• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Pemimpin yang Membebaskan isinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menjadi Pemimpin yang Membebaskan isinya "

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PANGGILAN MENJADI PEMIMPIN YANG MEMBEBASKAN

Oleh: Ascteria Paya Rombe No. Hp: 0822-9630-7749

Institusi: Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja E-mail: ascteria@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini terfokus pada keadaan krisis kepemimpinan yang terjadi di Indonesia saat ini dimana bangsa yang memiliki kebhinekaan dalam segala aspek baik, sosial, budaya, suku, golongan dan agama ikut menjadi penyebab krisis kepemimpian atau bahkan tersandera oleh kekuasaan kepemimpinan, untuk itu perlu keterpanggilan untuk menjadi pemimpin yang membebaskan dengan visi atau ide yang membawa perubahan. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif serta membandingkan pengaruh Modernisme terhadap kepemimpinan yang ada di Indonesia, dan pentingnya melihat kembali karya teolog Teologi Sosial Liberatif mengenai presensia Ebed Yahwaeh (kehadiran Hamba Tuhan) yang membebaskan.

Pendahuluan

Kepemimpinan merupakan suatu seni yang usianya setua umur manusia di bumi dimana orang telah mempraktekkannya dalam waktu yang cukup panjang. Selain itu kepemimpinan selalu ada dalam setiap budaya dari segala bangsa di seluruh dunia1. Kepemimpinan telah menjadi topik yang sangat menarik dari para ahli sejarah dan filsafat sejak masa dahulu. Kepemimpinan adalah salah-satu fenomena yang paling banyak diamati, bahkan diberi perhatian khusus di berbagai belahan dunia2, tidak ada satupun bidang yang tidak terlepas dari kepemimpinan, baik dalam bidang politik dan pemerintahan, bidang bisnis, pendidikan, sosial, dan religius. Bahkan yang terpenting ialah bahwa begitu banyak orang yang berlomba-lomba menduduki kursi kepemimpinan, tentu dengan motivasi yang berbeda-beda. Akan tetapi permasalahannya saat ini begitu banyak masalah akut dan kronis yang melumpuhkan berbagai jenis organisasi dalam berbagai bidang disebabkan atau terkait dengan krisis kepemimpinan. Terlalu banyak pemimpin yang tidak memiliki atau kurang diperlengkapi dengan kompetensi kepemimpinan yang mapan, cacat karakter, bahkan integritas seringkali dikorbankan demi sebuah ambisi pribadi.

Lampu sorot riset dibidang kepemimpinan saat ini sedang mengarah ke topik kepemimpinan yang buruk. Bahkan seorang profesor kepemimpinan di Harvard University, dalam bukunya menulis bahwa semua jenis pemimpin saat ini mengalami kejatuhan karena cacat karakter. Bahkan yang disebut saleh/berhati mulia, cinta Tuhan, rendah hati, dan berprinsip tegas pun tidak sedikit yang mengalami kejatuhan.3 Masalah karakter sesungguhnya lebih esensial ketimbang masalah kompetensi. Penelitian ilmiah kepemimpinan berulang kali mengkonfirmasi bahwa tanpa karakter yang kuat dan baik, pemimpin yang sangat efektif pun akan tergelincir dan terjatuh4.

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki kebhinekaan dalam segala aspek, baik sosial, budaya, suku, golongan, dan agama. Tentu membutuhkan kepemimpinan yang kapabel secara moral dan teknis. Kepemimpinan di Indonesia saat ini, tanpa sadar sesungguhnya mengalami krisis kepemimpinan. Krisis kepemimpinan adalah masalah yang krusial. Namun, masalah yang lebih krusial sekaligus urgen ialah masalah kepedulian. Banyak orang yang tidak peduli terhadap fakta bahwa, kita tidak memiliki figur dan sistem kepemimpinan yang baik. Bahkan kenyataan yang terjadi, kepemimpinan di Indonesia rupanya tidak sedikit yang bersifat nepotisme, bukan lagi memperlihatkan kepemimpinan dalam masyarakat yang plural, mengedepankan kemampuan dan kualitas seseorang.

1 Dr. Yakob Tomatala, Kepemimpinan Kristen, (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002), hlm.1 2 Triantoro Safaria, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), hlm. 3

(2)

Mungkin beberapa pemimpin bangsa yang ada saat ini tanpa sadar bahwa karakter mereka terbawa dampak dari Modernisme yang ditekankan oleh Teologi Sosial Liberatif bahwa model modernisme menciptakan kaum bermodal dan elit penguasa, dimana mereka ikut di dalam perputaran arus perekonomian yang begitu deras, para pengusaha yang bermodal tinggi, terus menguras keuntungan dari derasnya perputaran ekonomi, dan para pemimpin yang ada tidak ingin tertinggal hingga ikut terjun kedalam perputaran tersebut, yang pada akhirnya memperebut kekuasaan agar dapat ikut mengambil keuntungan dan mengabaikan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan5, yang memimpin yang berkuasa, dan yang miskin semakin melarat. Modernisasi menyebabkan karakterstik manusia di abad ke-21 menjadi bergaya hidup hedonis dan materialis, berpikir dalam kerangka relativisme, bekerja dengan etika pragmatis, dan berorientasi pada diri sendiri (aku-diriku-milikku), yang ikut mempengaruhi gaya kepemimpinan di Indonesia. Mentalitas kepemimpinan seperti ini sesungguhnya akan merusak bangsa. Dalam konteks seperti inilah, tugas dan tanggung jawab pemimpin menjadi semakin kompleks dan berat. Bukan semata kekuasaan.

