• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL Gambaran Umum Kawasan Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL Gambaran Umum Kawasan Penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

14

spesies dalam skala logaritmik. (Lambshed et al. 1983 in Setyobudiandi et al. 2009). Dalam kurva ini sumbu x merupakan kurva rangking spesies dan sumbu y merupakan persentasi komulatif dari jumlah spesies ke-i.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Gambaran Umum Kawasan Penelitian

Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan pantai timur Sumatra Utara. Salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang adalah Kecamatan Tanjung Morawa. Secara geografis Kecamatan Tanjung Morawa berada pada 03030”-11060” LU dan 98046”- 103075” BT dengan ketinggian 30 m dari permukaan laut (BPS Deli Serdang 2012). Salah satu sungai yang ada di Kecamatan Tanjung Morawa adalah Sungai Belumai. Batas daerah aliran Sungai Belumai adalah Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Melaka, Sebelah Selatan berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Ular, Sebelah Barat berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Batang Kuis dan Sebelah Timur berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Ular.

BPDAS Wampu Sei Ular menerangkan bahwa berdasarkan hasil analisa Sistem Informasi Geografis dan survey Lapangan, DAS Belumai terbagi atas 5 kecamatan yaitu Kecamatan Batang Kuis, Kecamatan Sibiru-biru, Kecamatan STM hulu, Kecamatan STM Hilir dan Kecamatan Tanjung Morawa. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengambil 2 kecamatan yaitu stasiun 1 di Kecamatan STM Hilir dan Stasiun 2, 3, dan 4 di Kecamatan Tanjung Morawa.

Jenis-jenis kegiatan yang ada di sepanjang aliran Sungai Belumai yaitu Stasiun I hanya dijumpai beberapa perumahan warga yang jarak antar rumah agak berjauhan dan sedikit terdapat aktivitas masyarakat, sedangkan pertengahan dari Stasiun 1 menuju ke Stasiun 2 dijumpai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) untuk Wilayah Kecamatan Tanjung Morawa dan Penambangan Pasir. Stasiun II terdapat Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA), rumah sakit PTPN II dan Pertokoan. Stasiun 2 merupakan akses Jalan lintas Sumatra dan juga pusat kota Tanjung Morawa. Stasiun 3 dan 4 terdapat pabrik sarung tangan, pabrik kertas, pabrik kayu, pabrik pengecoran logam maupun industri rumah tangga. Aktivitas yang terjadi pada setiap stasiun dapat menyebabkan penurunan terhadap kualitas air Sungai Belumai, dan hal ini juga dapat berdampak pada perubahan terhadap morfologi sungai, pencemaran dan erosi. Melcher et al. (2012) mengatakan eksploitasi yang dilakukan secara intensif oleh manusia, seperti aktivitas pertanian, urbanisasi, penggalian sungai, pembendungan, dan penangkapan ikan, akan mempengaruhi morfologi sungai, pencemaran dan perubahan aliran air, perubahan habitat, fragmentasi hidrologi, hubungan biotik, dan erosi.

Di Sepanjang aliran Sungai Belumai banyak dijumpai berbagai kegiatan aktifitas masyarakat maupun industri (Lampiran 2). Salah satu pabrik yang melakukan pembuangan limbah cair di Sungai Belumai yaitu PT. MS PMA tbk, yang bergerak dalam bidang pembuatan sarung tangan. Surat Kabar Harian Andalas tanggal 15 Juli 2013 memberitakan dari hasil wawancara dengan Zainal

(2)

15 Abidin, salah seorang pemerhati lingkungan hidup, PT. MS PMA tbk. membuang limbah cair berwarna putih ke Sungai Belumai dan pada waktu tertentu pabrik juga mengeluarkan warna yang lain. Hal tersebut diduga dapat mengganggu kehidupan ekosistem sungai di sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diperoleh bukti bahwa ikan dominan yang tertangkap disekitar pabrik yaitu ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys sp.) dengan ukuran rata-rata yang cukup besar, dengan panjang rata-rata sekitar 40 cm, Gambar 4. Selain jenis ikan sapu-sapu, ada beberapa jenis organisme yang tertangkap pada saat samling diantaranya ikan betok dan udang di temukan di sekitar penelitian (Lampiran 1).

