• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi | Liando | JURNAL EKSEKUTIF 15100 30307 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etika Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi | Liando | JURNAL EKSEKUTIF 15100 30307 1 SM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Etika Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi

Oleh Daud M. Liando

Abstrak

Sejumlah kebijakan telah dibuat oleh negara dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi. Mulai dari penguatan kelembagaan organisasi, pembenahan kulitas sumber daya aparatur, peningkatan tunjangan, hingga proses rekrutmen. Namun kebijakan-kebijakan tersebut sampai saat ini belum memberikan dampak bagi peningkatan kulitas pelayanan.

Penelitian ini untuk mengevaluasi sekaligus hendak menjawab tiga pertanyaan yaitu pertama mengapa kinerja birokrasi belum dapat memuaskan masyarakat meskipun berbagai kebijakan telah dibenahi dalam rangka pencapaian kinerja yang baik. Kedua faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya korupsi birokrasi. Ketiga hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka memperkuat integritas birokrasi

Untuk memandu pengumpulan data dan analisis, maka penelitian ini menggunakan teori etika dan birokrasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Proses pengumpulan data primer dilakukan melalui forum group discussion yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi, media dan perguruan tinggi. Data skunder diperoleh dari Dokumen Laporan pemerintahan. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi data reduction, data display serta conclusion drawing /verification).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas birokrasi dengan cara pendekatan struktur seperti penguatan kelembagaan, penyediaan regulasi, pengembangan sumber daya manusia seperti kenaikan tunjangan, diklat-diklat dan lain sebagainya ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan kapasitas birokrasi.

Pendekatan kultur merupakan sebuah alternatif dalam rangka pengembangan kapasitas birokrasi. Kultur masyarakat akan berpengaruh pada etika birokrasi. Persoalan terbesar buruknya kinerja birokrasi disebabkan karena buruknya etika individu birokrasi. Jika penguatan etika pegawai yang didasarkan pada kebudayaan lokal, maka diyakini kinerja birokrasi akan semakin optimal dan semakin memuasakan masyarakat yang ia layani.

Kata Kunci : Birokrasi, etika, korupsi, pelayanan publik

(2)

1. Pendahuluan

Buruknya kinerja birokrasi merupakan permasalahan utama yang sedang dialami bangsa Indonesia. Sejumlah literatur dan ulasan-ulasan dalam berbagai makalah dan sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa buruknya kinerja itu lebih disebabkan oleh banyak hal yakni masih terjebaknya birokrasi pada prilaku orde baru yaitu ingin dilayani daripada melayani. Aparatur Daerah belum mampu menyesuaikan kinerja mereka dengan paradigma birokrasi yakni melayani dan mengayomi masyarakat. Kemudian lemahnya inovasi para aparatur dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pegawai bekerja masih harus berdasarkan tuntunan dan perintah atasan, jika tidak, mereka tidak akan bekerja. Agus Dwiyanto, dkk, mengatakan birokrasi masih terkurung dalam budaya kerja yang

bersandar pada mentalitas “minta petunjuk” pimpinan dalam setiap

gerak langkahnya, sehingga banyak pola pengambilan keputusan pelayanan yang dirasa sangat lamban

dan merugikan masyarakat pengguna layanan. 1

Kuranganya inisiatif sangat mempengaruhi kualitas aparatur daerah. Adanya inisitaif sangat penting karena tidak semua permasalahan publik terjangkau oleh kebijakan atau saja jika sewaktu-waktu terjadi permasalahan interpretasi terhadap sebuah kebijakan dan atasan tentu tidak selamanya berada ditempat padahal dalam waktu yang sama pegawai harus segera mengambil keputusan. Tentang perlunya inisiatif menurut Flipo bahwa seseorang agar mencapai kinerja yang tinggi tergantung pada kerja sama, kepribadian, kepandaian yang beraneka ragam, kepemimpinan, keselamatan, pengetahuan perkarjaan, kehadiran, kesetiaan, ketangguhan dan inisiatif. 2

Kemudian budaya setor merupakan kebiasaan buruk yang sering mengganggu kinerja birokrasi.

