• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perairan Waduk Djuanda

Kondisi perairan Waduk Djuanda pada awal penelitian (Desember 2009) berada pada tinggi muka air rata-rata 99,17 mdpl. Tinggi muka air tersebut relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tinggi muka air pada tahun sebelumnya yang hanya mencapai 80,01 mdpl pada tahun 2006 dan 96 mdpl pada tahun 2007 (Gambar 3). Kenaikan rata-rata tinggi muka air tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya curah hujan yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Secara keseluruhan kondisi air pada saat penelitian Desember-Februari 2010 merupakan kondisi air tinggi. Hasil pengukuran kondisi lingkungan di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

70 75 80 85 90 95 100 105 110 Ja n F eb M ar A pr M ei Ju n Ju l A gs t S ep t O kt N ov D es T in g g i m u k a a ir ( m d p l) Th.2009 Th.2008 Th.2007 Th.2006

Gambar 3 Tinggi muka air rata-rata Waduk Djuanda tahun 2006-2009 (PJT II 2009).

Pengamatan kondisi kualitas perairan Waduk Djuanda dilakukan terhadap beberapa parameter físika (suhu, kedalaman, kecerahan, dan turbiditas), kimia (pH, DO, TN, TP dan NH4), dan biologi (komposisi dan kelimpahan plankton,

serta kandungan klorofil-a). Hasil pengukuran parameter físika, kimia, dan biologi perairan disajikan pada Tabel 2.

(2)

Tabel 2 Nilai rata-rata kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda periode Desember 2009-Februari 2010.

Parameter Stasiun Penelitian

Perairan ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Parameter Fisika 1. Suhu (oC ) 29,7 ± 1,2 29,7 ± 0,9 29,3 ± 0,8 30,3 ±1,1 2. Konduktivitas (mS/cm) 0,28 ± 0,02 0,26 ± 0,006 0,26 ± 0,01 0,25 ± 0,001 3. Turbiditas (NTU) 10,3 ± 7,8 3,53 ± 0,68 3,71 ± 2,58 6,00 ± 1,67 4. Kecerahan (cm) 67 ± 11 94 ± 17 101 ± 7 59 ± 9 5. Kedalaman (m) 3,3 ± 1,1 5 ± 2,5 6,6 ± 3,5 2,4 ± 0,5 Parameter Kimia 1. pH 7,49 ± 0,62 7,34 ± 0,52 7,63 ± 0,53 7,72 ± 0,43 2. DO (mg/L) 7,39 ± 2,42 6,62 ± 1,24 6,11 ± 2,56 7,23 ± 1,69 3. NH4 (mg/L) 0,871 ± 0,548 0,240 ± 0,179 0,202 ± 0,276 0,170 ± 0,072 4. TN (mg/L) 1,780 ± 0,767 0,704 ± 0,373 1,243 ± 1,384 0,629 ± 0,186 5. TP (mg/L) 0,085 ± 0,043 0,070 ± 0,056 0,091 ± 0,059 0,056 ± 0,038 Parameter Biologi

1. Kelimpahan fito. (sel/L) 564.952±458.112 856.361±818.094 392.851±326.012 344.294±210.769 2. Kelimpahan zoo. (ind./L) 54.121±47.046 17.733±16,728 16.812±14.564 31.091±23.979 3. Klorofil-a (mg/m3) 43,68±17.06 28,89±13,46 19,98±8,91 29,81±9,11

Berdasarkan Tabel 2 suhu perairan di Waduk Djuanda tidak menunjukkan adanya variasi yang besar antarlokasi penelitian (Anova: P>0,05). Suhu berkisar antara 27,8-31,1 oC. Suhu perairan relatif lebih tinggi pada Stasiun 4 yang disebabkan oleh waktu pengukuran selama penelitian dilakukan pada siang hari, yaitu berkisar antara pukul 12.00-14.00 WIB. Suhu perairan dengan fluktuasi yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan suhu sebesar 29,7±1,2 oC. Fluktuasi yang terjadi juga disebabkan oleh perubahan waktu pengukuran yang tidak tetap mengikuti waktu pelaksanaan penelitian. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, kisaran suhu perairan hasil pengukuran selama penelitian relatif tidak berbeda. Nastiti et al. (2001) melaporkan bahwa kisaran suhu permukaan hasil penelitiannya sebesar 27-31 oC. Nurnaningsih (2004) melapor-kan kisaran suhu pada Bulan Mei-Oktober 2003 pada empat lokasi di perairan Waduk Djuanda berkisar antara 28,80-29,47 oC.

(3)

Konduktivitas merupakan ukuran terhadap kandungan ion-ion yang berada di suatu badan air. Hasil pengukuran nilai konduktivitas rata-rata di Waduk Djuanda selama penelitian berkisar antara 0,245-0,310 mS/cm. Berdasarkan grafik perkembangan hasil pengukuran konduktivitas selama penelitian tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti (Gambar 4). Peningkatan terjadi di Stasiun 1 pada Bulan Januari, peningkatan konduktivitas diduga disebabkan oleh tingginya intensitas hujan pada Bulan Januari. Masuknya partikel dan mineral yang terbawa air hujan menuju ke perairan waduk dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kanduangan ion-ion tertentu, sehingga nilai konduktivitas tinggi.

Kecerahan dan turbiditas hasil pengukuran di Waduk Djuanda menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian. Nilai kecerahan yang rendah diikuti oleh tingginya tingkat turbiditas perairan. Kecerahan terendah dan turbiditas yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan Stasiun 4, masing-masing untuk kecerahan sebesar 67±11 cm dan 59±9 cm, sedangkan untuk nilai turbiditas masing-masing sebesar 10,3±7,8 NTU dan 6,00±1,67 NTU. Nilai kecerahan masih relatif sama dengan hasil penelitian pada tahun 2004 dengan nilai kisaran kecerahan 57-112 cm (Nurnaningsih 2004). Nilai turbiditas hasil penelitian sebelumnya mencapai 20-190 NTU (Nastiti et al. 2001).

Stasiun 1 dan Stasiun 4 merupakan lokasi yang mendapat pengaruh langsung dari aliran air yang masuk ke Waduk Djuanda. Stasiun 1 di daerah Bojong merupakan daerah yang pertama mendapat pengaruh masuknya air yang berasal dari aliran air yang keluar dari Waduk Cirata. Stasiun 4 di Daerah Cilalawi merupakan daerah budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dan merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari aliran air yang masuk ke perairan waduk melalui Sungai Cilalawi yang terletak di bagian ujung dari lokasi penelitian tersebut. Aliran air akan membawa partikel ke perairan, sedangkan kegiatan budidaya ikan KJA akan mempengaruhi kualitas perairan dari berbagai aktivitas yang terjadi seperti dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan yang dipelihara atau dari berbagai aktivitas para pelaku usaha tersebut.

(4)

Gambar 4 Perkembangan parameter físika perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010.

Kedalaman perairan yang diukur merupakan kedalaman saat dilakukannya penangkapan ikan selama penelitian. Kedalaman daerah penelitian berkisar antara 2-13 m. Kedalaman tersebut merupakan wilayah yang meliputi zona litoral dan zona limnetik Waduk Djuanda. Kedalaman erat kaitannya dengan sifat biologi ikan bandeng yang mencari makan di zona litoral dan zona limnetik untuk

Konduktivitas (mS/cm) 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Suhu (oC) 25 27 29 31 33 35

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Turbid (NTU) 0 5 10 15 20 25 30

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Kecerahan (cm) 25 50 75 100 125 150

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N ila i Kedalaman (m) 0 3 6 9 12 15

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

ila

i

(5)

memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Menurut Kartamihardja (2007), zona litoral waduk meliputi daerah pinggir waduk yang dangkal dimana intensitas cahaya matahari dapat menembus sampai dasar perairan dengan luas 14-37% dari total luas perairan. Zona limnetik perairan waduk memiliki tingkat kecerahan antara 100-150 cm dengan demikian penetrasi cahaya masih efektif sampai kedalaman 2,5-5 m. Luas zona limnetik ini mencapai 63-86% dari luas total perairan.

Nilai pH perairan Waduk Djuanda secara general tidak mengalami fluktuasi, baik berdasarkan stasiun penelitian maupun waktu pengukuran. Kisaran nilai pH berada pada nilai 6,46-8,54. Penurunan pH terjadi pada pengukuran ke-3 pada 14 Januari 2010 (Gambar 5). Berdasarkan pemantauan di lapangan Waduk Djuanda sedang mengalami peristiwa umbalan, yaitu naiknya massa air lapisan bawah yang banyak mengandung bahan organik ke permukaan perairan. Degradasi organik yang terjadi dapat menyebabkan penurunan pH dan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan. Peristiwa umbalan hampir terjadi setiap tahun dan biasanya dimulai pada awal musim penghujan dimana suhu permukaan saat itu lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu lapisan air di bawahnya. Bila dilihat dari hasil pengukuran suhu juga nampak jelas pada saat itu terjadi penurunan suhu di perairan waduk dan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan.

