LAPORAN HASIL PENELITIAN
PEMADUAN KEISLAMAN DAN KEILMUAN UPAYA INTEGRASI-INTERKONEKSI
ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DI FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA
OLEH:
DR. H. AGUS MOH. NAJIB AHMAD BAHIEJ, S.H. M.HUM.
DRS. RIYANTO, M.HUM. HJ. FATMA AMILIA, S.AG. M.SI.
DR. FAKHRI HUSEIN, S.E. BUDI RUHIATUDIN, S.H. M.HUM.
DR. H.M. NUR
LEMBAGA PENELITIAN UIN SUNAN KALIJAGA
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah saw. Alhamdulillah, penelitian yang berjudul
Pemaduan Keislaman dan Keilmuan: Upaya Integrasi-Interkoneksi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini telah
selesai. Penelitian ini dibiayai oleh APBN-P di lingkungan UIN Sunan Kalijaga
tahun 2011.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H.
Musa Asy’arie selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Mardjoko Idris, M.A.
selaku Ketua Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga atas kepercayaan dan
fasilitas pembiayaan penelitian ini, serta Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak lupa pula kami
ucapkan terimakasih kepada seluruh jajaran struktur Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga, dari Kabag Tata Usaha, para Kasubbag, dan para
staf Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Tak ada gading yang tidak retak. Sangat mungkin penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekuranan walaupun para peneliti telah
melakukannya dengan usaha maksimal. Oleh karena itu, kritik dan saran
membangun akan kami terima dengan lapang dada demi tercapaianya penelitian
yang baik.
Yogyakarta, 13 Desember 2011
Ketua Tim Penelitian,
Dr. Agus Moh. Najib, M.A.
Abstrak
UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul dan dapat diandalkan.
Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti.
Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang integratif-interkonektif dan non-dikhotomis itu; 2 bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga dan 3. bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi pembelajaran yang digunakan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis, Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi dan juga metode deduksi.
Paradigma dan struktur keilmuan di UIN Sunan Kalijaga masih perlu dirombak karena masih terdapat dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah (hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu
kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah, ilmu-ilmu rasional-filosofis). Paradigma keilmuan Islam yang integralistik dan non-dikhotomi itu kemudian harus berimplikasi pada paradigma dan struktur keilmuan di UIN serta diimplementasikan pada pembentukan (nama-nama) Fakultas dan prodi yang berada di bawahnya.
Terdapat perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga. Secara kelembagaan, Fakultas Syari’ah dan Hukum membuka program studi baru guna mendukung integrasi-interkoneksi ini, yaitu Program Studi Keuangan Islam dan Program Studi Ilmu Hukum.
DAFTAR ISI
BAB II INTEGRASI DAN INTERKONEKSI DALAM ISLAM A. Paradigma dalam Islam ... 13
C. Pendekatan Pembelajaran, Dosen, dan Mahasiswa ... 141
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 169
B. Saran/Rekomendasi ... 172
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu
PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai
sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan
mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang
oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul
dan dapat diandalkan. Pandangan ini diakui juga oleh universitas dan para
ilmuwan Islamic studies di Barat. Mereka lebih memilih melakukan kerja sama
keilmuan dengan UIN Yogyakarta, di samping UIN Jakarta, di banding
UIN/IAIN/STAIN lainnnya di Indonesia. Kepercayaan tersebut di samping harus
terus dijaga juga seharusnya sebagai pemacu untuk selalu meningkatkan dan
mengembangkan kualitas akademik dan profesionalitasnya tidak hanya pada
tingkat nasional tetapi juga internasional.
Peningkatan kualitas akademik dan profesionalitas tersebut kemudian
menjadi hal yang niscaya ketika dihadapkan pada realitas global yang penuh
persaingan dan tantangan. Karena itu UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lainnya, menghadapi beberapa tantangan
yang harus segera dihadapi dan diselesaikan, apabila tidak hanya ingin tetap
keilmuan. Tantangan dimaksud antara lain adalah 1) adanya dikhotomi keilmuan1
di Indonesia secara umum, dan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) secara
khusus,2 dan 2) ilmu-ilmu yang diajarkan di PTAI dianggap kurang relevan
dengan kebutuhan masyarakat sekarang.3 UIN Sunan Kalijaga memiliki tanggung
jawab yang semakin besar untuk menyelesaikan problem dan tantangan tersebut,
karena UIN Sunan Kalijaga sudah menjadi universitas, berdasarkan SK
Mendiknas sejak tanggal 23 Januari 2004, dan tidak lagi menjadi institut.
Dua problem utama di atas sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada
perubahan yang mendasar pada bangunan dan struktur keilmuan yang diajarkan
dan menjadi wilayah kajian di PTAI; yaitu struktur keilmuan yang tidak
dikhotomis dan berorientasi masa kini dan masa depan. Dengan demikian
perubahan menjadi universitas sebenarnya merupakan cermin perubahan kerangka
berpikir menyangkut pengembangan ilmu yang ada selama ini. Dengan demikian
perubahan tidak sekedar secara legal-formal-administratif, tetapi justru yang
1
Dikhotomi keilmuan antara “ilmu-ilmu sekular” dan “ilmu-ilmu agama” pada dasarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir terjadi di seluruh dunia sekarang ini. Di negara Barat ilmu pengetahuan dan teknologi dipisahkan dari agama, sementara di negara-negara Islam “ilmu-ilmu agama” sepertinya terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik)” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 3-4.
2
Di Indonesia, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi, dikhotomi keilmuan tersebut tidak hanya pada paradigma keilmuan yang memisahkan antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”, tetapi juga pada kelembagaannya, yaitu dengan adanya PTAI yang berada di bawah Departemen Agama di satu sisi dan PTU yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional di sisi yang lain. Azyumardi Azra, “Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 2.
3
terpenting harus dibarengi dengan perubahan bangunan ilmu yang akan
ditradisikan melalui lembaga yang disebut Universitas ini. Bahkan sebelum
perubahan status tersebut dilakukan, seharusnya yang paling awal ditempuh
adalah melakukan kaji ulang terhadap struktur ilmu yang dikembangkan sekaligus
mengadakan kajian intensif tentang struktur dan bangunan keilmuan yang baru
yang akan ditawarkan.4
Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara
pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami
makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam
yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti. Bahkan sangat mungkin
jika tidak dikaji ulang, maka dalam prakteknya akan mengalami nasib yang sama
dengan lembaga pendidikan tinggi yang selama ini berlabel Islam, yang hanya
memisahkan fakultas agama dengan fakultas lainnya, dan biasanya fakultas agama
tersebut hanya menjadi fakultas kedua yang tidak favorit.5
Dengan adanya perubahan tersebut sudah selayaknya UIN Yogyakarta,
melalui fakultas yang ada, tidak terkecuali Fakultas Syari’ah dan Hukum, perlu
melakukan perubahan mendasar secara paradigmatik dalam memandang
ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjawab problem-problem keilmu-ilmuan yang
dikhotomis, baik di lingkungan PTAI maupun di Indonesia pada umumnya.
Bangunan dan struktur keilmuan yang dibangun ini pada gilirannya akan
4
Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menuju UIN: Sebuah Pengantar” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali, hlm. xiii.
