• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN GULA MERA DAN JENIS JAMUR (MYCETEA) PADA PEMBUATAN ABON JAMUR (TINJUAN KADAR PROTEIN, SERAT, DAN ORGANOLEPTIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN GULA MERA DAN JENIS JAMUR (MYCETEA) PADA PEMBUATAN ABON JAMUR (TINJUAN KADAR PROTEIN, SERAT, DAN ORGANOLEPTIK)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

221

221

PERAN GULA MERA DAN JENIS JAMUR (

MYCETEA)

PADA PEMBUATAN ABON JAMUR (TINJUAN KADAR

PROTEIN, SERAT, DAN ORGANOLEPTIK)

Bambang Sigit

(1)

Chabibi Rifan

(2)

ABSTRACT

Mushrooms are one of agricultural commodities that have high economic value. This is due to the delicious flavors, nutrients and properties that have high protein and high levels of dietary fiber that can be used as a healthy food. Mushrooms are a type of vegetable that has high levels of protein and fiber. Oyster mushrooms can be an alternative food for vegetarians who want to enjoy processed food in the form of abon. Abon is a processed product that durable. The purpose of this study was to determine the influence of the type of fungus and sugar concentration in the manufacture of mushroom abon in terms of protein, fiber, and organoleptic levels. This research uses Factorial Random Design (RAL) consisting of 2, each of which consists of 3 levels. Based on the research results obtained various types of mushrooms and the addition of red sugar concentrations are different from the protein content and fiber content diihasilkan which means showing H1. The highest yield value (NH) was 0.96 with 10.06% protein content and 6.16% fiber content. Moderate organoleptic tests including 4.1 (likes), 3.56 (like), and 3.44 (somewhat like) flavors have flavor.

Keywords: mushroom, brown sugar, protein, fiber, and organoleptic

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Jamur adalah salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh rasanya yang lezat, gizi serta khasiat yang dimiliki oleh jamur digunakan untuk bahan penawar racun serta pencegah radang usus (Raharjo, 2002).

Menurut Herti, (2016) meskipun secara ekonomi menguntungkan namun pengembangan komoditi jamu menghadapi kendala yang cukup serius terutama

dalam penanganan pasca panen sehingga sulit untuk di pasokakn ke pengusaha supermarket. Salah satu kendala adalah cepat membusuknya komoditi jamur tersebut karena umur simpan jamur yang berlangsung singkat dan belum adanya kesesuaian standart mutu yang di kehendaki.

Jamur memiliki protein yang tinggi antara 11,5 – 20% dengan lemak yang rendah 1,6 – 8% dan kadar serat pangan yang tinggi baik 4 – 9,5% yang dapat digunakan sebagai bahan makanan sehat. Namun demikian karbohidrat merupakan sebagian besar senyawa penyusun jamur tiram. Protein merupakan

(2)

suatu senyawa yang dibutuhkan dalam tubuh manusia sebagai zat pendukung pertumbuhan dan perkembangan. Dalam protein terdapat sumber energy dan zat pengatur tubuh (Muchtadi, 2010).

Namun beberapa waktu terakhir ini kedelai mengalami kenaikan harga, untuk menyikapi hal tersebut masyarakat membutuhkan alternatif lain. Bila dilihat dari kandungan proteinnya, jamur dapat dijadikan pilihan lain sebagai sumber makanan berprotein yang dibutuhkan oleh tubuh (Parjimo, 2013).

Jamur ini mudah dijumpai dan banyak terdapat di alam bebas seperti hutan atau kebun terutama pada musim penghujan dikonsumsi sebagai bahan makanan, yaitu dapat diolah segar sebagai campuran sup, salad, pepes atau diolah menjadi makanan kering seperti keripik, abon dan lain-lain (Cahyana, 2006).

Abon merupakan produk olahan yang awet. Pembuatan abon relative mudah dan tidak memerlukan modal yang besar dan sudah lama dikenal serta digemari masyarakat semua golongan terutama di Indonesia. Selain dari daging, abon juga bisa dibuat dari bahan nabati misalnya jamur, jantung pisang, keluwih dan lain-lain yang mempunyai tekstur yang berserat-serat, Pembuatan abon dari bahan nabati perlu keterampilan tangan, terutama dalam hal meremah bahan menjadi halus berserat seperti serat pada daging. Secara keseluruhan pembuatannya cukup sederhana sehingga memungkinkan setiap orang dapat melakukannya. Salah satu bahan nabati yang bisa diolah menjadi abon adalah jamur. Abon jamur ternyata tidak kalah dalam hal rasa dengan abon jenis lain. Disamping itu semua jamur merupakan salah satu bahan makanan dengan gizi yang sangat baik dan lengkap (Ade Kusnadi, 2012).

Menurut Astawan (2006), proses pembuatan abon belum dilakukan, karena banyak cara dan bumbu yang ditambahkan sehingga terdapat variasi macam dan jumlah bumbu yang di gunakan, hal ini menyebabkan kualitas abon beranekaragam terutama dalam hal rasa dan warna. Prinsip pembuatan abon adalah perebusan, penyeratan, pencampuran bumbu, gula merah, garam dan penggorengan minyak sampai kering. Upaya pengembangan industry abon tidak begitu sulit karena bahan baku untuk pembuatan abon mudah didapat di setiap daerah.

