• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DALAM BUKU AT TARBIYYAH AL JINSIYYAH LIL ATHFAL WAL AL BALIGHIN KARYA YUSUF MADANI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DALAM BUKU AT TARBIYYAH AL JINSIYYAH LIL ATHFAL WAL AL BALIGHIN KARYA YUSUF MADANI."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

ALIF KURNIAWAN NIM. D71211113

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) konsep pendidikan seks dalam islam (2) konsep pendidikan seks pada anak dalam buku At Tarbiyyah al jinsiyyah lil athfal wal al balighin. (3) implementasi pendidikan seks pada anak dalam kehidupan sehari-hari

Penelitian ini menggunakan Metode Riset Perpustakaan (library reseach) dengan metode analisis data, penulis menggunakan teknik analisis Isi (content analysis) yaitu setiap prosedur sistematis yang dirancang untuk mengkaji isi informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks pada anak dalam buku At Tarbiyyah al jinsiyyah lil athfal wal al balighin ini menunjukkan bahwa pendidikan seks pada anak merupakan kegiatan preventif yakni pendidikan yang ditujukan untuk pencegahan sebelum terjadi penyimpangan seksual pada anak.

Kaidah-kaidah preventif dalam pendidikan seks pada anak ini meliputi banyak hal yakni pemberian pendidikan seks dan fikih pada anak sejak dini, terutama etika-etika pendidikan seks yang dibutuhkannya, seperti dilatih bagaimana cara istinja, istibra jika ia anak laki-laki, pentingnya memalingkan wajah dari kiblat ketika buang hajat, bagaimana cara mecucikan pakaian dari najis, dan menyuci noda darah pada badan atau pakaiannya ketika hendak salat atau melakukan kegiatan lain, kemudian membiasakan anak untuk Meminta izin (isti’dzan) ketika masuk kekamar tidur orangtua, Menahan pandangan, menutup aurat, Menjauhkan anak dari aktivitas seksual, Pemisahan tempat tidur anak, Tempat tinggal yang layak, dan Larangan bagi orang tua terhadap tindakan erotis ditempat umum yang akan dilihat oleh anak.

(6)

ix

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN ABSTRAK ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMANPERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I:PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Rumusan masalah ... 7

C. Manfaat penelitian ... 8

D. Studi terdahulu ... 9

E. Definisi operasional ... 10

F. Metode penelitian ... 12

G. Sistematika pembahasan ... 17

BAB II :LANDASAN TEORI A. Pengertian pendidikan seks ... 19

B. Pendidikan seks dalam islam ... 23

(7)

x

ANAK DALAM BUKU AT TARBIYAH AL JINSIYYAH LIL ATHFAL WA AL BALIGHIN

A. Konsep pendidikan seks pada anak menurut Yusuf Madani ... 41

B. Kaidah-kaidah preventif dalam pendidikan seks bagi anak ... 44

BAB IV :ANALISIS PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DALAM BUKU AT TARBIYAH AL JINSIYYAH LIL ATHFAL WA AL BALIGHIN KARYA YUSUF MADANI A. Pendidikan seks pada anak merupakan tindakan preventif ... 66

B. Analisiskaidah preventif dalam pendidikan seks bagi anak ... 71

C. Implementasi pendidikan seks pada anak dalam buku At Tarbiyah al jinsiyyah lil athfal wa al balighin karya Yusuf Madani ... 109

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 112

B. Saran-saran ... 116

C. Penutup ... 117

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan merupakan jalur yang sangat efektif dalam membentuk insan-insan pembangunan yang berkepribadian utuh yang diharapkan menjadi tulang punggung kelestarian pembangunan bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.

Sebagaimana yang dikatakan Ahmad D. Marimba, “Pendidikan adalah

bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.1

Di dunia pendidikan pasti kita mengenal istilah belajar. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.2

Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar, dan begitu pula sebaliknya, kalau ada yang mengajar maka ada yang belajar. Bila sudah terjadi proses saling berinteraksi antara yang mengajar dan yang belajar, maka agar memperoleh hasil yang optimal, proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja serta terorganisasi secara baik.3

Proses belajar mengajar ini terjadi disekolah, keluarga dan masyarakat, jadi tidak benar jika orang tua menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h. 13. 3

Sardiman AM, Interaksi dan motivasi belajar-mengajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), h. 19.

(10)

kepada sekolah dalam rangka mendidik anak, terutama dalam hal pendidikan seks, disini orang tua sangat berperan penting.

Boyke Dian Nugraha menjelaskan, pendidikan tentang seks sebenarnya perlu diberikan orang tua pada anak sejak usia dini agar anak bisa lebih memahami keunikan dirinya. Dengan demikian, anak akan lebih percaya diri, mampu menerima keunikan dirinya sekaligus tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri. Ajarkan pada anak untuk bisa mengatakan “Tidak” pada orang dewasa yang belum dikenal/ asing. Ini menjadi salah satu pencegahan yang efektif agar tidak terjadi pelecehan seks dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.4

Seks telah banyak dikenal orang, namun belum banyak yang memahaminya. Ini bisa dimengerti karena norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat kita belum memungkinkan untuk membicarakan secara terbuka, kebanyakan orang mengira bahwa pendidikan seks masih diangap tabu dan terkesan bahwa itu untuk orang dewasa.

Pandangan demikian ada betulnya, terutama pada masa lampau di mana informasi-informasi tentang seks masih sangat terbatas. Namun pada masa sekarang, di mana informasi tentang seks lebih mudah diperoleh dan sangat banyak, maka usaha-usaha ke arah memberikan informasi yang benar harus digalakkan, terutama di dalam keluarga. Karena “keluarga sebagai

4

Artikel dalam internet: Lihat di

(11)

lingkungan awal pertumbuhan anak harus diisi dengan hal-hal yang positif, sehingga dapat menjadi permulaan yang baik bagi pertumbuhannya”.5

Semakin tinggi dan kompleks kehidupan suatu masyarakat, tentu semakin sulit pula usaha anggota masyarakat tersebut untuk mendidik dan membina putra-putri mereka agar menjadi anggota masyarakat yang baik.

Sekarang masyarakat telah berada dalam masa transisi, di mana kemajuan dunia teknologi telah merubah struktur masyarakat dan juga pandangan hidupnya. Nilai-nilai moral mengalami pergeseran, sehingga apa yang dahulu dianggap dapat diterima, kini belum tentu demikian dan begitu sebaliknya.

Salah satu segi pergeseran moral tersebut adalah pergeseran dalam nilai moral seksual yang terjadi terutama di kalangan remaja. Nilai-nilai moral seksual yang dahulu oleh orang tua dianggap tabu atau bertentangan dengan norma-norma agama, tidak demikian lagi oleh sebagian kaum remaja. Dengan demikian, memberikan bimbingan dan penerangan seks kepada anak merupakan suatu yang sangat penting dan perlu.

Dengan adanya pendidikan seks dalam keluarga, maka seorang anak akan terhindar dari ekses-ekses negatif dalam kehidupan seksualnya.

Namun demikian, seringkali orang tua dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, siapakah yang seharusnya atau sebaiknya memberikan bimbingan dan penerangan tentang seks ? Apakah orang tua yang dianggap dekat dengan

5

(12)

anak, guru di sekolah psikolog, dokter atau para ahli yang dianggap lebih menguasai persoalannya ?