5Ibid
tercermin pada pembentukan nama fakultas dan program studi,6 bahkan
kurikulum yang akan dibentuk pun pada dasarnya merupakan penjabaran dari
struktur keilmuan tersebut.7
Dengan kondisi yang diharapkan seperti itu, sebagai langkah awal penelitian
ini akan mengkaji upaya pemaduan dan relasi antara ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum. Hal ini menarik karena
secara internal Fakultas Syari’ah dan Hukum termasuk fakultas tertua di
lingkungan UIN Sunan Kalijaga sehingga perlu dilihat respon dan perubahannya
setelah menjadi universitas, di samping secara eksternal fakultas Syari’ah dan
Hukum ini juga selalu berhadapan dan bersaing dengan Fakultas Hukum, bahkan
juga Fakultas Ekonomi, pada umumnya.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang
integratif-interkonektif dan non-dikhotomis itu?
6
Menurut A. Qodri Azizy, nama-nama fakultas dan jurusan serta program studi di PTAI perlu dikaji ulang dan diganti nama-namanya dengan bahasa Indonesia. A. Qodri Azizy, “Pengembangan Fakultas, Program Studi, dan Disiplin Ilmu di IAIN”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 8 dan 11.
7
2. Bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya
interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan
Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga?
3. Bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan
Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi
pembelajaran yang digunakan?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas mengenai realitas
paradigma dan struktur keilmuan di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah menjadi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sehingga kemudian diketahui sejauhmana
perubahan yang terjadi sehingga menuju arah paradigma dan struktur keilmuan
Islam yang integralistik dan non-dikhotomik. Penelitian ini, dengan demikian,
akan menelusuri dan mengkaji seperti apa paradigma dan struktur keilmuan Islam
yang non-dikhotomik tersebut dan bagaimana aplikasinya yang telah ada di
Fakultas Syari’ah dan Hukum, termasuk dalam penamaan fakultas dan program
studi serta arah kurikulum dan strategi pembelajaran yang digunakan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tawaran alternatif bagi
pengembangan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta UIN Sunan Kalijaga secara
umumnya, khususnya dalam hal pembentukan nama(-nama) fakultas dan program
studi serta arah kurikulum yang merupakan manifestasi dari bangunan dan
struktur keilmuan Islam yang non-dikhotomik. Di samping itu hasil penelitian ini
pengembangan ilmu-ilmu keislaman pada umumnya dan mengenai UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang pembidangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman di PTAI. Untuk menyebut sebagiannya
adalah buku Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama
Islam di Indonesia. Buku ini merupakan antologi yang membahas dan mengkritisi
seputar pembidangan ilmu di PTAI berdasarkan SK Menteri Agama No. 110
tahun 1982 yang disetujui LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).8
Sementara buku Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman karya A. Qodri Azizy
menganalisis ilmu-ilmu keislaman yang ada dan memberikan tawaran-tawaran
pengembangan, hanya saja belum diaplikasikan secara konkrit pada pembentukan
PTAI.9 Begitu pula dengan buku Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan
Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Buku ini
menawarkan dari berbagai sudut pandang tentang bangunan paradigmatik
keilmuan yang integral dan non-dikhotomik, namun karena merupakan kumpulan
8
Iskandar Zulkarnain dan Zarkasji Abdul Salam (Eds.), Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama Islam di Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1995).
9
tulisan sehingga banyak tawaran dan belum tampak gambaran struktur keilmuan
Islam yang utuh.10
Buku yang lebih aplikatif dan menyentuh aplikasi pada PTAI adalah buku
Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam karya
bersama Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA. Pada tingkat aplikasi, buku ini
menawarkan tiga pasang bidang keilmuan yang akan berimplikasi pada
pembentukan fakultas-fakultas. Tiga pasang bidang keilmuan itu adalah pertama,
Akidah-Humaniora yang diwujudkan melalui fakultas Ilmu Wahyu dan
Kemanusiaan, fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, dan fakultas Pendidikan,
kedua, Mu’amalah-Teknologi yang diwujudkan melalui fakultas Ekonomi,
Fakultas Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, dan Fakultas Sains, dan ketiga,
Akhlak-Ilmu Sosial yang direalisasikan melalui fakultas Sosiologi, fakultas Ilmu
Politik, dan fakultas Studi Kawasan. Seluruh fakultas di atas dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, sehingga sebelum memasuki fakultas mahasiswa harus menguasai
terlebih dahulu ilmu-ilmu dasar keislaman melalui semacam matrikulasi. Studi
Islam sendiri, menurut buku ini, sebaiknya hanya diperdalam pada jenjang S-2,
tidak pada S-1.11 Walaupun telah menawarkan aplikasi pada pembentukan
fakultas, tetapi buku ini tidak menawarkan sampai pembentukan program studi
dan arah kurikulum, di samping belum menyentuh UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, apalagi Fakultas Syari’ah dan Hukum-nya yang masih mengkaji studi
Islam pada tingkat S-1.
10
Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003).
11
Dengan demikian, berbeda dengan buku-buku di atas, penelitian ini akan
menelusuri dari mulai tingkat paradigma dan struktur keilmuan Islam sampai
pembentukan fakultas dan program studi serta arah kurikulum, yang dikaitkan
dengan konteks UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, khususnya Fakultas Syari’ah
dan Hukum, yang menjadikan studi Islam sebagai kajiannya.
E. Landasan Teori
Dalam dunia modern cabang ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga bidang,
yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu Humaniora (humanities), dan
ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu alam pada dasarnya mengkaji
keterulangan dan keteraturan gejala alam serta menemukan hukum-hukum alam
yang eksak. Sementara ilmu humaniora berusaha mengerti dan memahami
karakter budaya dan pikiran manusia yang unik dan abstrak. Ilmu sosial berada di
antara dua ilmu di atas, karena ilmu sosial berusaha mengkaji keterulangan
perilaku dan struktur masyarakat, sehingga menemukan norma-norma sosial yang
dapat terukur secara lebih cermat dan lebih ajeg.12
Sementara itu dalam Islam sesungguhnya tidak dikenal dikotomi antara
ilmu-ilmu qawliyyah (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dan ilmu-ilmu
kawniyyah-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan). Ilmu-ilmu tersebut
dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman ketika secara epistemologis
berangkat dari dan sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat
12
dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam pada dasarnya bersifat obyektif yang dapat
bermanfaat bagi seluruh makhluk (rahmatan lil ‘alamin). Dengan demikian dalam
Islam terjadi proses obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam,
yang dapat bermanfaat bagi kehidupan seluruh manusia, baik muslim maupun
non-muslim, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, serta tidak
membedakan golongan, etnis, suku, bangsa, dan warna kulit.13
Ilmu-Ilmu keislaman --yang integralistik dengan basis etika Islam yang
humanistik tersebut-- mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu
humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu
alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya
pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik,
walaupun kemudian tidak dikembangkan oleh generasi muslim selanjutnya.
