• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Kesehatan adalah hak asasi manusia, yang secara umum dimaknai sebagai kondisi sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomi. Tanpa kesehatan setiap individu akan menjauh dari kondisi sempurnanya sebagai pribadi maupun makhluk sosial. Kesehatan menjadi sangat penting dan bahkan kesehatan sebagai hak individu telah diakuai secara universal yang tidak terbatas pada kesehatan fisik saja. Sebagai hak asasi manusia, kesehatan bahkan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHCR) menyatakan bahwa:

1) Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya.

2) Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama.

Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health

is one of the fundamental rights of every human being). Sementara dalam konstitusi

Indonesia, seperti yang tertuang dalam pasal 28 H ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Sementara pada ayat (3) dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermanfaat” Tidak berhenti disitu,

(2)

kesehatan sebagai hak asasi juga ditegaskan dalam pasal 9 Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan antara lain: 1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; 2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin; 3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kesehatan sebagai hak individu seperti dalam deklarasi Hak Asasi Manusia, konstitusi WHO dan konstitusi Indonesia inilah yang kemudian melahirkan kewajiban-kewajiban negara untuk memenuhinya secara layak dan berkesinambungan (terus menerus). Salah satu kebijakan negara (baca: pemerintah) terkait hal tersebut yang terus bergulir hingga detik ini adalah mengenai komitmen pemerintah Indonesia untuk terus melakukan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakatnya melalui Jaminan Kesehatan. Jaminan kesehatan sendiri merupakan bagian dari pengembangan sistem jaminan sosial sebagaimana amanat UUD 45 pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” Atas perintah konstitusi inilah maka pada tahap berikutnya, lahir Undang-Undang (UU) nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Salah satu yang diatur dalam UU SJSN adalah mengenai jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan adalah sebuah sistem yang memungkinkan setiap penduduk terbebas dari beban biaya berobat yang mahal. Sehingga dengan jaminan kesehatan mampu berimplikasi positif terhadap pemenuhan hak-hak dasar dan berbagai aktifitas kehidupan lainnya. Namun jaminan atas kesehatan ini tidak serta-merta dapat terpenuhi kepada setiap warga negara. Dalam praktiknya masih banyak persoalan yang dihadapi oleh pemerintah sebagai pemangku wajib penyelenggara jaminan kesehatan, baik pemerintah Pusat maupun Perintah Daerah (Pemda).

Pemerintah Daerah juga turut serta (berkewajiban) dalam meningkatkan pemenuhan jaminan kesehatan terhadap warganya. Khususnya bagi mereka yang tidak mampu, kelompok masyarakat miskin (belum tercover oleh pemerintah pusat) melalui berbagai program seperti Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Peran pemerintah daerah dalam menjamin kesehatan masyarakatnya berpegang pada UU Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh daerah diperkuat dengan dikabulkannya

(3)

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana seluruh masyarakat harus tertanggung oleh jaminan kesehatan (total coverage). Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan sekaligus amanah konstitusi kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah.

Di lain sisi terkait dengan biaya, bahwa secara umum pembiayaan kesehatan di Indonesia masih berkisar 2,5% GDP atau 18 US $ per orang per tahun. Biaya tersebut sebagian besar (70%) berasal dari swasta dan hanya sekitar 30% yang berasal dari pemerintah melalui APBN, APBD-1 dan APBD-2. Biaya yang berasal dari swasta tersebut sebagian besar dikeluarkan langsung dari saku masyarakat (direct payment out of pocket) pada waktu mereka jatuh sakit, hanya sedikit (6% - 19%) yang dikeluarkan melalui mekanisme asuransi atau perusahaan. Jaminan kesehatan yang dilakukan pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan masyarakat atas kesehatan. Bahkan salah satu produknya Asuransi Kesehatan (yang dikenal dangan BPJS Keseahtan) juga masih terbebani dengan persoalan pembiayaan. Bahwa hanya anggota masyarakat yang memiliki kemampuan, keinginan dan kesiapan secara ekonomi yang secara mandiri ikut dalam sistem jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Selebihnya pemerintah masih berdasarkan data kemiskinan dalam menentukan coverage pengamanan kesehatan warganya.

