• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Tinjauan Pustaka"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

9

Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan dibahas landasan teori berdasarkan studi kepustakaan mengenai alexithymia, kecerdasan emosi dan pengguna marijuana.

2.1 Alexithymia

2.1.1 Pengertian Alexithymia

Nemiah & Sifneos (1970) menyatakan bahwa alexithymia adalah sindrom dengan karakteristik kurangnya pengalaman dan ekspresi perasaan, serta kurangnya pengalaman yang dapat diimajinasikan yang menghasilkan gaya berfikir tanpa fantasi dan kiasan.

Lebih lanjut lagi Taylor, Bagby & Parker (1997) mencirikan alexithymia sebagai

trait merupakan ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan ketidakmampuan dalam mengenali emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam menggambarkan perasaan terutama dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-kata, serta memiliki gaya berpikir yang terikat dengan dunia luar dan juga dicirikan sebagai karakteristik yang memiliki keterbatasan dalam proses imajinasi serta kurang dapat berfantasi.

Lane, Ahern, Schwartz, & Kaszniak (1997) mengatakan bahwa alexithymia sebagi trait merupakan gangguan pada kapasitas merasakan emosi secara sadar yang menghasilkan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pengalaman emosi.

Sedangkan Taylor (2000) mengkonseptualisasikan alexithymia sebagai trait merupakan personality trait yang merefleksikan kekurangan pada kemampuan pemrosesan kognitif dari informasi emosi.

(2)

Lebih lanjut, Swart, Kortekaas & Aleman (2009) mengartikan alexithymia sebagai trait merupakan kepribadian yang diasosiakan dengan kesulitan dalam kesadaran emosi dan meregulasi emosi.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa alexithymia sebagai trait merupakan personality trait yang merefleksikan kekurangan pada kemampuan pemrosesan kognitif dari informasi emosi, yang dicirikan dengan ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan ketidakmampuan dalam mengenali emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam menggambarkan perasaan terutama dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-kata, serta memiliki gaya berpikir yang terikat dengan dunia luar dan juga dicirikan sebagai karakteristik yang memiliki keterbatasan dalam proses imajinasi serta kurang dapat berfantasi.

2.1.2 Karakteristik Alexithymia

Terdapat beberapa karakteristik gejala alexithymia sebagai trait menurut Taylor, Bagby & Parker (1997) sebagai berikut :

a) Kesulitan dalam mengidentifikasi perasaan

Orang dengan alexithymia sulit mengenali emosi mereka, contohnya ketika mereka sedang marah, senang, sedih maupun kecewa, mereka tidak tahu pasti emosi apa yang sedang mereka rasakan.

b) Kesulitan dalam menggambarkan perasaan

Orang dengan alexithymia memiliki kesulitan dalam mengungkapkan bagaimana perasaan mereka. Mereka sulit menceritakan kepada orang lain emosi yang sedang mereka rasakan terutama melalui kata-kata.

c) Gaya berpikir yang terikat dengan dunia luar

Orang dengan alexithymia memiliki disposisi untuk fokus pada eksternal daripada peristiwa internal dan sebuah pengalaman.

2.1.3 Jenis Dan Penyebab Alexithymia

Untuk mengetahui jenis-jenis alexithymia dapat dipahami dengan memahami bagaimana penyebab alexithymia ini muncul, jenis-jenis alexithymia menurut Thompson (2009):

(3)

a) Primary alexithymia (alexithymia trait)

Primary alexithymia merupakan suatu karakteristik yang melekat pada kepribadian

seseorang. Jenis ini dapat disebabkan oleh bawaan atau peristiwa yang terkait di usia dini misalnya penyalahgunaan dan penelantaran. Primary alexithymia (alexithymia

trait) merupakan keadaan yang sulit diubah dikarenakan alexithymia ini dapat

disebabkan juga oleh kondisi neurobiological.

b) Secondary alexithymia (alexithymia state)

Secondary alexithymia memiliki sebab yang spesifik dan merupakan kondisi

sementara. Jenis ini merupakan keadaan yang masih bisa diubah dikarenakan alexithymia ini disebabkan oleh reaksi emosi dari sebuah trauma emosi dan dapat diubah ketika masalah yang membuat stress itu mereda atau hilang sehingga alexithymia dapat menurun.

Pada penelitian ini yang akan dibahas adalah alexithymia sebagai trait.

2.2.3 Ciri-ciri Individu Dengan Alexithymia Yang Tinggi

Thompson (2009) menciri-cirikan individu dengan alexithymia sebagai trait tinggi sebagai berikut :

1. Mengabaikan perasaan

2. Cenderung mengidap gangguan somatisasi 3. Salah dalam menangkap arti dari sebuah emosi

Selain itu, individu dengan alexithymia tinggi dicirikan pada penelitian-penelitian sebagai berikut :

Moriguchi et. Al (2007) menyatakan individu dengan alexithymia yang tinggi menunjukan respon saraf abnormal untuk membangkitkan rasa empati. Penderita alexithymia tinggi dicirikan dengan tidak adanya rasa empati.