Stasiun I merupakan daerah perbukitan, di sepanjang tepi sungai terdapat batu-batu besar dengan substrat berbatu. Jenis pohon yang ada di sekitar stasiun 1 adalah Kelapa, Nipah, Sawit, Bambu, Gelegah (tebu hutan), Kapas, dan Durian. Di daerah ini juga ada terdapat 5 kolam pembesaran ikan mas dan petani peternak ayam telur + 200 meter dari tepi sungai dengan jumlah 40 ribu ekor. Stasiun 2, terdapat pemukiman penduduk, perkotaan dan rumah sakit PTPN II. Jarak antara rumah dengan pingir sungai + 10 m, dan jarak rumah sakit ke tepi sungai berjarak + 20 m. Selain itu di tepi sungai juga dibuat kafe yang berjarak 5 m dari pingir sungai, serta pertokoan berjarak 25 m dari tepi sungai. Jenis tumbuhan yang ada di sekitar stasiun pengamatan yaitu Pinang, Pisang, Papaya, Gelegah, dan rumput liar.

Stasiun 3, pada bagian kanan dan kiri sungai terdapat beberapa pabrik, dan perumahan. Jarak dari pabrik ke pingir sungai + 5 m, dan perumahan penduduk sekitar + 15 m dari pingir sungai. Jenis tumbuhan yang ada di sekitar lokasi pengamatan yaitu Bambu, Pisang, Gelegah, dan Durian. Stasiun 4, pada stasiun ini masih ditemukan pabrik dengan jarak + 10 m dari tepi sungai. Beberapa rumah penduduk ditemukan berjarak + 3 m dari tepi sungai. Pepohonan yang ditemukan yaitu Melinjo, Kelapa, Pisang, Bambu, dan Gelegah.

Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belumai

Parameter fisika kimia merupakan parameter-parameter penting yang dapat menujang kehidupan organisme di perairan. Niewolak (1999), menyatakan ekosistem sungai sangat rentan terhadap pengaruh perubahan fisika, kimia dan bakteri. Nilai masing-masing stasiun hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan Sungai Belumai dapat dilihat pada Tabel 3.

(3)

16

Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di Sungai Belumai, beberapa parameter kualitas air menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi yang cukup tinggi. Konsentrasi COD telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam PP RI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Tabel 3 Nilai rata-rata parameter fisika Sungai Belumai

Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

FISIKA

Suhu air oC 28 28 29 29

Kec. Arus m/detik 0.49 0.43 0.58 0.31

Lebar sungai M 21.67 20.14 20.50 23.33 Kedalaman M 2.7 2.5 2.6 3.1 Kekeruhan NTU 163.57 242.60 219.66 219.16 KIMIA pH - 6.7 6.6 6.9 6.7 DO mg/L 7.01 7.56 7.42 6.60 COD mg/L 35.64 42.01 39.86 39.42 TOM % 14.80 14.72 15.79 15.90 Substrat Liat % 10 11 10 12 Debu % 82 76 74 62 Pasir % 8 13 16 26 Suhu

Suhu air pada setiap stasiun berkisar 280C-290C (Gambar 5). Berbedaan nilai tersebut diduga disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan maupun perbedaan kondisi lingkungan di setiap stasiun. Suhu yang relatif rendah didapatkan pada pengambilan sampel di pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB dan suhu tertinggi didapatkan pada pengambilan sampel siang hari sekitar pukul 12.00 WIB, namun demikian suhu rata-rata dari setiap stasiun terlihat relatif sama. Peningkatan suhu air akan mempengaruhi reaksi kimia dan berhubungan dengan penurunan kualitas air dan status ekologi air tawar (Whitehead et al. 2009).

