27
INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU DALAM PERPEKTIF
PESERTA PEMILU
(Studi Deskriptif Komisi Independen Pemilihan Aceh Pada Pilkada
Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017)
Nurrahmawati
Abstrak
Studi ini mengkaji tentang integritas Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP) dalam perspektif peserta Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017. Polemik yang berkembang di publik, integritas KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu diragukan. Perspektif peserta pemilu tentang integritas penyelenggara merupakan bagian dari pengawalan terhadap jalannya pemilu yang berkualitas dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Penelitian menggunakan tujuh indikator penyelenggara pemilu yang berintegritas yaitu; Independent, imparsial, professional, transparant, accuntabel, efesien dan service-mindednes. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, data diperoleh dengan tiga cara yakni indepth interview, kajian dokumentasi, dan observasi. Analisis terhadap integritas penyelenggara pilkada dalam persfektif peserta pilkada ini
dilakukan dengan pendekatan analisa integritas penyelenggara pemilu menurut konsep New
Public Mangement. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perpektif peserta pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017 dalam melihat integritas KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu. Perbedaan pandangan tersebut dipengaruhi oleh relasi politik antar peserta pilkada dan relasi peserta pilkada dengan KIP Aceh. Namun setelah dikaji secara keseluruhan perspektif peserta pemilu terhadap KIP Aceh telah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Kata Kunci: Integritas Penyelenggara Pemilu, Komisi Independen Pemilihan, New Public Management.
Pendahuluan
Penyelenggara pemilu yang
berintegritas berarti mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Integritas penyelenggara menjadi penting, karena menjadi salah satu tolok ukur terciptanya pemilu demokratis. Peserta pemilu merupakan bagian dari partai politik dan publik, sebagamaina yang
disebutkan ACE (Administrasion and Cost
of Election) sebagai salah satu
pemantau/pengawas yang menjamin
terlaksananya pemilu yang berintegritas. Beberapa prinsip dalam ACE (2012) yang dibutuhkan untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas, yaitu:
1. Menghormati prinsip-prinsip
pemilu yang demoktaris.
2. Kode etik, integritas pemilu juga
bergantung pada perilaku etis
para penyelenggara pemilu,
kandidat, partai dan semua
peserta dalam proses pemilu.
3. Profesionalisme dan akurasi,
pemilu yang berintegritas sering diasumsikan berasal dari praktik pemilu yang jujur.
4. Perlindungan terhadap lembaga
penyelenggara pemilu. Untuk menjamin adanya pemilu yang berintegritas, ada baiknya jika lembaga penyelenggara pemilu berdiri sendiri dan mandiri dalam melaksanakan proses pemilu.
5. Pengawasan dan penegakan
hukum. Fungsi dari pengawasan dan kerangka hukum adalah
supaya penyelenggara dan
peserta pemilu bertanggung
jawab terhadap proses pemilu.
6. Transparan dan akuntabel,
transparansi penyelenggara
dalam memberikan informasi kepada publik tentang semua proses pemilu adalah salah satu
upaya dalam mewujudkan
pemilu yang berintegritas.
Langkah-langkah mewujudkan
pemilu yang berintegritas disesuaikan
dengan konteks sosial dan politik
dimasing-masing negara, namun tujuannya
tetap sama yaitu menjamin
berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil. Terdapat delapan kriteri pemilu berintegritas yang dirumuskan Ramlan Subakti (2016), yaitu:
1. Hukum pemilu dan kepastian
hukum.
2. Kesetaraan antar warga negara,
baik dalam pemungutan dan
penghitungan suara maupun
dalam alokasi kursi DPR/DPRD
dan pembentukan daerah
pemilihan.
3. Persaingan bebas dan adil.
4. Partisipasi pemilih dalam
pemilu.
5. Penyelenggara pemilu yang
mandiri, kompetensi,
berintegritas, efesien dan
kepemimpinan yang efektif.
6. Proses pemungutan dan
penghitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratik dan prinsip pemilu berintegritas.
7. Keadilan pemilu.
8. Tidak ada kekerasaan dalam
proses pemilu. Kekerasan pemilu adalah setiap tindakan yang mencederai orang atau anacama
mencederai atau barang
berkaitan dengan pemilu.
