• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATEMATIKA SEKOLAH DAN PEMBELAJARANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MATEMATIKA SEKOLAH DAN PEMBELAJARANNYA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang

Abstrak: Terdapat dua pandangan berbeda terhadap matematika sekolah. Pertama, matematika dipandang sebagai kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persamaan aljabar yang mis-terius, dan bukti-bukti geometris. Kedua, matematika dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Sebagai konsekuensinya, pandangan pertama lebih cocok apabila matematika diajarkan dengan mengacu kepada behaviorisme dan pandangan kedua lebih cocok bila ajarkan dengan mengacu kepada konstruktivisme.

Kata Kunci: matematika sekolah, pembelajaran matematika, behaviorisme, konstruktivisme.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tek-nologi yang sangat cepat memberikan dam-pak pada perubahan tuntutan hidup ma-syarakat. Perkembangan yang sangat dina-mis membutuhkan kemampuan untuk adaptasi secara cepat. Untuk mampu ber-adaptasi secara cepat diperlukan pengem-bangan pola pikir yang baik. Pola pikir dapat terbentuk secara baik apabila pembelajaran dilakukan dengan membiasakan siswa untuk berpikir. Dengan demikian skema yang di-miliki oleh siswa dapat berkembang secara optimal. Karena itu perubahan pola pem-belajaran merupakan hal utama untuk bisa menghadapi perkembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi.

Pola pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir mengonstruksi penge-tahuan sendiri didasari oleh perubahan pe-mahaman orang terhadap keunikan manusia. Bahwa siswa tidak bisa dipandang sebagai gelas kosong yang akan diisi oleh guru. Tetapi siswa secara fitrahnya merupakan individu unik yang memiliki potensi untuk mengembangkan pola pikirnya. Karena itu dalam pembelajaran, peran guru juga mengalami perubahan dari yang semula “memberi” pengetahuan kepada siswa

menjadi “memfasilitasi” siswa untuk belajar (fasilitator).

Pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan berpikir siswa, nampaknya merupakan keharusan yang tidak dapat di-tunda lagi. Karena hakekat pembelajaran adalah mengembangkan berpikir siswa, sehingga mampu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya yang cukup dinamis. Untuk itu perlu ada upaya me-ningkatkan kualitas pendidikan matematika. PRINSIP DAN STÁNDAR

PENDIDIKAN MATEMATIKA

Menurut NCTM (2000), ada 6 (enam) prinsip dasar untuk mencapai pen-didikan matematika yang berkualitas tinggi meliputi: (1) kesetaraan/ keadilan/ pemerata-an, (2) kurikulum, (3) pengajaran/pembe-lajaran, (4) belajar, (5) penilaian, dan (6) teknologi. Dalam prinsip pemerataan, pres-tasi matematika yang tinggi diharapkan tidak hanya pada siswa-siswa tertentu tetapi untuk semua siswa. Prinsip kurikulum bahwa ha-rus disusun kurikulum yang tidak hanya sekumpulan aktifitas tetapi harus koheren, difokuskan pada matematika yang penting dan berkaitan secara jelas antar tingkatan. Prinsip pembelajaran, menekankan bahwa tugas guru adalah mendorong siswannya un-tuk berpikir, bertanya, menyelesaikan ma-salah, mendiskusikan ide-ide, strategi dan hasil penyelesaian masalah dari siswa.

(2)

Prin-sip belajar menekankan bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman/ penalaran, secara aktif membangun tahuan baru dari pengalaman dan penge-tahuan sebelumnya. Belajar matematika tidak hanya berkaitan dengan keterampilan berhitung, tetapi perlu kecakapan berpikir dan bernalar secara matematis dalam menye-lesaikan soal-soal baru dan mempelajari ide-ide baru yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Prinsip penilaian, menjelaskan bahwa penilaian harus dilakukan secara terus-menerus untuk memperoleh gambaran kemajuan belajar siswa, untuk mendorong belajar siswa, dan untuk memperbaiki pro-ses pembelajaran. Prinsip teknologi, menje-laskan bahwa teknologi penting untuk pem-belajaran matematika karena memungkinkan untuk melakukan eksplorasi lebih luas dan memperbaiki penyajian ide-ide matematika. STANDAR ISI DAN STANDAR

PROSES

NCTM (2000) juga menjelaskan bahwa terdapat dua standar di matematika sekolah, yaitu standar isi dan standar proses pendidikan matematika sekolah.