2. Identifikasi Masalah

Jamur biasanya diolah menjadi aneka makanan lezat. Secara sosial budaya, jamur merupakan

bahan pangan bergizi, berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkon obat modern. Secara ekonomis merupakan komoditas yang tinggi harganya dan dapat meningkatkan pendapatan petani. Adanya diversifikasi produk olahan jamur diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah. Dikarenakan umur jamur yang tidak tahan lama, maka salah satu bentuk diversifikasi yang mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan adalah mengolah jamur tiram sebagai abon jamur.

Pada uji pendahuluan pada (lampiran 1) menunjukan bahwa dalam proses pembuatan abon jamur dengan jenis jamur yang berbeda meliputi jamur tiram, jamur shiintake, dan jamur kancing, proses pembuatan abon jamur dengan penambahan konsentrasi gula yang berbeda yaitu 15%, 20%, dan 25%. Hasil uji pendahuluan menunjukkan abon jamur yang diterima oleh konsumen adalah pada uji rasa terdapat pada jamur tiram dengan penambahan gula 25% menunjukan nilai (4,2) suka. Sedangakan warna pada abon jamur yang paling tinggi terdapat pada jamur shiintake dengan penambahan gula 25% menunjukan nilai 4,6 (sangat suka). Untuk katagori aroma pada abon jamur yang banyak diterima oleh konsumen terdapat pada jamur tiram dengan penambahan gula merah 25% dengan nilai 4,2 (suka). Hal ini menunjukan hasil uji pendahuluan jamur yang diterima oleh konsumen terdapat pada abon dengan penambahan gula merah sebnyak 25%.

3. Maksud dan Tujuan

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis jamur dan konsentrasi gula merah pada pembuatan abon jamur ditinjau dari kadar protein, serat, dan organoleptik

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis jamur dan konsentrasi gula merah yang terbaik pada pembuatan abon jamur ditinjau dari kadar protein, serat, dan organoleptik

METODE PENELITIAN

Penelitian ini di laksanakan dengan Pengujian organoleptik di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Analisa kadar protein dan serat dilaksanakan di Laboratorium Industri Universitas Trunojoyo Madura.

(3)

223

Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Januari 2018.

Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan adalah jamur tiram, jamur shiintake, dan jamur kancing yang dibeli di Pasar. Bahan lain yang digunakan adalah Gula merah, Garam, Santan, Bawang merah, Bawang putih, Ketumbar, Lengkuas, Daun salam, dan Minyak goreng

Alat yang digunakan untuk membuat abon adalah Kompor, wajan, sutil, baskom, timbangan, cobek, anak cobek, sendok, gelas ukur,dan panci.

Alat yang digunakan untuk analisa adalah Cawan, timbangan analitik, alat destruksi, alat destilasi, burect, erlemeyer, pipet tetes, dan pipet ukur. Dan Alat yang digunakan untuk daya terima adalah Cup, sendok, air minum, form uji organoleptik, dan bolpoint.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimental laboratorium dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung terhadap gejala subjek yang diteliti, dalam situasi sebenarnya dan dalam situasi buatan dalam bentuk kegiatan percobaan di laboratorium (Syahri, 2002).

1. Rancangan Penelitian

Ditinjau berdasarkan dari hasil analisanya, penelitian ini adalah penelitian analitik yakni menganalisa kadar protein dan kadar serat serat. Sedangkan, desain bersifat ekperimental. Menurut waktu pengambilan data merupakan jenis penelitian cross sectional (pengambilan data dilakukan pada waktu bersamaan). Rancang penelitian ini menggunakan Rancang Acak Lengkap (RAL) dengan dua factor, factor yang pertama adalah jenis jamur:

J1 = Jenis jamur tiram J2 = Jenis jamur shiintake J3 = Jenis kancing

Factor yang kedua adalah penambahan gula merah pada proses pembuatan abon:

Perlakuan G1 = Penambahan gula dengan 20 % Perlakuan G2 = Penambahan gula dengan 25 % Perlakuan G3 = Penambahan gula dengan 30 % Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam pada jenjang nyata 0,05.

Tabel 3 Desain Pelakuan

Jenis Jamur Penambahan Gula Merah

G1 G2 G3 J1 J1G1 J1G2 J1G3 J1 J1G1 J1G2 J1G3 J1 J1G1 J1G2 J1G3 J2 J2G1 J2G2 J2G3 J2 J2G1 J2G2 J2G3 J2 J2G1 J2G2 J2G3 J3 J3G1 J3G2 J3G3 J3 J3G1 J3G2 J3G3 J3 J3G1 J3G2 J3G3

2. Prosedur Penelitian

3.5 Prosedur Penelitian Haluskan bumbu

1. Bawang merah 7,5 gr 2. Bawang putih 15 gr 3. Ketumbar 10 gr 4. Lengkuas 2 gr 5. Daun salam 1 lembar 6. Sereh 1 batang Tambahkan santan sebanyak 75 ml Penumisan sedikit minyak 8 – 12 ml Perlakuan 1. Penambahan gula 20 % 2. Penambahan gula 25 % 3. Penambahan gula 30 %

1. Uji kadar protein 2. Uji kadar serat

3. Uji Organoleptik (Rasa, warna, dan aroma)

Bahan baku Jamur 1000 gr Jenis jamur

1. Jamur tiraam 2. Jamur shiintake 3. Jamur kancing

Air Bersih pencucian Air kotor

Penyuiran/pemongan dengan pisau

Pemasakan/pencampuran bumbu dengan jamur dengan Proses pemasakan di aduk terus menerus

±20 menit dengan suhu 40 C Peminsahan minyak dengan

menggunakan spiner Abon jamur

Pengemasan dengan menggunkan plastik

Gambar 4. Prosedur Penelitian

Gambar 4 Prosedur Penelitian

3. Pengamatan Penelitian

a. Metode analisa kadar protein

Metode yang digunakan dalam analisa kadar protein adalah metode Mikro Kjeldahl (Paustian, 2001)

b. Metode analisa Kadar Serat (dengan pelarutan asam dan alkali)

c. Analisa Organoleptik (Menggunakan Uji Hedonik yang meliputi warna, aroma dan rasa, menurut Ariesta, 2012). Uji Hedonik ini menggunakan skala tingkat kesukaan yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, 5 = sangat suka.

