• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR DAFTAR IS I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KATA PENGANTAR DAFTAR IS I"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

1. Tujuan dan Maksud 2. Ruang dan Waktu

a. Ruang, Bahasa Jurnalistik disajikan kepada mahasiswa Jurnalistik Semester IV

b. Kuliah ini berlangsung selama satu semester, terhitung sejak pembukaan kuliah perdana semester berjalan.

c. Tabel Studi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ket P

d. Pengenalan dan Kontrak Kuliah

Pengenalan merupakan proses awal kuliah, untuk mendekatkan mahasiswa dengan dosen. Hal ini dilakukan untuk menghindari sekat komunikasi ketika berlangsungnya proses kuliah, antara dosen selaku pengajar dan mahasiswa. Hasil studi ruangan membuktikan, animo mahasiswa di dalam ruang kuliah, hanya mengejar absen, akhirnya tujuan pokok menuntut ilmu terasa diabaikan. Faktor yang menyebabkan hal ini sampai terjadi, karena masih terdapat sekat antara dosen dengan mahasiswa. Akhirnya filosofis ujian sebagai ’panen ilmu’ tidak dirasakan oleh mahasiswa. Untuk itulah, pengenalan awal menjadi modal dasar untuk keberlangsungan kuliah yang efektif dan efisien.

(3)

tatap muka. Untuk mencapai hal itu, maka kontrak kuliah dipandang sangat perlu, sehingga baik dosen maupun mahasiswa sama-sama merasakan kepuasan konsekuensi kuliah selama 14 kali tatap muka tersebut. Di dalam kontrak kuliah, semua komponen memiliki ruang dan waktu yang sama, dalam starting hingga finisshing studi. Prinsifnya, patrionisme di dalam ruang kuliah harus ditepieskan, sehingga mahasiswa dan dosen menjadi fathner.

II. PEMBAHASAN

A. Sejarah Jurnalistik dan

Munculnya Bahasa Jurnalistik

DALAM masyarakat ada sebagian pihak yang bertanya apakah memang ada bahasa jurnalistik itu? Untuk apa bahasa jurnalistik? Biasanya, mereka yang bertanya seperti itu tergolong yang punya kepedulian terhadap seluk beluk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya, masyarakat pada umumnya mengabaikan perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa pasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia pada era konvergensi media massa ini, tidak mungkin melakukan pengembangan diri dan masyarakat tanpa mengakses berita, fakta, ilustrasi, gagasan, dan informasi dari berbagai media komunikasi massa baik secara tradisional maupun media massa kontemporer (Santana K., 2005: 152).

(4)

kini berada dalam abad informasi.

Bagaimana media massa mentransmisikan informasi dan edukasi? Bagaimana media massa menjalankan fungsinya sebagai pelaku kontrol sosial, pewaris nilai kebudayaan, penafsir berita dan penyedia hiburan? Bahkan Marshall McLuhan mengkosmologikan era global village, kampung global. Media membuat jutaan orang bisa ―melihat dunia‖ secara langsung dan serentak.

Semua itu ditumbuhkan oleh para pekerja media. Pekerjaan mereka, yang kian jadi profesi, menciptakan pesan yang kian efektif. Dari suara elektronis yang semakin human, sampai halaman cetak dan huruf-huruf billboard elektronis, semuanya mengakumulasi. Ini hasil trial and error pekerja dan akademisi ketika mengembangkan proses komunikasi massa. Mereka meneliti unsur-unsur pesan, individu pengirim, khalayak dan berbagai efek komunikasi massa.

Pekerja media menata pesan massal dengan memanfaatkan ruang dan waktu teknologi media. Suara-suara elektronis ―human‖ memproses terpaan sampai ke bunyi mendesis dalam satuan waktu siaran. Kata-kata cetak disusun hingga mengajak keaktifan masyarakat ke ruang-ruang imaji sosial. Sistematika pesan dikalkulasi sampai ke rincian efek ―titik dan koma‖, bukan hanya semata-mata gramatika bahasa. Pesan ditata supaya memiliki daya pikat selera massa di berbagai ruang pengalaman dan referensi social.

