• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang - 4. Made Suryana dan HJ. Rina Suwasti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Latar Belakang - 4. Made Suryana dan HJ. Rina Suwasti"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI PERJANJIAN BAKU

MADE SURYANA

dan

HJ. RINA SUWASTI

Fak. Hukum Univ. Mahasaraswati Mataram

ABSTRAK

Di dalam suatu perjanjian, khususnya perjanjian standard yang sepihak terdapat suatu kondisi/syarat yang banyak menarik perhatian para ahli Hukum Perjanjian, yaitu pencantuman "klausula eksonerasi" atau "exemption clause". Klausula ini pada prinsipnya bertujuan membatasi bahkan meniadakan tanggung jawab kreditur atas risiko-risiko tertentu yang mungkin timbul di kemudian hari.

Bagi Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan satu-satunya baru ditemukan dalam UU Perlindungan Konsumen, walaupun di situ digunakan istilah ’klausula eksonerasi’’Dalam berbagai negara pertumbuhan dan perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh yurisprudensi. Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting dalam Hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Oleh karena itu setiap orang yang membuat perjanjian (termasuk perjanjian standard) dengan isi dan bentuk apapun sah, sejauh perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.

Untuk itu ada beberapa jalan yang dapat ditempuh yaitu : 1). Mengatur perjanjian baku dengan undang-undang, sebagaimana dilakukan di beberapa negara di luar negeri., 2) Menciptakan hukum perjanjian baku melalui Yurisprudensi, 3).Melalui pengawasan Pemerintah.

Kata kunci : Pelindungan konumen, perjanjian baku

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perjanjian standar / baku, sebenarnya dikenal sejak zamanYunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut.

Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun semakin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law a Review pada 1971bahwa 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar.

Isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak sehingga pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak.

Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggung jawaban. Jadi pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut merupakan pernyataan apakah dengan ciri-ciri sebagaimana dijelaskan dalam perjanjian baku ini dapat dikatakan "perjanjian" sebagaimana yang ditentukan oleh KUH Perdata. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk membuat suatu perikatandanSesuatu sebab yang halal;

Kita melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan "real bargaining" dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini, sehingga tidak memenuhi elemen- elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata (Mariam Darus Badrlzaman, 1986)

(2)

"Exemption clauses differ greatly in many respects. Probably the most objectionable are found in the complex condition which are now so common. In the ordinary way the customer has no time to read them and if he did read them he would probably not understand them. If he did understand and objected to any of them be would generally be told that he could take it or leave it. If he then went to another supplier, the result would he the same. Freedom to contract must surely imply some voice or room for bargaining: (Suisse Atlantique v. Rotterdamsche Kolen Centrale (1996) 2 ALLER 69.76). Beberapa ahli hukum tidak memberikan dukungan terhadap perjanjian baku ini, seperti halnya Sluijter (1972) yang menyatakan bahwa perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang- undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).

Walaupun secara teoritis juridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum. Di sini timbul pertanyaan apakah kebutuhan masyarakat harus menghindarkan diri terhadap hukum atau sebaliknya. Sluijter, (1972) mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (jictie van wi! en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Dilaih pihak Asser Rutten (1968) mengatakan bahwa "Setiap orang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya". Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya".

Dalam hukum Inggris (Hondius, E.H., 1976) juga terdapat pandangan yang sama, sebagai yang tertuang dalam tulisan Spencer (1973) sebagai berikut :

"Where there is a signed document, the court that some kind of magic operated to take contract out of the usual niles that govern he formation of contract and to bind the signature almost absolutely ".

Maksud dari pernyataan di atas bahwa "dimana seseorang telah menandatangani perjanjian, maka pengadilan wajib untuk melaksanakan ketentuan yang disepakati para pihak dan bersifat mengikat secara mutlak". apapun yang dikemukakan Stein, Asser sebagai alasan untuk menerima perjanjian baku, motivasinya tidak lain dari menunjukkan bahwa hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya. Selanjutnya di dalam berbagai negara terlihat bahwa pertumbuhan dan perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh yurisprudensi. Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting dalam Hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia.