Padahal salah satu satu indikator kesejahteraan masyarakat di suatu daerah misalkan, adalah terselenggaranya penyediaan jaminan kesehatan. Tentu penyelenggaraan yang tidak hanya sekedar ada (eksis), akan tetapi memenuhi standard-standard pelayanan dan memenuhi cakupan jenis-jenis pelayanan sesuai klas kepesertaannya. Bahwa jaminan kesehatan ini sebagai bentuk tanggungjawab negara yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, tetapi juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah harus benar-benar dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Sejak diundangkannya UU SJSN banyak daerah di Indonesia menerapkan program jaminan kesehatan. Penerapan program jaminan kesehatan ini ditujukan untuk mengatasi ketidakmampuan masyarakat (khususnya warga miskin) dalam membayar layanan kesehatan. Awalnya ada beberapa alasan kunci yang kemudian mendorong daerah dalam mengembangkan jaminan kesehatan. Dalam pengantar yang disajikan dalam laporan hasil penelitian terhadap 8 kota/kabupaten dan 2 propinsi yang diterbitkan oleh Perkumpulan Inisiatif tahun 2012 lalu, antara lain:

(4)

2) Euforia desentralisasi dan restrukturisasi kewenangan pusat-daerah (UU no. 32 tahun 2014) telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program jaminan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing;

3) Terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi no. 007/PUU-III/2005 telah memberi jalan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program jaminan kesehatan sebagai sub-sistem jaminan sosial, yang kemudian populer disebut Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda);

4) Pemilihan kepala daerah juga menjadi salah satu pendorong berkembangnya praktik ini dengan mempopulerkan jargon “pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat” sebagai salah satu materi kampanye para calon kepala daerah.

Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Terlepas sebagai bentuk tanggung jawab terhadap warganya, penyelenggaraan jaminan kesehatan sudah menjadi salah satu misi dalam rencana pembangunan Kabupaten Bandung Barat sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013-2018. RPJMD Kabupaten Bandung Barat (2013-2018) memiliki visi “mewujudkan masyarakat yang cerdas, rasional, maju, agamis dan sehat berbasis pada pengembangan dan pemberdayaan potensi wilayah” Dan salah satu misinya adalah “meningkatkan kualitas pelayanan prima dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.”

Dalam rangka mencapai misi (khususnya di sektor kesehatan) tersebut, strategi yang dibangun adalah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, kemandirian hidup sehat, status kesehatan ibu dan anak, status gizi, pengendalian penyakit, jaminan kesehatan, manajemen kesehatan dan pendayagunaan sumber daya kesehatan. Strategi ini didukung dengan 7 (tujuh) arah kebijakan, antara lain:

1) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat; 2) Mendorong peningkatan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; 3) Meningkatkan status kesehatan ibu dan anak serta gizi masyarakat;

4) Meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian penyakit dan masalah kesehatan;

5) Meningkatkan kemitraan jaminan kesehatan dan koordinasi antar pemangku kesehatan;

(5)

6) Memantapkan regulasi sistem manajemen dan informasi kesehatan; dan 7) Mendayagunakan sumber daya kesehatan.

Pembangunan kesehatan di Kabupaten Bandung Barat khususnya terkait arah kebijakan poin (5) di atas tentu harus terus ditingkatkan untuk mencapai perwujudan sesuai dengan visi yang diemban, yakni masyarakat yang sehat berbasis pada pengembangan dan pemberdayaan potensi wilayah. Hal ini membutuhkan keterlibatan aktif dari berbagai pihak dalam rangka mendorong tercapainya tujuan-tujuan pembangunan kesehatan tersebut. Pada tahun 2014 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat sudah membagikan kartu Cermat dan sejak september 2015 sudah diintegrasikan dengan BPJS Kesehatan sebagai upaya peningkatan sarana di bidang kesehatan di Kabupaten Bandung Barat (pikiran-rakyat.com). Hingga tahun 2017 anggota Jamkesda Kabupaten Bandung Barat mencapai 588.046 orang dengan plafon anggaran RP 12 milyar per tahun. Dari besaran plafon anggaran tersebut, realisasi anggaran Jamkesda rata-rata sekitar Rp 300 – 900 per bulan (pikiran-rakyat.com). Namun demikian bukan berarti tanpa persoalan, penyelenggaraan Jamkesda sangat bergantung dengan kemampuan anggaran untuk melaksanakannya. Semakin besar kepesertaan makin besar pula anggaran yang dibutuhkan daerah dalam implemantasi program jaminan kesehatan. Maka kepesertaan Jamkesda harus benar-benar tepat sasaran. Penggunaan data yang salah dapat membebani anggaran Jamkesda. Hal tersebut terbukti ketika dinas kesehatan Kabupaten Bandung Barat melakukan pengecekan ulang terhadap data kepesertaan Jamkesda ditemukan 200 orang peserta (Kadinkes Bandung Barat:2017) yang sebenarnya tidak seharusnya ditanggung oleh pemkab. Selama ini Jamkesda di Kabupaten Bandung Barat menggunakan data dari Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana.