Penelitian terkait terhadap
integritas penyelenggara pemilu, pernah dilakukan oleh Aceh Institute (AI) sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat
yang aktif memantau kinerja
penyelenggara pemilu di Aceh. AI meneliti bagaimana kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu melalui pemberitaan yang dimuat dimedia
terkait dengan isu-isu pemilu, dan
menganalisanya secara mendalam dengan melakukan observasi lapangan untuk mengekplorasi liputan media.
Salah satu isu penting adalah isu komitmen penyelenggara pemilu di Aceh,
khususnya Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam menjaga komitmen independensi Lembaga, yang berimbas pada kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut. Pasalnya, sistem perekrutan KIP Aceh yang berbeda dengan perekrutan KPU di seluruh Indonesia di mana KIP Aceh direkrut oleh anggota Dewan Pemilihan Rakyat Aceh (DPRA) bukan oleh KPU (Nivada, 2015).
Penelitian tentang perspektif
masyarakat terhadap penyelenggara
pemilu juga pernah dilakukan oleh IFES (International Foundation for Electoral Systems). IFES melakukan observasi kelapangan langsung untuk mengetahui
pendapat masyarakat terhadap
penyelenggara pemilu. Penelitian lain yang mengkaji tentang penyelenggara pemilu
adalah Menakar Profesionalisme
Penyelenggara Pemilu 2014 di Kota
Garam: Analisis Kepemimpinan,
Integritas, Independensi dan Kompetensi Kepemiluan (Jono dan Sugihariyadi,
2015). Penelitian tersebut mengkaji
bagaimana tingkat profesionalisme
penyelenggara pemilu dengan melihat tiga aspek yakni kepemimpinan, integritas dan
independensi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aspek kepemimpinan
KPU adalah kolektif kolegial.
Kepemimpinan kolektif
kolegial/transformasional cukup efektif
dalam memberikan sumbangan bagi
perbaikan pemilu 2014, karena dapat menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya dalam organisasi KPU.
Mengenai integritas penyelenggara
pemilu, secara nasional integritas
penyelenggara pemilu di Indonesia
belakangan ini menampakkan hasil yang menggembirakan. Laporan IFES Indonesia (2015:21) menyebutkan bahwa tingkat
kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilu 2014 mendapat apresiasi yang positif.
Data dari IFES (2015) menunjukkan
bahwa kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilu tahun 2014 cukup baik. Hasil tersebut menggambarkan
mayoritas masyarakat Indonesia merasa cukup percaya dengan kinerja Bawaslu, KPU, dan DKPP. Kepercayaan publik terhadap KPU Kabupaten/Kota lebih tinggi dibandingkan dengan kepercayaan publik terhadap KPU Provinsi dan KPU RI.
Dalam konteks penyelenggara
Pilkada Aceh, KIP Aceh sering menerima kritikan dari pengamat politik dan peserta pemilu karena dianggap tidak profesional dan independen. KIP Aceh dianggap tidak netral dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Hal tersebut sering
dikemukakan oleh pengamat politik dan dalam pemberitaan media massa di Aceh (Serambi Indonesia, 2014).
Selama ini integritas penyelenggara pemilu di Aceh selalu menjadi sorotan publik karena dikaitkan dengan proses rekrutmen penyelenggara pemilu yang dilakukan sepenuhnya oleh parlemen Aceh. Proses rekrutmen KIP Aceh tersebut
dianggap sebagai sebuah landasan
penyelenggara pemilu yang tidak mandiri, karena ada campur tangan partai politik didalamnya. Pilkada Aceh selalu menjadi sorotan publik secara luas, baik nasional maupun Internasional. Hal ini dikarenakan ada partai politik lokal dari mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi peserta pemilu, sehingga Pemilu Aceh terkesan sensitif dengan gesekan konflik bersenjata. Untuk itu keberadaan KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas sangat menentukan terselenggaranya pemilu yang demokratis di Aceh.
Di samping persoalan-persoalan di atas, penyelenggara pemilu di Aceh juga mengalami persoalan kelembagaan dan persoalan etik. Nur Hidayat Sardine anggota DKPP dalam acara DKPP
Outlook 2016: Refleksi dan Proyeksi untuk
kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu menyebutkan bahwa Aceh menduduki peringkat kelima terkait pengaduan kasus pelanggara kode etik penyelenggara pemilu.
Tabel 1.