Membicarakan masalah seks adalah sesuatu yang sifatnya sangat pribadi, oleh karena itu dibutuhkan suasana yang akrab. Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa :

“Masalah seks adalah masalah yang sangat pribadi sifatnya, maka dari

itu paling baik bila dibicarakan dengan orang yang sudah intim hubungannya. Dan orang yang paling intim hubungannya dengan anak tentu saja orang tua”.6

Keakraban lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya atau antara ayah dengan anak laki-lakinya sekalipun tidak mustahil hubungan seperti yang dimaksud di atas dapat tercipta antara orang tua dengan anak yang berlawanan jenis kelamin.

Upaya pendidikan seks dalam keluarga yang paling efektif adalah dengan menciptakan situasi yang kondusif dalam pendidikan. Yaitu suatu keadaan di mana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dengan hasil yang memuaskan.

Dalam pendidikan seks, peran orang tua sangat penting. Orang tua tidak perlu sungkan berdialog dengan anaknya mengenai berbagai masalah seks sepanjang Islam masih membahasnya dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tahap perkembangan anak.

6

Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia, Jilid 2, (Jakarta:Bhratara Karya

(13)

Dengan pendidikan seks yang baik, seorang anak tidak akan terjerumus dalam lembah kenistaan, yaitu penyimpangan seks dalam berbagai bentuk.

Akhir-akhir ini masyarakat merasakan perlu diperluasnya pengetahuan tentang sex education, dengan latar belakang bermacam-macam; guna memelihara tegaknya nilai-nilai moral, guna mengatasi gangguan-gangguan psikis dikalangan remaja, guna memberi pengetahuan orang tua dalam menghadapi perkembangan anak-anak dan lain sebagainya.

Kesadaran orang tua dan pendidik akan pendidikan seks kepada para remaja masih sangat minim dan kurang jelas. Salah satunya adalah menyembunyikan urusan seksual dari anak-anak pada saat mereka membutuhkan bimbingan yang murni, yaitu umur tujuh hingga empat belas tahun, sehingga mereka tidak mengatahui apa-apa tentang masalah seksual sampai mereka menginjak usia puber. Padahal dalam islam, seorang anak mumayiz harus dikenalkan pada kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pendidikan seksual, untuk mempersiapkan anak menghadapi perubahan dalam pertumbuhannya.7

Boyke Dian Nugraha geleng-geleng kepala mendengar penuturan pasiennya. Sebut saja Indah, 36 tahun, asal Sukabumi yang menangis histeris menceritakan kelakuan putrinya, Nita, 11 tahun. Bersama dua teman sekelasnya di sekolah menengah pertama, Nita melakukan aib memalukan

7

Yousef Madani, Pendidikan Seks untuk Anak dalam Islam : Panduan bagi Orang Tua,

(14)

keluarga dan sekolah. “Semua salah kami, memberikan kebebasan kepadanya menonton tayangan apa pun tanpa diawasi, termasuk di Internet,” papar Indah

sesenggukan.

Tangisnya pecah begitu mendengar pengakuan putri kesayangannya meniru adegan bercinta di film Sex in the City bersama kakak kelasnya. Menurut Boyke, kasus Nita belum seberapa. Ada pasien lain yang mengeluhkan putrinya yang baru berusia 7 tahun saat ngobrol dengan teman sebayanya cekatan menyebut foreplay, petting, making love, dan sejenisnya.8

Para ahli psikologi menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung,9 maka dari itu sangat penting sekali pengawasan terhadap anak oleh orang tua dalam aktifitasnya sehari-hari.

Sebagai agama yang memberikan pedoman hidup kepada umat manusia dalam segala aspeknya, islam mengatur dan memberi arah kepada umat manusia dalam melaksanakan fungsi seksualnya, kearah tujuan yang benar dan baik, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang beradab dan terhormat.

Permasalahan-permasalahan yang banyak terjadi kepada anak, yang dalam hal ini adalah pelecehan seksual, peniruan tindakan seksual oleh anak, dan banyak permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan itu menyebabkan penulis tertarik dan ingin memaparkan sebuah konsep

8

Artikel dalam Internet: lihat di nenyok.wordpress.com/2008/03/24/awas-si-kecil-kebablasan/

Di akses pada 28 oktober 2014 9

(15)

pendidikan seks dalam buku karya yousef madani yang akan dijukan sebagai skripsi dengan judul “konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef Madani”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep pendidikan seks dalam islam?

2. Bagaimana konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef Madani?

3. Bagaimana implementasi pendidikan seks dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef Madani dalam kehidupan

sehari-hari?

C. Tujuan Penelitian

1. Megetahui konsep pendidikan seks dalam islam.

2. Mengetahui konsep pendidikan seks dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef Madani.

3. Mengetahui implementasi pendidikan seks dalam buku buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef Madani dalam kehidupan

(16)

D. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini, diharapkan agar karya ilmiah yang telah dibuat oleh penulis dapat membawa banyak manfaat, baik itu di pandang dari segi teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bekal dan menjadikan dasar bagi orang tua, guru dan masyarakat untuk lebih mengetahui tentang konsp pendidikan seks pada anak sehingga anak akan tumbuh dengan baik tanpa mengalami penyimpangan seksual 2. Manfaat Praktis

a. Bagi penulis, secara pribadi sangat berguna, karena merupakan yang pertama kali dalam proses penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan program Strata 1 di fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) UIN Sunan Ampel Surabaya. Dan juga sebagai penajaman dan pelatihan memecahkan masalah yang begitu kompleks bagi remaja di masa sekarang. b. Bagi para pembaca, di harapkan dapat dijadikan sebagai

penambahan wawasan keilmuan yang mempunyai respon terhadap kemerosotan moral dan nilai nilai syariat islam. c. Bagi lembaga, diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan

(17)

maksimal sehingga outputnya akan sesuai dengan apa yang diharapkan.

E. Studi terdahulu

Pada sub bab kajian kepustakaan ini, skripsi yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DALAM BUKU PENDIDIKAN SEKS USIA DINI BAGI ANAK MUSLIM KARYA YOUSEF

MADANI” fokus pembahasannya adalah pendidikan seks pada anak

Penelitian yang membahas tentang pendidikan seks sejauh yang peneliti temukan sebagai berikut

1. Pendidikan seks anak: studi kasus pelaksanaan pendidikan seks

orang tua pada anak di SDI Hasyim Asy’ary Surabaya skripsi yang

ditulis oleh Umi sumaryati untuk menyelesaikan S1 di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Ampel tahun 1999.

2. Pendidikan seks dalam islam skripsi yang ditulis oleh Choirul anam

untuk menyelesaikan S1 di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Ampel tahun 2000.

3. Pendidikan seks anak: studi pelaksanaan pendidikan seks islam

bagi anak dalam keluarga didesa kauman kecamatan Bojonegoro

kabupaten bojonegoro skripsi yang ditulis oleh Y.Elva Roisa untuk

menyelesaikan S1 di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Ampel tahun 2002.

4. Problematika pendidikan seks dan implikasinya terhadap

(18)

ditulis oleh Muhammad qiftirul aziz untuk menyelesaikan S1 di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Ampel tahun 2006.

