• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR DASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DASAR DASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR-DASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL,

SANKSI DAN PANDANGANNYA TERHADAP AKSI

TERORISME

OLEH : DESITA CITRA RESMI (201310360311110)

PENDAHULUAN

Hukum Humanitarian dianggap sebagai pembatas-pembatas umum berperang dalam kajian Hukum Internasional. Hukum Humanitarian Internasional atau HHI telah dibuat berdasarkan pemikiran-pemikiran politis agar perang antar negara tidak terjadi secara brutal dan semena-mena. Berbagai sanksi telah disertakan agar hukum ini dapat ditaati oleh para petinggi negara untuk menciptakan penyelesaian konflik secara tertulis. Tentunya hukum humaniter ini sangat erat kaitannya dengan tindakan aksi terorisme yang terkadang terkesan melampaui batas hukum humaniter. Kita perlu mengetahui dasar-dasar hukum itu, sanksi sanksi yang ada agar bisa mengkaitkannya dengan aksi terorisme masa kini.

TIMELINE TERBENTUKNYA HUKUM HUMANITARIAN

Strategi perang pertamakalinya ditulis oleh Sun Tzu di Cina dua ribu lima ratus tahun yang lalu atau 600 tahun sebelum Masehi. Tulisan yang terdiri dari tiga belas bagian ini tidak satupun yang dimaksudkan untuk mengikat baik secara hukum maupun secara moral bagi mereka yang terlibat dalam pertempuran. Tulisan tersebut semata-mata hanya ditujukan sebagai petunjuk mengenai cara paling efektif untuk memperoleh kemenangan dalam setiap pertempuran yang dilakukan. Meskipun demikian, tulisan Sun Tzu cukup mempengaruhi perkembangan hukum kejahatan perang antara lain yang tertulis pada bagian kedua. Bagian ini secara tidak langsung memuat dan mengatur cara-cara memperlakukan seorang musuh. Meskipun musuh, Sun Tzu menuliskan bahwa para prajurit musuh yang tertangkap harus diperlakukan dengan baik dan dijaga.

Di wilayah Mediterania, Kebudayaan Hindu di Asia Selatan sekitar 200 tahun sebelum Masehi membuat aturan pertempuran yang dinamakan The Manu Smiriti atau Code of Manu. Kitab ini menunjuk beberapa aspek hukum termasuk prinsip-prinsip tentang perang yang manusiawi (dharma-yuddha), yang antara lain menyebut larangan penggunaan senjata yang berbahaya seperti panah berduri dan panah beracun, larangan pembunuhan terhadap tentara musuh yang sudah kehilangan kuda atau kendaraannya, menyerah, tidak bersenjata lagi, terluka parah, ketakutan, serta larangan pembunuhan terhadap pihak pihak yang tidak termasuk peserta tempur. Pelanggaran terhadap prinsip prinsip ini dapat diadili di muka pengadilan.

Pada abad ke 18 Jean Jacques Rosseau menuliskan bahwa manusia sangatlah tidak rasional jika mau dijadikan budak. Rosseau juga menyinggung bahwa setiap manusia dapat keluar dari kontrak hukum dan kembali bebas sebagaimanaia dilahirkan. Rosseau juga mengklaim bahwa ukuran territorial yang dapat diberi perintah atau diberi aturan dapat menentukan sendiri bagaimana mereka ingin membentuk negaranya. Kekuatan ini bersifat absolut.

(2)

tahun 1864. Konvensi Jenewa ini menjadi tonggak awal perbaikan keadaan tentara yang terluka di medan perang darat, dan juga menjadi perintis Konvensi Jenewa selanjutnya yang menitikberatkan perlindungan korban perang. Konvensi- konvensi Jenewa beserta protokol-protokol tambahannya merupakan rezim peraturan yang ekstensif untuk melindungi orang- orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan.

