• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL PENELITIAN terkait program

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN HASIL PENELITIAN terkait program "

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PEMADUAN KEISLAMAN DAN KEILMUAN UPAYA INTEGRASI-INTERKONEKSI

ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DI FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

OLEH:

DR. H. AGUS MOH. NAJIB AHMAD BAHIEJ, S.H. M.HUM.

DRS. RIYANTO, M.HUM. HJ. FATMA AMILIA, S.AG. M.SI.

DR. FAKHRI HUSEIN, S.E. BUDI RUHIATUDIN, S.H. M.HUM.

DR. H.M. NUR

LEMBAGA PENELITIAN UIN SUNAN KALIJAGA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga

tercurah kepada Rasulullah saw. Alhamdulillah, penelitian yang berjudul

Pemaduan Keislaman dan Keilmuan: Upaya Integrasi-Interkoneksi Ilmu Agama

dan Ilmu Umum di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini telah

selesai. Penelitian ini dibiayai oleh APBN-P di lingkungan UIN Sunan Kalijaga

tahun 2011.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H.

Musa Asy’arie selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Mardjoko Idris, M.A.

selaku Ketua Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga atas kepercayaan dan

fasilitas pembiayaan penelitian ini, serta Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak lupa pula kami

ucapkan terimakasih kepada seluruh jajaran struktur Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Sunan Kalijaga, dari Kabag Tata Usaha, para Kasubbag, dan para

staf Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Tak ada gading yang tidak retak. Sangat mungkin penelitian ini masih jauh

dari kesempurnaan dan banyak kekuranan walaupun para peneliti telah

melakukannya dengan usaha maksimal. Oleh karena itu, kritik dan saran

membangun akan kami terima dengan lapang dada demi tercapaianya penelitian

yang baik.

Yogyakarta, 13 Desember 2011

Ketua Tim Penelitian,

Dr. Agus Moh. Najib, M.A.

(3)

Abstrak

UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul dan dapat diandalkan.

Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti.

Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang integratif-interkonektif dan non-dikhotomis itu; 2 bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga dan 3. bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi pembelajaran yang digunakan?

Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis, Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi dan juga metode deduksi.

Paradigma dan struktur keilmuan di UIN Sunan Kalijaga masih perlu dirombak karena masih terdapat dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah (hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu

kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah, ilmu-ilmu rasional-filosofis). Paradigma keilmuan Islam yang integralistik dan non-dikhotomi itu kemudian harus berimplikasi pada paradigma dan struktur keilmuan di UIN serta diimplementasikan pada pembentukan (nama-nama) Fakultas dan prodi yang berada di bawahnya.

Terdapat perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga. Secara kelembagaan, Fakultas Syari’ah dan Hukum membuka program studi baru guna mendukung integrasi-interkoneksi ini, yaitu Program Studi Keuangan Islam dan Program Studi Ilmu Hukum.

(4)

DAFTAR ISI

BAB II INTEGRASI DAN INTERKONEKSI DALAM ISLAM A. Paradigma dalam Islam ... 13

C. Pendekatan Pembelajaran, Dosen, dan Mahasiswa ... 141

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 169

B. Saran/Rekomendasi ... 172

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu

PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai

sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan

mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang

oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul

dan dapat diandalkan. Pandangan ini diakui juga oleh universitas dan para

ilmuwan Islamic studies di Barat. Mereka lebih memilih melakukan kerja sama

keilmuan dengan UIN Yogyakarta, di samping UIN Jakarta, di banding

UIN/IAIN/STAIN lainnnya di Indonesia. Kepercayaan tersebut di samping harus

terus dijaga juga seharusnya sebagai pemacu untuk selalu meningkatkan dan

mengembangkan kualitas akademik dan profesionalitasnya tidak hanya pada

tingkat nasional tetapi juga internasional.

Peningkatan kualitas akademik dan profesionalitas tersebut kemudian

menjadi hal yang niscaya ketika dihadapkan pada realitas global yang penuh

persaingan dan tantangan. Karena itu UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana

Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lainnya, menghadapi beberapa tantangan

yang harus segera dihadapi dan diselesaikan, apabila tidak hanya ingin tetap

(6)

keilmuan. Tantangan dimaksud antara lain adalah 1) adanya dikhotomi keilmuan1

di Indonesia secara umum, dan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) secara

khusus,2 dan 2) ilmu-ilmu yang diajarkan di PTAI dianggap kurang relevan

dengan kebutuhan masyarakat sekarang.3 UIN Sunan Kalijaga memiliki tanggung

jawab yang semakin besar untuk menyelesaikan problem dan tantangan tersebut,

karena UIN Sunan Kalijaga sudah menjadi universitas, berdasarkan SK

Mendiknas sejak tanggal 23 Januari 2004, dan tidak lagi menjadi institut.

Dua problem utama di atas sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada

perubahan yang mendasar pada bangunan dan struktur keilmuan yang diajarkan

dan menjadi wilayah kajian di PTAI; yaitu struktur keilmuan yang tidak

dikhotomis dan berorientasi masa kini dan masa depan. Dengan demikian

perubahan menjadi universitas sebenarnya merupakan cermin perubahan kerangka

berpikir menyangkut pengembangan ilmu yang ada selama ini. Dengan demikian

perubahan tidak sekedar secara legal-formal-administratif, tetapi justru yang

1

Dikhotomi keilmuan antara “ilmu-ilmu sekular” dan “ilmu-ilmu agama” pada dasarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir terjadi di seluruh dunia sekarang ini. Di negara Barat ilmu pengetahuan dan teknologi dipisahkan dari agama, sementara di negara-negara Islam “ilmu-ilmu agama” sepertinya terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik)” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 3-4.

2

Di Indonesia, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi, dikhotomi keilmuan tersebut tidak hanya pada paradigma keilmuan yang memisahkan antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”, tetapi juga pada kelembagaannya, yaitu dengan adanya PTAI yang berada di bawah Departemen Agama di satu sisi dan PTU yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional di sisi yang lain. Azyumardi Azra, “Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 2.

3

(7)

terpenting harus dibarengi dengan perubahan bangunan ilmu yang akan

ditradisikan melalui lembaga yang disebut Universitas ini. Bahkan sebelum

perubahan status tersebut dilakukan, seharusnya yang paling awal ditempuh

adalah melakukan kaji ulang terhadap struktur ilmu yang dikembangkan sekaligus

mengadakan kajian intensif tentang struktur dan bangunan keilmuan yang baru

yang akan ditawarkan.4

Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara

pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami

makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam

yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti. Bahkan sangat mungkin

jika tidak dikaji ulang, maka dalam prakteknya akan mengalami nasib yang sama

dengan lembaga pendidikan tinggi yang selama ini berlabel Islam, yang hanya

memisahkan fakultas agama dengan fakultas lainnya, dan biasanya fakultas agama

tersebut hanya menjadi fakultas kedua yang tidak favorit.5

Dengan adanya perubahan tersebut sudah selayaknya UIN Yogyakarta,

melalui fakultas yang ada, tidak terkecuali Fakultas Syari’ah dan Hukum, perlu

melakukan perubahan mendasar secara paradigmatik dalam memandang

ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjawab problem-problem keilmu-ilmuan yang

dikhotomis, baik di lingkungan PTAI maupun di Indonesia pada umumnya.

Bangunan dan struktur keilmuan yang dibangun ini pada gilirannya akan

4

Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menuju UIN: Sebuah Pengantar” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali, hlm. xiii.