(4)

17 Kekeruhan

Sebaran nilai kekeruhan di setiap stasiun pengamatan mengalami peningkatan nilai kekeruhan, hal ini disebabkan oleh waktu pengambilan sampel air dimana waktu penggambilan dilakukan pada saat satu hari setelah hujan sehingga nilai kekeruhan meningkat. Stasiun 1, memiliki nilai konsentrasi kekeruhan yang rendah dan semakin meningkat ke arah hilir yaitu Stasiun 2,3, dan 4 (Gambar 6). Tingginya nilai kekeruhan di bagian hilir dari masukan arah hulu yang dibawa oleh arus serta adanya kegiatan disekitar sungai yang masuk ke dalam perairan melalui rembesan air hujan. Manan (2010) mengatakan Sungai Metro Malang telah mengalami penurunan kualitas perairan akibat adanya masukan bahan organik dan tingginya tingkat kekeruhan. Nilai kekeruhan di Sungai Metro Malang mengalami peningkatan ke arah hilir, dimana semakin ke arah hilir beban masukan semakin tinggi sehingga tingkat kekeruhan semakin meningkat.

Gambar 6 Sebaran nilai rata-rata kekeruhan pada stasiun pengamatan Nilai pH

Nilai pH menunjukkan derajat asam dan basa suatu perairan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Dalam air yang besih nilai pH akan bersiifat netral dan biasanya ditunjukkan angka 7, dimana didalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- yang berada dalam keseimbangan. Apabila terjadi peningkatan terhadap ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun sehingga disebut larutan asam sedangkan apabila ion hidrogen menurun akan menyebabkan nilai pH naik dan disebut dengan basah. Menurut Yisa dan Jimoh 2010 menjelaskan bahwa pH perairan adalah indikator penting dari penentuan kualitas air dan peningkatan pencemaran di sungai. Organisme air dapat hidup pada suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah.

Nilai pH dari setiap stasiun berkisar antara 6,6-6,9 (Tabel 3). Nilai pH yang terukur selama penelitian menunjukkan kisaran yang tidak begitu bervariasai antar stasiun maupun antar ulangan (Gambar 7). Boyd (1988) mengatakan semakin besar kandungan bahan organik akan mengakibatkan perairan bersifat

(5)

18

asam karena kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan bakteri pengurai membutuhkan oksigen yang tinggi dalam perairan dan melepaskan CO2 yang tinggi. pH air kurang dari 5 dan lebih besar dari 9 biasanya perairan tersebut telah tercemar berat sehingga kehidupan biota air akan terganggu dan tidak layak digunakan untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan PP RI no.82 tahun 2001 kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu kualitas air, kisaran pH yang diperbolehkan yaitu 6-9.

Oksigen terlarut (DO)

Nilai oksigen terlarut di Sungai Belumai yang diperoleh masih mendukung kehidupan Makrozoobentos di perairan. Dilihat dari gambar 8, nilai DO di stasiun 2 lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh kondisi di sekitar sungai dan waktu pengambilan.

Gambar 8 Sebaran nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan

Stasiun 2 merupakan lokasi yang padat penduduk, di pinggiran sungai telah ditemukan banyak perumahan masyarakat. Pohon-pohan yang di pinggiran sungai telah beralih fungsi menjadi lokasi perumahan yang menyebabkan proses difusi DO dari udara ke perairan lebih tinggi akibat dari bukaan lahan. Selain itu tingginya DO di stasiun 2 dipengaruhi oleh waktu pengambilan, sampel di ambil pada pukul + 11.00 Wib, dimana pada waktu tersebut proses fotosintesis

(6)

19 meningkat dibandingkan pada stasiun lainnya. Rendahnya nilai DO stasiun 4 lebih disebabkan oleh tingginya bahan organik yang masuk ke perairan sehingga sebagian besar oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam proses metabolisme bahan organik. Pradhan et al. (2005) dari hasil penelitian di Sungai Bagmati Nepal, bahwa tingginya nilai DO di Sungai Bagmati disebabkan oleh kecepatan arus sehingga proses aerasi meningkat, dan penurunan oksigen disebabkan oleh masukan beban pencemar.

Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Organik Matter (TOM)

Pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) di air dan Total Organik Matter (TOM) di sedimen bertujuan untuk mengetahui gambaran dari kandungan bahan organik yang ada diperairan. Menurut Buckman dan Brady (1982) bahan organik merupakan bagian dari penyusun komponen sedimen yang berasal dari sisa-sisa makhluk hidup. Jumlah dari bahan organik yang ada diperairan dapat menentukan tingkat kesuburan dari perairan itu sendiri. Salah satunya masukkan bahan organik tersebut bisa dari masukan run-off daratan dan proses pembusukan organisme yang telah mati. Kandungan bahan organik di Sungai Belumai dapat dilihat dari pengukuran COD di air dan TOM di sedimen. Nilai rata-rata COD untuk setiap stasiun berkisar 35.64 mg/l-42.01mg/l, dan nilai rata-rata TOM berkisar antara 14.72-15.90 % (Gambar 9).

Gambar 9 Sebaran nilai rata-rata COD & TOM pada stasiun pengamatan Dilihat dari Gambar 9, konsentrasi kandungan bahan organik baik di permukaan (COD) maupun di dasar (TOM) pada stasiun 1 lebih sedikit dibandingkan stasiun 2, 3, 4. Rendahnya kandungan bahan organik di hulu karena daerah tersebut lebih sedikit mendapatkan masukan bahan pencemar organik dibandingkan dengan stasiun yang lainya. Semakin kearah hilir tingkat masukan bahan organik semakin tinggi yaitu dari limbah perumahan, perkotaan maupun industri di sekitar sungai. Menurut Al shami et al. (2009) tingginya nilai COD di perairan disebabkan oleh banyaknya bahan-bahan pencemar yang masuk ke perairan khususnya bahan pencemar organik dari limbah rumah tangga, industri, persawahan dan budidaya perairan. Effendi (2003) mengatakan dari hasil UNESCO/WHO/UNEP, bahwa Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 kelas 1, yang diperuntukkan sebagai

(7)

20

sarana air minum, nilai COD yang diperbolehkan yaitu < 10 mg/L. berdasarkan pertimbangan tersebut maka stasiun 2 yang terdapat kegiatan PDAM telah melewati ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan, dimana kandungan COD yang diperoleh yaitu 42,01 mg/L.

Tekstur substrat

Pungukuran tekstur substrat dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis substrat dengan kelimpahan makrozoobentos. Dahuri (1993), menyatakan bahwa tekstur tanah adalah perbandingan relatif dari berbagai gabungan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi liat, debu dan pasir.

Keadaan sedimen merupakan faktor pembatas distribusi bentos dimana menurut Dudgeon (1984) bahwa sedimen yang terganggu kestabilannya pada musim hujan, sangat mempengaruhi keberadaan bentos. Hasil pengukuran tekstur substrat (Gambar 10) di Sungai Belumai menggunakan segitiga Millar terdiri dari tiga fraksi yaitu persen liat, debu, dan pasir. Dari masing masing stasiun berdasarkan persentasi yang didapat, stasiun 1 tergolong kedalam pasir berlempung, dan stasiun 2, 3, dan 4 tergolong lempung berpasir. Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung arus. Apabila arus kuat maka partikel yang mengendap adalah partikel berukuran lebih besar, sebaliknya pada tempat yang arusnya lemah, maka yang akan mengendap adalah lumpur halus.