Indonesia membutuhkan jiwa kepemimpinan yang membebaskan. Membebaskan dari krisis kepemimpinan, kepemimpinan yang berorientasi kepada “kepentingan kekuasaan”, dan membebaskan dari model kepemimpinan “nepotisme dan kolusi”.

Mengapa Nepotisme dan Kolusi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme berarti, perilaku yg memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Sedangkan kolusi kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persekongkolan6.

Itulah kenyataan yang terjadi dalam kepemimpinan Indonesia, nepotisme dan kolusi mewarnai kepemimpinan dalam segala bidang baik, baik dalam bidang politik dan dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan atau oran lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan7. Seorang pemimpin harus merupakan seorang yang bersedia terus-menerus belajar agar semakin akurat dalam membaca perubahan yang terjadi dan mempengaruhi organisasinya. Pemimpin dan perubahannya merupakan dua hal yang saling terkait, pemimpin seharusnya menghasilkan perubahan-perubahan yang hebat. Tanpa Martin Luther King Junior, orang kulit berwarna mungkin masih hidup tertekan dan miskin. Tanpa Bill Gates mungkin kita tidak mengenal Windoes seperti sekarang. Tanpa Desmond Tutu, Cristopher Columbus, atau Florence Nightingale, dunia mungkin tidak berubah menjadi seperti yang kita kenal sekarang.

Sungguh amat menarik jika mencoba memahami situasi bangsa kita saat ini dalam perspektif kisah Eksodus. Pada satu pihak mendambakan pembebasan (menantikan seorang “Musa”!), tetapi pada saat yang sama juga menikmati penindasan dan takut keluar dari hal tersebut. Namun syukur bahwa ada pengharapan, “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka. Sebab itu aku telah turun untuk melepaskan

5 Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 139-145 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

(3)

mereka” (Kel. 3:7). Namun adakah panggilan pada diri untuk membebaskan bangsa dari lilitan pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan dan model pemimpin nepotisme? Jika Musa dipanggil Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan dari Mesir, dan meninggalkan kenyamanannya di Midian dan berangkat ke Mesir. Nehemia yang memilih keputusan yang sama untuk taat ketika ia harus meninggalkan posisinya, keamanan dan kenyamanan hidupnya, hak-haknya, cita-citanya, dan masa depan cerahnya di kerajaan Persia, dan berjuang bersama saudara-saudaranya yang tertindas karena tembok Yerusalem menjadi reruntuhan puing. Bahkan Yesus yang mengalami penderitaan luar biasa demi membebaskan manusia dari belenggu dosa. Ataukah akan seperti kisah dalam Yehezkiel 22, Allah begitu geram melihat kebobrokan umat-Nya yang melampaui batas-batas kewajaran. Celakanya, para pemimpin umat tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (Yehezkiel 22:25-28). Allah lalu berfirman, “Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu dihadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi aku tidak menemuinya” (Yehezkiel 22:30).

Emanuel Gerrit Singgih yang ialah seorang ahli Tafsir Perjanjian Lama. Ia tergolong ahli tafsir kontekstual, yaitu membuat tafsir Kitab Suci dengan mempertimbangkan perspektif dan kesadaran religius-kultural lokal. Melalui pemeriksaan dengan sangat teliti dan teknis tafsir biblis atas teks Deutro-Yesaya dalam Yesaya 42 dan Trito-Yesaya, ia tiba pada kesimpulan bahwa Gereja dan Umat Kristen di Indonesia sebagai presensia Ebed Yahwaeh

(kehadiran Hamba Tuhan) yang membebaskan.8

Panggilan untuk membebaskan sesungguhnya begitu nampak dalam teks-teks Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru, sejak zaman dahulu banyak orang telah menyuarakannya. Para teolog teologi sosial model liberatif pun telah lama menyuarakan hal membebaskan yakni J.L.Ch Abineno, Josef Widyatmadja, F. Ukur, E.G. Singgih, A.A. Yewangoe, dan Marianne Katoppo. Dimana saat itu mereka mengacu pada pengalaman nyata masyrakat Indonesia, terutama mereka yang menjadi korban pembangunan nasional atau proyek modernisasi Indonesia9. Akan tetapi kesadaran untuk melakukan hal tersebut sangatlah kurang bahkan terlebih dalam rana kepemimpinan. Alangkah lebih baik jika setiap pemimpin memiliki karakter kepemimpinan yang membebaskan.

