• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ‘URF TERHADAP AKAD PEMBERIAN BINGKISAN WALIMAH BAGI GURU DI KECAMATAN PRAMBON SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS ‘URF TERHADAP AKAD PEMBERIAN BINGKISAN WALIMAH BAGI GURU DI KECAMATAN PRAMBON SIDOARJO."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

‘URF

TERHADAP AKAD PEMBERIAN BINGKISAN

WALIMAH BAGI GURU DI KECAMATAN PRAMBON SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh Siti Aisah NIM. C02210100

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Ekonomi Islam Prodi Muamalah

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan, yang berjudul “Analisis ‘Urf

Terhadap Akad Pemberian Bingkisan Walimah Bagi Guru Di Kecamatan Prambon Sidoarjo”. Penelitian ini untuk menjawab dua pertanyaan: yaitu bagaimana praktik akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo? dan bagaimana analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo?

Penelitian tersebut di analisis dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari masyarakat ataupun para pihak guru serta perilaku yang dapat di amati dengan metode yang telah ditentukan. Dalam analisis ini, penulis menggunakan pola pikir induktif yang berarti menggunakan pola pikir yang berpijak pada teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus. Pola pikir ini berpijak pada teori-teori ‘Urf kemudian dikaitkan dengan fakta dilapangan tentang akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo yang bersifat khusus.

Hasil penelitian diperoleh data bahwa praktek kebiasaan pemberian hadiah telah dikenal sejak lama dalam kehidupam masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Prambon, dimana di masyarakat Kecamatan Prambon selalu ada yang namanya hajatan karena mengingat juga masyarakat Kecamatan Prambon mayoritas beragama Islam sehingga seperti acara hajatan selalu berlangsung. Praktek pemberian bingkisan walimah terhadap guru pada acara seperti acara hajatan, dimana hajatan tersebut yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi masyarakat Kecamatan Prambon dengan membawa bingkisan seperti beras, gula, uang dan sebagainya. Namun hal ini semakin berkembangnya pola pikir masyarakat sehingga mengubah tradisi yang sudah biasa di lakukan dan juga seharusnya di jaga keasliannya biar tetap utuh. Pada dasarnya masyarakat Kecamatan Prambon yang sangat menjaga dengan adanya tradisi hajatan, akan tetapi pada saat ini pemberian bingkisan walimah sudah banyak di jadikan jalan untuk melancarkan tujuan mereka terhadap guru yang mereka inginkan. Dalam analisis ‘Urf (akad pemberian) bingkisan walimah yang dilakukan guru-guru di Kecamatan Prambon sudah biasa dilakukan dan pemberian tersebut tidak menyimpang dari syari’at Islam dan dalam muamalah pemberian bingkisan masuk dalam akad hibah (akad pemberian) bingkisan hukumnya mubah.

(6)

viii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

PERSEMBAHAN... xiii

MOTTO... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 3

C. Rumusan Masalah ... 4

D. Kajian Pustaka ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 6

G. Definisi Operasional ... 7

H. Metode Penelitian ... 8

I. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ‘URF DAN AKAD PEMBERIAN A. Konsep Tentang ‘Urf ... 15

1. Pengertian ‘Urf ... 15

2. Landasan hukum ‘Urf ... 19

(7)

4. Kehujjahan ... 25

B. Konsep Tentang Akad Pemberian ... 29

1. Pengertian Akad... .... 29

2. Rukun Akad... ... 31

3. Syarat Akad... ... 32

4. Pengertian Akad Pemberian (Hibah) ... 32

5. Macam-macam Akad Pemberian ... 41

6. Hukum Akad Pemberian ... 41

7. Rukun dan Syarat Akad Pemberian... .. 43

BAB III PENYAJIAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian Di Kecamatan Prambon... ... 45

B. Deskripsi Praktek Akad Pemberian Bingkisan Walimah Bagi Guru ... 51

BAB IV ANALISIS DATA A. Praktek Akad Pemberian Bingkisan Walimah Bagi Guru ... 55

B. Analisis ‘Urf Terhadap Akad Pemberian Bingkisan Walimah Bagi Guru.. ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia yang dikenal dengan pola hidupnya yang komunal.

Pola hidup tersebut membentul ikatan kekeluargaan yang kental dalam

kehidupan bermasyarakat dengan prinsip hidup bergotong royong saling

tolong menolong. Dengan prinsip hidup tersebut masyarakat dianjurkan

berbagi dengan sesama, saling memberi tidak hanya dilingkup keluarga namun

juga dalam hubungan sosial dimasyarakat. Saling memberi dalam hal ini

identik dengan pemberian dalam bentuk konkret seperti uang, hadiah, dan

lainnya.

Kebiasaan (‘urf) pemberian hadiah ini pun menjadi berkembang secara

turun temurun sampai saat ini dengan berbagai modal dan tujuan. Di

antaranya pemberian sumbangan kepada orang yang membutuhkan, pemberian

bingkisan atau hadiah pada saat perayaan atau hari besar keagamaan, namun

seiring dengan berkembangnya masyarakat model pemberian hadiah semakin

luas, ketika menjenguk orang sakit atau jika ada orang yang meninggal, orang

yang datang membawa bingkisan berupa buah, uang, makanan dan beragam

lainnya.

