BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Permasalahan
Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada
masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat
mereka sangat reseptif dalam mengembangkan rasa takut pada hal-hal yang tidak
dikenalnya (Gunawan, 2006). Anak-anak pada umumnya memiliki berbagai
macam ketakutan dan kekhawatiran yang biasanya disebut dengan kecemasan.
Pengalaman yang tidak baik dapat menyebabkan anak menjadi panik dan sangat
ketakutan. Ketakutan ini dapat semakin buruk dan menyebabkan ganggguan
dalam fungsi kehidupan sehari-hari (Mortweet & Christophersen, 2002).
Penyebab munculnya ketakutan pada anak disebabkan oleh banyak hal, tetapi
menurut Farley (dalam Romans, 2007) ketakutan dasar mungkin disebabkan oleh
memori yang samar-samar dari ketidakberdayaan yang berhubungan dengan
kondisi yang mengancam dalam kehidupan manusia, seperti diserang, dijatuhkan,
dihancurkan dan ditinggalkan. Farley (dalam Romans, 2007) juga mengatakan
bahwa genetik dan lingkungan berhubungan dengan ketakutan yang dialami oleh
anak-anak. Sejarah keluarga yang berhubungan dengan kecemasan dan depresi
kadang-kadang bisa mempengaruhi. Orangtua juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap anaknya. Jika orangtua memiliki kecemasan maka ia akan
menceritakannya kepada anak. Allen (dalam Romans, 2007) setuju bahwa
cenderung takut berpisah atau kehilangan orangtua. Pra remaja dan remaja takut
ditolak oleh teman sebaya atau gagal di sekolah.
Menurut Martin & Pear (2003) ketakutan dan kecemasan pada sesuatu yang
tidak rasional, yang berlebihan dan intens membuat seseorang tidak mampu
melakukan apa-apa disebut dengan fobia. Menurut Nevid (2005), bahwa
seseorang bisa saja mempunyai ketakutan terhadap suatu objek tertentu, tetapi
hanya bila ketakutan itu mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan
distres emosional yang signifikan maka barulah dapat didiagnosis sebagai
gangguan fobia.
Selaras dengan pernyataan Martin & Pear (2003), Smith (2011) juga
mengatakan bahwa fobia adalah rasa takut yang intens dari sesuatu yang tidak
atau sedikit menimbulkan bahaya aktual. Fobia atau ketakutan biasanya terhadap
tempat yang tertutup, ketinggian, mengemudi di jalan raya, terbang, serangga, ular
dan jarum. Namun, fobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau
situasi apapun. Fobia berkembang di masa kanak-kanak tetapi mereka juga dapat
berkembang pada orang dewasa. Fobia termasuk dalam gangguan psikologis,
apabila fobia tersebut secara signifikan mempengaruhi gaya hidup atau
keberfungsian seseorang, atau menyebabkan distres yang signifikan (Nevid,
2005).
Ada banyak teori tentang penyebab fobia, Gunawan (2006) mengatakan
bahwa kebanyakan fobia terbentuk melalui dua proses. Proses pertama adalah
sensitizing event (kejadian yang membuat seseorang menjadi sensitif), misalnya
keluar dari lemari. Ia kaget dan berteriak, anaknya yang saat itu juga berada dalam
ruangan yang sama ikut kaget dan menjadi sensitif terhadap kecoa. Proses kedua
adalah activating event (peristiwa yang mengaktifkan), misalnya seekor kecoa
terbang ke arah wajah seorang anak, ia menjadi kaget dan takut sehingga setiap
kali melihat atau mendengar kata kecoa ia akan sangat takut.
Penyebab lain dari fobia adalah kejadian yang menakutkan pada masa
kanak-kanak. Selain itu juga dapat disebabkan oleh orangtua atau caretaker yang
meninggalkan anak sendiri pada usia yang masih sangat kecil. Pikiran yang sadar
mungkin tidak mengingat kejadian ini, tapi pikiran yang tidak sadar mengingat hal
ini. Memori ini dapat menyebabkan ketakutan pada beberapa orang. Selain itu
para ahli juga menduga bahwa fobia dapat disebabkan oleh genetik dan juga orang
yang mengalami trauma (Orr, 1999).
