• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum

(Relationship and the authority of Mahkamah Syar’iyah in Aceh Province to the Religious and General Court)

Oleh Hadi Iskandar1

Abstract

Article 18 B Poin (1) the 1945 Constitution states that the State recognizes and respects the local government units that special and specific, which is established by law. There for the special autonomy provinces such as Aceh, Papua, and West Papua are exist. This study describes the relationship and the authority of Mahkamah Syar’iyah based on Indonesian law in Aceh. It was conducted through descriptive analytic legal research. The primary data was collected from literature or library research and government documents. This study shows that according to the law, Mahkamah Syar’iyah in Aceh is a special court in religious court system and special court in general court. In fact, the problem found in this study that is the regulation concerning the function of Mahkamah Syar’iyah is still not comprehensive yet.

Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar’iyah, Aceh Province

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang Otonomi khusus suatu daerah atau bersifat istimewa2. Daerah yang telah mendapat otonomi khusus tersebut adalah Provinsi

1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

2 Dalam UUD 1945 Pasal 18 disebutkan “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa”. Setelah UUD

(2)

Papua dan Provinsi Aceh3 yang keduanya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hal tersebut merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pada Sidang Umum MPR tahun 1999 melahirkan Ketetapan MPR Nomor/IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengatur secara hukum otonomi khusus yang di berikan kepada dua Provinsi, Yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya.4 Dalam kontek sejarah penyelenggaraan Pemerintahan Republik Indonesia menunjukan, bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi penting penyelenggaraan pemerintahan negara. Otonomi Daerah diadakan bukan sekedar menjamin efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, bukan pula sekedar menampung kenyataan Negara yang luas, penduduk banyak dan beribu-ribu pulau, akan tetapi otonomi daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia.5 Daerah otonomi yang bebas dan mandiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

1945 diamandemen klausul tersebut tercantum dalam pasal 18 B Ayat (1) disebutkan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang”

3 Sebelum diadopsinya ketentuan Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, daerah Provinsi yang sudah lebih dulu berstatus sebagai daerah khusus atau istimewa adalah (i) Daerah Istimewa Aceh; (ii) Daerah Istimewa Yogyakarta; (iii) Daerah Khusus Ibukota Jakarta., Aceh disebut istimewa karena memang dalam sejarahnya didasarkan atas kompromi untuk mengatasi pergolakan terus menerus dalam hubungannya dengan pemerintahan pusat, Yogyakarta dinamakan khusus karena latar belakang kesultanan sebagai bentuk pemerintahan keraton Yogyakarta. Sedangkan Jakarta sebagai ibukota negara diperlakukan sebagai daerah Provinsi yang bersifat khusus. Lihat Jimly Asshiddiqi, 2007,

Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu

Populer,Jakarta, hlm.486-487.

4 Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh maka perlu di tempuh langkah-langkah sebagai berikut; Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh dan irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan Undang undang. Lihat Titik Triwulan, 2006, Pokok-Pokok hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka Republika,Jakarta, Hlm. 207.

(3)

merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia6

Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah implementasi syariat Islam yang kemudian dibentuknya lembaga Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Aceh dilakukan oleh Mahkamah Syariah didasarkan atas Syari’at Islam yang menjadi salah satu bagian dari otonomi khusus di Provinsi Aceh.7 Pelaksanaan Syari’at Islam yang diberikan untuk Aceh merupakan otonomi khusus yang di amanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134), telah dicabut dan diganti dengan Undang undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633) sebagai tindak lanjut dari salah satu pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani di Helsinky, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, berdasarkan konsiderans dan hierarki perundang-undangan yaitu Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.

Pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Bunyi pasal ini merupakan fundamen dasar dalam mengatur kewenangan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, artinya diberlakukan undang-undang ini merupakan bagian dari bentuk Negara kesatuan. Dalam kaitannya dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan dalam hal proses pembentukan Undang-undang tersebut.8 Selain itu Pasal 18 B ayat (1) menjelaskan Negara juga mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hal tersebut dicantumkan pada konsiderans di masing-masing Undang Undang tersebut.

