STUDI TENTANG ISLAM ABOGE
DI DESA PAJARAN SARADAN MADIUN
Skripsi:
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin Dan Filsafat
Oleh:
Mutsabbitatul Imania
NIM: E72213053
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Dari sekian banyak Agama yang diakui di Indonesia, Islam merupakan Agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Awal pertumbuhan Islam di Indonesia diawali dengan adanya pertemuan antara ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh para pendatang dengan tradisi lokal masyarakat Indonesia. Pertemuan antara kedua unsur tersebut menyebabkan munculnya sebuah akulturasi budaya antara ajaran Islam dengan tradisi lokal. Dalam hal ini, Islam Aboge merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia.
Masyarakat Islam Aboge senantiasa mengamalkan dan melestarikan ajaran dan tradisi yang diajarkan oleh para leluhurnya. Salah satu tradisi yang paling mencolok dan masih dilestarikan oleh masyarakat Islam Aboge adalah penggunaan Kalender Almanak dan upacara selametan yang dilakukan disetiap tahap peralihan kehidupan. Penilitian tentang masyarakat Islam Aboge ini dianggap penting karena dengan penelitian ini kita dapat mengenal masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamtan Saradan Kabupaten Madiun dengan lebih dekat dan mendalam.
Untuk bisa memahami bagaimana praktek dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif agar bisa memberikan sebuah gambaran yang lebih rinci mengenai masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran. Data yang diperoleh berasal dari hasil observasi dan wawancara dengan tokoh-tokoh Aboge dan beberapa penganut Aboge. Selanjutnya, penulis melakukan validitasi data dengan menggunakan metode triangulasi yaitu validasi data melalui sumber di luar objek penelitian.
Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa komunitas Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun masih menggunakan Almanak atau Kalender Jawa yang disusun oleh Sultan Agung. Sedangkan mayoritas penganut Islam di desa Pajaran saat ini menggunakan kalender Hijriyah sebagai pedoman dalam menentukan hari-hari suci. Perbedaan inilah yang kadang kala memicu ketegangan antara penganut Islam Aboge dengan penganut Islam lainnya.
Selain menggunakan Almanak, para penganut Aboge juga masih melestarikan tradisi dan petuah dari nenek moyang mereka, seperti halnya mengamalkan sistem petungan dan melakukan ritual-ritual mistik bagi yang mampu. Sayangnya, regenerasi ajaran Islam Aboge hanya dilakukan secara turun temurun. Mereka tidak melakukan dakwah yang ditujukan agar orang lain menjadi pengikut Aboge. Dilain sisi mereka juga tidak melarang penganutnya untuk keluar dari Aboge.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………...…i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..……ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI………..…iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN………..…..iv
HALAMAN MOTTO……….…………..……….v
HALAMAN PERSEMBAHAN……….………...vi
HALAMAN KATA PENGANTAR……….………...viii
HALAMAN ABSTRAK……….………..…xi HALAMAN DAFTAR ISI……….….xii HALAMAN TRANSLITERASI………xiv HALAMAN DAFTAR TABEL………xvi HALAMAN DAFTAR GAMBAR……….………..xvii HALAMAN DAFTAR DIAGRAM……….………xviii BAB I : PENDAHULUAN………...…1
A.Latar Belakang Masalah……….1
B.Rumusan Masalah………5
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….5
D.Kajian Teori……….6
E. Tinjauan Pustaka………..8
F. Sumber Penelitian………..11
G.Metode Penelitian………..12
H.Sistematika Pembahasan………17
BAB II : ISLAM DAN BUDAYA JAWA……….……….…19
A.Agama dan Budaya dalam Definisi………...19
B.Varian Masyarakat Jawa………22
C.Typologi Islam Jawa………..84
BAB III : DATA PENELITIAN……….……….…………....89
A.Profil Lokasi Penelitian……….…89
1. Keadaan Geografis……….…...…...…...89
2. Keadaan Demografis………....……….…………90
3. Keadaan Penduduk……….………....91
4. Keadaan Tempat Ibadat……….………...93
5. Keadaan Lembaga Sosial Keagamaan………..101
7. Keadaan Ekonomi……….110
B. DATA TENTANG MASYARAKAT ISLAM ABOGE DI DESA PAJARAN SARADAN MADIUN………..…114
1. Diskursus Masyarakat Islam Aboge……...………114
2. Sistem Kalender Islam Aboge……...…..………...117
3. Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus……...……...134
4. Sistem Petungan………...………...…...136
5. Upacara Siklus kehidupan Masyarakat Islam Aboge...138
BAB IV: ANALISIS DATA TENTANG MASYARAKAT ISLAM ABOGE DI DESA PAJARAN……….…….148
A.Praktek Keagamaan Masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun………..150
B.Perilaku Keaagamaan Masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun………..157
BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan………..………163
B.Saran-Saran………...………...164
DAFTAR PUSTAKA………..……...165
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Secara etimologi Agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jadi
Agama mengandung arti tidak kacau.1 Dalam bahasa Arab Agama disebut diin
yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.2
Sedangkan menurut Harun Nasution, ada delapan definisi Agama, yaitu:3 1)
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
harus dipatuhi. 2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia. 3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4) Kepercayaan pada suatu
kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5) Suatu sistem tingkah
laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib. 6) Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7)
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar
manusia. 8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul. Dari delapan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Agama
adalah sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat
1Taib Thahir Abdul Mu’in,
Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), 112.
2
Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 1.
3
2
dalam menginterpretasi tanggapan terhadap apa yang dirasakan sebagai yang
ghaib maupun yang suci, sehingga agama dapat menjadi pengontrol atau
pedoman bagi penganutnya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran keagamaannya.
Salah satu Agama yang telah ada dan berkembang sangat pesat di
Indonesia adalah Agama Islam. Perkembangan agama Islam di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah Islāmiyyah yang dilakukan oleh
para ulama dan pedagang Muslim pada masa awal masuknya agama Islam di
Indonesia. Saat itu kondisi masyarakat Indonesia masih menganut
kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme sehingga Islam
tidak serta merta diterima di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Pada akhirnya Islam sebagai sebuah doktrinatau teks suci dapat diterima
dan dipahami oleh masyarakat, khususnya orang-orang Jawa pada masa itu,
disebabkan karena adanya budaya lokal yang mempunyai kesamaan dengan
ajaran yang dibawa oleh para pendakwah pada saat itu. Sehingga ketika Islam
dipahami dan kemudian diwujudkan dalam tindakan-tindakan oleh masyarakat,
hasilnya tidak terlepas dari kemampuan pemahaman tiap masyarakatnya.4
Masyarakat Islam di tanah Jawa memiliki karakter yang sangat unik dan
kompleks terkait dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini dikarenakan
penyebaran agama Islam di Jawa dipengaruhi oleh proses akulturasi dan
asimilasi ajaran agama Islam dengan tradisi budaya lokal masyarakat itu
sendiri. Di karenakan kebudayaan lokal yang telah mengakar kuat pada
4
3
kehidupan masyarakat Jawa, maka tradisi-tradisi Jawa tersebut masih tetap
dilestarikan meskipun mereka telah masuk ke dalam agama Islam.