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian di Sungai Belumai terdiri atas 3 kelas (Gastropoda, Insekta dan Oligochaeta). Stasiun I jumlah genus yang di peroleh selama pengamatan ada 5 genus yaitu Branchiura sp., Chironomus sp., Lumbricus sp., Melanoides sp., dan Bellamya sp. Stasiun II jumlah genus yang diperoleh selama penelitian ada 4 genus yaitu Branchiura sp.,

(8)

21 Lumbricus sp., Limnodrilus sp., dan Goniobasis sp. Stasiun 3 jumlah genus yang diperoleh selama penelitian ada 5 genus yaitu Branchiura sp, Lumbricus sp, Limnodrilus sp, Goniobasis sp, dan Tubifex sp. Stasiun 4 jumlah genus yang diperoleh selama penelitian ada 6 genus yaitu Branchiura sp., Lumbricus sp., Limnodrilus sp., Goniobasis sp., Chironomus sp., dan Goniobasis sp. Jenis penyebaran yang merata dari setiap stasiun terlihat dari Kelas Oligochaeta yaitu Branchiura sp., dan Lumbricus sp. (Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah individu yang ditemukan di Sungai Belumai

Kelas Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Gastropoda Bellamya sp. 2 0 0 0 Goniobasis sp 0 19 8 2 Melanoides sp. 4 0 0 0 Oligochaeta Branchiura sp. 2 5 15 48 Limnodrilus sp. 0 8 9 21 Lumbricus sp. 4 24 3 20 Tubifex sp. 0 0 3 2 Insekta Chironomus sp. 5 0 0 3

Kelas Gastropoda khususnya jenis Melanoides sp., dan Bellamnya sp. hanya dijumpai pada bagian hulu. Bagian hulu dari Sungai Belumai memiliki kecepatan arus yang relatif deras dan banyak terdapat batu-batu besar dan banyak ditumbuhi pepohonan di tepi sungai, serta masyarakat banyak bercocok tanam, sehingga mempercepat peningkatan bahan organik. Meningkatnya bahan organik tersebut dapat memberikan nutrisi bagi organisme makrozoobentos. Kecepatan arus yang sangat tinggi dapat menghayutkan makrozoobentos yang tidak melekat kuat di bebatuan, maka dari itu kelompok dari Gastropoda seperti Melanoides sp., dan Bellamya sp. yang hidupnya melekat di bebatuan dapat mempertahankan diri pada arus yang deras.

Sastrawijaya (1991) mengatakan jenis Chironomous sp. tergolong sebagai indikator pencemaran berat dan dapat hidup pada kondisi oksigen yang terbatas seperti di daerah yang mengalami pencemaran organik tinggi. Ciri-ciri dari Chironomous sp. yaitu Larva dengan proleg di thorax pertama, segmen-segmen di perut tanpa penonjolan di bagian depan. Tubuh agak sedikit kaku, dengan diameter yang sama, bentuk kepala sangat berkarakter, anal gill seperti sosis di segmen terakhir, warna merah cerah dan jenis tersebut tergolong kedalam jenis organisme yang toleran terhadap bahan pencemar.

Siahaan et al. ( 2012) mengatakan kepadatan Branchiura sp., dan Lumbriculus sp. yang sangat tinggi di Sugai Cisadane mengindikasikan adanya pencemaran organik. Branchiura sp memiliki ciri-ciri 25 - 40 % posterior tubuh terdapat insang ventral dan dorsal pada tiap ruasnya, jumlah insang 40 – 140 pasang, panjang tubuh 20 – 185 mm dan ciri-ciri dari Lumbriculus sp. yaitu reproduksi seksual, bentuk setae meruncing, berwarna merah kecoklatan dengan panjang kurang dari 8 cm, Setae di bagian posterior dari clitellum bifurcate, mempunyai beberapa rambut / setae.