Pada Tahun 1863 pemerintah merika Serikat memberlakukan Lieber Code yang digunakan sebagai hukum yng mengatur pertempuran antara angkatan bersenjata pemerintah melawan angkatan senjata pemberontak atau Pasukan Konfederasi pada waktu terjadinya Civil War. Lieber Code ini memuat sanksi yang dapat diterapkan untuk mengadili kejahatan-kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, penghancuran property yang diperintahkan oleh atasan berwenang, dan lain sebagainya. Kapten Henry Wirz, seorang dokter Swiss yang diperbantukan pada angkatan bersenjata konfederasi dan bertanggung jawab terhadap 45.000 tawanan perang di kamp tawanan Andersonville, telah diadili di Washington DC pada Agustus 1865. Kapten Wirz terbukti secara sengaja dan kejam telah melakukan konspirsi untuk merusak kesehatan dan bahkan membunuh serdadu-serdadu Amerika yang ditawan di kamp tersebut. Atas pelanggarannya terhadap hukum perang ini maka Kapten Wirz dijatuhi hukuman mati dan segera dieksekusi.

Deklarasi St. Petersburg pada tahun 1868 menyatakan bahwa satu-satunya tujuan yang sah yang mesti diupayakan pencapaiannya oleh negara-negara yang terlibat dalam perang adalah untuk melemahkan kekuatan militer musuh dan untuk mencapai tujuan tersebut sudah cukup dengan melumpuhkan sejumlah manusia sebanyak yang diperlukan saja. Hal yang sama yang tercantum dalam peraturan Den Haag 1907 pasal 23 G yang menetapkn bahwa dilarang menghancurkan atau merampas harta benda musuh, kecuali jika penghancuran dan perampasan tersebut mutlak dibutuhkan oleh kepentingan militer.

Kaidah-kaidah hukum utama untuk perang di darat ditetapkan dalam Konvensi The Hague IV tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dan Regulasi-regulasi yang ditambahkan kepada konvensi itu. Pengaturan-pengaturan ini disebut “Kaidah-Kaidah Hukum The Hague” atau The Hague Rules atau The Hague Regulations yang mendefinisikan status pihak-pihak yang berperang, yaitu mereka yang dapat dianggap sebagai prajurit sah. Pasukan gerilya dan milisi atau korp sukarelawan seperti British Hom Guard dalam perang dunia kedua tunduk kepada hukum, hak-hak dan kewajiban perang apabila mereka memenuhi empat syarat, yaitu bahwa mereka benar-benar diberi komando yang selayaknya, memiliki suatu lambang atau emblem yang dapat dilihat dari jarak tertentu, membawa senjata secara terbuka dan melakukan tindakan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

(3)

a. Tidak melakukan penyaderaan atau menjatuhkan hukuman kolektif terhadap penduduk atas pelanggaran keamanan atau gangguan terhadap angkatan bersenjata yang menduduki yang dilakukan oleh penduduk secara individu

b. Tidak memindahkan penduduk melalui kekerasan, secara individual ataupun masal ke wilayah lain atau melakukan pengusiran atas mereka,

c. Tidak memaksa penuduk untuk dilibatkan dalam operasi operasi militer atau pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan operasi demikian selain untuk keperluan wajar tentara yang menduduki

d. Tidak meminta bahan pangan atau pasokan medis yang menimbulkan gangguan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari penduduk sipil.

Baik The Hague Rules maupun konvensi tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan semua persoalan mengenai negara yang melakukan pendudukan. Ada beberapa kelemahan yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan keuangan. Singkatnya, negara-negara yang melakukan pendudukan harus menaati prinsip-prinsip untuk menjamin pemerintahan yang tertib, yang meliputi perlindungan atas struktur ekonomi dan keuangan, tetapi menghindari suatu upaya untuk memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya dari keuangan penduduk di wilayah yang didudukinya. Namun, gagasan kesetiaan kepada negara yang menduduki oleh penduduk itu telah ditolak oleh Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-Orang Sipil pada waktu perang. Berkenaan dengan penduduk tampak bahwa negara yang menduduki dapat mengenakan larangan atas beberapa aktivitas yang dilakukan penduduk di wilyah yang diduduki, tunduk pada adanya pengumuman tentang hal-hal apa yang dilarang, terlepasdari kenyataan bahwa penduduk wilayh yang bersangkutan adalah didahului suatu tindakan agresi yang merupakan kejhatan menurut hukum internasional.

