• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Lagi Dikenal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Lagi Dikenal"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Lagi Dikenal

Candra Jap

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada segenap keluarga besar Siauw Giok Tjhan, segenap panitia acara 100 tahun Siauw Giok Tjhan serta para alumni Universitas Res Publica (Ureca) yang telah memberikan kesempatan untuk menuliskan pandangan saya sebagai anak muda tentang Siauw Giok Tjhan. Sungguh sebuah kehormatan yang tidak terkira.

Semua bermula pada awal April 2014 lalu, beberapa hari setelah Pengurus Pusat GEMA INTI (Generasi Muda Indonesia Tionghoa) menyelenggarakan Diskusi Terbuka 100 Tahun Siauw Giok Tjhan di Sekretariat Perhimpunan INTI, Jakarta. Pak Tan Swie Ling menghubungi saya melalui telpon, beliau menjelaskan saat ini ia dengan beberapa teman sedang menyiapkan materi untuk menerbitkan buku 100 Tahun Siauw Giok Tjhan. Dan saya sebagai anak muda diminta untuk ikut membuat tulisan juga tentang Siauw.

Waktu itu saya langsung mengiyakan saja, karena sungkan dan tidak berani menolak permohonan beliau. Pertanyaan saya kepadanya waktu itu hanya satu, “Kapan deadline-nya, pak?”. Padahal dalam hati, saya agak bingung karena jujur saja saya sendiri masih terbata-bata mengenal sosok Siauw. Siauw yang saya kenal hanya melalui tulisan dan cerita yang dikisahkan oleh para alumni Ureca yang kebetulan banyak bersentuhan langsung di Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi, di mana saya menjadi salah satu pengurus aktifnya. Akhirnya saya memutuskan tulisan yang nanti akan saya buat adalah sebuah tulisan mengenai pandangan anak muda masa kini tentang Siauw Giok Tjhan. Tidak akan terlalu banyak membahas tentang sisi historis ketokohan dan perjuangannya, karena saya sendiri tidak mengenal dan berinteraksi dengan pribadinya langsung. Apalagi tentang perjuangan dan pergerakan politiknya, saya rasa para sejarawan akan lebih paham dan detil dalam menuliskannya. Layaknya menulis sebuah tulisan tentang seorang tokoh, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat sebuah survey kecil tentang Siauw. Ini saya lakukan salah satunya juga karena saya dihinggapi rasa kekuatiran. Kalau-kalau tulisan yang nanti saya buat akan menjadi tidak objektif, karena saya dekat

(2)

sekali dengan beberapa pengikut Siauw yang menjadi pengurus di Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi. Semua cerita yang saya dengar tentang Siauw selalu tentang kisah kehebatannya khususnya cerita heroiknya dalam mendirikan Ureca.

Tetapi pada perjalanannya, kekuatiran tersebut berubah menjadi sebuah rasa miris yang bahkan boleh dibilang sebagai ironi yang menyedihkan. Siauw Giok Tjhan, pendiri Baperki dan Universitas Res Publica (Ureca). Seorang tokoh besar di masa lalu yang memberikan warisan pemikiran tentang kebangsaan untuk Indonesia dan etnis Tionghoa khususnya. Namanya sekarang menjadi sangat asing di telinga anak-anak muda Indonesia, sedikit sekali yang mengetahui bahkan mengingat tentang ketokohan dan perjuangan besarnya di masa lalu. Ini berdasarkan hasil survey yang saya lakukan ke beberapa anak muda. Dari 30 orang yang ditanya, hanya 2 orang yang tahu siapa itu Siauw Giok Tjhan. Emang dia siapa, begitu jawab mereka rata-rata yang tidak mengenalnya. Sempat juga di Facebook saya meng-update status bertuliskan, “Siauw Giok Tjhan?”. Seorang teman kecil dari SD lalu malah menuliskan komentar, “Itu nama Tionghoa lu ya, Can?”. Ia berpikiran seperti itu karena ada kata Tjhan di belakangnya, yang ia pikir dari nama saya Candra.