(4)

Data mengenai daya terima yang diperoleh kemudian dilakukan kruskall wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan daya terima panelis terhadap abon jamur tiram, dihitung dari nilai rata-rata tingkat kesukaan dengan tingkat signifikan α = 0,05, dan dianalisa dengan bantuan komputer menggunakan program SPSS for windows.

4. Analisa Data

Data parametrik yang diperoleh yaitu data uji antioksidan dianalisa berdasarkan statistik parametrik dengan menggunakan Analisis Variansi (ANOVA) dengan menggunakan program SPSS versi 20. Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada tingkat kepercayaan α = 95% (Adinurani, 2016).

Data non parametrik yang meliputi Uji Organoleptik yaitu warna, aroma dan rasa diuji berdasarkan tingkat kesukaan rata – rata panelis. Untuk mengetahui pengaruh tidaknya perlakuan terhadap uji organoleptik dilakukan dengan Kruskal Wallis.

Penentuan perlakuan terbaik dari semua parameter penelitian dilakukan dengan menggunakan Uji Efektifitas (Susanto,2000).

1. Hasil Penelitian

Pengamatan penelitian tentang berbagai macam jamur dengan konsentrasi penambahan gula yang berbeda pada pembuatan abon jamur meliputi uji kadar protein dan uji kadar serat, sedangkan parameter organoleptik meliputi rasa, warna, dan aroma terdapat pada tabel 4. Berdasarkan analisa data sidik ragam terhadap paramerter uji kadar protein dan kadar serat dapat dilihat pada pada lampiran 4 dan lampiran 5.

Tabel 4

Signifikansi uji kadar protein dan uji kadar serat Sifat Kimia Signifikansi Rerata Tertinggi (%) Perlakuan (jenis jamur: penambahan gula merah) Kadar Protein S 10,06 Jamur tiram penambahan gula merah 20 % Kadar Serat S 6,16 Jamur tiram penambahan gula merah 20 %

Keterangan = S:Signifiant, NS: Non Significant

Uji organoleptik dilakukan berdasarkan uji kesukaan terhadap rasa, warna, dan aroma dengan nilai sebagaimana yang tertera pada Tabel 5. Hasil analisa non variable pada uji organoleptik pada rasa, warna, dan aroma abon jamur menunjukan nilai yang tebaik dari masing masing variable dengan uji organoleptik pada lampiran 6, 7, dan 8 Pada uji organoleptik terdapat skala nilai yang digunakan dalam uji organoleptik abon jamur adalah 1= Sangat Tidak Suka, 2 = Tidak Suka, 3 = Agak suka, 4 = Suka, 5 = Sangat Suka

Tabel 5

Uji Organoleptik Abon Jamur Parameter

Penelitian TertinggiNilai

Perlakuan (jenis jamur: penambahan

gula merah)

Kriteria Nilai

Rasa 4.10 Jamur tiram penambahan gula merah 20%

Suka

warna 3.64 Jamur tiram penambahan gula merah 25%

Suka

Aroma 3.44 Jamur tiram penambahan gula merah 20%

Agak suka

Keterangan:

1 = Sangat Tidak Suka, 2 = Tidak Suka, 3 = Agak suka, 4 = Suka, 5 = Sangat Suka

2. Analisa Kadar Kim ia

Penelitian ini me nggunakan analisa uji kadar protein dan uji ka dar serat

1. Kadar Protein

Hasil pengamat an kadar protein pada abon jamur dengan perlakuan jenis jamur dan penambaha n gula merah dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 5. Uji Organoleptik Abon Jamur Parameter

Nilai Tertinggi Perlakuan (jenis jamur : Kriteria

Penelitian penambahan gula merah) Nilai

Rasa 4.10 Jamur tiram penambahan gula merah 20% Suka

warna 3.64 Jamur tiram penambahan gula merah 25% Suka Aroma 3.44 Jamur tiram penambahan gula merah 20% Agak suka Keterangan :1 = Sangat Tidak Suka, 2 = Tidak Suka, 3 = Agak suka, 4 = Suka, 5 = Sangat Suka

4.2 Analisa Kadar Kim ia

Penelitian ini me nggunakan analisa uji kadar protein dan uji ka dar serat

4.2.1 Kadar Protein

Hasil pengamat an kadar protein pada abon jamur dengan perlakuan jenis jamur dan penambaha n gula merah dapat dilihat pada Gambar 5.