Berdasarkan pandangan hidup Pancasila, maka asas kebebasan berkontrak dapat diartikan bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian (termasuk perjanjian standard) dengan isi dan bentuk apapun, sejauh perjanjian tersebut tidak mengganggu upaya perwujudan lapangan hidup (hajat hidup) sosial. Sebaliknya, perjanjian standard yang berisi perlindungan terhadap lapangan hidup sosial boleh dibuat sejauh tidak meniadakan upaya perwujudan lapangan hidup pribadi. Disamping itu, ketentuan yang dimuat oleh Pasal 1337 KUHPerdata agaknya patut diambil alih dalam Hukum Perjanjian Nasional yang akan datang, yaitu suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. (Johannes Gunawan, 1978)

Di seluruh dunia, dengan sistem kenegaraannya yang berbeda, baik sistem individualisme maupun sistem sosialisme berusaha keras untuk mengarahkan perjanjian baku ini sehingga tidak merugikan masyarakat. Di dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar. Dua elemen yang menghimbau untuk menertibkan perjanjian baku ini, yaitu :

(3)

Di beberapa negara seperti Belanda, Amerika Serikat sebagaimana terurai di atas termasuk negara Sosialis: Polandia, Yugoslavia, perjanjian baku ini diatur dalam Undang-Undang. Demikian juga halnya di Jepang. Pertanyaan sekarang ini ialah bagaimana langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah-masalah yang terdapat di dalam perjanjian baku Indonesia. Untuk itu ada beberapa jalan yang dapat ditempuh yaitu : 1). Mengatur perjanjian baku dengan undang-undang, sebagaimana dilakukan di beberapa negara di luar negeri., 2) Menciptakan hukum perjanjian baku melalui Yurisprudensi, 3).Melalui pengawasan Pemerintah.

Pengawasan pemerintah terhadap perjanjian baku adalah merupakan jalan terpendek yang dapat ditempuh, sementara menunggu pengaturan perjanjian ini dengan undang-undang dan yurisprudensi. Pengawasan melalui Pemerintah ini dapat berupa aturan administratif yang bersifat preventif Seluruh perjanjian baku yang dipergunakan sebelum diperlakukan terhadap masyarakat, hendaknya ditempatkan terlebih dahulu di dalam Berita Negara atau didaftarkan di instansi yang berwenang. Dengan demikian, masyarakat secara dini dapat mengetahui syarat-syarat dalam perjanjian itu dan dapat mengelakkannya apabila yang bersangkutan berpendapat bahwa syarat itu tidak sesuai dengan kepentingannya.

Permasalahan

Dari latar belakang tersebut di atas permasalahannya adalah bagaimana bentuk Klausula Baku yang dicantumkan dalam Perjanjian

PEMBAHASAN

Di dalam suatu perjanjian standard, khususnya perjanjian standard yang sepihak terdapat suatu kondisi/syarat yang banyak menarik perhatian para ahli Hukum Perjanjian, yaitu pencantuman "klausula eksonerasi" atau "exemption clause". Klausula ini pada prinsipnya bertujuan membatasi bahkan meniadakan tanggung jawab kreditur atas risiko-risiko tertentu yang mungkin timbul di kemudian hari.

Dengan melihat kenyataan bahwa posisi tawar konsumen pada prakteknya jauh dibawah para pelaku usahal maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha untuk menghindari pencantuman klausula exsonerasi tersebut. Undang- undang tentang perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen , sebagai berikut: "setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib, dipenuhi oleh konsumen".

Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal pengertian "klausula eksonerasi" tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.

Dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dad satu pasal, yaitu Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan atau mencantumkan klausula baku. Dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan Pasa,l 18 ayat 2 mengatur "bentuk" atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang.

(4)

jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan barn, tambahan, lanjutan, dan atau pengubahan Lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dan masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas sebenarnya memberikan contoh bentuk bentuk, pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha. Apakah dengan demikian, klausula baku sarna dengan klausuia eksonerasi ? Jika melihat pada ketentuan Pasal 18 Ayat 1 UU Perlindungan Konsumen, dapat diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausula eksonerasi (

Shidarta

(200).

Selanjutnya, dalam pasal 18 ayat 2 UU Perlindungan Kunsumen, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang kengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 tersebut, Pasal 18 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal l8 ayat 1 maupun perjanjian baku atau klasula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat 2. Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal 1338, Pasal 1337 KUHPerdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen atau yang memiliki format sebagaimana dilarang pada pasal 13 ayat 2 dianggap tidak pemah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut.

Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana diseblltkan dalam Pasal 18 ayat 3, ayat 4 UU Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan UUPerlindungan Konsumen.