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter utama yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota air termasuk ikan. Konsentrasi DO hasil pengukuran berbeda-beda pada setiap stasiun penelitian dan waktu pengukuran. Nilai rata-rata DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 4 masing-masing sebesar 7,39±2,42 mg/L dan 7,23±1,69 mg/L, sedangkan terendah dijumpai pada Stasiun 3 yaitu sebesar 6,11±2,56 mg/L. Fluktuasi hasil pengukuran DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 3. Stasiun 1 merupakan daerah yang pertama kali mendapat pengaruh masuknya air dari outlet Waduk Cirata. Air yang keluar dari waduk ini memiliki kualitas yang rendah. Waduk Cirata mendapat beban masukan organik yang cukup besar dari kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA), yaitu mencapai 47.628 ton/tahun (Nastiti et al. 2001). Stasiun 3 merupakan zona genangan utama yang berada dekat dengan DAM atau

(6)

pengeluaran Waduk Djuanda, diduga akumulasi organik dan senyawa lainnya terjadi di daerah ini. Menurut informasi penduduk setempat peristiwa umbalan umumnya terjadi pertama kali pada wilayah tersebut. Saat terjadi umbalan pada pertengahan Januari 2010 kandungan DO pada Stasiun 1 dan 3 adalah sangat rendah yaitu masing-masing 3,16 mg/L dan 0,65 mg/L.

Gambar 5 Perkembangan parameter kimia perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010.

pH 0 2 4 6 8 10

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

Ni la i DO (mg/L) 0 2 4 6 8 10

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Klorofil-a (mg/m3) 0 20 40 60 80

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 NH4 (mg/L) 0,0 0,4 0,8 1,2 1,6 2,0

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i TP (mg/L) 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i TN (mg/L) 0 1 2 3 4 5

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a

(7)

Hasil pengukuran NH4 (amonium) pada setiap stasiun penelitian bervariasi

berkisar antara 0,019-1,724 mg/L. Nilai rata-rata NH4 tertinggi dijumpai pada

Stasiun 1 dan terendah pada Stasiun 4. Nilai NH4 tertinggi terjadi saat terjadinya

umbalan pada pertengahan Januari 2010. Hasil pengukuran tertinggi terjadi pada

Stasiun 1 dan Stasiun 3 yaitu masing-masing sebesar 1,724 mg/L dan 0,816 mg/L. Tingginya nilai NH4 yang terjadi pada lokasi ini diduga akibat lepasnya

senyawa-senyawa organik dari dasar perairan akibat proses dekomposisi organik yang naik ke atas permukaan akibat terjadinya umbalan.

Menurut Krismono dan Krismono (2003) penurunan kualitas air akibat terjadinya umbalan ditandai dengan air yang jernih berubah menjadi hijau tua kemudian menjadi kecoklat-coklatan dan hitam disertai bau busuk. Amonium bersifat toksik bagi hewan air khususnya ikan, walaupun daya racunnya lebih rendah dari amoniak (NH3), namun untuk nilai tertentu dapat menyebabkan

kematian dan daya racunnya semakin tinggi dengan meningkatnya pH air dan suhu (Swann 1997).

Kandungan nutrien perairan waduk berdasarkan konsentrasi total nitrogen (TN) dan total fosfor (TP) bervariasi berkisar antara 0,143-4,25 mg/L dan 0,013-0,19 mg/L. Konsentrasi rata-rata TN tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 (1,780±0,767 mg/L) dan terendah di Stasiun 4 (0,629±0,186 mg/L). Konsentrasi rata-rata TP tertinggi dijumpai pada Stasiun 3 (0,091±0,059 mg/L) dan terendah di Stasiun 4 (0,056±0,038 mg/L). Tingginya nilai rata-rata TN pada Stasiun 1 terkait erat dengan masukan beban unsur nitrogen (N) yang diterima dari aliran air yang keluar dari outlet Waduk Cirata. Tingginya nilai rata-rata TP pada Stasiun 3 disebabkan oleh lepasnya unsur fosfor (P) dari fitoplankton yang mati dan mengalami proses dekomposisi. Menurut Wetzel (2001) senyawaan unsur P di dalam perairan sebagian besar dalam bentuk partikel yang terikat pada plankton dan seston, dan senyawa tersebut dapat lepas kembali ke kolom perairan akibat proses dekomposisi pada kondisi anerobik.

Unsur N dan P secara umum merupakan unsur hara yang sangat esensial bagi fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton diperairan dan dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan. Berdasarkan kandungan TN dan TP maka Waduk Djuanda

(8)

sudah tergolong dalam perairan yang eutrofik. Menurut Ryding dan Rast (1989) perairan eutrofik dicirikan dengan kandungan total nitrogen berkisar antara 0,393-6,1 mg/L dan kandungan total fosfor berkisar antara 0,016-0,386 mg/L.

Kandungan klorofil-a di perairan Waduk Djuanda berkisar antara 7,09-78,52 mg/m3. Nilai rata-rata kandungan klorofil-a tertinggi terdapat di Stasiun 1 (43,68±17,06 mg/m3) dan terendah pada Stasiun 3 (19,98±8,91 mg/m3). Kandungan klorofil-a terkait dengan kelimpahan fitoplankton yang ada diperairan waduk. Tingginya klorofil-a diperairan merupakan respon dari kesuburan perairan waduk yang mengalami eutrofikasi. Hasil pengukuran klorofil-a selama penelitian relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Mei-Desember 1998 yaitu berkisar antara 12,05±2,6-24,20±8,24 mg/m3 (Kartamihardja & Krismono 2003).

Hasil analisis komponen utama (PCA: Principal Components Analysis) terhadap variabel lingkungan memperlihatkan bahwa semua variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utama masing masing 6,59 dan 4,33. Kontribusi yang diberikan terhadap pembentukan sumbu utama sebesar 50,68% dan 33,33% dengan kontribusi ragam total sebesar 84,01%. Hasil analisis PCA dapat menjelaskan hubungan yang terjadi terhadap seluruh variabel penelitian pada sumbu utama dengan tingkat kepercayaan sebesar 84,01% (Gambar 6).

Representasi antara sumbu utama memperlihatkan adanya korelasi yang cukup tinggi antara beberapa parameter lingkungan dengan populasi ikan bandeng. Beberapa parameter lingkungan yang memiliki korelasi tinggi dengan populasi ikan dijelaskan dengan matrik korelasi (Lampiran 2) adalah DO (0,93), suhu (0,66), turbiditas (0,83), kecerahan (-0,98) klorofil-a (0,74) dan zooplankton (0,84). Parameter lainnya yang memiliki korelasi namun tidak terlalu nyata adalah NH4 (0,52). Berdasarkan jarak Euclidean dalam analisis kelompok

(Cluster Analysis) terhadap variabel penciri dari masing-masing stasiun penelitian memperlihatkan hubungan kedekatan atara Stasiun 1 dengan Stasiun 4 dan Stasiun 2 dengan Stasiun 3 (Gambar 7).

(9)

PCA case scores A xi s 2 Axis 1 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 -0.4 -0.7 -1.1 -1.5 -1.8 0.4 0.7 1.1 1.5 1.8 -0.4 -0.7 -1.1 -1.5 -1.8 0.4 0.7 1.1 1.5 1.8 pH DO Suhu Cond. Turb. SD Klorofil NH4 TP TN Ikan bandeng Zoo Fito

Gambar 6 Grafik analisis komponen utama antara varibel lingkungan ikan bandeng dan sebaran lokasi penelitian di Waduk Djuanda.

UPGMA

Euclidean - Data log(10) transformed

ST.1

ST.4

ST.2

ST.3

1,2

1

0,8

0,6

0,4

0,2

0

Gambar 7 Hasil analisis kluster yang memperlihatkan kedekatan antara stasiun penelitian berdasarkan variabel lingkungan, populasi ikan, dan kelimpahan plankton di Waduk Djuanda.

(10)

Kelimpahan Plankton

Plankton yang didapat selama penelitian ada 37 jenis yang terdiri dari 27 jenis fitoplankton dan 10 jenis zooplankton. Fitoplankton yang ditemukan terdiri dari 5 kelas, yaitu Chlorophyceae (8 jenis), Cyanophyceae (8 jenis), Bacillariophyceae (7 jenis), Dinophyceae (3 jenis), dan Euglenophyceae (1 jenis). Zooplanton yang didapatkan terdiri dari 3 kelas, yaitu Cladocera (3 jenis), Rotatoria (5 jenis), dan Copepoda (2 jenis). Kelimpahan plankton per jenis pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

Jenis fitoplankton yang ditemukan di setiap stasiun penelitian adalah

Chlorella sp. dan Ulothrix sp. (Chlorophyceae), Anabaena sp., Lyngbya sp., Merismopedia sp., Microcystis sp., Oscillatoria sp., Aphanocapsa sp., dan Oocystis sp. (Cyanopyceae), Gyrosigma sp., Melosira sp., Navicula sp., Nitzschia

sp., Synedra sp. dan Fragillaria sp. (Bacillariophyceae), Ceratium sp., Peridinium sp. dan Glenodinium sp. (Dinophyceae), serta Euglena sp. (Euglenophyceae). Jenis zooplankton yang ditemukan di setiap stasiun penelitian adalah Brachionus sp. (Rotatoria), Bosmina sp. (Cladocera), Cyclops sp., dan Nauplius sp. (Copepoda).