Standar isi berkaitan dengan materi matematika yang perlu diberikan di sekolah meliputi: Bilangan dan Operasinya, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Analisis Data dan Probabilitas. Dalam bilangan dan operasinya antara lain mencakup: memahami bilangan (menyatakan bilangan dan hubungan antar bilangan), memahami pengertian operasi dan dapat mengoperasikan bilangan. Materi aljabar antara lain mencakup: (1) memahami pola, hubungan, dan fungsi; (2) menyatakan matematika dalam bentuk aljabar, dan (3) menggunakan model matematika untuk me-mecahkan masalah. Geometri mencakup antara lain: (1) menganalisis sifat-sifat bangun dua dimensi dan tiga dimensi, (2) menggambar koordinat, (3) menggunakan transformasi dan simetri untuk menganalisis masalah matematika, dan (4) menggunakan pemodelan geometri untuk memecahkan masalah. Pengukuran antara lain mencakup: (1) memahami apa saja yang dibutuhkan

untuk mengukur suatu benda dan (2) dapat menggunakan alat ukur dan dapat mengukur secara tepat. Analisis data dan peluang mencakup, antara lain: (1) memahami teknik mengumpulkan data dan menyatakannya; (2) menggunakan statistika yang tepat untuk menganalisis data; (3) mengembangkan dan mengevaluasi kesimpulan serta prediksi dari data yang ada; dan (4) memahami dan mam-pu menerapkan konsep dasar peluang.

Standar proses berkaitan dengan proses pembelajaran matematika, yang meliputi: (1) pemecahan masalah, (2) pena-laran dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi (hubungan), dan (5) representasi. Lebih jauh, dalam standar proses, dijelaskan bahwa guru perlu melakukan beberapa perubahan kegiatan di kelas: (1) mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas metamatika, (2) menjadikan penalaran dan bukti matematika sebagai alat pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memu-tuskan suatu kebenaran, (3) mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, (4) mementingkan membuat du-gaan, penemuan dan pemecahan masalah dan menjauhkan dari pembelajaran yang hanya menekankan prosedur (penemuan jawaban secara mekanis), dan (5) mengait-kan matematika, ide-ide dan aplikasinya, supaya matematika tidak hanya diper-lakukan sebagai kumpulan konsep dan pro-sedur yang kering (terpisahkan dari kehidupan).

PENGARUH PANDANGAN TERHADAP MATEMATIKA KE PRAKTIK PEMBELAJARAN

Pada dasarnya proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh pandangan terhadap matematika dan sebaliknya. Dalam pan-dangan tradisional, matematika adalah kum-pulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, per-samaan aljabar yang misterius, dan bukti-bukti geometris. Pemahaman ini muncul sebagai dampak dari pembelajaran yang dilakukan, yang disebut sebagai pengajaran tradisional. Pengajaran ini dimulai dengan

(3)

penjelasan oleh guru ide-ide yang ada di buku, dilanjutkan dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana mengerjakan latihan soal. Fokus utama pengajaran adalah mendapatkan jawaban. Selanjutnya guru menjustifikasi apakah jawaban siswa, benar atau salah. Pengajaran tersebut sangat tidak menyenangkan, hanya sedikit siswa yang baik dalam belajar aturan dan memperoleh nilai baik, serta siswa tersebut bukan men-jadi pemikir yang baik.

Pandangan terhadap matematika yang lain bahwa matematika dipandang se-bagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Menemukan dan meng-ungkap keteraturan/pola atau urutan dan kemudian memberikan arti merupakan makna dari mengerjakan dan belajar matematika. Hal ini didasari oleh pemi-kiran bahwa dunia penuh dengan pola dan urutan. Matematika menyelidiki pola ini, memberi arti, dan menggunakannya dalam berbagai cara yang menarik, untuk mem-perbaiki dan memperluas cakrawala hidup.

Yang paling mendasar di mate-matika adalah bahwa matemate-matika dapat dipahami atau masuk akal. Konsekuensinya: (1) setiap hari siswa harus mendapatkan pengalaman bahwa matematika masuk akal, (2) para siswa harus percaya bahwa mereka mampu memahami matematika, (3) para guru harus menghentikan cara mengajar dengan memberi tahu segalanya kepada siswa dan harus mulai memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami matematika yang dipelajari, dan (4) akhirnya para guru harus percaya terhadap kemampuan siswa. Untuk itu dalam praktik pembelajaran matematika di kelas perlu mempertim-bangkan teori Konstruktivisme.