Didalam Konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai perlindungan korban perang yang kemudian dilengkapi dengan protocol tambahan 1977. Di dalam konvensi ini terdapat istilah ketentuan- ketentuan yang bersamaan (common articles) yaitu ketentuan yang fundamental dan sangat penting sehingga diulang berkali- kali dalam setiap Konvensi. Contohnya mengenai memuat ketentuan rinsi yang mendesak bahwa para pihak yang berperang melindungi personel yang luka-luka dan sakit serta menghormati unit-unit medis dan melakukan perawatan yang layak pada personel tersenut

b. Convention on Wounded, Sick and Shipwreck Members of the Armed at Sea yang berkenaan dengan masalh yang asalanya sama terhadap personel yang menderita luka, sakit dan terdampar di laut menentukan mutatis mutandis mengatur kewajiban-kewajiban untuk menghormati dan memberikan perlindungan yang sama.

(4)

pengambilam keputusan konferensi dan usulan bahwa perang pembebasan nasional harusnya dipandang sebagai konflik-konflik bersenjata internasional untuk tujuan pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 dan kedua rancangan Protokol. Meskipun gerakan pembebasan nasional tidak memiliki hak suara, namun pandangan dan pendapat mereka tentunya harus dijadikan pertimbangan dan mempengaruhi sikap negara yang berpartisipasi.

Siding-sidang selanjutnya dari konferensi tahun 1975-1977 lebih produktif mengeluarkan hasil-hasil kongkret, meskipun banyak hal mendasar yang dibiarkan tidak selesai dan banyak kompromi yang diperluka sejauh menyangkut hal yang bertentangan dengan jalannya pembahasan Konferensi Jenewa 1949 yang merumuskan keempat Konvensi Palang Merah.

The International Committee of the Red Cross (ICRC) merupakan sebuah badan organisasi humanitarian yang didirikan oleh Henry Dunant yang memiliki kewenangan untuk mengunjungi tawanan perang serta rakyat sipil yang ditaham oleh sebuah kekuatan musuh selama berlangsungnya konflik bersenjata internasional. ICRC memiliki otoritas yang sama untuk memberikan bantuan selama berlangsungnya antar negara walaupun kewenangan yang dimiliki di dalam konflik bersenjata internal. Namun, ICRC dan organisasi humanitarian lain juga tetap memiliki dasar hukum tersendiri.

SANKSI-SANKSI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Keberadaan hukum humaniter internasional adalah untuk kepentingan individu-individu, maka tampak bahwa dalam kasus suatu konflik yang melanggar hukum, yang dilakukan oleh negara aggressor, kaidah-kaidah hukum ini bagaimanapun juga mengikat negara-negara yang diserang dan anggota angkatan bersenjatnya yang karenanya menguntungkan negara aggressor dan angkatan bersenjatanya. Namun, negara aggressor itu kemungkinan dihukum sampai sejauh, selama berlangsungnya konflik, negara-negara netral atau negara yang tidak terlibat perang dapat melakukan diskriminasi terhadapnya, atau dengan alas an fakta bahwa pada saat berakhirnya permusuhan-permusuhan negara itu harus memikul beban penggatian kerugian atau untuk mengembalikan wilayah yang diperoleh secara illegal. Kaidah- kaidah ini juga berlaku pula terhadap konflik-konflik bersenjata non-perang. Kecuali jika traktat atau kaidah hukum kebiasaan internasional mengatur lain, keperluan militer tidak membenarkan suatu pelanggaran kaidah-kaidah hukum humaniter internasional.

Meskipun kaidah-kaidah hukum humaniter sering dilanggar, hukum internasional tidak seluruhnya tanpa sarana untuk memaksa negara-negara menaatinya. Salah satu dari metode tersebut adalah repraisal yang merupakan suatu bentuk penggantian kerugian yang sangat kasar dan sewenang-wenang. Sanksi lainnya dari hukum perang adalah penghukuman baik selama maupun sesudah permusuhan berakhir terhadap penjahat-penjahat perang, melalui suatu pengadilan yang layak.