5Ibid

(8)

tercermin pada pembentukan nama fakultas dan program studi,6 bahkan

kurikulum yang akan dibentuk pun pada dasarnya merupakan penjabaran dari

struktur keilmuan tersebut.7

Dengan kondisi yang diharapkan seperti itu, sebagai langkah awal penelitian

ini akan mengkaji upaya pemaduan dan relasi antara ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum. Hal ini menarik karena

secara internal Fakultas Syari’ah dan Hukum termasuk fakultas tertua di

lingkungan UIN Sunan Kalijaga sehingga perlu dilihat respon dan perubahannya

setelah menjadi universitas, di samping secara eksternal fakultas Syari’ah dan

Hukum ini juga selalu berhadapan dan bersaing dengan Fakultas Hukum, bahkan

juga Fakultas Ekonomi, pada umumnya.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang

integratif-interkonektif dan non-dikhotomis itu?

6

Menurut A. Qodri Azizy, nama-nama fakultas dan jurusan serta program studi di PTAI perlu dikaji ulang dan diganti nama-namanya dengan bahasa Indonesia. A. Qodri Azizy, “Pengembangan Fakultas, Program Studi, dan Disiplin Ilmu di IAIN”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 8 dan 11.

7

(9)

2. Bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya

interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan

Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga?

3. Bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan

Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi

pembelajaran yang digunakan?

C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas mengenai realitas

paradigma dan struktur keilmuan di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah menjadi

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sehingga kemudian diketahui sejauhmana

perubahan yang terjadi sehingga menuju arah paradigma dan struktur keilmuan

Islam yang integralistik dan non-dikhotomik. Penelitian ini, dengan demikian,

akan menelusuri dan mengkaji seperti apa paradigma dan struktur keilmuan Islam

yang non-dikhotomik tersebut dan bagaimana aplikasinya yang telah ada di

Fakultas Syari’ah dan Hukum, termasuk dalam penamaan fakultas dan program

studi serta arah kurikulum dan strategi pembelajaran yang digunakan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tawaran alternatif bagi

pengembangan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta UIN Sunan Kalijaga secara

umumnya, khususnya dalam hal pembentukan nama(-nama) fakultas dan program

studi serta arah kurikulum yang merupakan manifestasi dari bangunan dan

struktur keilmuan Islam yang non-dikhotomik. Di samping itu hasil penelitian ini

(10)

pengembangan ilmu-ilmu keislaman pada umumnya dan mengenai UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta khususnya.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa buku yang telah membahas tentang pembidangan dan

pengembangan ilmu-ilmu keislaman di PTAI. Untuk menyebut sebagiannya

adalah buku Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama

Islam di Indonesia. Buku ini merupakan antologi yang membahas dan mengkritisi

seputar pembidangan ilmu di PTAI berdasarkan SK Menteri Agama No. 110

tahun 1982 yang disetujui LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).8

Sementara buku Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman karya A. Qodri Azizy

menganalisis ilmu-ilmu keislaman yang ada dan memberikan tawaran-tawaran

pengembangan, hanya saja belum diaplikasikan secara konkrit pada pembentukan

PTAI.9 Begitu pula dengan buku Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan

Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Buku ini

menawarkan dari berbagai sudut pandang tentang bangunan paradigmatik

keilmuan yang integral dan non-dikhotomik, namun karena merupakan kumpulan

8

Iskandar Zulkarnain dan Zarkasji Abdul Salam (Eds.), Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama Islam di Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1995).

9

(11)

tulisan sehingga banyak tawaran dan belum tampak gambaran struktur keilmuan

Islam yang utuh.10

Buku yang lebih aplikatif dan menyentuh aplikasi pada PTAI adalah buku

Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam karya

bersama Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA. Pada tingkat aplikasi, buku ini

menawarkan tiga pasang bidang keilmuan yang akan berimplikasi pada

pembentukan fakultas-fakultas. Tiga pasang bidang keilmuan itu adalah pertama,

Akidah-Humaniora yang diwujudkan melalui fakultas Ilmu Wahyu dan

Kemanusiaan, fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, dan fakultas Pendidikan,

kedua, Mu’amalah-Teknologi yang diwujudkan melalui fakultas Ekonomi,

Fakultas Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, dan Fakultas Sains, dan ketiga,

Akhlak-Ilmu Sosial yang direalisasikan melalui fakultas Sosiologi, fakultas Ilmu

Politik, dan fakultas Studi Kawasan. Seluruh fakultas di atas dijiwai oleh

nilai-nilai Islam, sehingga sebelum memasuki fakultas mahasiswa harus menguasai

terlebih dahulu ilmu-ilmu dasar keislaman melalui semacam matrikulasi. Studi

Islam sendiri, menurut buku ini, sebaiknya hanya diperdalam pada jenjang S-2,

tidak pada S-1.11 Walaupun telah menawarkan aplikasi pada pembentukan

fakultas, tetapi buku ini tidak menawarkan sampai pembentukan program studi

dan arah kurikulum, di samping belum menyentuh UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, apalagi Fakultas Syari’ah dan Hukum-nya yang masih mengkaji studi

Islam pada tingkat S-1.

10

Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003).

11

(12)

Dengan demikian, berbeda dengan buku-buku di atas, penelitian ini akan

menelusuri dari mulai tingkat paradigma dan struktur keilmuan Islam sampai

pembentukan fakultas dan program studi serta arah kurikulum, yang dikaitkan

dengan konteks UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, khususnya Fakultas Syari’ah

dan Hukum, yang menjadikan studi Islam sebagai kajiannya.

E. Landasan Teori

Dalam dunia modern cabang ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga bidang,

yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu Humaniora (humanities), dan

ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu alam pada dasarnya mengkaji

keterulangan dan keteraturan gejala alam serta menemukan hukum-hukum alam

yang eksak. Sementara ilmu humaniora berusaha mengerti dan memahami

karakter budaya dan pikiran manusia yang unik dan abstrak. Ilmu sosial berada di

antara dua ilmu di atas, karena ilmu sosial berusaha mengkaji keterulangan

perilaku dan struktur masyarakat, sehingga menemukan norma-norma sosial yang

dapat terukur secara lebih cermat dan lebih ajeg.12

Sementara itu dalam Islam sesungguhnya tidak dikenal dikotomi antara

ilmu-ilmu qawliyyah (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dan ilmu-ilmu

kawniyyah-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan). Ilmu-ilmu tersebut

dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman ketika secara epistemologis

berangkat dari dan sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat

12

(13)

dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam pada dasarnya bersifat obyektif yang dapat

bermanfaat bagi seluruh makhluk (rahmatan lil ‘alamin). Dengan demikian dalam

Islam terjadi proses obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam,

yang dapat bermanfaat bagi kehidupan seluruh manusia, baik muslim maupun

non-muslim, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, serta tidak

membedakan golongan, etnis, suku, bangsa, dan warna kulit.13

Ilmu-Ilmu keislaman --yang integralistik dengan basis etika Islam yang

humanistik tersebut-- mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu

humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu

alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya

pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik,

walaupun kemudian tidak dikembangkan oleh generasi muslim selanjutnya.

Dengan demikian bidang-bidang keilmuan di atas dapat dikatakan sebagai

ilmu-ilmu keislaman selama secara epitemologis dan aksiologis berangkat dari dan

sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya

dengan ilmu-ilmu sekular yang walaupun mengklaim sebagai value free (bebas

dari nilai dan kepentingan) namun kenyataannya penuh muatan kepentingan baik

secara epistemologis apalagi secara aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan

munculnya kritik dari berbagai pihak terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang

dianggap dehumanistik.14

13

Bandingkan M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik”, hlm. 10-12. 14

(14)

Bangunan dan struktur keilmuan Islam tersebut seharusnya terimplementasi

pada pembentukan nama-nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum

yang akan menjadi wilayah kajian PTAI sebagai perguruan tinggi yang

mengemban amanat untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia.

