WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK
Riry Elizabeth Hutabarat, Sri Redjeki Slamet Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jalan Arjuna Utara No. 9 Kebun Jeruk, Jakarta 11510
riryeil@gmail.com
Abstrak
Tenaga listrik dikuasai oleh Negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, mengingat tenaga listrik merupakan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan dan pendistribusian tenaga listrik diberikan oleh negara kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT. PLN (PERSERO) sebagai Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana ketentuan BAB XVI Ketentuan Peralihan Pasal 56 Undang-undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dalam pelaksanaan pendistribusian tenaga listrik masyarakat dapat mengajukan penawaran/permohonan kepada PT. PLN (PERSERO) untuk mendapatkan aliran tenaga listrik dengan mengikuti semua prosedur penyambungan baru aliran tenaga listrik, dimana terhadap permohonan tersebut PT. PLN (PERSERO) akan memberikan persetujuannya (sepanjang memenuhi persyaratan) yang kemudian dibuat dalam suatu perjanjian jual beli tenaga listrik yang tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) yang didalamnya mengatur hak dan kewajiban yang merupakan prestasi dari masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi dari Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik maka terjadilah wanprestasi. Oleh karena itu hal yang akan dibahas dalam pokok permasalahan penelitian ini, yaitu mengenai bagaimana lahirnya perjanjian jual beli tenaga listrik serta hak dan kewajiban apa saja yang timbul karena perjanjian tersebut serta bagaimana dan kapan timbulnya wanprestasi dalam perjanjian jual beli tenaga listrik dan akibat hukum yang ditimbulkan apabila terjadi wanprestasi serta bagaimana proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang berselisih. Dari hasil penelitian berupa wawancara wanprestasi yang dilakukan oleh pelanggan/konsumen adalah pengerusakkan alat pengukur KwH meter dan instalasi peralatan yang dimiliki oleh PT. PLN (PERSERO) serta keterlambatan pembayaran, sedangkan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah pemadaman tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisa data dan mengacu kepada norma-norma hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini disarankan agar hak dan kewajiban pelanggan/konsumen diposisikan dalam keadaan yang seimbang seperti kompensasi ganti rugi mengenai kecepatan pelayanan yang ditambahkan kedalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan juga diberikan kepada pelanggan/konsumen rumah tangga, serta mengenai keberadaan Tim Operasi Penertiban tenaga listrik/OPAL dan disosialisasi ke pelanggan mengenai Tim OPAL disebutkan dengan jelas dalam klausula di perjanjian jual beli tenaga listrik, juga disarankan pihak PT. PLN (PERSERO) memperhatikan kepada pelanggan rumah tangga yang mengalami kerusakan pada peralatan elektronik karena pemadaman secara tiba-tiba, kepada konsumen hendaknya menjaga instalasi dan peralatan pendistribusian tenaga listrik dan mempergunakan sesuai peruntukkannya, serta agar pelanggan/konsumen mengetahui bahwa ia mempunyai hak untuk menuntut
apabila pengusaha/PT. PLN (PERSERO) melakukan wanprestasi dan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan gugatan-gugatan yang diajukan oleh pelanggan/konsumen PT. PLN (PERSERO) walaupun tenaga listrik berdampak bagi kepentingan umum dan pembangunan.
Kata kunci: jual beli, tenaga listrik, wanprestasi
Pendahuluan
Listrik adalah kebutuhan vital yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menunjang kegiatan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dengan adanya
listrik, masyarakat dapat menjalankan
aktivitasnya di siang dan malam hari tanpa mengalami kendala. Banyak sekali produk-produk yang di hasilkan oleh masyarakatyang memanfaatkan dan membutuhkan tenaga listrik. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara baik berarti mendorong faktor pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujud-kan kesejahteraan umum.
Tenaga listrik mempunyai peranan yang penting dalam Pembangunan Nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Untuk itulah
penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah, mutu dan keandalannya dengan harga terjangkau oleh masyarakat merupakan hal utama yang perlu diperhatikan, seiring dengan upaya pe-manfaatan semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap memperhatikan ke-amanan, keseimbangan, dan kelestariaan lingkungan hidup.