Proses akulturasi budaya ini membuat Islam sebagai ajaran Agama dan
Jawa sebagai entitas budaya menyatu dan membentuk suatu budaya yang
berbeda. Pembentukan ini disebabkan karena adanya kompromi nilai atau
simbol dengan budaya asal, sehingga menghasilkan bentuk baru yang berbeda
dengan asalnya.5 Menurut Clifford Geertz, pembentukan akibat percampuran
dua nilai ini telah membentuk pola keberagaman yang sangat dipengaruhi
oleh status sosial dan tingkat kehidupan masyarakat. Geertz membedakan
pola keragaman masyarakat dengan tiga kategori, yaitu Abangan, Santri, dan
Priyayi.6
Abangan merupakan kelompok masyarakat yang mengamalkan ajaran
Islam secara sinkretik karena pengamalan keagamaan mereka lebih
menekankan pada aspek animistik dari kebudayaan Jawa. Abangan lebih
diasumsikan sebagai religiousitas masyarakat desa yang dihubungkan dengan
golongan petani. Sedangkan Santri merupakan kelompok masyarakat yang
mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam secara teratur dan bersifat
murni. Pemahaman golongan Santri terhadap Islam cukup mendalam,
sehingga pengamalan keagamaan mereka lebih menekankan pada
5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, cet. 2, (Bandung: Penerbit PT Remajarosdakarya, 2002), 74.
6
4
aspek keislaman. Dalam hal ini, Santri diasumsikan sebagai bentuk
keberagamaan kaum pedagang.7
Sementara itu, varian Priyayi diasumsikan sebagai golongan bangsawan
yang dekat dengan kekuasaan. Gologan Priyayi cenderung menekankan pada
penggabungan ajaran Agama dengan tradisi kejawen.8 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa varian Abangan lebih menekankan pada aspek
animistik kebudayaan Jawa, Santri lebih menekankan pada aspek ajaran
Islam, sedangkan Priyayi cenderung menggabungkan ajaran Islam dengan
tradisi Jawa. Dari sini dapat terlihat secara jelas bahwa keberagaman
masyarakat Jawa dipengaruhi oleh perpaduan budaya pendatang dengan
budaya lokal.
Demikian pula dengan masyarakat Desa Pajaran, kebudayaan Jawa
sudah melekat dalam masyarakat Desa Pajaran sebelum Islam datang. Ketika
Islam datang, terjadilah proses akulturasi budaya antara kebudayaan Jawa dan
ajaran Islam. Dalam hal ini, Islam Aboge merupakan salah satu bentuk
akulturasi kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam. Tradisi dan ritual
keagamaan yang dilestarikan oleh masyarakat Islam Aboge nampaknya
berasal dari warisan para leluhur yang dimodifikasi dengan ajaran Islam
namun masih mengandung unsur-unsur animistik.
Berdasarkan fakta tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
tentang masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran dalam penelitian yang
7
Mahli Zainuddin Tago, Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz, Artikel, Vol. VII, no 1, (Yogyakarta: Universitas Muhammiyah, 2013), 83-84.
8
5
berjudul “Studi Tentang Islam Aboge Di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan
Kabupaten Madiun”.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Praktik Keagamaan Islam Aboge di Desa Pajaran?
2. Bagaimana Perilaku Keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui tentang praktik
dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Saradan
Madiun, serta untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Studi
Agama-Agama.
2. Manfaat Penelitian
a) Secara Teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan
informasi tentang ragam kebudayaan Islam yang ada di Indonesia
khusunya Islam Aboge, serta dapat memberikan tambahan referensi
atau sumbangsih kepada mahasiswa Studi Agama-Agama, khususnya
dalam bidang studi Islam dan Budaya Lokal, Antropologi, dan
6
b) Secara Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang
bersinggungan dengan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran
Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun.
D.Kajian Teori
Clifford Geertz merupakan salah seorang ilmuan yang melakukan sebuah
penelitian di Mujokuto, Jawa Timur. Dari hasil penelitiannya, ia memberikan
ilustrasi tentang masyarakat Jawa denga varian Abangan, Santri dan Priyayi.
Dalam kategoriasi Geertz, Abangan merupakan sekelompok masyarakat yang
memiliki pengetahuan keagamaan yang rendah, mereka cenderung acuh
terhadap doktrin keagamaan, mereka lebih terpesona dengan hal-hal yang
berbau ritual dan keupacaraan. Sehingga pengamalan keagamaan mereka lebih
menekankan pada aspek animistik. Sedangkan kalangan Santri adalah mereka
yang mempunyai perhatian dan ketaatan terhadap ajaran agama, dan hampir
seluruh ritualnya berdasarkan doktrin islami karena mereka memiliki
pengetahuan keagamaan yang mumpuni.
Sementara itu, orientasi keagamaan kelompok masyarakat priyayi sulit
dibedakan dari kalangan Abangan maupun Santri, Namun yang lebih menonjol
adalah latar belakang status sosial mereka. Priyayi berasal dari kalangan
masyarakat yang melakukan pekerjaan "halus" yakni bekerja di pemerintahan,
7
petani. Abangan mewakili penekanan pada aspek animistik dari Jawa dan
secara luas dihubungkan dengan golongan petani, Santri mewakili penekanan
pada aspek Islam murni, dan umumnya dihubungkan dengan golongan
pedagang, sedangkan Priyayi menekankan pada penggabungan budaya Jawa
dengan ajaran Islam yang dalam hal ini golongan Priyayi dihubungkan dengan
elemen birokratik. Menurut Geertz, tiga varian tersebut merupakan tiga
subtradisi utama dalam masyarakat Jawa.9
Dalam pengamatan Clifford Geertz, antara ketiga varian; abangan,
santri dan priyayi, di samping terjadi ketegangan juga sering terjadi kohesi
sosial yang cukup intens. Faktor- faktor yang mempertajam ketegangan
diantara ketiga varian tersebut adalah; Pertama, Konflik ideologis yang
mendasar karena rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain. Kedua,
Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung
untuk memaksakan adanya kontak di antara individu-individu dan
kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak berubah. Ketiga,
Perjuangan mencapai kekuasan politik yang semakin tajam untuk mengisi
kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, yang cenderung
mencampuradukkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik.
Keempat, Kebutuhan mencari kambing hitam untuk memusatkan ketegangan
akibat perubahan sosial yang begitu cepat.10
9
Roland Robensons, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, cet. 4, (Yogyakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 205-206.
10
8
Masyarakat Islam Aboge yang berada di Desa Pajaran, Kecamatan
Saradan, Kabupaten Madiun ini merupakan salah satu masyarakat yang masih
melestarikan tradisi dan budaya para leluhurnya. Mereka mempunyai ciri
khas tersendiri, baik berupa praktek maupun perilaku keagamaan. Fenomena
tersebut nampaknya bisa dipotret melalui teorinya Clifford Geertz tentang
varian masyarakat di Jawa karena masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran
masih terikat dengan tradisi-tradisi lokal yang tidak pernah dilakukan oleh
masyarakat Islam pada umumnya.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa karya tulis yang membahas tentang Islam Aboge, namun
karya-karya tersebut tidak membahas tentang praktek dan prilaku masyarakat
Islam Aboge di Desa Pajaran. Adapun karya-karya tersebut adalah:
Skripsi Mundalifah yang berjudul “Penentuan Awal Bulan Kamariah
Dalam Perspektif Aboge(Studi Terhadap Kegiatan Keagamaan Dan Rutinitas
Sehari-Hari Bagi Komunitas Aboge Di Wilayah Kabupaten Jati Jawa
Tengah)”. Skripsi Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
Skripsi ini membahas tentang metode penetapan awal bulan Kamariyah
terutama yang berhubungan dengan penetapan awal bulan Ramadhan, Idul
Fitri, dan Idul Adha. Dalam karya tulis ini, Mundalifah mencoba untuk
9
dan rukyat.11 Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan terletak pada metode penanggalan Aboge yang masih
menggunakan kalender Jawa. Meski demikian, penelitian Mundalifah ini
hanya terfokus pada penentuan awal bulan Kamariyah saja.