Menurut Gunawan (2006) ketakutan dan fobia tergantung pada karakter setiap
orang. Ada orang yang mengalami peristiwa yang sama tetapi sama sekali tidak
terpengaruh. Sebaliknya, ada yang begitu terpengaruh sehingga menjadi fobia.
Orang yang fobia merasa terancam oleh sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya
bagi hidupnya. Namun, karena situasi yang dihadapi dianggap berbahaya, orang
ini akan mengalami reaksi fisik dan emosional yang sama seperti saat ia
benar-benar dalam situasi berbahaya yang akhirnya membuat orang itu menjadi tegang.
Penelitian yang dilakukan Anxiety Disorders Association of America (ADAA)
(dalam Romans, 2007), menunjukkan bahwa ketakutan dapat menyebabkan
anak-anak memiliki performansi yang jelek di sekolah, memiliki kemampuan sosial
terlarang. Sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV (dalam
Martin & Pear, 2003), gangguan fobia biasanya dikarakteristikkan dengan
ketakutan atau kecemasan yang dapat menyebabkan reaksi fisiologis seperti
tangan basah, menggigil dan jantung yang berdebar, menghindar dari situasi yang
dapat menyebabkan ketakutan muncul dan mempengaruhi perilaku individu
dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa.
Menurut Hostetler (2007) fobia pada anak-anak dapat menyebabkan respon
fisik seperti nafas yang pendek, detak jantung yang cepat, menjerit, lari dan kabur.
Anak-anak mungkin akan menjadi takut untuk meninggalkan rumah sehingga
mempengaruhi perkembangan sosial dan akademik mereka. Fobia juga dapat
mempengaruhi aktivitas keluarga, menghalangi mereka menikmati sesuatu seperti
liburan atau pergi ke tempat-tempat lain.
Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap sesuatu objek
atau situasi spesifik seperti ketakutan terhadap binatang, benda atau situasi
tertentu disebut specific phobia (APA, 2000). Specific phobia sering bermula pada
masa kanak-kanak. Banyak anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek
atau situasi spesifik, tetapi hal ini akan berlalu; akan tetapi pada beberapa orang,
ketakutan ini akan terus berlanjut menjadi fobia kronis yang signifikan secara
klinis (Nevid, 2005).
Specific phobia adalah salah satu gangguan yang paling banyak dialami oleh
anak-anak. Flatt dan King (2008), menunjukkan bahwa fobia pada anak biasanya
berupa fobia pada hewan atau situasi tertentu yang dapat menyebabkan
kompetensi akademik. Karena itu sangat penting untuk menyembuhkan fobia
pada anak-anak maupun orang dewasa secepatnya agar tidak menjadi lebih serius.
Specific phobia adalah salah satu gangguan psikologis yang paling umum,
sekitar 7-11% dari populasi umum (APA, 2000). Specific phobia cenderung
berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade
kecuali bila ditangani dengan baik, dan biasanya perempuan mempunyai
kemungkinan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mengalami
specific phobia (Nevid, 2005).
Specific phobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi
apapun (Nevid, 2005). Ada beberapa penelitian mengenai specific phobia dengan
objek fobia yang beragam, salah satunya adalah Nock (2002) yang meneliti fobia
seorang anak laki-laki terhadap makanan. Anak tersebut memenuhi kriteria
diagnostik specifik phobia dan setiap hendak makan anak tersebut muntah,
sehingga jika dibiarkan akan mengganggu kesehatan anak. Nock mencoba
beberapa treatment untuk mengurangi perilaku muntah anak tersebut.
Dalam penelitian ini yang menjadi benda atau objek fobia juga berupa
makanan yaitu nasi. Nasi merupakan sumber makanan pokok yang dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat. Nasi banyak
mengandung karbohidrat dan air, sehingga nasi putih menjadi sumber tenaga
utama yang cepat karena nasi mudah diserap tubuh. Selain itu kandungan yang
terdapat pada nasi adalah protein. Walaupun kandungannya kecil namun nasi tetap
mengandung protein sekitar 2 gram per 100 gram nasi. Protein dibutuhkan untuk
kecilnya kandungan lemak jenuh, kolesterol dan sodium, bahkan tidak ada sama
sekali. Nasi juga merupakan sumber yang baik untuk zat Mangan yang
dibutuhkan oleh tubuh, sehingga akan lebih baik jika fobia terhadap nasi ini
segera ditangani karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi kesehatan
individu yang mengalami fobia terhadap nasi.
