• Tidak ada hasil yang ditemukan

WRAP UP SK 1 EMERGENCY A-8.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WRAP UP SK 1 EMERGENCY A-8.docx"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BLOK EMERGENSI

SKENARIO I

“Perdarahan Persalinan”

Kelompok : A –8

Ketua : Hendris Utama Citra W. (1102011118)

Sekertaris : Hoiriyah (1102011119)

Anggota : Airlangga Luibis (1102008) Inneke Jasmine (1102009142)

Hanifa (1102011116)

Hersa Firda Kartika (1102011118)

Husna (1102011120)

Ika Yuniarti (1102011121) Indah Ariyanti (1102011124) Inge Angelita (1102011126)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2014/2015

(2)

Skenario 1

Perdarahan Persalinan

Seorang pasien 17 tahun datang ke IGD RSUD dengan hamil pertama dan keluhan nyeri perut dan perdarahan pervaginam. Pasien mengaku hamil 32 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhirnya (HPHT). Pasien tidak pernah melakukan antenatal care (ANC) sebelumnya.

Pasien mengalami kenaikan berat badan sampai 25 kg selama kehamilan ini diikuti edema tungkai dalam 4 minggu terakhir. Pasien tidak pernah mengkonsumsi suplemen besi atau vitamin lainnya.

Dari riwayat penyakit keluarga diketahui tidak ada riwayat penyakit ginjal, DM dan hipertensi dikeluarganya.

Dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil : keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah 135/85 mmHg; frekuensi nadi 98x/ menit; frekuensi nafas: 26x/ menit; suhu afebris. Dari status obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 42 cm; denyut jantung janin I: 166x/ menit dan II: 176x/ menit simultan. Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak darah berwarna kehitaman mengalir dari OUI, pembukaan tidak ada.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil: kehamilan ganda letak sungsang dan hasil pemeriksaan laboratorium urin didapatkan protein +2. Dilakukan pemeriksaan CTG didapatkan tanda-tanda gawat janin.

(3)

Kata Sulit

1. Cardiotocography (CTG) adalah metode yang digunakan untuk evaluasi kondisi janin selama kehamilan dengan cara mengukur denyut jantung janin baik saat kontraksi maupun tidak.

2. Afebris adalah tidak demam

3. Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin ( kadar oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum maupun intrapartum.

(4)

Pertanyaan

1. Kenapa keluar darah berwarna hitam dari OUI ?

2. Adakah hubungan keluhan pasien dengan tidak pernahnya pasien konsumsi suplemen besi dan vitamin ?

3. Apa penyebab edema tungkai ?

4. Kenapa ditemukan adanya proteinuria ?

5. Adakah pengaruh tekanan darah ibu yang meningkat dengan keluhannya ?

6. Adakah hubungan tinggi fundus uteri yang 42 cm dengan kehamilan ganda letak sungsang pasien ?

7. Berapa normal penambahan berat badan ibu selama kehamilan ?

8. Adakah hubungan tidak adanya riwayat hipertensi dengan keluhan pasien ? 9. Bagaimana cara pemeriksaan CTG ?

10. Adakah hubungan tidak dilakukannya antenatal care dengan perdarahan yang dialami pasien ?

11. Apa tanda gawat janin ? Jawaban

1. Karena yang terlepas adalah desidua basalis dan telah tercampur dengan cairan amnion. 2. Ada hubungannya,karena jika kekurangan suplemen besi dan vitamin maka janin akan

kekurangan suplai oksigen. 3. Karena terdapat proteinuria.

4. Karena terjadi kerusakan glomerulus sehingga meningkatkan permeabilitas membran basal sehingga terjadi kebocoran protein.

5. Ada tapi secara tidak langsung.

6. Tidak ada hubungannya, justru , menandakan adanya kelainan pada kehamilannya. 7. Maksimal penambahan normal berat badan ibu hamil adalah 14 kg.

8. Tidak ada karena hipertensinya saat hamil saja. 9. Pemeriksaan dilakukan selama 20 menit.

10. Tidak ada hubungannya, karena ANC hanya sebagai skrining saja. 11. Tanda gawat janin : a. DJJ > 160 x/ menit atau < 100x/ menit

(5)

Hipotesis

Pasien wanita hamil ganda letak sungsang usia kehamilan 32 minggu, mengalami preeclampsia. Pasien tidak pernah konsumsi suplemen besi dan vitamin serta tidak pernah melakukan antenatal care. Tekanan darah pasien meningkat mengakibatkan gagalnya fungsi ginjal sehingga terdapat proteinuria yang mengakibatkan terdapatnya udem pada pasien. Pasien juga mengalami perdarahan berwarna hitam dari OUI karena terdapat hematom desidua. Perdarahan dari OUI menyababkan hipoksia janin sehingga menyebabkan kondisi gawat janin.

(6)

Sasaran Belajar

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan. LO.2 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Antepartum. LO.3 Memahami dan Menjelaskan Gawat Janin.

(7)

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan.

Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Ben-zion, 1994). Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 % kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu (Prawihardjo, 2009).

Angka Kematian Ibu (AKI) Berdasarkan data resmi Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, terus mengalami penurunan. Pada tahun 2004 yaitu 270 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 yaitu 262 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2006 yaitu 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2010), walaupun sudah terjadi penurunan AKI di Indonesia, namun angka tersebut masih menempatkan Indonesia pada peringkat 12 dari 18 negara ASEAN dan SEARO (South East Asia Region, yaitu: Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maladewa, Myanmar, Nepal, Timor Leste, dan lain-lain).