Apalagi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, termasuk Fakultas Syari’ah dan

Hukum-nya, sebagai salah satu perguruan tinggi Islam tertua di Indonesia,

tanggung jawab itu menjadi semakin besar.

F. Metode Penelitian

Sebagai suatu penelitian yang akan menelusuri paradigma dan struktur

keilmuan dalam Islam dan aplikasinya pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan

pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research) dan yang menjadi sumber data adalah

buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan paradigma dan struktur keilmuan

Islam serta buku dan dokumen mengenai Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis,

yaitu berusaha mendeskripsikan terlebih dahulu pandangan-pandangan mengenai

paradigma dan struktur keilmuan dalam Islam serta aplikasinya di Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang diambil dari data-data yang

terkumpul, kemudian isi dari data yang diperoleh tersebut dianalisis dan

(15)

Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi, yaitu data-data parsial

dari berbagai sumber mengenai paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut

dikumpulkan, diklasifikasikan, dan digeneralisir untuk mendapatkan kesimpulan

yang bersifat umum. Setelah itu kemudian digunakan juga metode deduksi, yaitu

kesimpulan umum tentang paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut

diaplikasikan pada kasus spesifik yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum,

khususnya tentang nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum dan

strategi pembelajarannya.

G. Sistematika Penulisan

Supaya penelitian ini runtut dan dapat menjawab pokok permasalahan yang

menjadi fokus penelitian ini maka pembahasannya disusun sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok

masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

dan sistematika penulisan. Sementara bab kedua akan dikaji mengenai bagaimana

sesungguhnya paradigma keilmuan Islam secara normatif dan upaya rekonstruksi

struktur keilmuan di lingkungan PTAI, khususnya Fakultas Syari’ah. Dalam bab

ini dikaji paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomi dan upaya rekonstruksi

struktur keilmuan tersebut di PTAI.

Bab ketiga akan didibahas mengenai profil Fakultas Syari’ah baik sejarah,

perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dalam bentuknya

yang sekarang. Pada bab keempat dibahas mengenai aplikasi struktur keilmuan

(16)

mengenai perubahan yang terjadi baik pada penamaan fakultas, prodi, kurikulum

dan juga strategi pembelajarannya. Penelitian ini kemudian ditutup dengan bab

(17)

BAB II

INTEGRASI DAN INTERKONEKSI KEILMUAN

DALAM ISLAM

A. Paradigma Keilmuan Islam

Islam sesungguhnya tidak mengenal dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah

(hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan

ilmu-ilmu kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, imu-ilmu

empiris-kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah,

ilmu-ilmu rasional-filosofis).15 Ilmu-ilmu tersebut secara keseluruhan dapat

dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) ketika secara

epistemologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu

yang berangkat dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam secara aksiologis pada

dasarnya bersifat obyektif. Dengan demikian, dalam Islam terjadi proses

obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam, yang dapat bermanfaat

bagi seluruh kehidupan manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik mereka yang muslim

maupun non-muslim, serta tidak membedakan golongan, etnis, maupun suku

bangsa.16

15

Lihat misalnya QS. 41: 53, QS.45: 13. M. Amin Abdullah’ “Desaign Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary”, Makalah dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 16 Maret 2004.

16

(18)

Ilmu-Ilmu keislaman, yang integralistik dengan basis etika Islam yang

humanistik tersebut, mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu

humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu

alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya

pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik,

walaupun kemudian kurang memperoleh perhatian dan tidak dikembangkan oleh

generasi muslim selanjutnya.17 Dengan demikian seluruh bidang keilmuan di atas

dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) selama secara

epitemologis dan aksiologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai ajaran

Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya dengan ilmu-ilmu sekular yang

walaupun mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) namun

kenyataannya penuh muatan kepentingan baik secara epistemologis apalagi secara

aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari berbagai pihak

terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang dianggap dehumanistik.18

Pembidangan ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) dengan demikian

seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis di atas.

Pembidangan ilmu agama Islam, jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang

ada, maka seharusnya terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora, Bidang Ilmu Sosial,

17

Mengenai kontribusi umat Islam dalam perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dunia, dan yang membedakannya dengan para ilmuwan Yunani sebelumnya, sebagaimana akan dikemukakan, lihat misalnya C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 117-129.

18

(19)

dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan Bidang Ilmu Dasar.19

Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama Islam ini sangat

esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan dari tiga bidang ilmu

lainnya. Setiap gerak langkah tiga bidang ilmu tersebut selalu berpijak pada

landasan etika-moral yang dikaji dalam Bidang Ilmu Dasar.

Bidang Ilmu Dasar ini terdiri dari tiga Disiplin Ilmu, yaitu Ilmu Al-Qur’an,

Ilmu Hadis, dan Ilmu Agama-Agama (‘Ilm al-Adyan). Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu

Hadis mengkaji sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, supaya dapat

diinterpretasi terus menerus seiring dengan perkembangan zaman (hermeneutis),

sementara Ilmu Agama-Agama mengkaji Agama-Agama yang ada di dunia

supaya dapat diciptakan rasa saling memahami dan bersikap toleran. Etika-moral

yang terkandung dalam tiga disiplin ilmu inilah yang menjadi pijakan dan

pandangan hidup (worldview) kehidupan manusia yang menyatu dalam satu

tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Karena itu, sebagaimana dikemukakan di

atas, seluruh keilmuan agama Islam secara aksiologis diabdikan bagi

kesejahteraan umat manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar

belakang etnis, agama, ras, maupun golongan.

Sementara tiga Bidang Ilmu lainnya, yaitu Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, dan

Ilmu Kealaman, secara umum terdiri dari Disiplin Ilmu-Disiplin Ilmu yang secara

epistemologis berangkat dari nilai-nilai ajaran Islam. Sementara Bidang Ilmu

19

(20)

Kealaman yang diperlukan terutama adalah penekanan muatan etika Islam pada

tataran aksiologisnya.20 Ilmu-ilmu yang secara epistemologis belum berangkat

dari nilai-nilai ajaran Islam, tentu saja pada perkembangannya kemudian perlu

dibangun epistemologi keilmuan Islamnya. Walaupun ilmu-ilmu keislaman (ilmu

agama Islam) secara epistemologis berbeda dengan ilmu-ilmu sekular, namun

ilmu-ilmu sekular (ilmu konvensional) tersebut tetap perlu dipelajari bahkan tidak

dapat ditinggalkan. Dengan kata lain di samping perlu adanya integrasi dan

intrakoneksitas antar ilmu-ilmu keislaman sendiri, juga perlu adanya dialog

keilmuan dan interkoneksitas antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekular

(ilmu konvensional).21 Dialog dan interkoneksitas dengan ilmu-ilmu sekular

tersebut terjadi baik pada bidang Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, maupun Ilmu

Kealaman/Eksak. Ketika mempelajari Ilmu Fiqh/Hukum Islam, misalnya, maka

perlu juga dikaji sistem-sistem hukum yang lain, begitu pula ketika mempelajari

Ilmu Kalam, Ekonomi Islam, atau Psikologi Islam maka perlu juga dipelajari

Teologi agama lain, Ilmu Ekonomi konvensional, dan Psikologi modern di dunia

Barat.