Jumlah Pengaduan Tertinggi yang Masuk Ke DKPP 2016 No Provinsi Jumlah Aduan Persentase 1. Provinsi Papua 26 8,16% 2. Sumatra Utara 24 7,95% 3. Sulawesi Tengah 22 7,28% 4. Sulawesi Tenggara 22 7,28% 5. Aceh 20 6,62% Sumber: Outlook DKPP 2016.
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa aduan karena pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di Aceh tergolong tinggi. Jumlah pelanggaran kode etik di Aceh menempati urutan kelima, hal tersebut tentu mempengaruhi kepercayaan publik terhadap KIP Aceh.
Maka jika penyelenggara pemilu
menghadapi banyak permasalahan,
bagaimana penyelenggara dapat
menghasilkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
Integritas Kip Aceh
KIP Aceh sebagai penyelenggara Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur selalu menjadi sorotan publik. Karena kinerja
mereka akan menjadi acuan
terselenggaranya Pilkada Aceh yang
berintegritas. Perspektif peserta pilkada
berkenaan dengan independensi,
profesionalisme, imparsial, dan pelayanan
oleh KIP Aceh sebagai lembaga
penyelenggara pilkada menjadi salah satu acuan peningkatan kepercayaan terhadap KIP Aceh. Perspektif yang dilihat peserta Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017 terhadap setiap tahapan pilgub yang berhubungan langsung antara KIP Aceh dengan peserta pilkada yang diawali dari tahapan penetapan Daftar Pemilih Tetap, Pencalonan, Kampanye, Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Perspektif merupakan cara pandang peserta pilkada ketika bersinggungan dengan KIP Aceh dalam menjalani proses penyelenggaraan Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017, sehingga hubungan
yang intens dan profesional tersebut melahirkan suatu kesimpulan bagaimana mereka menilai integritas KIP dalam mewujudkan Pilkada yang berkualitas. Adapun azas yang menjadi fokus penilaian terhadap integritas KIP Aceh oleh peserta pilkada adalah:
1. Prinsip Independensi.
Makna Independen adalah mandiri atau berdiri sendiri, KIP yang independen adalah dalam menjalankan segala tugas dan fungsinya tanpa ada pengaruh oleh partai politik tertentu, atau pejabat negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta pemilu. Independen menjadi kata yang sangat sakral, karena independen diartikan sebagai kekuatan penyelenggara pemilu dalam mewujudkan jalannya demokrasi. Untuk mengukur
independensi KIP Aceh pada
penyelenggaraan Pilkada Gubernur/Wakil
Gubernur Aceh 2017, penulis
menggunakan tiga indikator yaitu:
a. Penyelenggara Pilkada bukan
anggota partai politik tetapi
tidak anti partai ataupun
berpihak kepada partai tententu
melainkan memperlakukan
semua partai politiksama.
b. Melaksanakan tugas dan
kewenangannya tidak berada
dibawah tekanan siapapun
dalam independensi
penyelenggara pemilu dapat dinilai dari sikap, kebijakan yang diambil penyelenggara pemilu, seperti soal penetapan
peserta pemilu, pengaturan
jadwal kampanye,
penghitungan suara,
penghitungan suara hingga
penetapan calon terpilih.
c. Menyelenggarakan pilkada
semata-mana berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
2. Prinsip Impartiality
(Berimbang/Tidak Berpihak) Lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak manapun, baik pihak berwenang maupun
pihak partai politik. Lembaga ini harus mampu menjalankan dan bekerja tanpa pemihakan dan praduga politik, serta bebas dari campur tangan, karena akan memiliki dampak langsung tidak hanya
terhadap kredibilitas lembaga
penyelenggara, tetapi juga terhadap proses dan hasil pemilu. Perlakuan yang sama, tidak memihak, dan adil sehingga tidak
memberikan keuntungan pihak lain
merupakan makna imparsialitas.
Imparsialitas dapat diciptakan melalui penataan aturan hukum dan struktur kelembagaan KPU, namun lebih penting Imparsialitas penting karena keberpihakan
justru akan mencederai kredibilitas
penyelenggara pemilu dan proses
penyelenggaraan pemilu. Bentuk
keberpihakan dimaksud adalah tindakan yang bertujuan untuk menguntungkan kandidat tertentu.