Dari uraian kajian kepustakaan diatas penulis dapat memberikan simpulan bahwa masih belum ada penelitian yang mengkaji tentang konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak

muslim karya Yousef madani

F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat hal yang didefinisikan, yang dapat diamati atau diobservasi. Konsep ini sangat penting, karena hal yang diamati membuka kemungkinan bagi orang lain untuk melakukan penelitian terhadap hal yang serupa, sehingga apa yang dilakukan penulis terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain.10

Untuk mempertegas maksud dan tujuan dari skripsi ini, perlu adanya penegasan sudut untuk menghindari adanya kesalahan dalam memahami judul skripsi ini

1. Konsep adalah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2005: 588), konsep diartikan sebagai rancangan atau buram surat, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan

10

(19)

persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2. Pendidikan seks

Pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan dan cara mendidik. Sedangkan istilah seks dalam pengertian sempit berarti kelamin. Mugi Kasim mengartikan seks sebagai sumber rangsangan baik dari dalam maupun luar yang mempengaruhi tingah laku syahwat yang bersifat kodrati.11 Syamsudin mendefinisikan pendidikan seks sebagai usaha untuk membimbing seseorang agar dapat mengerti benar-benar tentang arti kehidupan seksnya, sehingga dapat mempergunakannya dengan baik selama hidupnya.12

Lebih dalam lagi A.Nasih Ulwan menyebutkan bahwa pendidikan seks adalah upaya pengajaran penyadaran dan penerangan tentang masalah seks yang diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan pekawinan, sehingga jika anak telah dewasa dan dapat memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan bahkan

11

M. Kasim Mugi Amin, Kiat Selamatkan Cinta, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997),

h. 38.

12

(20)

mampu menerapkan tingkah laku islami sebagi akhlak, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistic.13

3. Anak

Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini

biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara

dengan tahun tahun sekolah dasar.14

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Berpacu pada definisi penelitian kepustakaan sendiri ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.15 Iskandar menjelaskan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berpegang

13

Nasikh Ulwan, Pendidikan Seks, (Bandung: remaja Rosda Karya, 1996), h. 72.

14

Artikel dalam Internet: lihat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465

Di akses pada 28 oktober 2014 15

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

(21)

pada paradigma naturalistik16 atau fenomenologi17. Ini karena penelitian kualitatif senantiasa dilakukan dalam setting alamiah terhadap suatu fenomena.18 Lebih jauh Sugiyono menjelaskan penelitian kualitatif digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah untuk meneliti sejarah perkembangan kehidupan seorang tokoh atau masyarakat akan dapat dilacak melalui metode kualitatif. Dengan menggunakan data dokumentasi, wawancara mendalam kepada pelaku atau orang yang dipandang tahu.19

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian pustaka atau literer, maka penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan deskriptif20 analitis, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif.

3. Sumber yang Digunakan

Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan maka sumber datanya adalah karya yang ditulis oleh tokoh tersebut atau disebut juga

16

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,

(Bandung: Alfabeta. 2010), h.14. 17

Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002), h.

9. 18

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Kualitatif dan Kuantitatif),

(Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h. 187-188. 19

Sugiono, op.cit., h.35-36.

20

(22)

dengan data utama (primer). Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan tema ini.

a. Sumber Primer

Data primer yaitu data yang merupakan sumber utama dalam penelitian ini yakni buku yang berjudul pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya prof. yousef madani, penerjemah irwan kurniawan, tahun terbit 2014 di Jakarta.

b. Sumber Sekunder

Data sekunder yaitu data yang bersifat penunjang dari data primer, data sekunder ini akan diambil dari buku-buku, majalah, artikel dan lain-lain yang berkaitan dengan judul yang akan dikaji, seperti, buku yang berjudul

Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,cet. V, 2006), h.13.

1) Ilmu Pendidikan Islam. pengarang Ramayulis, tahun terbit 2008 di jakarta.

2) Pendidikan kelamin dalam islam, pengarang Syamsudin, tahun terbit di 1985 di solo.

3) Kiat selamatkan cinta, pengarang M. Kasim Mugi Amin, tahun terbit 1997 di Yogyakarta.

(23)

Dari artikel, yakni:

Pendidikan moral (Akhlaqul karimah) sebagai filter arus informasi global, pengarang M. Sukanta.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumenter, yaitu mencari atau mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variable penelitian yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, prasasti, rapat, leger, dan sebagainya.21 penulis juga menggunakan teknik pengumpula yang merujuk sumber primer baik sumber itu ditulis langsung oleh Yusuf Madani maupun sumber-sumber sekunder terkait kajian orang lain yang terkait judul yang akan dikaji. Disamping dokumenter teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode:

a) Reading, yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur yang berkenaan dengan tema penelitian.

b) Writing, yaitu mencatat data yang berkenaan dengan penelitian.

21

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

(24)

c) Editing, yaitu pemeriksaan data secara cermat dari kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun.

d) Untuk semua data yang dibutuhkan agar terkumpul, maka dilakukan analisis data yang bersifat kualitatif yang bermaksud mengorganisasikan data. Setelah data terkumpul, maka proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.22

5. Teknik Analisis Data

Adapun tehnik analisis data dari penelitian ini adalah menggunakan instrument analisis deduktif dan content analysis atau analisa isi. Dengan menggunakan analisis deduktif, langkah yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah dengan cara menguraikan beberapa data yang bersifat umum yang kemudian ditarik ke ranah khusus atau kesimpulan yang pasti.23 Sedangkan content analysis penulis pergunakan dalam pengolahan data dalam pemilahan pembahasan dari beberapa gagasan atau yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikelompokan dengan data yang se

jenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya penulis

22

Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 2002), h.

193. 23

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2009),

(25)

pergunakan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.24

Maksud penulis dalam penggunanaan teknik Content analysis ialah untuk mempertajam maksud dan inti data-data, sehingga secara langsung memberikan ringkasan padat tentang fokus utama yakni konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi

anak muslim karya Prof. Yousef madani, analisis ini penting untuk

dijadikan rambu-rambu agar uraian yang ditulis dalam penelitian ini tidak jauh melebar dari fokus inti pembahasan.25

H. Sistematika Pembahasan

BAB I : Pendahuluan yang berisikan tentang, latar belakang, alasan memilih judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian meliputi: (jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan teknik analisa data, sistematika pembahasan.

BAB II : Landasan Teori yang berisi tentang konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak

muslim karya Yousef madani.

BAB III : konsep pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks

24

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 103.

25

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 2000), h.

(26)

usia dini bagi anak muslim karya Yousef madani.

BAB IV : Analisis pendidikan seks pada anak dalam buku pendidikan seks usia dini bagi anak muslim karya Yousef madani.

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian pendidikan seks

Sebelum kita membahas tentang pengertian pendidikan seks terlebih dahulu penulis kemukakan tentang pendidikan secara umum. Pendidikan berasal dari kata”didik” dengan memberinya awalan ”pe” dan akhiran ”an”,

mengandung arti perbuatan, hal, cara dan sebagainya.1

Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak, artinya ilmu pengetahuan yang menyelidi dan merenungkan tentang gejala perbuatan mendidik, Istilah ini kemudian diterjemahan kedalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.2

Pendidikan menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pada pasal (1) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

1

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),

h.250. 2

Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,cet. V, 2006), h.13.

(28)

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.3

Definisi itu menandakan bahwa pendidikan membutuhkan perangkat, etos, semangat, dan dana secara individu maupun kelembagaan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan lancar. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani anak ke arah kedewasaan.