Skripsi M. Alfatih Husain yang berjudul “Komunitas Islam Aboge
(Penerapan Antara Sistem Kalender Dengan Aktivitas Keagamaan Di Desa
Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga)”. Skripsi Fakultas Adab
dan Ilmu Budaya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2015. Dalam karya tulis ini Husain mencoba
mengorelasikan kalender Aboge dengan ritual-ritual peribadatan dan aktivitas
keagamaan. Masyarakat Aboge biasanya menggunakan kalender Jawa dalam
memilih hari dan tanggal baik untuk merayakan pernikahan, bekerja,
membangun rumah, dan lain sebagainya.12 Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan adalah adanya persamaan pembahasan
mengenai relasi kalender Jawa dengan aktivitas keagamaan masyarakat
Aboge. Akan tetapi, penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya terfokus
pada kalender Jawa dan aktivitas Aboge saja melainkan juga terdapat
pembahasan mengenai hubungan internal dan eksternal masyarakatnya.
11
Mundalifah, Penentuan Awal Bulan Kamariah dalam Perspektif Aboge, (Studi Terhadap Kegiatan Keagamaan dan Rutinitas Sehari-hari bagi Komunitas Aboge di Wilayah Kabupaten Jati Jawa Tengah), Skripsi, (Jakarta: Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), 2-3.
12
M. Alfatih Husain, Komunitas Islam Aboge (Penerapan Antara Sistem Kalender dengan Aktivitas Keagamaan di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga).
10
Artikel Pandu Wicaksono yang berjudul “Strategi Adaptasi Penganut
Aliran Aboge Dalam Menjaga Toleransi Keagamaan Di Desa Onje
Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga”. Program Studi Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas PGRI Yogyakarta. Artikel ini menjelaskan tentang hubungan
eksternal masyarakat Aboge. Dalam artikel ini Pandu menjelaskan tentang
strategi yang dilakukan oleh masyarakat Aboge dalam menjalin hubungan
dengan masyarakat diluar Aboge. Pandu juga menjelaskan bahwa untuk
meminimalisir konflik antar keyakinan di Desa Onje, pemerintah setempat
mengadakan beberapa kegiatan positif yang diikuti oleh setiap elemen
masyarakat tanpa memandang status keyakinan mereka.13 Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah adanya
pembahasan tentang hubungan eksternal masyarakat Aboge dengan
masyarakat diluar Aboge. Perbedaannya terletak pada objek penelitian yang
dikaji. Penelitian ini mengkaji tentang masyarakat Aboge di Desa Onje
Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, sedangkan penelitian yang
peneliti lakukan bertempat di Dusun Bakalan, Desa Pajaran, Kecamatan
Saradan, Kabupaten Madiun.
Dari beberapa karya tersebut dapat diketahui bahwa penelitian yang
berjudul “Studi Tentang Islam Aboge Di Desa Pajaran Kecamatan Saradan
Kabupaten Madiun” masih belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu
13
Pandu Wicaksono, Strategi Adaptasi Penganut Aliran Aboge Dalam Menjaga Toleransi Keagamaan Di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, Artikel,
11
hanya memberikan informasi dan pengetahuan tentang masyarakat Aboge di
Pati, Jawa Tengah dan di Purbalingga, Jawa Timur. Penelitian ini dianggap
penting untuk dikaji karena setiap penganut Aboge di wilayah tertentu
mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri. Hal ini bergantung pada tradisi dan
budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya.
F. Sumber Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber, yaitu sumber
primer dan sumber sekunder:
1. Sumber Primer
Sumber primer dalam penelitian ini merupakan data lapangan yang
diperoleh melalui wawancara dengan beberapa tokoh penting yang
mempunyai keterkaitan dengan kajian penelitian. Sumber penelitian ini di
dapat dari tokoh Aboge, Pujangga14 Aboge, dan beberapa penganut
Aboge. Dalam penelitian ini, data yang dibutuhkan oleh peneliti berkisar
tentang sejarah, praktek, dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge
di Pajaran.
2. Sumber Sekunder
Sumber Sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui data
pustaka yang relevan dengan kajian yang diteliti serta wawancara dengan
14
12
masyarakat diluar Aboge. Hal ini dilakukan karena mereka berada di
lingkungan masyarakat Islam Aboge dan sedikit banyak mengetahui
kehidupan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif yang menjadikan
masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten
Madiun sebagai objek penelitian. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan
diuraikan pembahasan mengenai pendekatan penelitian, Metode pengumpulan
data, dan Metode Analisis data.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan pendekatan
historis. Pendekatan etnografi merupakan suatu pendekatan yang bertujuan
untuk menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yang meliputi semua
aspek budaya, baik yang bersifat materiil (alat-alat, pakaian, bangunan,
dan sebagainya) maupun yang bersifat abstrak seperti pengalaman,
kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang dimiliki.15
Selain menggunakan pendekatan etnografi, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan historis yang meneliti sejarah dengan
menggunakan sumber data primer berupa kesaksian pelaku sejarah yang
15
13
masih ada, catatan atau rekaman, peninggalan-pennggalan sejarah, dan
dokumen-dokumen tertentu.16
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan suatu penelitian lapangan yang dilakukan
dengan cara mengamati objek penelitian secara langsung. Untuk menjamin
validitas data, pengumpulan data dilakukan melalui tiga hal, yaitu:
a. Observasi
Observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati
hal-hal yang berkaitan dengan tempat, ruang, pelaku, kegiatan,
benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan. Dalam melakukan
pengamatan, peneliti memilih untuk melakukan observasi partisipatif
yang megharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan
masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami
gejala-gejala yang ada, sesuai dengan makna yang dipahami oleh masyarakat
yang ditelitinya. Metode ini digunakan untuk mengetahui secara
langsung praktek dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di
Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.
Adapun teknik observasi yang peneliti lakukan adalah dengan
cara melakukan pendekatan dengan beberapa penganut Islam Aboge,
16
14
melakukan survei ke masjid Masyarakat Aboge, dan mengikuti
beberapa tradisi masyarakat Aboge.
b. Interviu
Interviu merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengajuan pertanyaan kepada beberapa informan
yang bisa menambah pemahaman peneliti terhadap objek yang dikaji.17
Penggunaan metode interviu ini didasarkan pada dua alasan, yaitu:
Pertama, dengan interviu peneliti dapat menggali apa saja yang
diketahui dan dialami oleh subjek yang diteliti. Kedua, apa yang
ditanyakan pada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas
waktu, baik masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dengan kedua alasan tersebut, metode interviu dapat memudahkan
penelti dalam menggali data dan informasi.18 Penggunaan metode
interviu dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah dan
ajaran-ajaran masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan
Saradan, Kabupaten Madiun.
c. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, dokumentasi diperoleh melalui fakta-fakta
yang telah ada baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang
mengandung petunjuk-petunjuk yang relevan dengan objek penelitian.
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, (Jakarta: Bineka Aksara, 1985), 231.
18
15
Baik berupa fotografi, video, film, memo, surat, rekaman, dan lain
sebagainya.19 Pennggunaan metode dokumentasi dalam penelitian ini
adalah untuk mendapatkan fakta-fakta terkait dengan masyarakat Islam
Aboge di Pajaran.
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu suatu
metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran
tentang objek yang diteliti melalui data atau informan yang telah
memberikan informasi sebagaimana adanya, kemudian diolah dan
dianalisis untuk diambil kesimpulannya.20 Metode ini digunakan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan aktivitas masyarakat Islam Aboge
di Desa Pajaran.