Pers (baca: pekerja media) menjadi sebuah proses mediasi antara masyarakat dengan ―dunia‖. Pers diproses oleh jurnalisme untuk memiliki daya persuasi. Jurnalisme memrosesnya melalui tata cara mencari dan menyebarkan informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan teknik perliputan dan pendistribusian pesan yang sesuai dengan kultur masyarakat. Pada proses pengembangannya, perancangan informasi mendorong kelahiran fenomena bahasa pers.

(5)

penghantar pesan melainkan menjadi daya dorong lain. Dalam perkembangannya, mempengaruhi kegiatan pers sampai ke tingkat pengepingan realitas peristiwa berita. Tata nilai dan norma bahasa jurnalistik menjadi kelembagaan bahasa yang unik, dan bila dipolakan, menginduksi wacana masyarakat ketika menempatkan perspektif atas realitas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Departemen Pendidikan Nasional, (Balai Pustaka Jakarta, 2005), dalam Petunjuk Pemakaian Kamus halaman xxv antara lain menyatakan ragam menurut pokok pembicaraan. Di situ diuraikan bahwa ada empat macam ragam yakni ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Jadi memang ada bahasa jurnalistik sebagai salah satu ragam Bahasa Indonesia berdasarkan pokok pembicaraanya seperti bahasa ilmiah dan bahasa sastra.

Bahasa jurnalistik sebagai salah satu variasi Bahasa Indonesia tampak jelas kegunaannya bagi masyarakat yang mendengarkan informasi dari radio setiap hari, membaca berita koran, tabloid dan majalah setiap jam, menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi. Semua berita dan laporan itu disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, mereka seolah-olah diajak untuk menyaksikan berbagai peristiwa secara langsung. Dengan demikian bahasa jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik.

Sebelum lebih jauh masuk pada pengertian bahasa jurnalistik, perlu dijelaskan terlebih dahulu hakekat dari jurnalistik, karena selama ini beredar pendapat di tengah masyarakat bahwa jurnalistik adalah konsep penulisan berita semata. Pendapat ini tentu saja keliru. Sebab, seperti disebut Richard Weiner, jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner 1990:247).

(6)

bukanlah tanpa dasar, karena pada sejarah awal lahirnya jurnalistik bermula pada masa Kekaisaran Romawi Kuno ketika Julius Caesar (100-44 SM) berkuasa. Dia memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada papan pengumuman yang disebut ―Acta Diurna‖. Dari kata ―Acta Diurna‖ inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata ―diurnal‖ dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. (Onong U. Effendy, 1996: 124). Sejak saat itu dikenal para diurnarii yang bekerja membuat catatan-catatan hasil rapat dari papan Acta Diurna itu setiap hari untuk para tuan tanah dan para hartawan. Jadi di masa Romawi Kuno pada sejarah lahirnya jurnalistik merupakan kegiatan menyiarkan berita yang bersifat informatif semata-mata.

Kagiatan penyebaran informasi melalui tulis menulis semakin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus. Setelah itu penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Gutternberg.

Surat kabar cetak pertama terbit dan beredar di Cina dengan nama ―King Pau‖ sejak tahun 911 M dan pada tahun 1351 M Kaisar Quang Soo telah mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Sedangkan pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama ―Gazetta‖ lahir di Venesia, Negara Italia pada tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.

(7)

yang dipergunakan oleh semua orang sampai sekarang. Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22). Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul ―The Right of Man‖. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal menggantikan sistem pers otoriter.

Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).

Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.

B. Definisi dan Pengertian Bahasa Jurnalistik

(8)

Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari (Sumadiria, 2005:2). Dalam kamus jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar, majalah atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9).

Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Kridalaksana, 1977:44). Djen Amar menekankan, jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Amar, 1984:30).

Dalam buku ini bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya oleh khalayak publik. 2. Pengertian

(9)

telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan (Dewabrata, 2004:23).

Dalam penulisan berita, wartawan kerap menggunakan bahasa jurnalistik yang sesuai dengan karakter (gaya) tulisannya. Untuk penulisan berita di dalam media massa, bahasa jurnalistik disesuaikan dengan jenis beritanya. Misalnya, untuk penulisan berita investigasi, biasanya wartawan menggunakan bahasa jurnalistik reportase, sedangkan untuk penulisan artikel tokoh atau tulisan ringan, bisa menggunakan bahasa jurnalistik features, sebaliknya untuk menulis stright dan hard news lebih ditekankan pada bahasa yang lugas, tegas dan langsung pada pokok intinya dengan menggunakan unsur-unsur berita yakni 5 W+1 H.

