BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Jumlah kasus
yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas.
Secara epidemiologi dapat dilihat kasus DBD menyerang semua golongan umur,
jenis kelamin, terutama anak-anak. Tetapi dalam dekade terakhir ada kecenderungan
peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa. Kasus DBD menunjukkan
fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim hujan atau beberapa minggu
setelah musim hujan (Depkes RI, 2008).
DBD muncul pertama kali pada tahun 1953 di Philipina, kemudian menyebar
ke banyak negara termasuk ke wilayah Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat.
Menyusul meningkatnya frekuensi dan jumlah kejadian luar biasa (KLB) DBD dan
Syndrom Syok Dengue (SSD). Secara umum diperkirakan setiap orang terpapar atau
berisiko terkena infeksi virus Dengue. Semua kelompok umur terutama anak-anak dapat terinfeksi virus ini, dengan kematian berkisar kurang dari 1% sampai 10%
(rata-rata 5%) (Soegijanto, 2003).
Indonesia pertama kali mengalami KLB DBD di Jakarta dan Surabaya pada
tahun 1968. Tercatat 54 kasus dengan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR) 41,5%.
terjadi disebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan dengan
jumlah kabupaten/kota terjangkit sampai dengan tahun 2005 sebanyak 330
kabupaten/kota (75% dari seluruh kabupaten/kota). Insidens Rate (IR) DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Awalnya pola endemik terjadi setiap lima
tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan
dengan priode antara 2–5 tahunan, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) cenderung menurun (Soegijanto, 2003).
Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kasus DBD yaitu
perkembangan wilayah perkotaan, peningkatan mobilitas, kepadatan penduduk,
perubahan iklim, kurangnya peran serta masyarakat, dan termasuk lemahnya upaya
program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih
mendapat perhatian terutama pada tingkat Kabupaten/Kota dan Puskesmas
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi
dan kurang terlaksananya secara optimal upaya pemberdayaan masyarakat untuk
memantau jentik sebagai upaya pencegahan awal, termasuk mengoptimalkan juru
pemantau jentik (Jumantik). Jumantik bertugas adalah memantau keberadaan jentik
tiap rumah, menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Container Index (CI), memberikan peringatan tentang 3M Plus kepada masyarakat dan apabila ada kejadian
DBD di lingkungan sekitar maka sebagai kader melaporkan kepada puskesmas
Upaya pemberantasan DBD dengan pengendalian vektor melalui surveilans
vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan PSN dilakukan
secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pesan inti 3M Plus. Keberhasilan
kegiatan PSN antara lain dapat diukur pada keberadaan vektor yaitu dengan
mengukur ABJ. Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan
DBD dapat dicegah atau dikurangi (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Penelitian-penelilitian terdahulu menunjukkan bahwa peningkatan angka
incidence kasus DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hasil penelitian
Sidiek (2012) menyatakan bahwa tempat penampungan air, kaleng bekas, ban bekas
dan tempat penampungan air lainnya dapat menjadi tempat berkembang biaknya
nyamuk aedes aegypti.
Penelitian Mubarokah (2013) berdasarkan hasil uji Wilcoxon menunjukkan
ada perbedaan yang bermakna ABJ DBD antara sebelum dan sesudah penggerakan
jumantik dengan nilai p (0,000) <α (0,05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah
penggerakan jumantik dapat meningkatkan ABJ DBD. Penelitian Tanjung (2012)
menunjukkanbahwa praktek kader jumantik dalam melaksanakan PSN DBD 3M Plus
sudah berjalan baik, hal ini didukung oleh pengetahuan dan sikap yang baik,
ketersediaan dan keterjangkauan informasi sudah berjalan baik, dan dukungan dari
Penelitian Putra (2011) menunjukkan bahwa faktor tingkat pengetahuan dan
peran jumantik mempengaruhi pelaksanaan PSN secara signifikan dengan P value
0,032 dan 0,002 (di bawah 0,05) secara berturut-turut. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah tingkat pengetahuan dan peran jumantik merupakan faktor yang penting untuk
mengefektifkan pelaksanaan PSN di wilayah Sawojajar, sehingga dapat mencegah
penyakit Demam Berdarah Dengue.
