan menggunakan variabel lain yaitu hubungan antara kelekatan pada
orangtua terhadap identitas diri, hubungan self body image
terhadap identitas diri remaja.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang telah dipaparkan di atas, nampaknya sudah
cukup banyak yang telah meneliti tentang identitas diri
konteks budaya yang berbeda, namun penulis masih tertarik untuk menelusuri tentang identitas diri remaja,
secara khusus pada remaja di SMA Kristen 1 Salatiga
karena melalui hasil wawancara pada guru bimbingan konseling dan salah satu siswa SMA Kristen 1 Salatiga,
dapat penulis simpulkan bahwa terdapat fenomena yang
ingin diteliti tentang identitas diri remaja, secara sosial mereka mampu membangun relasi dengan teman, adanya
penerimaan dalam kelompok, saling diskusi tentang apa
yang akan dilakukan dimasa depan tetapi nampaknya mereka kurang mampu memanfaatkan waktu belajar dengan baik dan kurang konsentrasi itu terlihat pada kecenderungan untuk mencari kesenangan secara pribadi. Pada umumnya mereka mengalami kebingungan untuk pemilihan karier dan studi pada masa yang akan datang.
mengisi masa remajanya dengan hal-hal yang positif yang dapat mengembangkan dirinya.
Permasalahan dan alasan yang telah dicantumkan diatas yang mendorong penulis untuk meneliti tentang Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Hubungan Orangtua-Remaja apakah dapat dijadikan prediktor Identitas Diri Siswa SMA Kristen 1 Salatiga.
1.2 Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, maka penulis membuat rumusan masalah: apakah dukungan sosial teman sebaya dan hubungan orangtua-remaja merupakan prediktor identitas diri siswa SMA Kristen 1 Salatiga.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dukungan sosial teman sebaya dan hubungan orangtua-remaja sebagai prediktor identitas diri siswa SMA Kristen 1 Salatiga.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitiaan ini kiranya dapat memberikan manfaat bagi: 1. Manfaat Teoritis
sebaya dan hubungan orangtua-remaja terhadap identitas diri pada remaja.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi orang tua
Memberikan sumbangan pemikiran kepada orangtua agar meningkatkan relasi dalam keluarga melalui komunikasi, kehangatan, dan kelekatan dalam keluarga sehingga dapat menolong remaja dalam mengembangkan identitas diri yang positif. b. Bagi SMA Kristen 1 Salatiga
Memberikan sumbangan penelitian dan sebagai masukan dalam membina dan mengarahkan remaja yang sedang dalam tahap pengembangan identitas diri.
c. Bagi penulis
Menambah wawasan mengenai ilmu psikologi perkembangan remaja dan faktor yang dapat dijadikan prediktor identitas diri remaja sehingga dapat menambah pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan identitas diri remaja.
d. Bagi penelitian berikutnya