Dalam Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PT. PLN (Persero) bukanlah sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan lagi akan tetapi sebagai Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, sehingga Penetapan Tarif ditetapkan dalam Peraturan yang baru yaitu Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT. PLN (Persero) tetap akan mendapatkan prioritas sebagai pelaku usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Jika PT. PLN (Persero) tidak sanggup, maka swasta akan masuk dan PT. PLN
(Persero) boleh melaksanakan proses business to business (B2B) untuk menyediakan listrik bagi daerah-daerah tertentu.
Sasaran akhir PLN untuk menjadikan dan melayani tenaga listrik bagi kemanfaatan umum, secara terus menerus dan merata, dengan mutu dan keandalan serta dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, harus dapat tetap dipertahankan dengan kebijaksanaan dengan strategi pemasaran selektif, peningkatan efisiensi, mutu, keandalan dan pelayanan.
Dalam hal ini listrik adalah benda yang dapat dirasakan manfaatnya dan diperjual-belikan, dapat diukur melalui alat ukur yang dinamakan KwH meter. Oleh karena itu, listrik telah memenuhi syarat-syarat suatu objek transaksi jualbeli.
Untuk memperoleh aliran listrik
masyarakat harus membeli dengan cara berlangganan listrik pada PT. PLN(Persero).
Dan untuk dapat berlanggan listrik,
masyarakat harus memenuhi persyaratan dan prosedur berlangganan yang ditentukan oleh PT. PLN (Persero). Dengan memenuhi persyaratan dan prosedur untuk berlangganan listrik, berarti masyarakat selaku konsumen sudah mengikatkan dalam Perjanjian penjualan
tenaga listrik dengan PT. PLN
(Persero).
Prosedur yang harus dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh sambungan listrik adalah dengan cara konsumen meng-ajukan permohonan penyambungan tenaga listrik kepada PT. PLN (Persero) sebagai pihak yang berwenang dalam pendistribusian tenaga listrik. Atas pengajuan permohonan untuk menjadi pelanggan listrik pada PT. PLN (Persero) tersebut, pihak calon pelanggan/ calon konsumen diwajibkan untuk menanda-tangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL).
Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dari rumusan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut dapat ditarik pengertian bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Dengan telah dibayarnya Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Pelanggan oleh konsumen, maka pada saat itu juga konsumen dinyatakan sah sebagai pembeli atau pelanggan PT. PLN (Persero) yang berkewajiban membayar harga satuan listrik sesuai yang dipergunakan dalam setiap bulannya dan berhak menikmati aliran listrik sebagaimana telah diperjanjikan. Di pihak PT. PLN (Persero), dengan telah dibayarnya Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Pelanggan oleh konsumen, maka PT. PLN (Persero) mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau memberikan aliran listrik kepada konsumen tersebut dan berhak mendapatkan pembayaran atas penggunaan aliran listrik oleh konsumennya. Hal tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata yang merumuskan jual beli sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Klausula dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) adalah bentuk baku yang telah ditentukan dan dibuat secara sepihak oleh PT. PLN (Persero), sehingga PT. PLN (Persero) telah menyediakan syarat-syarat perjanjian dan pihak konsumen tinggal menyetujuinya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan bagi konsumen, dikarenakan yang menentukan syarat perjanjian hanya satu pihak yaitu PT.PLN (Persero). Perjanjian yang ideal adalah perjanjian yang seimbang yang dibuat dan isinya ditentukan oleh kedua belah pihak. Itikad baik juga adalah sikap yang di tuntut dalam perjanjian yang
dilakukan oleh kedua pihak.3 Adanya itikad
baik di antara para pihak yang membuat perjanjian harus ada dan diperhatikan oleh para pihak untuk menghindari atau
mengantisipasi konflik yang akan terjadi di kemudian hari.