Dengan demikian bidang-bidang keilmuan di atas dapat dikatakan sebagai
ilmu-ilmu keislaman selama secara epitemologis dan aksiologis berangkat dari dan
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya
dengan ilmu-ilmu sekular yang walaupun mengklaim sebagai value free (bebas
dari nilai dan kepentingan) namun kenyataannya penuh muatan kepentingan baik
secara epistemologis apalagi secara aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan
munculnya kritik dari berbagai pihak terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang
dianggap dehumanistik.14
13
Bandingkan M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik”, hlm. 10-12. 14
Bangunan dan struktur keilmuan Islam tersebut seharusnya terimplementasi
pada pembentukan nama-nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum
yang akan menjadi wilayah kajian PTAI sebagai perguruan tinggi yang
mengemban amanat untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia.
Apalagi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, termasuk Fakultas Syari’ah dan
Hukum-nya, sebagai salah satu perguruan tinggi Islam tertua di Indonesia,
tanggung jawab itu menjadi semakin besar.
F. Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian yang akan menelusuri paradigma dan struktur
keilmuan dalam Islam dan aplikasinya pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan
pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) dan yang menjadi sumber data adalah
buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan paradigma dan struktur keilmuan
Islam serta buku dan dokumen mengenai Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis,
yaitu berusaha mendeskripsikan terlebih dahulu pandangan-pandangan mengenai
paradigma dan struktur keilmuan dalam Islam serta aplikasinya di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang diambil dari data-data yang
terkumpul, kemudian isi dari data yang diperoleh tersebut dianalisis dan
Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi, yaitu data-data parsial
dari berbagai sumber mengenai paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut
dikumpulkan, diklasifikasikan, dan digeneralisir untuk mendapatkan kesimpulan
yang bersifat umum. Setelah itu kemudian digunakan juga metode deduksi, yaitu
kesimpulan umum tentang paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut
diaplikasikan pada kasus spesifik yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum,
khususnya tentang nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum dan
strategi pembelajarannya.
G. Sistematika Penulisan
Supaya penelitian ini runtut dan dapat menjawab pokok permasalahan yang
menjadi fokus penelitian ini maka pembahasannya disusun sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok
masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penulisan. Sementara bab kedua akan dikaji mengenai bagaimana
sesungguhnya paradigma keilmuan Islam secara normatif dan upaya rekonstruksi
struktur keilmuan di lingkungan PTAI, khususnya Fakultas Syari’ah. Dalam bab
ini dikaji paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomi dan upaya rekonstruksi
struktur keilmuan tersebut di PTAI.
Bab ketiga akan didibahas mengenai profil Fakultas Syari’ah baik sejarah,
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dalam bentuknya
yang sekarang. Pada bab keempat dibahas mengenai aplikasi struktur keilmuan
mengenai perubahan yang terjadi baik pada penamaan fakultas, prodi, kurikulum
dan juga strategi pembelajarannya. Penelitian ini kemudian ditutup dengan bab
BAB II
INTEGRASI DAN INTERKONEKSI KEILMUAN
DALAM ISLAM
A. Paradigma Keilmuan Islam
Islam sesungguhnya tidak mengenal dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah
(hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan
ilmu-ilmu kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, imu-ilmu
empiris-kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah,
ilmu-ilmu rasional-filosofis).15 Ilmu-ilmu tersebut secara keseluruhan dapat
dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) ketika secara
epistemologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu
yang berangkat dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam secara aksiologis pada
dasarnya bersifat obyektif. Dengan demikian, dalam Islam terjadi proses
obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam, yang dapat bermanfaat
bagi seluruh kehidupan manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik mereka yang muslim
maupun non-muslim, serta tidak membedakan golongan, etnis, maupun suku
bangsa.16
15
Lihat misalnya QS. 41: 53, QS.45: 13. M. Amin Abdullah’ “Desaign Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary”, Makalah dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 16 Maret 2004.
16
Ilmu-Ilmu keislaman, yang integralistik dengan basis etika Islam yang
humanistik tersebut, mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu
humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu
alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya
pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik,
walaupun kemudian kurang memperoleh perhatian dan tidak dikembangkan oleh
generasi muslim selanjutnya.17 Dengan demikian seluruh bidang keilmuan di atas
dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) selama secara
epitemologis dan aksiologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai ajaran
Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya dengan ilmu-ilmu sekular yang
walaupun mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) namun
kenyataannya penuh muatan kepentingan baik secara epistemologis apalagi secara
aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari berbagai pihak
terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang dianggap dehumanistik.18
Pembidangan ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) dengan demikian
seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis di atas.
Pembidangan ilmu agama Islam, jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang
ada, maka seharusnya terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora, Bidang Ilmu Sosial,
17
Mengenai kontribusi umat Islam dalam perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dunia, dan yang membedakannya dengan para ilmuwan Yunani sebelumnya, sebagaimana akan dikemukakan, lihat misalnya C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 117-129.
18
dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan Bidang Ilmu Dasar.19
Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama Islam ini sangat
esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan dari tiga bidang ilmu
lainnya. Setiap gerak langkah tiga bidang ilmu tersebut selalu berpijak pada
landasan etika-moral yang dikaji dalam Bidang Ilmu Dasar.
Bidang Ilmu Dasar ini terdiri dari tiga Disiplin Ilmu, yaitu Ilmu Al-Qur’an,
Ilmu Hadis, dan Ilmu Agama-Agama (‘Ilm al-Adyan). Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu
Hadis mengkaji sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, supaya dapat
diinterpretasi terus menerus seiring dengan perkembangan zaman (hermeneutis),
sementara Ilmu Agama-Agama mengkaji Agama-Agama yang ada di dunia
supaya dapat diciptakan rasa saling memahami dan bersikap toleran. Etika-moral
yang terkandung dalam tiga disiplin ilmu inilah yang menjadi pijakan dan
pandangan hidup (worldview) kehidupan manusia yang menyatu dalam satu
tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Karena itu, sebagaimana dikemukakan di
atas, seluruh keilmuan agama Islam secara aksiologis diabdikan bagi
kesejahteraan umat manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar
belakang etnis, agama, ras, maupun golongan.
Sementara tiga Bidang Ilmu lainnya, yaitu Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, dan
Ilmu Kealaman, secara umum terdiri dari Disiplin Ilmu-Disiplin Ilmu yang secara
epistemologis berangkat dari nilai-nilai ajaran Islam. Sementara Bidang Ilmu
19
Kealaman yang diperlukan terutama adalah penekanan muatan etika Islam pada
tataran aksiologisnya.20 Ilmu-ilmu yang secara epistemologis belum berangkat
dari nilai-nilai ajaran Islam, tentu saja pada perkembangannya kemudian perlu
dibangun epistemologi keilmuan Islamnya. Walaupun ilmu-ilmu keislaman (ilmu
agama Islam) secara epistemologis berbeda dengan ilmu-ilmu sekular, namun
ilmu-ilmu sekular (ilmu konvensional) tersebut tetap perlu dipelajari bahkan tidak
dapat ditinggalkan. Dengan kata lain di samping perlu adanya integrasi dan
intrakoneksitas antar ilmu-ilmu keislaman sendiri, juga perlu adanya dialog
keilmuan dan interkoneksitas antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekular
(ilmu konvensional).21 Dialog dan interkoneksitas dengan ilmu-ilmu sekular
tersebut terjadi baik pada bidang Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, maupun Ilmu
Kealaman/Eksak. Ketika mempelajari Ilmu Fiqh/Hukum Islam, misalnya, maka
perlu juga dikaji sistem-sistem hukum yang lain, begitu pula ketika mempelajari
Ilmu Kalam, Ekonomi Islam, atau Psikologi Islam maka perlu juga dipelajari
Teologi agama lain, Ilmu Ekonomi konvensional, dan Psikologi modern di dunia
Barat.