Negara- negara didunia memberikan perhatian cukup besar terhadap AKI sehingga menempatkan kesehatan ibu diantara delapan tujuan yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai sebelum 2015, AKI di Indonesia harus mencapai 125 per 100.000 kelahiran hidup. Komitmen yang ditanda tangani 189 negara pada September 2000, pada prinsipnya bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Yustina, 2007).

Angka Kematian Ibu di Provinsi Sumatera Utara dalam 4 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 320 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2006 menjadi 315 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 menjadi 275 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 sebesar 260 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2009 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Propsu, 2009).

Angka Kematian Ibu di Kabupaten Langkat pada tahun 2010 yaitu 238 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia masih disebabkan oleh trias klasik (perdarahan, infeksi dan eklamsi), dan non medis (status gizi, faktor ekonomi, sosial budaya).

Salah satu kasus dari komplikasi kehamilan sebagai penyumbang AKI di Indonesia adalah hipertensi dalam kehamilan. Menurut Cunningham, dkk (1995) kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan sering ditemukan dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi, yang terus menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu di Amerika serikat. Menurut Bobak (2004), hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10% seluruh kehamilan.

(8)

Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh WHO yang dikutip oleh Khan dan rekan dalam Boestari (1998) bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia disebabkan karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya yaitu perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (1995) melaporkan bahwa hampir 16 % dari 3.201 kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.

Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%) adalah persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%). Kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.

Menurut Zweifel dalam Manuaba (2007) mengungkapkan bahwa cukup banyak teori tentang bagaimana hipertensi pada kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori yang dikemukakan yaitu teori genetik, teori immunologis, teori iskemia region uteroplasenter, teori kerusakan endotel pembuluh darah, teori radikal bebas, teori trombosit dan teori diet. Ditinjau dari teori yang telah disebutkan di atas, maka teori diet merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dikendalikan dengan melakukan upaya pencegahan oleh ibu hamil.

Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang. Konsumsi lemak yang berlebih, kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) sering dihubungkan pula dengan terjadinya ateroklerosis, antara vitamin C, vitamin E dan vitamin B6 yang meningkatkan kadar homosistein. Tingginya konsumsi vitamin D merupakan factor terjadinya asteroklerosis dimana terjadi deposit kalsium yang menyebabkan rusaknya jaringan elastis sel dinding pembuluh darah (Kurniawan, 2002).

Berbagai faktor defesiensi gizi juga diperkirakan berperan sebagai penyebab eklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan siap saji (snack), dan produk-produk makanan instan lain. Hasil penelitian Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor gizi memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya. John, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan bahwa diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan tekanan darah. Zhang, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan kejadian pre-eklampsia pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85 mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat.

Menurut.Blum dalam Notoatmojo (2007) bahwa status kesehatan individu/masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan herediter/keturunan. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa status kesehatan ibu hamil dapat dipengaruhi oleh perilaku ibu dalam memelihara/merawat kesehatan selama hamil. Dalam program perawatan kehamilan (antenatal care) terdapat beberapa perilaku sehat yang dianjurkan agar ibu hamil dan janin sehat selama kehamilan dan persalinan. Perilaku sehat

(9)

tersebut antara lain pemeriksaan kehamilan, kebiasaan makan, aktivitas fisik dan senam hamil. Kebiasaan makan ibu hamil sangat mempengaruhi kondisi fisik ibu maupun janinnya. Gizi yang baik membantu ibu mengurangi terjadinya kesulitan dalam kehamilan dan kelelahan yang biasanya akan menyebabkan ketegangan dan bertambahnya rasa sakit pada proses persalinan.

Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Manuaba, (2004), bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan antenatal care adalah gizi saat hamil yang dapat memperburuk kehamilan. Untuk mengetahui keterkaitan antara faktor gizi ibu hamil dengan kejadian komplikasi kehamilan seperti hipertensi pada kehamilan dapat dijelaskan oleh Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor nutrisi memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya.

Berdasarkan hasil penelitian Paramitasari (2005) dalam Rozikhan, (2007) tentang hubungan antara gaya hidup selama masa kehamilan dan kejadian pre-eklampsia diketahui bahwa pola makan sebagai salah satu bentuk dari gaya hidup yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian pre-eklampsia pada ibu hamil. Untuk itu, perlu disarankan pada ibu hamil agar memastikan pola makannya memenuhi kebutuhan gizi yang dianjurkan.

Faktor predisposisi lain yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia diantaranya adalah primigravida, obesitas, dan kenaikan berat badan yang berlebihan. Menurut Husaini (1992) kenaikan berat badan yang dianggap baik untuk orang Indonesia ialah 9 kg. Kenaikan berat badan ibu tidak sama, tetapi pada umumnya kenaikan berat badan tertinggi adalah pada umur kehamilan 16–20 minggu, dan kenaikan yang paling rendah pada 10 minggu pertama kehamilan.