Dalam pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak, pihak konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus yang telah dibayarnya sesuai yang telah diperjanjikan dengan mutu dan keandalan yang baik dan kewajiban konsumen utama. Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik adalah membayar tagihan pemakaian tenaga listrik sesuai dengan batas waktu seperti yang diperjanjikan. Sedangkan kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undangundang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Yang menjadi hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Perjanjian
Rumusan pasal 1233 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, dapat membantu memberikan penjelasan istilah mana yang dapat dipergunakan. Dari rumusan pasal 1233 KUHPerdata terdapat dua perumusan, yaitu perikatan yang lahir karena persetujuan yakni kesepakatan dari para pihak itu sendiri untuk mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang atau dari undang-undang, yaitu :
a. Perikatan yang lahir dari undang-undang
semata
b. Perikatan yang timbul dari perbuatan
manusia, yang dibedakan atas:
1. Perbuatan menurut hukum, seperti
yang diatur dalam pasal 104, 651, 1359, 1534 KUHPerdata
2. Perbuatan yang melawan hukum,
diatur dalam pasal 1365 sampai dengan 1380 KUHPerdata, dalam pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis, dan apabila dibuat secara tertulis maka akan bersifat sebagai
alat bukti apabila terjadi
perselisihan. Walau demikian untuk beberapa perjanjian, undang- undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu
tidak diikuti maka perjanjian
tersebut batal demi hukum,
misalnya untuk mendapatkan aliran listrik harus menanda-tangani perjanjian yang bentuk atau
formulirnya telah disediakan oleh pihak PT. PLN (Persero). Perjanjian ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan aliran listrik.
Hubungan hukum dalam perjanjian ini adalah suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan bersama, dimana pihak yang satu mempunyai hak untuk memperoleh prestasi dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi itu, dan cara pemenuhan prestasi tersebut harus dapat diterima dan sah menurut hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hubungan hukum perjanjian itu dapat tercipta oleh karena adanya perbuatan, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak, sehingga pada satu pihak diberi hak untuk memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain bersedia untuk dibebani dengan kewajiban untuk pemenuhan prestasi.
Prestasi Dalam Perjanjian
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dibagi dalam 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu,
prestasi ini terdapat pada Pasal 1237 KUHPerdata, misalnya prestasi penjual menyerahkan barang kepada pembeli, sedangkan prestasi pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual, prestasi bank menyerahkan uang kepada nasabah dalam Perjanjian Kredit dan prestasi majikan untuk menyerahkan gaji(upah) kepada buruh dalam Perjanjian Perburuhan.
b. Prestasi untuk melakukan atau
berbuat sesuatu, prestasi ini terdapat pada pasal 1239 KUHPerdata. Misalnya prestasi buruh untuk bekerja kepada majikan, prestasi travel
bureau (biro perjalanan)
membuatkan atau mengurus paspor, prestasi pengangkut untuk membawa barang angkutan ketempat tujuan.
c. Prestasi untuk berbuat atau tidak
melakukan sesuatu, prestasi ini
terdapat pada pasal 1239 KUHPerdata. Misalanya A dan B membuat perjanjian tidak akan bersaing dalam usahanya maka terlihat prestasi A untuk diam
dan tidak akan membuat barang yang sama seperti yang dibuat oleh B dan begitu sebaliknya prestasi B untuk diam dan tidak akan membuat barang yang sama seperti yang dibuat oleh A.
Perjanjian jual beli menurut
KUHPerdata menganut sistem obligatoir, yang berarti bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua pihak yaitu penjual dan pembeli pada saat terjadi kesepakatan. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka kepada penjual diletakkan kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disepakati dan dilain pihak meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya dan untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dengan kata lain, perjanjian jual beli menurut KUHPerdata belum memindahkan hak milik atas barang, hak milik atas barang berpindah pada saat setelah dilakukannya penyerahan (levering) yang
merupakan perbuatan yuridis guna
memindahkan hak milik.
Dengan demikian, prestasi adalah suatu pemenuhan janji atau tindakan mengenai objek yang diperjanjikan termasuk didalamnya pemenuhan hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang membuat dan terikat dengan perjanjian yang mereka sepakati.
Wanprestasi Dalam Perjanjian
Wanprestasi menurut M. Yahya Harahap adalah: “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan dengan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya atau selayaknya”.
Wanprestasi dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukan.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, jika dalam suatu transaksi
disepakati bahwa pembeli akan mengirimkan sejumlah uang yang sebagai harga dari barang, namun ternyata uang dikirim adalah tidak sesuai dengan apa yang sudah diperjanjikan. Dalam hal ini pembeli telah wanprestasi dalam perjanjian ini.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat, misalnya dalam perjanjian lelang telah disepakati bahwa paling lambat pada tanggal tertentu pembeli sudah akan menerima yang telah dibeli. Namun setelah lewat dari tanggal yang diperjanjikan tersebut pembeli belum menerima barang itu. Namun akhirnya pembeli menerima barang yang diperjanjikan, tetapi karena terlambat yang disebabkan penjual terlambat mengirimkan barang maka dikatakan penjual melakukan wanprestasi.
d. Melakukan sesuatu menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya, sebagai contoh jika si penjual menjual barang yang sebenarnya telah dijual kepada pihak lain namun tetap dijual kembali kepada pembeli yang lain. Maka dalam hal ini penjual telah melakukan wanprestasi.