Kelimpahan fitoplankton berfluktuatif pada setiap lokasi penelitian dengan kelimpahan rata-rata berkisar antara 85.120-2.689.276 sel/L. Kelimpahan total rata-rata fitoplankton tertinggi dijumpai pada Stasiun 2 sebesar 856.361 sel/L dan terendah di Stasiun 4 sebesar 344.294 sel/L. Fluktuasi kelimpahan fitoplankton memiliki korelasi dengan kandungan klorofil-a di perairan. Meningkatnya kelimpahan fitopankton akan diikuti dengan meningkatnya kandungan klorofil-a dalam perairan. Rata-rata kandungan klorofil-a hasil pengukuran berkisar antara 19,98±8,91-43,68±17,06 mg/m3.

Kelimpahan zooplankton juga berfluktuasi, dengan kelimpahan berkisar antara 3.224-116.073 ind./L. Kelimpahan rata-rata tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 sebesar 54.121 ind./L dan terendah pada Stasiun 3 sebesar 16.812 ind/L. Perkembangan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun penelitian disajikan pada Gambar 8.

(11)

Gambar 8 Kelimpahan fitoplankton (sel/L) dan zooplankton (ind./L) di perairan Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Kelompok fitoplankton yang mendominasi di Waduk Djuanda adalah Cyanophyceae (47,17%) sedangkan untuk zooplankton kelompok yang mendominasi adalah Rotatoria (52,12%). Presentase komposisi kelompok fitoplankton dan zooplankton di Waduk Djuanda disajikan pada Gambar 9. Fitoplankton dari kelas Cyanophyceae mendominasi pada Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4, sedangkan Chlorophyceae mendominasi pada Stasiun 2. Menurut Kartamihardja dan Krismono (2003); Umar et al. (2004) dan Kartamihardja (2007), kelompok fitoplakton penyusun utama di Waduk Djuanda terdiri dari Cyanophycae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae. Cynaophyceae mendomi-nasi akibat tingginya konsentrasi unsur hara di perairan waduk. Stasiun 1 dan Stasiun 3 memiliki kandungan rata-rata TN dan TP lebih tinggi dari stasiun penelitian lainnya, kelimpahan Cyanophyceae yang ada juga tinggi.

Kelompok zooplankton yang mendominasi di perairan Waduk Djuanda adalah Rotatoria (52,1%) kemudian Copepoda (39,81%), dan Cladocera (8,08%). Kelompok Rotatoria dominan pada Stasiun 1, 3, dan 4, sedangkan Copepoda dominan di Stasiun 2.

Kelimpahan zooplankton di Waduk Djuanda cenderung mengikuti peningkatan kelimpahan fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan pemanfaatan fitoplankton sebagai makanan dari zooplankton. Berdasarkan penelitian Kartamihardja (2007), laju grazing zooplankton terhadap fitoplankton di zona limnetik Waduk Djuanda berkisar antara 22,54-35,29 sel/individu/4jam.

Zooplankton (ind./L) 0 25 50 75 100 125 150 175 200

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

K e lim p a h a n ( x 1 0 3) ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Fitoplankton (sel/L) 0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

K e lim p a h a n ( x 1 0 3) ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

(12)

Gambar 9 Komposisi kelimpahan fitoplankton (%) dan zooplankton (%) di perairan Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

a. Komposisi fitoplankton total. b. Komposisi zooplankton total.

c. Komposisi fitoplankton pada setiap stasiun penelitian. d. Komposisi zooplankton pada setiap stasiun penelitian.

Fitoplankton (%)

36,41

47,17

6,72 9,45 0,25

Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenophyceae

Zooplankton (%)

52,12 8,08

39,81

Rotatoria Cladocera Copepoda

Zooplankton 0 20 40 60 80 100 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 %

Rotatoria Cladocera Copepoda

Fitoplankton 0 20 40 60 80 100 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 % Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenophyceae a. b. c. d.

(13)

Distribusi Kelompok Ukuran Ikan Bandeng

Ikan bandeng yang tertangkap selama penelitian pada Desember 2009-Februari 2010 mempunyai panjang total antara 11-32 cm, dengan berat tubuh berkisar antara 10-264 gram. Selang ukuran panjang total yang terbentuk berdasarkan perhitungan interval kelas sebanyak 12 kelas ukuran. Distribusi kelompok ukuran ikan bandeng yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Distribusi sebaran kelas ukuran panjang total ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

ST.1 0 10 20 30 40 50 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Nilai Tengah Kelas Panjang (cm) Frek. (%) N = 459 ST.2 0 10 20 30 40 50 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Nilai Tengah Kelas Panjang (cm) Frek. (%) N = 195 S T.3 0 10 20 30 40 50 1 1 1 3 1 5 1 7 1 9 2 1 23 2 5 2 7 29 3 1 33 Nila i Te n g ah K e la s Pa n ja n g ( c m) Fr e k. ( % ) N = 15 8 S T.4 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 1 1 1 3 1 5 1 7 1 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 3 1 3 3 Nila i Te n g a h K e la s Pa n ja n g ( c m) Fr e k. ( % ) N=2 8 1 Total Sebaran 0 10 20 30 40 50 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Nilai Tengah Kelas Panjang (cm)

Frekuensi (%) N = 1093

(14)

Pada Stasiun 1 terdapat sembilan kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 23 cm. Pada Stasiun 2 terdapat tujuh kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 25 cm. Pada Stasiun 3 terdapat sembilan kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 25 cm. Pada Stasiun 4 terdapat duabelas kelas ukuran panjang dengan dominasi pada nilai tengah kelas ukuran panjang 13 cm.

Secara keseluruhan distribusi kelas ukuran panjang ikan bandeng yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran, yaitu kelompok ukuran bandeng kecil (13-17 cm) dan kelompok ukuran bandeng besar (25-33 cm). Kelompok ukuran bandeng kecil dan besar terdapat pada Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4. Sedangkan pada Stasiun 2 hanya terdapat satu kelompok ukuran, yaitu kelompok ukuran bandeng besar. Perbedaan ini terkait dengan selang waktu penebaran yang berbeda di lokasi-lokasi tersebut. Penebaran awal dilakukan pada Bulan Oktober di beberapa lokasi yang termasuk dalam tiga zona yaitu zona riverine, zona transisi dan zona genangan utama. Penebaran selanjutnya kurang lebih dengan jarak waktu satu bulan baru dilaksanakan di lokasi Stasiun 4. Kelas ukuran yang kecil banyak dijumpai pada Stasiun 4, sedangkan kelas ukuran panjang yang relatif besar banyak dijumpai pada Stasiun 1, Stasiun 2 dan Stasiun 3.

Ukuran kelas panjang meningkat seiring dengan pertambahan waktu. Presentase ikan bandeng ukuran besar banyak tertangkap pada akhir penelitian. Hal tersebut tampak jelas pada grafik yang disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Ikan bandeng yang ditebar menyebar sesuai dengan daya adaptasi terhadap ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan. Ikan berukuran kecil banyak dijumpai pada Stasiun 1 dan Stasiun 4. Stasiun 1 dan Stasiun 4 memiliki zona litoral yang luas dan mendapat masukan organik sehingga perairannya relatif subur. Kondisi perairan yang subur dan adanya tanaman air sangat mendukung kehidupan ikan berukuran kecil, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator dan daerah untuk mencari makan.

Ikan bandeng berukuran besar banyak dijumpai pada Stasiun 2 dan Stasiun 3. Ikan bandeng berukuran besar menyenangi daerah yang berarus dan memiliki kemampuan renang yang tinggi. Menurut Bagarinao (1994) ikan bandeng dewasa (50-150 cm, 4-14 kg, 3-15 tahun) adalah perenang cepat dan

(15)

Gambar 11 Sebaran ukuran panjang total minimum, panjang total maksimum dan panjang total rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

memiliki kemampuan renang yang kuat di laut terbuka. Stasiun 2 dan Stasiun 3 merupakan daerah perairan terbuka merupakan alur daerah aliran Sungai Citarum. Setelah dibendung menjadi Waduk Djuanda daerah ini merupakan daerah aliran air waduk menuju ke saluran pengeluaran waduk di DAM utama. Setelah mencapai ukuran yang besar ikan bandeng akan menuju ke lokasi tersebut. Hal ini didukung dengan hasil tangkapan nelayan yang banyak mendapatkan hasil tangkapan ikan bandeng berukuran besar di sekitar lokasi Stasiun 2 dan Stasiun 3.

Pengelompokkan ukuran panjang dengan metode Bhattacharya (Sparre & Venema 1999) diketahui ada dua kelompok ukuran ikan bandeng pada periode bulan Desember 2009-Februari 2010. Kelompok pertama dengan nilai tengah ukuran panjang 14,9±1,4 cm dengan populasi dugaan sebanyak 246 ekor dan

PT (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari) ST. 2 PT (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari) ST. 3 PT (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari) ST. 4 PT (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari) ST. 1

(16)

kelompok ukuran kedua adalah 24,8±2,9 cm dengan populasi dugaan sebanyak 824 ekor (Tabel 3).