Pada awalnya kebiasaan (‘urf) pemberian hadiah yang berlangsung

dalam masyarakat merupakan suatu bentuk perbuatan yang baik dalam

(9)

2

masyarakat menginginkan kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan dan

tuntutannya sehingga sering kali pemberian hadiah yang ditujukan kepada

Guru memiliki tujuan untuk mempengaruhi keputusan maupun kebijakan

orang yang diberikan hadiah. Pemberian hadiah ini merupakan ‘urf yang

berkembang dan tumbuh dengan seiringnya tuntutan yang lahir dimasyarakat

dan lebih terorganisasi.

Saling memberikan hadiah sangat di anjurkan oleh agama Islam namun

hadiah yang dimaksud merupakan hadiah yang bisa menimbulkan saling cinta

antara sesama muslim. Apalagi jika hadiah tersebut diberikan ketika ada

hajatan walimah. Bingkisan yang dimaksud oleh penulis adalah bingkisan

walimah, bingkisan yang diberikan ketika seseorang itu melakukan hajatan

walimah. Bingkisan walimah tersebut bisa berupa uang ataupun barang sesuai

dengan kebiasaan (adat istiadat masyarakat).

Disini penulis melihat adanya suatu permasalahan mengenai pemberian

hadiah walimah, maka penulis menggunakan ‘urf untuk menganalisis akad

pemberian hadiah walimah yang sudah menjadi kebiasaan para guru.1

Ada pula yang menjelaskan bahwa ‘urf bisa diartikan apabila suatu

perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak

dinamakan adat.2

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ‘urf

(kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh

1

Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 153. 2

(10)

3

masayarakat daerah tertentu, dan terus menerus dijalani oleh mreka, baik hal

demikian terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.3

Dengan melihat permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk

meneliti tentang analisis ‘urf terhadap pemberian hadiah yang dirangkum

dalam judul “Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan walimah bagi

guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka timbul persoalan yang harus

dipelajari oleh penulis untuk dijadikan acuan penelitian, yakni:

1. Pengertian Akad Pemberian.

2. Pengertian bingkisan walimah.

3. Pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

4. Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan bagi guru di Kecamatan

Prambon Sidoarjo.

Berdasarkan identifikasi masalah dan kemampuan penulis dalam

mengidentifikasi masalah, maka dalam penelitian ini akan dilakukan

pembatasan masalah sebagai berikut:

a. Praktek akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan

Prambon Sidoarjo.

b. Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan bagi guru di Kecamatan

Prambon Sidoarjo.

3

(11)

4

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan latar belakang masalah yang diuraikan di

atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di

Kecamatan Prambon Sidoarjo?

2. Bagaimana analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan walimah bagi

guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo?

D. Kajian Pustaka

Pada dasarnya studi kepustakaan diperlukan untuk mendapatkan

informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti.4 Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah sudah ada

penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, sehingga dapat

menghindari adanya pengulangan kembali.

Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya antara lain:

Pertama, Skripsi Nurisma Sawitri lulus tahun 2000/S1 (Universitas

Islam Indonesia), yang berjudul “Penegakan Hukum Korupsi Dalam Bentuk

Gratifikasi di Indonesia Dalam Tujuan Sosiologi Hukum”. Dimana dalam

penelitian disini menfokuskan terhadap penegakan hukum korupsi dan budaya,

dalam arti penelitian disini ingin mengetahui bagaimana penegakan hukum

korupsi di Indinesia dan apakan budaya yang menyebabkan pnegakan hukum

4

(12)

5

korupsi dalam bentuk Gratifikasi tersebut. Penegakan korupsi di Indonesia

sangatlah kurang adil dan bijaksana dikarenakan korupsi sudah menjadi

kebiasaan yang dilakukan, jadi sangatlah sulit untuk dihindari.5

Kedua, Skripsi Fawari, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Sumbangan Dalam Hajatan Pada Pelaksanaan Walimah Dalam

Perkawinan di Desa Rima Balai Kec. Banyuasin III Kab. Banyuasin Sumatera

Selatan”. Ketentuan hukum perkawinan dalam ajaran Islam telah dibahas

secara rinci dan jelas mulai dari memilih pasangan sampai dengan

terlaksananya perkawinan hingga akibat perkawinan tersebut. Dan ternyata

masalah walimah ‘aqdi dan walimah perkawinan juga telah mendapatkan

ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam. Pada prakteknya sumbangan dalam

hajatan memakai sistem lelang yaitu melalui penawar dengan tawaran

tertinggi adalah pemenangnya dan perbuatan ini merupakan manifestasi

tradisi saling tolong menolong dalam masyarakat. Sumbangan dalam hajatan

ini baru dan belum ada hukum yang pasti karena pada hukum walimah tidak

ada penjelasan. Ada perakteknya setiap pelaksanaan sumbangan dalam hajatan

terdapat pewaris, dan mengembalikan uang sumbangan adalah kewajiban.6

Ketiga, Skripsi Mukarromah, yang berjudul “Pemberian Hadiah

Kepada Kepala Negara Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif”.

Disimpulkan bahwa hukum Islam dan hukum positif sepakat dalam

5

Nurisma Sawitri, “Penegakan Hukum Korupsi Dalam Bentuk Gratifikasi di Indonesia Dalam

Tinjauan Sosiologi Hukum”, (Skripsi—Universitas Islam Indonesia, Jakarta, 2000).