Wanprestasi terjadi pada saat debitur baru dianggap lalai yaitu ditandai dengan lewatnya waktu atau apabila sudah ada surat teguran pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur. Teguran tersebut dilakukan dalam tenggang waktu yang layak bagi debitur untuk memenuhi prestasinya. Tenggang waktu diberikan dilandasi asas itikad baik.
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik adalah suatu persetujuan dari penjual dalam hal ini adalah PT. PLN (PERSERO) untuk memberikan sesuatu barang/benda yakni
Tenaga Listrik yang dibangkitkan,
ditransmisikan dan didistribusikan kepada pembeli yakni konsumen untuk keperluannya serta konsumen mengikatkan diri untuk membayar harga atas Tenaga Listrik yang dipakainya.
Tenaga Listrik adalah merupakan benda yang tidak berwujud, karena walaupun tidak dapat diraba tetapi dapat dirasakan
manfaatnya dan dapat ditentukan besar jum-lahnya yaitu diukur dengan alat meter Kilo Watt Hour (KWH) serta dapat ditentukan besar volumenya yaitu dibatasi dalam kapasitas daya pemakaian yaitu Kilo Volt Ampere (KVA).
Menyangkut sahnya perjanjian jual beli tenaga listrik dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak- pihak yang membuat perjanjian tersebut telah bersepakat dan para yang membuat perjanjian jual beli tenaga
listrik adalah mereka yang sudah
mempunyai kecakapan untuk itu, tentang suatu hal tertentu jelas dalam perjanjian jual beli tenaga listrik yang dimaksudkan disini adalah perjanjian untuk memperoleh tenaga listrik sesuai dengan besarnya daya yang dimintakan oleh pelanggan, suatu sebab yang halal disini terlihat apabila tenaga listrik dapat dialirkan kerumah pelanggan dan pelanggan dapat menggunakan tenaga listrik tersebut guna kebutuhan penerangan dan lain-lain.
Perjanjian jual beli tenaga listrik mempunyai perbedaan dengan perjanjian jual beli pada umumnya, karena dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tidak terjadi peralihan hak milik atas barang yang di perjual belikan. Barang yang diperjual belikan (tenaga listrik) secara keseluruhan masih tetap menjadi milik daripada penjual dan penjual hanya menyerahkan tenaga listrik sesuai besar tenaga yang dibutuhkan kepada pelanggan
secara terus-menerus sampai pelanggan
menghentikan perjanjiannya.Dengan demikian yang menjadi perbedaan antar perjanjian jual beli tenaga listrik dengan perjanjian jual beli pada umumnya ialah teknis pelaksanaan penyerahan kebendaan yang menjadi objek perjanjian itu sendiri dan tidak serta merta mengalihkan hak milik kepada si pembeli, dalam hal ini pelanggan.
Objek Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
Dari pengertian-pengertian jual beli secara umum yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian jual beli pada umumnya, akan tetapi berbeda
dalam pelaksanaannya karena yang menjadi objek perjanjiannya dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik adalah Tenaga Listrik.
Dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, menyangkut barang itu sudah jelas objek atas perjanjian tersebut adalah benda atau barang, yaitu tenaga listrik. Tenaga Listrik termasuk dalam benda yang tidak berwujud, oleh karena itu listrik disebut benda tidak berwujud.
Yang dimaksud dengan listrik disini adalah Tenaga listrik sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 2 adalah salah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan dan bukan listrik yang dipakai untuk
komunikasi atau isyarat.
Dari pengertian tenaga listrik di atas tidak bisa kita temukan pengertian listrik sebagai benda, namun apabila kita mengikuti pendapat para sarjana dan ketentuan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang telah dikemukakan dalam bagian A dan B bab ini, maka dapatlah dikatakan bahwa listrik atau tenaga listrik adalah merupakan “benda”, dan benda yang dimaksudkan disini adalah “ benda yang tidak berwujud “.