Secara bahasa, seks berarti jenis kelamin.4 yakni laki-laki dan perempuan. dapat pula diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan alat kelamin. Maksud dari pendidikan seks, seperti dikatakan Profesor Gawshi, adalah untuk memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkannya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan kehidupannya, dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan reproduksi. Sementara itu, Syekh Abdullah Nashih Ulwan Nasih mendefinisikan pendidikan seksual sebagai pengajaran, penyadaran, dan penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah seksual, hasrat, dan pernikahan sehinngga ketika anak itu menjadi pemuda, tumbuh

3

M. Rasyid, Pendidikan Sek, (Semarang: Syiar Media Publishimg, 2007), h.18.

4

(29)

dewasa, dan memahami urusan-urusan kehidupan maka ia mengetahui kehalalan dan keharaman.5

Dengan memperhatikan kedua definisi tersebut, kita memahami bahwa keduanya memberikan tekanan pada pembekalan anak mumayiz dengan kaidah-kaidah yang mengatur perilaku seksual untuk menghadapi sikap-sikap seksual dan reproduksi yang mungkin menimpa kehidupannya di masa depan. Pendidikan seksual membekali individu dengan konsep-konsep kehalalan dan keharaman yang oleh Profesor Gawshi disebut dengan ’pengetahuan yang benar’. Hal-hal dalam dua definisi tersebut diharapkan

dapat membantu si anak dalam mewujudkan kesucian diri dan beradaptasi secara baik dengan syahwat seksualnya, dan bisa bersikap benar ketika menghadapi masalah seksual.

Selain itu, para pendidik dan orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk membantu menyiapkan dan membekali anak mumayiz dengan pengetahuan teoritis tentang masalah seks ini dengan benar, misalnya dengan menjelaskan perubahan seksual yang menyertai fase baligh, pengetahuan tentang sperma, ovum dan hubungan antara keduanya. Kemudian menerangkan tentang hukum-hukum fikih yang sesuai bagi tiap kondisi.

Orang tua hendaknya memberikan contoh-contoh praktis mengenai hal tersebut, seperti cara tentang sahnya peribadatan, mandi besar, cara istinjak,

5

Yusuf Madani, Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet II,

(30)

kewajiban menutup aurat, nilai-nilai kesopanan, serta batasan-batasan terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in sexuality. Sex instruction ialah penerangan penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan bulu pada sekitar alat kelamin, reproduksi melalui hubungan kelamin, bahkan pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam mencegah kehamilan. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi, dan pengetahuan lainnya yang dibutuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu seksual serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Di sini terlihat bahwa sex instruction tanpa education in sexuality dapat menyebabkan promiscuity (pergaulan dengan siapa saja) serta hubungan-hubungan seks yang menyimpang.6

Sedangkan menurut Sarlito dalam bukunya psikologi remaja (1994), Secara umum pendidikan seks salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular, depresi dan perasaan berdosa.7

6

Ahmad Azhar Abu Migdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja , (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet

III, 2001), h.35. 7

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada,

(31)

B. Pendidikan seks dalam islam

Pendidikan seks dalam Islam tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan pendidikan yang lain seperti, pendidikan akidah, akhlak, dan ibadah.8 Istilah umum dari pendidikan seks adalah sebagi berikut:

1.

Ilmu tentang perbedaan kelamin laki-laki dan wanita ditinjau dari sudut

anatomi, fisiologi dan psychology.

2.

Ilmu tentang nafsu birahi.

3.

Ilmu tentang kelanjutan keturunan, procreation, perkembangbiakan

manusia.

4.

Ilmu tentang penyakit kelamin.9

Agama Islam telah memberikan aturan-aturan yang jelas bagi setiap pemeluknya dalam berperilaku dan berbuat. Di antara tanggung jawab terbesar yang diwajibkan Islam adalah tanggung jawab dalam pendidikan seks. Bagi anak pendidikan seks merupakan kegiatan preventif agar anak terhindar dari penyimpangan seksual yang datang dari luar maupun dari dalam dirinya sehingga anak dapat menghadapi masa baligh dengan normal tanpa mengalami penyimpangan yang tidak diinginkan.

8

Ayip Syarifuddin, Islam dan Pendidikan Seks Anak, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1991), h.

33. 9

Rahmat Rosyadi, Islam Problema Sex Kehamilan dan Melahirkan, (Bandung Anggkasa,

(32)

Persoalan seks bukanlah suatu yang tabu, akan tetapi merupakan problema alamiah yang dalam penyalurannya diatur dan diperhatikan dalam syari'at. Karena jika anak sejak kecil kurang pengawasan dalam masalah pendidikan seks ini maka akan berimbas pada kehidupan anak ketika anak menginjak masa baligh.

menurut Abdullah Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam yang dimaksud pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seks pada anak sejak ia mengenal masalah-masalah tentang seks, naluri, dan perkawinan.10

Dalam Islam, pendidikan seks bukan hanya berarti hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tapi lebih luas dari itu islam mengajarkan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kesucian diri, seperi cara tentang sahnya peribadatan, mandi besar, cara istinjak, kewajiban menutup aurat, nilai-nilai kesopanan, serta batasan-batasan terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan. pokok-pokok pendidikan seks telah diatur sebagai aturan dasar dalam menyalurkan nafsu syahwatnya secara benar dalam kehidupan seks Islam diantaranya sebagai berikut:

1. Secara naluri pria tertarik pada wanita dan sebaliknya. Ini termaktub dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 14 yang berbunyi:

10

(33)

Artinya: dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).11

2. Islam memerintahkan untuk menundukkan dari setiap yang diharamkan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 30-31



Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;

11

(34)

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".12



Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)

12

(35)

nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.13 3. Islam mewajibkan menutup aurat, karena aurat ini sebagian besar

merupakan tempat alat-alat kelamin bagian luar.

4. Islam melarang seorang lelaki dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya ber-khalwat (berduaan atau berseunyi-sunyi). Karena dalam keadaan demikian nafsu birahi keduanya bisa terangsang. Nabi Muhammad SAW. Bersabda

لص ل ل سر ق رحم عم اإ ارماب جر ل ا : ملس يلع ل

) يلع قفتم(

13

(36)

Artinya : Janganlah salah seorang diantara kamu sembunyi-sembunyi dengan wanita kecuali bersama dengan muhrimnya. (HR. Bukhari dan Muslim).14

5. Islam melarang perzinaan karena tidak beradab dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Firman Allah surat Al-Isra' ayat 32 yang berbunyi:

Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.15 6. Islam menganjurkan menikah untuk menyalurkan naluri seks seseorang.

Tetapi bila belum mampu kawin lebih baik berpuasa untuk mengendurkan nafsunya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.

م م عاطتسا نم , ا شلا رشعم ا : ملس يلع ل لص ل ل سر ق أف ,جه تيْلا ف ءا لا

) ر لا ر( ءاج ل أف صلا اب يلعف عطتس مل نم ,جرفلل نصحا رص لل ضغأ

Artinya: Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah sanggup kawin, hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.

14

Abu Zakariya Yahya bin Syarif An Nawawi, Riyadhus Shalihin, (Darul Fikr: t.t.), h. 580.

