IDENTIFIKASI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN DAN RESIKO PUBLIC
PRIVATE PARTNERSHIP PADA PROYEK GEDUNG DI SURABAYA
Farida Rahmawati
Lab Manajemen Konstruksi Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Email : farida_rahma@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah untuk meningkatkan fasilitas publik dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership (PPP) dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penentu keberhasilan (Critical Success Factor) Public Private Partnership (PPP) dan mengidentifikasi resiko implementasinya untuk proyek gedung di Surabaya dari sudut pandang
private sector. Variabel penentu keberhasilan yang diklasifikasikan dalam fase build, fase operate
dan fase transfer, didapatkan dari studi pustaka dan survei pendahuluan yang selanjutnya divalidasi oleh responden yaitu partisipan kerjasama kontrak melalui wawancara dan kuisioner. Data hasil kuisioner yang dikumpulkan menghasilkan suatu significance index (tingkat kepentingan), dan selanjutnya dianalisa dengan analisa faktor Sedangkan faktor resiko terkait dengan critical success factor akan diidentifikasi melalui pengukuran resiko. Data hasil kuisioner dianalisa dengan analisa faktor. Critical Success Factor untuk fase build adalah faktor teknis dan finansial, faktor komitmen dan faktor konsorsium. Pada fase operate, faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor keterlibatan pemerintah, faktor pengelolaan gedung dan faktor konsorsium. Sedangkan pada fase transfer, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor resiko transfer, faktor status gedung dan faktor prospek marketingMelalui hasil pengukuran resiko, didapatkan beberapa resiko yang besar selama kerjasama PPP berlangsung, yaitu antara lain resiko pasar, koordinasi proyek kurang baik, biaya konstruksi yang membengkak, instabilitas pemerintah dan aspek legal.
Kata kunci: Critical Success Factor, Public Private Partnership, Risk
1.
PENDAHULUAN
Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur. Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada.
Kerjasama seperti itu sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara berkembang, terutama di proyek-proyek infrastruktur, antara lain (Zhang, 2001): Tate’s Cairn Tunnel di Hongkong, Jalan Tol di China dan Indonesia, Airport, Railway, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri pola kerjasama seperti ini sudah banyak diterapkan, antara lain Power Plant Paiton dan jalan tol, yang merupakan kerjasama antara PT Jasa Marga sebagai instansi yang ditunjuk Pemerintah sebagai regulator jalan tol di Indonesia dengan investor. Total 31.24% dari ruas jalan tol yang sudah dioperasikan di Indonesia ini menerapkan kerjasama Public Private Partnership (Jasa Marga, 2003).
Di Indonesia, khususnya di Surabaya juga banyak terdapat gedung-gedung yang merupakan fasilitas publik, yang menggunakan pola PPP dengan tipe Build Operate Transfer (BOT) dan Build Transfer Operate (BTO). Berbagai kendala juga terjadi selama implementasi kerjasama. Dari fenomena tersebut, maka perlu kiranya diidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP dari sudut pandang pihak swasta dan deskripsi resiko-resiko selama pelaksanaan kerjasama.
2.