Adapun teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga
tahapan yaitu:21
a) Reduksi Data
Data yang telah terkumpul diseleksi dan disesuaikan dengan
fokus penelitian yang telah ditetapkan. Kemudian data dikelompokkan
berdasarkan pada kategori dari rumusan masalah yang telah ditentukan.
Pada tahapan ini peneliti menyeleksi data-data dari hasil observasi,
19
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, 199.
20
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), 29.
21
16
wawancara, dan dokumentasi agar tetap terfokus pada masyarakat Islam
Aboge di Pajaran.
b) Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
akan memberikan gambaran penelitian secara menyeluruh dengan cara
mengaitkan hubungan antara kategori satu dengan kategori lainnya agar
dapat membentuk suatu rangkaian informasi yang bermakna sesuai
dengan kajian yang diteliti. Pada tahapan ini peneliti menyajikan
seluruh data tentang masyarakat Islam Aboge yang telah direduksi,
kemudian mencari pola hubungan antara kategori satu dengan kategori
yang lain.
c) Kesimpulan dan verifikasi
Kesimpulan disini merupakan suatu tahapan mencari arti
benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Kesimpulan
ini disusun secara singkat, jelas, dan mencakup keseluruhan tentang
masyarakat Islam Aboge di desa Pajaran.
Kemudian data yang telah tersusun diperiksa kembali
keabsahannya dengan menggunakan beberapa teknik. Dalam penelitian
ini peneliti menggunakan teknik triangulasi yang merupakan teknik
17
luar objek penelitian, baik untuk pengecekan data maupun sebagai
pembanding data.22 Pada tahapan ini, peneliti melakukan verifikasi data
melalui wawancara dengan beberapa masyarakat diluar penganut Islam
Aboge, kemudian membandingkan hasil wawancara tersebut dengan
hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat Islam Aboge.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan laporan penelitian ini terdiri dari lima bab dengan
rancangan sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian teori,
tinjauan pustaka, sumber penelitian, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II merupakan pembahasan tentang Islam dan budaya Jawa, yang
meliputi Agama dan budaya dalam definisi, varian masyarakat Jawa, dan
tipologi Islam Jawa.
Bab III merupakan pembahasan tentang gambaran umum lokasi
penelitian, yang dalam hal ini adalah Desa Pajaran Kecamatan Saradan
Kabupaten Madiun. Baik mencakup keadaan geografis, keadaan demografis,
keadaan penduduk, keadaan tempat ibadat, keadaan lembaga keagamaan,
keadaan sosial keagamaan, dan keadaan ekonomi masyarakat.
22
18
Bab IV merupakan penyajian data tentang diskursus masyarakat Islam
Aboge di Desa Pajaran, sistem kalender Aboge, kepercayaan mereka terhadap
makhluk halus, sistem petungan, serta upacara siklus kehidupan masyarakat
Islam Aboge di Desa Pajaran.
Bab V merupakan analisis data tentang masyarakat Islam Aboge yang
meliputi praktik dan perilaku masyarakat Islam Aboge di desa Pajaran.
Bab VI, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan
19
BAB II
ISLAM DAN BUDAYA JAWA
A.Agama dan Budaya dalam Definisi
Pada dasarnya Agama merupakan aktualisasi dari kepercayaan manusia
terhadap kekuatan gaib dan supranatural yang biasa mereka sebut sebagai Tuhan.
Pokok dari semua Agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan atau suatu
Dzat yang mempunyai kekuasaan di atas segalanya. Menurut Muklti Ali, Agama
sangat sulit untuk didefinisikan. Hal ini dikarenakan tiga alasan yaitu; Pertama,
pengalaman Agama adalah soal baṭiniyyah, bersifat subjektif dan individualistik.
Kedua, pembahasan tentang arti Agama senantiasa didasari oleh emosional yang
tinggi, sehingga sulit untuk memberikan definisi “murni” tentang arti Agama.
Ketiga, konsepsi tentang agama dapat dipengaruhi oleh tujuan orang yang
memberikan pengertian agama itu sendiri.1
Pendapat lain mengatakan bahwa kata agama berasal dari dua suku kata yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gam” yang berarti pergi. Jadi agama mempunyai
arti tidak pergi, tetap ditempat, dan diwarisi secara turun temurun. Adapula yang
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Hal ini disandarkan pada
banyaknya agama-agama di dunia yang menjadikan kitab sucinya sebagai
pedoman dan tuntunan dalam menjalani hidup.2
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan diin dalam bahasa arab,
kata diin mempunyai arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan
1
Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), 117-118.
2
20
kebiasaan. 3 Meski secara etimologis terdapat perbedaan makna, diin secara
umum diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan agama.
Sedangkan menurut Clifford Geertz, Agama adalah suatu sistem simbol
yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan
motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan
cara menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang
berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga
perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri
(unik) adalah nyata ada. 4
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa Agama merupakan suatu sistem
yang tidak bisa terlepas dari simbol-simbol. Disinilah nampak begitu jelas bahwa
secara tidak langsung Geertz mengatakan bahwa Agama mempunyai peran
penting dalam kehidupan manusia, dan dari agama tersebut muncul suatu
kebudayaan-kebudayaan baru yang tercermin dari lingkungan yang menciptakan
kebudayaan tersebut.
Merujuk pada definisi kebudayaan, secara bahasa kata budaya berasal dari
bahasa sansekerta yang merupakan bentuk jamak dari kata buddi (budi atau akal).
Menurut Koentjaraningrat, budaya merupakan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
3
Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), 1.
4
21
manusia dengan belajar.5 Menurut James Spradley, budaya merupakan sistem
pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian
mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk
menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.6
Sedangkan menurut Clifford Geertz, budaya adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan
dunianya, menyatakan perasaannya, dan memberikan penilaian-penilaiannya yang
kemudian diwujudkan dalam bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang
mengomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuannya. Karena
kebudayaan merupakan sistem simbolik, maka proses budaya harus dibaca,
diterjemahkan dan diinterpretasikan.7
Dengan demikian budaya merupakan sistem ide atau gagasan yang ada pada
diri manusia. Sedangkan perwujudan dari budaya tersebut adalah benda-benda,
perilaku, pola-pola, bahasa dan segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia.
Selain itu, kebudayaan juga tidak bisa hanya dilihat dari isi kebudayaan itu sendiri
karena keberadaannya tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan dan masyarakat
yang ada pada lingkungan tersebut. sama halnya dengan Indonesia yang konsep
kebudayaannya dibangun oleh para pendahulu. Konsep kebudayaan Indonesia
disini mengacu pada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama
oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut ada dalam sistem budaya etnik
5
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 180.
6
James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa E., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 5-11.
7
22
Indonesia yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur yang diikat dalam satu
konsep persatuan dan kesatuan yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
B.Varian Masyarakat Jawa
Jawa merupakan wilayah yang lebih dulu mengalami peradaban dari pada
Inggris, yang selama lebih dari seribu lima ratus tahun telah menyaksikan
orang-orang India, Arab, Cina, Portugis, dan Belanda datang dan pergi. Dengan fakta
tersebut, tidak mudah memberikan satu cap atau satu ciri yang dominan untuk
mencerminkan masyarakat Jawa yang sangat variatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di
Mujokuto, Geertz merumuskan tipologi kebudayaan masyarakat Jawa menjadi
tiga kelompok, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ketiga tipe ini berasal dari tiga
inti struktur sosial yang ada di Jawa yaitu desa, pasar, dan birokrasi.
1. Abangan
Evolusi desa Jawa sampai bentuknya pada saat ini, pada setiap tahapnya
diatur dan diutarakan oleh sistem keagamaan yang mengalami perkembangan.