Disamping itu pelaku usaha yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana penjara atau pidana denda. Selain itu dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:

1). perampasan barang tertentu, 2). pengumuman keputusan hakim, 3). pembayaran ganti kerugian, 4). perintah penghentian kegiatan tertertentu yang rnenyebabkan tirnbulnya kerugian konsurnen, 5). kewajiban penarikan barang dari peredaran atau, pencabutan ijin usaha.

Dengan dicanturnkannya larangan pernakaian klausula baku sebagairnana tertuang dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen tersebut di atas, maka hal ini rnerupakanlangkah maju bagi perkembangan hukum khususnya dalarn Hukurn Perlindungan Konsurnen. Dengan adanya ketentuan tersebut citra konsurnen rnenjadi terangkat, dengan harapan kedudukan antara konsumen dan produsen menjadi seimbang.

Di samping itu beberapa klausula lain yang biasa terdapat dalarn kontrak yang sangat potensi untuk merugikan konsurneri sehingga perlu diwaspadai, yaitu klausula-klausula menurut

Munir Fuady (1999)

sebagai berikut: 1)Klausula yang menyatakan tidak melakukan pernberian garansi purna jual atas barang yang dijual, 2).Klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi terhadap garansi purnajual atas barang yang dijual. 3). Klausula yang memaksakan proses beracara yang tidak layak. 4). Klausula yang menghilangkam tangkisan hukurn terhadap pihak penerima pengalihan hak (Assignee). 5). Klausula penjaminan silang (Cross Collateral) 6). Pengalihan upah/gaji debitur kepada kreditur.

Berikut penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Klausula yang Menyatakan Tidak Melakukan Pemberian Garansi Purnajual atas Barang yang Dijual. Sebagaimana diketahui bahwa ada kewajiban hukum tertentu bagi penjual atas barang yang dijualnya itu, sehingga hal tersebut akan menjadi fair bagi pihak pembeli. Misalnya, kewajiban menjamin tidak Ada cacat yang tersembunyi atau kewajiban memberikan garansi (garrantee). Dengan demikian, jika Ada klausula dalam kontrak baku yang membebaskan pihak penjual (terutama penjual barang baru) dan kewajibannya untuk memberikan garansi purna jual, maka klausula tersebut tidak dapat dibenarkan.

(5)

klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi terhadap garansi purnajual, terutama jika pembatasan tanggung jawab tersebut tidak layak dilakukan. Jadi, pembatasan yang masih layak tentu boleh-boleh saja dilakukan, misalnya pembatasan garansi purnajual hanya untuk suatu waktu tertentu yang layak dalam arti tidak terlalu pendek masa garansinya. Dalam praktek. untuk barang-harang yang bisa bertahan lama, maka pembatasan garansi purna jual untuk jangka waktu 1 (satu) tahun masih dianggap wajar dan biasa dilakukan.

3 Klausula yang Memaksakan Proses Beracara 'yang Tidak Layak

Proses beracara yang layak merupakan keharusan dalam setiap segmen hukum, tidak terkecuali hukum kontrak, karena hanya dengan suatu proses beracara yang layaklah suatu keadilan dapat diharapkan akan didapati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, setiap usaha untuk menghilangkan atau menghalang-halangi proses beracara yang tidak layak akan dilarang oleh hukum, karena. itu akan bertentangan dengan prinsip beracara secara fair (due process of law). Dalam kontrak baku, sering juga terdapat klausula yang bertujuan menghalang-halangi terwujudnya suatu proses. beracara yang fair. Misalnya klausula yang membenarkan salah satu pihak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan hutang atau memprosesnya ke pengadilan tanpa sarna sekali pemoeritahuan atau tanpa kesempatan pembelaan bagi pihak lainnya.

4 Klausula yang Menghilangkan Tangkisan Hukum terhadap Pihak PenerimaPenagihan Hak (Assignee) Jika terjadi pengalihan hak tagih dari kreditur kepada pihak ketiga, maka pihak yang menerima hak tagih tersebut menggantikan posisi kreditur semula. The assignee stands in the shoes of the assignor. Karena itu, bagi pihak debitur. hak apa pun yang dimilikinya terhadap pihak kreditur, berlaku juga baginya terhadap pihak yang menerima pengalihan hak.

Berdasarkan prinsip hukum tersebut, maka tidak dapat dibenarkan jika ada klausula dalam kontrak baku yang hanya membenarkan debitur untuk mempertahankan haknya hanya terhadap pihak kreditur, dan tidak mempertahankan haknya terhadap pihak penerima pengalih hak.