15

(37)

Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa. Karena puasa itu baginya suatu pengibiran.16

Kaidah-kaidah dasar di atas merupakan kerangka pendidikan seks yang berisi tentang ajaran-ajaran pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Yang semuanya dijadikan dasar untuk membentuk diri remaja yang memiliki akhlak mulia, memiliki akidah dan keimanan yang kuat, dan mampu mencegah dari perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan moral, akhlak, dan pendidikan rohani.17 Menurut Islam pendidikan seks merupakan sebagian dari akhlak, yaitu untuk menjadikan manusia beriman, mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya. Pendidikan seks harus dianggap sebagai bagian dari proses-proses pendidikan, dengan demikian mempunyai tujuan untuk memperkuat dasardasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan kata lain masalah tujuan pendidikan seks Islam tidak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan pada umumnya.

Di dalam agama Islam, bahwa pendidikan seks termasuk bagian pendidikan akhlak, sedangkan pendidikan akhlak merupakan bagian dari pendidikan Islam, oleh karena itu pendidikan seks menurut Islam harus sesuai dengan tujuan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan

16

Imam abi Abdulah Muhammad Ibnu Ismail, Ibn Ibrahim, Shoheh Bukhari, (London: Darul

kitab AL Islimah Bairut, t.t.), h. 438. 17

Bustami A. Gani, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.

(38)

akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan mana yang buruk dengan baik, memilih fadhilah karena cinta fadhilah, menghindari perbuatan yang tercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.18

Herlina Mortono mengutip pendapat Kir Kendall, bahwa tujuan pendidikan seks adalah sebagai berikut:

1. Membentuk pengertian tentang perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan dan seluruh kehidupan, yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masyarakat dan kebudayaan.

2. Membentuk pengertian tentang peranan seks di dalam kehidupan manusia dan keluarga, hubungan antara seks dan cinta, perasaan seks dalam perkawinan dan sebagainya.

3. Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan seks. disini pendidikan seks menjadi pendidikan mengenai seksualitas manusia, jadi seks dalam arti sempit.

4. Membantu murid dalam mengembangkan kepribadiannya, sehingga mampu untuk mengambil keputusan yang bertanggungjawab, misalnya

18

Atiyah Al-Abrashy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

(39)

memilih jodoh, hidup berkeluarga, perceraian, kesusilaan dalam seks, dan lainnya.19

C. Pengertian anak

Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut

dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun

sekolah dasar.20

Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997

tercantum dalam pasal 1 ayat )2( yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam

perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Pemisahan tempat tidur anak merupakan kaidah pendidikan lain bagi keberhasilan pendidikan seksual kita kepada anak-anak. Melalui pemisahan ini, anak-anak jauh dari kamar kedua orang tua dan diasingkan dari tempat yang di dalamnya dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahan anak laki-laki dari anak perempuan, dimana masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat

19

Akhmad Azhar Abu Migdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (Bandung: Mitra Pustaka,

1997), h. 10-11. 20

Artikel dalam Internet: lihat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465

(40)

menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.21 Hal ini sesuai dengan

` Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: perintahkan anak-anak

kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakan shalat dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.22

Firman Allah dalam surat Al- Isra' ayat 32:

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.23

Islam menganjurkan untuk melakukan pemisahan tempat tidur kepada anak yang beranjak balig, tidak membatasi pada satu batasan usia tertentu untuk memulai pemisahan tempat tidur bagi anak-anak. Kadang-kadang, satu riwayat menentukan batasan usia sepuluh tahun untuk menerapkan metode pendidikan ini. Riwayat lain menunjukkan batasan usia 6, 7, dan 8 tahun

21

Yusuf madani, Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam, h. 134

22

Lidwa pustaka i-software, kitab Sembilan imam, Kitab abudawud no. 418. 23

(41)

untuk memulai pemisahan tersebut. Barangkali, perbedaan riwayat-riwayat itu dalam menentukan usia dimulainya pemisahan tempat tidur bagi anak-anak merujuk pada perbedaan kematangan seksual diantara anak-anak yang mumayiz, baik laki-laki maupun perempuan, diantara satu lingkungan dan lingkungan yang lain.24

Diantara tanggung jawab berat yang dibebankan Islam kepada pendidik adalah menjauhkan anak dari apa saja yang merangsang seks dan merusak akhlaknya. Hal ini harus dilaksanakan pada saat anak mencapai usia puber dari umur 10 tahun sampai mencapai usia baligh.

Sarjana pendidikan sepakat bahwa masa pubertas adalah masa yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Bila pendidik mengetahui bagaimana mendidik anak, menyelamatkannya dari lingkungan rusak, dan mengarahkannya dengan pengarahan yang ideal, maka anak itu akan tumbuh atas dasar akhlak yang luhur, sopan santun, dan pendidikan Islam yang tinggi.25

Islam memerintahkan para orang tua dan pendidik agar menjauhkan anak-anak mereka dari rangsangan seks dan gejolak birahi.26 Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nur (24) : 31

24

Yusuf Madani, Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam, h. 135.

25

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Bandung: AsyAyifa',

1988), h. 33. 26

(42)



(43)

putera-putera mereka, atau putera-putera-putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.27

Melihat begitu penting adab (etika) Islam tersebut, maka Allah yang Maha tinggi telah menetapkan waktu-waktu meminta izin dan kapan izin itu disyariatkan.28

Hal ini telah dipertegas dalam al-Qur'an surat An-Nur ayat 58



Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, )Jakarta: PT. Sari Agung, 2002(.

28

Adnan Hasan Baharits, penyimpangan seksual pada anak, (Jakarta: Darul Mujtama, 1993),

(44)

Artinya: “ hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (laki-laki dan perempuan) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum salat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) ditengah hari, dan sesudah salat isya. (itulah) tiga aurat bagi kalian”.29 Ayat ini menyatakan bahwa ada waktu dimana anak-anak harus meminta izin lebih dahulu sebelum masuk kamar orang tuanya; sebelum shalat subuh, ketika orang tua melepaskan pakaian untuk istirahat di siang hari dan setelah shalat isya'. Anak-anak harus dianjurkan agar mengetuk pintu dan kemudian minta izin sebelum masuk pada waktu-waktu ini.30

Adab ini dikhususkan kepada para pembantu yang dimiliki seseorang dan anak-anak yang dalam usia tanpa dosa atau belum mencapai usia baligh. Mereka diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk kamar ibu, bapak,

29

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, )Jakarta: PT. Sari Agung, 2002(.

30

Faramarz bin Muhammad Rahbar, Slamatkan Putra-Putrimu Dari Lingkungan Tidak

(45)

ataupun saudara-saudaranya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sekalipun ibunya sudah tua, kepada saudara-saudaranya, dan ayahnya”.31

Permintaan izin ini di lakukan pada waktu-waktu terbukanya aurat dan membuka baju, yaitu pada waktu bangun tidur, hendak tidur, dan pada siang hari. Diluar waktu-waktu tersebut anak telah berakal diizinkan masuk tanpa izin, tapi diharuskan mengucapkan salam.

Ketika ia sudah mencapai usia balig, maka perkaranya berbeda. Tuntutan islam menuntut adab lain yang ditetapkan pada surat an nuur ayat 59 :

hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum

31

(46)

mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.32

Ayat ini menegaskan bahwa anak yang sudah balig diharuskan meminta izin setiap waktu ketika akan memasuki kamar orang lain.