Rosihan Anwar, wartawan senior terkemuka, menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jumalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Dia juga harus memperhatikan ejaan yang benar. Dalam kosa kota, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat (Anwar, 1991:1).

(10)

haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal, sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian, bahasa jumalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar dan pilihan kata yang cocok (Anwar, 1991:1-2).

Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya karena tidak semua orang mempunyai cukup waktu untuk memahami isi tulisan yang ditulis oleh wartawan. Jadi, bahasa jurnalistik bahkan harus bisa dipahami oleh tingkat masyarakat berintelektual rendah. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyambung lidah masyarakat dan bahasa komunikasi pengantar pemberitaan yang biasa digunakan media cetak dan elektronik.

Hal itu ditegaskan pula oleh pakar bahasa terkemuka dari Bandung JS Badudu, bahwa bahasa jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarak yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar,1991:2).

(11)

tentang hubungan internasional kepada mereka yang bukan diplomat, dan masalah-masalah politik kepada para pemilih yang awam (to explain science to nonscientists, international relations to nondiplomats, and politics to ordinary voters) (A.M. Dewabrata 2004:20).

Berbeda dengan bahasa sinetron yang sering asosial, akultural, egois dan elitis, bahasa jurnalistik justru sangat demokratis dan populis, karena dalam bahasa jumalistik tidak dikenal istilah tingkat, pangkat, dan kasta. Sebagai contoh, ayam berjalan, saya berjalan, guru berjalan, gubernur berjalan, menteri berjalan, presiden berjalan. Semua diperlakukan sama, tidak ada yang diistimewakan atau ditinggikan derajatnya. Disebut populis, karena bahasa jurnalistik menolak semua klaim dan paham yang ingin membedakan si kaya dan si miskin, si tokoh dan si awam, si pejabat dan si jelata, si pintar dan si bodoh, si terpelajar dan orang yang kurang ajar. Bahasa jurnalistik diciptakan untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa, di gunung dan di lembah, di darat dan di laut, di pasar dan di pekantoran, di swalayan dan di kebun. Tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang dianakemaskan atau dianaktirikan oleh bahasa jurnalistik.

(12)

Bahasa jurnalistik juga memiliki kekuatan dahsyat dalam membentuk perilaku pembaca. Bahasa jumalistik di dalam pemberitaan jangan hanya memfokuskan diri pada upaya menarik perhatian khalayak pada masalah tertentu. Bahasa setidaknya dapat membatasi persepsi dan membantu pembaca memikirkan sesuatu yang diyakininya. Misalnya, pernyataan keras dari elit politik atau korban konflik di lapangan bisa membakar emosi atau sebaliknya, sejuk dan menenteramkan, tergantung pada cara wartawan memformat isi dan bahasa yang dipergunakannya. Selain itu, bahasa juga bisa mendominasi pemberitaan, baik berita politik atau ekonomi dan sebagainya.

Bahasa bisa meredam tindak kekerasan, karena pada level tertentu, bahasa dimaknai sebagai ruang penyatuan yang paling efektif, dan memiliki peran yang cukup tinggi. Bila mana bahasa diselewengkan oleh wartawan, maka bahasa itu akan bisa menjadi pemicu dari setiap persoalan. Karena itu bahasa harus ditempatkan pada posisinya yang sesuai dengan alur dan akar dari persoalan yang diangkat. Apabila disalahtuliskan dari setiap persoalan yang diangkat, maka bahasa akan bermakna ganda dan dapat menjadi akar timbulnya persoalan baru, bukan sebagai penyelesaian.

(13)

A.M. Dewabrata menegaskan bahwa maksud pernyataan bahasa jurnalistik sebagai ragam Bahasa Indonesia bagi wartawan dalam menulis berita, sebenarnya menunjuk pengertian umum yang membedakan dengan ragam lainnya yang dapat dibedakan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, dan kata-kata (A.M. Dewabrata, 2004: 22).