PROTEIN

Kad ar Prot en 12 e cde de bcd abc 10 a ab ab ab 8 6 4 2 0 J1G1 J1G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3

Gam bar 5 . Kadar Protein pada abon jamur

Pada Gambar 5 menunj ukkan kadar protein pada abon jamur berkisar antara 7,46 % – 10,06 %. Kadar protein yang tertinggi pada abon jamur yaitu terdapat p ada perlakuan J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar

Gambar 5

(5)

225

Pada Gambar 5 menunj ukkan kadar protein pada abon jamur berkisar antara 7,46 % – 10,06 %. Kadar protein yang tertinggi pada abon jamur yaitu terdapat p ada perlakuan J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar 10,60 %. Kadar protein yang terendah yaitu terdapat pada perlakuan J2G2 (ja mur shiintake dengan penambahan gula merah 25 %) yaitu sebesar 7,47 %.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (lampiran 4) dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p ≤ 0,05) antara pengaruh jenis jamur dengan penambahan gula merah pada pembuatan abon jamur, Sehinnga perlu dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNJ 5 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Perbedaan antara perlakuan ditunjukkan dari oleh notasi, pada notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda pada setiap perlakuan.

Menurut Djarijah (2001), Kadar protein pada abon jamur yang paling tinggi dipengaruhi oleh bahan dasar jamur tersebut. Pada dasarnya jamur tiram sudah memliki protein yang tinggi. Pada jamur tiram kadar protein 13,0 %, jamur shiintake 11,4 %, dan jamur kancing 10,4 %.

Kadar protein pada jamur mengalami penurunan pada saat proses pemasakan, pada proses penambahan gula merah dapat merubah terjadinya reaksi Maillard. Reaksi maillard sangat nyata menurunkan daya cerna protein. Reaksi Maillard yang disebabkan oleh bereaksinya gula pereduksi dan protein dengan menghasilkan produk akhir berupa melanoidin yang tidak dapat kita cerna. Daya cerna akan menurun akibat proses pengolahan seperti pemanasan dan pengeringan. Proses pemanggangan, penggorengan, penggaraman akan menurunkan daya cerna protein (Sudarmadji, 2007).

Perbedaan ini disebabkan teknik pembuatan abon yang berbeda pada penelitian ini pembuatan abon selain ditambahkan santan, abon pun digoreng dengan menggunakan minyak goreng dan terakhir dikeringkan dengan oven. Penambahan bumbu pada produk juga dapat menyebabkan terhambatnya kecernaan seperti pada abon dengan penambahan gula merah dapat memicu terjadinya reaksi Maillard yang dapat menurunkan kecernaan protein abon (Budiyanto, 2002).

Adanya perbedaan kandungan protein disebabkan karena adanya perbedaan jenis jamur yang digunakan, penambahan konsentrasi gula yang digunakan merubah kadar protein yang berbeda.

2. Kadar Serat

Hasil pengamatan kadar serat pada abon jamur dengan perlakua n jenis jamur dan penambahan gula m erah dapat dilihat pada Gambar 6

4.2.2 Kadar Serat

Hasil pengamatan kadar serat pada abon jamur dengan perlakua n jenis jamur dan penambahan gula m erah dapat dilihat pada Gambar 6

SERAT

Kad ar Sera t 8 b ab ab a ab a ab ab ab 6 4 2 0 J1G1 J1G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3

Gambar 6 .Kadar Serat pada abon jamur

Pada Gambar 6 menun jukkan kadar serat pada abon jamur berkisar antara 5,0 % – 6,16 %. Kadar serat yang tertinggi pada abon jamur yaitu terdapat pada perlakuan J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar 6,16 %. Kadar serat yang teren dah yaitu terdapat pada perlakuan J2G1 (jamur shiintake dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar 5,0 %.

Berdasarkan has il analisis sidik ragam (lampiran 5) dapat di ketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p ≤ 0,05) antara pengaruh jenis jamur dengan penambahan gula mera h pada pembuatan abon jamur, Sehinnga perlu dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNJ 5 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Perbedaan antara perlak uan ditunjukkan dari oleh notasi, pada notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda pada setiap perlakuan.

Menurut Djarijah, (2001) Kadar serat pada abon jamur yang paling tinggi dipengaruhi oleh bahan dasar jamur tersebut. Pada jamur tiram kadar serat 6,5 %, jamur shiintake 5,8 %, d an jamur kancing 5,5 %.

Penurunan kadar serat di karenakan terjadinya denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis serat oleh protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu serat akibat perombakan danter perisainya. Serat pangan

Gambar 6

Kadar Serat pada abon jamur

Pada Gambar 6 menun jukkan kadar serat pada abon jamur berkisar antara 5,0 % – 6,16 %. Kadar serat yang tertinggi pada abon jamur yaitu terdapat pada perlakuan J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar 6,16 %. Kadar serat yang teren dah yaitu terdapat pada perlakuan J2G1 (jamur shiintake dengan penambahan gula merah 20 %) yaitu sebesar 5,0 %.

Berdasarkan has il analisis sidik ragam (lampiran 5) dapat di ketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p ≤ 0,05) antara pengaruh jenis jamur dengan penambahan gula mera h pada pembuatan abon jamur, Sehinnga perlu dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNJ 5 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Perbedaan antara perlak uan ditunjukkan dari oleh notasi, pada notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda pada setiap perlakuan.

Menurut Djarijah, (2001) Kadar serat pada abon jamur yang paling tinggi dipengaruhi oleh bahan dasar jamur tersebut. Pada jamur tiram kadar serat 6,5 %, jamur shiintake 5,8 %, d an jamur kancing 5,5 %.