DASAR TEORI
2.1. Public Private Partnership
PPP merupakan kemitraan Pemerintah – Swasta yang melibatkan investasi yang besar/padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik aset dan pengendali pelaksanaan kerjasama (Kurdi, 2003). Agar konsep privatisasi manajemen proyek infrastruktur bisa berjalan maka harus berlaku prinsip
cost-recovery, yaitu investasi yang ditanamkan bisa kembali (pay back) (Levy, 1996). Keuntungan pola kerjasama BOT
1. Bagi Pemerintah (Levy, 1996)
a. Memungkinkan pemerintah untuk mem-bangun infrastruktur/fasilitas publik tanpa membutuhkan biaya yang besar
b. Tidak menanggung resiko yang besar pada masa konstruksi dan pemeliharaan c. Progress proyek dapat berjalan lebih cepat
d. Kualitas proyek lebih baik, karena investor berorientasi pada pelayanan publik dan profit e. Tidak membebankan pajak pada masya-rakat atas pengadaan fasilitas baru
2. Bagi investor/konsorsium
a. Membuat/menciptakan pasar sendiri atas pelayanan yang diberikan dan produk yang dihasilkan dengan tujuan akhir berupa profit
b. Dengan analisa finansial yang tepat, maka dapat mendapatkan profit yang cukup selama masa konsesi 2.2. Critical Success Factor
Critical Success Factor adalah salah satu kegiatan perusahaan yang berpengaruh kuat pada kemampuan perusahaan mencapai tujuannya. Beberapa studi sebelumnya telah membahas critical success factors dalam suatu kontrak kerjasama pada proyek infrastruktur. Menurut Berry (1991), Tiong (1992) dan Morledge, Owen (1997), terdapat enam faktor penentu keberhasilan dalam kontrak kerjasama BOT, yaitu:
1. Entrepreneurship dan leadership 2. Right project identification 3. Strength of consortium 4. Technical solution advantage 5. Financial package differentiation
6. Differentiation in guarantees
Sedangkan menurut Zhang (2005), terdapat lima Critical Success Factors utama dalam penyelenggaraan kontrak kerjasama BOT, yaitu:
1. Favorable investment environment 2. Economic Viability (Kelayakan ekonomi)
3. Konsorsium yang handal dengan reputasi yang baik 4. Struktur pendanaan
5. Alokasi resiko tepat dan menguntungkan melalui persetujuan kontrak
Li dan Akintoye (2005), berpendapat bahwa, faktor utama penentu keberhasilan dalam kontrak BOT, yaitu:
1. Effective procurement, yaituSistem pengadaan yang transparan dan kompetitif, Pemerintahan yang baik, aman dan terkendali, Masyarakat yang kondusif, Pembagian otorita yang seimbang antara pemerintah dan investor/swasta, Manfaat biaya yang tinggi dan realistis
2. Project implementabilit, yaitu Kelayakan proyek, Alokasi resiko yang jelas dan terencana, Komitmen dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah dan investor/swasta, Konsorsium yang kuat dan qualified, Kebijakan pemerintah yang sesuai dan mendukung
3. Government guarantee, yaituJaminan dari pemerintah, Tujuan proyek menghasilkan beberapa keuntungan 4. Favourable economic conditions, yaituKebijakan politik yang kondusif, Kondisi makro ekonomi stabil 5. Available financial market, yaitu Ketersediaan pasar yang luas secara finansial
a. Pengukuran resiko dengan Analisis Probability Impact Grid (PIG)
Dalam analisis ini akan dicari skor yang merupakan perkalian dari skor pada probabilitas dan skor pada impact / konsekuensi yang didapat dari responden. Rumus PIG yang digunakan adalah (Well-Stam et.al., 2004) : Risk = probability x consequence
Tabel 1 Kelas Probabilitas Terjadinya Resiko Kelas
( Skor ) Probabilitas Deskipsi
1 0 % - 5 % Hampir pasti tidak terjadi
2 6 % - 25 % Kemungkinan kecil terjadi
3 26 % - 50 % Kemungkinan akan terjadi
4 > 50 % Hampir pasti terjadi
Tabel 2 Kelas Besaran Impact/Konsekuensi Kelas
( Skor ) Biaya Deskipsi
1 0 - 5 Milyar Kecil ( K )
2 6 - 20 Milyar Relatif Kecil ( RK )
3 21 - 50 Milyar Relatif Besar ( RB )
4 > 50 Milyar Besar ( B )
Tabel 3 Tingkat Resiko Skor Resiko
1 - 3 Rendah 4 - 8 Moderat 9 - 16 Tinggi
Tabel 4 Probability Impact Grid
3.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan deskripsi mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan kerjasama Public Private Partnership (PPP) dengan tipe Build Operate Transfer (BOT) dan Build Transfer Operate
(BTO) pada gedung di Surabaya. Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi, maka dijelaskan secara deskriptif berdasarkan survey melalui wawancara dan kuisioner kepada responden. Dari hasil wawancara dan kuisioner, maka akan didapatkan permasalahan-permasalahan yang terjadi selama pelaksanaan kontrak kerjasama.