Dalam penelitian Riestyawati (2004) menjelaskan tentang pengaruh jumlah kehamilan, pertambahan berat badan dan tingkat kecukupan gizi (protein,kalsium) terhadap kejadiaan preklampsia pada kehamilan yaitu ada pengaruh yang signifikan antara jumlah kehamilan dan pertambahan berat badan dengan kejadian pre-eklampsia. Dari uji hubungan asosiasi diperoleh hasil bahwa jumlah kehamilan dan pertambahan berat badan merupakan faktor risiko terhadap kejadian pre-eklampsia. Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan jantung, sehingga dapat menyumbangkan terjadinya pre-eklampsia (Rozikhan, 2007).

Salah satu penilaian status gizi secara langsung adalah antropometri (ukuran tubuh manusia). Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan erat dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan untuk pengukuran antropometri (selain lingkar lengan atas/LILA, tinggi badan/TB dan tebal lemak bawah kulit). Berat badan mengambarkan jumlah dari protein, lemak air dan mineral pada tubuh dan menjadi parameter yang baik untuk melihat perubahan massa tubuh akibat perubahan-perubahan konsumsi makanan dan perubahan-perubahan kesehatan (Supariasa, 2001). Berdasarkan hasil survei pendahuluan di RSU. Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 2010 diketahui bahwa dari 970 orang ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan di RS tersebut terdapat

(10)

107 orang ibu mengalami hipertensi yang ditandai dengan kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (11,0%), 7 orang ibu hamil (6,54%) diantaranya sudah terdiagnosa menderita pre-eklampsia dan 4 orang ibu hamil (3,73%) menderita eklampsia.

Klasifikasi

Menurut The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group, penyakit hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi empat grup yaitu (Lim, 2009) :

Hipertensi dalam kehamilan (Gestational hipertensi)

Gejala yang timbul adalah peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada awal kehamilan, tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu setelah kelahiran dan diagnosis bisa ditegakkan jika setelah pasien melahirkan.

Hipertensi Kronis

Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang terjadi sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu dan bukan merupakan penyebab dari penyakit tropoblastik kehamilan. Hipertensi yang terdiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap selama lebih dari 12 minggu setelah melahirkan termasuk dalam klasifikasi hipertensi kronis.

Preeklampsia atau Eklampsia

Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20 minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan disertai proteinuria (≥ 0,3 gram protein dalam spesimen urin 24 jam). Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang bukan merupakan dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan preeklampsia.

Superimposed Preeklampsia (dalam Hipertensi Kronis)

Proteinuria dengan onset yang cepat (>300 mg dalam urin 24 jam) dengan wanita hamil dengan hipertensi tetapi tidak terjadi proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu. Peningkatan tekanan darah atau proteinuria atau penurunan jumlah platelet hingga dibawah 100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu

Etiologi

HDK seringkali terjadi pada :

1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara ) 2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar

atau mola )

3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan. 4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi .

Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi : a. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina.

b. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal .

c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama kehamilan.

d. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ). e. Pengaruh genetik.

(11)

Perubahan Sistem dan Organ Pada Preeklampsi 1. Volume Plasma

Pada hamil normal volume plasma meningkat (disebut hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklamsia terjadi penurunan volume plasma antar 30% - 40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.

Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklampsia sangat peka terhadap kehilangan darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi cairan masuk ataupun keluar harus ketat.

2. Hipertensi

Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik, menggambarkan besaran curah jantung.

Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2- 4 minggu pasca persalinan. Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan viskositas darah.

3. F ungsi G injal

Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hypovolemia sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria.

2. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.

3. Terjadi Glomerular Capilarry Endotheliosis akibat sel endotel glomerular membengkak disertai deposit fibril.

4. Gagal ginjal akut terjadi akibat akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi ”nekrosis korteks ginjal” yang bersifat irreversibel.

5. Dapat terjadi kerusakan instrinsik jaringna ginjal akibat vasopasme pembuluh darah. Dpat diatasi dengna pemberian DOPAMIN agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal.

Proteinuria

Bila poteinuria timbul :

1. Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.

(12)

3. Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ³ 90 mmHg, umumnya ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg.

4. Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia, tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampaia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir lebih dulu.

5. Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik: 100 mg/l atau + 1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (b) pengumpulan poteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ³ 300 mg/ 24 jam.

Asam urat serum ( uric acid serum ) : umumnya meningkat ³ 5 mg/ cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. peningkatan asam urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.

Kreatinin

Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin plasma pada preeklampsia juga meningkat. hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. dapat mencapai kadar kreatinin plasma ³ 1 mg/cc, dan biasanya terjadi preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.

Oliguria dan anuria

Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urine menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hali ini berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia. Pemberian cairan intravena hanya karena oliguria tidak dibenarkan.

4. El e ktrolit

Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali jika diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik.

Preekalmpsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang klampsia kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam.

5. Tekanan osmotik koloid plasma/ tekanan onkotik

Osmolaritas serun dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.

(13)

6. Koagulasi dan fibrinolis

Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia, jarang yang berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP, penurunan antitrombin III, dan peningkatan fibronektin.

7. Viskositas darah

Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen dan hematrokit. Pada preeklampsia viskositas darah meningkat, mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.

8. Hematrokit

Pada hamil normal hematrokit menurun karena hipervolemia, kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada preeklampsia hematrokit meningkat karena hipovomlemia yang menggambarkan beratnya preeklampsia.

9. Edema

Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema yang terjadi pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.

10. Hematologi

Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik, akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematrokit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit < 100.000 sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.

11. Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia dan perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan.