Penurunan kadar serat di karenakan terjadinya denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis serat oleh protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu serat akibat perombakan danter perisainya. Serat pangan yang dihasilkan tinggi diduga karena bahan baku yang digunakan yai tu jamur tiram memiliki kandungan serat yang tinggi (Tornberg, 2004).

(6)

3. Uji Organoleptik

Produk makanan dapat diterima atau tidaknya oleh masyarakat d itentukan dari hasil uji organoleptik (kesukaan) konsumen. Semakin tinggi nilai organoleptik produk makanan ma ka semakin tinggi peluang makanan ters ebut diterima masyarakat. Uji organoleptik abon jamur dengan penambahan perlakuan pendahuluan yang berbeda dilakuk an dengan menggunakan skala hedonik. P arameter nilai penerimaan yang diamati meliputi tingkat kesukaan terhadap rasa, warna, dan aroma yang melibatkan 25 panelis mahasiswa. Skala Hedonik yang digu nakan adalah sebagai berikut:

1.=Sangat Tidak Suka, 2 =Tidak Suka, 3=Agak suka, 4=Suka, 5=Sangat Suka

1. Rasa

Hasil pengamata n organoleptik rasa pada abon jamur dengan p erlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 7

yang dihasilkan tinggi diduga karena bahan baku yang digunakan yai tu jamur tiram memiliki kandungan serat yang tinggi (Tornberg, 2004).

4.3 Uji Organoleptik

Produk makanan dapat diterima atau tidaknya oleh masyarakat d itentukan dari hasil uji organoleptik (kesukaan) konsumen. Semakin tinggi nilai organoleptik produk makanan ma ka semakin tinggi peluang makanan ters ebut diterima masyarakat. Uji organoleptik abon jamur dengan penambahan perlakuan pendahuluan yang berbeda dilakuk an dengan menggunakan skala hedonik. P arameter nilai penerimaan yang diamati meliputi tingkat kesukaan terhadap rasa, warna, dan aroma yang melibatkan 25 panelis mahasiswa. Skala Hedonik yang digu nakan adalah sebagai berikut :

1.=Sangat Tidak Suka, 2 =Tidak Suka, 3=Agak suka, 4=Suka, 5=Sangat Suka

4.3.1 Rasa

Hasil pengamata n organoleptik rasa pada abon jamur dengan p erlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 7

Parameter Rasa

Par am eter Ras a 5 4.1 3.9 3.4 3.4 4 2.7 2.8 2.9 2.6 3 2.4 2 1 0 J1G1 J1 G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3 Jenis Jamur

Ga mbar 7. Organoleptik Rasa pada Abon Jamu r

Hasil uji organoleptik r asa pada abon jamur dapat dilihat pada (Lampiran 6 ). Rerata uji organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar di atas menunjukkan

Gambar 7

Organoleptik Rasa pada Abon Jamur

Hasil uji organoleptik r asa pada abon jamur dapat dilihat pada (Lampiran 6). Rerata uji organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar di atas menunjukkan bahwa rerata rasa abon jamur berkisar 2,4 – 4,1 yang berarti rasa abon jamur dinilai tidak disukai sampai disukai oleh panelis.

Gambar di atas menunjukkan bahwa abon jamur parameter rasa yang sangat disukai oleh panelis (nilai rasa 4,1) adalah J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20%), sedangkan untuk agak suka (nilai rasa 2,4) adalah J3G1 (jamur kancing dengan penambahan gula merah 20%). Ini membuktikan bahwa dengan berbagasi jenis jamur dengan penambahan gula merah yang berbeda memberikan nilai rasa yang berbeda. Jenis jamur yang berbeda pada jamur J1 yaitu pada jamur tiram masih

disukai panelis, dengan perbandingan jenis jamur J2 dan J3 (jamur shiintake dan jamur kancing). Semakin tinggi penambahan gula merah semakin manis dari rasa abon tersebut. Sehingga ciri khas pada rasa abon tersebut hilang dengan cenderung nya rasa manis pada abon. Sebaliknya dengan penambahan gula yang sedikit mempunyai citarasa yang sangat disukai oleh konsumen. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) didapatkan bahwa nilai p = 0.000 < α = 0.05, menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara masing-masing perlakuan

Rasa merupakan atribut sensoris yang sangat menentukan penerimaan panelis maupun konsumen. Rasa juga dapat mempengaruhi nilai ekonomis suatu produk pangan. Keanekaragaman rasa suatu produk pangan dipengaruhi oleh komposisi bahan yang digunakan dalam proses pengolahannya. Rasa asin didapat dari garam, manis dari gula dan senyawa glukosa lainnya, dan lain sabagainya. Kemampuan indera perasa (lidah) dihasilkan oleh puting pencicip yang peka terhadap zat kimia penghasil rangsangan seperti pahit, asam, asin, gurih, dan manis. Pengujian rasa terhadap abon jamur dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya perubahan rasa akibat pada perbagai jenis jamur dengan penambahan konsentrasi gula merah yang berbeda (Pearce, 2008)

Rasa adalah sensasi yang dijumpai dalam lidah seperti: asam, asin, manis, pahit. Pada pengunyahan, serat-serat bahan makanan akan mengeluarkan senyawa-senyawa cita rasa, cairan dan bau ke dalam mulut sehingga menimbulkan rasa suka atau tidak suka pada suatu jenis bahan makanan. Pada saat terjadi proses pengunyahan (mastikasi) ke dalam mulut, serat-serat yang terdapat dalam daging akan mengeluarkan sen yawa-senyawa cita rasa, cairan dan aroma ke dalam mulut sehingga menimbulkan rasa suka atu tidak suka pada suatu jenis b ahan makanan (Fattah, dkk 2003).