PANDANGAN KONSTRUKTIVISME DAN PERUBAHAN ORIENTASI PEMBELAJARAN

Hal yang sangat menarik dalam be-lajar matematika adalah mengembang-kan pemahaman matematika yang dikaji ber-dasarkan Teori Konstruktivisme. Prinsip dasar dari Teori ini adalah anak-anak

mengonstruksi sendiri pengetahu-annya. Mengonstruksi pengetahuan adalah suatu usaha yang sangat aktif oleh Pelajar Untuk mengonstruksi atau memahami ide baru diperlukan pemikiran yang aktif tentang ide tersebut. Selanjutnya mengonstruksi penge-tahuan memerlukan pemikiran reflektif, yakni secara aktif memikirkan ide. Berpikir reflektif berarti mengubah melalui ide-ide yang ada untuk mencari ide-ide yang kiranya paling berguna untuk memberi arti terhadap ide baru.

Teori Konstruktivisme berakar kuat dari psikologi kognitif yang dipelopori oleh Piaget. Dalam menghadapi masalah, sese-orang akan melakukan proses adaptasi. Dalam hal ini akan terjadi proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi merujuk pada penggunaan skema yang ada untuk memberi arti terhadap pengalaman. Ako-modasi adalah proses mengubah skema se-hingga bisa menginterpretasi suatu penga-laman (gagasan/ide).

Proses asimilasi dan akomodasi yang terjadi ketika seseorang memecahkan masalah dijelaskan oleh Subanji (2007) seperti Diagram 1 berikut.

Gambar 1. Terjadinya Asimilasi dan Akomodasi

menyatakan kesesuaian antara struktur masalah dan skema yang dimiliki.

Asimilas i

Akomodasi

Struktur Masalah Skema

Integrasi

Akomodasi

Asimilasi Struktur Masalah Skema

(4)

menyatakan ketidaksesuaian antara struktur masalah dan skema yang dimiliki

Pemahaman matematika meng-gunakan Teori Konstruktivisme ini termasuk bagaimana siswa mengonstruksi pemecahan masalah secara berbeda-beda tetapi masuk akal, dan bagaimana siswa bisa mengalami kesalahan dalam mengonstruksi suatu pengetahuan.

Sebagai contoh, siswa bisa berbeda-beda dalam memperoleh/ mengonstruksi nilai π tetapi keduanya sama-sama masuk akal. Pertama, siswa memiliki pengalaman dalam memperoleh nilai dengan mela-kukan eksperimen membagi keliling ling-karan yang berbeda-beda dengan panjang diameternya. Siswa pertama melakukan eksperimen mengukur keliling lingkaran A yang berdiameter 7 cm; lingkaran B berdiameter 14 cm, dan lingkaran C berdiameter 21 cm.

Gambar 2. Lingkaran untuk Eksperimen

Dalam hal ini lingkaran dimodelkan dengan media stereoform sehingga mudah diukur kelilingnya menggunakan benang. Dari pengukuran diperoleh keliling ling-karan A = 22 cm, keliling lingling-karan B = 44 cm, dan keliling lingkaran C = 66 cm. Siswa pertama membandingkan keliling lingkaran dengan panjang diameternya, diperoleh:

= ,

=

=

Dari percobaannya siswa pertama menyimpulkan bahwa perbandingan keliling

lingkaran dengan diameternya selalu tetap = , dan nilai yang tetap tersebut disebut

Kedua, Siswa memiliki pengalaman melakukan percobaan membandingkan keliling dengan diameter yang berbeda dengan siswa pertama. Dengan masalah sama diameter lingkaran A = 7 cm, diameter lingkaran B = 14 cm, dan diameter linkaran C = 21 cm. Pada awalnya sama-sama mengukur diameter dan kelilingnya, namun dalam membandingkannya, siswa kedua melakukannya sebagai berikut.

Dari benang yang dililitkan pada lingkaran A, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 7 cm.

Gambar 3. Percobaan 1

Diameter dibandingkan dengan keliling yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 1 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut.

=

Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran B, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 14 cm. Gambar 3. Percobaan 2

Keliling lingkaran

diameter

Sisa 2 cm

A

B

C

Keliling lingkaran diameter Sisa 1 cm

(5)

Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran B yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 2 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut.

=

Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran C, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 21 cm.

Gambar 4. Percobaan 3

Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran C yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 3 cm. Karena itu diperoleh per-bandingan seperti berikut.

=

Dari percobaannya siswa kedua menyimpulkan bahwa perbandingan keliling lingkaran dengan diameternya selalu tetap, dan nilai yang tetap tersebut disebut .