D. Prinsip perkembangan anak

Pada dasarnya prinsip perkembangan anak sebagai berikut: 33

1. Anak akan belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya.

2. Anak bekajar terus-menerus, dimulai dari membangun pemahaman tentang sesuatu, mengeksplorasi lingkungan, menemukan kembali suatu konsep.

3. Anak belajar melalui interaksi sosial, baik dengan orang dewasa maupun dengan teman sebayanya.

4. Minat dan ketekunan anak akan memotivasi belajar anak.

5. Perkembangan dan gaya belajar anak harus dipertimbangkan sebagai perbedaan individu.

6. Anak belajar dari hal-hal yang sefderhana sampai yang kompleks, dari yang konkrit sampai ke abstra, dari yang berupa gerakan ke bahasa verbal, dan dari diri sendiri ke interaksi dengan orang lain.

32

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, )Jakarta: PT. Sari Agung, 2002(.

33

Mukhtar Latif, Zukhairina, Rita Zubaidah dan Muhammad Afandi, Orientasi Baru

(47)

Proses pembelajaran adi PAUD pada umumnya dilandasi oleh dua teori, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran teori tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, behaviorisme menekankan pada hasil dari proses belajar, sedangkan konstruktivisme lebih menekan pada proses belajarnya.34

Proses perkembangan anak dipengaruhi peran serta orang tua dalam mendidik anak, yang dimaksud orangtua bukan hanya orang dewasa yang mempunyai anak, melainkankan juga orang-orang dewasa yang selalu berada dilingkungan anak dan membawa pengaruh terhadap tumbuh kembang anak tersebut seperti kakek atau nenek, pengasuh, tante, pembantu, yang setiap saat selalu dilihat, didengar, dan menjadi pusat perhatian oleh anak.

Menurut regio Amelia ada tiga tempat yang mempunyai pengaruh besar dan menjadi guru dalam perkembangan kemampuan terhadap anak usia dini, yaitu orang tua, guru disekolah, dan lingkungan. 35

E. Pendidikan Seks anak

Sebagaimana syari‟at islam, dalam banyak ayat Al Qur‟an dan

riwayat, menyerukan pentingnya menunaikan tanggung jawab pendidikan seksual kepada anak pada masa pubertas dan remaja sebagai pendahuluan dalam menghadapi perubahan fase seksual.

34

Ibid., 73 35

(48)

Demikian pula syari‟at islam mengajak untuk memulai pendidikan

seksual bagi ayah, ibu, maupun pendidik terlebih dahulu. Sebab mereka merupakan perantara dalam menjelaskan pendidikan seksual kepada generasi muslim. Dengan demikian, baik atau buruknya hubungan seksual antara kedua orang tua dapat mempengaruhi kepribadian seksual anak, walaupun ajaran islam, dalam mengatur masalah seksual ini telah sempurna, namun islam tidak menghalangi usaha-usaha yang benar menurut para ulama dalam upaya menyampaikan pendidikan seks kepada anak.

Pedoman pemberian seks agar dapat terarah dengan tepat sesuai dengan usia anak didik, menurut Abdullah Nasih Ulwan terbagi ke dalam beberapa tahap berikut ini:

1. Pada usia antara 7-10 tahun anak diajari tentang sopan santun meminta izin masuk rumah dan sopan santun memandang.

2. Pada usia antara 10-11 tahun, yang dinamakan pubertas, anak harus dijauhkan dari hal-hal yang membangkitkan birahi.

3. Pada usia antara 14-16 tahun, yang diebut remaja, anak diajari etika bergaul dengan lawan jenis bila ia sudah matang untuk menempuh perkawinan.36

36

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Bandung: AsyAyifa',

(49)

jinsiyyah lil athfal wa al balighin

A. Konsep pendidikan seks pada anak menurut Yusuf Madani

Pendidikan seks pada anak merupakan tindakan preventif. Pendidikan itu diarahkan dengan cara yang berbeda dari bentuk bimbingan seksual bagi usia balig. Pada fase balig, aktivitas seksual menjadi sebuah realitas, bukan semata-mata perilaku yang bebas dari kenikmatan. Oleh karena itu, islam menetapkan adab-adab yang integral untuk mengarahkan kekuatan seksual kita. Adab-adab ini mencakup hukum-hukum yang haram, sunnah dan makruh. Adapun pada anak-anak, karena kondisi tertentu perilaku seksual lebih merupakan peniruan atau wujud keingintahuan, tetapi tidak disertai dengan rangsangan yang hakiki, seperti halnya pada usia balig yang telah mencapai kematangan. Berdasarka hal itu, langka-langkah islam dalam fase ini hanyalah berupa tuntunan yang bersifat pencegahan untuk menyongsong perubahan-perubahan biologis yang terjadi pada masa pertumbuhan yang lain.1

Islam menganjurkan agar anak mumayiz dilatih untuk meminta izin (isti’dzan) ketika akan memasuki kamar orang dewasa pada tiga waktu berdasarkan tuntutan Al Qur‟an dalam surat an nuur ayat 58:



Yusuf Madani, At Tarbiyah al jinsiyyah lil athfal wa al balighin, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2014), h. 121.

(50)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita)

yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.2

Isti’dzan tiga kali yang ditetapkan dalam ayat ini merupakan pendidikan seksual

yang dikhususkan bagi anak-anak saja.3

Ketika ia sudah mencapai usia balig, maka perkaranya berbeda. Tuntutan islam menuntut adab lain yang ditetapkan pada surat an nuur ayat 59:



Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, )Jakarta: PT. Sari Agung, 2002(.

3

(51)

izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.4

Pada anak yang usia balig, islam tidak memberikan batasan dalam hal meminta izin, ayat diatas memberikan isyarat bahwa dalam usia balig anak harus meminta izin pada setiap waktu.

Tuntutan islam dalam masalah ini berbeda antara satu fase dengan fase yang lain, disesuaikan dengan tingkat kematangannya. Oleh karena itu, islam tidak berbicara tentang adab bersenggama, kecuali pada fase setelah balig. Adab-adab tersebut sesuai dengan pertumbuhan seksual bagi individu dalam fase ini, tetapi tidak cocok untuk dipelajari oleh anak mumayiz karena dapat membahayakan kejiwaannya.

Pendidikan seksual islam mengandung dua aspek yang salah satunya berperan menyiapkan dan membekali anak mumayiz dengan pengetahuan-pengetahuan teoritis tentang masalah-masalah seksual. Para pendidik harus berusaha memberikan pengetahuan teoritis kepada anak tentang perubahan-perubahan seksual yang menyertai fase balig, seperti pengetahuan seperti sperma, cara pembentukannya, tempat penyimpanannya, tempat penyimpanannya, pengaruh hormone seks dalam pembentukan sperma, ovum, dan hubungan antara seperma dan ovum,5 kemudian, dijelaskan hukum-hukum fikih yang sesuai bagi setiap kondisi, akan tetapi pendidik tidak boleh merasa cukup dengan hanya membekali anak dengan pengetahuan seksual

4

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sari Agung, 2002).