3. Prinsip Transparansi
Setidaknya terdapat tiga unsur penting dalam penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabilitas, yaitu akses, partisipasi, dan pembagian tugas yang jelas. Dari segi akses, transparansi proses penyelenggaraan pemilu adalah kewajiban maka dari itu KIP Aceh
membuka keterbukaan publik sesuai
dengan Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik dengan membentuk PPIP untuk melayani permintaan informasi dari
masyarakat terkait penyelenggaraan
Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017. Untuk memenuhi keterbukaan akses terhadap publik, KIP Aceh menyediakan
laman web (kip.acehprov.go.id) yang
dapat diakses secara bebas oleh publik yang ingin mengetahui berbagai informasi tentang proses tahapan pilkada. Fungsi dari laman tersebut adalah agar berbagai kegiatan KIP Aceh, informasi jalannya tahapan program Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017 dan hasil Pilkada, berbagai surat keputusan KIP Aceh, perundang undangan pemilu dan semua profil dan pembagian kerja para komisoner
dapat diketahui tanpa batas, siapa
melakukan apa. Kesemuanya itu agar
publik dapat berperan sebagai pemantau akan jalannya Pilkada Gubernur/Wakil
Gubernur Aceh dengan bebas dan
bertanggung jawab. Kemudian dalam
bentuk media cetak, KIP Aceh
menerbitkan suara KIP Aceh yang diterbitkan setiap bulan sekali selama
tahapan program pilkada Aceh
berlangsung. Akses terbuka lainnya yang
disedia KIP Aceh adalah, media center
yang diperuntukkan kepada media massa,
baik media lokal, nasional dan
internasional. Media massa memiliki akses menggunakan ruang konfrensi dengan penyediaan akses internet gratis untuk mengirim mengolah dan mengirim berita ke media masing-masing.
Sebagai penyelenggara Pilkada
Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017, KIP Aceh selalu menjamin hak-hak
peserta pemilu atau calon dalam
menjalankan hak-hak mereka secara
efektif. Dalam hal ini, KIP Aceh memberi ruang kepada peserta pemilu untuk menyampaikan berbagai keluhan mereka secara langsung ke kantor KIP Aceh di Jalan Daued Beureueh, maupun menerima pengaduan langsung melalui telepon masing-masing komisioner KIP Aceh. Kemudahan akses tersebut, tentu saja
membuat proses pengaduan berjalan
secara cepat dan akurat. Proses ini semua peserta pemilu setuju bahwa akses yang
keterbukaan KIP Aceh dalam
penyelenggaraan pilkada berjalan dengan sangat memuaskan.
4. Prinsip Efesiensi
Keduanya merupakan komponen penting dari seluruh kredibilitas pemilu. Efisiensi sangat penting bagi proses penyelenggaraan pemilu karena masalah teknis dapat menyebabkan kekacauan dan rusaknya hukum dan tata tertib. Efisiensi
dan efektivitas bergantung kepada
beberapa faktor, termasuk profesionalisme staf, sumber daya, dan paling penting
adalah waktu yang cukup untuk
mempersiapkan pemilu dan melatih
mereka yang mempunyai tanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu. Efisiensi dan
efektivitas tergantung beberapa faktor,
termasuk profesionalisme para staf,
sumber daya, dan yang paling penting
waktu yang memadai untuk
menyelenggarakan pemilu, serta melatih orang-orang yang bertanggungjawab atas pelaksanaan teknis pemilu. Tidak ada keluhan dan penilaian negatif terhadap efesiensi KIP Aceh di mata peserta Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017.
5. Professional KIP Aceh
Penyelenggara pemilu yang
profesional berarti melaksanakan seluruh tugasnya dan kewenangannya berdasarkan keahlian tentang tata kelola pemilu dan bidang ahlinya. Profesionalisme dalam majemen pemilu membutuhkan akurasi,
implementasi berorientasi layanan
prosedur pemilihan oleh staf sesuai keterampilan dan keahlian. Penyelenggara pemilu yang professional meningkatkan
kepercayaan publik terhadap
penyelenggara, karena segala sesuatu tentang penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk itu
peningkatan capacity bulding untuk
penyelenggara pemilu sangat penting. Karena pemilu merupakan pelaksanaan demokrasi yang yang mestinya dilakukan oleh penyelenggara yang ahli, terlatih dan berdedikasi tinggi. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas, KIP Aceh dibantu oleh bagian sekretariat. Keterlibatan sekretarian yang bisa bekerja secara profesional dan
bertanggung jawab tentu saja
mempermudah KIP Aceh dalam
pencapaian kerja yang efektif dan tepat
waktu. Setidaknya ada 45 anggota
sekretariat KIP Aceh dalam membantu dan melayani berbagai kebutuhan kepemiluan di KIP Aceh.