5 Klausula Penjaminan Silang (Cross Collateral)

Adalah hak yang normal manakala penjual suatu barang menjadikan barang tersebut sebagai jaminan hutang (misalnya melalui sistem reservasi kepemilikan), sehingga jika barang tersebut tidak terbayar atau tidak lunas terbayar pada saat yang dijanjikan, maka barang tersebut diambilnya (reposes) kembali. Yang tidak wajar adalah dalam hal jual beli tersebut ikut dijaminkan juga barang-barang lain disamping barang objek jual beli tersebut. Misalnya, ketentuan dalam kontrak baku yang menyatakan bahwa yang menjadi jaminan hutang adalah barang-barang yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, padahal pembelian dilakukan secara terus menerus hampir tiap bulan oleh pihak pembeli, sehingga terdapat beberapa jaminan hutang (beberapa barang) untuk pembelian 1 (satu) barang .

6 Pengalihan Upah/Gaji Debitur kepada Kreditur

Adalah juga dianggap tidak layak sehingga perlu dilarang oleh hukum mana kala terdapat ketentuan dalam kontrak baku terdapat ketentuan bahwa yang menjadi jaminan terhadap pembayaran hutang dari pihak debitur adalah seluruh atau sebagian dari gaji atau upah yang akan diterima oleh pihak debitur. Meskipun hal hal tersebut akan sangat memberatkan pihak debitur, dengan asumsi bahwa seseorang tidak dapat hidup tanpa menerima upah atau gaji, terutama gaji/upah merupakan satu-satunya penghasilan tetap dari debitur tersebut.

Sebagai suatu perbandingan, di Amerika Serikat, misalnya, pembatasan wewenang pelaku usaha untuk membuat klausula eksonerasi lebih banyak diserahkan kepada inisiatif konsumen. Jika ada konsumen yang merasa dirugikan, berdasarkan Uniform Commercial Code 1978, ia dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Putusan-putusan pengadilan inilah yang kemudian dijadikan masukan perbaikan legislasi yang telah ada, termasuk sejauh mana Pemerintah dapat campur tangan dalam penyusunan kontrak.

Bagi Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan satu- satunya baru ditemukan dalam UU Perlindungan Konsumen, walaupun di situ digunakan istilah ’klausula eksonerasi’’.

(6)

mengenai tata cara pembuatan perjanjian standar, kiranya dapat dipertimbangkan untuk ditiru. Misalnya di dalam Buku VI Pasal 236 dan 237 KUHPerdata Baru negeri Belanda (Nieuw Nederland Burgerlijk Wetboek), yang mencantumkan daftar hitam dan daftar abu-abu klausula baku yang berisi klausula eksonerasi. Selain dengan mencantumkannya dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, juga dapat dimuat dalam undang-undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang perjanjian baku. Ini berarti bahwa pada prinsipnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan atau perjanjtan transaksi usaha perdagangan barang dan atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen, serta tidak "berbentuk" sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen tersebut.

Berikut beberapa contoh dari klausula eksemsi, yaitu sebagai berikut: (Sutan Remi Syahdeini, 1993). : Contoh 1 :

Normandy Ferries shall not liable for the death of or any injwy, damage, or loss, delay or accident to passengers, their apparel or baggage, whensoever, wheresoever and howsoever caused and whether by negligence of their servants or agents or by useaworthiness of the vessel (whether existing at the time of embarkation or sailing or at any other time) or orherwise. Normandy Ferries may in its absolute discretion or disembarkation and time of sailing and arrival, change the route, call any port whatsoever without previous notice to the passengers. A passenger acceprs thar Normandy Feries give no condition or warranty express or implied, that the vessel used for carriage is fit for the carriage of passengers, their baggage or accompanied vehicles.

"Pada intinya perusahaan Normandy Ferries tidak akan bertanggungjawab terhadap kematian, beberapa kerugian, kerusakan, atau kehilangan, penundaan atau kecelakaan pada penumpang. Hal tersebut merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha yang tentunya sangat merugikan konsumen. Termasuk tidak memberikan jaminan baik secara terang~terangan maupun secara diam-diam. "

Contoh 2:

Pengangkut tidak bertanggungjawab atas kerugian apa pun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi.

Contoh 3:

Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya kerugian yang diderita. Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah maksimum Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per kilogram.