5

(52)

Para pendidik muslim jangan hanya semata-mata mengajari anak tentang pentingnya memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan kemudian menujukkan pandangan islam dalam masalah ini, melainkan ia juga harus segera memprektikkannya sedini mungkin, karena tidak ada gunanya anak mumayiz atau balig memiliki pengetahuan tentang masalah seksual dan hukum-hukum fikihnya tanpa mewujudkannya menjadi perilaku islam yang benar, yang menguatkan semangat kesucian diri pada individu muslim pada setiap fase pertumbuhan jiwanya.6

Demikian pula, hal serupa berlaku bagi masalah-masalah kesopanan, menyembunyikan perhiasan bagi perempuan, dan sebagainya, karena pengetahuan teoritis-teoritis tersebut sangat penting, akan tetapi, hal itu tidak akan mewujudkan kesucian diri dan kedisiplinan individu bila tidak dilaksanakan secara praktis.

B. Kaidah-kaidah preventif dalam pendidikan seks bagi anak

1. Pendidikan seks dan fikih pada anak

Sejak mulai dapat berfikir dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, anak perlu diberikan pengetahuan-pengatahuan tentang seks yang sesuai dengan usianya dan diajari hukum-hukum fikih sedikit demi sedikit, terutama etika-etika pendidikan seks yang dibutuhkannya, seperti dilatih bagaimana cara istinja, istibra jika ia anak laki-laki, pentingnya memalingkan wajah dari kiblat ketika buang hajat, bagaimana cara mecucikan pakaian dari

6

(53)

Tugas pendidik adalah melatihnya secara praktis untuk memahami hukum-hukum ini dengan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari dan mengamati sejauh mana anak yang mumayiz dalam mengaplikasikannya. Bukan hanya mengetahui bagaimana anak menyimpan pengetahuan-pengetahuan fikih ini didalam otaknya, melainkan juga bagaimana ia berinteraksi dengannya atas kesadaran sandiri dan selalu berusaha mengaplikasikannya secara sukarela. Sehingga kalau kemampuannnya dalam usaha-usaha pertama itu lemah, maka pembiasaan yang terus-menerus merupakan jaminan bagi peningkatan kemampuannya.

Anak biasanya bertanya tentang beberapa pengetahuan seks dan fikih, pendidik khususnya orang tua harus segera mempelajarinya dan melatihnya secara praktis bagaimana melakukan kegiatan-kegiatan ini. Kadang-kadang anak bertanya kepada ibunya, misalnya, tentang apa sebabnya ibunya melarangnya menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat. Kadang-kadang ia mendapati orang tuanya sedang mencuci noda darah pada pakaiannya ketika henak salat dan anak itu melihatnya, lalu bertanya, atau ia tidak menyadari hal itu, lalu melakukan pekerjaan tersebut tanpa memahami maksudnya. Di sini, hal-hal tersebut harus dihelaskan kepada anak, baik teori maupun praktiknya.

(54)

2. Meminta izin )isti‟dzan(

Syariat islam menekankan etika meminta izin sejak usia kanak-kanak, mengingat hal tersebut merupakan pendahuluan bagi kaidah kesopanan. Dua ayat (58 dan 59) dalam surah an nuur menegaskan prinsip ini. Telah tiba saatnya prinsip itu kembali ke rumah-rumah kaum muslim setelah menghilang dalam waktu lama.

Dengan bantuan dua ayat tersebut, kita mendapati islam menunjukkan dua fase dalam aplikasinya sebagai pengamalan prinsip gradual dalam pendidikan seks bagi anak. Fase pertama, islam menoleransi anak belum balig, terutama yang mumayiz, memasuki kamar orang lain, termasuk kamar kedua orang tuanya, kecuali pada tiga waktu, yaitu sebelum salat subuh, ketika melepas lelah pada siang hari, dan setelah salat isya. Tiga waktu in merupakan aurat sehingga siapapun, bahkan anak-anak yang belum balig, tidak dibenarkan memasuki kamar orang lain pada waktu-waktu tersebut.

Etika ini masih merupakan hubungan alamiah di antara orang tua dan anak mereka yang belum balig. Namun, keadaan itu berubah dengan masuknya anak ke dalam usia balig, taklif syariat, dan keharusan melaksanakan perintah dan larangan-larangan Allah. Ketika itu, prisip isti’dzan memasuki fase yang lain, dan masih merupakan cara hubungan keluarga dan kemasyarakatan setiap saat. Orang yang sudah balig tidak mungkin memasukin kamar orang lain tanpa meminta izin

7

(55)

Rahasia isti’dzan jelas sekali bagi masyarakat. Tanpa adanya isti’dzan, aurat-aurat biasa terlihat sehingga berpengaruh terhadap perkembangan pesikologi anak yang mumayiz. Kadang-kadang, pandangan-pandangan yang membangkitkan gairan seks itu akan melekat pada otaknya hinga ia memasuki usia balig. Ketika itu, pandang-pandangan tersebut menjadi sangat berbahaya baginya, dapat menjatuhkan kedalam lembah dosa. Apakah gambaran ibunya. Misalnya, akan terhapus dari pikirannya, ketika melihat sang ibu duduk dipangkuan ayahnya, lalu sang ayah menciumnya, mencumbunya, dan menggaulinya?8

3. Menahan pandangan dan menutup aurat

Masalah ini meliputi dua butir penting, yaitu menutup aurat bagi kedua orang tua dari anak mereka, khususnya ibu, dan jenis pakaian serta pengaruhnya terhadap psikologi anak.

Berkaitan dengan masalah pertama, dapat dikatakan bahwa anak yang sudah mencapai usia balig dan mukalaf (telah terkena beban syariat) wajib menutup aurat dari pandangan anak yang mumayiz, sebagaimana ia juga diharamkan untuk memandan aurat anak yang mumayiz atau menyentuhnya dengan dorongan syahawat. Hal itu karena anak yang mumayiz dapat mengingat dengan baik apa yang dilihatnya. Para fukahapun menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat mereka dari pandangan orang yang sudah berusia balig dan dari anak yang mumayiz(yang belum balig), yaitu anak

8

(56)

Namun, orang yang berusia balig boleh memandang dan menyentuh setiap bagian dari tubuh orang yang belum balig, walaupun ia seorang mumayiz, asalkan tanpa dorongan syahwat, baik terhadap anak dari jenis kelamin yang sama maupun yang berbeda. Tetapi apabila pandangan itu akan menimbulkan fitnah baginya, maka ketika itu pandangan tersebut diharamkan, sebagai tindakan kehati-hatian.10

Namun, islam memberikan toleransi kalau anak yang mumayiz itu memandang rambut, lengan, betis, dan lutut muhrimnya bila tanpa dorongan syahwat. Namun diharamkan baginya memandang bagian tubuh muhrimnya antara pusar dan lututnya sebagi sikap hati-hati, baik dengan dorongan syahwat maupun tidak. Perempua juga boleh memandang tubuh laki-laki muhrimnya tanpa dorongan syahwat dan diharamkan memandang aurat bagian tubuh antara pusar dan lutut walaupun tanpa doringan syahwat.

Oleh karena itu, perempuan harus menyembunyikan “perhiasannya”

sedapat mungkin dihadapan anak-anaknya yang mumayiz kecuali yang dibolehkan syariat, seperti menampakkan rambut, lutut dan lengan, serta memperlihatkan kalung, gelang, dan sebagainya, dan alat-alat perhiasan pada tangan dan kaki dengan syarat berhias tanpa berlebih-lebihan agar tidak menjadi daya tarik bagi anak yang mumayiz untuk memandang sesuatu yang membahayakan masa depan pendidikan seksnya.

9

Yusuf Madani, At Tarbiyah al jinsiyyah lil athfal wa al balighin, h. 179.