6

Fawari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sumbangan Dalam Hajatan Pada Pelaksanaan

(13)

6

menetapkan keharaman atau tidak dibolehkannya pemberian hadiah kepada

Kepala Negara. Tindakan penerimaan dan pemberian hadiah kepada pejabat

dikategorikan sebagai tindakan haram sedangkan suap dikategorikan sebagai

tindakan kufur.7

Akan tetapi penelitian tersebut di atas, berbeda dengan penelitian yang

sedang disusun oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis membahas tentang

gratifikasi terhadap pemberian bingkisan walimah bagi guru yang terangkum

dalam sebuah judul:”Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan

walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo”.

E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui praktik akad pemberian bingkisan walimah bagi guru

di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

2. Untuk mengetahui analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan bagi

guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

F. Kegunaan Penelitian

Dari permasalahan di atas, penelitian ini di harapkan mempunyai nilai

tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca, paling tidak untuk

dua aspek yaitu:

(14)

7

1. Secara Teoritis

a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman

studi hukum Islam mahasiswa fakultas Syariah pada umumnya dan

mahasiswa jurusan muamalah pada khususnya.

2. Secara Praktis

a. Dapat memberikan informasi tambahan maupun pembanding bagi

peneliti berikutnya untuk membuat karya tulis ilmiah yang lebih

sempurna.

b. Dapat menjadi bahan pertimbangan mengenai pelaksanaan terhadap

pemberian bingkisan walimah bagi guru.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalah fahaman pembaca dalam memahami

terhadap istilah yang dimaksud dalam judul Analisis ‘Urf terhadap akad

pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

Maka perlu dijelaskan istilah pokok yang menjadi pokok bahasan yang

terdapat dalam judul penelitian ini, sebagai berikut:

‘Urf : Suatu kegiatan yang biasa dilakukan

berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam skripsi

ini berkaitan dengan pemberian bingkisan kepada

(15)

8

Guru : Seorang pengajar di sekolah Negeri ataupun Swasta

yang memiliki kemampuan berdasarkan latar

belakang pendidikan formal minimal bersetatus

sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang

sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru

dan dosen yang berlaku di Indonesia. Guru disini

dibatasi pada guru di Kecamatan Prambon.

Bingkisan Walimah : Barang bawaan milik pihak yang punya hajatan

untuk diberikan kepada tamu yang hadir dalam acara

walimah.

H. Metode Penelitian

Pengertian dari metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh

dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu

penelitian.8 Dalam menguraian permasalahan tentang Analisis ‘Urf terhadap

akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon

Sidoarjo, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, berupa kata-kata

baru yang menggambarkan subyek penelitian dalam keadaan sebagaimana

mestinya. Supaya dapat memperoleh hasil yang dapat

dipertanggungjawabkan, maka penulis menggunakan beberapa metode sebagai

berikut:

8

(16)

9

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang objeknya mengenai gejala-gejala,

peristiwa-peristiwa dan fenomena-fenomena yang terjadi pada lingkungan

sekitar baik masyarakat, organisasi, lembaga/negara yang bersifat non

pustaka.9 Maka dalam hal ini obyek penelitiannya adalah mengenai akad

pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

2. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subyek dari

mana data diperoleh.10 Untuk memudahkan mengidentifikasikan data

maka penulis mengklasifikasikan menjadi dua sumber data, antara lain:

a. Sumber Primer

Sumber data primer yaitu subjek penelitian yang dijadikan

sebagai sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat

pengukuran atau pengambilan data secara langsung atau yang dikenal

dengan istilah interview (wawancara).11 Wawancara tersebut

dilakukan kepada guru yang bersangkutan: Ibu Suhartini, Bapak

Khoiruddin, Bapak Khoirul Anam. Tetangga dari guru tersebut

diatas: Ibu Santi dan Ibu Anjar.

9

Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), 19. 10

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 114.

11

(17)

10

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber-sumber data yang menjadi

rujukan (penunjang) dan melengkapi dalam melakukan suatu analisa,

seperti:

1. Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh.

2. A. Masykur Anhari, Ushul Fiqh.

3. Narun Haroen, Ushul Fiqh.

4. Chaerudin, Tindak Pidana Korupsi.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yaitu upaya pengumpulan data-data

yang relevan dengan kajian penelitian, yang diperoleh dengan cara:

a. Observasi, Metode observasi yaitu usaha-usaha mengumpulkan data

dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap

fenomena-fenomena yang diselidiki.12 Metode ini dilakukan dalam

rangka memperoleh data tentang pelaksanaan pemberian bingkisan

walimah bagi guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo yaitu dengan cara

melihat langsung.

b. Interview, Metode interview atau wawancara yaitu teknik

pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi

secara langsung kepada para responden,13 atau mencari keterangan

dengan cara berbincang-bicang dengan para pihak atau tokoh yang

terlibat langsung dalam kajian penelitian. Untuk mendapatkan data

12

Ibid., 46. 13

(18)

11

dari responden, maka penulis mengadakan wawancara dengan tiga

guru.

c. Dokumentasi, Pengertian dokumentasi yaitu kumpulan koleksi bahan

pustaka (dokumen) yang mengandung informasi yang berkaitan dan

relevan dengan bidang-bidang pengetahuan maupun kegiatan yang

menjadi kepentingan instansi atau korporasi yang membina unit kerja

dokumentasi tersebut.14 Macam-macam dokumentasi antara lain:

wawancara, dan lain sebagainya.

4. Teknik pengolahan data

Setelah seluruh data terkumpul perlu adanya pengolahan data

dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh

dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang

meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya,

keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.15 Teknik

ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan data-data yang

sudah penulis dapatkan dari informan, wawancara dan akan

digunakan sebagai sumber-sumber studi dokumentasi.