Sebelum Hindhu datang, sekitar tahun 400 SM. Nampaknya ketika itu jenis
sistem keagamaan yang berbau animisme sudah melekat pada masyarakat
Jawa. Sistem tersebut telah mampu menyerap unsur-unsur Hinduisme dan
Islam, sehingga terbentuklah suatu perpaduan sinkretis antara animisme,
23
Sinkretisme utama orang Jawa pada dasarnya merupakan tradisi rakyat
dari masyarakat di tempat itu sendiri. tidak hanya petani yang mengikuti
sinkretisme ini, tapi juga orang-orang diperkotaan. Salah satu bentuk
sinkreisme yang paling mencolok adalah pesta keupacaaan yang biasa disebut
dengan selametan. Selametan merupakan suatu wadah integrasi masyarakat
yang mempertemukan berbagai kelompok sosial seperti para petani dan
proletariat (lapisan sosial yang paling rendah). Mereka inilah yang biasa
disebut dengan golongan abangan. Adapun ciri-ciri khusus yang dikemukakan
Geertz untuk mencerminkan varian abangan adalah sebagai berikut:8
a. Percaya Terhadap Makhluk Halus
Golongan Abangan mempercayai adanya roh-roh halus seperti
memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang.9 Memedi merupakan roh
yang biasanya suka menakut-nakuti manusia. Dengan kata lain, mereka
dapat disebut sebagai hantu. Memedi laki-laki disebut genderuwo,
sedangkan memedi perempuan disebut wewe gombel. Memedi dapat
ditemukan saat malam hari. Biasanya mereka berada pada tempat-tempat
yang gelap dan sepi. Selain gendruwo dan wewe gombel, ada juga
jerangkong dan sundal bolong. Jerangkong dipercaya sebagai hantu yang
berbentuk kerangka manusia tanpa daging, sedangkan sundal bolong
merupakan hantu wanita yang memiliki lubang besar ditengah
punggungnya. Semua itu merupakan jenis memedi yang suka
8
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, 11.
9
24
nakuti manusia. Namun, meski memedi suka menakut-nakuti manusia,
menurut kepercayaan kaum abangan mereka tidak terlalu berbahaya.
Berbeda dengan lelembut yang merupakan roh yang biasanya
menyebabkan orang kesurupan, sakit, gila, bahkan meninggal. Biasanya
roh-roh tersebut adalah roh penjaga yang bertempat tinggal disuatu tempat
tertentu seperti jembatan, sumur tua, dan pohon-pohon.
Dalam konteks ini, masyarakat abangan membagi jenis-jenis
kesurupan yang disebabkan oleh lelembut ke dalam beberapa kategori,
yaitu;10 Pertama, jenis kesurupan itu sendiri. kesurupan disini mempunyai
arti masuk atau memasuki sesuatu. Ada pula yang mengartikan kesurupan
sebagai waktu matahari terbenam. Nampaknya arti yang kedua tersebut
berasal dari keprcayaan bahwa roh-roh halus suka berkeliaran atau keluar
dari tempat persembunyiannya pada saat matahari terbenam. Kadangkala
roh-roh tersebut merasuki orang yang ditemuinya di jalan. Sehingga orang
yang dirasuki tadi berperilaku aneh dan mempunyai suara yang berbeda
dengan suara yang dimiliki oleh orang yang dirasuki. Kejadian seperti inilah
yang disebut dengan kesurupan. Biasanya, kesurupan dapat disembuhkan
dengan cara meminta bantuan dukun atau orang yang mempunyai kekuatan
supranatural.
Kedua, Kampir-kampiran. Kampir-kampiran disini berarti mampir
yang mengandung makna mampir sebentar mengunjungi seseorang atau
singgah sebentar di rumah orang sebelum melanjutkan perjalanan ke
10
25
tempat lain lagi. Hal ini menunjukkan bahwa roh yang merasuki berasal dari
tempat yang jauh. Sehingga orang yang dirasuki hanya akan berperilaku
aneh seperti mondar-mandir tidak tentu arah atau marah-marah pada
keluarganya tanpa alasan yang jelas. Jenis kerasukan seperti ini dianggap
ringan dan dapat disembuhkan dengan cara mandi saja.
Ketiga, Kesetanan. Kesetanan hampir sama dengan kampir-kampiran
hanya saja lebih serius. Orang yang kerasukan mungkin masih bisa pergi ke
sana-sini dan tidak terlalu parah sakitnya. hanya saja berperilaku agak aneh
seperti banyak makan, sering pergi lama tanpa makan selama beberapa hari,
atau kadang ia menjadi lebih pintar dari manusia pada umumnya. Selain itu,
agak sulit untuk mengeluarkan roh yang merasukinya. Biasanya diperlukan
bantuan dukun untuk bisa mengeluarkan roh tersebut. Dukun tertentu akan
berusaha membujuk roh yang merasuki orang tersebut dengan beberapa
sesajen. Biasanya sesajen yang diberikan adalah kembang, kemenyan, dan
daun-daunan atau makanan-makanan tertentu yang diminta oleh roh
tersebut. kemudian, sesajen tersebut diletakkan ditempat orang tadi
kerasukan.
Keempat, Kemomong yang merupakan jenis perjanjian suka rela
dengan iblis. Contohnya seperti seseorang yang ingin mendapatkan
kekuatan atau kemampuan khusus, ia akan pergi ke tempat-tempat keramat
untuk melakukan persekutuan dengan roh yang tinggal di tempat tersebut.
26
Selain lelembut, ada pula roh halus yang dipercaya mampu membuat
seseorang yang awalnya miskin menjadi kaya. Biasanya orang-orang
menyebutnya dengan nama Tuyul. Menurut kepercayaan masyarakat, wujud
makhluk ini seperti anak laki-laki kecil yang tidak mempunyai rambut di
kepalanya. Untuk mendapatkan tuyul, seseorang harus melakukan tirakat
dan bersemedi di salah satu tempat keramat. Di tempat keramat itu
seseorang melakukan kesepakatan dan perjanjian dengan makhluk yang
menghuni tempat tersebut. makhluk penghuni tempat keramat biasanya
dipanggil dengan sebutan demit. Makhluk ini dipercaya dapat mengabulkan
hajat manusia yang melakukan tirakat dan semedi di tempatnya. Baik
berupa pesuguhan maupun untuk mendapatkan kekuatan. Biasanya orang
yang melakukan tirakat dan semedi untuk pesugihan melakukan perjanjian
seperti jika makhluk tersebut mau memberikan tuyul kepadanya, maka ia
akan memberikan sesajen setiap hari atau mempersembahkan korban
manusia sebagai tumbal.
Meski banyak roh-roh halus yang suka mengganggu manusia, ada
pula satu jenis roh halus yang suka membantu manusia. Roh ini sejenis roh
pelindung yang biasanya disebut sebagai Danyang. Roh ini memang
mempunyai kemampuan untuk mengabulkan permohonan manusia, akan
tetapi berbeda dengan demit, danyang dianggap sebagai roh dari
tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal. contohnya seperti roh dari leluhur desa
27
b. Penggunaan Petungan: Sistem Numerologi Orang Jawa
Pada siklus kehidupan masyarakat Abangan penetapan upacara
khitanan dan perkawinan, serta pergantian tempat tinggal harus dilakukan
dengan menggunakan sistem ramalan numerologi atau yang biasa disebut
dengan petungan. Sejak dulu masyarakat Jawa sudah mempunyai sistem “perhitungan” tentang hari, pasaran, bulan, dan sebagainya.11
Petungan
tersebut diwariskan secara turun temurun dan dilestarikan oleh masyarakat
abangan. Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep
metafisis orang Jawa yang fundamental seperti dalam hal kecocokan. Cocok
berarti sesuai, sebagaimana kunci dengan gembok.