(4)

2.2 Kecerdasan Emosi

2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Goleman (1995) mengartikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan megelola emosi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi meliputi kemampuan yang berbeda dengan kecerdasan akademik. Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan pada perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif.

Lebih lanjut, Mayor, Salovey, Caruso & Siteranios (1997) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan dan maknanya serta menggunakan perasaan tersebut untuk berpikir dan menyelesaikan masalah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah sebuah kemampuan individu untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan mengelola emosi, baik untuk diri sendiri maupun dalam berhubungan dengan orang lain, dan menggunakan kemampuan tersebut untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Kecerdasan emosi dapat dilihat sebagai hasil dari keseluruhan aspek-aspeknya. Pada penelitian ini yang akan dibahas adalah kecerdasan emosi sebagai sebuah kemampuan.

2.2.2 Aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Shailendra Singh (2004) dari teori Goleman (1997) kecerdasan emosi ini terdiri dari lima aspek yaitu :

1. Self awareness (kesadaran diri) yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lainnya, yang berarti kesadaran diri ini akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lain. Arti lainnya adalah individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul. Contoh perilaku self awareness yang tinggi adalah dapat mengenali emosi diri sendiri.

(5)

2. Self regulation (kemampuan mengelola emosi) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangakan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam, sehingga mengakibatkannya tidak mampu lagi berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci, dia kemudian mampu menerima perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha menolaknya dan kemudian berusaha menyeimbangkan emosi tersebut secara konstruktif. Contoh perilaku self regulation yang tinggi adalah melihat peristiwa yang menimbulkan kekecewaan dan kebencian dari sudut pandang yang lebih positif, mengambil hikmah di balik masalah tersebut atau mencoba untuk memaafkan diri sendiri atau orang lain yang terlibat dalam masalah tersebut. Akibatnya dia mampu meredakan kekecewaannya dan kebenciannya tersebut, sehingga tidak berlarut-larut terombang-ambing dalam kekecewaan dan kebencian.

3. Motivation (optimisme) yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar. Contoh perilaku motivation yang tinggi adalah tidak mudah putus asa dan kehilangan harapan.

4. Social awareness (kesadaran sosial) yaitu kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan individu memahami perasaan terdalam orang lain sehingga dia mampu bertenggang rasa dan mampu membaca, memahami perasaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa non-verbal, ekspresi wajah, atau intonasi suara orang tersebut. Contoh perilaku social awareness yang tinggi adalah mampu memahami perasaan dan pikiran orang sekitarnya.

5. Social skill (keterampilan sosial) yaitu kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahakan hubungan sosial tersebut, dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain, menginspirasikan kepercayaan pada orang lain dan senantiasa bersikap saling

(6)

menghormati hak-hak orang lain. Contoh perilaku social skill yang tinggi adalah mampu berhubungan dengan baik dengan orang sekitarnya.

2.2.3 Ciri-ciri Individu Dengan Kecerdasan Emosi Yang Tinggi dan Rendah

Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:

1. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

2. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu:

1. Lingkungan keluarga.

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara

(7)

permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari.

2. Lingkungan non keluarga.

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.

Selain-hal-hal diatas, terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kecerdasan emosi sebagai berikut :

Dinkmeyer (1965) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan keluarga. Sedangkan Dawda & Hart (2000) menilai kecerdasan emosi cenderung berkorelasi dengan kepribadian.

2.3 Marijuana

2.3.1 Pengertian Pengguna Marijuana

Untuk lebih memperjelas fokus penelitian ini maka perlu dikemukakan berbagai macam konsep seputar pengguna marijuana.

Menurut Volkow (2015) marijuana adalah daun yang mengandung zat psikoaktif yaitu delta-9tetrahydro-cannabinol (THC) dan mengandung 500 bahan kimia lainnya yang berhubungan dengan THC yang disebut cannabinoids dan berwarna hijau keabu-abuan yang dikeringkan dari bunga cannabis sativa yang digunakan dengan menggulung dengan kertas atau menggunakan pipa yang disebut bong dan rokok marijuana yang disebut blunts.

Menurut Kurniawan (2015) marijuana adalah tumbuhan budidaya penghasil serat namun lebih dikenal sebagai zat narkotika pada bijinya yang mengandung tetrahydro-cannabinol yang menyebabkan pengguna mengalami euforia atau kesenangan tanpa sebab.