Dari kedua kasus tersebut, terlihat bahwa proses mengonstruksi berbeda, tetapi hasil konstruksinya adalah sama dan keduanya masuk akal.

Konstruktivisme merupakan sebuah teori yang mempelajari bagaimana sese-orang belajar. Teori ini lebih memandang bagaimana belajar itu berlangsung. Guru tidak akan dapat memilih untuk memiliki

siswa yang konstrukstif suatu hari dan tidak konstruktif pada hari lain. Karena itu belajar hafalanpun juga merupakan sebuah kons-truksi, tetapi “konstruksi yang lemah”. Bahkan bisa jauh dari “titik-titik” matematis yang berguna untuk konstruksi pemahaman. Sesuai dengan Teori Konstruk-tivisme, mengajar bukanlah soal mentransfer informasi kepada siswa dan bahwa belajar bukanlah secara pasif menyerap informasi dari buku atau guru. Sebaliknya guru harus membantu siswanya mengonstruksi ide mereka sendiri dengan menggunakan ide-ide yang telah dimiliki.

Subanji (2010) menegaskan bahwa dengan perkembangan paradigma pendi-dikan, dari pandangan behaviorisme ke pandangan konstruktivisme, perlu perubahan peran guru dari “memindahkan informasi dalam proses pembelajaran” ke arah “pem-berian pengalaman, dan pengembangan berpikir (kognisi)”. Sehingga peran guru berubah dari “memberi/mengajar” menjadi “ fasilitator” yang memfasilitasi siswa agar mampu belajar secara mandiri. Hal ini juga ditegaskan oleh Ticha dan Hospesova (2006).

This means, in a very simplified way, that education should move from the mere transmission of information, instructions and algorithms in the teaching/learning process to cog-nising, experiencing, acting, co-mmunicating... and developing a thirst for self-education. This approach requires changes in the teacher’s role that promote new dimensions and become more demanding. The teacher becomes a facilitator, diagnostician, promoter, guide to knowledge and initiator.

PEMAHAMAN RELATIONAL versus INSTRUMENTAL

Pemahaman merupakan ukuran kualitas dan kuantitas hubungan suatu ide dengan ide yang telah ada (dimiliki). Pemahaman sangat bergantung pada modal ide sesuai yang dimiliki dan kualita hu-bungan antar ide tersebut. Salah satu cara

Keliling lingkaran

diameter

(6)

untuk memikirkan pemahaman individu adalah bahwa pemahaman itu berada di atas garis kontinyu. Puncak pemahaman berisi hubungan yang sangat banyak. Ide yang dipahami dihubungkan dengan banyak ide lain oleh jaringan konsep dan prosedur yang bermakna. Dua titik ujung tersebut oleh Skem (dalam Kennedy, 2008) dinamai pemahaman relasional (relational under-standing) dan pemahaman instrumental (instrumental understanding). Pemahaman relasional merupakan jaringan ide yang kaya, terkait satu ide dengan ide yang lain secara bermakna. Sebagai contoh, dalam be;lajar pecahan senilai dilakukan dengan menggunakan media balok-balok berikut. Misalnya diberikan balok utuh panjangnya 1 meter.

Gambar 5. Balok untuk Eksperimen

.

Balok kedua dipotong menjadi 2 bagian sama. Balok ketiga dipotong menjadi 4 bagian sama. Balok keempat dipotong

menjadi 8 bagian sama. Balok kelima dipotong menjadi 16 bagian sama. Dari balok yang dipotong-potong tersebut, pecahan-pecahan yang terbentuk meliputi: , , , dan .

Dari gambar-gambar balok sebagai representasi dari pecahan tersebut, terlihat bahwa ada hubungan antar konsep: 1 bagian dari 2 (dua) potongan (balok kedua) sama dengan 2 bagian dari 4 (empat) potongan (balok ketiga) sama dengan 4 bagian dari 8 (delapan) potongan (balok keempat) sama dengan 8 bagian dari 16 (enam belas) potongan (balok kelima). Sehingga hu-bungan konsep tersebut bisa ditulis:

= = =

Artinya nilainya sama dengan , , dan . Pecahan-pecahan tersebut disebut pe-cahan senilai.