Jika seseorang bermaksud pindah tempat, ia tidak bisa secara tiba-tiba
membuat keputusan lalu pindah. Ada dua variabel penting yang harus ia
perhatikan, yaitu arah perpindahannya dan waktu pindahan. Untuk
mengetahui kedua variabel tersebut, seseorang harus mengtahui naga dino
dan naga wulan. Menurut kepercayaan masyarakat, jika seseorang berjalan
pada arah yang salah dan hari yang salah, maka orang tersebut akan digigit
naga hari itu, bahkan bisa jadi dimakan oleh naga tersebut. Dengan kata
lain, ia akan mendapatkan kesulitan atau kecelakaan.
Adapun cara perhitungan naga dino adalah dengan cara menghitung
weton. Weton merupakan gabungan dari salah satu hari dalam sepekan
11
Samudera Hening, Mitologi Pasaran dan Hari,
28
dengan salah satu hari dalam pasaran.12 Menurut kepercayaan orang Jawa,
setiap hari dan pasaran mempunyai neptu13 masing-masing, yaitu hari Rabu
neptu 7, hari Kamis neptu 8, hari Jum’at neptu 6, hari Sabtu neptu 9, hari
Ahad neptu 5, hari Senin neptu 4, hari Selasa neptu 4. Sedangkan untuk
pasaran yaitu; Wage neptu 4, Kliwon neptu 8, Legi neptu 5, Pahing neptu 9,
dan Pon neptu 7. Sehingga jika menghitung weton hari Senin Kliwon, maka
jumlah neptu Senin (4) ditambahkan dengan jumlah neptu Kliwon (8). Dari
perhitungan tersebut diperoleh angka 12, maka hal ini menandakan bahwa
weton orang tersebut adalah 12.
Setelah mencari jumlah weton, selanjutnya adalah mengambil biji
jagung dan melemparnya sesuai dengan bagan berikut:
Diagram 1. Rumus Arah Hari14
Senin Jum’ah Minggu
Rabu
Selasa Sabtu Kamis
Sedangkan untuk naga wulan, masyarakat Abangan menggunakan
kalender qomariyah dengan bagan sebagai berikut:
12
Muhammad Kalimullah, Primbon Dalam Budaya Jawa: Studi Tekstual Komprehensif Kitab Betal Jemur Adam Makna dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Surabaya, Skripsi, (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Ilmu Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel, 2016), 29.
13
Nilai numerik dari suatu hal, biasanya berhubungan dengan waktu dan huruf.
14
29
Diagram 2. Rumusan Arah Bulan15
Utara : Syawwal
Dzulqa’dah, Dzulhijjah
Barat: Rojab, Timur: Muharrom,
Sya’ban, Romadhon Sofar, Robi’ul Awwal
Selatan: Robi’ul Akhir,
Jumadil awwal, Jumadil Akhir
Selain digunakan untuk mencari hari baik, sistem petungan juga dapat
digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah
orang lain untuk mencuri tanpa ketahuan, atau bisa juga untuk menentukan
di sebelah mana orang harus duduk saat mengadu ayamnya agar dapat
memenangkan taruhan, atau bisa juga untuk meramalkan apakah orang akan
untung atau rugi dalam perdagangan di hari tertentu, untuk menentukan obat
yang tepat bagi suatu penyakit, dan lain sebagainya.16
c. Adanya Selametan
Nakamura, seorang antropolog Jepang berpendapat bahwa kata “selamet” yang jadi asal istilah slametan adalah berasal dari bahasa Arab
15
Ibid., 41.
16
30
yakni “salima” yang berarti damai, menjadi baik, dan selamat. Nakamura
kemudian mengutip tulisan Sir Thomas Raffles yang menyebut bahwa
sebutan bagi ritual selametan masyarakat Jawa berasal dari kata
salamatan dalam bahasa Arab. Itulah sebabnya mengapa dalam selametan do’a untuk kesejahteraan dan kemakmuran selalu dibacakan.17
Selametan merupakan sebuah acara komunal religious dimana para
tetangga dan beberapa kerabat akan ikut serta di dalamnya. Tujuan
diadakannya selametan adalah untuk mencapai keadaan yang selamat,
mulus, dan tidak ada halangan apapun. Kegiatan ini tidak ditujukan untuk
kehidupan yang lebih baik tetapi lebih pada pemeliharaan tatanan dan
pencegah datangnya bala.18
Pola selametan biasanya dilakukan pada malam hari setelah
melakukan salat maghrib. Adapun yang mengadakan selametan biasanya
adalah orang yang akan panen, ganti nama, khitanan, atau pernikahan.
Salah satu alasan mengapa mereka melakukan selametan adalah untuk
menjaga diri dari gangguan roh-roh halus. Dengan mengadakan
selametan, mereka percaya bahwa Tuhan akan memberikan mereka
keselamatan.
Acara selametan tersebut dibuka dengan sambutan dari tuan rumah,
yang mana isi sambutan tersebut adalah ucapan terimakasih kepada para
tamu undangan atas kehadiran mereka, serta penyampaian hajat yang
17
Moh. Khairuddin, Tradisi Selametan Kematian Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Budaya, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol II, No. 2, (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), 177.
18
31
diinginkan oleh tuan rumah sampai-sampai ia melakukan selametan tersebut. setelah sambutan dari tuan rumah, acara selanjutnya adalah do’a
bersama yang dipimpin oleh seorang tokoh agama dengan menggunakan
bahasa Arab. Ada beberapa acara yang diharuskan melakukan selametan
agar acara tersebut lancar. Dalam konteks ini, acara-acara yang dimaksud
berhubungan langsung dengan tahapan-tahapan dalam kehidupan
manusia, diantaranya adalah:
1) Siklus Selametan Kelahiran
Dalam siklus kelahiran ada beberapa selametan yang harus
dilakukan, yaitu telonan, tingkeban, pitonan, babaran, pasaran,
selapan, dan tahunan. Telonan merupakan selametan yang dilakukan
pada bulan ketiga masa kehamilan. Kemudian, pada bulan ketujuh
masa kehamilan dilakukan selametan yang disebut dengan Tingkeban.
Selametan ini merupakan selametan yang diselenggarakan hanya
apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi seorang ibu,
ayah, atau keduanya. Dalam hal ini tingkeban mencerminkan
perkenalan seorang wanita Jawa kepada kehidupan seorang ibu.19
Setelah tingkeban, selanjutnya adalah babaran. Selametan
babaran ini tergolong jenis selametan kecil yang hanya mengundang
anggota-anggota keluarga. Biasanya, jika sudah terasa sakit menjelang
kelahiran, dukun bayi akan dipanggil, lalu disamping ranjang tempat
19
32
tidur calon ibu dan kamar mandi diberi sesajen. Kemudian dukun
tersebut akan mengembangkan tikar di lantai, menundukkan calon ibu
di atasnya dan mulai memijatnya sambil mengucapkan beberapa
mantra agar kelahiran bayinya lancar.
Setelah babaran, selanjutnya adalah pasaran. Dalam hal ini
pasaran merupakan selametan pertama yang dilakukan setelah bayi
dilahirkan. Pasaran ini diselenggarakan pada hari ke lima dari
kelahiran. Kadang ada pula yang menunggu sampai lepasnya sisa tali
pusar baru melakukan pasaran. Pelaksanaan pasaran sendiri
bergantung pada adat dan tradisi setempat, yang jelas setiap selametan
yang diselenggarakan setelah bayi dilahirkan membutuhkan sesajen
sebagai salah satu tradisi yang wajib dilakukan.
Setelah selametan pasaran adapula selametan pitonan.