10

(57)

itu, islam mengarahkan pandangan kita pada pentingnya menjadikan pakaian sebagai penutup aurat sehingga tidakmenimbukan fitnah orang memandangnya dan membangkitkan hasrat seksualnya. Pakaian haruslah tidak memperlihatkan bentuk aurat dan tidak menampakkan keindahan tubuh, maksudnya pakaian tidak cukup untuk menutup aurat saja, tapi juga harus yang longgar (tidak ketat) dan tidak transparan. Pakaian yang longgar lebih sempurnah dan lebih baik dari aspek syariat dan kesehatan.11 Sebagai sikap berpegang pada kaidah-kaidah kebersihan dan menjahui rangsangan-rangsangan seksual.

Kenyataannya, ajaran-ajaran syariat islam dalam masalah pakain yang aman dan sehat tidak ditujuhkan kepada orang dewasa untuk mencegah timbulnya rangsangan dan membangkitkan syahwat pada orang lain, melainkan hal yang sama menuntut agar anak dilatih untuk mengenakan pakaian yang longgar agar dimasa mendatang ia terbiasa dengannya dan untuk melindunginya dari rangsangan-rangsangan seksual, khususnya pada usia balig. Pakaian sempit yang menekan tubuhnya secara terus-menerus akan menyebabkan rangsangan syahwat selama masa kematangan seksualnya, seperti kesukaan pada kebiasaan buruk atau melakukan onani.

Al gawshi berkata, “kaidah-kaidah alamiah yang dapat membantu anak

harus dipelihara untuk mencegah melakukan onani. Seperti pakaian longgar dan

11

(58)

4. Menjauhkan anak dari aktivitas seksual

Pandangan banyak pendidik berkaitan dengan pentingnya menjauhkan anak khususnya yang mumayiz dari melihat aktivitas seksual di antara suami istri karena bahayanya yang besar terhadap kejujuran di masa depan. Oleh karena itu, aktivitas seksual di antara orang tua hendaklah dilakukan didalam tempat yang rahasia dan tersembunyi. Hendaklah kita memperhatikan masalah psikologis pada anak yang mumayiz dan remaja, kadang-kadang, masalah ini memunculkan kesukaan terhadap perzinaan, keterkaitan pada sesame jenis, atau fenomena lainnya dalam aktivitas seksual.

Dari sini pendangan syariat islam didasarkan pada dua hukum. Pertama dimakruhkannya anak yang belum mumayiz melihat kedua orangtuanya dalam hubungan seksual diantara mereka. Kedua, diharamkannya anak yang mumayiz melihat aktivitas ini. Hal itu karena yang pertama belum memahami dengan baik apa yang dilihatnya, sedangkan yang kedua sedah mampu memahami apa yang dilihanya. Nabi saw. bersabda, “ demi tuhan yang diriku dalam kekuasaannya,

kalau seorang suami menggauli istrinya, sementara dirumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, maka ia tidak pernah mendapatkan keuntungan, jika anak itu baik laki-laki maupun perempuan menjadi pezina.”13

12

Yusuf Madani, At Tarbiyah al jinsiyyah lil athfal wa al balighin, h. 181.

13

Muhammad taki Falsafi, Ath Thiflu Bain Al Wiratsah Wa Al Tarbiyah, (Baghdad: Dar Atarbiyah, 1969)

(59)

dengan baik.”14

Imam shadiq berkata, “seorang suami tidak menggauli istrinya dan tidak

pula budaknya, sementara dirumah itu ada anak kecil, (bila ia melakukannya) maka ia mewariskan perzinaan.”15

Isti’dzan yang ditekankan silam diantara anak-anak pada fase kedua dari

usia mereka (7-14 tahun) hanyalah upaya preventif untuk mencegah anak dari pemandangan apapun yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya, serta wahana untuk menutup aurat dan melindungi kemuliaan anggota-anggota keluarga. Isti’dzan artinya meminta izin penghuni kamar untuk masuk atau

meninggalkannya. Pendidik muslim dapat menjauhkan anak dari rangsangan seksual apapun selama kaidah pendidikan ini dan yang lainnya digunakan.

5. Pemisahan tempat tidur anak

Pemisahan tempat tidur anak-anak merupakan kaidah pendidikan lain bagi keberhasilan pendidikan seksual kita kepada anak-anak. Melalui pemisahan ini, anak-anak jauh dari kamar kedua orang tua dan diasingkan dari tempat yang di dalamnya dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahan anak laki-laki dari perempuan, dimana masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.

14

Yusuf Madani, At Tarbiyah al jinsiyyah lil athfal wa al balighin, h. 329.

15

Hasan Bin Fudhl Al Thusi, Makarimal Akhlaq, )Bairut : Mansyurat Mu‟assasah Al „A‟lami Li Al

(60)

lain tidak bisa menggunakannya tanpa izinnya. Seharusnya setiap anak memiliki kamar tersendiri dengan berbagai perlengkapannnya, tidak seorangpun berhak ikut campur dalam cara pengaturannya, merpikan peralatannya dan menggunakan barang-barangnya. Pada gilirannnya, melalui pemisahan ini, individu ini dapat menumbuhkan rasa kebebasan dan kemandiriannya.

Perhatikan bahwa islam, seperti telah dikatakan, tidak membatasi pada pada satu batasan usia tertentu untuk memulai pemisahan tempat tidur bagi anak-anak. Kadang-kadang, satu riwayat menentukan batasan sepuluh tahun untuk menerapkan metode pendidikan ini. Riwayat lain menunjukkan batasan 6,7 dan 8 tahun untuk memulai pemisahan tersebut. Barang kali perbedaan-riwayat itu dalam menentukan usia dimulainya pemisahan tempat tidur bagi anak-anak merujuk pada perbedaan kematangan seksual di antara anak-anak yang mumayiz, baik laki-laki maupun perempuan, diantara satu lingkungan dan lingkungan yang lain. Hal itu disebabkan perbedaan perbedaan kondisi geografis, iklim dan pendidikan ditengah masyarakat. Yang terpenting adalah pendidik muslim harus memperhatikan hal tersebut

Nabi saw bersabda

هل ل سر لاق ْم ا ْيلع ْم ْ برْضا نْي س عْ س ءا ْبأ ْم َهصلااب ْمكداْ أ ا رم مهلس ْيلع

)د د با ر( ْعجاضمْلا ْيف ْم نْيباْ قِرف رْشع ءا ْبأ

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: perintahkan anak-anak kalian

Referensi

Dokumen terkait

Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut PPPPTK adalah unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan

Metode ini memiliki keuntungan yaitu peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana (Mustofa, 2008). Populasi yang tinggi serta kandungan senyawa alelokimia

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Manfaat ekonomi dari kegiatan wisata alam Curug Cigamea lebih besar dirasakan oleh pelaku usaha dan tenaga kerja regular

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tesis dengan judul Makna Pendidikan Karakter Bangsa Bagi

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 14 Tahun 2019 tentang Tambahan Penghasilan

Umumnya karya tersebut merupakan reproduksi ulama sebelumnya, baik bersifat pembuktiandan editing (tah}qi>q), perbandingan (muqa>ranah), maupun pengembangan.. Usaha

Gereja menyediakan layanan internet dalam kegiatan kesekretariatan, memiliki alamat website, email, tidak sedikit yang juga memiliki akun media sosial – Facebook,