Listrik sebagai benda tidak berwujud dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dalam mengemukakan pengertian
benda, Vollmar mengatakan bahwa: termasuk juga benda-benda tidak berwujud, tetapi mempunyai harga, yang dapat tunduk kepada penguasaan manusia dan yang merupakan suatu keseluruhan. Dari penjelasan ini dapatlah dikatakan bahwa listrik merupakan benda tidak berwujud dimana sekalipun tidak dilihat atau dipegang, tetapi mempunyai harga yang dapat ditentukan oleh tarif berdasarkan penggunaan yang dapat diukur dengan alat meter, dalam istilah teknik kelistrikan disebut Kilo Watt Hour (KWH), yang untuk penggunaannya listrik diatur oleh manusia atau tunduk dibawah penguasaan manusia. Sedangkan yang merupakan suatu keseluruhan atau kesatuan, ini dapat terjadi karena
penyediaan tenaga listrik adalah
titik pembangkit sampai ketitik pemakaian itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sebab kalau dipisahkan atau terputus, maka tidak ada tenaga listrik.
2. Selanjutnya Vollmar menjelaskan lagi
bahwa yang dimaksudkan dengan benda mempunyai harga atau dapat dinilai dengan uang, dan menurut masyarakat itu merupakan kebutuh-an. Listrik dapat dikategorikandengan pengertian ini karena sekalipun benda tak berwujud namun dapat dinilai dengan uang oleh karena itu maka diadakannya perjanjian jual beli tenaga listrik dimana yang dijual adalah tenaga listrik dengan ketentuan besarnya volume yang dibatasi dalam kapasitas daya pemakaian yaitu Kilo Volt Ampere (KVA) dan dapat diukur dengan alat meter Kilo Watt Hour (KWH). Tentang dibutuhkan oleh masyarakat, tidak dipungkiri lagi bahwa tenaga listrik sudah merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat yang serba
maju ini. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut adalah untuk penerangan, menjalankan peralatan rumah tangga, usaha industri, kesehatan, perkantoran dan lain-lain.
3. Bila dihubungkan dengan pendapat Sri
Soedewi Masjchoen Safyan yang mengemukakan bahwa benda dalam lapangan hukum benda adalah benda yang dapat dilakukan penyerahan dan umumnya dapat menjadi objek dari hak
milik, maka listrik juga dapat
dikategorikan dalam pengertian ini. Sebagai benda tidak berwujud listrik dapat menjadi objek hak milik, dalam hal ini Negara adalah pemilik yang menguasai penyediaan listrik atau tenaga listrik yang kemudian pelaksanaannya diberika kepada PT. PLN (Persero) sebagai Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Sebagai benda tidak berwujud listrik dapat menjadi benda yang dapat dilakukan penyerahan, dalam hal ini untuk memperoleh aliran listrik, maka seorang pelanggan harus membuat
perjanjian yaitu perjanjian jual
beli tenaga listrik dengan PT. PLN
(Persero) sebagai Pemegang Izin
Usaha Ketenagalistrikan, barulah PT. PLN (Persero) menyerahkan atau mengalirkan tenaga listrik tersebut,
sekalipun penyerahan itu tidak
melahirkan kepemilikan atas tenaga listrik tersebut kepada pelanggan atau pemakai, tetapi disini terlihat bahwa listrik dapat menjadi benda ( tidak berwujud ) yang dapat diserahkan.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
Hanya ada 2 (dua) pihak yang terlibat dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, yaitu:
1. Pihak Perusahaan, yaitu PT. PLN(Persero)
2. Pihak Pelanggan atau Pemakai Tenaga Listrik
adalah:
a. Pihak Pelanggan Tenaga Listrik baik
setiap orang atau badan usaha atau badan/lembaga lain yang berdiri mewakili untuk dan atas nama sebagai pihak dalam Surat Pernyataan Kontrak Penyambungan.