Rezim Orde Baru tampaknya berhasil betul merobek kisah Siauw dari lembaran catatan perjalanan bangsa Indonesia. Siauw seperti terhapus dalam ingatan sejarah bangsa ini. Walau ada banyak buku dan literatur yang menuliskan kisahnya, tapi keinginan anak-anak muda untuk mencari tahu lebih dalam nyalanya redup saja seperti lampu tempel yang kurang minyak.

Theresia Stefanus salah seorang pengurus GEMA INTI ketika diajak berbicara mengenai sosok Siauw yang tidak dikenal oleh generasi sekarang, malah terus terang berkata ya memang tidak ada yang tahu. Kalau bukan anak sejarah atau kuliah di jurusan politik, sepertinya tidak ada yang tahu siapa Siauw kecuali mereka yang aktivis atau melek dan sadar politik. Ia berkaca pada dirinya sendiri sebagai seorang gadis Tionghoa lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2009, ia sendiri baru mendengar tentang Siauw Giok Tjhan karena bergabung dengan GEMA INTI tahun lalu.

Saya sendiri jika 5 tahun ke belakang ditanya siapa itu Siauw Giok Tjhan, sudah pasti akan geleng kepala dan menjawab tidak tahu. Sebagai anak muda Tionghoa yang kala itu masih berusia 26 tahun dan sedang mencari sosok pahlawan Indonesia dari etnis Tionghoa yang bisa dibanggakan. Saya lebih

(3)

mengenal sosok Soe Hok Gie dengan segala kisah catatan demonstrannya, ditambah karena menonton film Gie karya Riri Riza dan Mira Lesmana pada tahun 2005.

Bagi saya saat itu, sosok Soe Hok Gie luar biasa sekali. Kiprahnya sebagai anak muda Tionghoa aktif dalam dunia pergerakan dan ikut aksi turun ke jalan menumbangkan ‘penguasa’ saat itu, berhasil menyulut rasa nasionalisme saya menjadi bangkit dan bergemuruh berkembali setelah luntur dan kusam akibat peristiwa Tragedi Mei 98. Rasanya jadi berani bertepuk dada, bangga sebagai anak muda Tionghoa karena menemukan bukti kalau etnis Tionghoa juga punya tokoh yang berperanan dan ikut andil dalam sejarah Indonesia.

Ternyata, belakangan baru saya tahu ada cerita di balik cerita dari kisah Soe Hok Gie kala itu. Bagaimana Soe Hok Gie dan kakaknya Arief Budiman yang berbeda pandangan dengan Siauw Giok Tjhan tentang masalah politik etnis Tionghoa di Indonesia. Siauw dengan Baperkinya mengusung paham Integrasi, sedangkan Gie dan Arief bersama LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) mengusung paham Asimiliasi.

Membaca tulisan Arief Budiman yang berjudul “Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Saya Kenal”, dari sana saya mengetahui secara singkat. Kubu Integrasi yang dekat dengan Bung Karno memperjuangkan keanekaragaman budaya atau “multikulturalisme”. Meminta supaya orang Tionghoa diakui sebagai salah satu suku di Indonesia, seperti layaknya suku Jawa, Batak, Minang, dan sebagainya. Budaya Tionghoa juga patut dikembangkan seperti halnya kebudayaan suku lain. Semua kebudayaan ini seharusnya dianggap sebagai kekayaan budaya Indonesia yang berdasarkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Sedangkan kubu Asimilasi yang dekat dengan Militer kala itu berbeda pandangan. Bagi mereka, orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak bisa disamakan sebagai salah satu suku, karena bukan berasal dari salah satu daerah yang ada di Indonesia tapi dari daratan Tiongkok. Kubu Asimilasi kuatir, kalau budaya dan identitas Tionghoa ini dikembangkan, akan terjadi loyalitas ganda dalam sikap kebangsaan orang-orang Tionghoa ini. Kepada yang mana mereka harus lebih setia, Tiongkok atau Indonesia? Karena itu, kubu Asimilasi menginginkan supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Perkawinan campur antara orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi dianjurkan sebagai salah satu usaha peleburan total, badaniah dan rohaniah.