Gambar 12 Sebaran berat minimum, berat maksimum dan berat rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Tabel 3 Nilai tengah ukuran panjang total dan dugaan populasi ikan bandeng yang terbentuk dari analisis Bhattacarya di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Stasiun Penelitian

Nilai tengah ukuran panjang (cm) Populasi (N) SI (Indeks pemisahan) r2 ST.1 17,2 ± 3,9 132 -23,9 ± 2,1 325 2,07 0,987 ST. 2 25,5 ± 2,2 193 - 0,993 ST.3 19,3 ± 3,4 6 -26,1 ± 2,1 156 2,11 0,987 ST.4 13,9 ± 1,1 158 -29 ± 2,1 46 3,58 0,98 Total 14,9 ± 1,4 246 - 0,87 24,8 ± 2,9 824 2,68 0,99 B (g) 0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari)

ST. 1 B (g) 0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari)

ST. 2 B (g) 0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari)

ST. 3 B (g) 0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7

Periode Sampling (10 hari)

(17)

Pada Stasiun 1, kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 17,2±3,9 cm dan 23,9±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 132 dan 325 ekor. Stasiun 2 kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari satu kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 25,5±2,2 cm dengan dugaan populasi sebanyak 193 ekor. Stasiun 3 memiliki kelompok ukuran panjang yang terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 19,3±3,4 cm dan 26,1±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 6 dan 156 ekor. Stasiun 4 kelompok ukuran panjang yang terbentuk terdiri dari dua kelompok ukuran yaitu kelompok ukuran panjang 13,9±1,1 cm dan 29±2,1 cm dengan dugaan populasi masing-masing sebanyak 158 dan 46 ekor (Gambar 13)

Gambar 13 Pengelompokan ukuran panjang total ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Bandeng

Analisis isi saluran pencernaan makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda pada periode Desember 2009-Februari 2010, menunjukkan bahwa makanan utamanya adalah plankton, terdiri dari fitoplankton (35,2-56,42%) dan

ST. 2 ST. 1

ST. 4 Total

(18)

zooplankton (12,22-42,8%). Makanan lainnya yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan tersebut dimasukan dalam kelompok lain-lain (10,92-22%) yang terdiri dari detritus, serasah tumbuhan, cacing dan insekta (Gambar 14). Berdasarkan kriteria dari Nikolsky (1963) diketahui bahwa makanan utama ikan bandeng adalah fitoplankton sedangkan makanan pelengkap adalah zooplankton dan kelompok lainnya. Pada pada bulan September 2008 hingga Januari 2009, juga diketahui bahwa makanan utama ikan bandeng adalah fitoplankton (50,16-77,76 %) dan zooplankton (20,02-48,72 %) (Tjahjo & Purnamaningtyas 2009).

51,28 56,42 52,79 37,80 42,80 26,01 12,22 10,92 22,00 17,57 34,99 35,20 0 20 40 60 80 100 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 IP (%)

Fitoplankton Zooplankton Lain-lain

Gambar 14 Presentase kelompok makanan utama ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Makanan ikan bandeng dari kelompok fitoplankton terdiri dari beberapa kelas yaitu kelas Chlorophyceae (8,33-11,76%), terdiri dari jenis Actinastrum sp.,

Ankistrodesmus sp., Chlorella sp., Coelastrum sp., Crucigenia sp., Pediastrum

sp., Scenedesmus sp., Staurastrum sp., dan Ulothrix sp. Cyanophyceae (10,05-31,12%), terdiri dari jenis Anabaena sp., Aphanocapsa sp., Lyngbya sp.,

Merismopedia sp., Microcystis sp., Oocystis sp., dan Oscillatoria sp.

Bacillariophyceae (1,66-27,31%), terdiri dari jenis Cymbella sp., Fragillaria sp.,

Gyrosigma sp., Melosira sp., Navicula sp., Nitzschia sp., Pinnularia sp., Synedra

sp., dan Surirella sp. Dinophyceae (1,21-29,21%) terdiri dari jenis Ceratium sp.,

Glenodinium sp., dan Peridinium sp. Euglenophyceae (0,003-0,41%) terdiri dari

(19)

terdiri dari Rotatoria (4,54-6,63%), terdiri dari jenis Brachionus sp., Keratella sp.,

Polyarthra sp., dan Trichocerca sp. Cladocera (3,21-10,47%) terdiri dari jenis Bosmina sp., Daphnia sp., dan Moina sp. Copepoda (3,33-27,79%), terdiri dari

jenis Cyclops sp. dan Nauplius sp. (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

No Jenis Makanan ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 A. Fitoplankton 51,28 35,20 56,42 52,79 1 Chlorophyceae 10,40 11,76 10,42 8,33 2 Cyanophyceae 31,12 18,21 10,05 10,25 3 Bacillariophyceae 1,66 3,61 27,31 4,94 4 Dinophyceae 8,06 1,21 8,64 29,21 5 Euglenophyceae 0,04 0,41 0,003 0,05 B. Zooplankton 37,80 42,80 26,01 12,22 1 Rotatoria 6,38 4,54 6,63 5,68 2 Cladocera 5,41 10,47 5,65 3,21 3 Copepoda 26,01 27,79 13,73 3,33 C. Lain-lain 10,92 22,00 17,57 34,99 1 Serasah tumbuhan 3,94 4,94 4,91 8,75 2 Insekta 0,08 0,00 0,00 0,12 3 Cacing 0,00 0,00 1,66 2,76 4 Detritus 6,90 17,06 11,01 23,37

Jumlah sampel ikan 155 70 52 138

Makanan utama ikan bandeng pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan Stasiun 4 adalah fitoplankton, dengan masing-masing nilai indeks bagian terbesar (IP) sebesar 51,28%, 56,42% dan 52,79%. Pada Stasiun 2 makanan ikan bandeng didominasi dari kelompok zooplankton yaitu sebesar 42,80% sedangkan makanan dari kelompok fitoplankton hanya sebesar 35,20%. Zooplankton menjadi makanan utama ikan bandeng pada Stasiun 2 diduga terkait dengan ukuran ikan bandeng yang sudah besar yang banyak tertangkap di lokasi ini. Menurut Gordon dan Hong (1986); Garcia (1990), jenis makanan ikan bandeng bervariasi tergantung dari stadia hidup dan habitatnya, dimana ikan bandeng dewasa makanan utamanya terdiri dari organisme benthik dan planktonik yang terdiri dari gastropoda, lamellibranchia, foraminifera, alga filamen, diatoms, copepoda,

(20)

nematoda, dan detritus. Kelompok makanan lain yang terdiri dari detritus, serasah tumbuhan, cacing, dan insekta di Stasiun 2 ini juga cukup besar bila dibandingkan dengan stasiun lainnya dengan indeks bagian terbesar 22,00%.

Makanan ikan bandeng dari fitoplankton pada setiap stasiun penelitian didominasi oleh kelas Cyanophyceae yaitu sebesar 10,05-31,12%. Jenis fitoplankton dari Cyanophyceae yang bersifat merugikan seperti Anabaena sp.,

Aphanocapsa sp., dan Microcystis sp. mampu dimanfaatkan oleh ikan bandeng

sebagai makanan dengan nilai indeks bagian terbesar cukup tinggi mencapai 26,95%. Hasil pengamatan saluran pencernaan juga memperlihatkan adanya

Aphanocapsa sp. dan Microcystis sp. di dalam lambung ikan dan usus ikan. Pada

usus ikan bandeng jenis fitoplankton tersebut masih dapat teridentifikasi namun sudah menunjukkan adanya aktivitas pencernaan. Menurut Nurnaningsih (2004) ikan bandeng yang tertangkap pada periode Mei-Oktober 2003 memakan fitoplankton dari kelas Cynophyceae yang terdiri dari jenis Microcystis sp.,

Anabaena sp., Oscillatoria sp., Lyngba sp., dan Merismophedia sp.

Analisis kebiasaan makanan ikan bandeng berdasarkan kelompok kelas ukuran panjang dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makanan dan kebiasaan makan yang terjadi pada setiap kelas ukuran ikan (Gambar 15). Kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng dibagi menjadi tiga kelas ukuran yaitu kelas ukuran panjang pertama 11-18 cm, kelas ukuran panjang kedua 19-26 cm dan kelas ukuran panjang ketiga 27-34 cm.

Kelas ukuran panjang pertama ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian makanan utamanya adalah dari kelompok fitoplankton (52,56-63,16%). Kelas ukuran panjang kedua makanan utamanya untuk Stasiun 1, 2 dan 3 adalah fitoplankton (45,99-54,10%) sedangkan pada Stasiun 4 makanan utamanya adalah dari kelompok lain-lain (53,02%). Kelas ukuran panjang ketiga makanan utama pada Stasiun 1 dan 2 adalah zooplankton (33,92-41,63%), sedangkan pada Stasiun 3 dan 4 makanan utamanya adalah fitoplankton (43,10-55,94%). Hasil analisis kebiasaan makanan ikan bandeng berdasarkan kelompok kelas ukuran panjang dapat dilihat pada Lampiran 4.

(21)

Gambar 15 Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan utama berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009- Februari 2010.