12. Neurologik

Perubahan neurologik dapat berupa :

Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema. Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanoa jelas adanya kelainan dan ablasio retinae (retinal detachment). Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia. Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui dengan jelas. Faktor – faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.

(14)

13. Kardiovaskular

Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.

14. Paru

Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan menurunnya diuresis. Dalam menangani edema paru, oemasangan Central Venosus Preeure (CVP) tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari pulmonary capillary wedge pressure.

15. Janin

Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah Intrauterine growth restrcition (IUGR) dan oligohidramnion. Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnioan dan solusio plasenta. (Sarwono, 2010: 537-541)

Preeklampsia Definisi

Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel (Cunningham, 2005). Penyakit ini merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul akibat kehamilan yang biasanya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan tetapi dapat timbul juga sebelum triwulan ketiga seperti pada pasien mola hidatidosa (Wiknjosastro, 2006). Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsi dapat dibagi menjadi preeklampsi ringan dan berat. Pembagian preeklampsi ringan dan berat tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali penderita demgan preeklampsi ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma. (Sarwono, 2010:542).

Epidemiologi

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 6 % dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4 – 18 %. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75 % dan preeklampsia berat terjadi 25 %. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10 % kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal (Lim, 2009). Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida (Wiknjosastro, 2006). Faktor predisposisi lainnya adalah ras hitam, usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes (Pernoll, 1987). Etiologi

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat

(15)

menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, penyebab jarang timbul kembali preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknjosastro, 2006).

Patogenesis

Preeklampsia telah dijelaskan oleh Chelsey sebagai “disease of theories” karena penyebabnya tidak diketahui. Banyak teori yang menjelaskan patogenesis dari preeklampsia, diantaranya adalah (1) fenomena penyangkalan yaitu tidak adekuatnya produksi dari blok antibodi, (2) perfusi plasenta yang tidak adekuat menyebabkan keadaan bahaya bagi janin dan ibu, (3) perubahan reaktivitas vaskuler, (4) ketidakseimbangan antara prostasiklin dan tromboksan, (5) penurunan laju filtrasi glomerulus dengan retensi garam dan air, (6) penurunan volume intravaskular, (7) peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat, (8) penyebaran koagulasi intravaskular (Disseminated Intravascular Coagulation, DIC), (9) peregangan otot uterus (iskemia), (10) faktor-faktor makanan dan (11) faktor genetik. Dari teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, belum ada satupun yang dapat membuktikan proses patogenesis preeklampsia yang sebenarnya (Pernoll, 1987).

Faktor Resiko

 Primigravida

 Riwayat preeklampsi

 Riwayat preeklampsi pada keluarga

 Tekanan darah yang meningkat di awal kehamilan dan badan yang gemuk

 Adanya riwayat darah tinggi pada maternal

 Kehamilan ganda

 Diabetes pregestasional

 Sindroma antifosfolipid

 Usia maternal yang ekstrem <15 tahun atau >35 tahun Klasifikasi

Preeklampsi Ringan a. Definisi

Adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.

b. Kriteria diagnosa

 Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg < 160/110 mmHg. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam. Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.

 Proteinuria : proteinuria ≥300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1 + dipstik.

 Edema : edema lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik preeklampsia kecuali pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.

(16)

c. Penanganan

1. Rawat jalan (ambulatoir)

Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), Tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring.

Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendiriya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.

Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeclampsia, ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam.

Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan robonsia prenatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan refleks, kondisi janin, laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal.

2. Rawat inap (dirawat di rumah sakit)

Pada keadaan tertenTu ibu hamil dengan preeclampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria preeklampsia

ringan dirawat di rumah sakit, ialah (a) bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsi berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesej lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsi berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya unahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dan lain-lain.

3. Penanganan Obstetrik

 Kehamilan < 37 minggu: kehamilan dipertahankan sampai aterm

 Kehamilan > 37 minggu: jika serviks sudah matang, dilakukan amniotomi dan kemudian induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin, jika serviks belum matang, dilakukan pematangan dengan prostaglandin, atau sectio caesarea.

(17)

Preeklampsi Berat a. Definisi

Preeklampsi berat ialah preeklampsi dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmhg dan tekanan diastoik ≥110 mmhg disertai proteinuria lebih 5 g/24jam.

b. Kriteria diagnose

Preeklamsia disrtai salah satu atau lebih gejala dan tanda :

1. Tekanan darah ≥160/110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

2. Proteinuria : proteinuria ≥ 5 gram/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif. 3. Oliguria : produksi urine < 400 – 500cc/24 jam.

4. Kenaikan kadar kreatinin plasma. 5. Edema paru dan sianosis.

6. Nyeri epigastrum dan nyeri kuadran kanan atas abdomen : disebabkan teregangnya kapsula Gilsone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture hepar.

7. Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri kepala, skotomata, dan pandangan kabur.

8. Gangguan fungsi hepar : peningkatan SGOT dan SGPT 9. Hemolisis mikroangiopatik

10. Trombositopenia: < 100.000 sel/mm3

11. Sindroma HEELP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platele Count) c. Klasifikasi

1) Preeklampsi berat tanpa impending eclampsia 2) Preeklampsi berat dengan impending eclampsia

Dikatakan impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai dengan tanda dan gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, nyeri epigastrium, muntah-muntah, dan kenaikan progresif tekanan darah.

d. Penanganan

Terapi Medikamentosa:

· Penderita eklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring kesatu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan. Karena penderita eklamsia dan preeklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya dua keadaan tersebut belum jelas, tetapi factor yang sangat menetukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endosel. Penurunan gradient tekanan onkoik koloid/pulmonarycapilarry wedge pressure. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse)dan output (melalui urin) menjadi sangat penting.Artinya harus dilakuakan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukan dan dikeluarkan melalui urin .

· Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi cairan yang diberikan dapat berupa :

 5% Ringer Dextrose atau cairan garam yang faali jumlah tetesan :< 125 cc/jam atau

 Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam)500 cc. Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin.Oliguria terjadi bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau,500cc/24 jam.Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang ,dapat

(18)

menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup yaprotein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

· Pemberian obat anti kejang Obat anti kejang adalah: MgSO4

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk anti kejang : 1. Diasepam

2. Fenitoin

Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsy telah banyak dicoba pada penderita eklamsia.

Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 meniit setelah injeksi intravena. Fenitoinsodium diberikan dalam 15mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin dibeberapa senter didunia masih sedikit .

Pemberian Magnesium Sulfat sebagai antikejang lebih efektif disbanding fenitoin, berdasarkan cochranhe review terhadap enam uji klinik, yang melibatkan 897 penderita eklamsia. Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium (MgSO4).

Magnesium Sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsang serat saraaf dengan menghamat

transmisi neuromuscular. Transimisi neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian Magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium dan ion magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saa ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklamsia dan eklamsia. Banyak cara pemberian magnesium sulfat.

Cara pemberian :

Magnesium sulfat regimen

Loading dose :initial dose 4 gram MgSO4 :intravena (40% dalam 10 cc)selama 15 menit

Maintance dose: Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram i.m selanjutnya maintance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4-6 jam.

 Syarat-syarat Pemberian MgSO4

a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikais yaitu kalsium glukonas 10%= 1g (10% dalam 10 cc)diberikan iv 3 menit.

b. Reflek patella (+)

c. Frekwensi pernafasan >16x/menit, tidak ada tanda-tanda distress nafas.

 Magnesium sulfat dihentikan bila: 1. Ada tanda-tanda intoksikasi

2. Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir.

 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

1. Dosis Terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8-8,4 mg/dl 2. Hilangnya reflex tendon 10 m Eq/liter 12 mg/dl 3. Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter 18 mg/dl 4. Terhentinya Jantung >30 mEq/liter>36 mg/dl

 Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannnya menimbulkan efek flushes (rasa panas).

(19)

Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, paying jantung kongestif atau anasarka.

Diuretikum yang dipakai furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin dan menurunkan berat janin.

Pemberian antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberpa Negara tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Di RSU Dr,Soetomo Surabya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik >180 mmHg dan atau tekanan diastolic )110 mmHg

Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah yang drunkan mencapai < 160/105 atu MAP <125.jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Namun yang harus dihindari secara mutlak sebagai antihipertensi ialah pemberian diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat.

1. Antihipertensi Lini pertama a. Nifedipin

b. Dosis 10-20 mg per oral diulangi setelah 30 menit;maksimun 120 mg dalam 24 jam. 2. Antihipertensi lini kedua

a. Sodium nitroprusside 0,25μgi.v/kg/menit,infuse ditingkatkan 0,25μg i.v./kg/5 menit. b. Diazokside :30-60 mgi.v/5 menit atau i.v infuse 10 mg/menit dititrasi

Jenis obat antihipertensi yang diberikan diiinonesia adalah: 1. Nifedipin

- Dosis Awal :10-20 mg,diulangi 30 menit bila perlu.dosis maksimum 120 mg per 24 jam. - Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan peroral.

Edema paru

Pada eklamsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payanh jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapilar paru). Prognosis preeklamsia berat menjadi buruk bila disertai edema paru disertai oliguria.

Glukokortikoid

Pemberian glukokortikoid untuk pematanagn baru janin tidak merugikan ibu, di berikan pada kehamilan 32-34 minggu,2X 24 jan. Obat ini juga diberikan paa sindrom HELLP.

Sikap Terhadap Kehamilan · Perawatan Aktif (Agresif)

Sambil memberikan pengobatan, kehamilan diakhiri. Indikasi dilakukan perawatan aktif adalah:

1) Ibu

- Umur kehamilan ≥ 37 minggu

- Adanya tanda-tanda impending eklampsia - Kegagalan pada perawatan konservatif - Diduga terjadi solutio plasenta

(20)

- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan. 2) Janin

- Adanya tanda-tanda fetal distress

- Adanya tanda-tanda Intra Uterine Growth restriction (IUGR) - oligohidramnion 3) Laboratorik

Adanya tanda-tanda syndroma HELLP, menurunnya trombosit dengan cepat. · Perawatan Konservatif

Kehamilan ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda gejala impending eklampisa. Diberi terapi MgSO4.

· Penyulit Ibu

 Sistem saraf pusat (perdarahan intakranial, hopertensi ensepalopati, edema serebri, edema retina, kebutaan korteks).

 Gastrointestinal-hepatik (ruptur kapsul hepar, subskapular kematoma hepar).

 Ginjal (gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut)

 Hematologik, dll · Penyulit Janin

Terjadinya IUGR, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress nafas, kematian janin intrauterine, sepsis, cerebral palsy.