1

Agus, Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2006

2

Flippo, E.B. 1984. Personnel Management,

(3)

Banyak pejabat yang sama sekali tidak memiliki keahlian dan profesionalisme tetapi tetap dipertahankan dan dipercayakan untuk memegang jabatan strategis. Penyebabnya adalah terjerumusnya pejabat tersebut pada kebiasaan menyetor uang pada atasannya.

Bambang Wicaksono Staf Pengajar Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM mengatakan bahwa selama otonomi daerah berlangsung, belum terlihat adanya perubahan secara sistematis pada birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai tata-pemerintahan yang baik. Birokrasi belum sepenuhnya mengembangkan konsep tentang profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas

nilai-nilai moral dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Banyaknya fenomena korupsi di lingkungan birokrasi pemerintah, memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap lembaga birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat di dalamnya cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan dan logika kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, seperti tidak adanya

publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka dan terperinci kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian pelayanan publik, mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif, serta tidak mengembangkan kriteria kinerja sebagai basis dalam menilai kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan birokrasi.

Tahun 2010 lalu terdapat dua lembaga besar yang mengumumkan hasil penelitian mereka dengan menyebutkan buruknya birokrasi di Indonesia terutama dalam hal kinerja pelayanan publik. Dua lembaga tersebut adalah KPK RI dan Political and Economic Risk Consultancy

(4)

Indonesia selalu menempati peringkat terendah.

Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan dalam

bentuk pelayanan yang

mengedepankan pada visi pelayanan yang berpihak pada customer-driven, secara faktual belum banyak dilakukan perubahan secara cukup mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah. Orientasi pelayanan dari sebagian besar aparatur birokrasi pemerintah masih cenderung diarahkan untuk kepentingan birokrasi atau pejabat birokrasi, bukannya pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, dkk., 2001).

Masih buruknya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia menurut Dwiyanto (2002), menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar oleh banyak pejabat birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih diskriminatif, terjadinya rente birokrasi, suap, pungutan liar, tidak adanya kepastian pelayanan, arogansi kekuasaan, serta masih lemahnya posisi tawar warga masyarakat terhadap pejabat birokrasi,

menunjukkan bahwa mind-set

birokrasi dalam memberikan pelayanan masih belum banyak mengalami perubahan seperti yang diharapkan. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit.

Penelitian ini untuk

mengevaluasi sekaligus hendak menjawab tiga pertanyaan yaitu

pertama mengapa kinerja birokrasi belum dapat memuaskan masyarakat meskipun berbagai kebijakan telah dibeanahi dalam rangka pencapaian kinerja yang baik. Kedua faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya korupsi birokrasi. Ketiga

hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka memperkuat integritas birokrasi

(5)

berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos

dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang

baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama manusia.3

Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia.4. Sedangkan pengertian birokrasi jika dalam praktik dijabarkan sebagai PNS. Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan, birokrasi berkenaan dengan kelembagaan,

3 Abd Haris, Pengantar Etika Islam. (Sidoarjo: Al-Afkar, 2007), 3.

4

Fathoni, Naimah. Konsep Etika Birokrasi Pemerintah.(2009. Jakarta: Medik.) Hlm. 31

aparat dan system serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan.5

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Proses pengumpulan data primer dilakukan melalui forum group discussion yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi, media dan perguruan tinggi. Data skunder diperoleh dari Dokumen Laporan pemerintahan. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi data reduction, data display serta conclusion drawing

/verification).6

2. Faktor Buruknya Kinerja Birokrasi

Seperti disebutkan diatas bahwa buruknya kinerja birokrasi lebih disebabkan oleh faktor manajemen rekrutmen kepegawaian itu sendiri. Selama ini rekrutmen kerap tidak diawali dengan proses

5

Dwidyanto, Agus. (2004) Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : GADJAH

6

Miles, Mathew B., and A. Michael

(6)

perencanaan dan pengawasan. Idealnya rekrutmen itu dilakukan berdasarkan kebutuhan pegawai akibat kekurangan pegawai yang dialami organisasi. Kekurangan pegawai bisa saja terjadi karena ada pegawai yang pensiun, meninggal, berhenti bekerja, penambahan organisasi baru ataupun pencarian tenaga pegawai berdasarkan keahlian khusus akibat ada kebijakan baru. Membludaknya jumlah pegawai diberbagai daerah merupakan suatu

pertanda bahwa manajemen

perencanaan perekrutan tidak dilakukan dengan baik. Permasalahan membludaknya jumlah pegawai inilah sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium penerimaan CPNS sampai waktu yang belum ditentukan.