Konsep pecahan senilai tersebut bisa digunakan untuk membentuk pemahaman relasional dalam menjumlahkan pecahan berpenyebut berbeda, seperti menjumlahkan

.

dan merupakan dua pecahan yang memiliki satuan (selanjutnya disebut

penyebut) berbeda. merupakan 2 bagian dari 3 satuan (pecahan berpenyebut 3). me-rupakan 3 bagian dari 4 satuan (pecahan berpenyebut 4). Dalam bentuk representasi gambar dan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6. Representasi gambar dan

1

……… ……….

(7)

Karena memiliki satuan/penyebut yang berbeda, maka perlu dibuat satuan baru yang bisa mewakili keduanya. Salah satu caranya adalah dengan mengubah kedua pecahan tersebut dengan menggunakan pecahan senilai.

Dari pecahan senilai tersebut, dapat diketahui bahwa pecahan dan (yang memiliki satuan/ penyebut berbeda) senilai dengan pecahan dan yang memiliki satua/penyebut sama.

Selanjutnya dapat direpresentasikan pecahan dan dengan gambar seperti berikut.

Gambar 7. Representasigambar dan

Selanjutnya menjumlahkan pecahan dan dapat direpresentasikan sebagai penggabungan balok yang diarsir seperti berikut.

Gambar 8. Representasi gambar penjumlahan pecahan.

Dalam kasus ini hasil penjum-lahannya melebihi satuannya. Untuk menghitungnya, dapat dibandingkan hasil penggabungannya dengan satuan yang digunakan. Karena satuan yang digunakan sebanyak 12 maka hasil penggabungannya dibandingkan dengan satuan tersebut.

Gambar 9. Representasi Hasil

Hasil penjumlahannya adalah 17 dari dua belas satuan atau satu satuan dan 5 dari dua belas satuan. Biasanya ditulis:

+ = = 1+

Sedangkan pemahaman instru-mental merupakan jaringan ide yang terpisah-pisah tanpa makna. Pengetahuan yang diperoleh dengan hafalan berada pada pemahaman instrumental, karena terbentuk dari proses konstruksi yang terpisah-pisah tanpa makna. Pemahaman instrumental biasanya dihasilkan dari proses pembe-lajaran yang menekankan prosedur. Sebagai contohnya, dalam menjumlahkan pecahan berpenyebut berbeda, langsung disampaikan oleh pengajar dengan cara menyamakan penyebut. Langkah-langkah menyamakan penyebut adalah dengan mencari KPK dari penyebut tersebut.

Misalnya menjumlahkan . Penyebut dan masing-masing 3 dan 4, sehingga kelipatan persekutuan terkecil (KPK) nya adalah 12. Sehingga diperoleh = = = 1 . Dalam proses ini,

+

Satuan (terbagi 12)

(8)

hanya ditekankan pada prosedur, "POKOK" nya untuk menyamakan penyebut dilakukan dengan mencari KPK nya. Proses tersebut bisa jadi tidak bermakna bagi siswa. Kenapa harus disamakan penyebut? Kenapa harus dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa terjawab, sehingga siswa hanya menghafal prosedur yang sudah ditetapkan. Hal ini yang menunjukkan ketidak-bermaknaan.

Karena itu dalam pembelajaran akan lebih baik bila lebih banyak menekankan pemahaman relasional daripada pemahaman instrumental. Untuk mengembangkan pema-haman relasional perlu banyak usaha. Kon-sep dan hubungan berkembang Kon-sepanjang waktu bukan hanya dalam satu hari. Tugas-tugas dan bahan-bahan harus dipilih dan dibuat untuk bisa terjadinya kerja kelompok dan interaksi antar siswa. Beberapa ke-untungan bila mengembangkan pemahaman relasional adalah memberi kepuasan, meningkatkan ingatan, tidak terbebani untuk mengingat, membantu mempermudah mem-pelajari konsep dan cara baru, meningkatkan kemampuan masalah, membangun sendiri pemahaman, memperbaiki sikap dan rasa percaya diri.

PENGETAHUAN KONSEP versus

PROSEDURAL

Pendidik matematika membedakan pengetahuan dalam dua bentuk, yakni pengetahuan konsep dan pengetahuan pro-sedural. Pengetahuan konsep adalah penge-tahuan yang berisi banyak hubungan atau jaringan ide (Hiebert & Lefevre, 1997). Sedangkan Carpenter (dalam Kennedy, 2008) menyatakannya secara ringkas, pengetahuan konsep adalah pengetahuan yang dipahami. Pengetahuan prosedur ada-lah pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika, yang mencakup penge-tahuan tentang langkah demi langkah dalam menyelesaikan tugas matematika.