Sedangkan untuk mendapatkan faktor-faktor dominan yang menentukan keberhasilan kontrak kerjasama PPP, maka dilakukan:
a. Identifikasi variabel-variabel faktor penentu keberhasilan (Critical Success Factors – CSF) kerjasama Public Private Partnership (PPP) dengan tipe Build Operate Transfer (BOT) dan Build Transfer Operate (BTO), dan mengklasifikasikan sesuai dengan tahapannya (tahap build, tahap operate dan tahap transfer)
b. Membuat instrumen penelitian berupa kuisioner dan wawancara tidak terstruktur serta melakukan uji validitas dan reliabilitas. Responden berasal dari pihak pihak investor/ konsorsium masing-masing gedung yang menjadi obyek penelitian (berada di level manajemen). Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.
c. Melakukan wawancara dan menyebarkan kuisioner dengan para responden untuk memvalidasi faktor-faktor yang disusun sebelumnya.
d. Untuk setiap pertanyaan disediakan lima alternatif pendapat sesuai pertimbangan, yaitu: 1. Sangat tidak berpengaruh, apabila faktor ini tidak menjadi penentu keberhasilan. 2. Tidak berpengaruh, apabila faktor ini jarang menjadi penentu keberhasilan 3. Kadang-kadang, apabila faktor ini kadang-kadang menjadi penentu keberhasilan 4. Berpengaruh, apabila faktor ini sering menjadi penentu keberhasilan
5. Sangat berpengaruh, apabila faktor ini selalu menjadi penentu keberhasilan
e. Mengadakan pengolahan data dari hasil penyebaran kuisioner yaitu dengan analisa deskriptif melalui nilai mean significance index dengan formula:
5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
2
3
4
5
1
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
Ri
index
ce
Significan
+
+
+
+
+
+
+
+
=
, dimana:Ri1 : jumlah reponden yang menjawab skor 1 (sangat tidak berpengaruh) Ri2 : jumlah reponden yang menjawab skor 2 (tidak berpengaruh) Ri3 : jumlah reponden yang menjawab skor 3 (cukup berpengaruh) Ri4 : jumlah reponden yang menjawab skor 4 (berpengaruh) Ri5 : jumlah reponden yang menjawab skor 5 (sangat berpengaruh)
f. Mengadakan pengolahan data dari hasil penyebaran kuisioner, dengan pendekatan statistik, yaitu analisa faktor. g. Menganalisa resiko melalui Probability Impact Grid
4. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Variabel
Variabel yang merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan (Critical Success Factor) kerjasama PPP setelah melalui uji validitas dan reliabilitas adalah sebagai berikut:
1.
Fase Build1.1. Aspek Finansial
a. Analisa finansial (Estimasi biaya tepat) (A1)
b. Kemampuan finansial investor untuk menyesuaikan dengan kenaikan inflasi (A2) c. Tidak ada perubahan komitmen awal dari keduabelah pihak (A3)
1.2. Aspek Konsorsium
a. Kepemimpinan dan struktur organisasi yang baik (B1)
b. Mempunyai karakteristik berani mengambil resiko (risk taker) (B2) c. Reputasi instansi / investor (B3)
1.3. Aspek teknis
a. Biaya yang efektif (tidak overrun) selama masa implementasi (C1)
b. Periode konstruksi yang singkat agar masa operate menjadi lebih lama (C2) c. Struktur organisasi proyek yang efektif dalam mengatasi kendala yang terjadi (C3) d. Teknologi yang canggih dan sesuai, menggunakan metode konstruksi yang tepat (C4) e. Berpengalaman dalam pola pembangunan fast track (C5)
1.4. Jaminan Pemerintah
a. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan jaminan politik, ekonomi, legalitas, proyek yang diimplementasikan (D1)
b. Kondisi politik dan ekonomi yang mendukung (D2) 1.5. Pengadaan barang dan jasa yang efektif
a. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan swasta dalam hal otoritas (E1) b. Komitmen yang tinggi dari pihak swasta untuk mengelola proyek (E2)
2.