Adanya intrakoneksitas dan interkoneksitas yang didasarkan pada nilai-nilai
dan etika universal ajaran Islam dalam keilmuan Islam di atas merupakan hal yang
membedakannya dengan ilmu-ilmu Barat yang sekular, baik secara ontologi,
20
Mengenai perbedaan ontologi, epistemologi, dan aksiologi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, lihat misalnya Muchtar Na’im, “Epstemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, hlm. 76-77.
21
epistemologi, maupun aksiologi. Dengan paradigma keilmuan seperti itu, tidak
menutup kemungkinan umat Islam bangkit dan pada gilirannya dapat memberikan
kontribusi yang besar bagi peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ilmuwan muslim masa
klasik yang memang tidak mendikhotomi ilmu.
Ilmuwan Muslim klasik tidak hanya melakukan transfer ilmu dari Yunani
tetapi juga melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi luar biasa
yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ilmu-ilmu yang ada pada masa
keemasan Islam tersebut, yang terjadi antara abad 8 sampai 12 M, adalah memang
berawal dari penerjemahan ilmu-ilmu Yunani yang sampai ke negeri-negeri Arab.
Namun demikian, ilmu pengetahuan yang ada pada orang Islam saat itu memiliki
ciri khas yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Yunani, sehingga sulit
melukiskan bahwa yang pertama hanyalah sebagai kelanjutan dari yang kedua.
Sebelum munculnya para ilmuwan muslim, keseluruhan ilmu yang ada hanya
merupakan sebuah kumpulan dugaan, kabar angin dan paham-paham yang tidak
berdasar. Bahkan ilmu Yunani pun didasarkan atas hipotesis-hipotesis dan
pendapat yang belum dapat dibuktikan secara empiris. Para ilmuwan muslim lah
yang mendasarkan penyelidikan mereka atas pengamatan dan percobaan. Fakta ini
diakui oleh Philip K. Hitti, William Smith, George Sarton, John Herman Randell
dan beberapa orang lainnya.
Sebagaimana diketahui Bangsa Yunani gemar sekali menalar dan
menggunakan akal di atas segala-galanya. Pengetahuan inderawi dianggap
kurang dapat diandalkan. Karena itulah bangsa Yunani tidak mendirikan
laboratorium-laboratorium. Aristoteles, Ptolemaeus, Archimedes dan Pythagoras
tidak memiliki laboratorium sendiri, juga tidak bekerja di laboratorium yang
bagaimana pun. Mereka lebih berpikir secara deduktif, dan oleh sebab itu sering
sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal karena
mengabaikan pengamatan dan percobaan.22
Berbeda dengan para ilmuwan Yunani, para ilmuwan Muslim tidak pernah
menerima baik sesuatu hasil pemikiran kecuali jika telah dibuktikan kebenarannya
melalui pengamatan dan percobaan. Mereka memiliki laboratorium sendiri atau
bekerja di laboratorium milik negara. Jabir Ibn Hayyan, misalnya, mempunyai
laboratorium sendiri, di situ ia membuat berbagai macam asam mineral dan
persenyawaan kimia. Demikian pula al-Biruni, Umar Khayyam, Ibnu Sina, Ibnu
Yunus, at-Tusi, al-Kawarizmi dan lain-lain, memiliki atau bekerja di
laboratorium. Oleh karena itu hasil yang mereka capai didasarkan atas percobaan
dan tidak berdasarkan penalaran saja.
Perbedaan lainnya antara ilmu pengetahuan Muslim dan ilmu pengetahuan
Yunani adalah bahwa bagi yang pertama, ilmu itu merupakan keseluruhan
pengetahuan yang berdasarkan hukum dan bukan sekedar sekumpulan informasi,
karenanya kata qanun yang berarti "law atau hukum", merupakan bagian integral
dari nama-nama ilmu, seperti al-Qanun, al-Qanun fi at-Tibb, Qanun al-Mas'udi,
Kitab ad-Dustur, dan sebagainya. Para ilmuwan modern mengikuti cara yang
22
sama. Misalnya ada Hukum Mendel, Hukum Boyle, dan lain-lain. Sementara
bangsa Yunani tidak mempunyai konsepsi seperti itu mengenai ilmu.
Perbedaan lainnya, bahwa bangsa Yunani walaupun telah mencapai tingkat
pengetahuan dan intelektual yang tinggi, dalam jangka waktu dua belas abad
memimpin bangsa-bangsa lainnya di bidang ilmu pengetahuan, mereka hanya
mampu melahirkan sejumlah kecil ilmuwan yang namanya masih diingat sampai
sekarang, seperti Aristoteles, Galenus, Euclides,, Archimedes, Pythagoras dan
beberapa yang lain. Namun berbeda dengan ilmuwan Muslim yang jumlahnya
sangat banyak, mereka memenuhi cakrawala ilmu pengetahuan dengan
kecemerlangannya. Dalam waktu enam atau tujuh abad, mereka telah
memperkaya gudang ilmu pengetahuan manusia dan memberikan sumbangan
yang tidak sedikit dengan penelitian dan penyelidikan mereka di hampir semua
bidang ilmu.23
Di samping itu, bangsa Yunani hanya meninggalkan sedikit saja buku-buku
keilmuan yang bernilai dibandingkan dengan para ilmuwan Muslim yang telah
mewariskan ratusan bahkan ribuan buku penting mengenai berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Misalnya Ibnu Sina telah menulis 246 buah buku, asy-Sufa sendiri
terdiri dari 20 jilid. Buku-buku al-Biruni; Qanun al-Ma'udi, Kitab ad-Dustur dan
at-Tahdid, karya Ibnu Sina Kitab asy-Syifa dan Qanun fi at-Tibb, karya al-Jahiz
Kitab al-Hayawan, karya Ibnu al-Haitam Kitab al-Manzir, semuanya merupakan
karya-karya termasyhur dan diakui oleh kawan maupun lawan sebagai karya
23
kesarjanaan monumental serta menjadi buku-buku sumber utama bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Perlu juga dicatat bahwa negeri-negeri yang sebelum masuknya Islam mandul
dari segi intelektual dan ilmu pengetahuan, kemudian menjadi negeri-negeri yang
berkembang dengan cepat dan melahirkan para pemikir dan ilmuwan kelas satu
setelah mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Zahravi, Jabir Ibn Aflah, Ibnu
Zuhr, Ibnu Bitar, Ibnu Rusyd, Ibnu mejriti dan Abu Hamid Gharnati di Spanyol;
Umar Khayyam, al-Biruni, Zakaria ar-Razi, Nasiruddin at-Tusi, dan al-Khazimi di
Iran; Jahiz, Sabit Ibn Qarra, Kirkhi, Ibnu Haitam, Khwarizmi dan
al-Kindi di Lembah Tigris-Eifrat; an-Nafis, al-Farabi, dan Uqlidisi di Syria,
semuanya muncul dan menjadi termasyhur setelah negeri-negeri itu memeluk
Islam. Hal seperti itu tidak pernah terjadi di negeri-negeri tersebut sebelum
masuknya Islam.24
Perkembangan keilmuan dalam masa keemasan Islam sebagaimana diuraikan
di atas, tidak menutup kemungkinan untuk berulang pada masa yang akan datang,
dan pra-syarat untuk itu adalah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk
merekonstruksi keilmuan Islam yang ada sekarang, termasuk yang ada di
lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya di Universitas Islam
Negeri.