(5)

bahkan mahkamah-mahkamah militer internasional, sedangkan tempat diselenggarakannya pengadilan tersebut dapat berlokasi di Eropa, Asia, Australia dan bahkan di Pasifik Selatan. Tidak semua pelanggaran kaidah hukum perang merupakan kejahatan perang dan para yuris mendukung pandangan bahwa istilah tersebut harus dibatasi pada tindakan-tindakan yang dikutuk oleh hati nurani manusia pada umumnya, dengan alasan kebrutalan, tidak berperikemanusiaan, atau kekejaman yang tidak memperdulikan hak ha katas harta benda tidak ada kaitannya dengan keperluan militer yang wajar. Beberapa konsepsi kejahatan perang tersebut muncul dari keputusan-keputusan berbagai macam pengadilan, yang disebutkan diatas, suatau konsepsi yang telah mendapat penerapan fleksibel, seperti yang diperlihatkan dalam keputusan-keputusan itu bahwa orang-orang berikut ini dapat dipersalahkan melakukan kejahatan-kejahatan perang :

Konvensi Jenewa 1949 dan protocol-protokol tambahannya tidak memuat sanksi pidana yang diterapkan pada pelaku kejahtan Karen instrument-instrumen ini memberikan kewajiban pada hukum nasional untuk menetapkan aturan mengenai pemidanaan dan sanksi pidana yang diterapkan. Lain halnya dengan KOnvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, Statuta Roma memberikan pengaturan mengenai sanksi pidana dan hukuman yang dapat diterapkan pada pelaku kejahatan perang . Dalam Statuta Roma masalah “hukumn’ diatur pada bagian 7. Pasal 77 menyebutkan bahwa Mahkamah dapat menerapkan hukuman penjara maupun denda. Pasal 77 ayat(1) hanya mengenal hukuman penjara maksimal bukan minimal. Disebutkan dalam ayat tersebut hukuman penjar maksimal adalah 30 tahun, namun apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang terhukum maka dapat dikenakan hukuman seumur hidup. Pasal 78 juga mengatur penetapan hukuman, bahwa Mahkamah harus memperhitungkan faktor-faktor misalnya beratnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum. Di samping itu, Mahkamah harus menguranginya dengan waktu yang dilewatkan sebelumnya dalam penahanan. Apabila melakukan lebih dari satu kejahatan, maka Mahkamah harus mengumumkan setiap hukuman bagi setiap kejahatan dan hukuman bersama yang menyebutkan keseluruhan jangka waktu lamanya dipenjara. Jangka waktu ini harus tidak kurang dari angka tertinggi masing-masing hukuman yang diumumkan dan tidak melebihi 30 tahun penjara atau hukuman penjara seumur hidup sesuai pasal 77, ayat (1).

Pasal 30 Statuta Roma 1908 menetapkan bahwa seorang tertuduh hanya akan dituntut jika pelanggarannya dilakukan secara niat dan sadar. Oleh karena itu, sebelum suatu kejahatan perang dapat ditentukan maka harus dibuktikan dulu bahwa tertuduh tidak hanya berbuat tindakan-tindakan yang dimaksud tetapi bahwa dia bermaksud atau ingin menimbulkan konsekuensi dari perbuatannya. Niat ini biasanya disebut sebagai mens rea , maksudnya niat untuk melakukan kejahatan.

(6)

bukanlah pembelaan, tetapi membuka kemungkinan bahwa suatu kesalahan hukum bisa mengabaikan elemen mental untuk kejahatan perang tertentu. Misalnya seorang komandan artileri diperinthkan menembak pos komando musuh di sutu gedung tertentu dn dia sangat yakin bahwa gedung itu adalah pos komando tetapi diluar sepengetahuannya gedung itu adalah sebuah sekolah, maka dia tidak akan dituduh bersalah melakukan kejahatan karena dia tidak bermaksud menyerang sekolah. Perintah atasan bukan merupakan pembelaan untuk tuntutan kejahatan perang, tetapi bisa digunakan untuk pembelaan lain seperti tidak adanya niat criminal, kesalahan fakta atau paksaan dan bisa dipertimbangkan untuk meringankan hukuman.

Pasal 33 Statuta Roma menyatakan bahwa perintah atasan tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab pidana kecuali :

a. Orang itu di bawah kewajiban hukum untuk mematuhi pemerintah atau atasannya, b. Orang itu tidak mengetahui perintah itu melawan hukum

c. Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum

Jika dapat ditelaah lebih lanjut, pasal 33 berarti persyaratan untuk membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban pidana atas dasar perintah atasan bersifat kumulatif. Artinya seseorang bawahan dapat menggunakan pembelaan atas dasar perintah atasan jika ketiga persyaratan yang disebut dalam pasal 33 dipenuhi semuanya secara bersama-sama.