Adanya intrakoneksitas dan interkoneksitas yang didasarkan pada nilai-nilai

dan etika universal ajaran Islam dalam keilmuan Islam di atas merupakan hal yang

membedakannya dengan ilmu-ilmu Barat yang sekular, baik secara ontologi,

20

Mengenai perbedaan ontologi, epistemologi, dan aksiologi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, lihat misalnya Muchtar Na’im, “Epstemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, hlm. 76-77.

21

(21)

epistemologi, maupun aksiologi. Dengan paradigma keilmuan seperti itu, tidak

menutup kemungkinan umat Islam bangkit dan pada gilirannya dapat memberikan

kontribusi yang besar bagi peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ilmuwan muslim masa

klasik yang memang tidak mendikhotomi ilmu.

Ilmuwan Muslim klasik tidak hanya melakukan transfer ilmu dari Yunani

tetapi juga melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi luar biasa

yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ilmu-ilmu yang ada pada masa

keemasan Islam tersebut, yang terjadi antara abad 8 sampai 12 M, adalah memang

berawal dari penerjemahan ilmu-ilmu Yunani yang sampai ke negeri-negeri Arab.

Namun demikian, ilmu pengetahuan yang ada pada orang Islam saat itu memiliki

ciri khas yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Yunani, sehingga sulit

melukiskan bahwa yang pertama hanyalah sebagai kelanjutan dari yang kedua.

Sebelum munculnya para ilmuwan muslim, keseluruhan ilmu yang ada hanya

merupakan sebuah kumpulan dugaan, kabar angin dan paham-paham yang tidak

berdasar. Bahkan ilmu Yunani pun didasarkan atas hipotesis-hipotesis dan

pendapat yang belum dapat dibuktikan secara empiris. Para ilmuwan muslim lah

yang mendasarkan penyelidikan mereka atas pengamatan dan percobaan. Fakta ini

diakui oleh Philip K. Hitti, William Smith, George Sarton, John Herman Randell

dan beberapa orang lainnya.

Sebagaimana diketahui Bangsa Yunani gemar sekali menalar dan

menggunakan akal di atas segala-galanya. Pengetahuan inderawi dianggap

(22)

kurang dapat diandalkan. Karena itulah bangsa Yunani tidak mendirikan

laboratorium-laboratorium. Aristoteles, Ptolemaeus, Archimedes dan Pythagoras

tidak memiliki laboratorium sendiri, juga tidak bekerja di laboratorium yang

bagaimana pun. Mereka lebih berpikir secara deduktif, dan oleh sebab itu sering

sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal karena

mengabaikan pengamatan dan percobaan.22

Berbeda dengan para ilmuwan Yunani, para ilmuwan Muslim tidak pernah

menerima baik sesuatu hasil pemikiran kecuali jika telah dibuktikan kebenarannya

melalui pengamatan dan percobaan. Mereka memiliki laboratorium sendiri atau

bekerja di laboratorium milik negara. Jabir Ibn Hayyan, misalnya, mempunyai

laboratorium sendiri, di situ ia membuat berbagai macam asam mineral dan

persenyawaan kimia. Demikian pula al-Biruni, Umar Khayyam, Ibnu Sina, Ibnu

Yunus, at-Tusi, al-Kawarizmi dan lain-lain, memiliki atau bekerja di

laboratorium. Oleh karena itu hasil yang mereka capai didasarkan atas percobaan

dan tidak berdasarkan penalaran saja.

Perbedaan lainnya antara ilmu pengetahuan Muslim dan ilmu pengetahuan

Yunani adalah bahwa bagi yang pertama, ilmu itu merupakan keseluruhan

pengetahuan yang berdasarkan hukum dan bukan sekedar sekumpulan informasi,

karenanya kata qanun yang berarti "law atau hukum", merupakan bagian integral

dari nama-nama ilmu, seperti al-Qanun, al-Qanun fi at-Tibb, Qanun al-Mas'udi,

Kitab ad-Dustur, dan sebagainya. Para ilmuwan modern mengikuti cara yang

22

(23)

sama. Misalnya ada Hukum Mendel, Hukum Boyle, dan lain-lain. Sementara

bangsa Yunani tidak mempunyai konsepsi seperti itu mengenai ilmu.

Perbedaan lainnya, bahwa bangsa Yunani walaupun telah mencapai tingkat

pengetahuan dan intelektual yang tinggi, dalam jangka waktu dua belas abad

memimpin bangsa-bangsa lainnya di bidang ilmu pengetahuan, mereka hanya

mampu melahirkan sejumlah kecil ilmuwan yang namanya masih diingat sampai

sekarang, seperti Aristoteles, Galenus, Euclides,, Archimedes, Pythagoras dan

beberapa yang lain. Namun berbeda dengan ilmuwan Muslim yang jumlahnya

sangat banyak, mereka memenuhi cakrawala ilmu pengetahuan dengan

kecemerlangannya. Dalam waktu enam atau tujuh abad, mereka telah

memperkaya gudang ilmu pengetahuan manusia dan memberikan sumbangan

yang tidak sedikit dengan penelitian dan penyelidikan mereka di hampir semua

bidang ilmu.23

Di samping itu, bangsa Yunani hanya meninggalkan sedikit saja buku-buku

keilmuan yang bernilai dibandingkan dengan para ilmuwan Muslim yang telah

mewariskan ratusan bahkan ribuan buku penting mengenai berbagai cabang ilmu

pengetahuan. Misalnya Ibnu Sina telah menulis 246 buah buku, asy-Sufa sendiri

terdiri dari 20 jilid. Buku-buku al-Biruni; Qanun al-Ma'udi, Kitab ad-Dustur dan

at-Tahdid, karya Ibnu Sina Kitab asy-Syifa dan Qanun fi at-Tibb, karya al-Jahiz

Kitab al-Hayawan, karya Ibnu al-Haitam Kitab al-Manzir, semuanya merupakan

karya-karya termasyhur dan diakui oleh kawan maupun lawan sebagai karya

23

(24)

kesarjanaan monumental serta menjadi buku-buku sumber utama bagi

perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Perlu juga dicatat bahwa negeri-negeri yang sebelum masuknya Islam mandul

dari segi intelektual dan ilmu pengetahuan, kemudian menjadi negeri-negeri yang

berkembang dengan cepat dan melahirkan para pemikir dan ilmuwan kelas satu

setelah mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Zahravi, Jabir Ibn Aflah, Ibnu

Zuhr, Ibnu Bitar, Ibnu Rusyd, Ibnu mejriti dan Abu Hamid Gharnati di Spanyol;

Umar Khayyam, al-Biruni, Zakaria ar-Razi, Nasiruddin at-Tusi, dan al-Khazimi di

Iran; Jahiz, Sabit Ibn Qarra, Kirkhi, Ibnu Haitam, Khwarizmi dan

al-Kindi di Lembah Tigris-Eifrat; an-Nafis, al-Farabi, dan Uqlidisi di Syria,

semuanya muncul dan menjadi termasyhur setelah negeri-negeri itu memeluk

Islam. Hal seperti itu tidak pernah terjadi di negeri-negeri tersebut sebelum

masuknya Islam.24

Perkembangan keilmuan dalam masa keemasan Islam sebagaimana diuraikan

di atas, tidak menutup kemungkinan untuk berulang pada masa yang akan datang,

dan pra-syarat untuk itu adalah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk

merekonstruksi keilmuan Islam yang ada sekarang, termasuk yang ada di

lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya di Universitas Islam

Negeri.