(4)

Sejarah mencatat akhirnya aksi turun ke jalan Soe Hok Gie bersama mahasiswa dan dibantu Militer kala itu berhasil menurunkan Soekarno dan menaikkan Soeharto sebagai presiden RI kedua. Hal tersebut ternyata memakan banyak korban khususnya orang-orang Tionghoa termasuk Siauw dan kelompok Integrasi yang dianggap dekat dengan Bung Karno.

Arief menuliskan Militer yang berkuasa saat itu segera melakukan pembunuhan masal terhadap orang-orang yang dituduh PKI, dan memasukkan mereka ke penjara. Dalam hal kebijakannya, pemerintah militer Orde Baru di bawah Jendral Suharto melakukan tindakan ekstrim. Polemik intelektual antara Baperki dan LPKB tentang posisi warga Tionghoa, akhirnya diputuskan sepihak dan dijalankan paksa dengan bantuan kekuasaan negara.

Doktrin Asimilasi bukan saja diterapkan, tapi dilaksanakan secara sangat ekstrim. Pertama, nama orang Tionghoa dianjurkan diganti menjadi nama Indonesia. Kedua, secara resmi istilah Tionghoa diganti menjadi Cina, sebuah istilah yang dianggap menghina untuk orang Tionghoa saat itu. Lalu ketiga, segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa dilarang, seperti penggunaan huruf Kanji, perayaan tradisional seperti Tahun Baru Imlek, pertunjukan barongsai dan naga, dan sebagainya. Cuma kawin paksa saja yang tidak dilakukan.

Seiring perjalanan waktu menyaksikan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Suharto terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia, Arief mengakui Asimilasi merupakan sebuah doktrin yang salah. Salah satu hal yang menyadarkannya adalah pengalaman ketika belajar di Amerika Serikat selama 8 tahun, yakni dari tahun 1973 sampai 1981. Di sana ia melihat bahwa orang-orang Hitam memperjuangkan identitas budayanya tanpa mengurangi sikap nasionalis mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang Amerika. Dengan semboyan “Black is Beautiful,” mereka mempopulerkan kebudayaan Afro-Amerika, dan yang pada akhirnya ikut memperkaya kebudayaan Amerika.

Pengalaman di Amerika itu membuat Arief sadar bahwa mempertahankan kebudayaan etnis tetap bisa dilakukan, tanpa menjadi kurang nasionalis. Nasionalisme dan etnisitas bukanlah dua hal yang saling meniadakan, tapi mereka bisa saling berinteraksi dan saling memperkaya. Doktrin ini dikenal dengan nama “multikulturalisme”, yang sedari dulu diperjuangkan oleh Baperki dan Siauw Giok Tjhan. Doktrin yang dulu sangat ditentang olehnya.

(5)

Membaca tulisan Arief Budiman tentang Siauw, saya jadi teringat sebuah kalimat sederhana “Pengakuan terbaik datang dari seorang musuh atau lawan”. Seseorang dianggap sebagai pemenang sejati ketika lawan yang sebelumnya menyerang habis-habisan akhirnya mengakui kekalahannya secara legawa. Melalui tulisannya, Arief secara tulus mengakui bahwa doktrin Integrasi yang diusung oleh Baperki dan Siauw adalah paham politik yang paling tepat untuk orang Tionghoa di Indonesia.

Bagi saya pribadi, Siauw Giok Tjhan sosok yang hebat. Walaupun terlahir sebagai minoritas, Siauw telah meresapi dan memaknai secara utuh tentang kebangsaan Indonesia dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perjuangan dan warisan pemikirannya tentang nasionalisme dan integrasi atau multikulturalisme sudah pantas untuk membuatnya sebagai seorang tokoh bangsa, setidaknya ia telah menempatkan pondasi awal tentang penyelesaian masalah politik keberadaan orang Tionghoa di Indonesia.