b. Pihak Pelanggan Tenaga Listrik baik
setiap orang atau Badan Usaha atau badan/lembaga lain yang berdiri mewakili untuk dan atas nama sebagai pihak dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
Pihak-pihak yang telah disebutkan diatas yaitu pihak pengusaha (PT.PLN Persero) dan pihak pelanggan dalam melaksanakan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban menurut Undang-undang Ketenaga-listrikan, yaitu:
a. Hak dan Kewajiban Pemegang Izin
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik,
dijelaskan sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan umum Hak
Pengusaha, dalam hal menyediakan Tenaga Listrik kepada pengusaha diberi hak, untuk:
a. Melintasi sungai atau danau
baik diatas maupun dipermukaan
b. Melintasi laut baik di atas maupun di
bawah permukaan
c. Melintasi jalan umum dan jalan kereta
api
perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu
e. Menggunakan tanah dan melintas
di atas atau di bawah tanah
f. Melintas di atas atau di bawah
bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah
g. Memotong dan/atau menebang tanaman yang
h. menghalanginya
b. Kewajiban Pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik, yaitu:
1. Menyediakan tenaga listrik yang
memenuhi standar mutu dan
keandalan yang berlaku
2. b. Memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada konsumen dan
masyarakat
3. Memenuhi ketentuan keselamatan
ketenagalistrikan
4. Mengutamakan produk dan potensi
dalam negeri.
c. Hak dan Kewajiban Pelanggan (Konsumen)
1. Hak Konsumen yaitu:
a. Mendapat pelayanan yang baik
b. Mendapat tenaga listrik secara
terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik
c. Memperoleh tenaga listrik yang
menjadi haknya dengan harga yang wajar
d. Mendapat pelayanan untuk perbaikan
apabila ada gangguan tenaga listrik
e. Mendapat ganti rugi apabila
terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
2. Kewajiban Konsumen yaitu:
a. Melaksanakan pengamanan terhadap
bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. Menjaga keamanan instalasi tenaga
listrik milik konsumen;
c. Memanfaatkan tenaga listrik sesuai
dengan peruntukannya;
d. Membayar tagihan pemakaian tenaga
listrik; dan
e. Menaati persyaratan teknis di bidang
ketenagalistrikan.
3. Konsumen bertanggung jawab
apabila karena kelalaiannyam meng-akibatkan kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
tanggung jawab konsumen sebagai-mana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
d. Mendapat pelayanan untuk perbaikan
apabila ada gangguan tenaga listrik
e. Mendapat ganti rugi apabila terjadi
pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
Kewajiban Konsumen yaitu:
a. Melaksanakan pengamanan terhadap
bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. Menjaga keamanan instalasi tenaga listrik
milik konsumen;
c. Memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan
peruntukannya;
d. Membayar tagihan pemakaian tenaga listrik;
dan
e. Menaati persyaratan teknis di bidang
ketenagalistrikan.
Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
Hubungan hukum para pihak dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan Ditinjau dari Sudut Pandang Konsumen
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik merupakan perjanjian timbal balik, karena
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, jadi kedua belah pihak masing- masing harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi. misalnya perjanjian jual beli pada Pasal 1457 KUHPerdata. Perjanjian sewa
menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Kriteria
umum dari perjanjian jenis ini adalah kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Pada perjanjian Jual beli hak dan kewajiban ada di kedua pihak, pihak penjual berkewajiban menye-rahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pembeli ber-kewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
Oleh sebab itulah Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik dikategorikan kedalam
perjanjian timbal balik karena di dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) terdapat hak dan kewajiban dari pelaku usaha yaitu PT. PLN (PERSERO) dan konsumen yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Akan tetapi Perjanjian Jual Beli juga dapat dikatakan Perjanjian Atas beban (onder bezwarenden), karena perjanjian tersebut adalah perjanjian dengan mana terhadap prestasi dari pihak yang satu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lainnya dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum, maksudnya adalah dalam perjanjian diwajibkan para pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1314 KUHPeradata), misalnya Jual beli, sewa menyewa. Suatu perjanjian timbal balik selalu merupakan suatu perjanjian atas beban.
Bila dilihat dari sudut pandang konsumen, Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) yang dibuat oleh pelaku usaha dalam hal ini adalah PT. PLN (PERSERO) adalah suatu perjanjian dalam bentuk Perjanjian/Kontrak Baku, yang dibuat oleh pelaku usaha, yang didalamnya lebih banyak kewajiban yang dibebankan kepada konsumen sebagai pihak yang hanya dapat menerima penawaran dari PT.PLN (PERSERO) karena konsumen membutuhkan tenaga listrik untuk menunjang aktifitas kehidup-annya sehari-hari. Sehingga terjadi keti-dakseimbangan didalamnya. menurut hukum, maksudnya adalah dalam perjanjian diwajibkan
para pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1314 KUHPeradata), misalnya Jual beli, sewa
menyewa.Suatu perjanjian timbal balik selalu
merupakan suatu perjanjian atas beban.