Rekonstruksi keilmuan tersebut juga sangat penting dilakukan mengingat

ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Barat dan menjadi ilmu pengetahuan

modern saat ini secara filosofis didasarkan pada paham sekularisme yang

24Ibid

(25)

mengacu pada materialisme dan kematian tuhan. Untuk menetralisir paham

tersebut, ilmu pengetahuan atau sains yang ada sekarang perlu direkonstruksi baik

pada tataran ontologis, aksiologis bahkan epistemologis. Pada aspek ontologis,

misalnya, yang menjadi kajian tidak hanya realitas material yang dapat diserap

panca indera tetapi juga realitas yang non-material25 sehingga akan dapat

menyingkap lebih luas realitas alam semesta. Apabila para ilmuwan hanya

membatasi diri sejak awal pada hal-hal yang bersifat material maka penyingkapan

alam sebagai tujuan sains akan sangat terbatas dan bisa jadi perkembangannya

lambat. Dengan didasarkan pada pandangan fundamental bahwa objek-objek

non-imaterial juga menjadi wilayah telaah dan kajian sains maka definisi ilmu

pengetahuan akan menjadi lebih luas bahkan bisa sampai merombak filsafat ilmu

yang ada. Pandangan ontologis seperti ini juga selaras dengan hakikat manusia

yang tidak hanya membutuhkan pemenuhan hasrat material tetapi juga psikis

bahkan spiritual.26

Kemudian, atas dasar pandangan ontologis di atas, sains secara aksiologis

harus juga bertujuan untuk mengenal Sang Pencipta melalui pola-pola

ciptaan-Nya yang ada di alam ini.27 Tujuan sains seharusnya adalah mengetahui watak

sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan di alam ini. Karena

semua makhluk tunduk pada kehendak Tuhan, maka sains sebenarnya juga

bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam dan keterkaitan seluruh

25

Q.S. Al-Haqqah (69): 38-39. 26

Bandingkan misalnya Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al-Qur`an yang Terlupakan (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 189.

27

(26)

bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi. Dengan

pemahaman ini, ilmuwanmenjadi lebih dekat dan tunduk pada Sang Pencipta.

Tujuan kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia merupakan tujuan

derivatif dari tujuan utama sains untuk mengenal Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Kemudian secara epistemologis, pencarian sains di samping melalui

metodologi ilmiah yang sudah ada, perlu juga diperluas dengan menjadikan

wahyu (Al-Qur`an dan Sunnah Nabi) sebagai salah satu sumber inspirasi sains,

karena fungsi wahyu sebagai petunjuk, termasuk petunjuk bagi perkembangan dan

bangunan sains. Di samping menjadi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains,

wahyu juga akan membawa dan mengkaitkan sains dengan pengetahuan metafisik

dan spiritual. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan sains modern yang justru

pada awal kelahirannya di Barat melepaskan diri dari doktrin relijius gereja,

sehingga kemudian wahyu secara umum tidak mendapat tempat dalam bangunan

dan struktur sains modern.28

Atas dasar itu, sebagaimana telah dikemukakan, pembidangan ilmu-ilmu

keislaman seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis,

sehingga jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang ada, maka

pembidangan ilmu keislaman tersebut terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora,

Bidang Ilmu Sosial, dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan

Bidang Ilmu Dasar. Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama

Islam ini sangat esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan

etik-moral dari tiga bidang ilmu lainnya. Di samping itu, dalam pembidangan ilmu

28

(27)

keislaman juga tidak dikenal adanya dikhotomi antara “ilmu-ilmu agama” dan

“ilmu umum”; kedua rumpun keilmuan tersebut dipandang sebagai

ilmu-ilmu keislaman apabila secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis

didasarkan pada nilai-nilai dan etika universal Islam yang humanistik (rahmatan

lil ‘alamin).

B. Ilmu-Ilmu Syariah

Paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomik di atas seharusnya juga

berlaku dalam bidang ilmu syariah. Apabila dicermati secara historis,

ilmu-ilmu syariah ini apabila dibandingkan dengan nomenklatur keilmu-ilmuan kontemporer

maka mencakup tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hukum Islam dan ini yang dominan

dikaji dalam ilmu syariah atau ilmu fikih. Kemudian kedua adalah ilmu ekonomi

Islam, yang banyak dikaji dalam fikih mu’amalah, dan ketiga ilmu politik Islam,

yang banyak dikaji dalah fikih siyasah. Namun karena keterbatasan pembahasan,

maka uraian selanjutnya akan banyak membahas ilmu syariah dalam kaitannya

dengan ilmu hukum Islam, dan mengenai dua bidang ilmu yang disebut terakhir

para pembaca bisa membandingkan dan menganalogikannya dengan bidang ilmu

hokum Islam ini.

Hukum Islam atau secara umum biasa disebut Fikih, sebagaimana biasa

dipahami, merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap Al-Qur`an dan

Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang didialektikakan dengan konteks dan

realitas masyarakat yang dihadapi. Karena konteks masyarakat bisa berbeda dan

(28)

mengalami perubahan. Dalam konteks keilmuan hokum modern, hokum Islam ini

seharusnya dipahami sebagai norma hukum Islam yang positif,29 yang berbeda

dengan nilai-nilai syariah (syariah dalam arti luas: ajaran Islam) yang ideal dan

juga berbeda dengan adat kebiasaan dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Adat kebiasaan masyarakat (lokal) merupakan praktik sehari-hari yang hidup

secara riil dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus

dalam jangka waktu yang panjang melalui kesadaran kolektif masyarakat itu

kemudian menjadi norma kebiasaan. Norma kebiasaan ini merupakan kenyataan

empiris yang berlaku dalam masyarakat.30 Namun demikian, norma-norma

kebiasaan yang menjadi realita dalam masyarakat ini tidak selalu sesuai dan

selaras dengan nilai-nilai syariah Islam yang bersifat ideal.

Apabila norma kebiasaan berpegang pada kenyataan tingkah laku yang hidup

dalam masyarakat, maka nilai-nilai syariah Islam bersifat ideal yang masih

memerlukan upaya untuk diwujudkan dalam realitas empiris. Nilai-nilai syariah

merupakan idea yang merupakan tolok ukur untuk menilai baik atau buruk, boleh

atau tidak boleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Syariah ini datangnya

bukan dari masyarakat, tetapi berasal dari syāri’ (Allah dan Rasul-Nya) yang

diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup ideal bagi manusia (hudan li

29

Walaupun demikian, hukum Islam pada dasarnya merupakan bingkai dari moral yang dikandungnya. Namun, untuk menjaga moral tersebut perlu ada aturan hukum yang kongkret dan aplikatif, dan tidak hanya sekadar anjuran yang tidak mengikat, terutama apabila dikaitkan dengan konteks negara dalam masyarakat modern.

30

(29)

s) dalam menjalankan hidupnya. Karena sifatnya yang merupakan tatanan ideal,

maka syariah perlu diinterpretasi dan dikontekstualisasikan untuk dapat

diterapkan dalam masyarakat (lokal).

Hasil interpretasi dan kontekstualisasi syariah yang berhadapan secara

diametral dengan norma kebiasaan masyarakat itulah yang disebut fikih sebagai

norma hukum. Fikih, dengan demikian, dibentuk dan diformulasi secara sadar dan

sengaja untuk menghubungkan antara nilai-nilai syariah yang ideal (das sollen,

apa yang seharusnya) dengan norma kebiasaan masyarakat yang riil (das sein, apa

adanya).31 Karena itu, fikih pada dasarnya sangat terikat dengan dunia ideal

syarī’ah dan juga dengan kebiasaan masyarakat yang riil, sehingga pada akhirnya

fikih juga harus mempertanggungjawabkan formulasinya dari dua sudut pandang

tersebut, yaitu tuntutan secara ideal filosofis dan secara sosiologis. Secara

filosofis, fikih harus memasukkan unsur idealita nilai-nilai syariah di dalamnya,

sementara secara sosiologis, fikih harus memperhitungkan bahkan

mengakomodasi kenyataan-kenyataan riil yang hidup dalam masyarakat.32

Dengan demikian, posisi fikih adalah berada di antara syariah yang ideal dan

kebiasaan riil yang ada dalam masyarakat.