Hasil pengelompokkan kelas ukuran panjang tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan kelompok makanan yang dimakan oleh ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian. Perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan dan lebih dikarenakan oleh kondisi habitat dan faktor ketersediaan makanan yang ada. Nurnaningsih (2004) melaporkan bahwa ikan bandeng dari tiga kelompok ukuran dengan nilai tengah kelas ukuran 13,5 cm, 22,3 cm dan 30 cm kelompok fitoplankton yang menjadi makanannya memiliki komposisi yang relatif sama, perbedaan yang ada hanya dari jumlah jenisnya saja.

Kelompok makanan fitoplankton dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, dan Dinophyceae selalu terdapat pada saluran pencernaan ikan bandeng disemua kelas ukuran panjang (Gambar 16). Dominasi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae terjadi pada kelas ukuran panjang pertama dan kedua terutama di Stasiun 1 dan 2. Dominasi makanan dari kelas Dinophyceae terjadi pada kelas ukuran panjang pertama (Stasiun 1 dan 4) dan kelas ukuran panjang ketiga pada Stasiun 4.

0 20 40 60 80 100 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

Kelas ukuran panjang (cm) IP (%)

(22)

0 20 40 60 80 100 IP(%) 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 ST.1 ST.2 ST.3 ST4

Kelas ukuran panjang (cm)

Fitoplankton

Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenophyceae 0 20 40 60 80 100 IP (%) 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

Kelas ukuran panjang

Zooplankton

Rotatoria Cladocera Copepoda

0 20 40 60 80 100 IP (%) 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 11-18 19-26 27-34 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

Kelas ukuran panjang

Lain-lain

Seresah tumbuhan Insecta

Cacing Detritus

Gambar 16 Indeks bagian terbesar (IP:%) jenis makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010

Dominasi makanan dari kelas Bacillariophyceae terjadi di Stasiun 3 pada kelas ukuran panjang pertama dan kedua. Ada kesesuaian terhadap keberadaan kelompok makanan berdasarkan kelas ukuran panjang dengan komposisi kelimpahan plankton yang tersedia. Dinamika kebiasaan makan ikan bandeng yang terjadi diduga dipengaruhi oleh perkembangan umur/ukuran ikan bandeng,

(23)

ketersediaan makanan alami dan kualitas perairan Waduk Djuanda. Menurut Kumagai et al. (1985) ikan bandeng mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat baik terhadap perubahan habitat dan makanan.

Kelompok makanan zooplankton dari kelas Cladocera, Copepoda, dan Rotatoria selalu terdapat pada saluran pencernaan ikan bandeng disemua kelas ukuran panjang. Copepoda dan Cladocera merupakan kelompok makanan yang mendominasi pada ukuran ikan bandeng relatif besar/dewasa. Kelompok makanan tersebut banyak terdapat pada kelas ukuran panjang kedua dan ketiga pada seluruh stasiun penelitian. Rotatoria adalah kelompok makanan yang umumnya banyak ditemukan pada kelas ukuran panjang pertama atau ukuran ikan bandeng muda/kecil.

Kesesuaian Jenis Makanan Ikan Bandeng dengan Ketersediaan Jenis Makanan

Sumberdaya makanan yang tersedia diperairan merupakan faktor penentu keberadaan suatu organisme perairan. Kesesuaian jenis makanan yang dimakan dengan ketersediaan jenis makanan yang ada dapat diketahui dengan menghitung luas relung makanan (Krebs 1989). Luas relung makanan yang besar menunjukkan organisme tersebut banyak memanfaatkan jenis makanan yang tersedia, dan sebaliknya bila nilainya rendah maka hanya sedikit jenis makanan yang dimanfaatkan oleh organisme tersebut. Menurut Macpherson (1981), jenis ikan yang mempunyai luas relung yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi ketersedian pakan, serta mempunyai daya reproduksi secara individual yang besar.

Hasil analisis rata-rata luas relung makanan tiap kelompok ukuran kelas panjang ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda berkisar antara 0,30-0,68 (Gambar 17). Luas relung tertinggi terjadi pada kelas ukuran panjang pertama di Stasiun 1 (0,52), kelas ukuran panjang kedua di Stasiun 4 (0,41) dan pada kelas ukuran panjang ketiga di Stasiun 2 dan Stasiun 3 (0,47 dan 0,68). Secara keseluruhan luas relung makanan tertinggi terdapat pada Stasiun 4

(24)

(0,6) dan terendah pada Stasiun 3 (0,43), sedangkan pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 luas relung makanannya masing-masing sebesar 0,45.

0,45 0,45 0,43 0,60 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

Kelas ukuran panjang (cm)

11-18 19-26 27-34 Total

Gambar 17 Nilai rata-rata luas relung makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010

Ikan bandeng di Stasiun 4 memiliki luas relung terbesar. Hal ini menunjukkan ikan bandeng di lokasi ini memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan ketersediaan jenis makanan yang ada. Kondisi lingkungan yang optimum diduga berpengaruh terhadap kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan ketersediaan jenis makanan yang ada di perairan. Jumlah dan jenis makanan yang terdapat pada Stasiun 4 juga cukup banyak, terdapat 34 jenis plankton dari 37 jenis yang terdapat di perairan Waduk Djuanda. Variasi pemanfaatan makanan dari kelompok makanan lain-lain juga tinggi.

Ikan bandeng di Stasiun 3 memiliki luas relung makanan terendah. Stasiun 3 merupakan zona genangan utama yang luas. Kelimpahan makanan dari fitoplankton dan zooplankton menunjukkan kelimpahan yang terendah dibandingkan dengan kelimpahan di stasiun lainnya. Kondisi lingkungan hasil pengukuran juga menunjukkan fluktuasi yang kurang optimum. Faktor-faktor tersebut diduga berpengaruh terhadap kemampuan ikan bandeng di lokasi ini dalam memanfaatkan ketersediaan makanan yang ada.

Pemanfaatan sumberdaya makanan yang terjadi pada masing-masing kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (ANOVA: P>0,05) antara lokasi penelitian maupun antara kelas

(25)

ukuran panjang ikan bandeng (Lampiran 5). Masing-masing kelas ukuran panjang ikan bandeng memiliki kemampuan yang sama dalam memanfaatkan ketersediaan makanan yang terdapat di perairan. Perbedaan nilai luas relung makanan yang terjadi sesuai dengan kelimpahan dan variasi makanan yang ada di perairan. Seperti dalam penjelasan sebelumnya ikan bandeng memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap ketersediaan makanan. Makanan yang dimakannya terkait dengan ketersediaan sumberdaya makanan yang ada di lokasi tersebut.

Pemilihan makanan yang tersedia oleh ikan bandeng dapat diketahui berdasarkan pendekatan perhitungan indeks pilihan dari Ivlev dalam Effendie (1997) dan Jobling et al. (2001). Hasil perhitungan menunjukkan adanya pemilihan jenis makanan tertentu oleh ikan bandeng. Pemilihan makanan ikan bandeng yang terjadi mengikuti komposisi dan kelimpahan plankton yang ada di perairan Waduk Djuanda. Proporsi perbandingan antara jenis makanan yang memiliki nilai indeks pilihan positif dan negatif sebanding (Lampiran 6 dan Lampiran 7). Adanya pemilihan makanan terhadap beberapa jenis makanan yang ada lebih menekankan terhadap kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan jenis makanan yang tersedia dan melimpah di perairan tersebut.

Pemilihan makanan oleh ikan bandeng yang terjadi dijelaskan dengan nilai pemilihan makanan dari kelompok fitoplakton 0,39-0,93 dan dari kelompok zooplankton 0,41-0,99. Menurut Lazaro (1987) dalam Lückstädt dan Reiti (2002) pemilihan makanan dibatasi pada nilai lebih besar dari 0,3 (dipilih) atau kurang dari -0,3 (tidak dipilih). Jenis-jenis fitoplankton tersebut antara lain Anabaena sp., Aphanocapsa sp., Microcystis sp., Oocystis sp., Fragillaria sp., Peridinium sp., Oscillatoria sp., Gyrosigma sp., Navicula sp., Synedra sp., Ceratium sp., dan

Euglena sp. Jenis fitoplankton yang selalu ada pada setiap stasiun penelitian

adalah Microcystis sp. dan Peridinium sp. Jenis-jenis zooplankton yang banyak dipilih adalah Keratella sp., Trichocerca sp., Brachionus sp., Bosmina sp.,

Daphnia sp., dan Cyclops sp. Jenis zooplankton yang selalu ada pada setiap

stasiun penelitian adalah Bosmina sp. dan Cyclops sp.

Ketersediaan sumberdaya makanan dengan makanan yang dimakan oleh ikan bandeng pada setiap kelas ukuran dapat diketahui tingkat pemanfaatan makanan secara bersama yang terjadi antar kelompok ukuran tersebut.

(26)

Pendekatan untuk mengukur tingkat pemanfaatan makanan bersama didekati dengan analisis tumpang tindih relung makanan, indeks Morisita (Krebs 1989).