Menurut Hawkes (1979), meningkatnya kandungan bahan organik di perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan

(9)

22

tercemar salah satunya adalah jenis Tubifex sp. Sastrawijaya (1991) mengatakan makrozoobentos pada ekosistem perairan sungai dari spesies Tubifex sp. dan Melanoides sp. merupakan spesies indikator yang dicirikan dengan oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel tersuspensi tinggi. Cacing yang panjangnya antara 30 – 100 mm dimana ujung anteriornya selalu terbenam di dasar perairan, berwarna merah, pink, kadang terbungkus suatu selubung (pipa) yang ujung posteriornya dilambaikan untuk memperoleh oksigen. setae di bagian dorsal berbeda dengan yang di bagian ventral, karena setae di bagian ventral selalu bercabang dua sedangkan bagian dorsal bercabang dua atau tiga, mampu hidup dalam kondisi anaerob selama 48 hari pada suhu 0 – 20C. Organisme ini tergolong kedalam jenis organisme yang toleran terhadap bahan pencemar.Melanoides sp. memiliki ciri-ciri cangkang menara kecil dengan spire yaang panjang dan gelung terakhir sedang, berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan, tinggi 30-35 mm, diameter sampai 10-12 mm, dihiasi bintik-bintik coklat tua kehitaman, permukaan umum beralur lingkar, seluk 10-15, seluk akhir agak besar, seluk bagian puncak berusuk tegak. Umbilikus tertutup dan hampir selalu dilingkari sabuk coklat kehitaman, mulut bundar telur dilingkari sabuk coklat hitam.

Edmonson (1963) mengatakan ciri-ciri dari jenis Goniobasis sp. yaitu ukuran tubuh berkisar antara 2-3 cm, tipe cangkang memanjang, bewarna coklat dengan garis-garis coklat, cangkang kecil, bagian permukaan cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan. Celah mulut sempit dengan tipe apeks tumpul. Hutchinson (1993), menyatakan jenis Goniobasis sp. melimpah pada perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir.

PEMBAHASAN

Hubungan parameter Fisika-Kimia dan Makrozoobentos

Butcher et al. (2003) menyatakan kesehatan suatu perairan adalah gambaran dari integritas parameter fisika, kimia, dan biologi dari suatu perairan. Berdasarkan nilai parameter fisika-kimia, dan biologi (makrozoobentos) pada setiap stasiun pengamatan diperoleh kesamaan pengelompokan habitat (Gambar 11). Nilai masing-masing stasiun dari hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan Sungai Belumai menunjukkan adanya pola kemiripan antara parameter fisika-kimia dengan biologi (makrozoobentos). Hal ini menunjukkan bahwa parameter fisika kimia yang diukur mempunyai pengaruh terhadap keberadaan makrozoobentos di perairan Sungai Belumai.

Arus dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan. Pergerakan air yang lambat menyebabkan partikel-partikel halus mengendap sehingga detritus melimpah, dan Arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan yang lunak. Penurunan kualitas air terjadi seiring peningkatan laju sedimentasi sehingga menurunkan kualitas habitat biota akuatik (Wohl 2006). Nilai kekeruhan juga mempengaruhi keberadaan dari jenis organisme akuatik, tingginya nilai kekeruhan di Sungai Belumai kemungkinan yang menyebabkan keanekaragaman makrozoobentos dari jenis yang sifatnya intoleran tidak ditemukan, tingginya kekeruhan di perairan mempersulit penetrasi cahaya untuk menembus dasar perairan sehingga proses fotosintesis tidak berjalan dengan sempurna yang mengakibatkan kandungan oksigen semakin berkurang sehingga

(10)

23 jenis-jenis organisme akuatik yang menjadi faktor pembatas adalah oksigen akan ikut berkurang. Rachman dan Winanto (2009), mengatakan dengan adanya zat-zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan pada perairan, sehingga menurunkan produktivitas organisme akuatik.