Menurut winarno (2002), rasa enak disebabkan adanya asam asam amino pada protein serta lemak yang terkandung didalam makanan. Rasa juga dip engaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan int eraksi dengan komponen rasa lainnya.

2. Warna

Hasil pengamat an organoleptik warna pada abon jamur den gan perlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 8

(7)

227

akan mengeluarkan sen yawa-senyawa cita rasa, cairan dan aroma ke dalam mulut sehingga menimbulkan rasa suka atu tidak suka pada suatu jenis b ahan makanan (Fattah, dkk 2003).

Menurut winarno (2002), rasa enak disebabkan adanya asam asam amino pada protein serta lemak yang terkandung didalam makanan. Rasa juga dip engaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan int eraksi dengan komponen rasa lainnya.

4.3.2 Warna

Hasil pengamat an organoleptik warna pada abon jamur den gan perlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 8

Para met er War na

Parameter Warna

4 3.5 3.7 3.3 3.5 2.9 3.2 2.8 2.8 3 2.7 2 1 0 J1G1 J 1G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3 Jenis Jamur

Gambar 8. Organoleptik Warna pada Abon jamu r

Hasil uji organoleptik p ada warna abon jamur dapat dilihat pada lamp iran 8. Rerata hasil uji organoleptik warna abon jamur dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar di atas menunjukkan bahwa rerata warna abon jamur berkisar 2,7 – 3,7 yang berarti warna abon jamur dinilai agak disukai sampai disukai oleh panelis. Histogra m warna dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar di atas menunjukkan bahwa abon jamur yang disukai oleh panelis adalah pada J1G2 ( jam ur tiram dengan penambahan gula merah 25% ) dengan nilai warna 3,7. Hal ini men unjukkan tingginya nilai warna abon tersebut disukai. Pada

Gambar 8

Organoleptik Warna pada Abon jamu r

Hasil uji organoleptik p ada warna abon jamur dapat dilihat pada lamp iran 8. Rerata hasil uji organoleptik warna abon jamur dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar di atas menunjukkan bahwa rerata warna abon jamur berkisar 2,7 – 3,7 yang berarti warna abon jamur dinilai agak disukai sampai disukai oleh panelis. Histogra m warna dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar di atas menunjukkan bahwa abon jamur yang disukai oleh panelis adalah pada J1G2 (jam ur tiram dengan penambahan gula merah 25%) dengan nilai warna 3,7. Hal ini men unjukkan tingginya nilai warna abon tersebut disukai. Pada warna abon jamur yan g agak di sukai paling rendah adalah pada J2G1 (Jamur shiintake dengan pena mbahan gula merah 20%) hal ini menunjukan bahwa setiap jenis jamur yang diberi penambahan gula merah memberikan warna yang berbeda. Jenis jamur yang di pakai mempengaruhi warna pada abon tersebut. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 9) did apatkan bahwa nilai p = 0.000 < α = 0.05, menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara masing-masing perlakuan.

Menurut alik (2014), warna merupakan salahsatu parameter yang penting dalam menilai tingkat penerimaan konsumen adalah nilai warna. Hal ini disebabkan karena konsumen dalam menil ai suatu produk adalah melihat warna produkny a. Jamur yang kebanyakan berwarna putih setelah melalui banyak proses penggore ngan berubah warna menjadi kecokla tan. Adapun faktor yang menyebabkan warna coklat pada abon yaitu gula merah yang terkandung pada abon dan kandungan ka rbohidrat yang tinggi. Sehingga menyebabkan warna abon coklat karena terjadi nya reaksi millard. Reaksi millard adalah r eaksi pencoklatan non enzimatis yang merupak an reaksi antar protein dengan gula – g ula pereduksi.

3. Aroma

Hasil pengamat an organoleptik aroma pada abon jamur dengan perlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 9

warna abon jamur yan g agak di sukai paling rendah adalah pada J2G1 (Jamur shiintake dengan pena mbahan gula merah 20%) hal ini menunjukan bahwa setiap jenis jamur yang diberi penambahan gula merah memberikan warna yang berbeda. Jenis jamur yang di pakai mempengaruhi warna pada abon tersebut. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 9) did apatkan bahwa nilai p = 0.000 < α = 0.05, menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara masing-masing perlakuan.

Menurut alik (2014), warna merupakan salahsatu parameter yang penting dalam menilai tingkat penerimaan konsumen adalah nilai warna. Hal ini disebabkan karena konsumen dalam menil ai suatu produk adalah melihat warna produkny a. Jamur yang kebanyakan berwarna putih setelah melalui banyak proses penggore ngan berubah warna menjadi kecokla tan. Adapun faktor yang menyebabkan warna coklat pada abon yaitu gula merah yang terkandung pada abon dan kandungan ka rbohidrat yang tinggi. Sehingga menyebabkan warna abon coklat karena terjadi nya reaksi millard. Reaksi millard adalah r eaksi pencoklatan non enzimatis yang merupak an reaksi antar protein dengan gula – g ula pereduksi.