Nilai tumpang tindih relung makanan yang terjadi antara tiga kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda berkisar antara 0,6-0,978 (Tabel 5). Nilai tumpang tindih relung makanan yang terbentuk menunjukkan tingkat pemanfaatan makanan bersama yang besar pada masing-masing kelompok ukuran panjang ikan bandeng. Artinya semua kelompok kelas ukuran panjang ikan bandeng memiliki tingkat pemanfaatan makanan yang sama terhadap jenis makanan yang tersedia. Hal tersebut juga diperkuat dengan nilai luas relung makanan yang terjadi pada masing-masing kelompok kelas ukuran panjang yang relatif sama. Adanya pemilihan jenis makanan yang terjadi lebih dikarenakan pada pemanfaatan makanan yang sesuai dengan ketersediaan suatu jenis makanan tertentu yang melimpah di perairan tersebut.

Hasil penelitian Nurnaningsih (2004) menunjukkan adanya tingkat pemanfaatan makanan bersama yang cukup tinggi pada tiga kelompok ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda dengan nilai 0,44-0,65 pada periode Mei-Oktober 2003. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Kumagai et al. (1985); Gordon dan Hong (1986) dan Garcia (1990), yang menyatakan bahwa ikan bandeng pada seluruh stadia hidupnya merupakan ikan planktivora dan aktivitas makannya adalah pada siang hari.

Tabel 5 Tingkat kesamaan pemanfaatan kelompok jenis makanan berdasarkan indeks tumpang tindih relung makanan pada kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember-Februari 2010.

Stasiun

Penelitian Ukuran Panjang (cm) 11-18 19-26 27-34

Stasiun I 11-18 0,828 0,665 19-26 0,799 27-34 Stasiun 2 11-18 - -19-26 0,894 27-34 Stasiun 3 11-18 0,881 0,734 19-26 0,813 27-34 Stasiun 4 11-18 0,600 0,978 19-26 0,722 27-34

(27)

Pertumbuhan Ikan Bandeng

Pertumbuhan adalah suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan berat tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan ikan bandeng yang terjadi merupakan indikasi bahwa ikan tersebut mampu beradaptasi pada lingkungan yang baru dan mampu memanfaatkan ketersediaan sumberdaya makanan yang ada.

Hasil perhitungan laju pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan pertumbuhan panjang spesifik (SGR%) berkisar antara 0,26-1,1%/hari dengan laju pertambahan panjang harian mencapai 0,2-2,1 mm/hari. Pertumbuhan ikan bandeng tertinggi terjadi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 1,1%/hari dengan pertambahan panjang harian 2,1 mm/hari. Laju pertumbuhan spesifik ikan bandeng terendah terjadi pada Stasiun 2, yaitu sebesar 0,26%/hari dengan pertambahan panjang harian 0,2 mm/hari. Pertambahan panjang total rata-rata ikan bandeng yang tertangkap di Waduk Djuanda dengan alat tangkap eksperimental gillnet disajikan pada Gambar 18.

0 5 10 15 20 25 30

27 Des 4 Jan 13 Jan 23 Jan 2 Feb 14 Feb 22 Feb

Periode Sampling PT (cm)

ST.1 ST.2 ST.3

ST.4 Total

Gambar 18 Pertambahan panjang total rata-rata ikan bandeng yang tertangkap di Waduk Djuanda dengan alat tangkap eksperimental gillnet Desember 2009-Februari 2010.

Pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Djuanda cukup tinggi mengingat secara biologi dan ekologi ikan bandeng umumnya hidup didaerah estuari dengan kisaran salinitas yang luas. Walaupun ikan bandeng memiliki kemampuan untuk

(28)

hidup pada kisaran salinitas yang luas dan dapat hidup pada perairan tawar, namun informasi mengenai pertumbuhan dan kehidupannya di ekosistem perairan tawar akibat kegiatan introduksi belum banyak dilaporkan.

Pertumbuhan ikan bandeng yang dilaporkan umumnya dari kegiatan pemeliharaan dalam kegiatan budidaya. Kurniati (2003) melaporkan ikan bandeng yang dipelihara di keramba jaring apung di Teluk Awarange Sulawesi Selatan dalam 120 hari, laju pertumbuhan hariannya mencapai 1,75%/hari. Ikan bandeng yang dikultur bersama dengan Gracilariopsis bailinae di kolam dengan kisaran salinitas 17-30 ppt, laju pertumbuhan hariannya mencapai 4,8±0,33%/hari (Alcantara et al. 1999). Pertumbuhan benih ikan bandeng yang dibantut pada umur 20-40 hari pada salinitas 39 ppt, laju pertumbuhan spesifik hariannya mencapai 0,03-0,05%/hari (Zainudin et al. 2003).

Pertumbuhan ikan bandeng di alam berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan laju pertumbuhan juvenil bandeng di laguna Naburut Philipina adalah 7-9 mm/minggu, dengan sifat pertumbuhan allometrik positif (Kumagai et al.1985). Laju pertumbuhan larva berdasarkan data distribusi frekuensi panjang hasil tangkapan larva bandeng di Pulau Panay, Philipina adalah sebesar 0,5 mm/hari (Garcia 1990).

Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi

Analisis hubungan panjang berat, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis memperlihatkan adanya hubungan antara panjang dan berat ikan bandeng dengan korelasi yang sangat besar dengan nilai koefisien korelasi (r) mencapai 0,950,98 (Gambar 19).

Pola pertumbuhan yang terjadi menunjukkan pola pertumbuhan yang sama pada setiap lokasi penelitian dengan pola pertumbuhan isometrik (b=3, pada uji tα

=0,05). Pola pertumbuhan isometrik menunjukkan pertumbuhan panjang ikan bandeng sesuai dengan pertumbuhan bobotnya (Lampiran 8). Nilai b yang diperoleh sebagai konstanta pertumbuhan berkisar antara 2,86-3,067. Nilai b tertinggi terdapat pada Stasiun 4 dan terendah pada Stasiun 3.

(29)

Tabel 6 Hubungan panjang berat, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Stasiun Persamaan Hubungan Panjang Berat Pola Pertumbuhan (uji t dengan (α = 0,05) Faktor Kondisi (Kt) ST.1 W = 0,0102L2,918 Isometrik 0,860 r = 0,96; n = 465 SEb = 0,042 ST.2 W = 0,009L2,955 Isometrik 0,629 r = 0,96; n = 195 SEb = 0,065 ST.3 W = 0,0118L2.864 Isometrik 0,775 r = 0,95; n = 158 SEb = 0,079 ST.4 W = 0,0063L3.067 Isometrik 1,066 r = 0,98; n = 281 SEb = 0,039

Gambar 19 Hubungan panjang berat ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

(30)

Faktor kondisi ikan bandeng di Waduk Djuanda berkisar antara 0,629-1,066. Faktor kondisi tertinggi dijumpai pada ikan bandeng di Stasiun 4 dan terendah di Stasiun 2. Tingginya nilai faktor kondisi ikan di Stasiun 4 menunjukkan ikan bandeng yang terdapat dilokasi ini tubuhnya lebih gemuk, atau menandakan ketersediaan makanan di lokasi ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan.

Faktor kondisi merupakan cerminan dari kemontokan tubuh ikan dan nilainya bervariasi tergantung dari makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendie 1979). Menurut Casselman (1987) penentuan faktor kondisi sangat efektif digunakan untuk menganalisis tiga macam populasi yang berbeda yaitu (i) berdasarkan perbedaan habitat hubungannya dengan kondisi makanan, kelimpahan dan iklim, (ii) perbedaan waktu dan durasi kematangan gonad dan (iii) menganalisis peningkatan atau penurunan aktifitas makan pada satu waktu tertentu atau kemungkinan perubahan populasi berdasarkan ketersediaan suplai makanan.

Parameter Pertumbuhan

Hasil analisis kelompok ukuran digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap parameter pertumbuhan. Pendekatan yang digunakan dengan analisis plot von Bartalanffy dengan program ELEFAN I dalam perangkat program FiSAT. Pendugaan parameter L∞ pada semua lokasi didapatkan nilai dugaan pada

ukuran 34,7 cm. Koefisien pertumbuhan terlihat berbeda pada semua stasiun penelitian (Gambar 20 dan 21).

Koefisien pertumbuhan (K) pada Stasiun 1 sebesar 0,43/tahun, pada Stasiun 2 sebesar 1,6/tahun pada Stasiun 3 sebesar 0,57/tahun dan pada Stasiun 4 sebesar 5,1/tahun. Koefisien pertumbuhan keseluruhan ikan bandeng di perairan Waduk Djuanda pada Desember 2009-Februari 2010 sebesar 4,2/tahun dengan panjang L∞ sebesar 34,7 cm. Koefisien pertumbuhan ikan bandeng pada periode

ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada periode September 2008-Januari 2009 koefisien pertumbuhan (K) sebesar 3,381/tahun dengan panjang asimtutnya (L∞) mencapai 45 cm (Tjahjo &

(31)

Gambar 20 Parameter pertumbuhan dan pola pertumbuhan ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Pendugaan parameter pertumbuhan di setiap stasiun penelitian memberikan pengertian dan pemahaman akan pola pertumbuhan ikan di setiap lokasi penelitian. Namun dalam konteks pengelolaan kawasan, pola pertumbuhan dibuat secara integrative dengan menggabungkan semua populasi dari setiap stasiun. Hasil analisis von Bartalanffy dengan pendekatan analisis data panjang pada tiap kelompok umur, diperoleh hasil yang merepresentasikan pertumbuhan

ST. 2 K = 1,6 L∞ = 34,7

ST. 4 K = 5,1 L∞ = 34,7

ST. 1 K = 0,43 L∞ = 34,7

ST. 3 K = 0,57 L∞ = 34,7

(32)

ikan bandeng di Waduk Djuanda. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pertumbuhan populasi akan mendekati L∞ sebesar 34,7 cm dengan laju

pertumbuhan (K) sebesar 4,2/tahun. Pertumbuhan akan mencapai posisi L∞ pada

umur relative diatas 0,5 tahun. Pertumbuhan ikan bandeng akan mengalami perlambatan setelah 0,4 tahun. Pola pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Djuanda pada Desember 2009-Februari 2010 menurut plot von Bartalanffy disajikan pada Gambar 22.