Seringkali tugas-tugas yang dise-lesaikan hanya dengan prosedural tidak

membantu anak untuk memahami suatu konsep. Keterampilan menggunakan pro-sedur tidak akan membantu mengembang-kan pengetahuan konsep yang terkait dengan prosedur tersebut (Herbert, 1997). Karena itu mengaitkan prosedur dengan konsep jauh lebih penting dari pada menggunakan prosedur itu sendiri. Dalam pembelajaran, aturan yang bersifat prosedural seharusnya jangan diajarkan tanpa disertai konsep. Prosedur-prosedur tanpa dasar konsep hanyalah akan merupakan aturan tanpa alasan yang akan membawa kepada kesa-lahan dan ketidaksukaan terhadap mate-matika.

Ada tiga faktor yang dapat digu-nakan untuk mengembangkan pembelajaran di kelas, yakni: (1) mengkondisikan berpikir reflektif siswa, (2) menciptakan interaksi sosial antar siswa dan siswa-guru, dan (3) menggunakan model atau alat-alat untuk belajar.

Berpikir reflektif adalah kegiatan aktif untuk menjelaskan sesuatu atau mencoba menghubungkan ide-ide yang terkait. Berpikir reflektif terjadi ketika siswa mencoba memahami penjelasan dari orang lain, ketika mereka bertanya, ketika mereka menjelaskan atau menyelidiki kebenaran ide mereka sendiri. Kita tidak bisa hanya menyuruh siswa berpikir dan mengharapkan mereka memikirkan ide baru. Yang harus dikondisikan oleh guru adalah bagaimana siswa terlibat dalam berpikir. Kunci penting agar anak-anak dapat berpikir reflektif adalah dengan melibatkan mereka dalam soal yang memaksa mereka untuk meng-gunakan ide-ide yang mereka miliki untuk memecahkan masalah dan membuat ide-ide baru.

Berpikir reflektif bisa menjadi lebih meningkat ketika siswa terlibat dengan pe-kerjaan temannya. Suasana interaktif meru-pakan kesempatan terbaik bagi siswa untuk belajar dalam tahapan reflektif. Interaksi yang banyak di dalam kelas akan dapat meningkatkan peluang terjadinya berpikir reflektif yang produktif. Proses interaksi antar siswa ini dijelaskan oleh Teori

(9)

Vygotsky bahwa interaksi social sebagai komponen penting dalam pengembangan pengetahuan. Proses berrpikir terjadi ketika ada interaksi sosial antar siswa, sehingga terjadi proses saling bertukar ide dan menstranfer ide. Interaksi hanya terjadi dalam Zona Proximal Development (ZPD) setiap siswa. ZPD bukan ruang fisik tetapi merupakan ruang simbolik yang dibuat melalui interaksi dengan siswa yang berpengetahuan lebih banyak dan dengan budaya mereka.

Lebih jauh Vygotsky menjelaskan bahwa ide-ide yang berada di kelas, yang berada di buku, dan yang ada di pikiran guru bisa berbeda dengan ide-ide yang di-konstruksi oleh anak. Ide-ide yang difor-mulasikan dengan baik yang datangnya dari luar dinamakan konsep-konsep ilmiah. Se-dangkan ide-ide yang dikembangkan oleh anak disebut sebagai konsep-konsep spontan.

Dalam kerangka kerja Vygotsky ini, siswa dapat bekerja secara bermakna dengan konsep-konsep ilmiah dari luar termasuk dari diskusi di dalam kelas. Di sini pemahaman konsep yang dimiliki oleh anak cukup untuk mengambil ide-ide dari atas. Di dalam komunitas belajar matematika di kelas, kegiatan belajar siswa dapat di-tingkatkan melalui pemikiran reflektif yang dinaikkan oleh interaksi sosial. Pada saat yang sama manfaat dari interaksi bagi masing-masing anak adalah adanya

per-luasan yang diakibatkan oleh ide-ide anak yang dibawa anak ketika diskusi.