Contoh 4:

This agreement contains all the terms and conditions under which I agree to purchase the machine specified above and any' express or implied condition, statement or warranty statutory or otherwise, not stated here in is here by excluded

Ada saran yang simpatik dari Departemen Kehakiman Negeri Belanda untuk menghadapi klausula-klausula eksemsi dalam suatu kontrak, yaitu sebagai berikut:

1. Membuat undang-undang yang bersifat hukum memaksa yang melarang penggunaan kalusula eksemsi. Di Belanda, hal tersebut misalnya terlihat dalam Undang-Undang tentang Sewa Beli atas benda Tak Bergerak (Huurkoop Onroerend Goed).

2. Memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengesahkan klausula eksemsi atas permintaan dari pihak yang berkepentingan.

3. Dibukanya kemungkinan oleh undang-undang untuk keikut sertaan organisasi- organisasi konsumen dalam rangka perundingan-perundingan dengan pihak yang membuat kontrak dengan klausula eksemsi. 4. Undang-undang memberikan kewenangan kepada ombudsman konsumen untuk mengajak pihak-pihak

untuk mengubah klausula-klausula eksemsi dalam kontrak-kontrak. Jika pihak pengusaha menolak perundingan tersebut, ombudsman dapat memprosesnya secara hukum lewat pengadilan khusus, seperti Pengadilan Marknadsdomtol di Swedia.

(7)

kontrak pada umumnya, antara lain prinsip keseketikaan (contemporaneous) dan prinsip tidak . menyalahgunakan keadaan (undue influence ). Prinsip contemporaneous menyatakan bahwa para pihak dalam sebuah kontrak harus telah mengetahui dan memahami ketentuan dan persyaratan dalam kontrak, sebelum atau setidak- tidaknya pada saat kontrak ditutup oleh para pihak. Berhubung kontrak baku ditutup oleh penutup kontrak secara cepat dan massal, isi klausula baku dalam kontrak baku pada umumnya hanya diketahui dan dipahami oleh pihak penutup kontrak. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perjanjian baku jelas melanggar atau bertentangan dengan prinsip contemporaneous.

Selain itu, perjanjian baku pada umumnya memanfaatkan undue influence yaitu keadaan (kelemahan, keraguan, atau keadaan tertekan) pihak penutup kontrak, sehingga perilaku atau keputusan pihak tersebut berubah secara tidak bebas demi keuntungan pihak pembuat kontrak. Misalnya, dalam pembelian produk microsoft melalui perjanjian EULA (End User License Agreement), pada umumnya perjanjian tersebut tidak berpihak pada pengguna (konsumen).

Adapun indikasi undue influence dalam perjanjian baku,

Johannes Gunawan

(

2003)

antara lain:

1. isi kontrak baku tidak masuk akal, tidak patut, bertentangan dengan kemanusiaan (unfair contract terms); 2. pihak penutup kontrak baku dalam keadaan tertekan;

3. pihak penutup kontrak baku tidak memiliki pilihan lain, kecuali menerima isi kontrak baku walaupun dirasakan memberatkan;

4. hak dan kewajiban para pihak tidak seimbang.

Berdasarkan kondisi di atas, maka sebagaimana yang dikatakan oleh (Richard A. Posner, 1977) bahwa : Many contracts are offered on a take-it-or-Ieave-it basis. The seller hands the purchaser a standard printed contract that sets forth in detail the respective obligations of the parties. The purchaser can sign it or not as he pleases, but there is no negotiation over terms. It is an easy step from the premise that there is no negotiation to the conclusion that the purchaser lacked afree choice and therefore should not be bound by onerous terms. But there are two possible explanations of why a seller might adopt a take it or leave it policy, and only one is sinister.

Berdasarkan pendapat dari Posner tersebut bahwa kebanyakan kontrak baku yang dibuat oleh pihak penjual tidak ada negosiasi mengenai isi kontrak sebelumnya dengan konsumen. Negosiasi tidak terjadi maka terjadilah "unequa bargaining power or unconscionability" 'posisi tawar dari pihak konsumen selalu lemah. Konsumen tidak mempunyai pilihan kecuali menerima persyaratan yang ada. Pertimbangan ekonominya hanyalah didasarkan pada faktor efisiensi dalam pembuatan kontrak.