Bila dilihat dari sudut pandang konsumen, Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) yang dibuat oleh pelaku usaha dalam hal ini adalah PT. PLN (PERSERO) adalah suatu perjanjian dalam bentuk Perjanjian/Kontrak Baku, yang dibuat oleh pelaku usaha, yang didalamnya lebih banyak kewajiban yang dibebankan kepada konsumen sebagai pihak yang hanya dapat menerima penawaran dari PT.PLN (PERSERO) karena konsumen membutuhkan tenaga listrik untuk menunjang aktifitas
kehidupannya sehari-hari. Sehingga terjadi ketidak-seimbangan
didalamnya.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terdapat jenis Perjanjian Baku Sepihak yang berkembang di masyarakat. Yang dimaksud dengan Perjanjian Baku Sepihak adalah Perjanjian yang isinya dibuat oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) termasuk dalam kategori Perjanjian Baku sepihak, karena Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) dibuat oleh PT.PLN (PERSERO) dan kedudukan PT.PLN (PERSERO) lebih kuat daripada konsumen.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Perjanjian/Kontrak Baku dilarang,
apabila :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan
baru,tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulitdimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Kedudukan konsumen dalam
kedudukan yang lemah bila Perjanjian Baku yang dilakukan oleh Pelaku Usaha hanya secara sepihak seperti yang tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) dikarenakan konsumen membutuhkan aliran tenaga listrik tersebut.
Kesimpulan
Perjanjian jual beli tenaga listrik diawali dengan pengajuan permohonan/ penawaran dari pelanggan untuk mendapatkan
sambungan tenaga listrik sebagaimana
prosedur penyambungan baru yang telah diatur dalam Standart Operating System/SOP yang dibuat oleh PT. PLN (Persero) yang
tertuang dalam Formulir Permohonan
Penyambungan Baru. Berdasarkan
permohonan/penawaran tersebut (permohon-an y(permohon-ang memenuhi persyarat(permohon-an sebagaim(permohon-ana prosedur penyambungan baru) tersebut, PT. PLN (Persero) memberikan penerimaan/ persetujuannya yang dituangkan dalam bentuk Surat Jawaban Penyambungan Disetujui. Berdasarkan konstruksi hukum tersebut, maka Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik terjadi/lahir pada saat pelanggan mengajukan dan menandatangani permoho-nan penyambungan tenaga listrik yangmengikat dan pihak PT. PLN (Persero) menyetujui permohonan penyam-bungan listrik tersebut. Artinya perjanjian tersebut lahir pada saat adanya sepakat antara PLN dan Konsumen, yang selanjutnya dilakukan perbuatan hukum penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik (SPJBTL) antara PT. PLN (Persero) dengan konsumen.
Wanprestasi dalam perjanjian timbul dikarenakan isi perjanjian jual beli tenaga listrik tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, baik PT. PLN (Persero) yaitu kreditur maupun pelanggan (debitur) yang telah bersepakat untuk melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik yang tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Terjadinya wanprestasi oleh pelanggan dapat diketahui pada saat Tim Opal/petugas pelaksana lapangan menemukan adanya indikasi ataupun telah terjadi kerusakkan pada alat-alat milik PT. PLN (Persero) yang digunakan sebagai alat pendistribusian tenaga listrik. tindakan-tindakan secara hukum seperti pemutusan secara langsung bila terbukti melakukan pengerusakkan peralatan penyaluran tenaga listrik, tagihan susulan atau pemutusan sementara apabila tejadi wanprestasi dalam keterlambatan pembayaran. Wanprestasi pada dasarnya akan menimbulkan kerugian, namun dalam prakteknya apabila pelanggan yang dirugikan terdapat kecenderungan pelanggan tidak melakukan penuntutan apapun atau bersifat pasif.