6 Husni Jalil, 2005, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam Negara Kesatuan RI

Berdasarkan UUD 1945, CV.Utomo, Bandung, hlm.3.

7 Pasal 25 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 sebagai UU yang mengatur otonomi khusus daerah Istimwa Aceh sebagai Provinsi NAD & Pasal 128 Ayat (4) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(4)

Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, tambahan lembaran Negara Nomor 3893), telah memberikan harapan bagi masyarakat Aceh untuk menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada daerah yaitu: penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.9 Inti dari penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat10, Undang undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang undang Nomor 11 Tahun 2006 mengandung ketentuan untuk mengaplikasikan syariat Islam (hukum Islam) dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh.11

Berdasarkan Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara tahun 2009 Nomor 157, tambahan lembaran Negara Nomor 4958), Lingkungan Peradilan di Indonesia terdiri dari:

a. Lingkungan Peradilan Umum b. Lingkungan Peradilan Agama c. Lingkungan Peradilan Militer

d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

Ke-empat lingkungan Peradilan tersebut berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara tertinggi dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.12 Keberadaan Peradilan Agama yang diatur dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jontco Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan

9 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

10 Pasal 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

11 Penjelasan umum UU No. 11 tahun 2006 disebutkan “...Kehidupan demikian menghendaki adanya implementasi formal penegakan Syariat Islam. Itulah yang menjadi bagian dari anatomi keistimewaan Aceh. Penegakan Syariat Islam dilakukan dengan asas personalitas keislaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh”.

(5)

Agama, sampai saat ini sangat dirasakan perlu dan berguna sebagai Peradilan keluarga bagi umat Islam, dan telah berjalan sebagaimana mestinya, putusannya ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.13

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia keberadaan Mahkamah Syar’iyah (Pengadilan Agama) di Aceh, selain merupakan kelanjutan dari Mahkamah Agama di zaman jepang, juga didasarkan kepada kawat Gebernur Provinsi Sumatera tanggal 22 Pebruari 1947 Nomor 226/3/Djaps yang berisi perintah untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Kemudian dikuatkan lagi dengan keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 35 tanggal 3 Desember 1947. setelah itu Mahkamah Syar’iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pengadilan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh.14

13 Muchtar Yusuf, Of.Cit. Hlm. 2.

14 Ada dua ketentuan dari PP ini yang menjadi kendala bagi Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah), Pertama tentang kompetensi absolutnya yang mengambang. PP ini menyatakan bahwa beberapa bidang hukum kekeluragaan dan kewarisan menjadi kewenangan pengadilan agama hanyalah apabila”menurut hukum yang hidup” masalah tersebut diselesaikan dengan hukum Islam dan masyarakat setempat pun telah memberlakukan (menerima) hukum Islam dengan suka rela. Tidak ada lembaga yang berhak menentukan batas atau ukuran dari “menurut hukum yang hidup tersebut, sehingga pengertiannya cenderung sangat elastis dan menjadi perebutan antara Pengadilan Agama dan pengadilan Negeri. Kedua lembaga ini cenderung menafsirkannya sesuai dengan selera dan kepentingan masing-masing. Masalah kedua putusan Pengadilan Agama hanya bisa dijalankan setelah memperoleh”pengukuhan” dari pengadilan Negeri dan yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri, karena hal tersebut, keberadaan pengadilan Agama sangat bergantung pada “belas kasihan” Pengadilan Negeri. PP ini tidak berjalan efektif di Aceh karena masalah yang sudah di pengadilan agama, oleh pihakyang merasa dirugikan akan diajukan kembali ke Pengadilan Negeri, dan Pengdilan Negeri Pada Umumnya akan memeriksa serta memutuskannya kembali berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai hukum adat. Keputusan inilah yang akan berlaku ditengah masyarakat. Sebaliknya, apabila perkara dibawa ke Pengadilan Negeri dan pihak yang tidak puas, maka sengketa tersebut akan diajukan kembali ke Mahkamah Syariah dan oleh kebijakan Mahkamah Syariah akan diperiksa serta diputus berdasar hukum Islam. Tetapi putusan ini tidak akan dapat dijalankan di lapangan karena yang melaksanakan putusan Mahkamah Syariah adalan pengadilan Negeri. Biasanya mereka tidak mau menjalankan putusan yang tidak sejalan dengan putusan yang telah mereka buat. Keadaan ini hanya bisa diatasi setelah terjadi kesepakatan bersama antara Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Ketua Mahkamah Syariah Provinsi Aceh pada tahun 1971 yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Nomor 4448/UM/P.T.-1971 dan B/I/228. Dalam kesepakatan ini ditetapkan bahwa semua masalah kewarisan diserahkan kepada Pengadilan Agama. Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutuskannya.