Fase Operate 2.1. Aspek Finansiala. Kebijaksanaan pemerintah yang dapat diprediksi dan beralasan, tidak berubah dari komitmen awal (F1) b. Kebijakan ekonomi yang mendukung (F2)
c. Pembagian hasil yang seimbang antara pemerintah dan investor (F3)
d. Tarif yang bisa diterima bagi masyarakat yang menikmati proyek tersebut (F4) e. Tetap mempunyai pangsa pasar yang baik (F5)
2.2. Aspek Konsorsium
a. Mempunyai kemampuan kerjasama dengan pihak kedua (G1)
b. Berpengalaman dalam menangani PPP terutama proyek infrastruktur (G2)
c. Konsorsium tangguh dan kuat dalam menangani proyek infrastruktur dengan kerjasama PPP (G3) 2.3. Jaminan Pemerintah
a. Jaminan kontrak, tidak berubah dari komitmen awal, seperti pemutusan kontrak (H1)
b. Menyediakan/membuat klausul kontrak yang jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak (H2)
d. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan jaminan (stabilitas pemerintahan, litigasi) (H4)
3.
Fase Transfer 3.1. Kondisi proyeka. Demand jangka panjang untuk produk yang ditawarkan di proyek tersebut (I1) b. Ketersediaan supplier pada saat operasional jangka panjang (I2)
c. Kompetisi tidak banyak pada usaha sejenis (I3)
d. Profit yang dihasilkan cukup untuk menarik investor (I4) e. Daerah pemasaran yang cukup mendukung (I5)
f. Proyek sesuai untuk privatisasi (I6) g. Resiko yang dapat diprediksi (I7) 3.2. Pembagian Resiko
a. Pembagian resiko yang seimbang dan sesuai (J1)
b. Kesepakatan asuransi, jaminan dari masing-masing pihak (J2) c. Kesepakatan konsesi (J3)
d. Kesepakatan operasional (J4) 4.2. Analisa Faktor
Analisis faktor merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengidentifikasi variabel dasar atau faktor yang menerangkan pola hubungan dalam suatu himpunan variabel penelitian dan reduksi data untuk mengidentifikasi suatu jumlah kecil faktor yang menerangkan beberapa faktor yang mempunyai kemiripan karakter
4.2.1. Nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO)
Nilai KMO pada tahap build, yang terdiri dari 25 variabel bernilai 0,638 (mediocre).. Nilai KMO pada tahap
operate, yang terdiri dari 14 variabel sebesar 0,662 (mediocre). Sedangkan nilai KMO pada tahap transfer, yang terdiri dari 15 variabel sebesar 0,664 (mediocre).
4.2.2. Ekstraksi Jumlah Faktor
Analisis komponen utama (Principle Componet Analysis) digunakan untuk mereduksi dimensi data yang lebih sederhana. Hasil ekstraksi faktor untuk fase build adalah 3 buah dengan jumlah kumulatif keragaman total 60,554%. Pada fase operate, didapatkan 3 komponen utama dengan jumlah kumulatif keragaman 65,403%. Pada fase transfer, didapatkan 3 komponen utama jumlah kumulatif keragaman 68,308%.