TERORISME DAN PERSPEKTIFNYA DALAM HUKUM HUMANITER

Terorisme sesungguhnya bukan hal yang baru. Namun sejak runtuhnya World Trade Center (WTC) di New York tanggal 11 September 2001 dan memakan 3000 korban membuat terorisme kembali menjadi hal yang ditakuti dalam pergaulan internasional. Serangan yang dilakukan melalui udara dari pesawat milik Amerika Serikat yang ternyata dibajak ditabrakkan ke menara kembar WTC dan gedung Pentagon, menyebabkan serangan ini tidak hanya menimpa perekonomian Amerika Serikat saja, namun perekonomian dunia. Amerika segera menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.

Definisi terorisme sendiri sangatlah luas walaupun belum ada batasan yang baku. Namun beberapa pakar maupun lembaga internasional terkemuka, FBI misalnya, menyebut bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil untuk mencapai tujuan social atau politik suatu kelompok. Dari definisi inilah kita dapat mengetahui bahwa kedudukan terorisme dalam Hukum Humaniter ditentukan oleh sifat tindakan perang itu sendiri. Jadi jika suatu negara mengerahkan angkatan bersenjatanya untuk melakukan tindakan perang maka HHI sangatlah perlu untuk diberlakukan. Dalam hal ini HHI juga dapat dipakai untuk menentukan orang orang yang harus dilindungi seperti halnya keputusan dalam Konvensi Jenewa.

(7)

Dapat dipahami pula bahwa orang orang yang melakukan tindakan penyerangan ataupun sebagai korban penyerangan di negara konflik juga masih dilindungi oleh HHI.

KESIMPULAN

Berdasarkan timeline dan sanksi-sanksi yang ditetapkan, dapt disimpulkan bahwa pengaturan kejahatan perang dalam hukum humaniter internasional sudah berkembang sangat baik dan mampu menjawab persoalan dalam masyarakat internasional baik melalui hukum humaniter intternasional kebiasaan maupun hukum humaniter perjanjian. Perkembangan hukum humaniter kebiasaan sudah ada sejak waktu yang cukup lama sebagai kebutuhan dari perdaban manusia untuk mengembangkan aturan-aturan mengenai perang dengan tujuan meminimalisir kekerasan. Akan tetapi, pengaturan kejahatan perang dalam hukum humaniter kebiasaan hanya terbatas pada perbuatan pidananya, artinya menyangkut perbuatan-perbuatan apa saja yang layak dikualifikasikan sebagai pidana perang. Hukum humaniter internasional ini tidak mengatur masalah pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Dengan semakin meluasnya cakupan pengaturan kejahatan perang, hukum internasional perjanjian semakin berperan sebagai sumber hukum kejahatan perang yang utama. Hukum perjanjian internasional ini pada akhirnya sangat berperan untuk menyesuaikan aturan kejahatan pada keadaan baru, dan pada umumnya berguna untuk memperbesar kekuatan hukum di dalam hubungan antarnegara. Hukum humaniter ini mengikat negara sebagai hukum internasional yang bersifat umum dan dapat membantu dalam melakukan interpretasi terhadap perjanjian internasional. Dapat dikatakan hukum humaniter internasional sudah menyediakan aturan secara lengkap bagi penghukuman kejahatan perang, baik berupa hukum materiil maupun hukum formil. Hukum humaniter internasional juga mampu membangun kepatuhan negara-negara dalam penghukuman kejahatan perang yang tampak pada sejumlah legislasi di beberapa negara serta praktik pengadilan nasional.

Beberapa aksi terorisme didasari dengan motif baik namun dalam mencapai tujuannya melewati cara-cara yang kasar dan tidak manusiawi. Motif yang muncul dapat dalam bentuk kemiskinan, penindasan, perlakuan tidak adil berkepanjangan, tereliminasi/terpinggirkan, dan motif lainnya, lebih-lebih kalu di kalangan yang tertindas tersebut timbul kesan, penguasa hanya membela yang kuat dan kaya. Hal ini akan semakin memicu tindakan ekstrem. Karenanya, paradigma bagaimana keamanan, kenyamanan, dan ketentraman umat manusia menjadi prioritas utama, menjadi acuan para pemimpin dunia. Untuk itu secara konkrit perlindungan HAM menjadi proritas utama.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Starke, J.G, Intro to Internastional Law, London : Butterworth 1989