Karakter Kepemimpinan yang Baik

Telah dikatakan diawal bahwa, Indonesia saat ini dapat dikatakan telah mengalami “Krisis kepemimpinan” mentalitas para pemimpin saat ini bukan lagi berorientasi kepada memimpin atau mengarahkan melainkan lebih berorientasi kepada kekuasaan. Karena itulah kenyataan yang terjadi di bangsa ini, yang berkuasa dialah yang menaklukkan, apa yang dikatakan itu yang terjadi. Sehingga sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan tidaklah lagi nampak. 10Berikut ciri-ciri kepemimpinan yang baik dari dua versi sumber yang berbeda

(4)

Pendengar yang baik Inisiatif

Hal yang lebih penting ketika berbicara mengenai karakter kepemimpinan ialah seorang pemimpin harus memiliki sebuah visi. Visi memberi alasan untuk terus berjuang dalam hidup. Visi bahkan memberi alasan untuk rela berhadapan dengan kematian. Ada ungkapan mengatakan bahwa, jika anda seorang pemimpin, anda termasuk kategori mana: pemimpin bervisi atau pemimpin liar?

Pemimpin tanpa visi adalah pemimpin yang liar, bahkan sama sekali tidak dapat disebut pemimpin. Mengenali visi dengan baik dan berani menghidupinya akan menciptakan pemimpin berbahaya dalam hal positif dapat saja menjadi negatif jika visinya menjurus ke hal negatif. Berbahaya dalam pengertian berpotensi mempengaruhi dunia. Contoh yang jelas Karl Marx dan Charles Darwin, kedua orang ini bahkan masih mempengaruhi orang lain meskipun sudah lama tiada. Dari liang kubur, ide mereka menjalar melewati zaman dan generasi. Itu sebab mereka menjadi orang-orang yang sangat berbahaya! Martin Luther King, Jr. Menginvestasikan seluruh hidupnya untuk satu ide: Menghapus diskriminasi terhadap orang African-American dengan nonviolence resistance. Sampai hari ini, penduduk Amerika masih mengenangnya pada hari Martin Luther King, Jr. Mahatma Gandhi, Ibu Teresa, Dawson Trotman, Dietrich Bonhoeffer, Alexander Solzhenitsyn, Albert Einstein, Adolf Hitler, Sigmund Freud, Jim Fones, Alfred Sloan, Bill Gates, serta ratusan orang besar lainnya dalam sejarah dunia memiliki pola yang sama: yakni hidup dengan visi, hidup dengan satu ide. Yang menarik, sejarah hidup Tuhan Yesus Kristus juga demikian. Dia berbahaya bagi stabilitas nasional pada waktu itu karena ide tunggal-Nya tentang Kerajaan Allah. Akibatbya, Ia disalib bagai seorang penjahat besar11.

Kesimpulan

Jiwa kepemimpinan akan lebih bermakna jika jiwa tersebut ialah jiwa kepemimpinan yang membebaskan, khususnya dalam keberadaan kepemimpinan di Indonesia saat ini yang mengalami krisis kepemimpinan, kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan kekuasan dan kepemimpinan yang nepotisme dan kolusi, tentu diimbangi dengan karakter kepemimpinan yang baik, visi atau ide sangat menentukan perubahan yang terjadi. Kepemimpinan mestinya menghadirkan teladan publik bukan tersandera kekuasaan.

Daftar Rujukan

Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: LAI, 1994 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

Danim, Sudarwan, Kepemimpinan Pendidikan, Bandung: ALFABETA, 2012

(5)

Danim, Sudarwan, Menjadi Pemimpin Besar Visioner Berkarakter, Bandung: ALFABETA, 2012

Mojau, Julianus, Meniadakan atau Merangkul, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012 Safaria, Triantoro, Kepemimpinan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004

Sendjaya, Sen, Jadilah Pemimpin Demi Kristus!, Jakarta: Literatur Perkantas, 2012 Tomatala, Yakob, Kepemimpinan Kristen, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian penerapan media berbasis Aurora 3D Presentation dengan model pembelajaran mind mapping pada mata pelajaran

Dengan demikian sangat dibutuhkan cara atau media yang harus diinformasikan kepada para siswa tentang teknik pembuatan presentasi yang interaktif dan lebih menarik salah satunya

Sebagai akibat hukumnya sanksi-nya bila pelaku usaha tetap mencantumkan klausula eksonerasi dalam karcis parkir yang mereka buat, maka Pasal 18 ayat 3 menetapkan, “Setiap klausula

• #da juga orang batak sakit karena tarhirim +is $ seorang bapak menjanjikan akan memberi mainan buat anaknya, tetapi janji tersebut tidak ditepati. arena janji tersebut

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis

Pengertian Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya

Oleh karena itu, agar biaya pemakaian tidak membebani pemakai maka pada perangkat telepon dibuat aplikasi untuk pembatas pemakaian dengan cara user login dan

Sebagai sebuah Negara yang bersikeras untuk merebut kembali kedaulatan atas wilayah Indonesia dari tangan pemerintah Indonesia, Belanda merasa bahwa keberhasilan