Proses penyelesaian wanprestasi atas perjanjian jual beli tenaga listrik, dilakukan dengan cara penyelesaian diluar pengadilan
dengan cara musyawarah,bila tidak tercapai kata sepakat untuk damai maka sengketa dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan yaitu dengan prosedur class action mengajukan gugatan dapat oleh konsumen sendiri, kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Daftar Pustaka
Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas
Proposionalitas dalam Kontrak
Komersial”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Abdul Kadir Muhammad, “Hukum Perikatan”, Alumni, Bandung, 1984
Ahmad Ichsan, “Hukum Perdata IB”, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967
Ahmadi Miru, “Hukum Kontrak Perancangan Kontrak”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
A. Qirom Syamsuddin Meilala, “Pokok-pokok
Hukum Perjanjian beserta
perkembangannya”, Liberty, Yogyakarta C.ST. Kansil. Christine S.T. Kansil, “Modul
Hukum Perdata (Termasuk Asas Asas Hukum Perdata)”, Prandnya Paramita, Jakarta, 2006
Darwan Prints, “Strategi menyusun dan menagani gugatan Perdata”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
Fokema Andrea, “Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia”, Terjemahan Saleh Adiwinata.et. Al., Bina Cipta, Jakarta, 1983
H.F.A Vollmar, “Hukum Benda”, Saduran Chaidir Ali, Tarsito, Bandung, 1978 ________, “Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid
I”, Terjemahan I.S Adiwinata, Rajawali Pers, Jakarta, 1992
Indonesia, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, Citra Umbara, Bandung, 2010 ________, Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945
________.Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821).
________.Undang-undang Nomor. 30 Tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara No.133. Tambahan Lembaran Negara No. 5052).
________. Lampiran Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 17 tahun2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Bab IV Point IV.1.2.
________.Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok.
________.Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam No. 1616.K/36/MEN/2003 tentang Ketentuan Tarif Tenaga Listrik. ________.Keputusan Direksi PT. PLN (Persero).
No. 234. K/DIR/2010 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL).
________.Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) No. 617. K/DIR/2010 tentang Uang Jaminan Langganan.
________. Keputusan General Manager PT. PLN (Persero). No. 075. K/GM/2011 tentang Tingkat Mutu Pelayanan.
J. Satrio, “Hukum Perjanjian”, PT. Citra Aditya, Bandung
Johanes Ibrahim, “Cross Default dan Cross
Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian
Kredit Bermasalah”, Refika Aditama, Bandung, 2004
Mariam Darus Badrulzaman, “KUHPerdata Buku III Hukum Peruikatan dengan Penjelasan”, Alumni, Bandung, 1983
______________, “Perlindungan terhadap
Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku”, Bina Cipta, Jakarta, 1986
______________, “Hukum Nasional dan Permasalahnnya”, alumni, Jakarta, 1981 Munir Fuady, “Hukum Kontrak (Dari Sudut
Pandang Hukum Bisnis”, Aditya Bakti, Bandung, 2001
M. Yahya Harahap, “Azas-azas Hukum Perjanjian”, Alumni, Bandung, 1993 __________, “Segi-segi Hukum Perjanjian”,
Alumni Bandung, Bandung, 1986
Purwahid Patrik, “Dasar-Dasar Hukum
Perikatan”, Mandar maju, Semarang, 1994
Riduan Syahrani, “Seluk beluk dan Azas-azas hukum perdata”, Alumni, Bandung, 2000 R. Setiawan, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan”,
Bina Cipta, Bandung, 1987
Shidarta, “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”, PT Grasindo, Jakarta, 2004 Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, “Hukum benda”,
Liberty, Yogyakarta, 1978
S.R. Sianturi, “Tindak Pidana di KUHP dan uraian”, Alumni AHM PTHM, Jakarta, 1983
ubekti, “Aneka Perjanjian”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
__________, “AspekHukum Perikatan Nasional”, Alumni, Bandung, 1980
__________, “Hukum Perjanjian”, PT. Intermasa, Jakarta, 2005
Surajiman, “Perjanjian Bernama”, Pusbakum, Jakarta, 2001
Sutarno, “Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank”, Alfabeta, Bandung, 2003 Utrecht, “Pengantar Ilmu Hukum Indonesia”,
PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961
Wirjono Prodjodikoro, “Azas-azas Hukum Perjanjian”, Sumur Bandung, Bandung, 1993
_____________, “Perdata tentang Persetujuan-persetujuan tertentu”, Sinar Bandung, Bandung, 1985
W.J.S Poerwadarminta, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982