Apabila digambarkan dalam bentuk grafik, maka hubungan antara nilai-nilai

idealita syariah, norma kebiasaan yang riil dalam masyarakat (‘urf), dan hukum

31

Dialektika antara nilai-nilai syari'ah dan norma kebiasaan masyarakat ini terlihat dengan jelas pada fikih yang diformulasi oleh para imam mazhab terdahulu; Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 48-49

32

(30)

Islam (fikih sebagai norma hukum) yang berupaya mempertemukan keduanya

adalah sebagai berikut:

Hukum Islam atau fikih sebagai norma hukum ini dengan demikian

merupakan dialektika antara adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat (termasuk

juga hukum adat dan hukum positif yang berlaku) dengan syariah. Hal ini dapat

dimengerti karena syariah-lah yang bersifat ideal, sementara ahkām asy-syarī’ah

ditetapkan sebagai aplikasi kongkret dari nilai-nilai syariah terhadap masyarakat

yang ada berdasarkan konteks turunnya saat itu.33

Perlu adanya penegasan fikih sebagai norma hukum ini adalah karena,

sebagaimana dikemukakan, fikih di samping memuat norma hukum juga masih

kental dengan muatan norma moral. Memang pada dasarnya aturan hukum dalam

Islam adalah untuk menegakkan nilai moral yang dikandungnya, namun apabila

norma moral itu yang menonjol, maka terkadang akan mengesampingkan

penegakan aturan hukum itu sendiri. Misalnya dalam kitab fikih --dan mungkin

33

Dari bagan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam terbentuk dari hasil dialektika antara syariah yang termuat dalam Al-Qur`an dan Sunnah dengan adat kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber hukum Islam pada dasarnya ada tiga, yaitu Al-Qur`an, Sunnah Nabi, dan ‘Urf (adat kebiasaan).

Syariah

Hukum Islam

(31)

dalam beberapa aturan perundangan-- kebolehan poligami (berdasarkan Q.S.

An-Nisā` (4) ayat 3) ditetapkan sebagai aturan hukum yang positif, namun syarat adil

untuk berpoligami (berdasarkan Q.S. An-Nisā` (4) ayat 3 dan 129) hanya

dipandang sebagai anjural moral semata, sehingga kemudian keadilan tersebut

hanya mengikat kesadaran suami, dan apabila syarat adil tersebut dilanggar, maka

suami tidak dapat disanksi secara hukum. Begitu pula mengenai mut’ah dan

nafkah yang diberikan suami bagi istri yang ditalak sering kali hanya lebih

sebagai anjuran moral daripada aturan hukum yang apabila dilanggar suami dapat

terkena sanksi.34 Penegasan fikih sebagai norma hukum ini menjadi sangat

penting ketika hukum Islam akan diterapkan menjadi aturan negara.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, maka fikih sebagai norma hukum Islam

merupakan seperangkat aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syariah

dengan adat kebiasaan masyarakat Indonesia, yang dirumuskan secara sadar dan

sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Aturan hukum Islam di

Indonesia tersebut di samping secara filosofis harus memuat dan sesuai dengan

nilai-nilai syariah, juga secara sosiologis harus sesuai dengan kondisi sosial

budaya masyarakat Indonesia. Adat kebiasaan di Indonesia dimaksud berarti juga

hukum Adat yang berlaku di berbagai masyarakat dan juga hukum Belanda yang

sekarang masih berlaku di Indonesia. Atas dasar itu, pengkajian hokum Islam dan

hukum umum secara berdampingan, sebagaimana yang dilakukan di Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, merupakan sebuah keniscayaan dalam

34

(32)

bangunan keilmuan Islam.35 Namun sejauhmana implementasi paradigm keilmuan

yang non-dikhotomik di Fakultas Syariah dan Hukum tersebut, hal ini akan

dibahas pada bab-bab selanjutnya.

35

(33)

BAB III

PROFIL FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

A. Sejarah Fakultas Syariah dan Hukum

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional

2003, pembaruan sistem pendidikan memerlukan strategi. Strategi pembangunan

pendidikan nasional di antaranya adalah pelaksanaan otonomi manajemen

pendidikan dan pemberdayaan peran masyarakat.

Kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta di

tengah masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang

telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk

mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis

sejak zaman penjajahan.

Berdirinya Fakultas Syari’ah tidak lepas dari sejarah perkembangan UIN

Sunan Kalijaga. Perguruan Tinggi ini berawal dari penegerian Fakultas Agama

Universitas Islam Indonesia (UII) dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam

Negeri (PTAIN) pada tahun 1950. PTAIN, berdasarkan PP No. 34 Tahun 1950,

membuka tiga Jurusan: Qadla, Tarbiyah dan Dakwah. Setelah berjalan kira-kira

sembilan tahun dirasakan tidak mungkin lagi PTAIN mempertahankan hanya satu

fakultas karena demikian luasnya ilmu pengetahuan keagamaan Islam, maka pada

tahun 1960 PTAIN dilebur dan digabungkan dengan Akademi Dinas Ilmu Agama

(ADIA) milik Departemen Agama yang didirikan di Jakarta dengan Penetapan

(34)

Penggabungan tersebut melahirkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

berdasarkan Peraturan Presiden RI No 11 Tahun 1960 dan Penetapan Menteri

Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan IAIN. Waktu itu namanya

adalah IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah diresmikan berdirinya oleh

Menteri Agama RI pada tanggal 28 Agustus 1960. Selanjutnya, berdasarkan

penetapan di atas, dinyatakan bahwa IAIN mempunyai empat fakultas, yaitu

Fakultas Ushuluddin dan Syariah yang berkedudukan di Yogyakarta, Fakultas

Tarbiyah dan Adab di Jakarta.

Dengan demikian Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (waktu itu nama

Sunan Kalijaga belum dipakai) merupakan pemekaran dari Jurusan Qadla

(Peradilan Agama Islam) pada PTAIN sebelumnya. Pasal 4 ayat (3) Penetapan

Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 menyebutkan bahwa Fakultas Syari’ah

memiliki tiga jurusan, yaitu : (1) Jurusan Tafsir/Hadits, Jurusan Fiqh, dan (3)

Jurusan Qadla. Beberapa waktu kemudian jurusan Tafsir/Hadits dipecah menjadi

dua: masing-masing Jurusan Tafsir dan Jurusan Hadits. Akan tetapi dengan

keluarnya Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Kep./ D.VI/218/1974 tentang

jurusan-jurusan pada fakultas-fakultas di lingkungan IAIN, Jurusan Tafsir dan

Jurusan Hadits disatukan kembali seperti dalam Penetapan Menteri Agama

Nomor 43 tahun 1960. Sedang jurusan Qadla disebut dengan Jurusan Peradilan

Agama dan Jurusan Fiqih disebut dengan Jurusan Perdata dan Pidana Islam

(Mu’amalat wal Jinayat). Kedudukan jurusan-jurusan seperti di atas tidak

(35)

Kemudian, dengan terbitnya SK Menteri Dalam Negeri No. 122 Tahun 1988

tentang pelaksanaan kurikulum S1 pada IAIN, Jurusan Tafsir dan Hadits

dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin terhitung tahun ajaran 1989/1990 dan

sebagai gantinya Fakultas Syari’ah membuka jurusan Perbandingan Madzhab

(PM), tetapi masih menyelesaikan mahasiswa jurusan TH yang masih ada sampai

lulus.