Selametan ini dilakukan pada bulan ke tujuh dari kelahiran. Pitonan
ini biasanya ditandai dengan adanya tradisi anak turun tanah pertama
kali. Selain pitonan, adapula beberapa selametan yang dilakukan
sampai si anak mencapai umur satu tahun. Setelah itu, hanya
dilakukan perayaan ulang tahun seperti anak-anak pada umunya, tanpa
33
2) Siklus Selametan Khitanan dan Perkawinan
Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab khatana yang berarti “memotong”.20
Dalam Ensiklopedi Islam kata khatana berarti memotong atau “mengerat”.21
Menurut Ibnu Hajar al-khitan adalah
isim maṣdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn disini mempunyai arti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota
badan yang khusus pula”.22
Biasanya setalah melakukan khitan, ada sebuah acara selametan
yang digelar. Selametan khitan sering juga disebut dengan selametan
sunatan. Kebanyakan anak laki-laki di Jawa disunat saat mereka
berusia sekitar sepuluh sampai lima belas tahun. Adapula yang sejak
baru lahir langsung disunat. Menurut kebiasaan, proses penyunatan
dikerjakan oleh seorang ahli yang disebut calak. Namun, dewasa ini
kebanyakan orang menyunatkan anaknya di rumah sakit. Dalam hal
ini proses penyunatan dirumah sakit dikerjakan oleh seorang perawat
pria yang disebut mantri.
Biasanya sebelum melakukan sunatan, mereka menetapkan
sistem petungan untuk menentukan hari yang baik dalam
melangsungkan sunatan. Setelah hari baik ditentukan, barulah malam
hari sebelum sunatan, diselenggarakan suatu selametan. Selametan ini
20 Louis Ma’luf,
Al Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Mashriq, 1986), 169.
21
Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 332.
22 Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail,
Khitan dan Aqiqah: Upaya
34
bertujuan untuk memperlancar proses penyunatan agar terhindar dari
gangguan makhluk-makhluk halus. Biasanya orang tua si anak akan
menaruh sesajen di pojokan-pojokan rumah untuk menangkal
gangguan-gangguan tersebut.
Setelah melakukan selametan di malam hari, pagi harinya si
anak akan di bawa ke calak untuk disunat. Proses penyunatan sendiri
dilakukan dengan menggunakan sebilah pisau yang disebut wesi tawa, yang seacra harfiah berarti “besi yang tak terasa”. Kalau anak tersebut
jatuh pingsan saat proses penyunatan, sang ibu akan mengusapkan
sarungnya pada wajah si anak, lalu si anak akan sadar kembali.
Sedangkan dalam hal perkawinan, kebanyakan masih diatur oleh
orang tua. Bahkan kalau ada seorang laki-laki yang memilih sendiri
gadis yang akan dijadikan sebagai pengantinnya, ia akan melakukan
maksudnya dengan bantuan orang tuanya. Hal yang demikian masih berlaku pada kalangan yang masih tradisional dan “kolot”. Dewasa ini
kebanyakan anak-anak muda memilih pengantinnya sendiri dari pada
perjodohan yang telah ditetapkan oleh orang tuanya.
Biasanya jika ada seseorang yang mempunyai anak perempuan
lebih dari dua, ia akan menikahkan anak-anak perempuannya
berdasarkan urutan umur. Dengan demikian, yang tua akan dinikahkan
terlebih dahulu dan yang paling muda dinikahkan paling akhir.
Upacara perkawinan anak pertama disebut bubak, yang secara kasar
35
membuka suatu daerah perawan. Sedangkan upacara perakawinan
anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek yang berarti “penghormatan dalam penghabisan”.23
Jika melalui perjodohan, biasanya langkah pertama yang
diambil adalah nontoni, yang berarti menonton. Maksudnya adalah
sang laki-laki melihat perempuan yang akan dilamarnya dengan cara
mendatangi rumahnya. Setelah itu barulah dilakukan acara lamaran
resmi. Dalam lamaran ini, pihak laki-laki mengunjungi keluarga pihak
perempuan. Inti dari pertemuan tersebut tidak lain adalah untuk
menyatakan secara resmi bahwa mereka ingin menjadi besan dari
pihak perempuan.
Setelah acara lamaran, kedua belah pihak akan merundingkan
waktu pelaksanaan pernikahan melalui sistem petungan. Setelah hari
pernikahan ditentukan, malam hari sebelum upacara pernikahan
diadakan sebuah selametan yang disebut dengan midodareni.
Selametan ini dimaksudkan agar pasangan ini tidak terpisahkan.
Kemudian, pada pagi harinya upacara pernikahan
dilangsungkan. Pengantin laki-laki akan pergi dengan para
pengiringnya ke kantor naib untuk melangsungkan akad nikah.
Setelah itu pengantin laki-laki akan diantar ke rumah mempelai
perempuan untuk dipertemukan dengan pengantinnya. Pertemuan
tersebut disebut sebagai upacara panggih yang berarti pertemuan.
23
36
Pada acara tersebut pihak laki-laki akan memberikan dua hadiah
kepada mempelai perempuan yaitu paningset yang berupa pakaian dan
perhiasan serta seserahan yang berupa seekor kerbau atau sapi yang
dilengkapi dengan beberapa perabotan rumah tangga. Disaat inilah
pesta yang sebenarnya dimulai. Menurut tradisi pengantin perempuan
akan didandani layaknya putrid ratu, sedangkan pengantian laki-laki
akan didandani layaknya seorang pangeran.
Jika suatu saat kehidupan setelah perkawinan kurang begitu
lancar, seperti suami istri tersebut sering bertengkar atau sering
berbeda pendapat, maka upacara selametan kedua bisa dilakukan agar
mereka dapat berdamai dan kehidupannya kembali tentram. Selametan
kedua ini oleh masyarakat disebut dengan selametan bangun nikah
yang artinya membangun perkawinan. Selametannya sendiri
dilakukan sebagaimana upacara perkawinan. Hanya saja selametan ini
dilakukan dalam ukuran kecil.
3) Siklus Selametan Kematian
Berbeda dengan siklus-siklus lainnya, upacara kematian
biasanya dipimpin langsung oleh seorang modin, pejabat keagamaan
resmi di desa. Kalau terjadi kematian di sebuah keluarga, maka hal
yang pertama dilakukan oleh keluarga tersebut adalah memanggil
modin. Setelah itu mereka akan menyebarkan berita kematian pada
37
Setelah mendengar berita kematian tersebut, para tetangga akan
pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian. Para perempuan
akan membawa sebaki beras. Sedangkan beberapa kaum pria
menyiapkan prosesi pemakaman dengan membawa batu nisan dan
usungan untuk membawa mayat ke makam.
Setelah pemakaman, pihak keluarga akan menghidangkan jenis
makanan yang sangat disukai almarhum dan diletakkan di ruang
tengah atau di samping tempat tidur almarhum selama 30 hari.24
Biasanya juga ada tambahan sesajen. Selain itu, beberapa selametan
diselenggarakan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus,
di tahun pertama dan kedua serta di hari ke seribu. Setelah itu akan
dilakukan selametan setiap tahunnya. Rentetan selametan tersebut
diharapkan akan membantu proses duka cita keluarga yang telah
ditinggalkan agar mereka bisa tabah dan tidak mengalami kekalutan
perasaan yang parah.
Pada hari ke seribu, masyarakat percaya bahwa saat itu jasad
almarhum seluruhnya sudah menjadi debu. Karena sebab inilah
selametan kematian di hari ke seribu diselenggarakan dengan sangat
meriah. Keluarga akan menyembelih merpati, angsa, atau unggas
lainnya yang nantinya akan dimandikan dalam air kembang, lalu
diberi pencuci rambut, lalu dibungkus dengan kain kafan putih persis
seperti jasad orang yang meninggal. Upacara seperti ini disebut kekah.