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai

dengan rumusan masalah, serta mengelompokan data yang

14

Soejono Trima, Pengamatan Ilmu Dokumentasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984), 7. 15

(19)

12

diperoleh.16 Dengan teknik ini, diharapkan penulis dapat memperoleh

gambaran tentang pelaksanaan pemberian bingkisan walimah bagi

guru dan di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

c. Analyzing, yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang telah diperoleh dari sumber-sumber

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya,

sehingga diperoleh kesimpulan.17

5. Teknik analisis data

Hasil dari penggumpulan data tersebut akan dibahas dan kemudian

dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati dengan metode yang telah ditentukan.18

a. Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif yaitu dengan cara menuturkan dan

menguraikan serta menjelaskan data yang terkumpul. Tujuan dari

metode ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai

objek penelitian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.19

Metode ini digunakan untuk mengetahui gambaran tentang

16

Ibid.., 154. 17

Ibid.., 195. 18

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif,

(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 143. 19

(20)

13

pelaksanaan pemberian bingkisan walimah bagi guru di Kecamatan

Prambon Sidoarjo.

b. Pola Pikir Deduktif

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pola pikir deduktif

yang berarti menggunakan pola pikir yang berpijak pada teori-teori

yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan

berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.20 Pola pikir ini berpijak

pada teori-teori ‘Urf kemudian dikaitkan dengan fakta di lapangan

tentang pelaksanaan pemberian bingkisan walimah bagi Guru di

Kecamatan Prambon Sidoarjo yang bersifat khusus.

I. Sistematika pembahasan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka disusunlah

sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah dan

batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

Bab dua, membahas tentang landasan teori yang meliputi: membahas

tinjauan umum tentang ‘Urf: pengertian, landasan hukum, macam-macam dan

kehujjahan, dan tentang Akad pemberian: pengertian, macam-macam, hukum

akad pemberian, rukun dan syaarat akad pemberian.

20

(21)

14

Bab tiga, merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang dilakukan

oleh penulis pada bagi Guru dan pihak-pihak lain yang dirasa bisa membantu

untuk menyempurnakan hasil penelitian kali ini di Kecamatan Prambon

Sidoarjo.

Bab empat, merupakan analisi dari aplikasi praktek pemberian

bingkisan walimah bagi Guru dan Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian

bingkisan walimah bagi Guru di Kecamatan Prambon Sidoarjo.

Bab lima, membahas tentang kesimpulan yang menjawab rumusan

(22)

15

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG ‘URF DAN AKAD PEMBERIAN

A. ‘URF

1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi berarti ‚ sesuatu yang di pandang baik

dan diterima oleh akal sehat‛ sedangkan secara terminology, seperti yang

dikemukakan oleh Abdul -karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti : Sesuatu

yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi

kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan

atau perkataan.1

Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dengan

adat. Adat perbuatan seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan

tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan,

seperti kebiasaan manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak

laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka juga kebiasaan

mereka tidak mengucapkan kata ‚daging‛ sebagai ‚ikan‛. Adat terbentuk

dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun

tertentu.2

Menurut bahasa, berasal dari kata ‘arofa-ya’rufu-ma’rufan yang

berarti ‚yang baik‛. Sedangkan menurut istilah adalah apa yang dikenal

oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan ataupun

1

Prof. Dr. Effendi Satria, M. Zein, MA, Ushulfiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), 21. 2

(23)

16

pantangan-pantangan. Atau dalam istilah lain biasa disebut adat

(kebiasaan). Sebenarnya, para ulama’ Ushul Fiqh membedakan antara

adat dengan ‘Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil

untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan: ‚sesuatu

yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan yang

rasional.‛3

Berdasarkan definisi tersebut, Mushthofa Ahmad al-Zarqo’ (guru

besar Fiqh Islam di Universitas ‘Amman, Jordania), mengatakan bahwa

‘Urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum. Menurutnya,

suatu ‘Urf harus berlaku pada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan

dari pribadi ataupun kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami

sebagaimana yang berlaku dalam kabanyakan adat, tetapi muncul dari

suatu pemikiran dan pengalaman.Dan yang dibahas oleh kaum Ushul Fiqh

dalam kaitannya dengan salah satu hukum syar’i adalah ‘Urf, bukan adat.4

Arti ‘Urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuata

atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi

untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat

‘Urf ini sering disebut sebagai adat. Diantara contoh ‘Urf yang bersifat

perbuatan adalah adanya saling pengertian diantara manusia tentang jual

beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘Urf yang bersifat

ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal walad atas

3

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1,(Jakarta: Logos, 1996), 98. 4

(24)

17

anak laki-laki bukan perempuan dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh

al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.5

Al-‘Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’

yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang terkenal),

ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata

‘Urf (kebiasaan yang baik).

Di dalam Risalah al-‘Urf, Ibnu Abidin menerengkan bahwa : ‚Adat

(kebiasaan) itu diambil dari kata mua’awadah, yaitu :

mengulang-ngulangi. Maka karena telah berulang-ulang sekali demi sekali, jadilah ia

terkenal dan dipandang baik oleh diri dan akal, padahal tak ada hubungan

apa-apa dan tak ada pula karinahnya, adat dan ‘Urf searti walaupun

berlainan mafhum.6

Menurut bahasa ‘Urf adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh

manusia. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang biasa dilakukan

oleh manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah

dikenal oleh manusia dan menjadi tradisi untuk melaksanakannya ataupun

meninggalkannya. Terkadang ‘Urf juga disebut dengan adat (kebiasaan).7

‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya,

baik ucapan, perbuatan, atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat.

Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dengan adat.

Adat perbuatan seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan

5

A.Hanafie, M.A. Ushul Fiqih, (Jakarta: Wijaya, 1957), 115. 6

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 67.

7H. Rohman syafi’,

(25)

18

menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan, seperti

kebiasaan manuasia menyebut al-walad /secara mutlak berarti laki-laki,

bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka

tidak mengucapkan ‚daging‛ bukan ‚ikan‛. Adat terbentuk dari kebiasaan

manusia menurut derajat manusia, secara umum atau tertentu. Berbeda

dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahit saja, tidak

termasuk manusia secara umum.8

‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri.

Pada umumnya, ‘Urf ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat

serta menjunjung pembentukan hukum dan penafsiran beberapa Nash.

Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang

mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditingalkan. Karena itu, sah

mengadakan kontrak borongan apabila ‘Urf sudah terbiasa dalam hal ini,

sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah

kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).9

Kata’Urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat

kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang

lebar, ringkasnya: ‘Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal

sehat manusia. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau

kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang

8

Abdul wahab khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003,) 129. 9

(26)

19

apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya

sama.10

2. Landasan Hukum ‘Urf

Adat yang benar wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum

syara’ dan putusan perkara. Seorang Mujtahid harus memperhatikan hal

ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus

memperhatikan hal itu dalam setiap mengambil keputusan. Karena apa

yang sudah diketahui oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka,

disepakati dan ada kemaslahatannya. Selama ia tidak bertentangan

dengan syara’ maka harus dijaga. Syar’i telah menjaga adat yang benar

diantara adat orang Arab dalam pembentukan hukumnya. Seperti

menetapkan kewajiban denda atas perempuan berakal, mensyaratkan

adanya keseimbangan dalam perkawinan dan pembagian ahli waris.

Oleh karena itu para ulama’ berkata: Adat adalah syari’at yang

dikuatkan oleh hukum. Imam Malik membentuk banyak hukum

berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para

muridnya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada adat

mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika di Mesir, mengubah sebagian

hukum yang ditetapkan ketika berada di Baghdad karena perbedaan adat,

oleh karena itu beliau memiliki 2 pendapat (Qaul Qodim dan Qaul Jadid).

(27)

20

Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena

memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau

membatalkan hukum syara’. Bila manusia sudah biasa melakukan akad

yang rusak seperti akad pada barang yang riba, atau akad yang

mengandung unsur penipuan, maka kebiasaan ini sudah jelas buruk dan

akan menjadi adat yang buruk apabila kita masih mengikutinya.

Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan

waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan

masalah asal. Oleh karena itu dalam hal perbedaan pendapat ini para

ulama’ fiqh berkata: Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan

pada dalil dan alasan.11

Para ulama sepakat bahwa 'Urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah

selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal

dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan

hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat

ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan

qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau

menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di

Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'Urf.

Tentu saja 'Urf Fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.12

11 Drs. Moch Rifa’i,

Ushul Fiqh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 97.

12

(28)

21

3. Macam –macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :

1) Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘Urf al-lafzhi (kebiasaan

yang menyangkut ungkapan) dan al-‘Urf al-amali (kebiasaan yang

berbentuk perbuatan).

a) Al-‘Urf al-Lafzhi

Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan

lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga

makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran

masyarakat. Misalnya ungkapan ‚daging‛ yang berarti daging

sapi; padahal kata-kata ‚daging‛ mencakup seluruh daging yang

ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan

penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu

pembeli mengatakan ‚ saya beli daging 1 kg‛ pedagang itu

langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat

setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada

daging sapi.

b) Al-‘Urf al-‘Amali

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan

biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud ‚perbuatan

biasa‛ adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan

mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti

(29)

22

kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum

minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai

pakain tertentu dalam acara-acara khusus.

Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah

kebiasaan masyrakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara

tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual beli bahwa

barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh

penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti

lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani

biaya tambahan.13

2) Dari segi cakupannya, ‘Urf terbagi dua yaitu al-‘Urf al-‘Am

(kebiasaan yang bersifat umum) dan ‘Urf al-Khash (kebiasaan yang

bersifat khusus).

a) Al-‘Urf Al-‘Am

Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan,

seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan

jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang

telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang

yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu

dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti

13

(30)

23

hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam

urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan

rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh

Hadits Nabi Muhammad SAW:

ْنِم اًمْيِظَع اًب اَب َََْاْدَقَ ف اَهَلِبَقَ ف ًةَِّدَ ُهَل ىَدْ َءاَف ًةَع اَفَش ِهْيِخ َِِ ًعَفَش ْنَم

َا

ِباَوْ ب

اَبِّلا

Artinya: "Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.‛

Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan

rakyatnya.

b) Al-‘Urf Al-Khash

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu.

Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu

pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat

lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan

barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa

garansi terhadap barang tertentu.

3) Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘Urf terbagi dua.

Yaitu al’Urf al-Uhahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘Urf al

(31)

24

a) Al-‘Urf Al-Shahih

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang

tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak

menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa

mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan

pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan

hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

b) Al-‘Urf Al-Fasid

Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’

dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya,

kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam

menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama

pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam

tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah

apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat

dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang

sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang

diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi

bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah

kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan

syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak

boleh saling melebihkan. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahamad

(32)

25

yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan

Riba al-Nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh

sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul Fiqh

termasuk dalam kategori al-‘Urf al-Fasid.14

4. Kehujjahan

Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah

selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal

dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan

hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat

ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan

qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau

menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di

Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf.

Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.15

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang

kehujahan 'Urf.

a) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa 'Urf adalah

hujjah untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan firman Allah Swt:







14

Abdul Latif Muda, Pengantar Fiqh, (Bandung : Pustaka Salam, 1997), 43. 15

(33)

26

Artinya: ‚Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.‛

(QS. Al-A’raf: 199)

b) Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap

‘Urf sebagai hujah atau dalil hukum syar’i. Mereka beralasan, ketika

ayat-ayat al-Qur’an turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan

kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.

Apabila kita perhatikan penggunaan 'Urf ini, bukanlah dalil yang

berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-mashlahah al-mursalah,

bedanya kemaslahatan dalam ‘Urf ini telah berlaku sejak lama sampai

sekarang, sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah kemashlahatan itu

bisa terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada

hal-hal yang belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan

diberlakukan.

Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh yang dtulis oleh Prof. Dr. Rahmat

Syafi’I MA, disana tertulis bahwa, ‚’Urf menurut penyelidikan bukan

merupakan dalil syara’ sendiri. Pada umumnya ‘Urf ditujukan untuk

memelihara kemaslahatan umat serta men unjang pembentukan hukum

dan penafsiran beberapa Nash‛.

Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘Urf yang dapat

dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘Urf yang tidak

bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan ‘Urf

(34)

27

Firman Allah Swt dalam surat al-A’raf (7): 199







Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.16

Dalam ayat di atas Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk

mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum

muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai

dengan nilai-nilai keIslaman. Berdasarkan ayat ini Allah mengambil ‘Urf

dan adat sebagai salah satu untuk dijadikan sumber hukum manakala ‘Urf

sememangnya adalah suatu perkara yang dan boleh dijadikan sumber

hukum.

a. Ia menjadi kehujahan Mazhab Hanafi dan Maliki. Manakala golongan

yang tidak menerima ‘Urf sebagai hujjah ialah Imam Syafie. Imam

Syafie tidak menerima ‘Urf sebagai sumber hukum secara jelas dan

nyata. Mazhab Zahidiah dan Syiah juga tidak menerima ‘Urf sebagai

sumber hukum. Golongan ini menolak kehujahan ‘Urf kerana ia

bercanggah dengan nas-nas syarak. Contohnya seperti amalan riba

yang berlaku dalam adat masyarakat jahiliyyah terus diharamkan oleh

syarak. Hal ini jelas bertentangan dengan syarak.17

16

Departemen AgamaRI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Asyifa’, 2001), 176.

17

(35)

28

b. Ucapan sahabat Rasulullah Saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:

سحهلل دْنعوهف نسحنْوملْسمل هٓر مف

ءْيسهلل دْنعوهف ْيسنْوملْسمل هٓر مون

Artinya:‚Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik

di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin

adalah buruk di sisi Allah.‛18

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa

kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang

sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang

baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut

untuk dijaga dan dipelihara.

Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan

dengan ‘Urf antara lain sebagai berikut :

ّلُك اَمَدَرَو ِهِب ُع َّّْلا اًقَلْطُم ََِو َطِب اَض ُهَل ِهْيِف ََِو ى ِةَغَللا ُعِج َّْ ّ ِهْيِف ََِإ ِف ُّْعلا

‚Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada

pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada ‘Urf.‛19

Oleh ulama Hanafiyyah, ‘Urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs

yang tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas

Nash yang umum, dalam arti ‘Urf itu men-takhshîs nash yang umum.

Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘Urf yang hidup di

18

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2001), 212-213.

19

(36)

29

kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.

Ulama Syafiiyyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal yang tidak

menemukan ketentuan batasan dalam syara’` maupun dalam penggunaan

bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan ‘Urf dalam hukum

Islam:Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang

bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka

tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena

berdasarkan kebiasaan ‘Urf, kata daging (مْحل) tidak diartikan dengan kata

ikan (كمس).

Adapun contoh lainnya dalam penggunaan ‘Urf yaitu tentang usia

seseorang itu dikatakan baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis

yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan yang belum dikenal

pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang lainnya

berkenaan masalah ‘Urf.20

B. Akad Pemberian

1. Pengertian Akad

Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu ‘aqada, ya’qidu,

‘aqdan yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa

diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang

20

(37)

30

berakad. Dalam kitab Fiqh Sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan dan kesepakatan.

Menurut para ulama Fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan.

Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mendekatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus.

Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat diartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syari’ah. Dalam istilah Fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang

menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak seperti jual beli, sewa, wakalah dan gadai.

Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan, penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan, penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.21

Menurut Kompilasi hukum ekonomi Syari’ah yang dimaksud

dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.22

21

Ash. Shidiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). 213. 22

(38)

31

Dalam bahasa arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak semisal akad jual beli.

Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.

Disamping itu akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri aataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad.

Akad dengan makna luas inilah yang Allah ingi8nkan dalam firmannya.





“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu’.

2. Rukun Akad

Ada 3 rukun, Akad yaitu dua pihak yang mengadakan transaksi, objek transaksi dan shigoh/pernyataan resmi adanya transaksi.

a) Dua pihak yang mengadakan transaksi adalah dua pihak yang secara langsung menangani sebuah transaksi.