Selain yang disebutkan di atas, tolok ukur profesionalisme KIP Aceh juga dilihat bagaimana KIP Aceh memberi pelayanan yang sama terhadap peserta pilkada, tidak memihak dan setara. Dalam hal profesionalisme peserta pemilu lebih cenderung menilai tentang kinerja KIP Aceh pertahapan Pilkada, namun yang
paling banyak mendapat respon dari peserta pemilu adalah pada tahapan kampanye. Penilaian paling dominan tentang profesionalisme KIP adalah pada
tahapan pemasangan Alat Peraga
Kampanye (APK). Dalam hal ini,
sebenarnya apa yang dilakukan oleh KIP Aceh sudah sesuai tahapan dan program penyelenggara Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh. Hal serupa merupakan keluhan di setiap peserta pemilu di seluruh Indonesia. PKPU RI Nomor 12 Tahun
2016 Tentang Kampanye Pemilihan
Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan
Wakil Walikota pasal 28 ayat 1
menyebutkan,
“KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/Kip Kabupaten/Kota mem-fasilitasi pembuatan dan pema-sangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c.”
APK merupakan salah satu yang difasilitasi oleh KPU. Maksud dari
lahirnya peraturan tersebut guna
mewujudkan keadilan dan dan kesetaraan peserta dalam berkompetisi. Peserta Pilkada masih kurang memahami mana yang menjadi tugas KIP Aceh dan yang mana tugas Panwaslih Aceh. Padahal
fungsi pengawasan berada ditangan
Panwaslih Aceh. KIP Aceh baru bisa
menindak lanjuti jika sudah ada
rekomendasi dari Panwaslih Aceh. Namun pada kenyataanya, tidak ada rekomendasi dari Panwaslih terhadap pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye.
Penyelenggara Pilkada yang
professional adalah penyelenggara yang mampu menyusun langkah strategis dalam perencanaan, pelaksanaan semua tahapan pilkada berdasarkan peraturan perundang-undangan, peraturan dan kebijakan KIP
Aceh tentang tahapan dan system
pendukung penyelenggaraan Pilkada.
Alasan utama dibentuknya
memberikan pelayanan kepada
stakeholders, peserta pemilu, dan publik. Bagi penyelenggara pemilu, pelayanan
juga menjadi tolok ukur dikatakan
penyelenggara pemilu yang professional. Contoh pelayan adalah, penyelenggara
pemilu melayani semua stakeholder,
peserta pemilu dan publik dengan
pelayanan yang sama, adil dan tidak membeda-bedakan, semua dilayani dengan baik tanpa harus melihat latar belakang, suku, agama, derajat sosial, pendidikan, kepentingan politik dan yang lainnya. Misalnya dalam merespon pengaduan
masyarakat tentang pelanggaran
kampanye, atau tentang masih belum adanya informasi pemilihan yang terdaftar.
6. Prinsip Service- mindedness.
Menurut International IDEA,
alasan utama dibentuknya badan pelaksana
pemilu adalah untuk memberikan
pelayanan kepada stakeholders, baik
masyarakat maupun peserta pemilu.
Penyelenggara pemilu harus
mengembangkan dan mempublikasikan standar pelayanan untuk setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Pelayanan yang baik merupakan tolak ukur bagi para pemangku kepentingan untuk menilai kinerja penyelenggara pemilu. Berbagai pelayanan yang diberi oleh KIP Aceh kepada peserta, dianggap bagus oleh semua peserta pilkada.
7. Prinsip Akuntabilitas
Terdapat dua implikasi sekaligus
dalam prinsip akuntabilitas, yaitu
kemampuan menjawab dan kemampuan untuk menerima konsekuensi apapun.
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan dituntut disetiap tahap mulai dari penyusunan program kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan, pelaksanaan dan evaluasinya maupun hasil dan dampaknya.
Akuntabilitas juga dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di bawahnya maupun dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi, penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada
sistem dan prosedur tertentu, memenuhi ketentuan perundangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi bila keputusan yang diambil tidak tepat.