Tetapi saat ini harus diakui juga bahwa ketokohan Siauw sulit untuk dikenal atau dicintai oleh anak-anak muda zaman sekarang. Kisah hidupnya tidak seheroik dan sedramatis Soe Hok Gie yang turun ke jalan dan mati muda di Gunung Semeru. Kesederhanaan, keteguhan, kerendahan hati, serta kepintarannya dalam bernegosiasi hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang memang dekat dan bersentuhan langsung dengan dirinya.

Sebagai anak muda yang besar di masa Orde Baru, saya sendiri sempat menjadi bagian dari anak-anak muda yang tidak mengenalinya sebagai tokoh besar. Tetapi saya ingin bercerita sedikit mengenai sebuah kisah yang mudah-mudahan bisa membesarkan hati Siauw bahwa ia tetap ada dan tidak dilupakan oleh generasi sekarang.

Pada akhir tahun 2011 lalu, salah seorang pendiri Perhimpunan INTI Benny G. Setiono dan Wakil Sekjen Perhimpunan INTI Ulung Rusman meminta saya, Hardy Stefanus dan Jandi Mukianto untuk menghidupkan kembali GEMA INTI yang sudah mati suri beberapa tahun. Tantangan pertama yang kami hadapi saat itu adalah bagaimana membuat sebuah kalimat sederhana yang bisa menjelaskan visi misi INTI secara menarik ke anak-anak muda agar mereka mau ikut bergabung. Bukan perkara mudah mensarikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan INTI yang tebal dan baku menjadi sebuah kalimat sederhana yang menarik untuk anak muda.

(6)

Setelah sekian lama mencari, jawaban itu akhirnya datang saat bulan Mei 2012 lalu. Ketika dilangsungkannya Reuni ke-7 Alumni Ureca di Hotel Seruni 3, Cisarua, Jawa Barat. Waktu itu kebetulan saya diminta ikut membantu menjadi salah satu panitia. Saya yang datang dengan niat hanya ingin membantu para orang tua bereuni, tanpa memiliki pengetahuan tentang Ureca dan Siauw Giok Tjhan yang mendalam, ketika itu seperti mendapat pencerahan dari langit. Siauw Tiong Djin, salah seorang putra Siauw Giok Tjhan malam itu memberikan kata sambutan yang cukup panjang. Saya mendengarkan sambil sepintas lalu karena kesibukan dipanggil ke sana kemari membantu para panitia dan peserta reuni. Tetapi saat Tiong Djin berbicara di bagian Siauw Giok Tjhan dengan Baperki-nya, saya kebetulan berdiri di depan dan bisa mendengarkan secara jelas. “Jadi tujuan Siauw Giok Tjhan mendirikan Baperki saat itulah adalah untuk memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia”, begitu ucap Siauw Tiong Djin malam itu.

Sepotong kalimat buah pemikiran Siauw Giok Tjhan itu langsung tertanam kuat di otak saya. Inilah jawaban yang kami cari selama ini, memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ketika saya menceritakan hal ini kepada Hardy, ia juga langsung menyukai kalimat tersebut.

Sejak saat itu ditetapkan visi misi GEMA INTI secara garis besar adalah memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Dengan kalimat sederhana tersebut, sampai hari ini GEMA INTI terus berkembang dan menjadi semakin besar. Banyak anak muda yang tertarik bergabung karena merasa cocok dengan kalimat berkonsep multikulturalisme itu.

Tetapi pada prakteknya di lapangan memang tidak semudah itu untuk meyakinkan anak-anak muda khususnya Tionghoa agar mau bergabung dengan GEMA INTI. Jangankan mengajak untuk memberi penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, mendengar kata organisasi saja mereka sudah malas duluan. Takut, karena dianggap berbau politik. “Ngapain sih ngurusin begituan, mendingan cari duit ajalah” begitu jawaban dari mereka yang kebanyakan lahir pada tahun 80-an.