(6)

Berdasarkan gambaran tentang keberadaan Peradilan Islam, khususnya Mahkamah Syar’iyah pada masa lalu di Aceh sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kehadiran Peradilan Syariat Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada masyarakat Aceh, tetapi lebih merupakan “Pengembalian Hak Masyarakat Aceh yang telah pernah

hilang”.15 Oleh karana itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Provinsi Aceh merupakan hal yang ditunggu-tunggu mayarakat di tanah rencong ini.

Lahirnya Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2001 serta Undang Undang No 11 Tahun 2006 membawa harapan yang sangat besar bagi masyarakat Aceh untuk terlaksananya syari’at Islam di Provinsi Aceh, dan ada kajian yang sangat menarik dan berbeda khususnya menyangkut kedudukan Pengadilan Agama di Aceh, apakah berada dalam empat lingkungan perdilaan atau merupakan peradilan khusus yang disebut dengan Mahkamah Syar’iyah di Aceh termasuk penambahan kewenangannya dalam menyelesaikan bidang jinayah (pidana).

Keberadaan Mahkamah Syar’iyah di Aceh diperkuat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh. Keberadaan dan pembentukan Mahkamah Syar’iyah yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 4 Maret 2003. Mengacu kepada keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003, Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi langsung menggantikan fungsi wewenang Pengadilan Agama (PA) menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah dan wewenang Pengadilan Tinggi Agama (PTA) menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi, maka sejak tanggal 4 Maret 2003 seluruh sarana, prasarana, pegawai dan alat kelengkapan pengadilan serta wilayah hukum Pengadilan Agama yang ada di Provinsi Aceh menjadi milik Mahkamah Syar’iyah di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Mahkamah Syar’iyah dijadikan sebagai

Sedang mengenai pelaksanaan putusan, Mahkamah Syariah (Pengadilan Agama) tetap dianggap tidak berhak. Pelaksanaan putusan tetap menjadi kewenangan dan hanya boleh dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Ahmad Gunarya, 2006, Pergumulan Politik & Hukum

Islam , Pustaka Pelajar, Semarang, Hlm. 2.

15 Sofyan M. Saleh, 2003, Mahkamah Syar’iyah Di Prov. NAD. Mimeo, Makalah di sampaikan pada Pelatihan Para Hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh, 25 Agustus 2003. Hlm. 1.

(7)

peradilan syari’at Islam dengan kewenangan Absolut meliputi aspek Syari’at Islam, yang pengaturan ditetapkan oleh qanun.16

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskan permasalahan yang berkenaan dengan pokok penelitian tentang bagaimana hubungan dan wewenang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum?