4.2.3. Hasil Bentukan Faktor
Tabel 5. Hasil Bentukan Faktor
Fase Faktor Variabel Keragaman Total
Teknis dan finansial A1, A2, B1, C2, C3, C5 dan E2 28,008 %
Komitmen A3, B2, D1 dan D2 19,910 %
Fase Build
Konsorsium B5 12,636 %
Keterlibatan Pemerintah F2, F3, H1, H2, H3 dan H4 38,314 %
Pengelolaan Gedung F6 dan G2 15.573 %
Fase Operate
Konsorsium G4 11.516 %
Resiko Transfer dan Konsorsium
J2, J3, J4, I2, I3, I7 dan J1
32.637 %
Status gedung I6 18.631 %
Fase Transfer
Prospek Marketing I1 dan I5 17.040 %
4.2. Perhitungan Significance Index
Significance index dihitung untuk semua variabel, namun disajikan 10 nilai rata-rata tertinggi untuk variabel critical success factor seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 6. Ranking Variabel dari Pihak Swasta
Ranking Kode Variabel Mean Fase
1 A1 Analisa finansial (Estimasi biaya tepat) 4.67 Build
2 F3 Kebijakan ekonomi yang mendukung 4.60 Operate
3 H4 Keterlibatan pemerintah dalam memberikan jaminan (stabilitas pemerintahan, litigasi)
4.60 Operate
4 B5 Reputasi instansi / investor 4.53 Build
5 D2 Stabilitas politik dan ekonomi yang mendukung 4.53 Build
7 H3 Kondisi politik, ekonomi serta legalitas yang mendukung 4.47 Operate 8 H1 Jaminan kontrak, tidak berubah dari komitmen awal 4.40 Operate 9 H2 Menyediakan/membuat klausul kontrak yang jelas mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak
4.40 Operate
10 F6 Tetap mempunyai pangsa pasar yang baik 4.33 Operate
Sumber: hasil olahan 4.3. Pengukuran Resiko
Dalam pelaksanaan kerjasama, mulai dari fase build hingga fase transfer, akan banyak resiko yang terjadi. Berdasarkan wawancara terhadap investor dan pengukuran resiko, maka resiko-resiko terkait dengan variabel
critical success factor diatas adalah :
Tabel 7. Pengukuran Resiko
No Jenis Resiko Tingkat
Resiko
Kelompok
Resiko Fase
1 Resiko market / pasar yaitu adanya perbedaan pendapatan
riil dengan estimasi pendapatan 12 r. finansial Operate
2 Resiko inflasi pada fase operasional 4.5 r. finansial Operate 3 Resiko makro ekonomi shock pada fase operasional 3 r. finansial Operate 4 Resiko pergantian pemerintahan pada fase konstruksi 3.75 r. politik Build 5 Resiko pergantian pemerintahan pada fase operasional 9 r. politik Operate 6 Resiko organisasi dan koordinasi proyek yang kurang baik 12 r. teknis Build 7 Resiko pembengkakan biaya konstruksi karena adanya
perubahan desain 16
r. finansial
Build
8 Resiko penundaan kontrak 9 r. politik Build
9 Resiko desain defisiensi sehingga mengakibatkan
perubahan desain dan RAB 7.5
r. teknis
Build
10 Resiko keterlambatan konstruksi 9 r. teknis Build
11 Resiko legal (peraturan dan hukum) yaitu adanya
perubahan regulasi 12
r. politik
Operate
12 Resiko instabilitas pemerintahan 16 r. politik Operate
13 Resiko kerusakan pada fasilitas infrastruktur 9 r. teknis Transfer Dari tabel 7 diatas, dapat dilihat bahwa resiko terbesar bagi investor adalah :
1. Resiko pembengkakan biaya konstruksi
Estimasi biaya yang tepat menentukan keberhasilan kerjasama Build Operate Transfer (BOT). Estimasi biaya yang dibuat pada saat studi kelayakan dan selanjutnya digunakan sebagai penawaran/proposal kepada pemerintah, seharusnya dilakukan secara detail dan dibuat oleh orang yang tepat. Sehingga pada saat pelaksanaan tidak terjadi overrun biaya yang sangat besar. Seperti yang terjadi pada studi kasus X, dimana terjadi overrun biaya proyek yang diakibatkan salah estimasi. Responden yang diwawancarai mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena studi kelayakan yang dilaksanakan oleh investornya, tidak dilakukan oleh
engineer yang berpengalaman di bidangnya 2. Resiko instabilitas pemerintahan
Pada masa operate, keterlibatan Pemerintah sebagai regulator di negara ini sangat diperlukan. Faktor ini mempunyai banyak keterkaitan dengan faktor-faktor lainnya, yaitu faktor kebijakan pemerintah yang dapat diprediksi, faktor kebijakan ekonomi yang mendukung, faktor jaminan kontrak yang tidak berubah dari kesepakatan awal, dan faktor kondisi politik, ekonomi dan legalitas yang mendukung.
Menurut responden dari pihak swasta, pada PPP ini konsistensi pemerintah sangat diperlukan, terutama dalam hal penetapan regulasi. Keterlibatan pemerintah dalam menciptakan stabilitas ekonomi politik serta komitmen untuk menciptakan clean and good governance sangat dibutuhkan agar tercipta iklim yang kondusif bagi pihak swasta/investor untuk investasi termasuk dalam hal menggunausahakan aset milik pemerintah.
