• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH INTERVENSI IONTOPHORESIS SER-C TERHADAP HIPERPIGMENTASI PADA KULIT WAJAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH INTERVENSI IONTOPHORESIS SER-C TERHADAP HIPERPIGMENTASI PADA KULIT WAJAH"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INTERVENSI IONTOPHORESIS SER-C TERHADAP HIPERPIGMENTASI PADA KULIT WAJAH

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Tugas-Tugas dan Persyaratan Akhir Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Fisioterapi

Disusun Oleh : Riana Wahyuni

J120101015

S1 TRANSFER FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012

(2)

PENGARUH INTERVENSI IONTOPHORESIS SER-C DENGAN TERHADAP HIPERPIGMENTASI KULIT WAJAH

Riana Wahyuni, J120101015, Program Studi S1 Fisioterapi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012

ABSTRAK

Latar Belakang : Kulit yang sehat terlihat sebagai kulit yang optimal secara fisik maupun fisikologik. Permasalahan yang terjadi pada kulit begitu kompleks, antara lain kelainan pigmentasi yaitu hiperpigmentasi. Untuk mengembalikan kondisi kulit yang lebih baik yang bertujuan untuk mengurangi hiperpigmentasi pada kulit wajah, mencerahkan kulit wajah dari dalam, mengurangi teroksidasinya melanin dan menghambat pembentukan melanin dapat dilakukan dengan berbagai macam tindakan. Iontophoresis didefinisikan sebagai pendahuluan, dengan menggunakan arus listrik langsung, dari ion pemecahan garam ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan terapeutik.

Tujuan penelitian: untuk mengetahui pengaruh intervensi iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah.

Metodologi Penelitian : Quasi Experiment dengan pendekatan Pretest and Postest with Control Group. Penelitian ini dilakukan di kediaman ibu-ibu lingkungan Nilasari Baru Desa Gonilan. Dengan responden yang diteliti adalah paguyuban ibu-ibu dilingkungan Nilasari Baru-Desa Gonilan RT.01 RW.10 Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo. Jumlah populasi yang akan diteliti adalah 36 orang, dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian dianalisa menggunakan Wilcoxon dan Mann-Whitney.

Hasil penelitian: Wilcoxon menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pengaruh iontophoresis ser- C (p = 0,011), ada perbedaan yang bermakna pengaruh non iontophoresis ser-C (p = 0,001), dan Mann-Whitney menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pada peningkatan derajat hiperpigmentasi pada kulit wajah antara pemberian iontophoresis ser- C dengan non iontophoresis ser- C (p = 0.006).

Kesimpulan : Ada pengaruh Intervensi Iontophoresis Ser-C Dengan Terhadap Hiperpigmentasi Kulit Wajah.

(3)

PENGARUH INTERVENSI IONTOPHORESIS SER-C DENGAN TERHADAP HIPERPIGMENTASI KULIT WAJAH

Riana Wahyuni

Universitas Muhammadiyah Surakarta

1. PENDAHULUAN

Kulit yang sehat terlihat sebagai kulit yang optimal secara fisik maupun fisikologik. Secara fisik, terlihat dari warna, konsistensi, kelenturan, struktur bentuk dan besarnya sel-sel lapisan kulit. Sedangkan secara fisikologik, lapisan kulit teratas selalu tumbuh dan mengelupas kembali. Pada lapisan kulit yang sehat, regenerasi ini umumnya berlangsung selama 28 hari (Graham dan Burns, 2005).

Berbagai macam perubahan pada kulit wajah, disebabkan oleh berbagai faktor. Paparan sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses melanogenesis yaitu pembentukan melanin yang berlebihan khususnya pada wajah, penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia melebihi toleransi dan berlangsung lama, kebiasaan menggunakan alat kontrasepsi yaitu jenis hormonal, penggunaan obat-obatan yang bersifat fototoksik, kehamilan serta faktor genetik (Fitzpatrick, et al, 2005).

Hasil penelitian Rahman, dkk (2007) di Khasmir, bahwa 167 pasien yang dilakukan pemeriksaan kulit, 40,7% tergolong hiperpigmentasi, dan 62,3% terjadi pada wanita dengan usia antara 13 sampai 60 tahun, dan disebabkan oleh penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia dengan lama penggunaan antara 3 bulan sampai 11 tahun. Dan lebih dari 40% wanita usia di atas 30 tahun sangat rentan menderita hiperpigmentasi, dan 10% di alami oleh pria.