Sampai Oktober 2017 lalu, sebenarnya kepesertaan BPJS Kesehatan di Kabupaten Bandung Barat masih rendah. Dari 1,6 Juta penduduk kepesertaan BPJS Kesehatan baru mencapai 59 persen. Sementara di sisi yang lain, pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan menargetkan Universal Health Coverage (UHC) terwujud pada awal tahun 2019

sebesar 95% atau sekitar 254 juta dari total penduduk Indonesia. Berkaca dengan target UHC tersebut setidaknya pemkab Kabupaten Bandung Barat harus terus meningkatkan capaian kepesertaan BPJS Kesehatan hingga mencapai target yang diinginkan.

Dari uraian tentang Kabupaten Bandung Barat di atas, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian, di antaranya: 1) Bahwa penyelenggaraan Jamkesda sangat bergantung dengan kekuatan platfon anggaran; 2) mengenai penggunaan data kepesertaan,

(6)

sehingga tepat sasaran mana peserta yang seharusnya dicover (peserta PBI) dan mana seharusnya masuk sebagai peserta Non PBI (Non Penerima Bantuan Iuran); 3) Yang tak kalah pentingnya bahwa ada target UHC 2019 yang harus terus dikejar oleh pemerintah

Kabupaten Bandung Barat sehingga kepesertaan dapat memenuhi target;

Bahwa selain ketiga hal tersebut di atas, yang harus menjadi perhatian pemerintah juga adalah yakni 4) bagaimana mendorong masyarakat baik yang sudah tercover JKN-KIS/Jamkesda maupun yang belum masuk dalam kepesertaan jaminan kesehatan dapat mengikuti, memiliki kemampuan dan akhirnya mendaftarkan diri secara mandiri sebagai peserta program jaminan kesehatan (Baca: BPJS Kesehatan). Mendorong masyarakat untuk menjadi bagian dari program misalkan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program pemberdayaan yang mampu mendorong individu memiliki kemampuan untuk membayar layanan (Ability To Pay) dan Willingness to Pay (kesediaan individu untuk membayar layanan).

Untuk mendapatkan suatu kajian komprehensif mengenai konsep jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan masyarakat mandiri di Kabupaten Bandung Barat, maka Bidang Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian Dan Pengembangan Daerah Kabupaten Bandung Barat melaksanakan kegiatan pengadaan jasa konsultasi dan menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) Kajian Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri sebagai bahan dalam penyusunan RPJMD tahun 2019-2024.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

Sebagaimana telah diuraikan dalam Kerangka Acuan Kerja maksud dari dilaksanakannya kajian ini adalah untuk mendapatkan kajian mengenai Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri di Kabupaten Bandung Barat untuk dijadikan dasar dukungan kebijakan pemerintah daerah untuk perbaikan dimasa yang akan datang khususnya masukan bagi RPJMD mendatang dalam bentuk kebijakan/rencana aksi/program pengembangan asuransi kesehatan masyarakat mandiri. Adapun tujuan dilaksanakannya kajian Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri ini adalah sebagai berikut :

 Untuk mendapatkan kajian akademis mengenai Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri di daerah;

(7)

 Untuk mendapatkan rekomendasi-rekomendasi terhadap kemungkinan pelaksanaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri yang dapat dilaksanakan di Kabupaten Bandung Barat;

 Untuk mengetahui kebijakan apa saja yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat dalam rangka mendukung Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri.

1.3 RUANG LINGKUP PEKERJAAN

Dengan mengacu pada arah maksud dan tujuan yang dikemukakan dalam sub-bab sebelum ini, maka ruang lingkup kegiatan Kajian Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri yang diminta adalah sebagai berikut:

1) Melakukan kajian akademis terkait Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri yang dapat dilakukan di Kabupaten Bandung Barat;

2) Melakukan kajian rekomendasi-rekomendasi terhadap Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri yang dapat dilaksanakan di Kabupaten Bandung Barat apabila dimungkinkan;

3) Merumuskan langkah-langkah /kebijakan apa saja yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat dalam rangka mendukung Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri apabila dimungkinkan, khususnya bagi masukan dalam RPJMD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2019-2023.