Tahun akademik 2000/2001 dibuka Program Studi Keuangan Islam (KUI).

Saat ini Fakultas Syari’ah memiliki enam program studi. Tiga diantaranya

merupakan hasil pengembangan dari jurusan-jurusan yang telah dikelola sejak

tahun 1960, yaitu Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (AS) yang merupakan

pengembangan dari jurusan Qodlo (1960-1974) dan jurusan Peradilan Agama

(1974-1977); program studi Jinayah-Siyasah (JS) dan Mu’amalah (MU) yang

masing-masing merupakan pengembangan dari jurusan Fiqh (1960-1974); Perdata

Pidana Islam (1974-1989) dan Muamalah Jinayah (1989-1977). Keempat adalah

Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) yang mulai dibuka pada tahun

akademik 1989/1990. Pada tahun 2000 pada Jurusan Muamalat dikembangkan

dengan Program Studi baru yakni Jurusan/Program Studi Keuangan Islam (KUI).

Kemudian pada tahun akademik 2009/2010 dibuka lagi satu program studi yaitu

Program Studi Ilmu Hukum (IH).

Sebagai Program Studi baru, Program Studi Ilmu Hukum didirikan

berdasarkan:

1. Rekomendasi Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

(36)

penyelenggaraan Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syari’ah UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta,

2. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI

No. Dj. 1/32/09 tanggal 20 Januari 2009 tentang izin Pembukaan Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

3. Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor DS-12 a

Tahun 2009 tentang Pembukaan Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas

Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dengan demikian jurusan-jurusan yang ada pada Fakultas Syari’ah sampai

saat ini (2011/2012) adalah sebagai berikut.

1. Jurusan/program studi Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (AS); Jurusan ini

berupaya untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran hukum keluarga

Islam yang berwawasan kemanusiaan dan keindonesiaan.

2. Jurusan/program studi Jinayah – Siyasah (JS); Jurusan ini melaksanakan

pembelajaran dalam bidang pengembangan Ilmu Hukum Pidana dan

Ketatanegaraan Islam.

3. Jurusan/Program Studi Muamalah (MU); Jurusan ini melaksanakan

pembelajaran dalam bidang hukum bisnis Islam.

4. Jurusan/Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH);

5. Jurusan/Program Studi Keuangan Islam (KUI); Jurusan ini melakukan

pembelajaran dalam bidang keuangan Islam, khususnya dalam hal akuntasi

(37)

6. Jurusan/Program Studi Ilmu Hukum (IH); Jurusan ini melakukan

pembelajaran dalam bidang ilmu hukum.

Seiring penambahan Jurusan/program studi baru, Fakultas Syariah berubah

menjadi Fakultas Syariah dan Hukum yang diperkuat dengan SK Rektor nomor

36 tahun 2010 tertanggal 18 Februari 2010. Rencana Strategik (Renstra) tahun

2009-2011 Fakultas Syari’ah dan Hukum telah melaksanakan rangkaian

pengembangan dalam berbagai bidang, yaitu Bidang Pendikan dan Pengajaran;

Bidang Penelitian; Bidang Pengabdian kepada Masyarakat; Bidang Kelembagaan;

Bidang Laboratorium dan Sistem Informasi; Bidang Sumber Daya Manusia;

Bidang Kemahasiswaan dan Alumni; Bidang Keuangan; Bidang Sarana dan

Prasarana.

B. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Fakultas Syari’ah dan Hukum

Perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga tersebut tidak hanya

merombak fisik kampus, tetapi juga menata kembali sistem pengelolaan kampus,

atau manajemen, agar lebih efisien dan berdaya guna. Oleh karena itu, diperlukan

transformasi manajemen UIT yang memenuhi tuntutan profesionalisme dan

jaminan kualitas output (lulusan). Transformasi manajemen Fakultas Syariah dan

Hukum yang diperlukan di dalam pengembangan IAIN menjadi UIN Sunan

Kalijaga meliputi antara lain:

1. Redefining Vision & Mission Of UIN, yaitupeninjauan kembali tentang visi

(38)

utama pendidikan tinggi Indonesia dalam membangun ”Nation

Competitiveness”.

2. Encouraging Institution To The Need For Self-Evaluation, yaitu salah satu

langkah awal untuk menentukan arah perbaikan serta rencana pentahapan

pengembangan suatu institusi.

3. Formulating Strategic Plan, adalah suatu strategi untuk mencapai visi dan

misi UIN yang baru.

4. Redefining The University Governance/ Organization, adalah usaha

mewujudkan perangkat kelembagaan yang baik atau good governance dalam

rangka pencapaian rencana strategik. Good university governance berfokus

pada fairness, transparancy, accountability, responsibility.

5. Managing Organization With Redefined Vision & Mission. Pada tahap ini,

yang diperlukan adalah manajemen yang terpadu baik secara horizontal (antar

eksekutif di tingkat tertinggi/universitas sampai dengan tingkat yang

terendah/ Jurusan dan Program Studi) maupun secara vertikal (antara

Rektorat dengan program studi).

Pada hakikatnya membentuk Visi organisasi adalah menggali gambaran

bersama mengenai masa depan, berupa komitmen murni tanpa adanya rasa

terpaksa. Visi adalah mental model masa depan, dengan demikian Visi harus

menjadi milik bersama dan diyakini oleh seluruh anggota organisasi. Pernyataan

Misi merupakan tujuan yang unik dan mendasar yang membuat suatu usaha

berbeda dengan usaha sejenis lainnya dan menunjukkan cakupan dari kegiatan

(39)

Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana institusi harus dibawa agar

dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu gambaran yang menantang

keadaan masa depan yang diinginkan oleh institusi. Misi merupakan pernyataan

yang menetapkan tujuan institusi dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi

membawa institusi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa institusi itu

ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana melakukannya.

Dalam rangka sosialisasi dan meningkatkan pemahaman kepada civitas

akademika maka diadakan program pemantapan dan perumusan ulang visi dan

misi yang berlangsung cukup panjang melalui beberapa tahapan pembahasan yang

intensif yang melibatkan seluruh unsur yang terlibat dalam pengelolaan institusi.

Adapun tahapan-tahapan kegiatannya adalah sebagai berikut:

1. Workshop Redefining Vision and Mission ( November 2004 )

2. Penyusunan Visi dan Misi Universitas, Fakultas, PPs, dan Jurusan/Program

studi ( Desember 2004 )

3. Presentasi dan pembahasan dan refleksi Visi dan misi (Desember 2004).

a. Visi

Unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan pengembangan ilmu Syari’ah

dan hukum secara integratif dan interkonektif untuk kemajuan peradaban.

b. Misi

Adapun misi Fakultas Syari.ah dan Hukum adalah sebagai berikut.

(1) Mengembangkan pendidikan dan pengajaran dalam bidang ilmu syari’ah dan

(40)

(2) Mengembangkan budaya ijtihad dalam penelitian ilmu syari’ah dan hukum

secara multidisipliner yang bermanfaat bagi kepentingan akademik dan

masyarakat.

(3) Meningkatkan peran serta fakultas dalam pemberdayaan masyarakat melalui

penerapan ilmu syari’ah dan hukum bagi terwujudnya masyarakat madani.

(4) Mengembangkan jaringan kerja sama Fakultas dengan berbagai pihak untuk

meningkatkan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama dalam

bidang syari’ah dan hukum.

c. Tujuan

(1) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang memiliki kemampuan

akademik dan profesional yang integratif-interkonektif.

