BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Dukungan Sosial
II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial
Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi dukungan sosial. Menurut Dimatteo (1991), dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain.
Sarason, Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan anggota keluarga.
Dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara dua individu yang berperan sebagai pemberi dan penerima (Shumaker & Browne dalam Duffy & Wong, 2003). Definisi yang mirip datang dari Taylor, Peplau, & Sears (2000). Menurut mereka, dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan bantuan pada individu lain.
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 2002).
II. A. 2. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi 3 kategori, yaitu:
a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.
Dukungan sosial yang diterima oleh janda dapat berasal dari siapa saja, namun yang lebih sering memberi dukungan adalah keluarga dan temannya yang juga telah menjanda (Lemme, 1995).
II. A. 3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2002), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan emosional
tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta
b. Dukungan penghargaan
Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental
Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres. d. Dukungan informasi
Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres (DiMatteo, 1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaiman individu melakukan sesuatu. Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.
e. Dukungan kelompok
berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi.
II. A. 4. Pengaruh Dukungan Sosial
Orford (1992) dan Sarafino (2002) mengatakan bahwa untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu, ada dua model yang digunakan yaitu:
a. Buffering Hypothesis
Sarafino (2002) mengatakan bahwa melalui model buffering hypothesis ini, dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu dengan melindunginya dari efek negatif yang timbul dari tekanan-tekanan yang dialaminya dan pada kondisi yang tekanannya lemah atau kecil, dukungan sosial tidak bermanfaat. Orford (1992) juga mengatakan bahwa melalui model ini, dukungan sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu, dengan kata lain jika tidak ada tekanan atau stres, maka dukungan sosial tidak berguna.
b. Main Effect Hypothesis / Direct Effect Hypothesis
Menurut Banks, Ullah dan Warr (dalam Orford, 1992), model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat
Dalam penelitian ini, model kerja yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh dari dukungan sosial adalah model buffering hypothesis.
II. B. Kesepian
II. B. 1. Pengertian Kesepian
Kesepian dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006). Kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada setiap interpretasi individu terhadap suatu kejadian (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993).
Baron & Byrne (2000) mendefinisikan kesepian sebagai suatu reaksi emosional dan kognitif karena memiliki hubungan sosial yang lebih sedikit dan kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.
Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003), kesepian dapat berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.
hubungan sosial yang dibinanya hanya bersifat seadanya saja (superficial) atau dirasakan kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan dengan adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan karena tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan seseorang dan terjadi kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki individu.
II. B. 2. Tipe-tipe Kesepian
Menurut Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) ada dua tipe kesepian, yaitu: a. Kesepian sosial
Dalam kesepian sosial, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena mereka tidak memiliki hubungan pertemanan ataupun kenalan.
b. Kesepian emosional
Dalam kesepian emosional, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena mereka tidak memiliki suatu hubungan yang mendalam dengan orang lain, atau karena tidak adanya partner intim.
Berdasarkan sifat kemenetapannya, Shaver dkk. (dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993) membedakan 2 tipe kesepian, yaitu:
a. Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah, dan biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki self-esteem yang rendah dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti.
Berdasarkan durasinya, Young (dalam Weiten & Llyod, 2006) membedakan kesepian menjadi 3, yaitu:
a. Transient loneliness (kesepian sementara), meliputi kesepian yang singkat dan jarang terjadi, yang dapat dirasakan oleh banyak orang ketika kehidupan sosial mereka tidak memiliki alas an yang adekuat.
b. Transitional loneliness (kesepian transisi), terjadi ketika seseorang yang telah puas pada hubungan sosialnya yang sebelumnya menjadi kesepian setelah mengalami kerusakan dalam jaringan sosialnya (karena kematian orang yang dicintai, perceraian, atau pindah ke daerah yang baru).
c. Chronic loneliness (kesepian menahun), merupakan suatu kondisi yang menyerang orang-orang yang tidak bisa puas terhadap jaringan interpersonalnya selama bertahun-tahun.
Pada seorang janda yang ditinggal mati pasangannya, yang terjadi adalah kesepian emosional karena suami yang menjadi partner intimnya tidak ada lagi, dimana kesepian tersebut bersifat temporer dan berdasarkan durasinya maka kesepian yang dialaminya adalah kesepian transisi. Sears et al. (1999) mengatakan bahwa kesepian akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan juga pada dirinya sendiri.