Hubungan yang tampak antara komunitas makrozoobentos dengan parameter kualitas air dari Gambar 11, dengan menarik garis putus-putus pada dendrogram fisika-kimia di 0,3 % dan dendrogram makrozoobentos di 60% dapat di golongkan menjadi 2 kelompok. Faktor yang mempengaruhi pengelompokan tersebut diantaranya ketidaksamaan nilai Kekeruhan. Nilai kekeruhan di kelompok A lebih rendah dari pada kelompok B, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi keberadaan makrozoobentos. Sesuai dengan hasil yang ditampilkan pada dendogram makrozoobentos dimana yang membedakan pengelompokan tersebut yaitu dari jenis organisme yang bersifat fakultatif. Jenis-jenis yang bersifat fakultatif yang diantaranya Jenis-jenis Bellamnya sp., dan Melanoides sp. tidak ditemukan.

Dilihat berdasarkan beban masukan di sekitar Sungai Belumai yang menyebabkan perbedaan pengelompokan tersebut dapat dikatakan karena perbedaan beban masukan. Semakin tinggi beban pencemar yang masuk ke perairan akan menurunkan kualitas perairan, penurunan kualitas perairan tersebut akan mempengaruhi keberadaan organisme akuatik khususnya organisme makrozoobentos. Masukan beban pencemar di kelompok B yaitu dari limbah perumahan, industri, perkotaan maupun pertanian menyebabkan penurunan keanekaragaman makrozoobentos dari jenis-jenis yang bersifat intoleran maupun fakultatif.

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Persentase dari komposisi dari masing-masing kelas adalah kelas Oligochaeta 79%, kelas Gastropoda 17%, kelas Insekta 4%. Jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun berbeda-beda (Tabel 4), perbedaan jumlah individu yang ditemukan pada setiap stasiun kemungkinan dapat disebabkan oleh jumlah beban masukan bahan organik, perbedaan jenis substrat, serta pengaruh dari perubahan kondisi lingkungan. Adanya peningkatan Gambar 11 Pengelompokan stasiun berdasarkan fisika-kimia (kiri) dan

(11)

24

aktivitas manusia yang menghasilkan sumber polusi organik secara terus menerus masuk ke dalam perairan akan berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpakan makrozoobentos. Populasi bentos dapat terus bertambah selama pemasukan bahan makanan terjamin serta kondisi substrat dasar perairan yang mendukung.

Kelas Oligochaeta memiliki persentase tertinggi yaitu 79 %. Gaufin 1958 in Wihlm (1975) mengatakan Organisme toleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang luas sehingga mampu berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar sedang maupun tercemar berat. Jenis organisme tolean terhadap bahan pencemar diantaranya dari kelas oligochaeta seperti Chironomous riparium, Limnodrillus sp., dan Tubifex sp. Kelompok Oligochaeta merupakan petunjuk adanya pencemaran organik yang sering digunakan sebagai bioindikator ekosistem sungai yang tercemar. Setiawan (2009) mengatakan dari Kelas Oligochaeta bersifat toleran dan mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang mempunyai bahan organik tinggi serta memiliki kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga ia dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim.

Kurva k-dominansi

Berdasarkan hasil yang ditampilkan oleh dendrogram analisis kluster (Gambar 11), kelompok A memiliki ketidaksamaan habitat terhadap kelompok B. Lambshead et al. 1983 in Warwick 1986, menyatakan untuk mengetahui kemungkinan adanya perubahan komunitas organisme pada suatu perairan, dapat dilakukan menggunakan kurva k-dominansi. Kurva k-dominansi merupakan suatu kurva yang menggambarkan profil dari keanekaragaman dan dominansi jenis. Setyobudiandi et al. (2009), mengatakan stasiun yang memiliki komunitas bentos dengan keanekaragaman lebih tinggi cenderung berada di posisi lebih dibawah dari stasiun yang memiliki komunitas bentos dengan keanekaragaman lebih rendah dari gambar yang ditampilkan oleh kurva k-dominansi. Dari penjelasan tersebut Dapat dikatakan bahwa Sungai Belumai, berdasarkan hasil analisis kurva k-dominansi (Gambar 13) terlihat kelompok A tingkat Keanekaragaman lebih tinggi dari pada kelompok B.