Memahami bahasa harus secara utuh, karena kalau tidak dipahami secara utuh, akan bertumpuk pada persoalan penulisan naskah yang hendak dituangkan oleh wartawan. Misalnya saja, dalam membahas tentang kalimat atau kesatuan paling kecil yang mempunyai makna dalam penyampaian berita. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat sebagai kata benda adalah ―kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan‖. Jadi lewat kalimatlah pesan komunikasi disampaikan.

Dalam susunan teks berita, ragam bahasa jurnalistik yang baik biasa ditandai dengan kalimat-kalimat yang memiliki jumlah kata sedikit, karena kalimat yang memiliki jumlah kata banyak sering sulit dipahami maksudnya. Kadang pesan berita hanya berwujud satu kata pendek: ―Camkan!‖, ―Membosankan!‖ atau ―Dengar?‖. Tanda lain bahasa jurnalistik yang baik ialah kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari awal sampai akhir, tidak menggunakan susunan yang kaku dan formal yang sulit dicerna.

(14)

setepat dan seakurat mungkin seperti pesan yang dikehendakinya.

Dengan kata lain, seorang wartawan dituntut terampil menyampaikan berita sebagai alat untuk menarik perhatian pembaca terhadap suatu peristiwa yang dilihat memiliki nilai berita. Di samping itu AS Haris Sumadiria mencatat berdasarkan fungsi bahasa secara umum, bahasa jurnalistik berfungsi sebagai: 1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri; 2) Alat komunikasi; 3) Alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; serta 4)Alat melaksanakan kontrol sosial (Sumadiria, 2006: 8).

C. Alasan Penggunaan

Mengapa seorang jurnalis harus mengetahui bahasa jurnalistik yang baik dan benar? Tertunya jawaban ini hanya dapat disampaikan oleh seorang jurnalis yang benar-benar tekun dan menghargai bahasa jurnalis sebagai alat komunikasi dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Karena dengan mengetahui bahasa jurnalistik bagi seorang wartawan, ia dapat mengarahkan mainstrem berfikir dalam menuangkan naskah berita secara baik dan benar sesuai kebutuhan pembaca bukan untuk kepentingan kelompok atau individu pembaca. Selain itu, dalam penulisan berita, pelaku atau jurnalis tidak monoton dalam membuat karyanya berdasarkan fakta. Karena berita bukanlah cerita atau narasi film atau puisi, bukan juga karangan, melainkan tutur fakta yang diambil oleh seorang jurnalist di lapangan, berdasarkan suatu kejadian, baik di masa kini maupun masa lalu.

(15)

kesibukannya yang padat, namun bisa membaca isi media, baik cetak maupun elektronik. Penggunaan bahasa jurnalistik sebagai lambang, bahwa dalam karya penulisan di media, bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) tidak boleh diabaikan. Artinya, kaidah EYD tidak boleh dilanggar meskipun dalam penulisan bahasa Jurnalistik, yang kemudian disebut bahasa pasar. Karena bila dilanggar maka tentunya makna bahasa Indonesia dalam EYD akan dirusak oleh wartawan itu sendiri, yang sebenarnya wartawan justru memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi bahasa Indonesia dalam kaidah EYD.

D. Ciri atau Kharakteristik Bahasa Jurnalistik

Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestasikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian Tabor Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.

(16)

gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.

Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Assegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia—termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya,-- maka akan dapat diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang komunikatif.

Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message” menyatakan bahwa setiap media mempunyai tata bahasanya sendiri yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).

(17)

sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet.

Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata, (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.

1. Sederhana

Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.

2. Singkat

Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3. Padat

(18)

padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.

4. Lugas

Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5. Jelas

Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya. 6. Jernih

(19)

kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.

Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang. Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.

7. Menarik

Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip:

menarik, benar, dan baku.

(20)

baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.

8. Demokratis

Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.

(21)

tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto.

Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9. Populis

Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.

10. Logis

(22)

mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jurnalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).

11. Gramatikal

Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.

(23)

Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.

13. Menghindari kata dan istilah asing

Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.

Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

14. Pilihan kata (diksi) yang tepat

(24)

khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal.

Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).

15. Mengutamakan kalimat aktif

Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain, pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

(25)

Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.

Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah-istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.

Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.

17. Tunduk kepada kaidah etika

(26)

juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.

Dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.

Pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata masyarakat, antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau istilah yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah. Kata-kata vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi, biasanya lebih banyak ditemukan pada pers popular lapis bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005: 53-61).