Kinerja EMB merupakan bentuk
akuntabilitas politik yang wajib
dipertanggungjawabkab secara vertikal kepada pemerintah dan pemilih (sebagai pemilik kedaulatan rakyat), serta kepada partai politik peserta pemilu dan calon. Badan penyelenggara pemilu atau EMB wajib mempertanggungjawabkan atas apa yang sedang dikerjakan dan harus secara berkala memberikan bukti kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat bahwa kegiatannya efektif dan mematuhi hukum, etika, pelayanan dan standar
keuangan. Prinsip akuntabilitas
mensyaratkan bahwa penyelenggara
pemilu menyediakan informasi publik yang komprehensif tentang kebijakan yang mereka hasilkan dan sumber daya yang telah digunakan dan rencana untuk menggunakan, termasuk yang berasal dari dana masyarakat dan dana lainnya.
Akuntabilitas memiliki sejumlah
efek positif yakni membantu
penyelenggara pemilu untuk melakukan transparansi dan mempromosikan tata
pemerintahan yang baik, serta
mendapatkan kepercayaan dari para
pemangku kepentingan publik. Kurangnya mekanisme akuntabilitas yang tepat dapat menyebabkan tuduhan transparansi dan operasional yang buruk.
NPM Mewujudkan KIP Aceh
Berintegritas
Teori dasar dalam studi tentang integritas penyelenggara pemilu dalam
kajian ini menggunakan pendekatan New
Public Mangement. Komisi Pemilihan Umum merupakan salah satu bagian dari lembaga pemerintahan yang ikut berbenah institusional.
Old Publict Management (OPM)
digunakan oleh instansi KPU. KPU sebagai instansi yang mengurus demokrasi bangsa berhadapan dengan kepentingan-kepentingan publik. Maka sebagai jalan
keluarnya adalah penerapan New Public
Management (NPM) dianggap dapat memberikan perbaikan dalam memberi pelayanan kepada publik. New Publik Managemen (NPM) fokus pada organisasi internal, yang bermakna memperbaiki kinerja sektor publik dengan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh KPU dalam peningkatan kapasitas instansi, tentu saja guna meningkatkan kepercayaan
publik terhadap KIP Aceh sebagai
lembaga penegak demokrasi yang
berintegritas. Peningkatan pada pelayanan yang cepat, efisien dan akurat mengikuti
perkembangan tehnologi, merupakan
bagian yang harus terus dibenahi KIP Aceh. Selain itu, pelayanan yang sama
tanpa memihak, mengutamakan
transparansi dan profesional menuju ke
pembenahan kelembagaan. Gagasan New
Public Manajement merupakan upaya
peningkatan profesionalisme lembaga
dengan mengidentifikasi pembagian kerja yang merata, tidak menumpuk pada bagian tertentu. Selain itu, makna profesionalisme juga guna menyerahkan segala pekerjaan dan tugas pada ahlinya. Kemampuan staf dan komisioner dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, menumbuhkan rasa percaya dan kewibawaan KIP Aceh
meningkat. Integritas penyelenggara
pilkada di Aceh yang credible dapat
diupayakan dengan peningkatan kinerja yang efisien, efektif, responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungan. Sikap terbuka yang ditunjukkan KIP Aceh yang membuka ruang kepada peserta pilkada untuk menentukan keinginan mereka pada materi, metode dan tempat kampanye. Selain itu pemotongan birokrasi pada saat pelaporan masalah yang ditemui peserta pilkada juga menjadi acuan bahwa NPM berjalan dalam tubuh KIP Aceh. Peserta pilkada cukup menelpon komisioner KIP Aceh tanpa harus datang ke kantor dan
melewati aturan birokrasi yang panjang. Upaya transparansi pada suatu lembaga menandakan bahwa NPM pada suatu instansi berjalan.
Meski kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilu di Indonesia
umumnya dan Aceh khususnya tampak menggembirakan, namun asumsi awal melakukan dalam melakukan penelitian ini karena kepercayaan publik tentang
independensi KIP Aceh sebagai
penyelenggara pemilu diragukan, karena mereka direkrut oleh DPRA. Independensi inilah yang menjadi tantangan terberat KIP Aceh dalam upaya peningkatan kepercayaan publik.