3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan dan wewenangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1) Secara teoretis, penelitian ini berguna dalam rangka pengembangan HTN, terutama bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang sistem peradilan di Indonesia umumnya dan di Provinsi Aceh khususnya Selanjutnya, dengan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang kedudukan dan wewenang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh dengan diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

2) Secara praktis, diharapkan penelitian ini berguna sebagai sumbangan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh dalam penyelenggaraan penegakan hukum ke depan yang lebih baik, dan dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna daerah, khususnya dalam mempertahankan penegakaan syariat islam dan mempertahankan tiga keistimewaannya. Di samping itu juga dapat menjadi sumbangan bagi Pemerintah Pusat dalam perencanaan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan hak-hak asal-usul daerah istimewa sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945.

(8)

5. Metode Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian normatif17, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analistis yaitu penelitian yang mengambarkan fakta-fakta yang diteliti, kemudiaan menganalisa dan mengevaluasi persoalan-persoalan yang ada dalam fakta-fakta tersebut atau menggambarkan beberapa persoalan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan konsep-konsep yang terdapat dalam kerangka pemikiran. dengan pendekatan yuridis normative.18 Melalui pendekatan yuridis normatif, penulis mengkaji kaidah-kaidah hukum dan aturan yang berlaku dari aspek kaidah-kaidah hukum tata negara, khususnya kaidah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.

17 Penelitian hukum normatif adalah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif. Jonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum. Malang, Bayumedia. Hlm. 47. Sedangkan Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa penelitian hukum normatif yang juga bisa disebut penelitian hukum yang doktrinal biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber data sekunder saja, yaitu peraturan-peraturan perundang-undanga, keputusan pengadilan, teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Soejono dan Abdurrahman,1999, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, Hlm. 56.

18 Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif. Bahder Johan Nasution,2008 Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Hlm. 87.

(9)

Teori hukum akan membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.19

Untuk dapat menjawab rumusan masalah di atas serta pandangan yang lebih terarah terhadap kedudukan dan Wewenang Mahkamah Syar’iyah dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Aceh, penelitian ini mendasarkan pada teori tentang negara hukum dan teori organ oleh J.H.A. Logemann, dan makna asas desentralisasi dalam negara kesatuan serta kekhususan yang diberikan untuk Aceh, khususnya tentang Mahkamah Syar’iyah.

B. PEMBAHASAN

Upaya pelaksanaan penegakan hukum atas pelanggaran kekuasaan kehakiman yang merdeka pada pasal 3 ayat (2) dan (43) Nomor 48 Tahun 2009 merupakan cita hukum saja, sebab bila diperhatikan ketentuan hukum pidana materil belum, seharusnya untuk mewujudkan hal tersebut terlebih dahulu harus diatur dalam hukum pidana materil.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 18 menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Menurut Sudikno Mertokusomo kebebasan pengadilan, hakim, atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat dimana-mana, kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap warga atau negara. Dimana-mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan dinegara-negara Eropa timur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun semuanya mengenal kebebasan peradilan, tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan dinegaranya.20

Secara konstitusional pengaturan mengenai lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diatur dalam Bab IX dengan titlel kekuasaan Kehakiman” pasal 24, pasal 25 A, Pasal 24B dan pasal 24C

19 W. Friedmann,1993, Teori & Filsafat hukum terjemahan dari Legal Theory, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm.2.

20 Sudikno Mertokusumo,1997, Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia

(10)

UUD 1945, Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (tidak mengenal adanya cabang kekuasaan kehakiman), baru sebelum amandemen ketiga UUD 1945 dalam Bab IX kekuasaan kehakiman menganut siste bifurkasi (bifurcation system) dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 (dua) cabang yaitu: 1) Cabang peradilan biasa (ordinal court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi (judical

review) yang dilakukan oleh mahkamah konstitusi21. Selain kedua cabang tersebut diatas masih ada satu cabang kekuasaan kekuasaan kehakiman yang dianut dalam amandemen Undang Undang Dasar 1945, yaitu cabang bidang pengawasan dilaksanakan oleh komisi yudisial.