1.4 PRODUK LAPORAN

Konsultan menyampaikan keluaran dalam bentuk laporan-laporan sebagai berikut: 1. Laporan Pendahuluan (Inception Report)

Laporan Pendahuluan ini meliputi :

a) Uraian konsepsi konsultan dan interpretasinya terhadap pekerjaan yang akan dilaksanakan;

b) Metode kerja dan jadwal kegiatan secara terperinci; c) Kerangka teoritis dan konsep;

d) Alokasi Tenaga Kerja serta struktur organisasi pelaksana pekerjaan. 2. Laporan Antara (Interim Report)

(8)

Laporan antara merupakan hasil dari kegiatan ini yang berisi mengenai hasil pengumpulan data dan analisis sementara konsultan terhadap pekerjaan ini, diantaranya mengenai:

a) Identifikasi kondisi umum Kabupaten Bandung Barat, kondisi eksisting pembangunan sektor kesehatan dan praktik pengelolaan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda);

b) Analisa awal mengenai potensi ekonomi wilayah Kabupaten Bandung Barat yang berpotensi untuk dikembangkan dalam mendorong asuransi kesehatan masyarakat mandiri

3. Laporan Akhir (Final Report)

Laporan Akhir merupakan hasil akhir dari kegiatan ini dan penyempurnaan dari laporan sebelumnya. Laporan ini berisi diantaranya :

a) Identifikasi dan analisa praktik pengelolaan jaminan kesehatan;

 Kebijakan dan peraturan daerah sektor kesehatan;

 Model penerapan jaminan kesehatan;

 Pembiayaan;

 Manfaat dan kepesertaan

b) Identifikasi dan analisa potensi ekonomi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat yang mendirong pelaksanaan program asuransi kesehatan masyarakat mandiri.

c) Rekomendasi kebijakan apa saja yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat dalam rangka mendukung asuransi kesehatan masyarakat mandiri dalam periode pembangunan di masa yang akan datang.

1.5 LANDASAN HUKUM

Kajian Asuransi Kesehatan Masyarakat Mandiri ini, dilaksanakan dengan dasar hukum sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(9)

4. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat.

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007-2025.

9. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013-2018.

10. Peraturan Bupati Kabupaten Bandung Barat Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Kartu Cermat

1.6 SISTEMATIKA LAPORAN

Sistematika laporan pendahuluan kajian ini disusun dengan urutan pembahasan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Menjelaskan latar belakang dilaksanakannya kegiatan, maksud dan tujuan, ruang lingkup kegiatan, landasan hukum kegiatan dan sistematika laporan.

BAB II Tinjauan Umum

Menjelaskan gambaran umum wilayah kabupaten Bandung Barat, letak geografis, keadaan iklim dan keadaan fisik, sumber daya air, penduduk, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, pertanian dan peternakan, PDRB, PDRB per kapita, industri dan energi, keuangan, perdagangan serta perhubungan, transportasi dan wisata. Pada bagain ini juga diuraikan mengenai pembangunan sektor kesehatan dan praktik

(10)

Jamkesda serta uraian mengenai potensi ekonomi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di lokasi kajian.

BAB III Tinjauan Teoritis

Berisi tentang tinjauan teori dan konsep yang digunakan dalam kajian, antara lain teori jaminan sosial dalam negara kesejahteraan, konsep jaminan sosial nasional di indonesia; SJSN, BPJS Kesehatan, hubungan BPJS Kesehatan dengan Pemerintah Daerah dan uraai mengenai Jamkesda. Selain itu pada bagian ini juga menguraikan teori ekonomi kesehatan sebagai wellfare economic dan terakhir menguraikan teori dan konsep pemberdayaan masyarakat.

BAB IV Metodelogi Kajian

Bagian ini menguraikan mengenai metode yang yang digunakan dalam kajian, diantaranya: Metode pengumpulan data, metode yang digunakan dalam melakukan analisis data; dan lokasi kajian.

BAB V Paraktik Jaminan Kesehatan di Kabupaten Bandung Barat

Bagian ini menguraikan mengenai praktik Jaminan Kesehatan Daerah yang dilaksanakan di Kabupaten Bandung Barat, seperti regulasi atau aturan hukum yang digunakan, anggaran dan manfaat Jamkesda, pelayanan kesehatan yang ditanggung jamkesda serta klaim dan pembayaran premi.

BAB VI Pemberdayaan Masyarakat Yang Mendukung Program Asuransi Masyarakat Mandiri

Mengenai skema pemberdayaan masyakat yang dapat mendukung program asuransi masyarakat mandiri, sebagai bahan untuk menyusun kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah ke depan.

BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi

Referensi

Dokumen terkait

Koefisien regresi variabel iklim komunikasi (β3= 0,390) memberikan makna bahwa pada kondisi ceteris paribus , jika skor rata-rata luas lahan meningkat sebesar

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh I Gusti dan Ni Ketut (2015), Al-Khatib dan Al-Horani (2012) yang menunjukkan hasil ukuran

Berdasarkan hasil identifikasi bakteri pada benih sidat yang dibudidayakan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu, kemudian telah disesuaikan dengan buku identifikasi

Pada hal, Pasal 4 ayat 2 secara tegas bahwa pelaku usaha patut atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa jika dua

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Syukur alhamdulillah Saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas hidayah dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “ Gambaran Asupan Kalsium