Karakteristik NPM menurut Hood yang diodopsi oleh KIP Aceh antara lain:
1. Manjemen professional pada
sektor publik. Adanyan pembagian kerja dan memberi tugas sesuai dengan kealian masing-masing pada staf (pegawai).
2. Standar kinerja dan ukuran kinerja.
Penekanan yang lebih besar pada
mengendalian output dan outcome.
3. Pemecahan unit-unit kerja di
sektor publik. Dalam pemecahan unit-unit kerja di sektor publik, KIP Aceh telah menfungsikan
media center sebagai pusat
pelayanan informasi. Selain itu,
adanya Pejabat Pengelolaan
Informasi dan Dokumentasi PPID.
4. Adanya mekanisme kontrak dan
tender yang secara kompetitif diajukan ke publik dalam rangka
melakukan penghematan dan
efesiensi pengadaan barang dan jasa. Seperti pada pengadaan alat peraga kampanye dan Pemilihan Akuntan Publik (KAP) dalam melakukan audit dana kampanye.
5. Menciptakan persaingan di sektor
publik.
6. Peningkatan disiplin dan
penghematan pada sumber daya. Pemilu berintegritas merupakan cita-cita negara demokrasi modern dan
untuk mencapai cita-cita tersebut dibutuhkan instrumen demokrasi, yaitu lembaga penyelanggara pemilu yang
independen dan bebas pengaruh
kekuasaan.
Relasi Mempengaruhi Perspektif Peserta Pilkada
New Public Management dalam melihat integritas KIP Aceh menurut perspektif peserta pilkada dapat dilihat dengan adanya relasi KIP Aceh dengan
stakeholder pilkada, seperti relasi KIP Aceh dengan peserta pilkada, partai pengusung, masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Namun pada penelitian ini penulis hanya mengkaji relasi-relasi antara
sesama peserta pilkada dalam
hubungannya mereka melihat integritas KIP Aceh. Secara umum ada kesamaan pandangan antar peserta pilkada terhadap integritas KIP Aceh.
Pada Pilkada Gubernur/Wakil
Gubernur Aceh 2017, suhu sosial politik Aceh berkembang sangat dinamis. Hal ini
tampak pada kematangan politik
masyarakat Aceh, masyarakat Aceh kini
mempunyai kebebasan dalam hal
mengutarakan pendapatnya. Mereka
seakan bebas tanpa khawatir intimidasi oleh pihak manapun jika berbeda dalam menentukan pilihan politik. Masyarakat Aceh tidak segan secara terang-terangan mengkritik berbagai kebijakan selama kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf di Aceh. Masyarakat tampak terang-terangan membuka diskusi publik tentang evaluasi kepeminpinan mereka. Hal tersebut sangat berbeda dan kontras,
jika dibandingkan pada pilkada
sebelumnya, di mana jika masyarakat tidak setuju, mereka diam dan melawan di
TPS pada hari pencoblosan. Euforia
kebebasan berpolitik tampak sangat
dinamis, hal tersebut mempengaruhi cara
pandang masyarakat umumnya dan
peserta pilkada khsusnya terhadap KIP Aceh. Dalam hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat juga bagian dari relasi kekuasaan.
Terdapat enam peserta pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh yang ikut
berkompetisi dalam memperebutkan
tampuk kekuasaan tertinggi di Aceh. Tiga
dari pasangan calon perseorangan
(independen) dan tiga dari pasangan calon dukungan partai politik lokal maupun partai politik nasional. Empat pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017 mempunyai latar belakang sebagai kombatan GAM, yaitu Irwandi Yusuf mantan ahli propaganda GAM, Muzakir Manaf mantan Panglima GAM, dan incumben Wakil Gubernur 2012-2017, Zaini Abdullah yang juga petinggi GAM dan incumben Gubernur Aceh periode 2012-2017 dan Zakaria Saman yang juga merupakan incumben petinggi GAM. Sedangkan dua peserta lainnya adalah Tarmizi Karim yang berlatar belakang pejabat di Kementrian dalam negeri Republik Indonesia dan Abdullah Puteh mantan Gubernur Aceh 2000-2004.