(Sarwono, 2010: 344-550) Komplikasi Preeklampsia

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran (Pernoll, 1987). Komplikasi yang sering terjadi pada preklampsia berat adalah (Wiknjosastro, 2006) :

1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita hipertensi akut. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5 % solusio plasenta terjadi pada pasien preeklampsia.

2. Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat, Zuspan (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia.

3. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan mekanisme ikterus tersebut. 4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal.

5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.

(21)

6. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati.

7. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.

8. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

9. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.

10. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh akibat kejang, pneumonia aspirasi dan DIC.

Pencegahan Preeklampsia

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.

Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan.

Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2006).

Pencegahan Umum

Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencagah terjadinya preeklampsia pada perumpuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeclampsia. Preeclampsia adalah suatu sindroma dari proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedical dan medikal.

Pencegahan dengan nonmedical

Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak memberikan obat.

Cara yang paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada mereka yang mempunyai resiko tinggi terjadinya preeclampsia meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan mencegah persalinan preterm. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeclampsia.

Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung (a) minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA, (b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, NAsetilsistein, asam lipoik, dan (c) elemen logam berat: zinc, magnesium, kalsium.

(22)

Pencegahan dengan medical

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada bukti yang kuat dan sahih. Pemberian diuretic tidak terbukti mencegah terjadinya pre-eklampsia bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preeclampsia.

Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya preeclampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah preeklampsia ialah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah rata-rata di bawah 100 mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga diberikan obat-obat antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik.

(Sarwono, 2010: 542) Eklampsi

Definisi

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsi, yang disertai kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya preeklampsia, eklampsia dapat timbul ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya terjadi 24 jam pasca persalinan. Pada penderita preeklamsia yang akan kejang,umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prondoma akan terjadinya. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclamsia. Patofisiologi

Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang karena penyakit lain. Oleh karena itu, diagnosa banding eklampsia menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak, hipertensi, lesi kronis, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi iatrogenik. Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsi.

Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik adalah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudia disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh saat ini dalam kondisi kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.

Kejang tonik ini segera disusul dengang kejang klonik. Kejang klonik dimulai dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan menutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermitten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar keluar dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka dan menutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-kandang disertai bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.

Pada saat kejang diafragma terfiksir sehingga pernafasan tertahan. Kejang klonik berlangsung selama 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah dan akhirnya berhenti serta

(23)

penderita jatuh dalam keadaan koma. Pada saat timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga suhu badan meningkat oleh karena gangguan srebral. Penderita mengalami inkontensia didertai dengan oliguri atau anuria dan kadang-kadang terjadi aspirasi bahan muntah. Koma yang terjadi setelah kejang berlangsung bervariasi, bila tidak segera diberi obat antikejang maka akan segera disusul episode kejang berikutnya.

Klasifikasi

Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang diikuti dengan koma. Pembagian Eklampsia berdasarkan waktu terjadinya:

1. Eklampsia gravidarum (kejadian 50%-60%, serangan terjadi dalam keadaan hamil).

2. Eklampsia parturientum (kejadian sekitar 30-35%, saat sedang in partu, batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat mulai in partu).

3. Eklampsia puerperium (kejadian jarang (10%), terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir).

Penanganan

Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia, dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang cepat dan dengan cara yang tepat.

Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia, merupakan perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa eklampsia adalah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan pada saat dan dengan cara yang cepat.

a. Pengobatan Medikamentosa 1. Obat antikejang

Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila dengan jenis obat inikejang masih sukar diatasi ,dapat dipakai obat jenis lain misalnya tiopetal. Diazepam dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obat- obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar- benar atas indikasi.

2. Magnesium sulfat (MgS04)

Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misalnya tindakan- tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru- paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis. Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sangat penting , misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus penderita, dan monitoring produksi urin.

3. Perawatan pada waktu kejang

Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah mencegah penderita mengalami trauma

(24)

akibat kejang- kejang tersebut. Dirawat dikamar isolasi cukup terang, tidak dikamar gelap, agar bila terjadi sianosis dapat segera diketahui. Penderita dibaringkan ditempat tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat. Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan coba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi, kepala direndahkan dan daerah orofaring diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak- hentak benda keras disekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor,guna menghindari fraktur. Bila penderita selesei kejang- kejang segera beri oksigen. 4. Perawatan koma

Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya reflex muntah. Bahaya besar yang mengancam penderita koma ialahterbuntunya jalan nafas atas. Setiap penderita ekslampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan nafas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.

Oleh karena itu, tindakan pertama- pertama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan nafas atas tetap terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan nafas atas oleh pangkal lidah

dan epiglotis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan nafas atas, ialah dengan manuver head titl-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi kebelakang atau head tilt- chain lift, yaitu kepala direndahkan dan dagu ditarik keatas , atau jaw- thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan keatas sambil mengangkat kepala kebelakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway.

Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebgai lambung penuh. Oleh karena itu semua benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus segera diisap secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.

Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan menggunakan glascow coma scale. Pada perawatan koma perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama , bila nutrisi tidak mungkin dapat diberikan melalui Naso Gastro Tube ( NGT ).

5. Perawatan edema paru

Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.

b. Pengobatan Obstetrik

Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dngan eklampsia harus diakhri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri bila sudh mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.

Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan nampak jelas setelah kehamilan diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir, perubahan

(25)

patofisiologikpun akan segera mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan selanjutnya, kecuali pada janin dengan ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.