4.3.3 Aroma

Hasil pengamat an organoleptik aroma pada abon jamur dengan perlakuan jenis jamur dan penambahan gula merah dapat dilihat pada Gambar 9

Parameter Aroma

Para met er Aro ma 4 3.4 3.3 2.8 2.8 3 3 2.7 3 2.2 2 2 1 0 J1G1 J1G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3 Jenis Jamur

Gambar 9. Organoleptik Aroma pada abon jamur

Gambar 9

Organoleptik Aroma pada abon jamur

Hasil uji organoleptik pada abon jamur aroma dapat dilihat pada lampiran 10 . Rerata hasil uji organoleptik abon jamur dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar di atas menunjukkan bahwa rerata aroma abon jamur berkisar 2,0 – 3,4 yang berarti aroma dari abon jamur mendapatkan nilai dari panelis dari tidak disukai sampai agak disukai oleh panelis. Histogram aroma dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar di atas menunjukkan bahwa aroma pada abon jamur yang di sukai oleh panelis adalah J1G1 (jamur tiram dengan penambahan gula merah 20%) dengan nilai 3,4. Untuk aroma abon jamur yang tidak di sukai paling tinggi adalah J3G2 (Jamur kancing dengan penambahan gula merah 25 %). Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 11) didapatkan bahwa nilai p = 0.000 < α = 0.05, menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara masing-masing perlakuan

Pada olahan abon jamur aroma merupakan salah satu parameter yang penting. Perlakuan Pendahuluan dan penambahan bumbu pada abon jamur untuk menghilangkan bau langu sehingga aroma yang timbul yaitu khas abon dengan aroma rempah-rempah sehingga bau langu bahkan akan hilang pada saat proses pemasakan

Perlakuan Pendahuluan dan penambahan bumbu pada abon jamur untuk menghilangkan bau langu sehingga aroma yang timbul yaitu khas abon dengan aroma rempah-rempah sehingga bau langu bahkan akan hilang pada saat proses pemasakan (Anonim, 2009).

(8)

Sebaliknya Abon yang tidak diberikan perlakuan menghasilkan nilai aroma lebih rendah, diduga disebabkan karena sifat jamur yang mudah hangus dengan perlakuan pemanasan yang tinggi. Aroma produk berasal dari sejumlah bahan yang ada didalamnya, yang sanggup bersifat menguap ketika dipanaskan. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan abon dapat memberikan aroma yang khas. Bawang merah mempunyai warna yang khas yang ditimbulkan adanya senyawa yang mudah menguap dari jenis sulfur seperti propis sulfur. Ketumbar dapat memberikan aroma yang diinginkan. Kombinasi gula merah dan bumbu menimbulkan bau yang khas pada produk abon (Pornomo, 2002)

4. Uji Efektifitas

Berdasarkan hasil uji efektivitas perlakuan penelitian (Lampiran 12) memberikan nilai hasil sebagaimana yang terlihat pada Tabel 6.

Berdasarkan hasil uji efektivitas perlakuan penelitian (Lampiran 12). hasil uji efektivitas yang dihitung menurut nilai rerata kadar protein dan kadar serat dan nilai mean rank uji organoleptik dari rasa, warna, dan aroma. menunjukkan bahwa perlakuan terbaik dari perlakuan pendahuluan yang dilakukan terhadap J1G1 (abon jamur tiram dengan penambahan gula 20 %) dengan nilai Efektivitas sebesar 0,96. Hal ini dikarenakan hasil dari nilai uji efektivitas pada parameter rasa, warna dan aroma pada perlakuan abon jamur tiram dengan penambahan gula 20 % memperoleh nilai paling tinggi diantara perlakuan yang lainnya.

Tabel 6

Nilai Hasil Parameter Penelitian

Parameter B NB J1G1 J1G2 J1G3 J2G1 J2G2 J2G3 J3G1 J3G2 J3G3 NH NH NH NH NH NH NH NH NH Protein 9 0,23 0,23 0,19 0,20 0,15 0 0,062 0,10 0,06 0,064 Serat 8 0,21 0,21 0,14 0,16 0 0,05 0,018 0,07 0,14 0,127 Rasa 7 0,18 0,18 0,16 0,10 0,10 0,02 0,032 0 0,04 0,054 Warna 7 0,18 0,14 0,18 0,11 0 0,01 0,018 0,14 0,03 0,092 Aroma 7 0,18 0,18 0,17 0,09 0,10 0,02 0 0,10 0,13 0,131 Jumlah 38 1 0,96 0,86 0,67 0,36 0,12 0,131 0,42 0,41 0,469

KESIMPULAN

Hasil penelitian tentang jenis jamur dan penambahan konsentrasi gula merah yang berbeda pada pembuatan abon jamur dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berbagai jenis jamur dan penambahan konsentrasi

gula merah yang berbeda berpengaruh nyata terhadap pada kadar protein dan kadar serat yang diihasilkan yang berarti yang berarti menunjukkan H1.

2. Kadar protein pada abon jamur terdapat pada jenis jamur tiram dengan perlakuan penambahan gula 20% yaitu memperoleh nilai kadar protein 10,10. Pada uji kimia kadar serat pada pembuatan abon jamur terdapat pada jenis jamur tiram dengan perlakuan penambahan gula 20 % yaitu memperoleh nilai kadar serat 6,1

3. Jenis jamur tiram dengan penambahan gula 20 % merupakan perlakuan yang terbaik. Nilai hasil (NH) yang tertinggi yaitu 0,96 dengan analisa

kadar protein 10,06 % dan kadar serat 6,16 %. Sedangkan uji organoleptik yang meliputi rasa 4,1 (suka), warna 3,56 (suka), dan aroma 3,44 (agak suka) mempunyai nilai rasa

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nurdin. 2012. Panduan Lengkap Jamur. Bogor, Penebar Swadaya.