24
38
Kadang kala ada yang melakukan kekah pada selametan yang lebih
awal.
Setelah upacara selesai, keluarga akan memberikan uang receh
yang berbentuk logam kepada para tamu yang hadir dalam selametan
tersebut untuk melambangkan berpalingnya seseorang dari yang mati
kepada yang hidup untuk terakhir kalinya. Setelah selametan ini
jurang pemisah antara yang mati dan yang hidup menjadi mutlak.
Akan tetapi, setiap ulang tahun kematiannya, anggota keluarga harus
berziarah ke makamnya untuk menaburkan bunga.
4) Siklus Selametan Desa
Selametan bersih desa berhubungan dengan pengudusan
perhubungan dalam ruang. Dalam hal ini selametan dilakukan untuk
membersihkan roh-roh yang berbahaya, yang menetap di desa.
Biasanya selametan desa ini dilakukan pada bulan Sela atau bulan Dzulqa’dah dalam tahun Qamariyah. Dalam selametan ini setiap
keluarga di desa harus menyumbangkan makanan untuk
dipersembahkan kepada danyang desa atau roh pelindung desa.
Biasanya para orang dewasa akan pergi ke tempat pemakaman
danyang. Jika tempat makamnya dirasa kurang baik, maka selametan
cukup dilakukan di rumah kepala desa.
Selain itu, setiap desa mempunyai kewajiban khusus tersendiri
39
danyang yang ada di desa tersebut. Jika danyang mereka menyukai
wayang, maka saat selametan akan diadakan pertunjukan wayang. Jika
danyang mereka menyukai tayuban, maka akan diadakan tayuban.
5) Selametan Menurut Penanggalan
Sebagai tambahan dari siklus selametan yang berhubungan
dengan titik-titik tahap kehidupan seorang individu, ada siklus
selametan lain yang berhubungan dengan kalender tahunan umat
Islam. Diantaranya adalah:
a) Satu Sura
Tradisi Malam Satu Suroa merupakan adat istiadat yang dilaksanakan setiap bulan ‘Asyura atau Muharram dalam hitungan
Islam, tradisi tersebut sudah melekat dan sudah mendarah daging
pada masyarakat tertentu.25 Perayaan Satu Sura merupakan
perayaan tahun baru dalam kalender Islam. Sura dalam kalender
jawa berarti Muharrom dalam kalender Qamariyah. Akan tetapi
disini lebih merupakan perayaan orang Buddha dari pada perayaan
Islam karena di Mojokuto perayaan tersebut hanya dirayakan oleh
mereka yang anti Islam.
25 Djihan Nisa’ Arini Hidayah, Persepsi Masyarakat Tehadap Tradisi Malam
40
b) Sepuluh Sura
Perayaan ini merupakan sebuah penghormatan untuk
mengenang cucu Nabi yaitu Hasan dan Husein. Menurut cerita
kedua cucu tersebut ingin mengadakan selametan untuk kakeknya
yang sedang berperang. Mereka membawa beras ke sungai untuk
dicuci, tapi ditengah perjalanan kuda musuh menghampiri dan
menendang beras itu. Beras tersebut jatuh dan kedua anak itu
menangis sambil memunguti beras yang telah tercampur dengan
pasir. Tapi meski demikian kedua anak tersebut tetap memasaknya
menjadi bubur. Untuk itulah perayaan ini ditandai dengan dua
mangkok bubur. Satu mangkok berisi bubur yang tercampur pasir
di dalamnya untuk dimakan para cucu, dan satu mangkok lagi
bubur yang diberi campuran kacang dan potongan ubi goring untuk
melambangkan ketidakmurnian. Mangkuk yang satu ini akan
dimakan oleh orang dewasa.26
c) Dua Belas Mulud
Kata mulud atau maulud berasal dari bentuk maṣdar mim dari
kata walada, yaitu mauluudun.27 Menurut cerita, Nabi Muhammad dilahirkan dan meninggal dunia pada tanggal dua belas Robi’ul
Awwal. Perayaan pada 12 Robi’ul Awwal ini lebih dikenal dengan
26
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, 104-105.
27
41
Mauludan. Adapun selametannya ditandai dengan adanya ayam
utuh sebagai bentuk sajian korban untuk nabi. Nampaknya
selametan ini merupakan selametan yang secara teratur pasti
dilakukan oleh masyarakat.
d) Dua Puluh Tujuh Rejeb
Selametan pada tanggal 27 Rejeb atau Rajab ini sering
disebut dengan perayaan Rejeban. Perayaan ini merupakan
peringatan atas perjalanan Nabi yang melakukan Isra’ dan Mi’raj
pada malam hari untuk menghadap Tuhannya. Pada selametan ini
pula nabi mendapatkan perintah untuk mengerjakan sholat lima waktu, yaitu Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’.28
e) Dua Puluh Sembilan Ruwah
Selametan ini sering disebut dengan Megengan yang berasal
dari kata pegeng yang berarti “menyapih”. Perayaan ini
berlangsung pada tanggal 29 Sya’ban, namun orang Jawa
menyebutnya 29 Ruwah. Dalam hal ini Ruwah merupakan asal kata
dari kata arwah yang berarti jiwa orang yang telah meninggal.
layaknya selametan kematian, selametan ini ditandai dengan pergi
ke makam keluarga yang sudah meniggal untuk menaburkan bunga
di atas kuburannya.
28
42
f) Satu Sawal
Selametan satu Sawal merupakan suatu perayaan bagi kaum
muslimin untuk menandai berakhirnya kewajiban puasa di bulan
Romadhon.29 Pada umumnya masyarakat menyebut perayaan
tersebut sebagai Hari raya Idul Fitri. Perayaan ini ditandai dengan
adanya nasi kuning dan sejenis telur dadar. Masyarakat percaya
bahwa pada perayaan tersebut, roh-roh yang sudah meninggal akan
turun ke bumi dan mengahadiri acara perayaan tersebut.
Hari raya ini merupakan wujud pesta klimaks dalam bulan
puasa, karena sebelum melakukan hari raya tersebut, semua orang
diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan. Adapun salah satu
ritual pokok yang harus ada saat hari raya adalah tradisi permintaan
maaf. Setiap orang akan meminta maaf kepada keluarga, kerabat,
tetangga, dan orang-orang lainnya dengan cara mengunjungi rumah
mereka.
Karena ritual tersebut dilakukan dengan cara berkunjung,
maka setiap orang pasti menyiapkan hidangan untuk
tamu-tamunya. Bahkan menjelang hari raya, orang-orang akan membeli
pakaian baru dan membagikan zakat kepada masyarakat yang tidak
mampu.
29
43
g) Tujuh Sawal
Selametan yang dilakukan pada tanggal tujuh Sawal disebut
Kupatan. Pada selametan ini orang-orang akan membuat kupat
yang merupakan sebuah anyaman dari daun kelapa yang diisi
dengan beras lalu di masak, dan membuat lepet yang merupakan
sejenis panganan dari beras ketan yang dibungkus dengan daun
pisang. Kupat dan lepet tersebut digantungkan di depan pintu
rumah agar para arwah anak-anak yang telah meninggal bisa
pulang dan memakan gantungan tersebut.30
h) Sepuluh Besar
Selametan ini dilakukan sebagai penghormatan atas
pengorbanan Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putranya Nabi
Ismail. Biasanya selametan sepuluh besar ini disebut juga dengan
Hari Raya Idul Adha. Selametan ini ditand