Sangat wajar rasanya jika melihat mereka jadi apatis seperti itu, generasi yang lahir tahun 80-an memang ikut mengalami langsung peristiwa Tragedi Mei 1998. Usia yang kala itu baru beranjak remaja dipaksa melihat dan menerima

(7)

kenyataan bahwa terlahir sebagai etnis Tionghoa ketika itu adalah sebuah dosa yang tidak terampuni. Orang Tionghoa pantas dijarah, dipukuli, diperkosa, dan dibantai ketika itu. Negara tidak hadir untuk memberikan jaminan rasa keamanan kepada mereka sebagai warga negaranya saat itu, jadi sekarang buat apa mereka peduli dengan negara ini.

Wah pantas saja GEMA INTI mati suri, pikir saya saat itu. Warisan pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme sekarang ini tidak bisa diterapkan bulat-bulat begitu saja. Harus mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan dan kondisi zaman saat ini. Tantangan yang dihadapi sudah berbeda dulu dengan sekarang.

Kalimat visi misi GEMA INTI warisan Siauw, memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian Indonesia, akhirnya kami modifikasi sedikit. Atau diberi tambahan tepatnya, menjadi memberikan penyadaran kepada semua orang baik Tionghoa maupun non Tionghoa bahwa Tionghoa adalah bagian Indonesia.

Awalnya kami beranggapan yang perlu diberi penyadaran hanyalah orang-orang non Tionghoa, karena banyaknya penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru tentang orang Tionghoa yang perlu diluruskan. Orde Baru menghapus banyak sekali catatan sejarah peranan dan sumbangsih orang Tionghoa dalam ikut mendirikan dan membangun Republik ini sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebab itu kami beranggapan bahwa hal pertama yang harus GEMA INTI lakukan adalah memberikan penyadaran kepada orang-orang non-Tionghoa bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ternyata, kami salah.

Pekerjaan rumah terbesar dan terberat yang pertama kali harus dilakukan GEMA INTI adalah memberikan penyadaran terlebih dahulu kepada orang-orang Tionghoa bahwa mereka juga adalah bagian dari Indonesia. Bahwa banyak tokoh Tionghoa ikut andil dan berperanan dalam mendirikan Republik ini. Rezim Pemerintah Orde Baru yang telah dengan sengaja menghapusnya dari catatan sejarah bangsa ini, bahkan melakukan diskriminasi terhadap orang Tionghoa dengan berbagai kebijakannya (discrimination by state).

Orang-orang Tionghoa juga perlu diberikan penyadaran bahwa diskriminasi terhadap orang Tionghoa sebenarnya sudah dilakukan oleh penjajah Belanda sejak zaman pra-kemerdekaan dengan politik segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa). Pemerintah kolonial Belanda saat itu membagi

(8)

warga negara di Hindia Belanda ke dalam 3 tingkat yaitu orang Eropa; Timur Asing yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lainnya; dan kaum bumiputera atau pribumi. Orang Eropa berada di puncak hierarki tertinggi sebagai warga negara kelas 1. Sementara orang-orang Timur Asing termasuk Tionghoa berada di kelas 2. Sengaja diposisikan berhadapan langsung dengan kaum bumiputera yang berada di bawahnya, jika terjadi kebijakan Belanda yang memberatkan. Siasat Belanda yang memposisikan orang Tionghoa sebagai bemper untuk yang berhadapan langsung dengan kaum bumiputera itulah yang akhirnya menimbulkan kebencian terhadap orang Tionghoa di dalam masyarakat (discrimination by society).

Perihal mengenai discrimination by state dan discrimination by society inilah yang perlu dan harus diketahui anak-anak muda Tionghoa saat ini. Mereka harus sadar bahwa diskriminasi yang terjadi selama ini terhadap etnis Tionghoa ada asal mulanya. Jika mereka sudah memahami tentang hal tersebut, akan lebih mudah nantinya bagi mereka untuk memaknai pemikiran Siauw tentang konsep nasionalisme dan multikulturalisme.