(4)

Perawatan korektif atau perbaikan bisa dilakukan dengan cara atau alat mikrodermabrasi, iontophoresis, LASER, chemical peeling, mesotherapy, sonophoresis, dan pemakaian krim malam atau krim pengelupas kulit yang juga membantu proses penipisan flek (Oh, 2005).

Permasalahan yang terjadi pada kulit begitu kompleks, antara lain kelainan pigmentasi yaitu hiperpigmentasi. Untuk mengembalikan kondisi kulit yang lebih baik yang bertujuan untuk mengurangi hiperpigmentasi pada kulit wajah, mencerahkan kulit wajah dari dalam, mengurangi teroksidasinya melanin dan menghambat pembentukan melanin dapat dilakukan dengan berbagai macam tindakan. Namun dalam prosesnya, iontophoresis dapat memberikan efek yang baik dalam menghantarkan ser-C dan tidak meninggalkan efek negatif pada kulit.

Sebuah uji mengenai Iontophoresis vitamin C dilakukan untuk menunjukkan keefektifannya dalam menangani hiperpigmentasi yang hasilnya membaik setelah diberi perawatan dua kali seminggu selama 12 minggu yang dilakukan 6 menit secara khusus untuk setiap kali kunjungan (Huh, et al, 2002). Sedangkan menurut Miwa dan Suzuki (2002), untuk masalah hiperpigmentasi diberikan perawatan selama 4 minggu dilakukan 8 menit dengan menggunakan pengobatan sistem High Vitaliont.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penelitian tentang pengaruh iontophoresis ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah menjadi penting dilakukan karena bila tidak dilakukan perawatan atau tidak ditangani dengan cara yang benar maupun penggunaan kosmetika yang tidak tepat, selain dapat mengurangi nilai estetika juga akan menyebabkan pelebaran area pigmentasi, memacu proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini, dan memacu pertumbuhan tumor, baik itu tumor jinak ataupun tumor ganas (Kariosentono, 2004).

Pengaruh intervensi Iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah menjadi permasalahan yang dikaji dalam permasalahan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi Iontophoresis

(5)

Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit konstribusi pengetahuan di bidang Fisioterapi tentang pengaruh intervensi Iontophoresis Ser-C terhadap penurunan derajat hiperpigmentasi pada kulit wajah.

2. LANDASAN TEORI

Hiperpigmentasi merupakan salah satu jenis kelainan pembentukan pigmen yang mengakibatkan terjadi peningkatan pigmentasi, seperti produksi melanin yang berlebihan, atau penumpukan beberapa jenis pigmen lainnya di dalam kulit, misalnya beta-karoten, bilirubin, obat-obatan, dan logam (Graham dan Burns, 2005).

Dari berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hiperpigmentasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sampel penelitian ini, yaitu : 1). Paparan sinar matahari (UV); Indonesia adalah negara tropis yang hampir sepanjang hari disinari matahari. Efek buruk sinar UV dipengaruhi oleh faktor individu, frekuensi, dan lama pajanan serta intensitas radiasi sinar UV, 2). Usia; Hiperpigmentasi terjadi pada usia 30 tahun ke atas, karena pada usia tersebut mulai terjadi proses menua dan sistem produksi hormonal yang menurun, 3). Kosmetik (zat kimia) dan obat-obatan; daftar obat-obatan dan zat kimia yang menyebabkan hiperpigmentasi sangatlah banyak dan tetap bertambah terus. Zidovudine yang telah dipakai pada pasien AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah salah satu obat yang masuk dalam daftar obat-obatan yang menyebabkan hiperpigmentasi belakangan ini, 4). Agent toxic atau obat-obatan seperti obat yang berhubungan dengan sistem saraf pusat, obat-obat anti kanker, obat anti infeksi, obat anti hipertensi dan hormon, dianggap sekitar 10-20% merupakan penyebab dari semua kasus hiperpigmentasi (Lapeere, 2008).

Tingkat kecerahan maupun tingkat keparahan hiperpigmentasi dapat dibedakan sesuai dengan pemeriksaan yang digunakan. Pemeriksaan-pemeriksaan yang biasanya digunakan yaitu Melasma Area Severity Index

(6)

(MASI). MASI adalah ukuran yang dapat di andalkan untuk skala keparahan hiperpigmentasi, menunjukkan kestabilan sementara dan konsisten internalnya. Skor MASI dihitung pertama sekali dengan menilai area hiperpigmentasi di wajah. Empat area yang dievaluasi: dahi (F), pipi kanan (MR), pipi kiri (ML), dan dagu (C), yang disesuaikan secara berurutan dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari seluruh wajah.