(Sarwono, 2010: 550-554) Sindroma HELLP

Definisi

Adalah preeklampsia-eklampsia yang disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H : Hemolysis EL : Elevated Liver Enzym LP : Low Platelets Counts

Diagnosis

 Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip gejala infeksi virus).

 Adanya tanda dan gejala preeclampsia

 Tanda-tanda heolisis intravaskular (kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek.

 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatoit hepar (kenaikan ALT, AST, LDH)

 Trombositopenia (trombosit ≤ 150.000/ml)

 Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada daerah kuadran atas abdomen, tanpa memandang ada tidaknya gejala preeclampsia harus dipertimbangkan syndroma HELLP.

Klasifikasi Menurut Klasifikasi Mississippi

Berasarkan kadar trombosit darah, maka syndroma HELLP diklasifikasikan dengan nama “klasifikasi Mississippi”.

 Klas 1 : kadar trombosit ≤50.000/ml LDH ≥ 600 IU/l , AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

 Klas 2 : kadar trombosi >50.000 ≤100.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

 Klas 3 : kadar trombosit >100.000 ≤150.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

Diagnosa Banding Pre-eklampsia-Syndrma HELLP

 Trombotik angiopatik

 Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya 1. Acute fatty liver of pregnancy

2. Hipovolemia berat/perdarahan berat 3. sepsis

 Kelainan jaringan ikat: SLE

(26)

Pengobatan

a. Terapi Medikamentosa

Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan melakukan monitoring trombosit setiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml atau danya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.

Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double strength dexamethasone (double dose). Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000- 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan dexametason 10mg i.v. tiap 12 jam. Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi dexametason dihentikan bila terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala klonik preklamsia-eklampisa. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.

b. Sikap Pengelolaan Obstetrik

Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.

(Sarwono, 2010, 554-556)

LO.2 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Antepartum. Definisi

Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 minggu. Karena perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan di atas 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.

Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ketiga, akan tetapi tidak jarang juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan.

Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Hal ini disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta biasanya lebih banyak, sehingga dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.

Klasifikasi

(27)

tidak terlalu sukar untuk menentukannya adalah plasenta previa dan solusio plasenta. Oleh karena itu, klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut :

1. Plasenta Previa

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum).

Klasifikasi plasenta previa dibuat atas dasar hubungannya dengan ostium uteri internum pada waktu diadakan pemeriksaan. Dalam hal ini dikenal empat macam plasenta previa, yaitu :

a) Plasenta previa totalis, apabila seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum) tertutup oleh plasenta.

b) Plasenta previa lateralis, apabila hanya sebagian dari jalan lahir (ostium uteri internum) tertutup oleh plasenta.

c) Plasenta previa marginalis, apabila tepi plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal).

d) Plasenta letak rendah, apabila plasenta mengadakan implantasi pada segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm di atas pinggir pembukaan sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir.

Penentuan macamnya plasenta previa tergantung pada besarnya pembukaan jalan lahir. Misalnya plasenta previa marginalis pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta previa lateralis pada pembukaan 5 cm. Begitu juga plasenta previa totalis pada pembukaan 3 cm dapat menjadi lateralis pada pembukaan 6 cm. Maka penentuan macamnya plasenta previa harus disertai dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan, misalnya plasenta previa lateralis pada pembukaan 5 cm.

2. Solusio Plasenta

Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae, accidental haemorrhage dan premature separation of the normally implanted placenta.

Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir.

Berdasarkan gejala klinik dan luasnya plasenta yang lepas, maka solusio plasenta dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu :

a. Solusio plasenta ringan

Luas plasenta yang terlepas kurang dari 1/4 bagian, perut ibu masih lemas dan bagian janin mudah teraba, janin masih hidup, tanda persalinan belum ada, jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250 ml, terjadi perdarahan pervaginam berwarna kehitam-hitaman.

b. Solusio plasenta sedang

Luas plasenta yang terlepas lebih dari 1/4 bagian tetapi belum sampai 2/3 bagian, perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit diraba, jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tapi belum mencapai 1000 ml, ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, janin

(28)

dalam keadaan gawat, tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.

c. Solusio plasenta berat

Luas plasenta yang terlepas telah mencapai 2/3 bagian atau lebih, uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri, serta bagian janin sulit diraba, ibu telah jatuh ke dalam syok dan janin telah meninggal, jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000 ml lebih, terjadi gangguan pembekuan darah dan kelainan ginjal. Pada dasarnya disebabkan oleh hipovolemi dan penyempitan pembuluh darah ginjal.

3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya

Perdarahan anterpartum yang belum jelas sumbernya terdiri dari : a. Pecahnya sinus marginalis

Sinus marginalis adalah tempat penampungan sementara darah retroplasenter. Perdarahan ini terjadi menjelang persalinan, jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak membahayakan janin dan ibunya, karena persalinan akan segera berlangsung. Perdarahan ini sulit diduga asalnya dan baru diketahui setelah plasenta lahir. Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa sakit dan menjelang pembukaan lengkap yang perlu dipikirkan kemungkinan perdarahan karena sinus marginalis pecah.

b. Pecahnya vasa previa

Perdarahan yang terjadi segera setelah ketuban pecah, karena pecahnya pembuluh darah yang berasal dari insersio vilamentosa (keadaan tali pusat berinsersi dalam ketuban).