Saya sendiri mendapat pemahaman tentang kedua hal tersebut dari Benny G. Setiono salah seorang pendiri Perhimpunan INTI yang juga alumni Ureca. Kerapkali berdiskusi dan mendampinginya sebagai pembicara tentang masalah Tionghoa ke berbagai daerah membuat saya sedikit banyak jadi paham tentang permasalahan politik etnis Tionghoa di Indonesia. Harus diakui bahwa ia memang salah seorang yang memaknai secara utuh pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme.

Selain dengan Benny G. Setiono, pengalaman lain yang berkesan ketika berdiskusi tentang nasionalisme dan multikulturalisme adalah dengan Budi Krisnawan Suhargo (salah seorang tokoh Tionghoa pengurus Perhimpunan INTI) dan tokoh politisi muda PDI-P Maruarar Sirait. Waktu itu di Villa Hutan Jati (proyek social-entrepreneurship berkonsep lingkungan hidup milik Budi di Parungpanjang Bogor), Maruarar Sirait bertanya kepada saya, “Candra, kamu sebagai anak muda Tionghoa apakah merasa terdiskriminasi selama ini hidup di Indonesia? Kalau iya, apa kamu mau nanti 20 tahun yang akan datang anak cucu kamu akan didiskriminasi juga?” Mendapat pertanyaan seperti itu, saya hanya terdiam tidak tahu harus berkata apa, pertanyaannya terasa sangat menohok. Melihat saya yang terdiam, ia pun melanjutkan perkataannya, “Kalau kamu tidak mau itu terjadi, mari kita berjuang bersama-sama agar Pancasila dan nasionalisme selalu menjadi yang terdepan di negeri ini.”

(9)

Mendengar Pancasila dan nasionalisme untuk menghapuskan diskriminasi, saya lalu bergumam di dalam hati lagi-lagi konsep pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme. Tetapi saya langsung tersadar ini bukan hanya pemikiran Siauw, namun ini pemikiran para founding fathers Indonesia di mana Siauw memang ikut terlibat langsung dalam merumuskannya. Siauw telah secara utuh memaknai, menjalankan, dan memperjuangkan anti-diskriminasi khususnya terhadap etnis Tionghoa dengan paham nasionalisme dan multikulturalisme.

Terinspirasi dengan pertanyaan menohok dari Maruarar Sirait tadi, akhirnya pertanyaan tersebut selalu menjadi kalimat pembuka saya ketika ingin menjelaskan tentang GEMA INTI ke anak-anak muda khususnya Tionghoa. “Kalian sebagai anak muda Tionghoa, apakah merasa terdiskriminasi selama ini hidup di Indonesia? Kalau iya, apa kalian mau nanti 20 tahun yang akan datang, anak cucu kalian akan didiskriminasi juga?”. Setelah itu perkataan saya selanjutnya baru sepotong kalimat sakti dari Siauw. “Kalau kalian tidak mau hal itu terjadi, mari kita bersama-sama berjuang melalui GEMA INTI memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia.”

Kebanyakan anak-anak muda setelah mendengar penjelasan seperti ini biasanya akan tertarik bergabung dengan GEMA INTI. Jauh di dalam lubuk hatinya mereka masih mempunyai kerinduan dan kecintaan terhadap Indonesia, mereka ikut bangga jika Indonesia berjaya di dunia internasional. Tapi di sisi lain mereka juga sangat bangga dengan ke-Tionghoa-annya. “Saya Tionghoa, saya juga Indonesia. Sebagai anak muda Tionghoa, saya juga ingin berbuat sesuatu untuk negara ini tapi tidak tahu harus ke mana dan bagaimana”, begitu biasanya jawaban dari mereka.

Saya, Hardy, Jandi dan beberapa pengurus GEMA INTI yang besar di kawasan Pecinan Jakarta juga mempunyai perasaan yang sama seperti mereka. Walau rezim Orde Baru dengan berbagai kebijakan diskriminatifnya telah berhasil dengan sempurna menciptakan rasa ketakutan turun temurun etnis Tionghoa selama 32 tahun. Kami yang dibesarkan dengan warisan rasa trauma yang disebabkan oleh berbagai pelarangan terhadap budaya Tionghoa bahkan sampai tidak bisa lagi berbahasa Mandarin karena orang tua kami ketakutan untuk mengajarkannya, kami tetap cinta Indonesia. Kami bangga dan cinta terhadap Indonesia dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya.