PENUTUP

Simpulan

1. Sistem hukum terbuka dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338, Pasal 1337 KUH Perdata yang selanjutnya disebut sebagai asas kebebasan berkontrak, telah memberikan landasan hukum untuk memberikan kedudukan kedua belah pihak pada posisi sama kuat pada perjanjian baku, dengan demikian bila ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia perjanjian sama-sama mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian secara konvensional. Hal tersebut dapat dilihat pada saat berlaku mengikatnya suatu perjanjian baku, pada saat diterimanya penawaran pelaku usaha oleh konsumen yang berdasarkan atas asas konsensualitas, dengan indikasi ditekannya tombol agree/sign up atau OK dalam website suatu pelaku usaha/konsumen kepada pihak pelaku usaha yang berisi berita mengenai penerimaan terhadap penawaran yang diajukan pihak pelaku usaha dan hal ini juga mempunyai suatu kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, tentunya juga rnenimbulkan bentuk-bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen termasuk juga di dalamnya tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum dan tanggung jawab adanya keadaan memaksa.

(8)

konsumen (exsonerasi). Tanggung jawab produk dapat diterapkan dengan menggunakan strict liability apabila antara pelaku usaha dengan konsumen tidak ada hubungan kontraktual maupun dalam hal perbuatan melawan hukum, dan tanggung jawab profesional dapat diterapkan baik berdasarkan hukum perjanjian maupun perbuatan melawan hukum.

Saran-Saran

1. Perlu segera dilakukan pembaharuan tentang arah Hukum Perjanjian Indonesia yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, sehingga mampu berperan serta dalam dunia yang semakin global di era globalisasi.

2. Perlu dilakukan harmonisasi hukum diantara negara-negara di dunia yang diberlakukan bagi transaksi-transaksi yang dilakukan di dunia Maya dengan membuat konvensi internasional, dan dilakukan pendekatan secara sistemik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dalam dunia.

3. Masih perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya terhadap aspek hukum lain dari seperti aspek hukum pidana, administrasi, pajak, asuransi, Haki dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1999. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.Tentang Perlindungan Konsumen(UUPK).

Aser – Rutten, 1968.Handleiding tot de beoerening van het NederlandBurgerlijkrecht, W.E. Tjeenk Wiliink Zwole

Hondius, E.H, 1976.Konsumenterecht, Praedvies in Nederlanddse Vereniging voor Recht sverlijking, Kluwer; Deventer

Johannes Gunawan,1987.Penggunaan Perjanjian Standard Dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak”, Majalah Ilmu Hukum dan pengetahuan Masyarakat, Journal of Law and Social Science, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, No. 3-4

---2003,Reorientasi Hukum Kontrak Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 6 Tahun 2003.

J. Satrio, 1992.Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Munir Fuady, 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1986. Aspek - Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Bandung

Richard A. Posner, 1977.Economi Analysis of Law, 2d Edition Brown, and Company. Boston and Toronto.

Shidarta, 2000.Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta..

Sluijter, 1972.De standaarddcontracten, De grenzen van de particuliere wetgever, Kluwer-Deventer.

Referensi

Dokumen terkait

( - Kata ³Yunani´ itu tak berarti menunjuk etnik Yunani, sama seperti ³Roma´ Katolik tak menunjuk pengikutnya sebagai bangsa Roma, namun untuk menunjuk ekspresi karya

Hasil analisis data tersebut jelas bahwa dilihat dari indicator yang pertama yaitu komunikasi kepala desa dengan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang terkait di dalam

Dari tujuh indikator yang dikemukakan oleh Gibson Strategi dan kebijakan yang ditetapkan sudah bejalan baik hanya saja kejelasan tujuannya tidak pada pokok dasar

Pertama, pemberian kondisi berupa asumsi tidak terjadi gangguan hubung singkat, sehingga tampilan kondisi instalasi kelistrikan ―sistem aman‖, ditekankan kepada observasi

Mata kuliah ini membahas keterkaitan antara teori-teori ekonomi dengan kebijakan politik dalam menganalisis berbagai kasus makro ekonomi dan mikro ekonomi sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk menduga umur simpan produk fish snack (produk ekstrusi) dengan pendekatan kadar air kritis yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan

Strategi adaptasi wanita Islam terhadap kehidupan keluarga suami tercermin dalam proses belajar berbahasa Bali, mengolah dan mengonsumsi makanan Bali, membuat banten ,

Ekonomis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dan data promosi pariwisata, penambahan area atau destinasi pariwisata bagi Kawasan Pantai Utara Bali