(39)

32

c) Shigoh/pernyataan resmi adanya transaksi adalah ungkapan yang digunakan oleh pihak yang mengadakan transaksi untuk mengekspresikan keinginannya.23

3. Syarat Akad

Adapun syarat menurut pengertian fuqaha dan ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, dan syarat itu dan bersifat secara eksternal. Maksudnya adalah tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrud (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrud. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiadanya kecakapan menjadi tidak berlangsungnya akad.24

Memberikan Sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu

halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT,

untuk itu pemberian hukumnya mubah. Dalam fiqih muamalah pemberian

disebut sebagai hibah.

4. Pengertian Hibah

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata

wahaba, yang berarti pemberian.

Hibah menurut terminologi syara’ adalah ‚pemberian hak milik

secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa

23

http://ustadzaris.com//seputar-akad.html.

(40)

33

ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi‛. Atau kita katakan:

pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan ini lebih

utama dan singkat.

Hibah pemberian, hadiah, dan sedekah maknanya berdekatan.

Semua merupakan pemberian hak milik sewaktu masih hidup tanpa ada

ganti.

Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok

persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup

tanpa imbalan. Menurut kopilasi hukum Islam (KHI) dalam pasal 171

mendefinisikan hibah:

‚Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa

imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk

dimiliki‛.

Kedua definisi di atas sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya

sama yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain atas

sukarela tanpa imbalan.25

Hibah, yang dalam pengertian umum shadaqah dan hadiah, diliat

dari aspek vertikal (hubungan antara manusia dengan Tuhan) memiliki

dimensi taqarrub, artinya dia dapat meningkatkan keimanan dan

ketakwaan seseorang. Semakin banyak bershadaqah akan semakin

memperkuat dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan, inilah aspek

vertikal hibah. Dilihat dari sudut lain, hibah juga mempunyai aspek

25

(41)

34

horisontal (hubungan antara sesama manusia serta lingkungannya) yaitu

berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara kaum yang punya

atau tidak, antara si kaya dan si miskin, serta menghilangkan rasa

kecemburuan sosial, inilah ospek horisontal hibah.26

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan

menurut istilah hibah yaitu

عوطت ة يحلا ل ح ضوع اب كيلمتل ديفي دقع

‚Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.27

Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad

yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang

lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang

memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak

diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut

i’aarah (pinjaman). Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang

bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra

prestai dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan

pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan

26

http://s-hukum.blogspot.com/2015/04/Pengertian-Hibah.html. 27

(42)

35

wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal

dunia).28

Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata

wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam kamus

al-Munawwir kata ‚hibah‛ ini merupakan masdhar dari kata wahaba yang

berarti pemberian.

Jumhur Ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan

pengertian hibah sebagai: Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa

adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.

Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada

orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan

harta itu dari pemberian kepada orang yang diberi.

Pengertian hibah dari Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazali,

bahwa hibah adalah memberikan sesuatu yang dlestarikan dan

dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup

tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.

Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan

maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih

hidup dan tanpa imbalan.

28

(43)

36

Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka

kebijakan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama Fiqh

sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunnah berdasarkan

firman Allah dalam surat an-Nisa,(4):4.29

Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang

lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.

Muhammad Al Syarbini dalam kitab Al-Mughni mendefinisikan

hibah sebagai berikut:

‚akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika

masih hidup dan dilakukan secara sukarela‛.

Firman Allah Swt :





























‚Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya‛ (QS. Al

Baqarah : 177).

29

‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, (Jakarta:

(44)

37

Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu

halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT.

Untuk itu hibah hukumnya mubah.30

Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah di sebutkan, hadiah itu

dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia.

Dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan

balasan serupa.suatu hadiah dapat menjadikan orang yang memberi dapat

menimbulkan kecintaanh pada diri penerima hadiah kepadaya, selain itu

tangan di atas lebihbaik daripada tangan di bawah.31

Para imam mazhab sepakat hibah menjadi sah hukumnya jika

diakukan dengan tiga berkara yaitu :

a. Ijab adalah pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang

memberikan.

b. Qabul32 adalah pernyataan dari pihak yang menerima pemberian

hadiah.

c. Qabdlah (serah terima barang yang di hibahkan) adalah merupakan

penyerahan milik itu sendiri baik penyerahan dalam bentuk sebenarnya

maupun secara simbolis.

Oleh karena itu, menurut pendapat hanafi,syafi’I dan hambali hibah

tidak sah kecuali berkumpulnya tiga perkara itu.Maliki : sah dan lazimnya

30

H. Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Cet.III, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 197. 31 Drs. Moch Rifa’i,

Ushul Fiqh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 129.

32

(45)

38

suatu hibah itu tidak memerlukan serah terima barang tetapi cukup

adanya ijab dan qabul saja.

Serah terima barang merupakan syarat pelaksanann dan syarat

sempurnanya hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan

mengakhirkan penyerahan barang, padahal yang menerima hibah terus

menerus memintanya hingga orang yang menghibahkan mati, sedangkan

yang menerima terus memintanya (karena belum menerima hibahnya

tersebut) hibahnya tidak menjadi batal dan ia berhk menerima kembali

kepada ahli warisnya.33

Menurut Asat A.A. Fyzee ialah penyerahan langsung dan tidak

bersyarat tanpa pemberian balasan. Diuraikan dalam kitab Durru’i

Muchtar memberikan definisi hibah sebagai pemindahan hak atas harta

milik itu sendiri oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian

balasan.34

Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang

lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih

sayang.Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu

halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT.