Untuk dapat meningkatkan pembe-lajaran di kelas, maka guru perlu men-ciptakan situasi yang mendukung. Dalam hal ini, ada empat ciri budaya kelas matematika yang dijelaskan oleh Hiebert, dkk (1997):

1. Ide-ide adalah hal penting, tidak peduli milik siapa ide tersebut. Para siswa dapat memiliki ide-ide mereka sendiri dan membaginya dengan yang lain. 2. Ide-ide harus dipahami bersama di

dalam kelas. Setiap siswa harus meng-hargai ide-ide dari temannya dan men-coba menilai dan memahaminya. 3. Kepercayaan harus dibangun dengan

pemahaman bahwa membuat kesalahan tidak menjadi masalah. Siswa harus menyadari bahwa kesalahan adalah kesempatan untuk berkembang. Harus dibangun keyakinan pada siswa bahwa ide yang salahpun akan bisa didis-kusikan sehingga bisa mengubah dan memperoleh kesimpulan yang benar. 4. Para siswa harus memahami bahwa

matematika dapat dipahami atau masuk akal. Sebagai akibatnya kebenaran suatu hasil didasarkan pada matematika sendiri, bukan guru atau pihak lain. PERANAN MEDIA DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA Dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk menekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda-benda fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep mate-matika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika. Dalam hal ini konsep matematika berisi hubungan-hubungan logis yang dikonstruksi di dalamnya dan yang ada dalam pikiran sebagai bagian dari jaringan ide. Model untuk sebuah konsep matematika merujuk kepada sebarang objek atau gambar yang menyatakan konsep tersebut atau yang padanya hubungan konsep dapat dikaitkan. Yang tidak benar adalah sebuah model “menggambarkan”/menunjukkan sebuah

Konsep-konsep Ilmiah (dari

luar)

Zona of Proximal

Developmnet

Konsep-konsep Spontan

(dikembangkan dari dalam)

(10)

konsep. Ini berarti model hanyalah sebuah contoh dari konsep. Secara teknis, semua yang dilihat oleh siswa adalah objek fisik dan hanya otak siswa yang dapat mengaitkan hubungan matematika dengan objek tersebut (Thompson, 1994). Bagi siswa yang belum memiliki hubungan, maka model tidak bisa menggambarkan suatu konsep.

Sebagai contoh model yang meng-gambarkan hubungan antara objek dan konsep adalah konsep "enam". Dalam hal ini konsep “enam” adalah hubungan antara himpunan yang dapat dipasangkan dengan kata-kata satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Mengubah himpunan dengan menambah satu berarti mengubah hubungan. Perbedaan antara himpunan yang berisi 6 dan 7 adalah hubungan “satu lebih dari”.

Konsep “ukuran panjang” adalah perbandingan panjang dari objek-objek berbeda. Suatu batang kayu bisa diukur panjangnya dengan jengkal, depa, atau mungkin dengan potongan kayu yang lain.

Gambar 10. Konsep Ukuran Panjang

Batang kayu besar panjangnya "empat" batang kayu kecil, mungkin "delapan" depa, atau "enam belas" jengkal. Pengukuran panjang tersebut akan meng-hasilkan ukuran panjang yang berbeda-beda, manakala potongan batang kayu kecil berbeda, atau depa/jengkal orang yang berbeda. Karena itu dibutuhkan standar yang bisa diterima oleh semua orang, akhirnya ditetapkan satuan panjang standar: mm, cm, dm, m, dm, hm, km, dan sebaginya.

Konsep “luas daerah persegi panjang” memuat hubungan perbandingan bidang dengan bidang lain.

Misalnya luas daerah persegi panjang dengan panjang 5 meter dan lebar 3 meter.

Gambar 11. Konsep Luas

Daerah persegi panjang tersebut dapat ditutup dengan daerah persegi panjang lain, seperti berikut.

Gambar 12. Satuan Luas dengan Persegi Panjang

Luas daerah persegi panjang "besar" tersebut adalah "enam persegi panjang kecil". Dalam hal ini persegi panjang kecil sebagai satuan luas.

Apabila daerah persegi panjang besar ditutup dengan segitiga kecil, maka luas daerah persegi panjang tersebut adalah "dua belas segitiga kecil". Dalam hal ini "segitiga kecil" sebagai satuan luas.

Gambar 13. Satuan Luas dengan Segitiga

Mungkin pula menutup persegi panjang tersebut dengan bangun-bangun

5 m

(11)

datar lain, seperti lingkaran, trapesium, jajar genjang, dan sebagainya. Namun seringkali tidak mudah menutup bangun dengan bangun yang lain secara tepat. Karena itu "satuan" persegi panjang kecil, segitiga kecil, lingkaran, dan sebagainya disebut "satuan tidak baku".

Penggunaan "satuan tidak baku" menyebabkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, sehingga pengukuran luas dengan satuan tidak baku tersebut tidak bisa dijadikan pedoman. Selanjutnya ada bangun yang selalu bisa menutup secara tepat bangun yang lain, yaitu persegi, sehingga

persegi dijadikan ukuran satuan luas yang baku.