Keanekaragaman kelompok A lebih tinggi, menandakan kondisi lingkungan tersebut masih cukup baik, komunitas tergolong stabil dan belum

(12)

25 memperlihat tekanan ekologis. Tingginya Dominasi jenis di kelompok B, menggambarkan kondisi peraikan tidak stabil mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan ekosistem yang disebabkan oleh adanya tekanan dari lingkungan.

Gambar 13 Kurva k-dominansi makrozoobentos

Tingginya dominansi jenis di kelompok B dari Kurva k-dominansi dikarenakan kelompok B memiliki jenis organisme yang tahan terhadap bahan pencemar. Nilai dominansi tersebut meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas yang ada di sekitar sungai yang mengakibatkan banyaknya masukan bahan pencemar. Kelompok B merupakan daerah yang padat aktivitas yaitu daerah pusat pertokoan, perumahan, industri dan rumah sakit berada di daerah tersebut. Odum (1994), menyatakan keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi apabila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.

Tingginya aktivitas yang ada di sekitar sungai menyebabkan adanya individu tertentu yang dapat bertahan hidup, sehingga jumlahnya lebih banyak. Suatu spesies dapat menjadi dominan di lingkungannya karena adanya faktor fisika, kimia serta habitat yang cocok bagi organisme tersebut. Masukan bahan organik yang tinggi dan didukung oleh kondisi substrat lumpur berpasir menyebabkan organisme dari kelas oligochaeta mampu beradaptasi dengan baik. Berdasarkan pengukuran substrat dengan bahan organik yang diperoleh yang dihubungkan terhadap kelimpahan makrozoobentos maka rendahnya kelimpahan makrozoobentos pada substrat pasir berlempung disebabkan oleh rendahnya jumlah bahan organik di setiap stasiun. Ardi (2002) in Rosyadi (2009) mengatakan bahwa substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan benthos pada daerah berpasir mengubur diri dalam substrat. Dapat diduga bahwa dari hasil penelitian ini, substrat lempung berpasir lebih disukai oleh makrozoobentos Oligochaeta dibandingkan pasir berlempung. Keberadaan dari kelas Oligochaeta mencapai 79%.

Gambar

Gambar 8 Sebaran nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan
Tabel 4 Jumlah individu yang ditemukan di Sungai Belumai

Referensi

Dokumen terkait

Pipa bor terjepit adalah masalah yang serius dan terjadi pada operasi pemboran, pipa bor terjepit akan berpengaruh pada kenaikan estimasi biaya operasional dan mengakibatkan

Fenomenologi tepat digunakan untuk mengungkapkan kesadaran masyarakat Gresik mengartikan harga dalam tradisi lelang bandeng.. Fenomenologi mencari pemahaman manusia

Dari segi isi program, aplikasi ini mempunyai rambu-rambu lalu lintas sudah memadai, penggunaan tombol sudah sesuai dengan fungsinya, tingkat kesulitan pada aplikasi ini sudah

Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada celah Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah

Karena pusat penelitian dan pengembangan kayu Kalimantan ini kaitannya erat sekali dengan lingkungan khususnya mengenai potensi sumber daya kehutanan, maka konsep perencanaan

Pada bunga betina dengan ukuran lebih kecil dari 0,11 cm hingga 0,24 cm memiliki diameter bakal buah dan panjang tangkai dan kepala putik yang kurang dari 0,001 cm.. Tangkai

Meskipun emisi senyawa di perkebunan mengalami peningkatan dari tahun 2014 ke tahun 2015 tetapi nilai emisi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dari emisi