Thontowi, Jawahir SH Phd, Hukum International Kontemporer, Jakarta 1999

(9)

OPINI : #DoSomething #StopSuriahInvasion

Usaha Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk mendapatkan dukungan melancarkan serangan ke Suriah belum juga membuahkan hasil. 8 dari 10 koresponden sipil menyatakan tidak setuju Presiden mengambil keputusan untuk mengintervensi perang sipil di Suriah. Mereka meyakini bahwa serangan tersebut tidak akan mencapai tujuan yang signifikan terkait kepentingan nasional dan urgensi dalam keterlibatan perang sipil. Sebelumnya Menteri Pertahanan Chuck Hagel sudah menyiapkan beberapa rencana untuk menginvasi Suriah dan tinggal menunggu perintah Presiden Barack Obama. Dalam hukum humaniter internasional juga disebutkan bahwa serangan negara terhadap negara lain adalah ingin mengurangi kekuatan militer negara yang dituju. Apakah benar merika Serikat terhadap senjata pemusnah massal milik bangsa Suriah? Apakah serangan ini hanya kamuflase Amerika Serikat untuk menlancarkan agresinya ke negara Arab? Banyak opini yag menyatakan bahwa sebenarnya yang ingin diselamatkan Amerika adalah keamanan Zionis-Israel seperti halnya negara-negara barat lainnya. Amerika tidak mungkin ingin menyelamatkan warga Suriah dari rezim Bashar Al-Assad dari senjata kimia yang dimilikinya. Kemungkinan terbesar adalah Amerika Serikat takut bahwa senjata kimia yang sebelumnya sempat dipakai Saddam Husein dalam memerangi bangsa Kurdi yang menentangnya, jatuh ke tangan para pejuang Islam dan kelompok pejuang Jabhah al-Nusrah. Mereka pasti takut paham paham Zionis-Israel akan dimusnahkan dengan mudah jika para pejuang ini mengambil alih senjata apabila suatu saat rezim Bashar jatuh. Langkah strategis yang diambil Amerika ini memang sangat tidak masuk akal dan hanya seperti didasarkan pada ketakutan irasional semata. Memang ada juga kemungkinan bahwa bangsa Arab menyiapkan persenjataan kimia yang bisa menghancurkan umat manusia, namun apakah perlu Amerika begitu takut dengan umat Islam dan para pejuangnya? Apakah hal ini masih dilatarbelakangi oleh ketakutan masa lalu akibat serangan Osama Bin Laden pada menara kembar WTC, 13 tahun lalu? Sehingga dengan cepat Barack Obama mengambil kesimpulan bahwa Islam dan pengikutnya akan dengan mudah memusnahkan paham Zionis mereka selama ini?

(10)

negara Islam? Apakah Amerika hanya ingin memastikan bahwa power mereka tidak kalah dengan negara Islam?

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan data pemodelan hidrologi dengan Model SWAT untuk mengkaji potensi sumber daya air yang dapat dikembangkan untuk PLTMH terdiri dari data spasial dan

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala bimbingan, rahmat, dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Perkembangan

SMS atau yang dikenal dengan Short Message Service merupakan suatu layanan penggunaan pesan singkat berupa text dari penyedia jasa layanan komunikasi untuk berkomunikasi

Konflik yang muncul tersebut adalah Wandi merasa bosan dengan kangkung yang kemudian diungkapkan dengan nada menyindir melalui perkataan hidup sayur kangkung, sayur kanggung

Pada sub dimensi nomor lima belas mengenai Perbedaan diantara peserta didik digunakan sebagai sumber untuk mendukung kegiatan belajar dan berpartisipasi di SD

Merujuk pada beberapa uraian tersebut di atas, diharapkan keberhasilan SMP Al-Irsyad Bondowoso memfungsikan manajemen humasnya dalam mewujudkan visi dan misi

Sedimen yang didominasi oleh fragmen lebih kasar (pasir) dengan komponen penyerta cangkang moluska, koral dan foraminifera berada pada lingkungan paparan dengan kedalaman

Biofasies ini memiliki spesies dominan yang sama dengan biofasies 1 dan 2, tetapi kumpulan spesies terpilih foraminifera bentonik pada spesies ini berbeda dengan