Dari hasil pengukuran, dapat dibedakan derajat hiperpigmentasi pada keempat area dengan diberi nilai numerik: 0) tidak dijumpai lesi hiperpigmentasi; 1) <10%, 2) 10-29%, 3) 30-49%, 4) 50-69%, 5) 70-89%, dan 6) 90-100%. Kehitaman pigmen dibanding kulit normal (D) dinilai pada masing-masing area dengan skala 0 (tidak ada) sampai 4 (maksimal), homogenitas (H) juga diukur berdasarkan skala 0 (minimal) sampai 4 (maksimal). Untuk mengukur skor MASI, jumlah tingkatan keparahan D dan H dikalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A); skor maksimal adalah 48 dan minimal 0.

Iontophoresis didefinisikan sebagai pendahuluan, dengan menggunakan arus listrik langsung, dari ion pemecahan garam ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan terapeutik (Singh dan Maibach, 1994). Adapun manfaat dari Iontophoresis antara lain : 1). Menghindari resiko dan ketidaknyamanan terapi parenteral, 2). Pengiriman molekul terionisasi, 3). Menawarkan kontrol yang lebih baik atas kuantitas obat yang disampaikan karena jumlah obat yang disampaikan tergantung pada durasi yang diterapkan dan daerah kulit yang terkena arus, 4). Mencegah variasi dalam penyerapan dan metabolisme, seperti yang terlihat dengan pemberian oral, 5). Mengurangi secara signifikan antar dan intraindividual variabilitas karena tingkat pengiriman obat lebih tergantung pada arus diterapkan daripada karakteristik stratum korneum, 6). Mengurangi total dosis dan frekuensi dosis, 7). Restorasi dari lapisan penghalang kulit tanpa menghasilkan iritasi kulit, dan 8). Meningkatkan pengiriman molekul polar sebagai senyawa dengan berat molekul tinggi.

(7)

Mekanisme penetrasi untuk aplikasi iontophoresis pada kulit berperan dalam meningkatkan pengiriman obat transdermal. Pada saat pengiriman obat, terjadi interaksi ion di medan listrik sehingga memberikan kekuatan yang mendorong ion melalui kulit. Arus listrik mengubah susunan komponen molekul kulit sehingga menghasilkan beberapa perubahan dalam permeabilitas kulit. Teori ini didasarkan pada hipotesis bahwa permeabilitas kulit diubah melalui induksi arus listrik, yakni terjadi pembentukan tegangan dalam stratum korneum. Sehingga pori-pori membuka sebagai akibat dari tolakan molekul air dan ion yang akan mengalir dalam saluran pori-pori.

Kulit bermuatan negatif pada nilai pH di atas 4, menyiratkan bahwa kutub bermuatan positif seperti ion Na+ akan lebih mudah ditembus karena ion berusaha untuk menetralkan muatan dalam kulit. Jadi transfer ion dalam kondisi fisiologis adalah dari anoda ke katoda. Untuk hilangnya kation masing-masing (ion natrium) dari elektroda dalam proses ini, Cl- bergerak sebaliknya dari arah katoda ke anoda. Transportasi jumlah ion tergantung pada sifat-sifat fisikokimia ion masing-masing. Na+ lebih besar dari Cl- dan juga kulit memfasilitasi gerakan Na+ lebih dari Cl-, maka ada kenaikan bersih dalam NaCl pada sisi cathodal dan penurunan bersih NaCl pada sisi anodal yang mengakibatkan meningkatnya transportasi obat (Shinde, et al, 2010).

Serum vitamin C adalah produk perawatan kulit yang bertujuan mencerahan kulit, menyamarkan keriput atau kerutan dan flek pada kulit wajah atau hiperpigmentasi. Ser-C mengandung dosis tinggi dari bahan aktif

Magnesium Ascorbyl Phosphate (MAP). MAP adalah salah satu senyawa turunan vitamin C yang stabil sehingga tidak mudah teroksidasi dan mampu menembus kulit lalu diubah menjadi vitamin C bebas enzim yang terdapat pada kulit manusia (medicastore, 2002).