(8)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengguna marijuana adalah individu yang menggunakan tetrahydro-cannabinol yang digunakan sebagai zat narkotika yang dapat menimbulkan euforia atau kesenangan tanpa sebab.

Pengguna marijuana merupakan responden yang akan diteliti pada penelitian ini.

2.3.2 Ciri-ciri pengguna marijuana

Terdapat beberapa penelitian yang mencirikan pengguna narkoba, khususnya jenis marijuana. Siegel (2014) mencirikan pengguna narkoba memiliki ketidakmampuan dalam meregulasi emosi dengan baik. Sedangkan Morrison & Pihl (1990) & Taylor et al. (1990) mencirikan pengguna narkoba memiliki kecenderungan alexithymia. Hal ini mengartikan bahwa individu yang menggunakan narkoba, yang salah satu jenisnya adalah marijuana, memiliki kecenderungan alexithymia sebagai trait. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan pada dewasa muda yang masih aktif menggunakan marijuana.

2.4 Kerangka Berfikir

Fenomena B yang merupakan seorang pengguna marijuana yang diwawancara pada penelitian ini, menunjukan bahwa tindakan tersebut menunjukan karakteristik individu dengan kecerdasan emosi yang rendah menurut Goleman (1995). Lebih lanjut, Goleman (1995) menjelaskan individu dengan kecerdasan emosi yang rendah, cenderung menggunakan cara yang tidak tepat dalam menyelesaikan permasalahan kondisi emosinya.

Hal tersebut sejalan dengan Tomczak (2010) yang menyatakan kecerdasan emosi yang rendah sangat berasosiasi secara signifikan terhadap tingginya tingkat resiko penyalahgunaan narkoba. Hal ini dikarenakan kecerdasan emosi akan mempengaruhi dan menentukan reaksi individu dalam menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. Apabila individu memiliki kecerdaan emosi yang rendah, maka individu tersebut akan sulit untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan kondisi emosi yang dihasilkan dari ketidakmampuan dalam menyelesaikan permasalahan individu. Ketidakmampuan dalam mentgatasi permasalahan kondisi emosi tersebut akan membuat individu memiliki resiko dalam

(9)

penyalahgunaan narkoba yang dilakukan sebagai salah satu bentuk interaksi untuk menyelesaikan masalah pada kondisi emosi negatif.

Oleh karena pentingnya kecerdasan emosi, yang jika individu memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan menjadi salah satu sebab individu menggunakan marijuana, penting untuk mengetahui apa yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi maupun hal yang terkait dengan kecerdasan emosi. Goleman (1995) menyatakan faktor lingkungan keluarga dan faktor non lingkungan keluarga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi. Lebih lanjut, Dinkmeyer (1965) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan keluarga. Sedangkan Dawda & Hart (2000) menyatakan adanya keterkaitan antara kecerdasan emosi dan kepribadian.

Mengacu pada penelitian Dawda & Hart (2000), berbagai penelitian mengkaitkan kecerdasan emosi dengan trait kepribadian yang dinamakan alexithymia. Veríssimo (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan yang positif dengan kontrol emosi dan memiliki hubungan negatif dengan alexithymia. Penelitian ini menjelaskan mengenai hubungan kecerdasan emosi dengan kontrol emosi dan alexithymia, bahwa jika tingkat kecerdasan emosi tinggi maka tingkat kontrol emosi tinggi dan jika tingkat kecerdasan emosi rendah maka tingkat alexithymia tinggi.

Lebih lanjut, Felatooni et. al (2012) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasaan emosi yang tinggi, cenderung dapat menyadari emosi secara akurat, yang tidak dimiliki oleh penderita alexithymia. Sedangkan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah, tidak dapat mengenali emosi dalam diri mereka maupun orang lain, yang banyak dimiliki oleh penderita alexithymia.

Pembuktian lain mengenai keterkaitan kecerdasan emosi dengan alexithymia dijelaskan pada penelitian Austin et al. (2005) yang menyatakan kecerdasan emosi memiliki hubungan yang negatif dengan alexithymia. Hal ini didukung oleh Bermond et al. (2006) yang menyatakan bahwa jika seseorang berada pada kecerdasaan emosi yang rendah, kemungkinan ia memiliki kondisi alexithymia.

Banyaknya jurnal mengenai adanya keterkaitan antara alexithymia dengan kecerdasan emosi, membuat peneliti ingin melihat adanya suatu prediktor dalam dua variabel tersebut. Penelitian ini menempatkan alexithymia sebagai trait sebagai

(10)

prediktor yang dapat memprediksi kecerdasan emosi secara keseluruhan. Hal tersebut dikarenakan alexithymia dalam penelitian ini adalah alexithymia sebagai trait dan kecerdasan emosi merupakan sebuah kemampuan yang dinilai secara keseluruhan aspeknya.