E. Posisi Bahasa Jurnalistik

(27)

benar sesuai ciri-ciri bahasa Jurnalistik, maka posisi bahasa Jurnalistik yang sesuai dengan kaidah EYD akan salah arah. Parahnya lagi, ketika bahasa Jurnalistik itu sudah ditampilkan dalam bentuk karya, akan membingungkan khalayak pembaca. Tentunya, bahasa Jurnalistik memiliki peran penting dalam mengarahkan khalayak pembaca agar bisa memahami pesan-pesan yang disampaikan. Bahasa Jurnalistik harus memposisikan diri pada runut struktur kalimat yang benar dengan mengacu kepada kaidah bahasa Indonesia dalam EYD. (Baca bahasa Jangan Dikekang).

F. EYD dalam Bahasa Jurnalistik

Ejaan yang disempurnakan (EYD) adalah pedoman umum aturan-aturan pertatabahasaan yang baku di Indonesia. EYD merupakan acuan untuk semua aturan tata bahasa Indonesia yang berlaku sesuai pergerakan zaman atau bersifat dinamis sesuai dengan dinamika sosial budaya. Hal ini terjadi karena bahasa merupakan produk dari kebudayaan suatu golongan masyarakat di dunia.

Tidak terkecuali dalam pertatabahasaan Jurnalistik yang merupakan trendseter dalam kebahasaan masyarakat luas yang justru merupakan salah satu faktor mobilisator dalam dinamika tata bahasa itu sendiri. Peran jurnalistik dalam mengarahkan pola pikir masyarakat dalam berbahasa ini yang menjadi suatu tugas besar dalam membentuk pola sistem pertatabahasaan yang berkarakter dan memiliki citra natural yang baik dimata dunia pada umumnya dan Indonesia itu sendiri sebagai konsumen dari produknya sendiri.

(28)

1. Dalam penulisan judul. Contoh: Hujan Memakan Korban. Di sini bisa kita lihat. Huruf Awal pada setiap kata dicetak dengan huruf besar.

2. Gelar sesuatu. Contoh: (Gunung) Gunung Galunggung, (Bupati) Bupati Seram Bagian Barat. Di sini, keterangan gelar itu dicetak dengan huruf besar.

3. Huruf pertama dalam penulisan nama bangsa. Contoh: bahasa Indonesia, orang Jawa. Ditulis dengan huruf kecil.

4. Nama geografis. Contoh: Selat Malaka berbeda dengan saya pergi ke selat. Perbedaan terdapat pada penulisan huruf pertama dari kata "selat". 5. Bentuk ulang sempurna. Contoh: Ahli-Ahli,

Undang-Undang.

6. Kata depan dan kata sambung. Contoh: Harimau Tua

Adapun untuk spesialisasi penulisan cetak miring diantaranya adalah pada ;

1. Judul buka 2. Nama media 3. Bahasa asing

Secara umum EYD berfungsi sebagai pedoman dasar dalam penggunaan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Begitu pun dalam penggunaan bahasa jurnalistik peran EYD tidak jauh berbeda, namun dalam penggunaannya terdapat beberapa pengecualian. Seperti dalam penggunaan judul baik dalam berita, artikel, maupun karya jurnalistik lainnya.

a. Penulisan huruf capital

1) Jabatan tidak diikuti nama orang

(29)

nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.

3) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau tempat.

b. Dalam penggunaan judul

1) Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.

2) Nama geografi sebagai nama jenis 3) Setiap unsur bentuk ulang sempurna 4) Penulisan kata depan dan kata sambung c. Penulisan Huruf Miring

1) Penulisan nama buku dan surat kabar 2) Penegasan dan pengkhususan kata 3) Penulisan kata nama ilmiah.

d. Penulisan kata turunan

1) Gabungan kata dapat awalan akhiran 2) Gabungan kata dalam kombinasi

e. Penulisan gabungan kata

1) Penulisan gabungan kata istilah khusus 2) Penulisan gabungan kata serangkai

f. Penulisan partikel

1) Penulisan partikel pun 2) Penulisan partikel per

g. Penulisan singkatan

1) Penulisan singkatan umum tiga huruf 2) Penulisan singkatan mata uang

h. Penulisan akronim 1) Akronim nama diri 2) Akronim bukan nama diri

i. Penulisan angka

1) Penulisan lambang bilangan

(30)

3) Penulisan lambang bilangan awal kalimat 4) Penulisan lambang bilangan utuh

5) Penulisan lambang bilangan angka huruf

G. Penyimpangan EYD

Terdapat beberapa penyimpangan bahasa Jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:

1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangkan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.