Vitamin C berfungsi untuk menghambat pembentukan melanin dan mengurangi melanin teroksidasi. Vitamin C tidak mudah menembus kulit, namun vitamin C cepat teroksidasi dan terurai dalam larutan berair. Oleh karena itu, magnesium-L-ascorbyl-2-phosphate (MAP) disintesis untuk

(8)

menyelesaikan masalah ini. MAP adalah stabil dalam larutan berair, terutama dalam larutan netral atau alkali yang mengandung asam borat atau garamnya.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh intervensi iontophoresis Ser-C terhadap penurunan derajat hiperpigmentasi pada kulit wajah.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis eksperimendengan pendekatan quasi experiment atau eksperimen semu. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pre test and post test with control group design. responden yang diteliti adalah paguyuban ibu-ibu dilingkungan Nilasari Baru-Desa Gonilan RT.01 RW.10 Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo. Adapun penelitian dilakukan selama 4 minggu pada bulan Maret-April 2012.

Populasi dalam penelitian ini adalah dengan responden yang diteliti adalah paguyuban ibu-ibu dilingkungan Nilasari Baru-Desa Gonilan RT.01 RW.10 Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo, dengan jumlah 55 orang. Metode pengambilan sampel yang dipakai pada penelitian ini adalah menggunakan metode purposive sampling, yakni sampel dipilih berdasarkan pertimbangan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Jumlah sampel menggunakan data dari penelitian Huh, et al (2002) dengan rumus.

Variable independent dalam penelitian ini adalah intervensi iontophoresis Ser-C, sedangkan Variable dependen dalam penelitian ini adalah hiperpigmentasi. Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan antara lain pelaksanaan pre test, dilakukan pemeriksaan skin analysis, MASI dan kemudian pengukuran tingkat pencerahan wajah dengan menggunakan skin lightening roller dengan mengisi form analisis yang telah disiapkan untuk mempermudah pendataan dan evaluasi hasil.

Pada penelitian ini data dianalisis dengan program komputer model SPSS 17 for windows. Untuk menguji hipotesis dilakukan uji persyaratan yaitu uji normalitas data atau sampel. Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro Wilk Test karena nilai p < 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi tidak

(9)

normal. Uji hipotesis data yang digunakan adalah Paired T. Test (Uji T berpasangan), dan menggunakan uji beda Mann-Whitney karena data berdistribusi tidak normal.

4. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan karakteristik responden, diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berumur 41-45 tahun dengan besar persentase 35,1% dari jumlah sampel. Sedangkan persentase umur yang paling sedikit yaitu berkisar 36-40 tahun (29,7%).

Berdasarkan hasil uji wilcoxon untuk perlakuan sebelum dan setelah pemberian iontophoresis Ser-C, dengan nilai t=2,530 dan nilai p=0,011 sehingga nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitiannya adalah ada pengaruh intervensi iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah, sedangkan kelompok kontrol non iontophoresis Ser-C, dengan nilai t=3,391 dan nilai p=0,001 sehingga nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitiannya adalah ada pengaruh non iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah. Hasil analisis dengan menggunakan uji mann whitney test ditemukan nilai kemaknaan 0,006 dimana nilai p < 0,05, sehingga terdapat perbedaan pengaruh pemberian perawatan non Iontophoresis C dan Iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh intervensi iontophoresis Ser-C terhadap hiperpigmentasi pada kulit wajah.

Penelitian yang berjudul “Pengaruh intervensi Iontophoresis Ser-C terhadap Hiperpigmentasi pada Kulit Wajah” diharapkan dapat menjadi referensi pembaca dan di kembangkan ke dalam penelitian yang lebih mendetail dalam wadah Fisioterapi terutama dalam dunia kecantikan. Bagi masyarakat disarankan untuk menghidari pengobatan hiperpigmentasi dengan cara pengelupasan kulit secara kimia dan terapi laser karena dapat

(10)

mengakibatkan hiperpigmentasi lanjut dan menghindari paparan sinar matahari pada jam 10.00 sampai jam 15.00.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Amit, G. Pandya, Linda S. Hynan, Rafia Bhore, Fransell Copeland Riley, Ian L. Guevara, Pearl Grimes, James J. Nordlund, Marta Rendon, Susan Taylor, Ronald W. Gottschalk, Nnenna G. Agim,a and Jean-Paul Ortonne. 2009. Reability Assesment and Validation of the Melasma Area and Severity Index (MASI) and a New Modified MASI scoring Method. Journal America Academy Dermatology. Volume 64. Nomor: 1. Hal: 78-83 Andarwulan, N dan Koswara, S. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta: CV Rajawali Pers Anilkumar J. Shinde, Amit L. Shinde, Kevin C. Garala, Sachin A. Kandekar,

Harinath N. 2010. Physical Penetration Enhancement By Iontophoresis : A Review. Journal Bharati Vidyapeeth College of Pharmacy. India. Volume 2. Nomor: 1. Hal: 1-9

Aristizabal, A, et al. 2005. Factores De Riesgo Para El Melasma Modelin-2005.