Perubahan Undang Undang Dasar 1945 dalam bidang kekuasaan kehakiman (bab IX) amandemen ketiga, memberikan kewenangan yang sangat luas terhadap kekuasaan kehakiman untuk melakukan koreksi terhadap segala perbuatan atas pelanggaran hukum yang yang terjadi dalam masyarakat, melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-undang, pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar dan memeriksa sengketa politik.

Demi efektifitas pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 Undang Undang Dasar 1945, maka dibuatlah dan ditetapkannya beberapa undang-undang di bidang kehakiman yaitu antara lain, Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Undang Undang Nomor 5 tahun 2005 tentang Mahkamah Agung, Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara, Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang Uundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Pengertian kekuasaan kehakiman secara normatif diatur dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetapkan bahwa: Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut

21 Fathurahman, dkk, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT.Aditya Bakti, Bandung.

(11)

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusannya berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan Aceh sebagai daerah Otonomi Khusus yang diberikan kekuasaan dan wewenang bagi Provinsi Aceh yang luas. Ini sangat berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah lain di Indonesia, dimana Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Aceh yang diberikan hak-hak yang khusus dalam tiga hal, Pendidikan, Agama dan Peradatan. Dengan demikian kedudukan Provinsi Aceh dalam penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah mendapat kedudukan yang Khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Aceh.

Sebelum dikeluarkan keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Naggroe Aceh Darusalam, terdapat 2 (dua) pandangan tentang pembentukan Mahkamah Syar’iyah berkenaan dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, Pertama, Mahkamah Syar’iyah merupakan badan peradilan tersendiri diluar Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama, Kedua, Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang mengacu pada Undang undang Nomor 7 tahun 1989, tentang Pengadilan Agama, namum berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (3) KEPPRES Nomor 11 Tahun 2003, Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi NAD diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama di Banda Aceh di ubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dengan demikian pandangan kedua mengandung masalah kekuasaan pengadilan ketika dihubungkan dengan pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dirumuskan dalam Perda Provinsi Aceh Nomor 5 tahun 2000, tentang Pelaksanaan Syari’at Islam yang juga mencakup pada bidang muamalah dan jinayah22. Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, yakni bidang Perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf,

22 Pasal 5 ayat (2) Perda Provinsi Aceh No 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam meliputi: (a) Aqidah; (b) Ibadah; (c) Mu’amalah; (d) Akhlak; (e) Pendidikan dan dakwah Islamiyah/amarma’ruf nahimungkar; (f) Baitul Mal; (g) Kemasyarakatan; (h) Syiar Islam; (i) Qadha; (j) Jinayat; (k) Munakahat; (l) Mawaris

(12)

zakat, infaq, sahdaqoh, dan ekonomi syari’ah.23 Pada sisi yang lain berkembang dalam masyarakat Aceh yang menghendaki Kekuasaan Mahkamah Syar’iyah lebih luas baik dalam bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana yang didasarkan atas syari’at Islam.24

Setelah diresmikan pembentukan Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 4 maret 2003, belum ada peraturan yang melimpahkan kewenangan dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Naggroe Aceh Darusalam, namum baru tanggal 6 Oktober 2004 dilakukan pelimpahan sebagian kewenangan dari Peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah melalui keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/070/SK/X/2004 tentang pelimpahan sebagian kewenangan dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh.yang tergolong ke dalam bidang Perdata (Mu’amalah) dan Pidana (jinayah) sebagaimana ketentuan undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dilimpahkan kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi Naggroe Aceh Darusalam. Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa pelimpahan kewenangan dalam perkara jinayah dan Mu’amalah tersebut hanya bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara yang ditetapakan oleh qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, sementara dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dijelaskan bahwa. “Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah”25

Dengan dimulainya formalisasi syariat di Aceh maka benturan antara pusat dan daerah terjadi di wilayah wewenang dan pelimpahan kekuasaan, di satu sisi Aceh telah diberi hak untuk membuat aturan pelaksanaan hukum berdasar syariat Islam, namum pengaturan itu hanya di undangkan dengan qanun (peraturan daerah) yang berada di level terbawah dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia.