Banyak peristiwa penangkapan pegawai daerah yang sedang berkeliaran di mall, restoran, warung kopi hingga diberbagai penginapan pada saat jam kantor. Sebagian dari mereka mengakui bahwa mereka mengalami kejenuhan di kantor akibat tidak ada lagi pekerjaan yang hendak dikerjakan. Analisis jabatan dalam organsasi publik sangatlah penting, karena dapat diketahui kebutuhan pegawai dari apek jumlah maupun

kehalian. Menurut Sofyandi7 analisis jabatan (job analysis) merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengetahui mengenai isi dari suatu jabatan (job content) yang meliputi tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan, tanggung jawab, kewenangan, dan kondisi kerja, dan mengenai syarat-syarat kualifikasi yang dibutuhkan (job requirements) seperti pendidikan, keahlian, kemampuan, pengalaman kerja, dan lain-lain, agar seseorang dapat menjalankan tugas-tugas dalam suatu jabatan dengan baik. Rekrutmen tetap dilakukan meski jumlah pegawai masih tersedia dan kerap tidak memperhatikan kebutuhannya. Akhirnya jumlah pegawai membludak dan dipenuhi oleh pegawai-pegawai adminsitrastif. Kemudian promosi yang dilakukan kerap juga tidak didasarkan pada keahlian, pengalaman maupun pendidikan dari seseorang tertentu untuk jabatan tertentu. Penyebabnya hanya karena ada unsur kedekatan emosional antara pejabat yang diangkat dengan pejabat yang mengangkat. Kedua fenomena ini

7Herman Sofyandi, 2008, Manajemen

(7)

kebanyakan ditimbulkan dari efek pemilukada dan korupsi.

Selanjutnya permasalahan manajemen kepegawaian disebabkan oleh ketidaktepatan pegawai antara pendididikan dan keahlian dengan penempatan tugas. Salah satu sebab kurangnya profesionalisme pegawai daerah disebabkan tidak adanya korelasi antara pendidikan yang ia sandang dengan pekerjaan yang ia kerjakan. Profesor Djadja Saefullah (2008:12) mengatakan dalam pengertian umum profesionalisme berisi pemahaman bahwa setiap jabatan dalam lembaga birokrasi harus diisi oleh orang-orang yang

mempunyai pendidikan dan

kemampuan sesuai dengan jabatan yang bersangkutan. Dilihat dari teori manajemen kepegawaian atau sekarang lebih populer dengan teori managemen sumber daya manusia, untuk memperoleh tenaga-tenaga profesional harus dimulai dari sistem pemilihan dan penempatan yang tepat. Ketepatan ini tidak hanya bergantung pada job spesification yang melekat pada orang yang akan dipilih tetapi lebih dahulu pada job deskription yang sudah ditentuan lebih dahulu. Dengan kata lain, bukan mencari tempat yang

sesuai dengan orang yang sudah tersedia, tetapi sebaliknya, mencari orang yang sesuai dengan pekerjaan yang sudah ditentukan. Lembaga birokrasi bisa diisi dengan tenaga-tenaga dari mana saja asal sesuai dengan tugas-tugas yang ada dalam lembaga yang bersangkutan.

Kemudian promosi pegawai pada jabatan-jabatan strategis yang tidak lagi memperhatikan Daftar Urut Kepangkatan, pengalaman kerja, pendidikan dan keahlian serta faktor senioritas. Semuanya hanya didasarkan pada faktor like and dislike

(8)

lingkungan terdekat. terdapat beberapa faktor utama penyebab diskriminasi dalam pelayanan publik.