Hal menarik dapat dilihat adalah keikutsertaan keempat mantan kombatan gerakan Aceh merdeka yaitu Muzakir Manaf, Zaini Abdullah, Zakaria Saman dan Zaini Abdullah dapat dilihat sebagai bentuk perpecahan ditubuh GAM. Namun hal tersebut juga dapat dilihat sebagai perkembahan positif dalam demokrasi Aceh.
Tren yang terjadi dalam relasi peserta pilkada Aceh adalah koalisi partai
Nasional dan partai lokal, koalisi
independen dengan partai lokal dan Nasional. Koalisi partai lokal dan Nasional terdapat pada pengusungan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah sebagai peserta pilkada dengan nomor urut 6 (enam). Irwandi merupakan pendiri dan ketua Partai Naional Aceh, sedangkan Nova Iriansyah merupakan ketua DPW Partai Demokrat Aceh. Hal yang sama juga terlihat pada pengusungan pasangan Muzakir Manaf -T.A Khalid sebagai peserta pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017 dengan nomor urut 5 (lima) Muzakir Manaf merupakan ketua Partai Aceh dan T.A Khalid merupakan ketua partai
Gerindra. Pasangan ini didukung oleh partai keadilan Snaejahtera, PAN dan PPP. Sedangkan pasangan dari jalur independen seperti Zaini Abdullah, Zakaria Saman dan Abdullah Puteh. Zaini Abdullah dan Zakaria Saman maju dari jalur Independen berlatar belakang GAM. Pada masa proses tahapan pilkada, pasangan Zakaria Saman-T. Alaidin Syah dan pasangan Zaini Abdullah-Nasaruddin tidak sepenuhnya independen. Hal ini dapat dilihat dari pelimpahan KTP pendukung dari Irwandi Yusuf terhadap Zakaria Saman yang maju dari jalur Independen. Kemudian adanya kerjasama antara timses pasangan Zaini Abdullah dengan Irwandi Yusuf pada
masa pengawalan pemungutan dan
penghitungan suara. Kesimpulan
Secara khusus diketahui bahwa adanya perbedaan pemahaman tentang independensi KIP Aceh, namun secara umum dapat diketahui bahwa KIP Aceh merupakan penyelenggara pilkada yang beintegritas dalam perspektif peserta pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2017. Hal tersebut karena adanya pemahaman yang sama para peserta pilkada terhadap prinsip imparsial, transparansi, efesiensi, service-mindedness dan akuntabilitas KIP Aceh dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017.
Adanya perbedaan perspektif
peserta pilkada terhadap integritas KIP Aceh, hal tersebut dipengaruhi oleh
adanya relasi politik. Keseragaman
pandangan antara peserta pilkada nomor urut satu Tarmizi Karim (dukungan penuh dari partai Nasional), pasangan nomor urut dua, Zakaria Saman-T. Alaidinsyah
(independen), pasangan nomor urut
empat, Zaini Abdullah-Nasaruddin
(independen), pasangan nomor urut lima (parnas-parlok) dan pasangangan nomor urut enam, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (parlok-parnas). Hal tersebut karena mereka adalah bagian dari perekrut KIP Aceh, namun selain itu memang temuan
dilapangan KIP Aceh sudah melakuan
tugas dan fungsinya sebagat
penyelenggara pilkada yang berintegritas. Sedangkan pasangan calon dengan nomor urut tiga (Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab) merupakan pasangan yang tidak mempunyai relasi politik antar peserta
pilkada lainnya. Namun setelah dikaji
secara keseluruhan perspektif peserta
pemilu terhadap KIP Aceh telah
memenuhi tujuh parameter prinsip-prinsip penyelenggara pemilu yang berintegritas. Daftar Pustaka
Aryos Nivada, Rekam Jejak Pemilu 2014,
Dialeksis Publising, 2015. Rahardjo Joni, Moh. Sugihariyadi,
Menakar Profesionalisme
Penyelenggaraan Pemilu 2014 di Kota Garam, Jurnal ADDIN, Vol.9, No 1, Februari 2015
Ramlan Subakti. Pidato Inagurasi
Anggota Baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Desember 2016.
IFES, Laporan Survey Nasional Pemilu
2014 di Indonesia, 2015
Singka Subekti, Valina, Evaluasi
Penanganan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu dalam Penyelenggaraan Pilkada serentak
2015, disampaikan dalam seminar
fraksi Partai NASDEM DPR RI
Benarkah KIP tidak Netral, Serambi
Indonesia: 1 April 2014