(10)

Ada kisah menarik mengenai kebhinnekaan tersebut. Beberapa teman non Tionghoa seringkali ingin ikut bergabung dengan GEMA INTI karena tertarik dengan konsep nasionalisme dan multikulturalisme, tetapi mereka takut tidak diterima. “Gua boleh enggak ikut bergabung masuk GEMA INTI? Tapi gua

bukan Tionghoa.” Kami tertawa biasanya mendengar pertanyaan seperti itu dan langsung memberi penjelasan. “Ya bolehlah. GEMA INTI terbuka untuk seluruh anak muda Indonesia, tidak hanya untuk orang Tionghoa saja. Namanya juga INTI, Indonesia Tionghoa, Indonesia-nya di depan, Tionghoa-nya di belakang.” Setelah itu biasanya mereka akan menjawab, “Wah hebat ya. GEMA INTI ternyata berbeda dengan organisasi Tionghoa yang lain, tidak eksklusif.”

Semangat dan jiwa GEMA INTI memang sarat dengan nasionalisme dan multikulturalisme seperti cita-cita Siauw yang ingin menjadikan orang Tionghoa sebagai patriot Indonesia sejati. Tetapi itu tidak serta merta meninggalkan budaya Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Makan Bakcang, Festival Kue Bulan, dan Makan Onde. Kami belajar banyak mengenai semua hal tersebut dari PINTI (Perempuan INTI) khususnya dari Nancy Widjaja dan Effie Sari yang juga merupakan pendiri Perhimpunan INTI serta alumni Ureca. PINTI yang setiap tahun selalu rutin mengadakan perayaan-perayaan tersebut selalu mengundang dan melibatkan GEMA INTI dalam pelaksanaan acaranya. Sedikit banyak kami akhirnya kembali mengenal tentang budaya Tionghoa tanpa mengurangi rasa nasionalisme kami terhadap Indonesia.

GEMA INTI juga seringkali diajak berbakti sosial mengikuti pelayanan medis yang dilakukan oleh dr. Lie Agustinus Dharmawan Ph.D, Ketua Departmen Kesehatan Perhimpunan INTI yang juga salah seorang alumni Ureca. Dr. Lie mengajarkan dan menjadi contoh nyata bagi kami tentang arti pengabdian tanpa pamrih terhadap negara. Ia mendirikan sebuah yayasan bernama doctorShare, lalu dengan uang pribadinya membeli sebuah kapal phinisi yang kemudian diubah menjadi sebuah Rumah Sakit Apung swasta pertama di Indonesia yang modern lengkap dengan kamar bedah di dalamnya. Ia bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebanggaan dirinya menjadi orang Indonesia, mencoba memberi jawaban atas ketidakhadiran negara dalam memberikan jaminan kesehatan kepada jutaan warga negaranya yang berada di pulau-pulau terpencil Indonesia. “Orang-orang bilang saya gila ketika pertama kali saya mencetuskan ide Rumah Sakit Apung ini, tetapi keinginan untuk melayani dan kecintaan yang begitu besar terhadap Indonesia yang membuat saya maju

(11)