Rekonstruksi keilmuan tersebut juga sangat penting dilakukan mengingat
ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Barat dan menjadi ilmu pengetahuan
modern saat ini secara filosofis didasarkan pada paham sekularisme yang
24Ibid
mengacu pada materialisme dan kematian tuhan. Untuk menetralisir paham
tersebut, ilmu pengetahuan atau sains yang ada sekarang perlu direkonstruksi baik
pada tataran ontologis, aksiologis bahkan epistemologis. Pada aspek ontologis,
misalnya, yang menjadi kajian tidak hanya realitas material yang dapat diserap
panca indera tetapi juga realitas yang non-material25 sehingga akan dapat
menyingkap lebih luas realitas alam semesta. Apabila para ilmuwan hanya
membatasi diri sejak awal pada hal-hal yang bersifat material maka penyingkapan
alam sebagai tujuan sains akan sangat terbatas dan bisa jadi perkembangannya
lambat. Dengan didasarkan pada pandangan fundamental bahwa objek-objek
non-imaterial juga menjadi wilayah telaah dan kajian sains maka definisi ilmu
pengetahuan akan menjadi lebih luas bahkan bisa sampai merombak filsafat ilmu
yang ada. Pandangan ontologis seperti ini juga selaras dengan hakikat manusia
yang tidak hanya membutuhkan pemenuhan hasrat material tetapi juga psikis
bahkan spiritual.26
Kemudian, atas dasar pandangan ontologis di atas, sains secara aksiologis
harus juga bertujuan untuk mengenal Sang Pencipta melalui pola-pola
ciptaan-Nya yang ada di alam ini.27 Tujuan sains seharusnya adalah mengetahui watak
sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan di alam ini. Karena
semua makhluk tunduk pada kehendak Tuhan, maka sains sebenarnya juga
bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam dan keterkaitan seluruh
25
Q.S. Al-Haqqah (69): 38-39. 26
Bandingkan misalnya Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al-Qur`an yang Terlupakan (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 189.
27
bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi. Dengan
pemahaman ini, ilmuwanmenjadi lebih dekat dan tunduk pada Sang Pencipta.
Tujuan kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia merupakan tujuan
derivatif dari tujuan utama sains untuk mengenal Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Kemudian secara epistemologis, pencarian sains di samping melalui
metodologi ilmiah yang sudah ada, perlu juga diperluas dengan menjadikan
wahyu (Al-Qur`an dan Sunnah Nabi) sebagai salah satu sumber inspirasi sains,
karena fungsi wahyu sebagai petunjuk, termasuk petunjuk bagi perkembangan dan
bangunan sains. Di samping menjadi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains,
wahyu juga akan membawa dan mengkaitkan sains dengan pengetahuan metafisik
dan spiritual. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan sains modern yang justru
pada awal kelahirannya di Barat melepaskan diri dari doktrin relijius gereja,
sehingga kemudian wahyu secara umum tidak mendapat tempat dalam bangunan
dan struktur sains modern.28
Atas dasar itu, sebagaimana telah dikemukakan, pembidangan ilmu-ilmu
keislaman seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis,
sehingga jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang ada, maka
pembidangan ilmu keislaman tersebut terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora,
Bidang Ilmu Sosial, dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan
Bidang Ilmu Dasar. Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama
Islam ini sangat esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan
etik-moral dari tiga bidang ilmu lainnya. Di samping itu, dalam pembidangan ilmu
28
keislaman juga tidak dikenal adanya dikhotomi antara “ilmu-ilmu agama” dan
“ilmu umum”; kedua rumpun keilmuan tersebut dipandang sebagai
ilmu-ilmu keislaman apabila secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis
didasarkan pada nilai-nilai dan etika universal Islam yang humanistik (rahmatan
lil ‘alamin).
B. Ilmu-Ilmu Syariah
Paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomik di atas seharusnya juga
berlaku dalam bidang ilmu syariah. Apabila dicermati secara historis,
ilmu-ilmu syariah ini apabila dibandingkan dengan nomenklatur keilmu-ilmuan kontemporer
maka mencakup tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hukum Islam dan ini yang dominan
dikaji dalam ilmu syariah atau ilmu fikih. Kemudian kedua adalah ilmu ekonomi
Islam, yang banyak dikaji dalam fikih mu’amalah, dan ketiga ilmu politik Islam,
yang banyak dikaji dalah fikih siyasah. Namun karena keterbatasan pembahasan,
maka uraian selanjutnya akan banyak membahas ilmu syariah dalam kaitannya
dengan ilmu hukum Islam, dan mengenai dua bidang ilmu yang disebut terakhir
para pembaca bisa membandingkan dan menganalogikannya dengan bidang ilmu
hokum Islam ini.
Hukum Islam atau secara umum biasa disebut Fikih, sebagaimana biasa
dipahami, merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap Al-Qur`an dan
Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang didialektikakan dengan konteks dan
realitas masyarakat yang dihadapi. Karena konteks masyarakat bisa berbeda dan
mengalami perubahan. Dalam konteks keilmuan hokum modern, hokum Islam ini
seharusnya dipahami sebagai norma hukum Islam yang positif,29 yang berbeda
dengan nilai-nilai syariah (syariah dalam arti luas: ajaran Islam) yang ideal dan
juga berbeda dengan adat kebiasaan dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Adat kebiasaan masyarakat (lokal) merupakan praktik sehari-hari yang hidup
secara riil dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus
dalam jangka waktu yang panjang melalui kesadaran kolektif masyarakat itu
kemudian menjadi norma kebiasaan. Norma kebiasaan ini merupakan kenyataan
empiris yang berlaku dalam masyarakat.30 Namun demikian, norma-norma
kebiasaan yang menjadi realita dalam masyarakat ini tidak selalu sesuai dan
selaras dengan nilai-nilai syariah Islam yang bersifat ideal.
Apabila norma kebiasaan berpegang pada kenyataan tingkah laku yang hidup
dalam masyarakat, maka nilai-nilai syariah Islam bersifat ideal yang masih
memerlukan upaya untuk diwujudkan dalam realitas empiris. Nilai-nilai syariah
merupakan idea yang merupakan tolok ukur untuk menilai baik atau buruk, boleh
atau tidak boleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Syariah ini datangnya
bukan dari masyarakat, tetapi berasal dari syāri’ (Allah dan Rasul-Nya) yang
diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup ideal bagi manusia (hudan li
29
Walaupun demikian, hukum Islam pada dasarnya merupakan bingkai dari moral yang dikandungnya. Namun, untuk menjaga moral tersebut perlu ada aturan hukum yang kongkret dan aplikatif, dan tidak hanya sekadar anjuran yang tidak mengikat, terutama apabila dikaitkan dengan konteks negara dalam masyarakat modern.