Untuk itu hibah hukumnya mubah.35

33

H. Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, 471.

34

Eman Suparman, Hukum WarisIdonesia, (Bandung: PT. Pefika Aditama, 1999), 231. 35

(46)

39

Hibah ialah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain

dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan

langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.

Pendapat Ulama Fiqih tentang Hibaha. Menurut mazhab hanafi

adalah benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti,

pemberian dilakukan pada saat si pemberi masih hidup dan benda yang

akan diberikan itu adalah syah milik Pemberi.

Menurut mazhab Maliki adalah memberikan suatu zat materi tanpa

mengharap imbalan dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya

tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama

dengan dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk

meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan

sedekah.

Menurut madzhab Hambali hibah adalah memberikan hak memiliki

sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik

yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya tapi harta

itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian itu bersifat tidak wajib

dan dilakukan pada waktu Pemberi masih hidup dengan tanpa adanya

syarat imbalan.

Menurut madzhab Syafi'i hibah mengandung dua pengertian yaitu:

1. Pengertian khusus adalah pemberian bersifat sunnah yang dilakukan

dengan ijab qabul pada waktu Pemberi masih hidup. Pemberian yang

(47)

40

mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang

yang diberikannya.

2. Pengertian umum adalah hibah dalam arti luas yang mencakup hadiah

dan shodaqoh.

Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat

madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama yaitu

hibah adalah memberikan hak memiliki sesuatu benda kepada orang lain

yang dilandasi oleh ketulusan hati, atas dasar saling membantu kepada

sesama manusia dalam hal kebaikan.36

Hibah adalah seperti hadiah, Hukum hibah adalah mubah ( boleh ),

sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut :

Artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi Saw telah

bersabda ‚siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan

rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya‛. (HR. Ahmad)

Karena keduanya merupakan perbuatan baik yang di anjurkan untuk

dikerjakan. Orang yang menghibahkan sesuatu hendaknya dengan niat

ikhlas untuk membantu orang yang kekurangan. Apabila menghibahkan

sesuatu dangan memperoleh pengambilan, pada hakikatnya tidak

menolong, melainkan memeras. Dengan demikian, bukan pahala yang

diterima, tetapi dosa.37

36

Ibid., 249. 37

(48)

41

5. Macam-macam Hibah

Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

a. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain

yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut,

yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya

menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

b. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar

dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi

harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata

lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak

guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu

(hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah

dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka

waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus

dikembalikan.38

6. Hukum Hibah

Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan

Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang

menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong

menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah

memberikan harta kepada orang lain yang betul – betul membutuhkannya.

38

(49)

42

Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali

kecuali hibah orang tua kepada anaknya.39

1. Wajib

Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai

kemampuannya. Hal itu didasarkan pada anak dan istri menjadi tanggung

jawab suami. Agar tidak menimbulkan rasa iri, sebaiknya hibah kepada

anak diberikan adil.

2. Haram

Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah

dihibahkan ditarik kembali. Hukum haram menarik kembali hibah ini

tidak belaku bagi hibah seorang ayah kepada salah seorang anaknya. Jadi,

diperbolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang diberikan,

mengingat anak dan harta itu sebenarnya adalah milik ayah.

3. Makruh

Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan

sesuatu, baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya makruh.

Misalnya, orang muslim menghibahkan sesuatu kepada orang lain dengan

maksud orang tersebut membalasnya dengan pemberian yang lebih

besar.40

39

Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenata Media Group, 2010), 149.

40

(50)

43

7. Rukun dan Syarat Hibah

Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama,

dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang

antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi

itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran

hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam

menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun

lembaga-lembaga sosial.41

Ada beberapa rukun dan syarat hibah, di antaranya yakni:

a. Pemberi Hibah (Wahib)

Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan

atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum

dan orang yang berhak memiliki barang.

b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)

Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :

Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu

dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas

dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya

maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.

41

(51)

44

c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)

Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas

terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga,

betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status

kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

Barang yang dihibahkan adalah bar

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama,

Selama melaksanakan kegiatan PKL ini praktikan menghadapi beberapa kendala dalam bekerja di bagian Administrasi Keuangan seperti kurangnya sosialisasi pada saat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh infusa Daun Afrika terhadap histopatologi ginjal mencit galur BALB/c.. Sampel berupa mencit jantan galur

Berikut uraian tentang permasalahan atau kebutuhan mitra yang disipekati bersama untuk diselesaikan atau tantangan pokok yang menjadi target kegiatan: 1) Kurangnya pengetahuan

Hasil f ocus group discussion (FGD) untuk aspek sistem sosial memperlihatkan bahwa sistem sosial sesuai dengan model manajemen mutu terpadu pelayanan kesehatan, tidak ada komponen

Critical success factor dalam Public Private Partnership dengan skema Build Operate Transfer bagi pihak swasta yaitu Analisa finansial (Estimasi biaya tepat);

NIP. Nilai Praktek Rata rata Tulis Rata rata Praktek PKn Tulis Matk. Tulis IPS Tulis PJOK Prak SBK Prak Tidak Lulus F.1 SD/MI.. DAFTAR PENGGUNAAN BLANKO IJAZAH TAHUN

mengenai 2 (dua) ketentuan terhadap penyalah guna narkotika, ketentuan yang pertama adanya kewajiban rehabilitasi dan yang kedua adanya sanksi pidana penjara, rehabilitasi