2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar, sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.

(31)

seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.

4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001 yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll. Kesalahan ini pada koran lokal sudah menjadi trent dan jarang sekali diperbaiki.

5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia atau bisa langsung menggunakan program notepad.

Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa Jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.

(32)

memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik ―gaya Tempo‖ menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.

Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).

(33)

setidaknya menjadi acuan atau model koran atau majalah yang redakturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau majalah karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar pembacanya.

Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.

Tentang penyimpangan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) yang telah diatur dalam 10 pedoman pemakaian bahasa dalam press yang disahkan dalam sidang PWI 10 November 1978 : 1. Wartawan hendaknya harus konsekuen

melaksanakan pedoman EYD.

2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam menulis singkatan atau akronim.

3. Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefix.

(34)

5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan yang bersifat klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita. 6. Wartawan hendaknya kata-kata yang bersifat

mubazir seperti :

a. adalah (kalimat popula) b. telah (penunujuk masalah)

c. untuk (sebagai terjemahan to dari Bahasa Inggris) d. dari (sebagai terjemahan of dalam hubungan hak

milik)

e. bahwa (sebagai kata sambung)

f. dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang. 7. Wartawan hendaknya mendisipilinkan

pikirannya agar tidak tercampur aduk dalam suatu kalimat yaitu bentuk pasif dengan bentuk aktif.

8. Wartawan hendaknya menghindari pemakaian kata-kata asing, dan istilah-istilah, jika memang dicantumkan harap memberikan keterangan mengenai kata asing atau istilah-istilah.

9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah Tata Bahasa Indonesia yang baik.

10. Wartawan hendaknya ingat Bahasa Jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya. (ASM.Romli).

H. Bahasa Jangan Dikekang

Dalam Jagat Bahasa Nasional yang ditulis oleh P. Hasidungan Sirait/Muhlis, mengajak kita untuk tidak mengekang bahasa. Karena apabila bahasa dikekang maka akan berdampak bias terhadap pembaca terutama pembaca yang tidak memahami bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tentunya penampilan media harus bisa dibaca dan dipahami oleh orang banyak (Baca Definisi dan Pengertian bahasa Jurnalistik).

(35)

sampe ngangkan mengangkang...//Boro2 dapet setumpuk uang...//Malah kaya kena tendang di slangkan/Sampe rebah jatuh telantang...//Masih aja ngepas...//Ngepis...pas-passan//Gaji rakyat mulai dikit2 baik.../Tapi harga2 naik.../Mau pinjam ngeri sama bunga bank.../Mr. Government masih jaga2../Gara2 soros yahudi belis.../Boro2 nanti devisa habis...//Tetep aja ngepas.../Ngepas...pas2an

Simak syair lagu band bernama Slank di atas. Apa kesan anda-bahasa Slank urakan atau dekonstruktif? Memang demikian adanya mereka. Sebagian besar lirik lagunya menggunakan bahasa ucap keseharian anak muda sekarang dan jauh dari kesan memperindah-indah. Singkat kata bahasa yang digunakan kelompok ini ialah bahasa informal, efektif, langsung ke persoalan dan bersahaja.

(36)

pegangin, tinggalin, manfaatin; dibodohin, diturutin, ditinggalin, diumpetin, dikerjain. Kata sifat dari khazanah Betawi juga mereka gunakan misalnya ketahanan dan kepikiran.

I. Kebijakan Redaksional & Style Book

Kebijakan Redaksional (Editorial Policy) adalah ketentuan yang disepakati oleh redaksi media massa tentang kriteria berita atau tulisan yang boleh dan tidak boleh dimuat atau disiarkan, juga kata, istilah, atau ungkapan yang tidak boleh dan boleh dipublikasikan, sesuai dengan visi dan misi media.