30
nās) dalam menjalankan hidupnya. Karena sifatnya yang merupakan tatanan ideal,
maka syariah perlu diinterpretasi dan dikontekstualisasikan untuk dapat
diterapkan dalam masyarakat (lokal).
Hasil interpretasi dan kontekstualisasi syariah yang berhadapan secara
diametral dengan norma kebiasaan masyarakat itulah yang disebut fikih sebagai
norma hukum. Fikih, dengan demikian, dibentuk dan diformulasi secara sadar dan
sengaja untuk menghubungkan antara nilai-nilai syariah yang ideal (das sollen,
apa yang seharusnya) dengan norma kebiasaan masyarakat yang riil (das sein, apa
adanya).31 Karena itu, fikih pada dasarnya sangat terikat dengan dunia ideal
syarī’ah dan juga dengan kebiasaan masyarakat yang riil, sehingga pada akhirnya
fikih juga harus mempertanggungjawabkan formulasinya dari dua sudut pandang
tersebut, yaitu tuntutan secara ideal filosofis dan secara sosiologis. Secara
filosofis, fikih harus memasukkan unsur idealita nilai-nilai syariah di dalamnya,
sementara secara sosiologis, fikih harus memperhitungkan bahkan
mengakomodasi kenyataan-kenyataan riil yang hidup dalam masyarakat.32
Dengan demikian, posisi fikih adalah berada di antara syariah yang ideal dan
kebiasaan riil yang ada dalam masyarakat.
Apabila digambarkan dalam bentuk grafik, maka hubungan antara nilai-nilai
idealita syariah, norma kebiasaan yang riil dalam masyarakat (‘urf), dan hukum
31
Dialektika antara nilai-nilai syari'ah dan norma kebiasaan masyarakat ini terlihat dengan jelas pada fikih yang diformulasi oleh para imam mazhab terdahulu; Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 48-49
32
Islam (fikih sebagai norma hukum) yang berupaya mempertemukan keduanya
adalah sebagai berikut:
Hukum Islam atau fikih sebagai norma hukum ini dengan demikian
merupakan dialektika antara adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat (termasuk
juga hukum adat dan hukum positif yang berlaku) dengan syariah. Hal ini dapat
dimengerti karena syariah-lah yang bersifat ideal, sementara ahkām asy-syarī’ah
ditetapkan sebagai aplikasi kongkret dari nilai-nilai syariah terhadap masyarakat
yang ada berdasarkan konteks turunnya saat itu.33
Perlu adanya penegasan fikih sebagai norma hukum ini adalah karena,
sebagaimana dikemukakan, fikih di samping memuat norma hukum juga masih
kental dengan muatan norma moral. Memang pada dasarnya aturan hukum dalam
Islam adalah untuk menegakkan nilai moral yang dikandungnya, namun apabila
norma moral itu yang menonjol, maka terkadang akan mengesampingkan
penegakan aturan hukum itu sendiri. Misalnya dalam kitab fikih --dan mungkin
33
Dari bagan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam terbentuk dari hasil dialektika antara syariah yang termuat dalam Al-Qur`an dan Sunnah dengan adat kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber hukum Islam pada dasarnya ada tiga, yaitu Al-Qur`an, Sunnah Nabi, dan ‘Urf (adat kebiasaan).
Syariah
Hukum Islam
dalam beberapa aturan perundangan-- kebolehan poligami (berdasarkan Q.S.
An-Nisā` (4) ayat 3) ditetapkan sebagai aturan hukum yang positif, namun syarat adil
untuk berpoligami (berdasarkan Q.S. An-Nisā` (4) ayat 3 dan 129) hanya
dipandang sebagai anjural moral semata, sehingga kemudian keadilan tersebut
hanya mengikat kesadaran suami, dan apabila syarat adil tersebut dilanggar, maka
suami tidak dapat disanksi secara hukum. Begitu pula mengenai mut’ah dan
nafkah yang diberikan suami bagi istri yang ditalak sering kali hanya lebih
sebagai anjuran moral daripada aturan hukum yang apabila dilanggar suami dapat
terkena sanksi.34 Penegasan fikih sebagai norma hukum ini menjadi sangat
penting ketika hukum Islam akan diterapkan menjadi aturan negara.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, maka fikih sebagai norma hukum Islam
merupakan seperangkat aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syariah
dengan adat kebiasaan masyarakat Indonesia, yang dirumuskan secara sadar dan
sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Aturan hukum Islam di
Indonesia tersebut di samping secara filosofis harus memuat dan sesuai dengan
nilai-nilai syariah, juga secara sosiologis harus sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Indonesia. Adat kebiasaan di Indonesia dimaksud berarti juga
hukum Adat yang berlaku di berbagai masyarakat dan juga hukum Belanda yang
sekarang masih berlaku di Indonesia. Atas dasar itu, pengkajian hokum Islam dan
hukum umum secara berdampingan, sebagaimana yang dilakukan di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, merupakan sebuah keniscayaan dalam
34
bangunan keilmuan Islam.35 Namun sejauhmana implementasi paradigm keilmuan
yang non-dikhotomik di Fakultas Syariah dan Hukum tersebut, hal ini akan
dibahas pada bab-bab selanjutnya.
35
BAB III
PROFIL FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA
A. Sejarah Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
2003, pembaruan sistem pendidikan memerlukan strategi. Strategi pembangunan
pendidikan nasional di antaranya adalah pelaksanaan otonomi manajemen
pendidikan dan pemberdayaan peran masyarakat.
Kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta di
tengah masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang
telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk
mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis
sejak zaman penjajahan.
Berdirinya Fakultas Syari’ah tidak lepas dari sejarah perkembangan UIN
Sunan Kalijaga. Perguruan Tinggi ini berawal dari penegerian Fakultas Agama
Universitas Islam Indonesia (UII) dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) pada tahun 1950. PTAIN, berdasarkan PP No. 34 Tahun 1950,
membuka tiga Jurusan: Qadla, Tarbiyah dan Dakwah. Setelah berjalan kira-kira
sembilan tahun dirasakan tidak mungkin lagi PTAIN mempertahankan hanya satu
fakultas karena demikian luasnya ilmu pengetahuan keagamaan Islam, maka pada
tahun 1960 PTAIN dilebur dan digabungkan dengan Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) milik Departemen Agama yang didirikan di Jakarta dengan Penetapan
Penggabungan tersebut melahirkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
berdasarkan Peraturan Presiden RI No 11 Tahun 1960 dan Penetapan Menteri
Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan IAIN. Waktu itu namanya
adalah IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah diresmikan berdirinya oleh
Menteri Agama RI pada tanggal 28 Agustus 1960. Selanjutnya, berdasarkan
penetapan di atas, dinyatakan bahwa IAIN mempunyai empat fakultas, yaitu
Fakultas Ushuluddin dan Syariah yang berkedudukan di Yogyakarta, Fakultas
Tarbiyah dan Adab di Jakarta.