Menurut Satriana (2012) fobia dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan
dengan berbagai cara, diantaranya dengan terapi obat-obatan dan psikoterapi.
Terapi obat-obatan yang dilakukan untuk mengurangi fobia pada umumnya
hampir sama dengan terapi obat-obatan untuk kecemasan. Pada umumnya dokter
menyarankan penggunaan obat psikoleptik, yaitu benzodiazepines dalam dosis
rendah. Jenis obat-obat ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam,
Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau Prazepam
Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan rational emotive behavior
therapy (terapi rasional emotif tingkah laku) pada subjek penelitian yang
mengalami specific phobia, yaitu ketakutan atau fobia terhadap nasi. Terapi
rasional emotif tingkah laku adalah suatu pendekatan dalam membantu
memecahkan masalah-masalah yang dikarenakan oleh pola pikir yang bermasalah
(Ellis, 1997). Peneliti menggunakan terapi ini karena terapi rasional emotif
tingkah laku, menggabungkan tiga teknik yaitu kognitif, emotif dan tingkah laku, .
Psikoterapi yang dapat digunakan untuk mengurangi fobia seperti behavior
modification, cognitive behavioural therapy (CBT), rational emotive behavior
therapy (REBT), hypnotherapy, talk therapy dan neuro linguistic programming
sehingga pemikiran-pemikiran irrasional subjek akan diubah menjadi pemikiran
yang rasional dan juga mengubah emosi negatif subjek menjadi emosi yang
positif dan keduanya akan terlihat dari perilaku yang ditunjukkan subjek (Ellis,
2007). Subjek yang berpikir irrasional mengenai objek fobianya, yaitu nasi, akan
diubah menjadi rasional dan dapat mengendalikan emosinya saat berhadapan
dengan objek fobianya yang terlihat dari perilaku yang subjek perlihatkan.
Selain menggabungkan tiga teknik (kognitif, emotif dan tingkah laku), terapi
rasional emotif tingkah laku juga memiliki ciri terapisnya harus berperan lebih
aktif dibanding subjek dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi subjek
(Ellis, 1997). Hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa peneliti menggunakan
terapi rasional emotif tingkah laku, mengingat yang menjadi subjek penelitian
adalah anak-anak yang masih memerlukan bimbingan dan arahan.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku terhadap anak yang
mengalami specific phobia terhadap nasi.
2. Bagaimana perilaku anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif
tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami specific
phobia terhadap nasi.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat secara teoritis, metodologis
maupun praktis.
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
sumber informasi bagi disiplin psikologi di bidang psikologi klinis anak,
khususnya mengenai konsep terapi rasional emotif tingkah laku dan teori
specific phobia.
2. Secara metodologis, dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan peneliti dalam melaksanakan penelitian studi kasus.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog dalam
menangani kasus-kasus serupa. Dan juga diharapkan dapat membantu orangtua
yang memiliki anak dengan gangguan specific phobia terhadap nasi, agar dapat
menyadari dan memahami sedini mungkin gangguan yang dialami anaknya,
E.Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan terbagi atas beberapa bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan.
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis,
metodologis maupun secara praktis, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka.
Bab ini terdiri dari teori kepustakaan mengenai specific phobia dan
terapi rasional emotif tingkah laku.
Bab III Metode penelitian.
Bab ini menguraikan tentang pendekatan kualitatif, subjek
penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, dan
metode analisis data.
Bab IV Hasil dan pembahasan.
Bab ini berisi analisi dan interpretasi data hasil penelitian serta
pembahasan data-data hasil penelitian dengan teori yang relevan.
Bab V Kesimpulan dan saran.
Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan
dan saran yang berisikan saran-saran praktis sesuai hasil dan
masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk
pihak-pihak yang ingin membuat penelitian lanjutan.