terus,” begitu katanya ketika kami tanya mengapa ia begitu berani membuat sebuah Rumah Sakit Apung yang tentunya memerlukan biaya tidak sedikit. Satu lagi rasanya tidak lengkap jika saya tidak menceritakan juga mengenai Program Beasiswa Pelangi. Sebuah program beasiswa multikulturalisme untuk siswa-siswi SMA sederajat di Jabodetabek yang tidak mampu. Setelah 3 tahun ini aktif sebagai pengurus Beasiswa Pelangi, saya menyadari bahwa ada semangat Siauw Giok Tjhan dalam setiap nafas kegiatan Pelangi yang memberikan beasiswa kepada setiap siswa-siswi yang tidak mampu tanpa membedakan latar belakang suku, agama, suku, ataupun golongan. Mungkin ini tidak lepas dari banyaknya alumni Ureca yang tercatat sebagai pendiri dan pengurus Beasiswa Pelangi. Kalau tidak salah, Ureca didirikan oleh Siauw Giok Tjhan karena ia menyadari bahwa proses integrasi akan berjalan dengan lancar jika setiap orang mendapatkan pendidikan yang baik. Mungkin semangat dari buah pemikiran Siauw inilah yang melandasi para alumni Ureca seperti Benny G. Setiono, Lim Tjeng Ting, Lim Ko Phing, Lu Ik Kun, Paulus Mulyadi, Wang Tian Xiang, dan Bambang Soedjoko Tan dengan dibantu beberapa anak muda seperti Ulung Rusman, Lisa Suroso, Sofia Tijptadjaja, Abdullah Taruna, dan Jandi Mukianto untuk mendirikan Program Beasiswa Pelangi ketika itu. Saat ini tercatat sekitar 750 anak telah dibantu lepas dari putus sekolah oleh Pelangi sejak didirikan pada 2 Mei 2008 lalu.

Saya teringat pada suatu rapat kerja Beasiswa Pelangi, Ulung Rusman yang tercatat sebagai Sekretaris Program Beasiswa Pelangi kala itu mengucapkan suatu kalimat yang sangat menggetarkan. “Teman-teman harus diingat bahwa kita selalu meneriakkan pluralisme dan anti-diskriminasi, bukan berarti kita sebagai minoritas ingin berlindung di balik isu tersebut. Tetapi karena kita sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.” Pernyataan yang langsung diamini dan disambut dengan tepuk tangan oleh Lim Ko Phing selaku Ketua Program Beasiswa Pelangi dan segenap pengurus Pelangi lainnya yang hadir ketika itu. Latar belakang Ulung sebagai anak muda Tionghoa yang aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa tahun 1998 memang sudah seharusnya membuat dirinya paham dengan konsep nasionalisme dan multikulturalisme. Pada suatu kesempatan, ia juga pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pengagum Siauw.

Berbagai kisah di atas yang menceritakan tentang hidup kembalinya GEMA INTI, Beasiswa Pelangi serta interaksi saya dengan para pengikut Siauw dari Tan

(12)

Swie Ling, Siauw Tiong Djin, Benny G. Setiono, Nancy Widjaja, dr. Lie Dharmawan, serta para alumni Ureca dalam beberapa tahun ini. Pada prinsipnya ingin menyampaikan kepada Siauw Giok Tjhan, bahwa ia tidak perlu berkecil hati di alam sana. Walaupun namanya hampir tidak dikenali oleh generasi sekarang, namun cita-cita dan pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme di Indonesia tetap ada dan tidak hilang tergerus oleh waktu. Saya rasa ini adalah bentuk penghormatan yang tertinggi untuk Siauw. Apalah artinya namanya terus dikenang tetapi warisan pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme malah dilupakan oleh semua orang.

Referensi

Dokumen terkait

 Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK per Oktober 2016 mencatatkan pendapatan bunga bersih bank mencapai Rp 327,61 triliun, naik 11,67% apabila dibandingkan dengan

Halaman isi makalah terdiri atas (a) judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimum 200 kata yang tersusun dalam

Halaman isi makalah terdiri dari (a) judul, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidak lebih dari 200 kata, (c) batang tubuh naskah yang terbagi menjadi bab dan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Batak biasa menuliskan buah pikirannya pada buku lipat yang disebut pustaha yang terbuat dari kulit

Dilihat dari keseluruhan bentuk-bentuk aksara yang  digunakan  dalam  penulisan  Prasasti  Raja Soritaon  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  bentuk- bentuk  aksara 

Hasil klasifikasi citra landsat 8 untuk mengetahui lahan yang bervegetasi dan tidak bervegetasi dapat dilihat pada tabel 2, sedangkan untuk sebaran vegetasi