Gambar 21 Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan sebaran frekuensi panjang di Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember-Februari 2010. ST.1 PT (cm) PT (cm ) ST.2 ST.3 PT (cm) ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 PT (cm) PT (cm) PT (cm) PT (cm)

(33)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0

Umur ikan bandeng (tahun)

PT (cm) ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 Total L∞ = 34,7 cm Kt : 4,2 KST.4 : 5,1 KST.2 : 1,6 KST.3 : 0,57 KST.1 : 0,43

Gambar 22 Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan nilai koefisien pertumbuhan (K) di Waduk Djuanda pada Desember 2009-Februari 2010.

Pertumbuhan ikan bandeng tertinggi terdapat pada Stasiun 4 dengan nilai koefisien pertumbuhan K sebesar 5,1/tahun dengan laju pertambahan panjang sebesar 1,1%/hari. Berdasarkan sebaran ukuran panjang, ikan bandeng pada Stasiun 4 terdapat pada semua kelompok ukuran. Kondisi lingkungan yang mendukung untuk kehidupan ikan bandeng menjadi faktor penting dalam kehidupan ikan tersebut di daerah ini. Stasiun 4 merupakan lokasi yang mendapat pengaruh dari aktivitas kegiatan budidaya ikan di KJA. Diduga sisa pelet dan kotoran ikan menjadi masukan organik yang mendukung kesuburan perairan. Adanya aliran masuk dari Sungai Cilalawi juga menambah masukan bahan makanan ke daerah ini.

Hasil pengukuran kondisi kualitas perairan di Stasiun 4 menunjukkan hasil yang lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Konsentrasi DO, suhu dan pH perairan tidak terlalu berfluktuatif, yaitu masing-masing berkisar antara 7,15-8,26 mg/L, 28,4-31,7 oC dan 7,15-8,26. Kandungan NH4 yang tidak terlalu tinggi yaitu 0,071-0,295 mg/L dan tingkat kecerahan yang

(34)

kualitas perairan yang optimum diduga menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan bandeng di daerah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ikan bandeng di stasiun lainnya. Berdasarkan analisis komponen utama dan matrik korelasi diketahui beberapa parameter lingkungan seperti DO, suhu, kecerahan, turbiditas, NH4, dan klorofil-a serta kelimpahan zooplankton

memiliki korelasi terhadap keberadaan ikan bandeng di Waduk Djuanda.

Ketersediaan dan kesesuaian jenis makanan yang tersedia juga berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ikan bandeng di daerah ini. Komposisi makanan dari kelompok fitoplankton dan zooplankton berdasarkan indeks bagian terbesar dapat dimanfaatkan dengan proporsi yang seimbang. Makanan dari kelompok lain-lain juga memiliki nilai indeks bagian terbesar yang cukup tinggi yaitu sebesar 34,99%, sehingga faktor makanan yang tersedia di daerah ini juga sangat mendukung kehidupan ikan bandeng tersebut.

Koefisien pertumbuhan ikan bandeng terendah dijumpai pada Stasiun 1 dengan nilai K = 0,43/tahun, kemudian diikuti oleh Stasiun 3 (K= 0,57/tahun) dan Stasiun 2 (K= 1,6/tahun). Stasiun 1 merupakan daerah yang mendapat pengaruh langsung dari aliran air sungai Citarum yang berasal dari pengeluaran Waduk Cirata. Kondisi kualitas air yang rendah dari Waduk Cirata memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas perairan di daerah ini. Ketersediaan makanan di daerah ini cukup menunjang namun kondisi lingkungan yang tidak mendukung diduga mempengaruhi kualitas pertumbuhan ikan bandeng yang ada di daerah tersebut. Hasil penelitian di lapangan menunjukan terjadinya umbalan di daerah yang dilewati aliran air dari Waduk Cirata, dari zona riverine (Stasiun1), zona transisi (Stasiun 2) sampai pada zona genangan utama (Stasiun 3), telah berpengaruh terhadap kualitas perairan. Kondisi kualitas air saat terjadi umbalan sangat rendah seperti kandungan DO yang rendah dan nilai NH4yang tinggi.

Efektivitas Pemanfataan Makanan

Efektivitas pemanfaatan makanan dapat menjadi ukuran kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan sumberdaya makanan yang tersedia di lingkungannya yang baru. Sebagai ikan introduksi, penempatan/lokasi penebaran awal sangat penting dan mendukung kehidupan selanjutnya dari ikan tersebut.

(35)

Kondisi lingkungan perairan dan ketesediaan makanan yang sesuai sangat mempengaruhi hasil introduksi ikan. Analisis Efektivitas pemanfaatan makanan berdasarkan dari jumlah jenis makanan yang dimakan dan jumlah jenis makanan yang tersedia di perairan (Jacobs 1974 dalam Jobling et al. 2001). Semakin tinggi nilai efektivitasnya maka tingkat pemanfaatan makanan yang terjadi juga cukup besar, sehingga daerah tersebut termasuk daerah yang sesuai untuk kehidupan ikan bandeng.

Eektivitas pemanfaatan makanan (plankton) oleh ikan bandeng bervariasi (Gambar 23) dengan nilai efektivitas pemanfaatan berkisar antara 0,15-2,58. Nilai rata-rata efektivitas pemanfaatan tertinggi terjadi pada Stasiun 4 (1,83) dan terendah pada Stasiun 3 (0,78). Berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng, efektivitas pemanfaatan tertinggi terjadi pada ukuran kelas panjang pertama (11-18 cm) dengan nilai efektivitas sebesar 0,79. Efektivitas pemanfaatan makanan terendah terjadi pada kelas ukuran panjang ketiga (27-34 cm) dengan nilai efektivitas sebesar 0,51. Kelas ukuran panjang kedua (19-26 cm) memiliki nilai efektivitas sebesar 0,74 (Lampiran 9).

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 FR 11-18 cm27-34 cm 19-26 cmTotal

Gambar 23 Perbandingan nilai efektivitas pemanfaatan makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Stasiun 4 merupakan daerah yang mendapat pengaruh aktivitas budidaya ikan di KJA. Adanya aliran air yang masuk melalui Sungai Cilalawi telah memberikan pasokan nutrien yang berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan di lokasi ini. Jumlah jenis organisme makanan yang berasal dari

(36)

kelompok plankton di daerah ini juga lebih tinggi yaitu sebanyak 34 jenis dari total 37 jenis yang terdapat di perairan waduk. Kondisi air yang optimum ditandai dengan nilai beberapa parameter utama yang menunjang kehidupan ikan membuat lokasi ini sangat ideal bagi perkembangan ikan bandeng. Daerah litoral yang luas yang banyak terdapat didaerah ini juga menjadi pemilihan habitat bagi ikan bandeng. Faktor-faktor tersebut diduga menyebabkan perkembangan ikan bandeng di Stasiun 4 lebih baik, sehingga nilai efektivitas pemanfaatan makanannya pun tinggi. Bila dilihat dari pertumbuhannya, ikan bandeng di Stasiun 4 memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dengan koefisien pertumbuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya.

Stasiun 3 merupakan zona genangan utama Waduk Djuanda. Kelimpahan plankton di daerah ini tidak terlalu melimpah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kondisi kualitas perairan hasil pengukuran selama penelitian kurang optimum, dan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya makanan alami dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan ikan yang ada, termasuk ikan bandeng. Kartamihardja (2007) menyatakan bahwa genangan utama merupakan zona limnetik Waduk Djuanda yang mendapat beban masukan unsur hara N dan P dan bahan organik lainnya yang tinggi dari pemasukan air Sungai Citarum dan Waduk Cirata.