Kota Pekanbaru adalah salah satu daerah endemis demam berdarah di
Provinsi Riau yang pada tahun 2005 mengalami kejadian luar biasa (KLB) dengan
jumlah penderita DBD 839 jiwa, 12 jiwa diantaranya meninggal dunia (CFR =
1,27%). Tahun 2008 ditemui sebanyak penderita 315 jiwa dengan 5 kematian (CFR =
1,58%). Tahun 2009 sebanyak 397 jiwa dengan 5 kematian (CFR = 1,25%). Tahun
2010 sebanyak 202 jiwa dengan kematian 1 orang (CFR = 0,49%). Tahun 2011
meningkat tajam sehingga dinyatakan mengalami KLB lagi dengan jumlah penderita
426 jiwa dengan kematian 5 jiwa (CFR = 1,17%). Sedangkan tahun 2012 menurun
menjadi 157 jiwa dengan kematian 1 jiwa (CFR = 0,06%).
Kota Pekanbaru terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan dan
masing-masing kelurahan memiliki kader Jumantik sebanyak 25 orang dan pada umumnya
seluruh jumantik sudah pernah dilatih oleh Dinas Kesehatan. Pelaksanaan
penanggulangan DBD melalui pemberdayaan jumantik di wilayah Kota Pekanbaru
bertujuan untuk menurunkan populasi nyamuk penular DBD serta jentiknya dan
pemberian penyuluhan secara langsung kepada masyarakat saat kegiatan pemantauan
menutup dan menimbun) tempat penampungan air. Berdasarkan data bahwa tahun
2012 jumlah kelurahan yang dilakukan penyelidikan epidemiologi ada sebanyak 12
kelurahan dan melakukan pemeriksaan terhadap 7.556 rumah. Kelemahan yang ada
adalah pelaksanaan PSN-DBD masih belum optimal dan belum berkelanjutan
dilakukan oleh juru pemantau jentik, hal ini terlihat dari rendahnya Angka Bebas
Jentik (ABJ). Tahun 2012 yakni 89,70%, menunjukkan bahwa ABJ masih berada di
bawah indikator Nasional (95%) untuk daerah endemis (Dinkes Kota Pekanbaru,
2012).
Berdasarkan hasil survei awal pada tangal 23 Januari 2014 di daerah yang
dipilih sebagai lokasi penelitian yaitu Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan
Damai, jumlah Jumantik sebanyak 100 orang dan pelaksanaan pemantauan jentik
dilakukan 2 kali dalam setiap bulan. Peneliti memilih lokasi survei awal di Kelurahan
Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai dengan alasan bahwa Kecamatan Marpoyan
Damai ini merupakan nomor 2 jumlah kasus terbesar dibanding kecamatan lain
dengan jumlah kasus 20 orang, sedangkan yang nomor 1 adalah Kecamatan Tampan
sebanyak 27 orang pada tahun 2012. Hasil wawancara dengan 10 Jumantik tentang
pelaksanaan tugas pemantauan jentik mereka dibekali surat tugas, identitas diri,
formulir pencatatan dan pelaporan, larvasida, gayung, senter, dan lembar bantu
penyuluhan. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan para Jumantik sering kurang
mendapat kesempatan melakukan tugas dengan lancar karena sebagian masyarakat
menolak Jumantik untuk melakukan tugas ke lingkungan rumah masyarakat dengan
penolakan, bahkan sebagian masyarakat menunjukkan sikap sinis kepada petugas,
sehingga petugas merasa tidak nyaman dalam melaksakan tugasnya. Juga dilaporkan
bahwa beberapa Jumantik mengeluhkan pemberian insentif yang jumlahnya belum
pernah dinaikkan dan pemberian pelatihan yang hanya pada awal pembentukan
namun belum pernah dilakukan penyegaran kembali (Dinkes Kota Pekanbaru, 2012).
Uraian di atas menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan dengan
mengangkat judul “Pengaruh Perilaku dan Motivasi Juru Pemantau Jentik Terhadap
Keberadaan Jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru”.
1.2.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh perilaku dan motivasi juru
pemantau jentik terhadap keberadaan jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan
Damai Kota Pekanbaru.
1.3.Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan bukti nyata tentang pengaruh perilaku dan motivasi juru
pemantau jentik terhadap keberadaan jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan
1.4.Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Ada pengaruh perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) juru pemantau jentik
terhadap keberadaan jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan Damai Kota
Pekanbaru.
2. Ada pengaruh motivasi (motivasi internal: kemauan dan kemampuan;motivasi
eksternal: insentif dan kesempatan) juru pemantau jentik terhadap keberadaan
jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dalam rangka
melakukan evaluasi pelaksanaan PSN dan pemeriksaan jentik melalui
penggerakan jumantik dalam upaya peningkatan ABJ guna mencegah
kejadian penyakit DBD secara efisian, efektif dan menyeluruh.
1.5.2. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain mengenai upaya
penggerakan jumantik dalam upaya meningkatkan ABJ guna mencegah