23 Pasal 48 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undag-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

24 Pasal 128 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 25 Pasal 129 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

(13)

Sebagai tindaklanjut dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002, Tentang Peradilan Syariat Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002. berdasarkan Qanun tersebut Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya.26 Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002, Tentang Peradilan Syariat Islam kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:

(a) Al-ahwal Al-syakhshiyah. (b) Muamalah.

(c) Jinayah27.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum Nasional28 yang akan diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam.29 Di Nanggroe Aceh Darussalam, cita-cita penegakan syari’at Islam dengan cakupan yang lebih luas diharapkan dapat terlaksana di bumi Serambi Mekkah ini, dibanding daerah-daerah lain yang juga berupaya memanfaatkan momentum otonomi daerah, melalui status keistimewaannya di Aceh tampak lebih

26 Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada yang diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang juga berwenang menangani perkara-perkara tertentu sesuai dengan hukum Syar’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan dan disesuaikan dengan maksud Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan Peradilan Syariat Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana dan prasarananya) yang telah ada di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syariat Islam. Lihat Pasal 2 ayat (3) beserta penjelasannya Qanun No. 10 Tahun 2002.

27 Penjelasan Pasal 49 tersebut huruf c tentang jinayah sebagai berikut yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayah adalah: (i) Hudud yang meliputi : zina ,menuduh berzina, mencuri,merampok, minuman keras, dan Napza, murtad, pemberontakan (Bughaat); (ii) Kishash/diyat yang meliputi: pembunuhan dan penganiayaa; (iii) Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran Syariat selain hudud dan kisas/diat seperti: Judi, Khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan

28 Topo Santoso, 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, hlm. 111. 29 Pasal 25 ayat (2) Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001.

(14)

progresif dalam upaya membumikan syariat.30 Ada dua dasar hukum awal mengenai penegakan syariat di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan titik awal berdirinya kembali Provinsi Aceh yang sebelumnya telah di leburkan dengan Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 1950 oleh Pemerintah Republik Indonesia. dan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh juga disebutkan pada konsiderans “mengingat” angka 2 tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.31

Sesuai perkembangan sosial politik dan aspirasi yang sangat kuat bagi otonomi yang luas, dua dasar hukum di atas masih dianggap belum cukup untuk menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN Tahun 1999-2004, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang–Undang ini memberikan fondasi yang kuat bagi Pemerintah Provinsi NAD untuk berperan aktif dalam rangka menegakan syari’at Islam di Aceh secara Kaffah, tampak ada upaya penegakan syariat Islam dengan cakupan yang lebih luas, jadi bukan hanya dibidang hukum keluarga/waris saja, tapi juga dalam lapangan hukum publik.32

Dengan berpijak Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat peradilan lingkungan peradilan. Pada prinsipnya, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Apabila menelaah dari teori Montesquie mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, maka kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari dua kekuasaan lain di dalam suatu negara yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif. Baik kekuasaan Yudikatif, Eksekutif maupun legislatif masing-masing berdiri sendiri, dari kekuasaan yudikatif inilah dibuat suatu pembidangan badan peradilan sendiri.

30 Topo Santosa, Loc. Cit. hlm. 106.

31 Lihat konsiderans Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. 32 Topo Santoo, Loc.Cit.

(15)

Di Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya menganut teori Montesquie, Mahkamah Agung dianggap sebagai cerminan kekuasaaan yudikatif. Sebagai kekuasaan Yudikatif, Mahkamah Agung membagi kekuasaan atas badan-badan peradilan dibawahnya. Badan-badan peradilan tersebut, masing-masing mempunyai kewenangan tersendiri yang sering disebut kewenangan absolut. Kewenangan Absolut yang sering disebut juga antribusi kekuasaan adalah semua ketentuan tentang apa yang termasuk di dalam Undang-Undang yang mengatur susunan dan kekuasaan lembaga peradilan yang bersangkutan.33

Sebagaimana yang tersebut sebelumnya, badan-badan peradilan yang yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan di dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.sebagai pengadilan negaa tertinggi, kewenangan Mahkamah absolut Mahkamah Agung disebutkan sebagaiberikut:

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;

b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan

c. Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang.