Lemahnya pengawasan juga menjadi sebab buruknya kinerja birokrasi. Lembaga pengawas kinerja birokrasi didaerah tidak optimal dari segi kelembagaan. Lembaga pengawas dalam hal ini Inspektorat Daerah merupakan bagian dari SKPD. Ada semangat korps yang terbangun antara sesama SKPD yang dengan demikian sangalah sulit untuk melakukan pengawasan.

Kemudian karakter birokrat yang masih terpola pada kebiasaan lama yakni pegawai harus dihormati dan dilayani. Pegawai Negeri Sipil selalu terikat dengan ststus sosial. Sebagian orang menganggap bahwa

menjadi PNS adalah untuk

meningktakan status sosial yang daripadanya harus selalu dihormati oleh orang lain dan kerap merasa terhina jika harus melayani orang lain terutama kalangan orang miskin. Oleh karena status sosial inilah sehingga banyak yang harus merelakan menjual sawah atau kebun hanya karena ingin mendambakan menjadi PNS.

3. Korupsi Birokrasi

Beberapa indikasi yang menyebabkan buruknya kinerja birokrasi diatas, yakni manajemen rekrutmen dan promosi pegawai, lemahnya pengawasan serta karakter pegawai ikut juga memberi kontribusi terhadap peluang-peluang terjadinya korupsi. Rekrutmen pegawai yang dilakukan tanpa analisis jabatan memberi peluang terjadinya suap. Jika analisis dilakukan, kebutuhan pegawai akan sangat terbatas dan pelamarnya akan terbatas pula. Selama ini prilaku dan modus-modus korupsi penerimaan CPNS telah terungkap dan sudah ada yang divonis di pengadilan. Tindakan yang dilakukan pada saat melamar CPNS akhirnya terbawa-bawa sampai menduduki sebuah jabatan tertentu. Uang yang disetorkan pada saat masuk CPNS, menjadi alasan untuk melakukan korupsi dengan maksud agar uang itu harus kembali. Korupsi birokrasi terjadi pula akibat lemahnya pengawasan, baik pengawasan yang dilakukan lembaga external (inspektorat daerah), maupun pengawasan yang dilakukan oleh atasan sendiri. Terkesan telah menjadi

kebiasaan bahwa “silakan lakukan,

(9)

karena kami juga ada yang harus

dipertanggungjawabkan”. Dari segi

pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat selalu berbenturan dengan kelemahan kelembagaan dan SDM.

Korupsi birokrasi terjadi pula karena kebutuhan akan ststus sosial dari pegawai yang bersangkutan. PNS selalu indentik dengan ststus sosial yang tinggi yang ditandai dengan kepemilikan barang-barang yang mahal dan gaya hidup istimewa.

Mereka yang tidak mampu

menyediakannya sering menempuh jalan pintas dengan melakukan korupsi.

Sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan kinerja birokrasi seperti penguatan kelembagaan, penyediaan regulasi-regulasi maupun penguatan kapasitas SDM birokrasi serta penyediaan anggaran. Tetapi keadaan untuk mengubah kinerja birokrasi belum juga optimal. Artinya penguatan struktur birokrasi belum membuahkan hasil yang diharapkan.

4. Penguatan Etika dan Integritas

Jika penguatan kapasitas birokrasi dari aspek struktur belum membuahkan hasil optimal, maka penguatan kapasitas birokrasi dari

aspek kultur menjadi sebuah alternatif. Lele (2010:33) mengatakan persoalan sektor publik bukan semata-mata

disebabkan oleh kurangnya

kapasitasteknis yang dimiliki aparat pemerintah. Persoalan yang sebenrnya justru terletak pada etika parat pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Rendahnya etika aparat pemerintah inilah yang dianggap sebagai biang keladi permasalahan karena bahkan aparat yang kapabel sekalipun justru berkinerja sebaliknya. Salah satu faktor yang membentuk etika adalah kultur dan kebiasaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Levine at al

(1990:191) mengatakan bahwa etika seseorang individu merupakan cerminan etika masyarakatnya.