Dalam media radio/TV, kebijakan redaksi soal penggunaan bahasa dituangkan dalam standar kata siaran. Di media cetak (suratkabar, majalah, tabloid), kebijakan itu dirinci dalam ‖buku gaya

bahasa‖ (style book) atau buku pedoman

penggunaan standar kata/ bahasa untuk keseragaman penulisan. Gaya penulisan itu harus ditaati oleh wartawan agar terjadi keseragaman dalam teknis penulisan kata-kata, gaya bahasa atau kalimat, dan istilah.

Kebijakan redaksional ditetapkan sebagai standar bagi wartawan dan penyiar demi ciri khas media sekaligus menjaga keseragaman bahasa di kalangan wartawan/penyiar. Kita menemukan beragam gaya penulisan ‖Al-Quran‖ dan ‖Allah SWT‖ –Alquran, al-Quran, Al-Quran, Al-Qur’an, al-Qur’an; Allah SWT, Allah Swt, Alloh SWT, bahkan Allah Azza wa Jalla.

(37)

Media lainnya mengabaikan titik itu demi penghematan kata (economy of word). Contoh, Prof. Dr. Ahmad, S.H. (dengan titik) – Prof Dr Ahmad, SH (tanpa titik).

J. Prinsip Penulisan

Fungsi bahasa komunikasi massa harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal.

Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas di antaranya:

1. `Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.

2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Menerapkan prinsip 5 w+1h, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata. 3. Sederhana, memilih kalimat tunggal dan sederhana,

bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis).

4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.

5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.

(38)

menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain. Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini.

Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting.

Perhatikan contoh berikut: Pangdam VIII/Trikora Mayjen TNI Amir Sembiring mengeluarkan perintah tembak di tempat, bila masyarakat yang membawa senjata tajam, melawan serta tidak menuruti permintaan untuk menyerahkannya. Jadi petugas akan meminta dengan baik. Namun jika bersikeras dan melawan, terpaksa akan ditembak di tempat sesuai dengan prosedur (Kompas, 24/1/99)

Contoh:

1. Terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan penting dan kalimat kedua menerangkan pesan kalimat pertama.

(39)

rugi karena pembajak buku tidak membayar pajak penjualan (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Juga pengarang, karena mereka tidak menerima royalti atas karya ciptaannya. (Media Indonesia, 20/4/1997). Contoh (3) dan (4) tidak mengandung ketaksaan. Setiap pembaca akan menangkap pesan yang sama atas teks di atas. Hal ini disebabkan teks tersebut dikonstruksi oleh kata yang mengandung kata harfiah, bukan kata-kata metaforis.

3. Prinsip ekonomi.

Prinsip agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Ketua DPP PPP Drs. Zarkasih Noer menyatakan, segala bentuk dan usaha untuk menghindari disintegrasi bangsa dari mana pun atau siapa pun perlu disambut baik (Suara Pembaruan, 21/12/98 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas.

(40)

K. Paragraf Bahasa Jurnalistik L. Bahasa Jurnalistik Cetak/Online M. Bahasa Jurnalistik Radio/TV

N. Kata-Kata Mubazir dalam Jurnalistik

Kata kata yang perlu dihindari dalam penulisan berita, Kata-kata penat dan jenuh:

Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise/stereotype yang sering dipakai dalam kata transisi berita seperti:

 Sementara itu  Dapat ditambahkan  Dalam rangka  Perlu diketahui  Dalam rangka  Selajutnya,

 Dll

Dengan demikian dia menghilangkan monotogi(keadaan/bunyi yang selalu sama saja) dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata/penghematan kata.

Beberapa pendapat tentang ekonomi kata:

Cicero ,―keringkasan adalah daya tarik besar kefasihan lidah‖ Hosea Ballou ,―keringkasan dan kepadatan isi ialah orangtua perbaikani‖ Walt Whitman ― Kesederhanaan(simplycity) ialah kejayaan ekspresi. ―

Kata-kata mubazir:

(41)

 Adalah/ilalah/merupakan : lahir karena kata kopula dalam bahasa asing

 Telah  Untuk

O. Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea

Bahasa jurnalistik juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya. Para pembelajar BIPA tingkat lanjut dapat mempotensikan penggunaan bahasa Indonesia ragam jurnalistik dengan beberapa usaha.

1. Pemakaian kata-kata yang bernas. Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya. Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam BI Jurnalistik diperhadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata. Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.2. Penggunaan kalimat efektif, Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.