Dengan demikian Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (waktu itu nama
Sunan Kalijaga belum dipakai) merupakan pemekaran dari Jurusan Qadla
(Peradilan Agama Islam) pada PTAIN sebelumnya. Pasal 4 ayat (3) Penetapan
Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 menyebutkan bahwa Fakultas Syari’ah
memiliki tiga jurusan, yaitu : (1) Jurusan Tafsir/Hadits, Jurusan Fiqh, dan (3)
Jurusan Qadla. Beberapa waktu kemudian jurusan Tafsir/Hadits dipecah menjadi
dua: masing-masing Jurusan Tafsir dan Jurusan Hadits. Akan tetapi dengan
keluarnya Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Kep./ D.VI/218/1974 tentang
jurusan-jurusan pada fakultas-fakultas di lingkungan IAIN, Jurusan Tafsir dan
Jurusan Hadits disatukan kembali seperti dalam Penetapan Menteri Agama
Nomor 43 tahun 1960. Sedang jurusan Qadla disebut dengan Jurusan Peradilan
Agama dan Jurusan Fiqih disebut dengan Jurusan Perdata dan Pidana Islam
(Mu’amalat wal Jinayat). Kedudukan jurusan-jurusan seperti di atas tidak
Kemudian, dengan terbitnya SK Menteri Dalam Negeri No. 122 Tahun 1988
tentang pelaksanaan kurikulum S1 pada IAIN, Jurusan Tafsir dan Hadits
dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin terhitung tahun ajaran 1989/1990 dan
sebagai gantinya Fakultas Syari’ah membuka jurusan Perbandingan Madzhab
(PM), tetapi masih menyelesaikan mahasiswa jurusan TH yang masih ada sampai
lulus.
Tahun akademik 2000/2001 dibuka Program Studi Keuangan Islam (KUI).
Saat ini Fakultas Syari’ah memiliki enam program studi. Tiga diantaranya
merupakan hasil pengembangan dari jurusan-jurusan yang telah dikelola sejak
tahun 1960, yaitu Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (AS) yang merupakan
pengembangan dari jurusan Qodlo (1960-1974) dan jurusan Peradilan Agama
(1974-1977); program studi Jinayah-Siyasah (JS) dan Mu’amalah (MU) yang
masing-masing merupakan pengembangan dari jurusan Fiqh (1960-1974); Perdata
Pidana Islam (1974-1989) dan Muamalah Jinayah (1989-1977). Keempat adalah
Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) yang mulai dibuka pada tahun
akademik 1989/1990. Pada tahun 2000 pada Jurusan Muamalat dikembangkan
dengan Program Studi baru yakni Jurusan/Program Studi Keuangan Islam (KUI).
Kemudian pada tahun akademik 2009/2010 dibuka lagi satu program studi yaitu
Program Studi Ilmu Hukum (IH).
Sebagai Program Studi baru, Program Studi Ilmu Hukum didirikan
berdasarkan:
1. Rekomendasi Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
penyelenggaraan Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta,
2. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI
No. Dj. 1/32/09 tanggal 20 Januari 2009 tentang izin Pembukaan Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
3. Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor DS-12 a
Tahun 2009 tentang Pembukaan Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dengan demikian jurusan-jurusan yang ada pada Fakultas Syari’ah sampai
saat ini (2011/2012) adalah sebagai berikut.
1. Jurusan/program studi Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (AS); Jurusan ini
berupaya untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran hukum keluarga
Islam yang berwawasan kemanusiaan dan keindonesiaan.
2. Jurusan/program studi Jinayah – Siyasah (JS); Jurusan ini melaksanakan
pembelajaran dalam bidang pengembangan Ilmu Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan Islam.
3. Jurusan/Program Studi Muamalah (MU); Jurusan ini melaksanakan
pembelajaran dalam bidang hukum bisnis Islam.
4. Jurusan/Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH);
5. Jurusan/Program Studi Keuangan Islam (KUI); Jurusan ini melakukan
pembelajaran dalam bidang keuangan Islam, khususnya dalam hal akuntasi
6. Jurusan/Program Studi Ilmu Hukum (IH); Jurusan ini melakukan
pembelajaran dalam bidang ilmu hukum.
Seiring penambahan Jurusan/program studi baru, Fakultas Syariah berubah
menjadi Fakultas Syariah dan Hukum yang diperkuat dengan SK Rektor nomor
36 tahun 2010 tertanggal 18 Februari 2010. Rencana Strategik (Renstra) tahun
2009-2011 Fakultas Syari’ah dan Hukum telah melaksanakan rangkaian
pengembangan dalam berbagai bidang, yaitu Bidang Pendikan dan Pengajaran;
Bidang Penelitian; Bidang Pengabdian kepada Masyarakat; Bidang Kelembagaan;
Bidang Laboratorium dan Sistem Informasi; Bidang Sumber Daya Manusia;
Bidang Kemahasiswaan dan Alumni; Bidang Keuangan; Bidang Sarana dan
Prasarana.
B. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Fakultas Syari’ah dan Hukum
Perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga tersebut tidak hanya
merombak fisik kampus, tetapi juga menata kembali sistem pengelolaan kampus,
atau manajemen, agar lebih efisien dan berdaya guna. Oleh karena itu, diperlukan
transformasi manajemen UIT yang memenuhi tuntutan profesionalisme dan
jaminan kualitas output (lulusan). Transformasi manajemen Fakultas Syariah dan
Hukum yang diperlukan di dalam pengembangan IAIN menjadi UIN Sunan
Kalijaga meliputi antara lain:
1. Redefining Vision & Mission Of UIN, yaitupeninjauan kembali tentang visi
utama pendidikan tinggi Indonesia dalam membangun ”Nation
Competitiveness”.
2. Encouraging Institution To The Need For Self-Evaluation, yaitu salah satu
langkah awal untuk menentukan arah perbaikan serta rencana pentahapan
pengembangan suatu institusi.
3. Formulating Strategic Plan, adalah suatu strategi untuk mencapai visi dan
misi UIN yang baru.
4. Redefining The University Governance/ Organization, adalah usaha
mewujudkan perangkat kelembagaan yang baik atau good governance dalam
rangka pencapaian rencana strategik. Good university governance berfokus
pada fairness, transparancy, accountability, responsibility.
5. Managing Organization With Redefined Vision & Mission. Pada tahap ini,
yang diperlukan adalah manajemen yang terpadu baik secara horizontal (antar
eksekutif di tingkat tertinggi/universitas sampai dengan tingkat yang
terendah/ Jurusan dan Program Studi) maupun secara vertikal (antara
Rektorat dengan program studi).
Pada hakikatnya membentuk Visi organisasi adalah menggali gambaran
bersama mengenai masa depan, berupa komitmen murni tanpa adanya rasa
terpaksa. Visi adalah mental model masa depan, dengan demikian Visi harus
menjadi milik bersama dan diyakini oleh seluruh anggota organisasi. Pernyataan
Misi merupakan tujuan yang unik dan mendasar yang membuat suatu usaha
berbeda dengan usaha sejenis lainnya dan menunjukkan cakupan dari kegiatan
Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana institusi harus dibawa agar
dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu gambaran yang menantang
keadaan masa depan yang diinginkan oleh institusi. Misi merupakan pernyataan
yang menetapkan tujuan institusi dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi
membawa institusi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa institusi itu
ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana melakukannya.
Dalam rangka sosialisasi dan meningkatkan pemahaman kepada civitas
akademika maka diadakan program pemantapan dan perumusan ulang visi dan
misi yang berlangsung cukup panjang melalui beberapa tahapan pembahasan yang
intensif yang melibatkan seluruh unsur yang terlibat dalam pengelolaan institusi.