II. B. 3. Penyebab Kesepian
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang merasakan kesepian, yaitu (Brehm, 2002):
Ada beberapa alasan mengapa kita merasa tidak puas atas hubungan yang kita miliki. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang-orang yang merasakan kesepian, yaitu:
1) Tidak terikat: tidak memiliki pasangan (suami atau istri); tidak memiliki partner seksual; berpisah dengan pasangan (suami atau istri) atau kekasih.
2) Terasing: merasa berbeda; tidak dimengerti; tidak dibutuhkan; tidak memiliki teman dekat.
3) Sendirian: pulang ke rumah tanpa ada orang di rumah; selalu sendirian 4) Isolasi yang dipaksakan: dikurung di rumah; dirawat inap di rumah sakit;
tidak adanya transportasi.
5) Dislocation: jauh dari rumah; memulai pekerjaan atau sekolah baru; terlalu sering pindah; sering bepergian.
Pada janda, kesepian yang dialaminya lebih disebabkan karena kehilangan pasangannya (suaminya).
Menurut Peplau dkk. (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yang berbeda, yaitu:
1) Perubahan suasana hati
Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika dia senang akan berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkannya ketika dia sedih.
2) Usia
Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginannya terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang sangat memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun dapat menjadi tidak memuaskan ketika dia berusia 25 tahun.
3) Perubahan situasi
Banyak orang yang tidak menginginkan suatu hubungan emosional yang dekat ketika sedang mempersiapkan karirnya. Namun, ketika dia telah merasa puas terhadap karirnya, mereka akan merasakan kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Jadi, apapun alasannya, kita akan merubah pemikiran kita tentang apa yang kita inginkan dari suatu hubungan, dan jika hubungan itu tidak turut berubah, maka kita akan mengalami kesepian.
c. Self-esteem
merasa kesepian cenderung merasa tidak nyaman dalam situasi sosial yang beresiko. Untuk mengantisipasi ketidaknyamanan ini mendorong orang yang kesepian untuk mengurangi kontak sosialnya yang akan menyebabkannya kesulitan dalam membangun hubungan sosial untuk mengurangi kesepian yang dialaminya.
d. Perilaku interpersonal
Berbeda dengan orang yang tidak kesepian, orang yang kesepian menilai orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam Brehm, 2002). Mereka sangat tidak menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002); tidak percaya pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002); menginterpretasikan tindakan dan perhatian orang lain secara negatif (Hanley-Dunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan memiliki sikap bermusuhan (Check dkk. dalam Brehm, 2002).
Brehm, 2002) menambahkan bahwa laki-laki yang kesepian lebih agresif secara fisik dibandingkan yang tidak kesepian.
Berdasarkan perilaku yang negatif dan janggal secara sosial atau perilaku yang tidak diinginkan, orang-orang yang kesepian akan mendatangkan reaksi yang negatif dari orang lain (Brehm, 2002). Teman berbicara orang yang kesepian merasa bahwa dia tidak mengenal orang itu dengan baik (Solano dkk. dalam Brehm, 2002) dan menganggap orang yang kesepian itu tidak mampu bersosialisasi (Spitzberg & Canery dalam Brehm, 2002). Selain itu, orang yang kesepian terlihat terperangkap dalam tingkat sosial yang menurun terus. Mereka menolak orang lain, tidak memiliki kemampuan sosial dalan berperilaku dengan orang lain, dan ditolak orang lain.
e. Atribusi Kausal
Menurut pandangan ini, kesepian akan terjadi lebih sering dan lebih lama ketika seseorang yakin bahwa karakteristik yang mereka miliki menyebabkan kesepian yang mereka rasakan (Michela dalam Brehm, 2002). Dari tabel di bawah akan tampak perbedaan locus of causality terhadap kesepian.
Tabel 1
Penjelasan Tentang Kesepian
Stabilitas Locus of causality
Internal Eksternal
Stabil Saya kesepian karena saya tidak menarik.
Saya tidak pernah pantas untuk dicintai.
Orang-orang yang ada di sini bersikap sangat dingin dan impersonal. Tidak ada dari antara mereka yang dapat berbagi ketertarikan dengan saya. Saya rasa saya harus pindah dari sini.
Tidak stabil
Saya merasa kesepian sekarang, tetapi saya tidak ingin hal ini terus berlanjut. Saya ingin berhenti bekerja dan berjalan keluar serta bertemu dengan orang-orang yang baru.
Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 413) oleh Sharon S. Brehm, New York:McGraw-Hill,Inc.
Jenis atribusi internal yang stabil menggambarkan orang-orang yang depresi- dialah penyebab kesengsaraan yang dirasakannya dan hal tersebut tidak dapat diubah. Atribusi ini menghalangi seseorang untuk bertemu dengan orang lain dan menjalin pertemanan. Dalam atribusi eksternal yang tidak stabil menunjukkan adanya harapan bahwa keadaannya akan berubah menjadi lebih baik.
II. B. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian, khususnya pada janda antara lain (dalam Brehm, 2002):
a. Usia
b. Status perkawinan
Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002). Ketika orang-orang yang tidak menikah dikelompokkan ke dalam beberapa sub grup (tidak menikah, bercerai, janda), hasilnya menunjukkan bahwa sesuatu yang berlawanan dimana orang yang tidak menikahlah yang lebih rendah mengalami kesepian, tetapi kesepian yang terjadi pada orang yang telah menikah lebih dikarenakan sebagai reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami atau istri pada seseorang dan diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), maka yang paling kesepian adalah seseorang yang ditinggal mati oleh pasangannya (Dayakisni, 2003). c. Gender
perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas.
d. Karakteristik latar belakang yang lain
Hubungan antara orang tua dan anak dengan struktur keluarga berhubungan kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan orang itu alami saat dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuannya berpisah karena salah satunya meninggal. Individu yang kehilangan orang tuanya karena meninggal ketika masih kanak-kanak lebih rendah mengalami kesepian saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah sejak masa kanak-kanak atau remaja. Brehm (2002) juga menyatakan bahwa proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk mengalami kesepian saat anak-anak tersebut menjadi dewasa.
e. Faktor sosial ekonomi
kehilangan yang dialaminya. Semakin rendah pendapatan, maka seorang janda akan merasa kurang percaya diri dan memiliki jaringan sosial yang lebih sedikit dibanding yang lain (Barrow, 1996).
f. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang janda maka dia akan memiliki tingkat sosial yang tinggi dan sering berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sehingga semakin mudah dia menyesuaikan diri terhadap kehilangan yang dialaminya (Barrow, 1996).
g. Lamanya menjanda
Kehilangan pasangan hidup merupakan suatu peristiwa yang sangat menyakitkan dan merusak. Beberapa bulan setelah kematian pasangan, pasangan yang ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun setelah itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan dan masalah psikologis lain yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang (Siegelman & Rider, 2003). Heinnemann & Baum (dalam Craig, 1996) mengatakan bahwa janda yang paling kesepian adalah janda yang telah kehilangan suaminya selama kurang dari 6 tahun.
II. B. 5. Dinamika Perasaan Orang yang Kesepian
kesepian sering merasa dirinya tertekan, gelisah, tegang, dan bosan (Saks & Krupat, 1998).
Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang kesepian, yaitu:
a. Putus asa
Putus asa merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan kepanikan dan ketidakberdayaan dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan yang nekat. Adapun putus asa ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan merasa dikecam.
b. Depresi
Depresi adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam ataupun sedang dalam keadaan tertekan. Perasaan depresi yang terus menerus dirasakan individu dapat juga menimbulkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri (Phares, 1992). Depresi ini ditandai dengan sedih, tertekan, merasa hampa, terisolasi, menyesali diri, melankolik, terasing, ingin bersama orang yang spesial.
c. Impatient boredom
d. Menyalahkan diri
Merupakan suatu keadaan dimana individu menyalahkan dirinya sendiri, mengutuk dan mencela dirinya sendiri atas peristiwa atau kejadian yang dialami karena dia tidak mampu menyelesaikannya). Menyalahkan diri ini ditandai dengan merasa tidak menarik, benci pada dirinya, merasa bodoh, malu, tidak aman.
Dari tabel di bawah ini akan terlihat perasaan-perasaan yang spesifik yang dirasakan ketika seseorang kesepian.
Tabel 2
Perasaan Ketika Kesepian
Putus asa Depresi Impatient boredom Menyalahkan diri
Putus asa Sedih Tidak sabar Merasa tidak
menarik
Tidak berdaya Tertekan Bosan Benci pada dirinya
Takut Merasa hampa Ingin berada di
tempat lain
Merasa bodoh Tanpa
pengharapan
Terisolasi Gelisah Malu
Terbuang Menyesali diri Marah Tidak aman
Terancam Melankolik Sulit berkonsentrasi
Terasing Ingin bersama orang yang spesial
Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 399) oleh Sharon S. Brehm, New York:McGraw-Hill,Inc.
II. B. 6. Karakteristik Orang yang Kesepian
mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999).
Orang yang merasa kesepian selalu kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg, & Hurt dalam Myers, 1999). Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan memiliki self-esteem yang rendah (Cheek, Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan dirinya sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya (Jones dalam Myers, 1999). Orang yang kesepian cenderung pemalu, self-conscious, introvert, tidak asertif, dan memiliki self-esteem yang rendah (Jones dalam Saks & Krupart, 1998).
Dari beberapa pendapat tokoh tentang karakteristik orang kesepian, Brehm (2002) menyimpulkan ada empat karakteristik orang-orang kesepian, yaitu:
a. Merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial
Orang yang kesepian merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial (Vaux dalam Brehm, 2002), kesulitan dalam menikmati suatu pesta, sulit bergabung dengan kelompok (Horowitz & French dalam Saks & Krupat, 1998). Taylor, Peplau, dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat.
b. Membuat atribusi internal yang stabil terhadap kejadian dan perasaan yang tidak menyenangkan
menganggap dirinya tidak layak dan tidak pantas untuk dicintai (Brehm, 2002).Individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999).
c. Memiliki sikap negatif terhadap orang lain
Orang yang kesepian menilai orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam Brehm, 2002). Mereka sangat tidak menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002); tidak percaya pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002); menginterpretasikan tindakan dan perhatian orang lain secara negatif (Hanley-Dunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan memiliki sikap bermusuhan (Check dkk. dalam Brehm, 2002).
d. Pasif dan tidak responsif ketika bersama orang lain
Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan dirinya sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya (Jones dalam Myers, 1999).
II. B. 7. Dampak Kesepian
Rock, Spitzberg, & Hurt ( dalam Myers, 1999) menyatakan individu yang mengalami kesepian selalu merasa kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok. Individu yang mengalami kesepian juga cenderung menjadi self-concious dan memiliki self-esteem yang rendah (Cheek, Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Saat mereka berbicara dengan orang lain, individu yang kesepian cenderung lebih banyak membicarakan diri mereka sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai kenalan baru tersebut akan memberikan kesan yang negatif terhadap individu yang mengalami kesepian ini (Jones dalam Myers, 1999).
II. C. Janda
II. C. 1. Definisi Janda
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Chulsum dan Novia (2006) memberikan definisi tentang janda yaitu seorang wanita yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya.
Masa menjanda ini merupakan masa yang umumnya dialami oleh wanita. Ada beberapa hal yang menyebabkannya, yaitu (Ollenburger & Moore, 1996):
a. Wanita hidup lebih lama daripada pria
b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua
d. Adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang wanita tua menikahi pria muda, dan juga norma-norma yang menetang wanita tua menikah lagi.
cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu.
II. C. 2. Masalah yang Dihadapi Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya
Ada beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang janda setelah pasangannya meninggal dunia. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999). Karena tidak hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga, seorang perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).
Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995).
janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987).
Kehidupan sosial juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering merasa dilupakan dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Penolakan dan penilaian negatif yang berasal dari lingkungan ini dapat menyebabkan janda merasakan kesepian (Freeman, 1984).
bereaksi seperti merasa tidak berdaya tanpa suami, selalu larut dalam kesedihannya, merasa bahwa setelah suaminya meninggal dia tidak akan dapat lagi menjalani hidupnya, selalu membutuhkan suami untuk berbagi pekerjaan, merasa takut dan tidak mampu untuk membangun hubungan pertemanan yang baru, serta menghindari interaksi sosial setelah suaminya meninggal dunia.
II. D. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya
Kematian pasangan hidup biasanya tidak dapat dicegah, yang dampaknya melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama dijalin, munculnya peran dan status baru, serta berbagai masalah lainnya. Tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). Dayakisni (2003), mengatakan bahwa diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian pasangannya.
Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu, yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental, informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2002).
dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).
PARADIGMA BERPIKIR
Keterangan:
: menyebabkan
: klasifikasi
: butuh
II. E. Hipotesa penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam Kematian Suami
Masalah yang dialami janda: finansial
fisik konsep diri sosial emosional
Dukungan sosial
kesepian