3. Resiko market/pasar
Risiko ini menjadi risiko yang dianggap penting oleh kedua belah pihak karena risiko inilah yang dianggap paling berpengaruh dalam terjalinnya kelangsungan kerjasama BOT ini, karena gedung merupakan aset komersial, yang diharapkan dapat mendatangkan pendapatan bagi kedua belah pihak
4. Resiko organisasi dan koordinasi proyek yang kurang baik
Koordinasi menyangkut penyelesaian studi proposal dengan program yang lebih detil, membentuk konsorsium bila diperlukan, mengadakan perjanjian dengan financier/ sponsor, sampai dengan menyelesaikan draft
perjanjian kerjasama. Dari kegiatan koordinasi ini diharapkan dapat menumbuhkan komitmen untuk menjaga kerjasama ini
5. Resiko legal
Pembuatan klausul kontrak yang jelas juga merupakan faktor yang berpengaruh pada keberhasilan PPP. Klausul yang jelas, tidak akan menimbulkan persepsi dan konotasi yang berbeda antara dua pihak yang melakukan kerjasama. Klausul yang jelas juga akan membahas hal-hal yang bersifat antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kadangkala pihak-pihak yang bekerjasama mengandalkan addendum jika terjadi hal-hal
diluar Perjanjian Kerja Sama (PKS). Namun hal itu menunjukkan kekurang siapan
masing-masing pihak bekerjasama dalam jangka panjang dan memproyeksi kerjasama
tersebut serta inkonsistensi masing-masing pihak.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan :
1.
Critical success factor dalam Public Private Partnership dengan skema Build Operate Transfer bagi pihak swasta yaitu Analisa finansial (Estimasi biaya tepat); Kebijakan ekonomi yang mendukung ; Keterlibatan pemerintah dalam memberikan jaminan (stabilitas pemerintahan, litigasi) ; Reputasi instansi / investor ; Stabilitas politik dan ekonomi yang mendukung ; Pembagian resiko yang seimbang dan sesuai ; Kondisi politik dan ekonomi serta legalitas yang mendukung ; Jaminan kontrak, tidak berubah dari komitmen awal ; Menyediakan/membuat klausul kontrak yang jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak ; Tetap mempunyai pangsa pasar yang baik2.
5 Resiko dengan frekuensi sering dan dampak yang besar yaitu : Resiko pembengkakan biaya konstruksi ; Resiko instabilitas pemerintahan ; Resiko market/pasar ; Resiko organisasi dan koordinasi proyek yang kurang baik ; Resiko legalDAFTAR PUSTAKA
Jasa Marga, 2003, Jalan Tol Dalam Tahap Konstruksi, www.jasamarga.com
Kurdi, M.Yasin, 2004, Pengembangan Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Bidang Infrastruktur. www.bapekin.com
Levy, Sidney M, 1996, Build Operate Transfer, Paving The Way For Tomorrow’s Infrastructure, John Wiley & Sons, New York
Li, Bing, Akintoye A, Edwards, P.J, and Hardcastle C, 2005, Critical Success Factor in PPP Projects in UK. Journal Construction Management and Economics, 23 (6), 459-471
Morledge, R., and Owen, K, 1997, Developing a Methodological Approach to The Identification of Factors Critical to Success in Privatized Infrastructure Projects in the UK. Proc., CIB W92 and CIB TG 23Joint Symp.: Profitable Partnering in Construction Procurement, 487–498.
Tiong, R.L.K, Yeo,K.T, and Mc Caerthy S.C (1992), Critical Success Factor in winning BOT Contracts, Journal of Construction Engineering and Management, 118(2), 217-228
Wardani, RDK, 2006, Analisis Risiko Dalam Sistem Kerjasama Build Operate Transfer Pada Pembangunan Terminal Terpadu Merak Kota Cilegon, Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana ITS, Surabaya
Zhang, Xueqing, 2005, Critical Success Factors for Public Private Partnership in Infrastructure Development, Journal of Construction Engineering and Management, 131(1), 3-14