Epidemiologi

1. Distribusi Frekuensi

Perdarahan antepartum terjadi kira-kira 3% dari semua persalinan, yang terdiri dari plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.

Seperti yang dikutip oleh D.Anurogo, Insidence Rate (IR) plasenta previa di Amerika Serikat terjadi pada 0,3-0,5% dari semua kelahiran. Menurut FG Cuningham di Amerika Serikat (1994) ditemukan IR perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa 0,3% atau 1 dari setiap 260 persalinan.

Di Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan (IR 0,5%). Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi plasenta previa 82,9% atau 92 kasus dari 111 perdarahan antepartum. Di RS Santa Elisabeth Medan (1999-2003), ME Simbolon menemukan 90 kasus plasenta previa dari 116 kasus perdarahan antepartum (proporsi 77,6%) dengan kematian perinatal 4,4%.

Perdarahan antepartum yang diakibatkan solusio plasenta di Indonesia terjadi kira-kira 1 diantara 50 persalinan (IR 2%). Menurut penelitian Gunawan di RSU Padang (1997) dalam FR Bangun ditemukan proporsi solusio plasenta 0,48% atau 1 diantara 210 persalinan. Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi solusio plasenta 5,4% atau 6 kasus dari 111 perdarahan antepartum.

(29)

2. Faktor Determinan a. Umur

Umur yang lebih tua dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan antepartum. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Wanita pada umur kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan antepartum karena alat reproduksi belum sempurna atau matang untuk hamil. Selain itu, kematangan fisik, mental dan fungsi sosial dari calon ibu yang belum cukup menimbulkan keragu- raguan jaminan bagi keselamatan kehamilan yang dialaminya serta perawatan bagi anak yang dilahirkannya. Sedangkan umur di atas 35 tahun merupakan faktor yang dapat meningkatkan kejadian perdarahan antepartum karena proses menjadi tua dari jaringan alat reproduksi dari jalan lahir, cenderung berakibat buruk pada proses kehamilan dan persalinannya.

Perdarahan antepartum lebih banyak pada usia di atas 35 tahun. Wanita yang berumur 35 tahun atau lebih mempunyai resiko besar untuk terkena dibandingkan dengan wanita yang lebih muda.

Di RS Sanglah Denpasar Bali (2001-2002) ditemukan bahwa resiko plasenta previa pada wanita dengan umur ≥35 tahun 2 kali lebih besar dibandingkan dengan umur <35 tahun. Peningkatan umur ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat.

b. Pendidikan

Ibu yang mempunyai pendidikan relatif tinggi, cenderung memperhatikan kesehatannya dibandingkan ibu yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan pendidikan yang tinggi, diharapkan ibu mempunyai pengetahuan dan mempunyai kesadaran mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur

c. Paritas

Paritas dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu :

1) nullipara, yaitu golongan ibu yang belum pernah melahirkan. 2) primipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan 1 kali. 3) multipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan 2-4 kali. 4) grandemultipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan ≥5 kali.

Frekuensi perdarahan antepartum meningkat dengan bertambahnya paritas. Perdarahan antepartum lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi. Wanita dengan paritas persalinan empat atau lebih mempunyai resiko besar untuk terkena dibandingkan dengan paritas yang lebih rendah.

Pada paritas yang tinggi kejadian perdarahan antepartum semakin besar karena endometrium belum sempat sembuh terutama jika jarak antara kehamilan pendek. Selain itu kemunduran

Gambar

Gambar 1. Kardiotokograf 9
Gambar 4. Gambaran denyut jantung janin yang diukur dengan elektroda yang ditempatkan di kulit kepala janin, dan dicatat pada kecepatan kertas 1 cm/ menit dan 3 cm/ menit
Gambar 5. Gambaran skematik pemantauan internal dimana elektroda bipolar terpasang pada kulit kepala janin, untuk mendeteksi kompleks QRS ( F), juga menunjukkan denyut jantung ibu ( M) 8
Gambar 7. Hasil yang menunjukkan adanya bradikardi: 10
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Sabrina Fitriana menggunakan teori dari Sigmund Freud yang ditinjau dari id, ego dan superego, sedangkan dalam penelitian ini penulis tertarik

Lawei he zheng adalah salah satu hidangan tradisional Hunan, merupakan gabungan antara daging babi, ayam, dan ikan yang telah diasap ditambah dengan kaldu ayam dan bumbu... lainnya

bahwa berdasarkan BAB VIII Pasal 103 Perda Nomor 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Angkutan Jalan di Wilayah Kota Tasikmalaya telah diatur ketentuan mengenai

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Sehingga interpretant yang didapat menunjukan adanya keinginan produk untuk mendomiansi sesuatu (pasar) terutama tanda indeks yang berupa konstruksi latar belakang yang

Masalah sampah ini pada saat sampah tersebut sedikit terkadang seolah tidak tampak memiliki masalah, tetapi pada saat sampah tersebut bervolume sangat banyak maka masalah

C3 PG 4 3.10.2 Memilih kalimat saran terhadap permasalahan sederhana Disajikan teks, peserta didik menentukan hak anak sebagai anggota keluarga di rumah dengan

Pengaruh tingkat kantuk terhadap kecepatan reaksi masinis junior sebelum dan sesudah dinasan memiliki pola hubungan positif, tetapi hubungan korelasi yang kecil