Almatsier. (2007). Penuntun Diet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Ane, ahira, 2010. Bawang putih dan bawang merah primadona

dalam masakan.

http//www.aneahira.blockspot.com (Diakses pada tanggal 07 November 2017).

Anonim, 2009 bumbu abon sapi, http//www.abonsapi.net. (Diakses pada tanggal 07 November 2017).

Ariesta, T.A., 2012. Proses Produksi Pembuatan Sirup Belimbing

Manis, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.

(9)

229

Astawan. 2006. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati. CV Akademia Pressindo: Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional (BSN) 2013. Abon. Nomor 01-3707-2013. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Revisi dari tahun 1995

Cahyana, Muchroji, Bakrun M. 2006. Pembibitan,

Pembudidayaan dan Analisis Usaha dan Budidaya Jamur Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta.

Djarijah, Nunung M dan Abbas Siregar Djarijah. 2001.

Budidaya jamur tiram. Kanisius, Yogyakarta.

Fachruddin, L, (1997), Membuat Aneka Abon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Ginting, Alan Randall, Ninuk Herlina, Setyono Yudo Tyasmoro, 2013. Jurnal

Produksi Tanaman. Studi Pertumbuhan Dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleorotus Ostreatus) Pada Media Tumbuh Gergaji

Kayu Sengon Dan Bagas Tebu.

Hendritomo, H. I. 2010. Jamur Konsumsi Berkhasiat Obat. Andi, Yogyakarta.

Herti Utami, Yuli darni (2016), Produksi Panen Jamur Melimpah, atasi dengan Pengeringan.

Ingram S. 2002. The Real Nutritional Value Of Fungi. http:// www.worldoffungi.org/Mostly_Medical/Stephanie_ Ingram/NUTRITIONAL_V ALUE.

Koswara, S. 2012. Teknologi Pengolahan Jamur (Teori dan Praktek). http://www.eBook Pangan.com.

Mattila P, Suonpaa K, Piironen V. 2000. Functional properties of

edible mushrooms. Nutrition.

Muchtadi, T.R. 2010. Teknologi Pengawetan Jamur Mutiara

(Pleuratus Ostreatus) Laporan Penelitian. Fakultas

Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Parjimo Dan Agus Andoko . 2013. Budidaya Jamur (Jamur

Kuping, Jamur Tiram,Jamur Merang). Jakarta: Agromedia

Paustian T. 2001. Protein Structure. University of Wisconsin M a d i s o n . h t t p : / / l e c t u r e r. u k dw. a c. i d / d h i r a / BacterialStructure/Proteins.html. Diakses pada 16 November 2017

Pearce, Evelin, 2008. Anatomi Dan Psiologi Untuk Parameter. Jakarta,PT Gramedia Pustaka Utama.

Raharjo, Pudji. 2002 panduan budidaya dan pengolahan tanaman

jamur. Penebar swadaya: Jakarta

Soenanto, H. 2000. Jamur Tiram Budidaya dan Peluang Usaha. CV. Aneka Ilmu. Semarang

Sediaoetama, AJ.2004. Ilmu Gizi Jilid II. Jakarata, Dian Rakyat Sudarmadji S,. (2007). Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan

dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Suryani, T 2007. Kajian Komposisi Medium Tumbuh pada

pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas Jamur tiram (Laporan

Penelitian).

Tejasari, 2005. Nilai Gizi Pangan. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. Thaheer, H.

2005. Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara. Jakarta. Tim Redaksi Agromedia Pustaka. 2002. Budidaya jamur

konsumsi. Agromedia Pustaka, Jakarta

Widiyastuti, B. 2009, Budi daya jamur Kompos. Jamur merang, jamur (Champignom), Jakarta: penebar Swadaya Winarno, F.G, 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka

(10)

Gambar

Gambar 4 Prosedur Penelitian
Gambar 6 .Kadar Serat pada abon jamur
Gambar di atas menunjukkan bahwa abon jamur yang disukai oleh panelis  adalah pada J1G2 ( jam ur tiram dengan penambahan gula merah 25% ) dengan nilai  warna 3,7

Referensi

Dokumen terkait

Experiment duration time (given in throughputs) that is re- quired for the determination of a retardation factor that is accurate to within 20%, 10%, and 5% of its actual value when

[r]

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menerapkan standar lulusan dari sekolah yang lebih tinggi dari standar kompetensi lulusan mengembangkan muatan mata pelajaran setara

Pertambahan bobot badan pada ternak yang diberi ransum kulit buah kakao amoniasi sama dengan ternak yang mendapat ransum rumput lapangan disebabkan konsumsi dan kecernaan

Guru Biologi hendaknya melakukan perbaikan dan pengelolaan baik dalam hal interaksi maupun juga evaluasi pembelajaran dari waktu ke waktu sehingga proses pembelajaran akan

In order to identify molecular markers tightly linked to the gene, we used a combination of amplified fragment length polymorphism (AFLP) and bulked segregant analysis

English teaching learning process in SMPN 1 Boyolali lacks of

Her best friend KarinA “KARIN” kesuMa IlhaM for help, sharing, advice, sadness and support to finish writing this research paper.. Her best sister Boz mbaK “wuNdi” for