Journal Medical Cutan Lbert Lat Am. Colombia

Chang-Hun Huh, Koo-Il Seo, Je-Young Park, Jeong-Gu Lim, Hee-Chul Eun Kyung-Chan Park. 2002. A Randomized, Double-Blinnd, Plasebo-Controlled Trial of Vitamin C Iontophoresis in Melasma, Journal Dermatology. Korea. 206: 316-320

Djuanda, A, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Fitzpatrick, R dan Rokshar, C. 2005. The Treatment of Melasma With Fractional Photothermolysis A Pilot Study. Journal American Society dor Dermatologic Surgery

Gazelius, Bertill. 1999. Iontophoresis-Theory, Innovations in Microvascular Diagnosis : PERIMED, Sweden

Graham, R-Brown dan Borns, T. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Dialih bahasakan oleh Zakaria MA. Jakarta: Erlangga. Edisi kedelapan

Guyton dan Hall. 1996. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Edisi 15 Hamzah, M dan Aisah, S. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kelima Harahap, Marwali. 1990. Penyakit Kulit. Jakarta: PT. Gramedia

Kariosentono, H. 2004. Proses Penuaan Kulit dan Usaha Pencegahan Penuaan Dini. Seminar tampil Menarik dan Percaya Diri Menghadapi Masa Depan di Era Globalisasi bersama RSUD. Dr. Moewardi. Surakarta

(12)

Lapeere, et al. 2008. Hypomelanoses and Hypermelanoses. Dalam Fitzpatricks TB, Wolff K, et al. Dermatology in General Medicine, 8th. New York Low J, Feed A. 2000. Electrotherapy Explained Principle and Practice, Penerbit

Butterworth Heinemann. Oxford Auckland Boston Johannesburg, Melbourne New Delhi

Maeda, Kazuhisa. Tomita Yasushi. 2007. Mechanism of the Inhibitory Effect of Tranexamic Acid on Melanogenesis in Cultured Human Melanocytes in the Presence of Keratinocyte-conditioned Medium. Journal of Health Science. Japan

Miwa dan Suzuki, H. 2002. Iontophoresis treatment device with new functions and improvement in its permeability, stability, and durability : High Vitaliont, Hiroshima University. Japan

Muttaqin, A dan Sari, K. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: Salemba Medika

Notoatmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Novak, P. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Dialih bahasakan oleh Kumala

P, dkk. Jakarta: Buku Kedokteran: EGC

Rahman, I dan Arfan, B. 2007. Supeficial Chemical Peeling With Salicyc Acid In Facial Dermatoses. Journal Department of Dermatology. Khasmir

Puts, R dan Pabst, R. 2007. SOBOTTA : Atlas Anatomi Manusia, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Edisi 22. Jilid 1

Singh, H dan Maibach. 1994. Iontophoresis in Drug Delivery : Basic Priciples and Applications. Crit. Rev. Ther : Drug Carrier Syst, 11 : 161-213

Sjamsoe, S, dkk. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia: Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta Pusat: PT. Medical Multimedia Indonesia

Tucker, A. 2006. Reproductive Risk Factors For Cutaneous Melanoma in Women: A Case Control Study. American Journal Epidemiology

Referensi

Dokumen terkait

Model produk dalam penelitian pengembangan ini berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia (IPMKK) yang berbentuk tes pilihan ganda 5 alternatif jawaban

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai teknik pengumpulan data. Teknik

Penghasilan Melalui Transfer Pricing Dalam Perspektif Hukum Perpajakan.

84 / Keu, tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat II Banjar Tahun 1980/1981 dan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Banjar tanggal 1 April

[r]

Memberhentikan dengan hormat dosen yang diberitugas tambahan sebagai Konselor UPT Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang Tahun 2011 sebagaimana tercantum dalam

Qualitative data were used to describe the result of classroom observations and interviews to answer question related with the implementation of portfolio assessment in

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan Tepung