Persegi panjang di atas bisa ditutup dengan tepat menggunakan persegi dengan panjang sisi 1 m.

Gambar 14. Satuan Luas Baku

Persegi dengan panjang sisi 1 m tersebut, sering disebut persegi satuan dan biasa di tulis satu meter persegi atau disimbolkan dengan 1

Selanjutnya luas daerah persegi panjang di atas bisa dihitung dengan menggunakan satuan persegi.

Gambar 15. Luas Persegi Panjang dengan Satuan Baku

Bahwa untuk menutup daerah persegi panjang berukuran panjang 5 m dan lebar 3

m dibutuhkan 15 persegi satuan bersisi 1 m. Dengan kata lain luas daerah persegi panjang tersebut adalah 15 .

Konsep “kemungkinan” adalah hubungan antara frekuensi dari suatu kejadian dibandingkan semua hasil yang mungkin. Konsep “bilangan bulat negatif” didasarkan pada hubungan besar dan arah berlawanan. Kuantitas negatif hanya ada di dalam hubungan dengan kuantitas positif. Konsep-konsep tersebut dapat dibangun dengan menggunakan model (peraga) yang bisa mempermudah proses konstruksi konsep.

PENUTUP

Untuk meningkatkan pendidikan matematika sekolah dibutuhkan prinsip dan standar. Prinsip pendidikan matematika meliputi: kesetaraan, kurikulum, pembe-lajaran, belajar, penilaian, dan teknologi. Standar pendidikan matematika terdiri dari standar isi dan standar proses.

Standar isi matematika di sekolah mencakup: bilangan dan operasinya, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data dan probabilitas. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran matematika sekolah, dibutuhkan standar proses pembelajaran. Standar proses mencakup: pemecahan ma-salah, penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi. Dalam praktiknya pembelajaran matematika dipengaruhi oleh pandangan terhadap matematika. Terdapat dua pandangan berbeda terhadap mate-matika: (1) matematika adalah kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persa-maan aljabar yang misterius, dan bukti-bukti geometris; dan (2). matematika dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Konsekuensinya, pan-dangan bahwa matematika sebagai kum-pulan aturan lebih cocok bila matematika diajarkan dengan mengacu kepada beha-viorisme. Sedangkan pandangan bahwa matematika sebagai suatu keteraturan dan urutan logis, lebih cocok bila ajarkan dengan mengacu kepada konstruktivisme.

1 m 1 m

(12)

DAFTAR RUJUKAN

Herbert P.,dkk 1997. Children’s Learning: A Cognitive View. Journal Research Mathematics Education. Monograph No.4.

Hospesova, A. & Ticha, M., 2006. Qualified Pedagogical Reflection as A Way to Improve Mathematics Educa-tion. Journal of Mathe-matics Teachers Education, 9, 129–156.

Kennedy, dkk. 2008. Guiding Children’s Learning of Mathematics. Thomson wadsworth.

NCTM. 2000. Prinsiple and Standards for School Mathematics. Reston: The

National Council of Teacher Mathematics, Inc.

Subanji, 2007. Proses Berpikir Pseudo

Penalaran Kovariasional

Mahasiswa dalam Mengonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Subanji, 2010. Meningkatkan

Profe-sionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Im-provement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru Edisi 1 Nomor 1: pp 1 – 11.

Gambar

Gambar 1. Terjadinya Asimilasi dan Akomodasi
Gambar 5. Balok untuk Eksperimen
Gambar 11. Konsep Luas
Gambar 14. Satuan Luas Baku

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe True or False terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Fikih di Madrasah Aliyah

Sebuah analisis penuh penghindaran pajak tidak dapat dilakukan dalam model equilibrium parsial; ketika salah satu individu mengurangi kewajiban pajak melalui beberapa

Terdapat Pengaruh Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap Hasil Belajar ... Besarnya Pengaruh Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Based on Goshgarian (1977:225) the differences between advertisement language expression and other types of language expression; over the year the texture of advertising language

Selanjutnya dilakukan kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan cara- cara (strategi) pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai

This paper will focus on how Minangkabau people establish relationship with other ethnic groups in Padang, a multi-ethnic city.. The paper argues that matrilineal principles

Berdasarkan hasil penelitian dengan persamaan regresi yang menggunakan variabel laba akuntansi dan arus kas menunjukkan bahwa variabel laba akuntansi lebih mempunyai

Melakukan revisi draf borang III sesuai dengan hasil lokakarya menjadi borang final. Borang hasil