Sementara itu, Peradilan Syariat Islam di Provinsi Aceh yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten atau pada tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, mempunyai keunikan yang bebeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

33 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1997,hal 332.

(16)

Kewenangan peradilan agama seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syari’ah.34

Dengan melihat kewenanganan pengadilan agama, maka Mahkamah Syar’iyah pun sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama mampunyai kewenaganan sebagaimana tersebut di atas, dengan disesuaikan kedudukannya. Dalam hal ini kewenangan Mahkmah Syariah Provinsi sesuai dengan kewenangan pengadilan Tinggi Agama, dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah kabupaten atau kota sesuai dengan kewenangan pengadilan agama.

Hal yang sama juga terjadi jika melihat kewenangan Pengadilan Umum seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Sementara Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili :

a. Perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding,

b. Di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar c. Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Dengan melihat pengadilan umum, maka Mahkamah Syar’iyah pun sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum mempunyai kewenangan sebagaimana tersebut di atas dengan disesuaikan kedudukannya. Dalam hal ini kewenangan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sesuai dengan kewenangan pengadilan tinggi, dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten atau kota sesuai dengan kewenangan Pengadilan Negeri. Apabila diartikan secara sederhana, bahwa Mahkamah Syar’iyah di tingkat Provinsi merupakan peralihan dari Pengadilan Agama dan Tinggi Agama, sedangkan Mahkamah Syar’iyah di tingkat kota atau kabupaten, merupakan peralihan dari pengadilan negeri yang berdasarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh. Kesan secara sederhana ini dapat dipahami jika melihat yang terjadi saat ini dapat

34 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

(17)

dipahami jika melihat yang terjadi saat ini (selain pengadilan khusus35 antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial) dan pengadilan pajak yaitu tempat kedudukan Pengadilan Niaga (yang berada di jakarta) dan pengadilan HAM berada di pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman lebih bersifat substansi kewenangannya yaitu sesuai dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang itu. Mahkamah Syar’iyah dapat merupakan suatu tempat kedudukan tersendiri yang terpisah dari badan peradilan agama.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh di bidang ahwal Al-syakhshiyah,Muamalah dan Jinayah, kewenangan tersebut berlaku asas personalitas, diberlakukan hanya pada pemeluk agama Islam dan Pelaku yang bukan beragama Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, dan penduduk Aceh yang melakukan perbuatan Jinayah diluar Aceh berlaku aturan Hukum KUHP dan hubungan Mahkamah Syar’iyah dengan peradilan lainnya dimana Peradilan Agama telah dileburkan menjadi Mahkamah Syar’iyah, Peradilan syariat Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah merupakan pengadilan khusus jika dilihat dari segi wewenang yang dimiliki. Dikatakan pengadilan khusus karena Mahkamah Syariah di Provinsi NAD mempunyai 2 (dua) kewenangan sekaligus yakni kewenangan pengadilan umum dan kewenangan pengadilan agama yang dilakukan oleh satu badan peradilan, dan Pengaturan terhadap lembaga peradilan tersebut merupakan konsekuensi dari pelaksaan syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

2. Saran

a. Agar Mahkamah Syar’iyah dapat melaksanakan tugas pokoknya secara optimal, masih diperlukan seperangkat peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah itu sendiri. Untuk

35 Lihat Pasal 1 Angka 8 Undang Undang Nomor 48 Thaun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Pengadilan Khusus adalah Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang.