Penjelasan mengenai bagaimana penelitian ini menempatkan alexithymia sebagai trait sebagai prediktor yang dapat memprediksi kecerdasan emosi secara keseluruhan, ada pada pernyataan Taylor (2000) yang menyatakan bahwa alexithymia sebagai trait merupakan personality trait yang merefleksikan kekurangan pada kemampuan pemrosesan kognitif dari informasi emosi. Dengan kata lain, individu dengan alexithymia memiliki hambatan dalam memproses informasi emosi dengan baik. Adanya hambatan dalam memproses informasi emosi dengan baik, akan menghambat kemampuan individu dalam mengenali emosi diri sendiri, hal ini dijelaskan oleh Lane et. Al (1997) yang mengkonseptualisasikan alexithymia sebagai kekurangan pada self awareness. Hal ini dibuktikan juga oleh Thompson (2009) pada penelitiannya yang menyatakan individu dengan alexithymia kesulitan dalam mengenali emosinya sendiri.

Alexithymia juga akan menghambat self regulation individu seperti yang dikatakan Beadle (2013) bahwa individu alexithymia tidak dapat menerima sebuah emosi dengan tepat yang akhirnya akan memberikan dampak pada ketidakmampuan dalam meregulasi emosi. Alexithymia juga akan menghambat individu dalam aspek

motivation. Hal ini sesuai dengan Posse dan Hallstron (2001) yang menyatakan individu

alexithymia sebagian besar tidak menyadari perasaan mereka atau tidak tahu apa yang mereka rasakan, oleh karena itu mereka jarang berbicara tentang emosi mereka, mereka bertindak dengan cara yang sangat fungsional dan jarang menggunakan imajinasi dan motivasi mereka.

Lebih lanjut, alexithymia juga akan menghambat social awareness dan social

skill, hal ini sesuai dengan Grynberg et. Al (2012) yang menyatakan adanya hubungan

alexithymia dengan empathy atau social awareness yang terkait dengan social skill. Sejalan dengan itu, lebih lanjut Mcdoughal (1989) menjelaskan individu alexithymia memiliki kapasitas terbatas dalam mengartikan kondisi emosi orang lain yang akan berdampak pada hubungan sosial mereka. Dari jurnal-jurnal tersebut, dapat disimpulkan bahwa alexithymia sebagai trait memiliki keterkaitan dengan setiap aspek kecerdasan

(11)

emosi. Melihat adanya keterkaitan antara alexithymia sebagai trait dengan setiap aspek kecerdasan emosi, penelitian ini akan mengkaitkan alexithymia sebagai trait dengan kecerdasan emosi secara keseluruhan.

Morrison & Pihl (1990) menyatakan bahwa alexithymia merupakan trait yang dapat menjadi faktor predisposisi individu menyalahgunakan narkoba. Hal ini mengartikan bahwa individu yang menggunakan narkoba memiliki kecenderungan alexithymia sebagai trait. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan pada dewasa muda yang masih aktif menggunakan marijuana.

Untuk itu, asumsi penelitian ini adalah penggunaan marijuana dapat disebabkan oleh kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dikaitkan erat dengan alexithymia. Dikarenakan adanya keterkaitan erat antara kecerdasan emosi dengan alexithymia, untuk itu penelitian ini menempatkan alexithymia sebagai trait menjadi sebuah prediktor yang dapat memprediksikan kecerdasan emosi. Penelitian ini ingin meneliti apakah alexithymia sebagai trait berperan secara signifikan dalam memprediksikan kecerdasan emosi pada pengguna marijuana.

Table 2.1 Kerangka Berpikir

Alexithymia sebagai trait

Kecerdasan emosi pada

pengguna marijuana

(12)

Gambar

Table 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah

Berita yang terkait dengan garis atau area ditampilkan dalam bentuk chartlet untuk membantu pelaut mengetahui posisi suatu objek, Contoh : Peletakan kabel laut

Penelitian ini mencakup evaluasi penerapan otomasi pada 3 modul sistem perpustakaan terintegrasi yang diutamakan menurut William Saffady dan mendeskripsikan bagaimana

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

1) Persepsi kegunaan, persepsi kemudahan penggunaan, persepsi manfaat, dan persepsi biaya secara simultan berpengaruh terhadap niat menggunakan PC Tablet

Lokasi yang berdekatan dengan muara sungai, tidak dianjurkan untuk pembesaran Ikan Kerapu Macan karena lokasi tersebut salinitasnya sangat berfluktuasi karena

(3) Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per jenis per bidang dan laporan yang memuat nilai rencana kebutuhan dana untuk penyelesaian

Urutan pengerjaan pembuatan huruf/angka pada bidang plesteran terdiri dari: melukis huruf/angka pada permukaan, menyiapkan permukaan, melekatkan adukan pada permukaan,