Filosofi yang telah mengakar di bumi Nyiur Melambai yakni Si Tou Timou Tumou Tou merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat Minahasa bahkan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya. Sondakh, (dalam Philep Regar at al 2011), mengatakan

(10)

bertanggung jawab dan mandiri, manusia dewasa, bertanggung jawab

dan mandiri oleh “pengabdiannya” untuk “membentuk dan melahirkan”

manusia-manusia baru dewasa (melalui proses pendidikan), bertanggung jawab dan mandiri

dikemudian hari, untuk

selanjutnya manusia baru yang telah terbentuk itu melanjutkan lagi tugaspengabdiannya dalam rangka

“memanusiakan” manusia sesamanya.

Si Timou Tumou Tou memiliki pandangan tentang manusia Minahasa ideal dalam tiga kelompok yakni Tou Ngaasan, Tou Ente, Tou Sama.

Aplikasi Tou Ente dalam kaitannya dengan kinerja birokrasi adalah: mendorong birokrat memiliki sifat pekerja keras yakni upaya penuh semangat dan sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai persoalan.

Tidak mundur dan putus asa jika menemui kendala, tetapi tetap semangat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya, mendorong birokrat bertindak kreatif yakni selalu menghasilkan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan gagasan orang lain tentang fenomena yang sedang dihadapi. Gagasan tersebut berupayauntuk memecahkan masalah

yang sedang terjadi. Budaya birokrat yang selalu minta petunjuk harus dihilangkan. Birokrat harus mengendepankan insiatif dan indovasi dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Sikap mandiri adalah sikap yang tidak memiliki ketergantungan dengan orang lain. Birokrat daerah juga dituntut memiliki rasa Tanggung Jawab sosial yang kuat.

Meningkatkan Kinerja

Birokrasi dengan membudayakan Tou

Nga’asan, adalah dalam hal

kecerdasan dan keterampilan. Birokrat selalu didorong oleh tindakan gemar membaca. Orang yang menguasai informasi adalah menguasai dunia. Semakin giat membaca, maka akan semakin menguasi informasi.

Meningkatkan Kinerja

Birokrasi dengan membudayakan Tou

Sama’ adalah mendorong birokrat

(11)

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Kemudian sikap dengan penuh kejujuran. Perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan

5. Penutup

Kebijakan pemerintah

meningkatkan kapasitas birokrasi dengan cara pendekatan struktur seperti penguatan kelembagaan, penyediaan regulasi, pengembangan sumber daya manusia seperti kenaikan tunjangan, diklat-diklat dan lain

sebagainya ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan kapasitas birokrasi.

Pendekatan kultur merupakan sebuah alternatif dalam rangka pengembangan kapasitas birokrasi. Kultur masyarakat akan berpengaruh pada etika birokrasi. Persoalan terbesar buruknya kinerja birokrasi disebabkan karena buruknya etika individu birokrasi. Jika penguatan etika pegawai yang didasarkan pada kebudayaan lokal, maka diyakini kinerja birokrasi akan semakin optimal dan semakin memuasakan masyarakat yang ia layani.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah nomor 0223/Pdt.G/2015/PTA.Sby Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya memiliki beberapa pertimbangan dalam memutus perkara

Untuk mengukuhkan adanya kepedulian yang setara pada industri periklanan, antara keharusan untuk melindungi konsumen atau masyarakat, dengan keharusan untuk dapat

Psikologi fenomenologis atau yang biasa disebut psikologi )murni* merupakan  bagian dari filsafat yang menggunakan metode fenomenologis untuk menjelaskan

[r]

• Jumlah organisme (jenis) pada suatu pulau lebih sedikit daripada benua.. Secara umum, semakin kecil suatu pulau, semakin sedikit

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang

*Suara P (thung) dimunculkan dengan pukulan tangan kanan pada kendang ciblon pada posisi tangan di bagian tengah pada kendang tersebut.. *Untuk simbol L dengan suara lung

Renja Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah tahun 2017 merupakan rencana tahun keempat dalam pelaksanaan RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2013-2018 yang harus memuat