(18)

mengatasi hal tersebut maka perlu ditetapkan peraturan yang lebih rinci lagi khususnya menyangkut hukum materil dan formil yang digunakan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara oleh Mahkamah Syar’iyah.

b. Disarankan kepada DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh untuk segera Mengesahkan Qanun Formil tentang Jinayah Mahkamah Syar’iyah agar pelaksanaan Hukum materil dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada KUHAP, karena sangat berbeda antara hukum dalam Qanun dengan dalam KUHAP, baik dari ancaman hukumannya, alat bukti dan prosedur, tata cara penangkapan sampai dengan tatacara pembinaan dan terhadap perkara-perkara jinayah yang telah menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah.

DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU

Bagir Manan,1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, IND-HILL-CO.

---., 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum, FH UII.

---.,1993, Perjalan Historis Pasal 18 UUD 1945, Krawang, Uniska.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju.

Husni Jalil., 2005, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945,

Bandung, CV. Utomo.

Jimmly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Jakarta, BIP.

---., 2000, Reformasi dan Reposisi Lembaga-lembaga Tinggi Negara, Jakarta,UI Press.

---., 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, The Habibi center.

Jonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum., Malang, Bayumedia. Moh. Mafud MD,2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press.

(19)

Muhammad Daud Ali., 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Satjipto Rahardjo,2009, Hukum Progrsif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publising.

---,1986, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni. ---, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta, Kompas.

---, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, cet. Ke tiga, Yogyakarta, Genta.

---., 2000, Ilmu Hukum, Cet I, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekonto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Cet.IV, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekonto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press. Topo Santoso., 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani. ---., 2000, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari’ah Islam

Dalam Konteks Modernitas, Bandung, Asy Syamil.

Lili Rasjidi, 2004, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, ed, Cet IX, bandung, Citra Aditya Bakti.

W. Friedmann,1993, Teori & Filsafat hukum terjemahan dari Legal Theory, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada.

ARTIKEL, JURNAL, MAKALAH DAN BAHAN KULIAH,

Jurnal Hukum, Edisi Ke-2 tahun ke-2, Juni 2004. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Bagir Manan,1991, Suatu Kaji Ulang atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Majalah Pro Justitia, Fakultas Hukum UNPAR, Bandung, Nomor 2 Tahun IX April 1991.

Saleh, M. Sofyan, 2003. “Mahkamah Syar’iyah Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Mimeo. makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembekalan Para Hakim Mahkamah Syar’iyah Se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi, 25 Agustus 2003.

Syahrizal, 2003. “Analisis Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Dalam Bidang Jinayah”.

Mimeo. makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembekalan Para Hakim

Mahkamah Syar’iyah Se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi, 6 Oktober 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mensimulasikan penambatan ligan LC20 pada kantung ikatan MMP-9 untuk mengetahui nilai root mean square distance (RMSD) sehingga dapat

Letakkan pointer pada panah horizontal yang terdapat pada bagian atas atau bawah objek sehingga berubah menjadi.. Klik-tahan-geser kanan atau ke kiri,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan metode mind mapping dan penggunaan media gambar berseri berbasis IT dapat meningkatkan: (1) kualitas

Orientasi relatif didapatkan dari hasil statistik perataan AT berupa sigma naught dan residu antar tie point, sedangkan orientasi absolut didapatkan dengan dengan

Hal tersebut diperlukan karena jika dengan adanya adab dalam menuntut ilmu dalam hal ini proses belajar seorang murid, maka akan terbentuk akhlak yang baik pada murid dan

Variabel yang digunakan adalah nilai perusahaan, profitabilitas, struktur modal, kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, kebijakan dividen,

Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Heri Tjahjono, M.Si dan Drs. Satyanta Parman, M.T. Kata Kunci: Deteksi, Potensi kekeringan,

Receiver GPS tipe pemetaan seperti tipe navigasi menggunakan data pseudorange hanya saja dilengkapi dengan alat perekam data untuk diproses lebih lanjut, penentuan posisi