Adapun tahapan-tahapan kegiatannya adalah sebagai berikut:
1. Workshop Redefining Vision and Mission ( November 2004 )
2. Penyusunan Visi dan Misi Universitas, Fakultas, PPs, dan Jurusan/Program
studi ( Desember 2004 )
3. Presentasi dan pembahasan dan refleksi Visi dan misi (Desember 2004).
a. Visi
Unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan pengembangan ilmu Syari’ah
dan hukum secara integratif dan interkonektif untuk kemajuan peradaban.
b. Misi
Adapun misi Fakultas Syari.ah dan Hukum adalah sebagai berikut.
(1) Mengembangkan pendidikan dan pengajaran dalam bidang ilmu syari’ah dan
(2) Mengembangkan budaya ijtihad dalam penelitian ilmu syari’ah dan hukum
secara multidisipliner yang bermanfaat bagi kepentingan akademik dan
masyarakat.
(3) Meningkatkan peran serta fakultas dalam pemberdayaan masyarakat melalui
penerapan ilmu syari’ah dan hukum bagi terwujudnya masyarakat madani.
(4) Mengembangkan jaringan kerja sama Fakultas dengan berbagai pihak untuk
meningkatkan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama dalam
bidang syari’ah dan hukum.
c. Tujuan
(1) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang memiliki kemampuan
akademik dan profesional yang integratif-interkonektif.
(2) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang beriman, berakhlak mulia,
memiliki kecakapan sosial dan manajerial, dan berjiwa kewirausahaan
(enterpreneurship) serta rasa tanggung jawab sosial.
(3) Menghasilkan sarjana Syari’ah dan Hukum yang menghargai nilai-nilai
keilmuan dan kemanusiaan.
(4) Menjadikan Fakultas Syari’ah dan Hukum sebagai pusat studi yang unggul
dalam bidang kajian dan penelitian ilmu syari’ah dan hukum yang
integratif-interkonektif.
(5) Terbangunnya jaringan yang kokoh dan fungsional dengan para alumni.
d. Sasaran dan strategi pencapaiannya
Sasaran:
(2) Meningkatkan jumlah, kualitas dan relevansi hasil penelitian sesuai dengan
kebutuhan masyarakat;
(3) Meningkatkan keikutsertaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam menangani
masalah sosial dan keagamaan;
(4) Meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan;
(5) Meningkatkan kinerja pelayanan pada pelanggan;
(6) Kerjasama dengan instansi di luar fakultas;
(7) Mengingkatnya jumlah kerjasama kemitraan;
(8) Meningkatkan kualitas pelayanan di bidang akademik dan non akademik;
(9) Meningkatnya penerapan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
(10) Tercapainya lulusan sarjanan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang berprestasi
dan tepat waktu;
(11) Meningkatnya kinerja pegawai;
(12) Meningkatnya mutu pengelolaan fakultas;
Strategi:
(1) Kemudahan aksesibilitas informasi pasar tenaga kerja dan peluang usaha.
(2) Peningkatan akuntabilitas kinerja untuk mendorong terwujudnya Good
Corporate Governance;
(3) Setiap pelanggan berhak mendapat pelayanan terbaik;
(4) Tingginya kinerja pegawai mendukung peningkatan pelayanan dan penerapan
(5) Peningkatan kualitas pelayanan internal dalam mendorong peningkatan
profesionalitas dan kinerja pegawai;
Pelaksanaan visi, misi, sasaran dan tujuan aktivitas proses belajar mengajar di
lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum selalu berpegang pada prinsip upaya
meningkatkan keunggulan program studi yag selalu dibangun berdasarkan
keunggulan kompetitif, selalu berupaya meningkatkan kualitas lulusan yang
berakhlak mulia, efektif dan efisien dalam sumber daya manusi adan penggunaan
sarana-prasaraa, serta selalu menjaga kebersihan dan pemeliharaan.
C. Jurusan dan Program Studi
Di bidang pendidikan dan pengajaran, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta saat ini menyelenggarakan pendidikan jenjang S1
sebagai berikut :
No Nama Jurusan / Program Studi Jenjang Terakreditasi
1 Al Ahwal al-Syakhsiyyah S1 B
2
Perbandingan Mazhab dan
Hukum
S1 B
3 Jinayah Siyasah S1 B
4 Muamalah S1 B
5 Keuangan Islam S1 A
Apabila telah menyelesaikan program pendidikan dan dinyatakan lulus sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan, maka kepada para lulusan diberikan ijazah
sebagai tanda penghargaan akademik dari suatu fakultas/program studi.
Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama No. E/10 tahun 2002 tentang sebutan Lulusan Perguruan Tinggi Agama
Islam (khususnya bagi Program S1), yang semula seluruhnya bergelar Sarjana
Agama (S.Ag) diubah menjadi:
1) Prodi yang mengkaji hukum Islam dengan sebutan gelar Sarjana Hukum
Islam (S.H.I.);
2) Prodi yang mengkaji Ekonomi Islam, dengan sebutan gelar Sarjana Ekonomi
Islam (S.E.I.);
3) Prodi yang mengkaji Ilmu Hukum, dengan sebutan gelar Sarjana Hukum
(S.H.)
D. Pendidikan dan Pengajaran
1. Dosen
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum berjumlah 76 orang dengan berbagai
macam jenjang kepangkatan dan pendidikan sebagai berikut.
No. Hal
Jumlah Dosen Tetap yang bertugas pada Program Studi:
Total
AS JS MU PMH KUI IH
A Jabatan
1 Cados 2 1 1 1 1 1 7
2 Asisten Ahli 0 0 1 3 1 1 6
3 Lektor 8 5 6 1 12 3 35
4 Lektor Kepala 4 6 5 7 1 4 27
5 Guru
Besar/Profesor
1 2 1 1 - 3 8
TOTAL 13 13 13 12 14 11 83
B Pendidikan
Tertinggi :
1 S1 0 0 0 0 0 0 0
2 S2/Profesi/Sp-1 11 10 11 11 11 8 62
3 S3/Sp-2 2 3 3 1 3 3 14
Apabila data tersebut dibuat grafik, maka akan terlihat sebagai berikut:
0 5 10 15 20 25 30 35
Grafik Dosen Berdasarkan Jenjang Kepangkatan
0 10 20 30 40 50 60 70
Grafik Dosen Berdasarkan Tingkat Pendidikan
2. Mahasiswa
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum berjumlah total 2.958 mahasiswa
No. Mahasiswa
Jumlah Mahasiswa Jurusan/Program Studi Total
AS JS MU PMH KUI IH
1 Mahasiswa 542 378 451 285 946 356 2.958
Apabila data tersebut dibuat grafik, maka dapat dilihat sebagai berikut:
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Grafik Jumlah Mahasiswa Per Jurusan/Prodi
3. Kurikulum
a. Teori Pengembangan Kurikulum
Menurut, S. Nasution bahwa pembaharuan kurikulum mengikuti dua
prosedur, yaitu (1) Administrative approach, yaitu suatu perubahan atau
pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk kemudian diturunkan
kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi from the top
down, dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. (2) grass roots