(2) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang beriman, berakhlak mulia,

memiliki kecakapan sosial dan manajerial, dan berjiwa kewirausahaan

(enterpreneurship) serta rasa tanggung jawab sosial.

(3) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang menghargai nilai-nilai

keilmuan dan kemanusiaan.

(4) Menjadikan Fakultas Syari’ah dan Hukum sebagai pusat studi yang unggul

dalam bidang kajian dan penelitian ilmu syari’ah dan hukum yang

integratif-interkonektif.

(5) Terbangunnya jaringan yang kokoh dan fungsional dengan para alumni.

d. Sasaran dan strategi pencapaiannya

Sasaran:

(41)

(2) Meningkatkan jumlah, kualitas dan relevansi hasil penelitian sesuai dengan

kebutuhan masyarakat;

(3) Meningkatkan keikutsertaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam menangani

masalah sosial dan keagamaan;

(4) Meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan;

(5) Meningkatkan kinerja pelayanan pada pelanggan;

(6) Kerjasama dengan instansi di luar fakultas;

(7) Mengingkatnya jumlah kerjasama kemitraan;

(8) Meningkatkan kualitas pelayanan di bidang akademik dan non akademik;

(9) Meningkatnya penerapan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat;

(10) Tercapainya lulusan sarjanan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang berprestasi

dan tepat waktu;

(11) Meningkatnya kinerja pegawai;

(12) Meningkatnya mutu pengelolaan fakultas;

Strategi:

(1) Kemudahan aksesibilitas informasi pasar tenaga kerja dan peluang usaha.

(2) Peningkatan akuntabilitas kinerja untuk mendorong terwujudnya Good

Corporate Governance;

(3) Setiap pelanggan berhak mendapat pelayanan terbaik;

(4) Tingginya kinerja pegawai mendukung peningkatan pelayanan dan penerapan

(42)

(5) Peningkatan kualitas pelayanan internal dalam mendorong peningkatan

profesionalitas dan kinerja pegawai;

Pelaksanaan visi, misi, sasaran dan tujuan aktivitas proses belajar mengajar di

lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum selalu berpegang pada prinsip upaya

meningkatkan keunggulan program studi yag selalu dibangun berdasarkan

keunggulan kompetitif, selalu berupaya meningkatkan kualitas lulusan yang

berakhlak mulia, efektif dan efisien dalam sumber daya manusi adan penggunaan

sarana-prasaraa, serta selalu menjaga kebersihan dan pemeliharaan.

C. Jurusan dan Program Studi

Di bidang pendidikan dan pengajaran, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta saat ini menyelenggarakan pendidikan jenjang S1

sebagai berikut :

No Nama Jurusan / Program Studi Jenjang Terakreditasi

1 Al Ahwal al-Syakhsiyyah S1 B

2

Perbandingan Mazhab dan

Hukum

S1 B

3 Jinayah Siyasah S1 B

4 Muamalah S1 B

5 Keuangan Islam S1 A

(43)

Apabila telah menyelesaikan program pendidikan dan dinyatakan lulus sesuai

dengan persyaratan yang ditentukan, maka kepada para lulusan diberikan ijazah

sebagai tanda penghargaan akademik dari suatu fakultas/program studi.

Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen

Agama No. E/10 tahun 2002 tentang sebutan Lulusan Perguruan Tinggi Agama

Islam (khususnya bagi Program S1), yang semula seluruhnya bergelar Sarjana

Agama (S.Ag) diubah menjadi:

1) Prodi yang mengkaji hukum Islam dengan sebutan gelar Sarjana Hukum

Islam (S.H.I.);

2) Prodi yang mengkaji Ekonomi Islam, dengan sebutan gelar Sarjana Ekonomi

Islam (S.E.I.);

3) Prodi yang mengkaji Ilmu Hukum, dengan sebutan gelar Sarjana Hukum

(S.H.)

D. Pendidikan dan Pengajaran

1. Dosen

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum berjumlah 76 orang dengan berbagai

macam jenjang kepangkatan dan pendidikan sebagai berikut.

No. Hal

Jumlah Dosen Tetap yang bertugas pada Program Studi:

Total

AS JS MU PMH KUI IH

A Jabatan

(44)

1 Cados 2 1 1 1 1 1 7

2 Asisten Ahli 0 0 1 3 1 1 6

3 Lektor 8 5 6 1 12 3 35

4 Lektor Kepala 4 6 5 7 1 4 27

5 Guru

Besar/Profesor

1 2 1 1 - 3 8

TOTAL 13 13 13 12 14 11 83

B Pendidikan

Tertinggi :

1 S1 0 0 0 0 0 0 0

2 S2/Profesi/Sp-1 11 10 11 11 11 8 62

3 S3/Sp-2 2 3 3 1 3 3 14

(45)

Apabila data tersebut dibuat grafik, maka akan terlihat sebagai berikut:

0 5 10 15 20 25 30 35

Grafik Dosen Berdasarkan Jenjang Kepangkatan

0 10 20 30 40 50 60 70

Grafik Dosen Berdasarkan Tingkat Pendidikan

2. Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum berjumlah total 2.958 mahasiswa

(46)

No. Mahasiswa

Jumlah Mahasiswa Jurusan/Program Studi Total

AS JS MU PMH KUI IH

1 Mahasiswa 542 378 451 285 946 356 2.958

Apabila data tersebut dibuat grafik, maka dapat dilihat sebagai berikut:

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

Grafik Jumlah Mahasiswa Per Jurusan/Prodi

3. Kurikulum

a. Teori Pengembangan Kurikulum

Menurut, S. Nasution bahwa pembaharuan kurikulum mengikuti dua

prosedur, yaitu (1) Administrative approach, yaitu suatu perubahan atau

pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk kemudian diturunkan

kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi from the top

down, dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. (2) grass roots

Gambar

Grafik Dosen Berdasarkan Jenjang Kepangkatan
Grafik Jumlah Mahasiswa Per Jurusan/Prodi
tabel berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Akibat genangan empat hari jumlah cabang tertinggi didapat pada varietas Laris, namun jumlah cabang yang tinggi tersebut tidak didukung oleh kondisi akar akibatnya jumlah dan bobot

Berdasar kriteria tersebut kemudian dilakukan pembobotan dan perangkingan menggunakan metode Fuzzy Multiple Atribute Decision Making (MADM), dalam penelitian ini didapat hasil

14 Bagaimanakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam meningkatkan keterampilan siswa untuk menyajikan/mengemukakan argumen terkait dengan cara

Menurut Pujosuwarno (1994:13) fungsi-fungsi pokok keluarga antara lain: 1) Fungsi pengaturan seksual, keluarga sebagai wadah yang sah baik ditinjau dari segi agama maupun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan transversa dari lempeng resin basis gigitiruan jenis termoplastik nilon merek Lucitone FRS adalah yang paling rendah

Frekuensi tumbuhan inang yang terserang pa- ling tinggi adalah dari suku Moraceae, khususnya dari jenis-jenis Ficus. Kerusakan tumbuhan inang yang diparasiti oleh benalu

Sebagai ilmuan Antropologi tentu saya tidak piawai dalam ilmu ekonomi, oleh karena itu berikut ini saya kutipkan pandangan dari seorang ekonom yang saya nilai

berdasarkan Surat Bukti Kredit (SBK) yang diterbitkan. Untuk pembiayaan pinjaman, Pegadaian konvensional menghitung berdasarkan uang pinjaman yang merupakan hasil