Efektivitas pemanfaatan plankton sebagai makanan berdasarkan ukuran kelas panjang ikan bandeng menunjukkan ukuran kelas panjang pertama (11-18 cm) memiliki nilai efektivitas pemanfaatan yang tinggi. Kebutuhan ikan pada stadia awal biasanya lebih besar yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan ikan tersebut. Bukaan mulut dan ukuran tubuh yang kecil diduga berpengaruh terhadap kebiasaan makannya dalam memanfaatkan sumberdaya makanan lainnya selain plankton. Memasuki ukuran yang lebih besar, efektivitas pemanfaatan makanan yang berasal dari plankton mulai berkurang. Ada pemanfaatan makanan dari kelompok makanan lain, seperti cacing, insekta, detritus, dan serasah tumbuhan. Nilai indeks bagian terbesar dari kelompok makanan lain-lain tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan ukuran ikan bandeng. Menurut Bagarinao (1994) perubahan jenis makanan pada

(37)

stadia juvenil mengikuti metamorfosis yang terjadi, yaitu dari sifat pemakan zooplankton pada fase larva berubah menjadi pemakan benthik selanjutnya berubah menjadi herbivora, detritivora atau omnivora tergantung dari tipe makanan yang dominan di habitatnya.

Hasil pengamatan pada ikan bandeng berukuran besar ditemukan banyak lumpur dalam saluran pencernaannya. Diduga lumpur tersebut menjadi media dalam pemanfaatan makanan yang ada di dasar perairan, dengan indikasi ditemukannya cacing dan larva chironomus. Menurut Gordon dan Hong (1986); Garcia (1990), jenis makanan ikan bandeng bervariasi tergantung dari stadia hidup dan habitatnya, ikan bandeng dewasa di alam makanan utamanya terdiri dari organisme benthik dan planktonik yang terdiri dari gastropoda, alga filamen, diatoms, copepoda, nematoda, dan detritus. Santiago (1986); Garcia (1990), melaporkan ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak memakan klekap

(lab-lab). Klekap atau lab-lab tersebut merupakan komposisi biologi komplek dari

hewan dan tumbuhan mikrobenthik yang berasosiasi dengan lumpur di dasar kolam.

Implikasi Penebaran Ikan Bandeng

Penebaran Ikan Bandeng dan Hubungannya dengan Pemanfaatan Plankton Fitoplankton merupakan dasar di dalam rantai makanan pada ekosistem perairan sebagai produsen yang menduduki tingkat trofik pertama. Fitoplankton akan dimakan/dimangsa oleh zooplankton, atau ikan planktivora yang kemudian akan dimangsa oleh ikan karnivora atau predator lainnya, yang akan mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi (Molles 2005).

Ikan bandeng yang ditebar di Waduk Djuanda memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ketersediaan sumberdaya makanan yang ada, sehingga dapat mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan yang terjadi cukup pesat. Pertumbuhan panjang spesifik (SGR%) mencapai 0,26-1,1%/hari dengan laju pertambahan

panjang harian mencapai 0,2-2,1 mm/hari, dan koefisien laju pertumbuhan (K)

(38)

tingkat pemanfaatan berdasarkan luas relung makanan mencapai 0,30-0,68 dan

efektivitas pemanfaatan sebesar 0,15-2,58. Semua jenis fitoplankton dan

zooplankton yang terdapat diperairan waduk dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan ikan bandeng. Fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dapat dimanfaatkan sebagai makanan ikan bandeng dengan nilai indeks bagian terbesar mencapai 10,05-31,12%. Tidak dijumpai hasil yang menunjukkan perbedaan

dalam pemanfaatan makanan, berdasarkan kelompok ukuran kelas panjang ikan. Seluruh kelompok ukuran ikan bandeng di waduk dapat memanfaatkan ketersediaan plankton yang ada sebagai makanannya. Perubahan jenis makanan lebih dikarenakan karena proses adaptasi terhadap perubahan komposisi kelimpahan makanan dan kebiasaan makan ikan tersebut. Ikan bandeng ukuran dewasa (kelompok ukuran 19-26 cm dan 27-34 cm) bahkan mampu memanfaatkan

makanan yang ada di dasar perairan waduk, seperti chironomus, detritus, dan cacing.

Kelimpahan rata-rata fitoplankton selama penelitian berkisar antara 344.294-856.361 sel/L. Kelimpahan fitoplankton yang ada saat ini relatif lebih

rendah bila dibandingkan dengan kelimpahan fitoplankton sebelum dilakukan penebaran ikan bandeng. Berdasarkan hasil penelitian Kartamihardja dan Krismono (2003) kelimpahan fitoplankton berkisar antara 586.111-1.519.309 sel/L, sedangkan hasil penelitian Umar et al. (2004) kelimpahan fitoplankton di Waduk Djuanda berkisar antara 705.712-1.293.470 sel/L. Penurunan kelimpahan

fitoplankton yang terjadi diduga terkait dengan penebaran ikan bandeng. Penurunan kelimpahan fitoplankton akibat pemanfaatan oleh ikan pemakan plankton masih perlu dikaji lebih dalam melalui aliran energi dan biomassa yang terbentuk (Kartamihardja 2007).

Ikan bandeng tergolong ikan planktivora, di perairan Waduk Djuanda ikan ini dapat memanfaatkan fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang melimpah akibat respon dari proses eutrofikasi yang tinggi. Proses penyuburan perairan (eutrofikasi) yang disebabkan oleh beban masukan unsur hara N dan P merupakan masalah umum yang sering dijumpai di perairan tawar. Akibat eutrofikasi tersebut adalah terjadinya pertumbuhan alga yang cepat dan melimpah (algae

(39)

dan Oscillatoria. Melimpahnya alga tersebut umumnya tidak disukai karena akan mengganggu keseimbangan kandungan oksigen terlarut harian dan menyebabkan permukaan insang dari beberapa jenis ikan pemakan plankton di permukaan menjadi tertutup. Cyanobacteria juga menghasilkan toksin bersifat racun terhadap organisme akuatik maupun plankton lain (Tjahjo & Purnamaningtyas 2009). Kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan fitoplankton tersebut di atas menjadikan ikan bandeng memiliki fungsi ekologis, karena dapat memperbaiki kondisi kualitas perairan. Menurut Kartamihardja (2009), eutrofikasi di perairan dapat dicegah dengan menggunakan teknologi pengendalian lingkungan melalui penerapan biomanipulasi dengan menggunakan ikan pemakan plankton (plankton

feeder).

Beberapa penelitian tentang pengendalian lingkungan melalui biomanipulasi dengan menggunakan ikan pemakan plankton telah dilakukan seperti yang dilaporkan Hunt et al. (2003), tentang penelitiannya dalam melakukan kontrol blooming Cyanobacterial (Oocystis and Dictyosphaerium) dengan menggunakan Australian gudgeon (Hypseleotris spp.) di Danau Maroon-Queensland. Hasil percobaannya menunjukan pengaruh yang sangat signifikan antara biomassa zooplankton dan kelimpahan ikan, dalam mengontrol kelimpahan fitoplankton terebut.

Ikan bandeng dewasa diketahui juga memakan lumpur di dasar perairan untuk mendapatkan organisme benthik dan detritus. Kebiasaan makan ikan bandeng ini berpotensi untuk mengurangi kandungan organik yang tinggi di dasar perairan, terutatama di zona littoral. Distribusi ikan bandeng sangat luas meliputi seluruh tipe perairan di Waduk Djuanda memungkinkan ikan ini memanfaatkan seluruh zona di perairan waduk. Menurut Kumagai et al. (1985) ikan bandeng mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat baik terhadap perubahan habitat dan makanan.

Penebaran Ikan Bandeng dan Hubungannya dengan Peningkatan Produksi Ikan.

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis dengan preferensi (tingkat kesukaannya) di masyarakat relatif tinggi

Gambar

Gambar 3  Tinggi muka air rata-rata Waduk Djuanda tahun 2006-2009                   (PJT II 2009).
Tabel 2  Nilai rata-rata kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di Waduk  Djuanda periode  Desember 2009-Februari 2010.
Gambar  4  Perkembangan  parameter  físika  perairan  Waduk  Djuanda  pada  setiap  stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010
Gambar 5  Perkembangan parameter kimia perairan Waduk Djuanda pada setiap    stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang telah dilakukan ini membuktikan bahwa beberapa konsentrasi ekstrak daun ketepeng cina ( Cassia alata L.) memberikan pengaruh signifikan terhadap

Semakin tinggi tingkat probabilitas audit dapat mempengaruhi psikologis wajib pajak, antara lain (1) ketakutan wajib pajak bila teraudit dan ada penggelapan pajak, (2) wajib

Konsultan aktif menggali informasi mengenai perkembangan proyek CCDP-IFAD di Kabupaten Yapen, khususnya perkembangan seputar kelompok masyarakat (pokmas) dan

Seluruh Pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Medan khususnya Pegawai Jurusan Departemen Manajemen kak Dani, kak Vina, kak Susi dan Bang Jumadi yang sangat

Komposisi kimia yang terkandung dalam batu ginjal dan saluran kemih dapat diketahui dengan menggunakan analisis kimia khusus untuk mengetahui adanya kalsium, magnesium,

Non Aplicable PT Sateri Viscose International belum melakukan kegiatan penerimaan bahan baku, kegiatan produksi termasuk penjualan (lokal maupun ekspor)1. Bill of

Pada tahap ekstraksi kontur dilakukan analisis objek-objek dengan menggunakan rata-rata nilai keabuan objek dan warna pada tepi objek. Menurut Wang api memiliki panjang

serta logam yang terkandung dalam limbah tersuspensi dengan partikel kotoran yang mela- yang dalam air Penelitian ini dilakukan di Pesantren Tahfizhul Qur’an