(42)

Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luasdari kalimat.

Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain.

P. Analisis Penggunaan Bahasa Jurnalistik dalam Karya Jurnalistik

Q. Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dari PWI

Setiap organisasi profesi, termasuk profesi kewartawanan, terikat kewajiban untuk senantiasa memberikan pembekalan, pelatihan, dan pencerahan kepada para anggotanya secara periodik. Jika tidak, maka organisasi itu tidak layak dan tidak boleti menyebut dirinya organisasi profesi. Suatu profesi memerlukan persyaratan tertentu. Dengan persyaratan tertentu itulah keahlian atau profesionalitas dapat diciptakan, dipertahankan, dan bahkan terus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika masyarakat dan bangsa.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai salah satu organisasl profesi tertua dan terbesar di Indonesia, tak terkecuali terikat pula dengan kewajiban serta ketentuan tersebut. Itulah sebabnya, dalam kurun waktu 1977-1979, PWl bekerjas sama dengan beberapa lembagadi dalam dan luar negeri, menyelanggarakan

pelatihan wartawan.

(43)

Berikut kutipan lengkap kesepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam per situ:

1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor karena kesalahan paling menonjol dalam surat kabar sekarang ini ialah kesalahan ejaan.

2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun ia harus menulis akronim, maka satu kali ia harus menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai. 3. Wartawan hendaknya tidak menghilangkan

imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Pemenggalan kata awalan me dapat dilakukan dalam

kepala berita mengingat

keterbatasan ruangan. Akan tetapi pemenggalan jangan sampai dipukulratakan sehingga merembet pula ke dalam tubuh berita.

4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan, dan kata tujuan (subjek, predikat, objek). Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat

yang mengandung

banyak kata mudah membuat kalimat tidak dapat dipahami, lagi pula prinsip yang harus dipegang ialah ―satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat‖.

5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau ste¬reotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka. Dengan demikian dia menghilangkan monotoni (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja), dan sekaligus dia

menerapkan ekonomi kata atau

(44)

6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah (kata kerja kopula), telah (penunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris), dari (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik), bahwa (sebagai kata sambung) dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.

7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).

8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka satu kali harus dijelaskan pengertian dan maksudnya.

9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tatabahasa.

10. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu isi, bahasa, dan teknik persembahan.

R. PENUTUP

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan (1991). Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.

Anderson, Benedick ROG. (1966). Bahasa Politik Indonesia. Indonesia I, April : hal 89-116.

Anderson, Benedick ROG. (1984). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. London: Cornell University Pres.

Asegaf, Dja’far H. (1982) Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Badudu, J.S. (1988). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Halliday, MAK. (1972). ―Language Function and Language Structure‖ New Horizon of Linguistics. London: Penguin Book.

Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik (Alih Bahasa DD Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Oetama, Jacob. (1987). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.

McGoldrick, Annabel dan Lynch, Jake (2000). Jurnalisme Perdamaian Bagaimana Melakukannya?. Sydney: Seri Workshop LSPP, November 2000.

(46)

Sudaryanto (1995). Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.

Suroso (2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP.

Referensi

Dokumen terkait

Di tengah kesibukan Bapak/ Ibu/ Saudara/i, perkenankanlah saya meminta kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk meluangkan waktu sejenak guna mengisi kuesioner

11 Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur pelayanan klinis, analisis dan tindak lanjut.

Perlakuan III dilakukan pada hari Kamis, 8 Mei 2014 yang dimulai pada pukul 08.00 sampai pukul 10.00. Perlakuan yang diberikan yaitu berupa permainan kucing-kucingan. Sebelum

Justifikasi Produk furniture yang diproduksi CV Noble Gallery Indonesia tidak termasuk dalam produk yang yang berasal dari bahan baku yang dibatasi

lingkup pembahasan dalam suatu penelitian, maka dalam penelitian ini difokuskan untuk lokasi penelitian dilakukan di ruas Jalan Slamet Riyadi Samarinda (2 arah),

PPATK sendiri dengan pendekatan berbasis risiko telah mengutamakan penanganan perkara TPPU yang berdasarkan 3 jenis tindak pidana utama yang menghasilkan..

Menurut Bafadal (2003:3) bahwa “prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan