• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBU (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBU (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

1

FAKTOR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERIODE 1999

2006 (KUARTAL I)

NURUL HUDA

Abstract

Economics growth is one of the indicator to measure the efficacy of economic development from the state. This research aimed to see the influenced of three macro variables those are exchange rate, inflation, and SBI rate to Indonesia economic growth. The result from data analysis, conclude that only one variable, that is SBI, influencing economics growth. Exchange rate, Inflation and SBI influencing economics growth equal to 48,7 %.

Keywords : Economics growth, inflation, exchange rate and SBI

PENDAHULUAN

Tahun 2005 merupakan tahun yang dinamis dan penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia, terutama setelah melewati triwulan I-2005. Meskipun lebih tinggi dibanding-kan tahun 2004, pertumbuhan ekonomi 2005 cenderung melambat seiring dengan semakin kuatnya tekanan pada kestabilan makroekonomi. Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi pada konsumsi dan investasi dengan menurunnya daya beli, kenaikan biaya produksi, dan iklim investasi yang belum kondusif. Tekanan pada kestabilan makroekonomi pun meningkat sejak triwulan II-2005 dengan menurunnya kinerja neraca pembayaran, melemahnya nilai tukar rupiah, dan tingginya inflasi. Respon kebijakan moneter yang dibarengi dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah

yang ditempuh selama ini dapat memulihkan stabilitas moneter. Sementara itu, stabilitas sistem keuangan relatif terjaga dengan kinerja dan fungsi intermediasi perbankan yang membaik. Ke depan, perlambatan pertumbuhan diperkirakan akan berlanjut hingga triwulan II-2006 sebelum kembali meningkat pada triwulan III-2006 seiring dengan implementasi kebijakan Pemerintah, khususnya di bidang investasi, perpajakan, ketenagakerjaan, dan pembangunan infrastruktur. Dengan masih relatif tingginya tekanan inflasi ke depan, Bank Indonesia akan secara konsisten mengarahkan kebijakan moneter untuk mencapai inflasi yang rendah dalam jangka menengahpanjang.

(2)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

2 perekonomian global yang bergerak

sangat dinamis, kita dituntut semakin cepat dalam mengenali permasalahan dan mengambil keputusan. Keterlambatan kita dalam merespon gejolak-gejolak eksternal, seperti kenaikan harga minyak dunia dan ketidakseimbangan global, seringkali membuat kita kehilangan momentum yang membawa konsekuensi pada besarnya biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian. Pelajaran ini semakin penting mengingat kedua gejolak eksternal itu selalu berpeluang untuk muncul kembali.

Secara umum, perekono-mian nasional pada triwulan I-2006 menunjukkan kinerja yang membaik. Kondisi tersebut tercermin pada terjaganya kestabilan makroekonomi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang tidak seburuk dibandingkan perkiraan semula. Sebagaimana diperkirakan sebelumnya, perekonomian nasional dalam triwulan I-2006 tumbuh melambat, terutama melemahnya konsumsi karena menurunnya daya beli dan masih terbatasnya investasi khususnya investasi swasta. Meskipun demikian, perlambatan lebih lanjut dapat dicegah oleh tingginya pengeluaran Pemerintah. Sementara itu, melemahnya permintaan domestik telah menyebabkan kinerja transaksi berjalan mencatat surplus karena menurunnya impor, sementara ekspor meningkat di tengah kondisi perekonomian global yang cukup kondusif. Dibarengi dengan

meningkatnya aliran masuk modal asing karena menariknya suku bunga domestik dan membaiknya premi risiko, neraca pembayaran secara keseluruhan membukukan surplus cukup.

(3)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

3 level 12,75%. Sinyal ketat tersebut

ditujukan untuk mengelola persepsi pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan yang telah menopang stabilitas pasar keuangan dan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Hasil asesmen terhadap kondisi makroekonomi terkini menunjukkan bahwa terdapat optimisme yang lebih besar terhadap perbaikan kinerja ekonomi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh berbagai indikator makroekonomi. Namun demikian, terdapat berbagai risiko kedepan yang harus diwaspadai seperti tingginya harga minyak dan berlanjutnya kebijakan moneter ketat global, permasalahan infrastuktur, dan berbagai kendala dalam penyaluran anggaran untuk belanja modal pemerintah dan implementasi kebijakan pemerintah dalam perbaikan iklim investasi yang tetap harus diwaspadai. Setelah mempertimbangkan beberapa faktor risiko yang dapat berpotensi meningkatkan tekanan inflasi dan

menghambat momentum

pertumbuhan ekonomi serta upaya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, maka Rapat Dewan Gubernur memutuskan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kebijakan moneter cenderung ketat (tight biased) tetap dipertahankan dan level BI Rate yang berlaku saat ini sebesar 12,75% perlu dipertahankan sampai stabilitas makroekonomi benar-benar terjaga, khususnya ekspektasi inflasi dan tekanan pembalikan arus modal. BI melihat bahwa apabila

kecenderungan perkembangan yang positif seperti dalam beberapa bulan terakhir ini terus berlanjut maka kemungkinan untuk menurunkan suku bunga secara bertahap dapat dilakukan lebih awal dari rencana semula. Kedua, mengingat masih tingginya ekses likuiditas yang belum dapat disalurkan ke sektor riil maka ketentuan giro wajib minimum (GWM) yang berlaku saat ini dipandang masih perlu untuk dipertahankan.

PERMASALAHAN

Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006 serta Rencana pembangunan jangka panjang Nasional tahun 2005-2025 kebijakan ekonomi makro diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan sekaligus pertumbuhan ekonomi agar mampu memecahkan masalah-masalah sosial mendasar terutama pengangguran dan kemiskinan dengan tetap mempertahankan stabilitas ekonomi. Adapun permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini :

1. Bagaimana hubungan antara inflasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, apakah sesuai dengan konsep agregate demand ?

2. Faktor-Faktor makro apa saja

yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi ?

3. Seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel makro tersebut ?

(4)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

4 Metodologi yang digunakan

dalam penelitian ini merupa-kan metode kuantitatif dengan pendekatan regresi berganda untuk melihat pengaruh variabel-variabel makro terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan model yang ditawarkan :

Y= β0 + β1 X1 + β2X2+ β3X3 + β4X4 + ei

Y= Pertumbuhan ekonomi X1= Inflasi

X2= Suku Bunga Bank Indonesia (SBI) X3= Kurs/ Nilai tukar USD terhadap Rupiah X4= IHSG

Produk Domestic Brutto (PDB) Indonesia pada triwulan I tahun 2005 meningkat sebesar 2,84 persen dibandingkan triwulan IV tahun 2004. Pertumbuhan ini terjadi pada hampir semua sektor ekonomi kecuali sektor pertambangan-penggalian, sektor listrik-gas-air dan sektor bangunan. Pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pertanian sebesar 17,83 persen sebagai akibat faktor musim panen pada triwulan I. .Tetapi Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Indonesia di 2005 tumbuh sebesar 5,6%, terutama ditopang oleh pertumbuhan permintaan domestik yang relatif tinggi di paro pertama 2005. Meskipun lebih tinggi dari pertumbuhan sebesar 5,1% pada 2004, laju pertumbuhan yang dicapai 2005 lebih rendah dari perkiraan di awal tahun dan cenderung melambat.

Setelah mencapai 6,1% pada triwulan I-2005, pertumbuhan ekonomi terus menurun hingga menjadi 5,1% pada triwulan IV-2005. Perlambatan pertumbuhan terjadi terutama pada konsumsi dan investasi, sehingga pola ekspansi ekonomi yang sejak triwulan II-2004 telah didukung oleh kuatnya investasi menjadi lebih lemah sejak triwulan II-2005. Di sisi lain, melambatnya permintaan domestik pada paro kedua 2005 juga telah mendorong menurunnya impor, terutama impor bahan baku dan barang modal, sehingga memperbaiki kontribusi sektor eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi pengeluaran konsumsi, turunnya pertumbuhan konsumsi swasta menyebabkan pertumbuhan konsumsi untuk keseluruhan 2005 cenderung

melambat. Melambatnya

(5)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

5 konsumsi. Selain itu, kondisi tersebut

juga dikonfirmasi oleh hasil survei penjualan eceran yang menunjukkan tren menurun. Sementara itu, konsumsi Pemerintah pada 2005 relatif lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terutama pada semester II-2005.

Pertumbuhan investasi, meskipun sempat tumbuh tinggi di semester pertama 2005, secara keseluruhan cenderung melambat. Dengan sumber pembiayaan dari kredit perbankan yang meningkat relatif tinggi mencapai 22,7% pada 2005, menurunnya investasi swasta terutama disebabkan oleh turunnya sumber pembiayaan sendiri dari akumulasi laba perusahaan seiring dengan naiknya biaya produksi serta lemahnya permintaan domestik maupun ekspor. Sumber pembiayaan dari luar negeri, khususnya PMA, juga masih relatif terbatas. Di samping itu, berbagai kelemahan struktural yang selama ini menghambat kegiatan investasi seperti iklim usaha yang dirasakan belum kondusif, kondisi pasar tenaga kerja yang rigid, dan berbagai kelemahan institusional lainnya, belum tertangani dengan baik di 2005. Berbagai kelemahan tersebut tercermin dari Indeks Daya Saing Ekonomi (Growth Competitiveness Index) Indonesia yang sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Melemahnya pertumbu-han impor sejalan dengan pertumbuhan investasi, konsumsi dan ekspor yang melambat di triwulan IV-2005.

Perlambatan tersebut tercermin dari perkembangan impor barang baik untuk keperluan konsumsi, bahan baku, maupun untuk barang modal yang seluruhnya tercatat tumbuh melambat. Berbagai faktor yang terkait dengan perlambatan tersebut antara lain kecenderungan lemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM dan depresiasi nilai tukar. Di samping itu, perlambatan pertumbuhan ekspor juga berpengaruh, karena karakteristik produk ekspor Indonesia yang mempunyai kandungan impor (import content) cukup tinggi.

(6)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

6 siapnya BUMN untuk

diprivatisasi-kan. Berikut ilustrasi pertumbu-han

ekonomi Indonesia selama periode 1999-2006 (Kuartal) :

Tabel 1

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia periode 1999- kuartal I 2006. Tahun Kuartal Pertumbuhan

(%) Tahun Kuartal

Pertumbuhan (%)

1999 1 -6.13 2002 3 3.9

2 1.79 4 3.8

3 2.85 2003 1 3.4

4 5.36 2 3.8

2000 1 3.64 3 3.9

2 4.98 4 4.4

3 4.08 2004 1 4.5

4 6.91 2 4.3

2001 1 4.8 3 5.0

2 3.79 4 6.7

3 3.15 2005 1 6.4

4 1.6 2 5.5

2002 1 2.5 3 5.3

2 3.5 4

2006 1 Sumber : Bank Indonesia

Selama kurun waktu 1999-2006, pertumbuhan ekonomi tertinggi (secara kuartal) terjadi pada tahun 2000 kuartal ke IV sebesar 6,91 % setelah itu terus mengalami penurunan hingga tahun 2002. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia bernilai negatif pada kuartal pertama tahun 1999 sebesar – 6,13 %, hal ini terjadi sebagai dampak dari krisis moneter pada medio tahun 1997.

Pada akhir tahun 2004 pertumbuhan ekonomi terus mengalami kenaikan dan puncaknya pada kuartal ke 4 mencapai 6,7 %. Tetapi setelah itu terus mengalami

penurunan hingga kuartal 1 tahun 2006.

Inflasi

Pada Juli 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasi-kan kerangka kerja kebijamengimplementasi-kan moneter yang baru dengan Inflation Targeting Framework, yang mencakup empat elemen dasar : (1) penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai

(7)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

7 kebijakan dengan Pemerintah.

Langkah-langkah dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat Sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan . Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter Inflation Targeting Framework

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya

tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan.

Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.

(8)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

8 Tabel 2

Perkembangan Laju Inflasi Indonesia periode 1999- kuartal I 2006. Tahun Kuartal Inflasi

(%)

Tahun Kuartal Inflasi (%)

1999 1 4,05 2002 3 1,64

2 - 1,30 4 3,59

3 - 2,66 2003 1 0,77

4 2,04 2 0,45

2000 1 0,94 3 1,23

2 1,90 4 2,5

3 1,73 2004 1 0,91

4 4,42 2 1,85

2001 1 2,09 3 0,5

2 3,26 4 2,49

3 2,55 2005 1 3,17

4 4,01 2 1,05

2002 1 3,47 3 2,02

2 0,95 4 9,97

2006 1 2,97

Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan data pada tabel 2 terlihat bahwa secara rata- rata tingkat laju inflasi secara kuartal dari tahun 1999- 2006 berada di bawah 5 % kecuali tahun 2005 kuartal 4 laju inflasi mencapai 9,97 %. Besarnya laju inflasi pada periode ini dipacu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Oktober 2005. Sebelumnya laju inflasi pada bulan september 2005 terjadi inflasi sebesar 0,69 %. Dari 45 kota Indeks Harga Konsumen (IHK) tercata 42 kota mengalami inflasi dan 3 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di kota palu sebesar 2,38% dan inflasi terendah di Batam sebesar 0,02%. Sedangkan deflasi tertinggi di

Gorontalo sebesar 0,79 % dan deflasi terkecil di Mataram 0,06%.

(9)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

9 meskipun masih terbatas berkaitan

dengan kecenderungan pengusaha untuk menahan kenaikan harga barang sejalan dengan melemahnya rupiah. Perkembangan tersebut tercermin dari Survei Konsumen dan Survei Penjualan Eceran yang menunjukkan peningkatan ke depan, dengan perkembangan tersebut inflasi IHK selama tahun 2005 diperkirakan mencapai sekitar 18%. Sementara itu, pada akhir tahun 2005 inflasi inti diperkirakan mencapai 9,5%. Untuk tahun 2006, inflasi diperkirakan akan semakin turun menjadi sekitar 8% seiring dengan siklus perbaikan pertumbuhan

ekonomi sejak kuartal III-2006. Perkiraan tersebut didukung pula oleh asumsi determinan-determinan inflasi lebih terkendali seperti nilai tukar yang stabil, tingkat pertumbuhan yang masih dibawah kapasitasnya, dan kenaikan adminsitereed price yang minimal

Jika dikaitkan konsep aggregate demand (hubungan antara output dan price) untuk kasus Indonesia berdasarkan data tahun 1999-2006 (kuartal.I) maka diperoleh plotting data (hasil olahan dengan SPSS Ver. 12 ) sebagai berikut :

-7.50 -5.00 -2.50 0.00 2.50 5.00 7.50 Tumbuh

-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

Inf

lasi

Berdasarkan plotting data tersebut terlihat bahwa hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan laju inflasi cenderung berhubungan positif, tentu saja hal ini tidak sesuai dengan konsep aggregate

(10)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

10 Nilai Tukar Mata Uang Asing/Kurs

Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha. Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14

Agustus 1997. Dengan

diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.

Perkembangan pasar valuta asing global menunjukkan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sejak awal 2006 adalah yang terpesat, menyusul nilai tukar Romania Leu, Brazil Real, Thailand Baht, Norwegia Krone, Korea Won, Swedia Krona,

Slovakia, koruna, dan

CroatiaKuna. Nilai tukar dollar AS di pasar global, diperkirakan akan

melemah tajam menyusul besarnya defisit ekonomi Amerika Serikat (defisit neraca transaksi berjalan dan defisit APBN yang besar). Sedangkan, mata uang Asia akan mengalami penguatan dimotori oleh Yen Jepang. Ekonomi dunia diperkirakan akan tumbuh 4,9 persen pada 2006, naik sedikit dibanding 2005 yang tercatat 4,8 persen. Dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi dunia, investasi antarnegara diperkirakan akan terus meningkat

(11)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

11 bunga negara-negara lain ditengah

resiko nilai tukar rupiah yang semakin menurun. Kondisi tersebut mengakibatkan mata uang Rupiah menjadi menarik dan mendorong kembali masuknya aliran dana asing dalam bentuk portfolio investment. Kestabilan nilai tukar rupiah terjadi ditengah trend depresiasi beberapa mata uang dunia seperti Yen dan Euro. Kebijakan moneter AS yang menaikkan suku bunganya selama 12 kali secara berturut-turut hingga mencapai level 4% telah berdampak positif bagi USD. Gap suku bunga antara AS dengan negara -negara utama tersebut semakin melebar sejalan dengan kebijakan Jepang dan Euro yang tetap mempertahankan level suku bunga masing-masing mendekati 0 % dan 2%. Kondisi ini

berdampak pada meningkatnya aliran dana ke AS seperti tercermin dari meningkatnya pembelian aset-aset (sekuritis) di AS hingga mencapai rekor baru yaitu lebih dari USD101 miliar sehingga

meminimalisir dampak

memburuknya trade balance AS bulan September yang mencapai defisit di atas USD 66 miliar. 86.0 Penguatan Rupiah tersebut juga didukung oleh kecenderungan mulai meningkatnya aliran modal masuk, terutama dalam rangka investasi portofolio. Aliran modal asing berangsur-angsur mulai pulih sejak akhir Tw-III dan untuk triwulan ini transaksi spot bank domestik dengan asing menunjukkan net beli valas USD746 juta.

Tabel 3

Perkembangan Kurs Rupiah terhadap USD periode 1999- kuartal I 2006.

Tahun Kuartal Kurs (Rp) Tahun Kuartal Kurs (Rp)

1999 1 8788 2002 3 8997

2 7697 4 9050

3 7609 2003 1 8896

4 7142 2 8413

2000 1 7507 3 8476

2 8433 4 8499

3 8691 2004 1 8492

4 9507 2 9055

2001 1 9895 3 9222

2 11391 4 9133

3 9355 2005 1 9302

4 10422 2 9593

2002 1 10055 3 10123

2 8944 4 9985

2006 1 9233

(12)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

12 Berdasarkan data tersebut terlihat

bahwa rata-rata kurs tertinggi pada kuartal ke 2 tahun 2001 sebesar 1USD = Rp 11.391, Mulai akhir tahun 2005 kuartal 4 hingga kuartal 1 tahun 2006 kurs Rupiah terus mengalami pengauatan (apresiasi)

Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental terhadap nilai tukar rupiah. Di sisi eksternal, melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di AS telah memberikan tekanan depresiasi terhadap rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri merupakan faktor utama pemicu tekanan terhadap rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat terhadap nilai tukar rupiah, sebelum pada akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat seiring dengan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan

Pemerintah. Koordinasi kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil memulihkan kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya ekspektasi depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Suku Bunga Bank Indonesia

(13)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

13 tumbuh 11,2%. Kenaikan suku bunga

BI Rate dan suku bunga deposito telah diikuti dengan kenaikan secara terbatas oleh suku bunga kredit, sementara volume kredit perbankan masih terus mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi. Suku bunga kredit baru mulai mengalami akselerasi kenaikan sejak Oktober 2005, dan hingga akhir 2005 mencapai level 15,18% dari 13,41% pada akhir 2004. Ekses likuiditas yang dialami perbankan memungkinkan kenaikan suku bunga kredit yang lebih rendah, sehingga volume kredit perbankan masih dapat terus mengalami peningkatan sesuai proyeksi awal tahun, yaitu sekitar 20 - 25%. Hingga akhir 2005, posisi kredit perbankan terus meningkat pesat, yaitu dari Rp 595,1 triliun hingga akhir tahun 2005 Upaya pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia telah menciptakan ekspektasi positif di pasar sehingga memperkuat nilai tukar rupiah. Pada periode ini, BI Rate dinaikkan dari 10,0% menjadi 12,75%. Kebijakan ini telah berhasil menahan pelemahan rupiah, dan bahkan rupiah bergerak lebih stabil dengan kecenderungan menguat

hingga akhir 2005. Penguatan kurs rupiah ini terutama disebabkan oleh peningkatan «interest rate differential» pascakenaikan BI Rate dan menurunnya indeks risiko seiring dengan membaiknya persepsi pasar terhadap kebijakan fiskal pascakenaikan BBM. Selain itu, penguatan rupiah juga disumbang oleh peningkatan investasi portofolio investor asing yang relatif besar. Kestabilan nilai tukar juga didorong oleh efektivitas pengelolaan likuiditas di pasar rupiah yang dalam dua triwulan terakhir mengalami kondisi cukup ketat, sehingga mencegah terjadinya perilaku currency switching dari rupiah ke valas. Perkembangan tersebut mampu mencegah dampak penguatan dolar AS sejalan dengan berlanjutnya siklus pengetatan moneter seperti nampak pada kecenderungan pelemahan mata uang regional. Ekspektasi positif di pasar juga tercermin pada mulai menurunnya ekspektasi inflasi. Dengan adanya kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005, laju inflasi melonjak tinggi dan mencapai 17,1% pada akhir 2005.

Tabel 4

Perkembangan Suku Bunga Bank Indonesia periode 1999- kuartal I 2006.

Tahun Kuartal SBI (%) Tahun Kuartal SBI (%)

1999 1 - 2002 3 13,22

2 22,86 4 12,99

3 12,98 2003 1 11,4

4 12,39 2 9,53

2000 1 11,03 3 8,66

2 11,74 4 8,31

(14)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

14

4 13,62 2 7,34

2001 1 15,82 3 7,39

2 16,65 4 7,43

3 17,57 2005 1 7,44

4 17,62 2 8,25

2002 1 16,76 3 10

2 15,11 4 12,75

2006 1 12,73

Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan pada tabel di atas terlihat bahwa suku bunga bank Indonesia mengalami fluktuasi. Selama periode 2003 hingga 2006 SBI

tertinggi tahun 2005 kuartal 4 sebesar 12, 75 %, besarnya tingkat SBI ini dikarenakan upaya untuk meredam depresiasi nilai rupiah dan untuk mengurangi laju inflasi.

ANALISIS MODEL

Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

maka digunakan indikator-indikator inflasi, kurs dan nilai tukar sebagai variabel independent. Dengan menggunakan SPSS ver 12.0 maka diperoleh hasil sebagai berikut : Korelasi Antara Variabel Penelitian

Korelasi yang terjadi antara variabel penelitian baik antara sesama variabel independent maupun variabel independent dengan dependent dapat dilihat pada hasil print output spss di bawah ini :

Cor r elatio ns

1.000 .074 .283 -.626

.074 1.000 .561 .153

.283 .561 1.000 .039

-.626 .153 .039 1.000

. .356 .077 .000

.356 . .001 .223

.077 .001 . .423

.000 .223 .423 .

27 27 27 27

27 27 27 27

27 27 27 27

27 27 27 27

Pertmbhn kurs inf lasi sbi Pertmbhn kurs inf lasi sbi Pertmbhn kurs inf lasi sbi Pearson Correlation

Sig. (1-tailed)

N

(15)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

15 Hubungan antara sesama variabel

independent relatif sangat lemah yaitu mendekati 60 % (0,60) yaitu hubungan antara inflasi dengan kurs, sedangkan hubungan antara kurs dengan SBI sebesar 15,3 % dan hubungan antara SBI dengan inflasi sebesar 3,9 %. Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran dalam model yang digunakan tidak terjadi multikolinearitas (terjadinya hubungan yang sangat kuat antara variabel-variabel independent).

Sedangkan hubungan antara variabel independent terhadap dependent secara parsial yang paling tinggi korelasinya antara pertumbuh-an ekonomi dengpertumbuh-an SBI yaitu sebesar 62,6% dan berhubungan negatif (maksudnya jika SBI naik maka Pertumbuhan ekonomi turun). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi sebesar 28,3 % dan pertumbuhan ekonomi dengan kurs sebesar 7,4 %.

Persamaan Model

Berdasarkan pengolahan SPSS diperoleh persamaan model sebagai berikut :

Pertumbuhan Ekonomi = 6,460 + 0,000 Kurs + 0,185 Inflasi - 0,211 SBI t test (2,982) (-0.003) (1,704) (-4,214) dari persamaan tersebut terlihat bahwa untuk konstanta memiliki nilai t statistik lebih dari 2 (dua) berarti significant pada confidence interval 95 % dan layak berada dalam model tersebut. Sedangkan untuk nilai kurs dan inflasi tidak significant berarti tidak layak berada dalam model tersebut. Variabel SBI berpengaruh secara significant terhadap pertumbuhan ekonomi karena nilai t statistik lebih besar dari dua. Hubungan antara SBI dengan pertumbuhan negatif, hal ini berarti jika SBI naik 1 % maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,211 % atau sebaliknya.

Coe fficientsa

6.460 2.166 2.982 .007

.000 .000 -.001 -.003 .998 .074 -.001 .000 .668 1.5

.185 .109 .308 1.704 .102 .283 .335 .255 .683 1.5

(16)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

16 Selain itu berdasarkan output SPSS di

atas terlihat nilai VIF (Variance inflationary Factor) berada di bawah lima berarti dalam model tersebut tidak terjadi multikolinearitas. Berarti secara pengujian partial dari 3 variabel independent

yang ada hanya variabel tingkat SBI yang significat. Selain itu juga dilakukan pengujian secara bersama- sama dari seluruh variabel independent dan diperoleh hasil anova sebagai berikut :

ANOV Ab

22.071 3 7.357 7.27 .001a 23.289 23 1.013

45.360 26 Regression

Residual Total Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), sbi, inf lasi, kurs a.

Dependent Variable: Pertmbhn b.

Diperoleh nilai F test sebesar 7,27, Jika dibandingkan dengan F tabel maka secara bersama-sama variabel Kurs,Inflasi dan SBI berpengaruh secara significant.

Koefisien Penentu/Determinasi Koefisien penentu berfungsi untuk melihat seberapa besar variabel independent mempengaruhi variabel

dependent. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai r square sebesar 0,4870 atau 48,70 % varaiabel pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel Kurs, Inflasi dan SBI.

Selain itu dapat dilihat nilai DW sebesar 1,147 jika dibandingkan dengan tabel maka dapat dinyatakan dalam model terjadi autokorelasi

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .698(a) .487 .420 1.00626 1.147

(17)

Dikta Jurnal Ekonomi Yarsi

Volume 3 Nomor 1, April 06/ Rabiul awal 1427 H ISSN 1411 – 0776

17 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya dan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan :

1. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan laju inflasi dalam perekonomian Indonesia dalam kurun waktu 1999-2006 (kuartal) tidak membentuk kurva aggregate demand sebagaimana teori yang ada.

2. Penelitian ini menggunakan 3 variabel makro yaitu : kurs, inflasi dan SBI yang diperkirakan

mempengaruhi tingkat

pertumbuhan ekonomi. Dari hasil perhitungan ternyata hanya SBI

yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi secara significant.

3. Variabel kurs, inflasi dan SBI mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 48,7 %

DAFTAR PUSTAKA

Mankiw, Gregory, (2000), Macroeconomics, Worth Publishers, Inc

Nachrowi, Djalal Nachrowi dan Hardius Usman. (2002).

Penggunaan Teknik Ekonometri : Pendekatan Populer dan Praktis. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Robert B.Ekelund and Robert, F.Herbert (1997), A History of economic theory and Method, McGraw Hill, New York. Santoso, Singgih. 2004. Buku Latihan

SPSS Statistik Parametrik Elex Media Komputindo. Cetakan keempat. Jakarta

Sukirno, Sadono, (2004), Makroekonomi Teori Pengantar , edisi 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta www.bi.go.id

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Perkembangan Laju Inflasi  Indonesia periode 1999- kuartal I 2006.
Tabel 3 Perkembangan Kurs Rupiah terhadap  USD  periode 1999- kuartal I 2006.
Tabel 4 Perkembangan Suku Bunga Bank Indonesia  periode 1999- kuartal I 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang diperoleh untuk meningkatkan pemasaran jamur tiram putih ( Pleurotus sp ) di daerah penelitian adalah strategi SO ( Strenghts ± Opportunities ) yaitu

Perubahan sistem pemilu itulah yang melatarbelakangi DPD Partai Gerindra untuk melaksanakan pendidikan politik dibeberapa wilayah di Jawa Timur termasuk di Kabupaten Mojokerto

Objek yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah strategi Public Relations PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region V Surabaya dalam mempertahankan

Penyelenggaraan subsistem regulasi bertujuan terselenggaranya sistem regulasi kesehatan yang meliputi perijinan dan pengawasan serta registrasi, sertifikasi dan

Raden Sulaiman Menuju Kota Bangun, kemudian Kota Bandir dan menuju Lubuk Madung yang dikenal dengan Muara Ulakan, Di tempat inilah Raden Sulaiman

Bagi para pengambil kebijakan perusahaan Bahana Paramarta, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dalam menghasilkan perencanaan yang lebih baik dalam menggunakan

To conduct th e ; specific mutu ally-agreed cooperative projects defined in accordance with th e provision of Articl e 3 of this Lol, th e Parties will

The judicial appointments process determines who will interpret the constitution, so the institution(s) or actor(s) with the power to appoint judges to a constitutional court