• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah tentang kegamangan identitas Gereja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah tentang kegamangan identitas Gereja"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah tentang kegamangan identitas Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) yang terlihat dalam tindakan sosial Gereja. Tindakan sosial yang dimaksud adalah fungsi Gereja membangun masyarakat sebagai bagian dari struktur masyarakat. Dalam pembangunan Masyarakat meliputi tindakan terkait dengan struktur pemerintahan, asosiasi, dan diakonia Gereja. Dalam hal ini Gereja juga bisa dikatakan sebagai Civil Society.1 Dalam tindakan sosial demikian Gereja-gereja di Jawa, khususnya GKJTU, mengalami kegamangan. Ada jarak antara Kristen Jawa dengan budaya Jawa. Model pakaian dan tradisi-tradisi gereja yang berbeda dengan budaya Jawa, serta adanya penolakan ritus-ritus Jawa merupakan indikasinya. Di sisi lain Kristen Jawa merasa tidak mungkin terpisah dari budaya Jawa. Ada upaya Gereja-gereja Jawa (khususnya GKJTU) untuk menjadi Jawa. Upaya itu dilakukan mulai dengan penggunaan bahasa Jawa, musik tradisional dalam peribadahan, sampai upaya kontekstualisasi teologia. Ketegangan atau biner yang terjadi berpengaruh dalam tindakan sosial Gereja.

Untuk tema relasi Gereja dan budaya Jawa sudah banyak yang meneliti. Diantaranya Soetarman Soediman Partonadi, Lidia Herwanto, dan Pudjo Santoso.2 Soediman dan Herwanto meneliti tentang kehidupan Kyai Sadrach sebagai tokoh Kristen Jawa, Santoso

1 Mery L. Y. Kolimon, Tugas Gereja Dalam Penguatan Masyarakat Sipil, dalam John Campell-Nelson,

Julianus Mojau, Zakaria J. Ngelow (eds), Teologi Politik Panggilan Gereja di Bidang Politik Pasca Orde Baru (Makasar: OASE INTIM, 2013), 223-230.

2 Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya suatu Ekspresi

Keristenan Jawa pada Abad XIX, (Jakarta dan Yogyakarta:BPK Gunung Mulia dan Taman Pustaka Kristen,

2001); Lydia Herwanto, Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka, (Jogjakarta: Matabangsa, 2002); Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya, Jurnal Bio Kultur Vol.II. No.1. (Januari-Juni, 2013), 85-104

(2)

2

fokus pada inklulturasi budaya Jawa di GKJW.3 Yang membedakan penelitian ini adalah fokus penelitian terhadap identitas yang gamang dalam tindakan sosial Gereja. Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada teori Richard Jenkins,4 dan untuk melihat kegamangan identitas itu dipakai teori hibriditas Homi K. Bhabha.5 Sedang untuk mengukur tindakan sosial Gereja dipakai teori dari Talcott Parsons.6

Tentang identitas Jenkins menjelaskan bisa dengan cara sederhana namun juga bisa kompleks. Identitas adalah tentang kapasitas dari manusia itu sendiri. Identitas adalah tentang siapakah siapa itu.7 seseorang bisa dikenali dari passport yang dimilikinya, yang artinya sangat simpel, namun juga bisa digali lebih dalam dari pada yang ada di passport tersebut. Sedang identitas sosial terlihat dalam tindakan dari individu-indiviu yang di dalamnya.8 Identitas sosial yang menjadi batas dan dorongan dari tindakan individu.

Di masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil. Dalam satu masyarakat terdapat kelompok marga-marga, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan bahkan beberapa suku. Setiap kelompok memiliki norma dan tujuan yang berbeda. Namun demikian kelompok-kelompok tersebut tetap ada relasi dan pemersatu sehingga membentuk masyarakat.

Parsons menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai struktur masyarakat, yang memiliki keterkaitan. Dalam kehidupan masyarakat setiap struktur melakukan tindakan berdasarkan fungsinya masing-masing.9 antar struktur yang ada dalam masyarakat memiliki ikatan dan keterkaitan dalam membangun masyarakat bersama. Itu artinya jika ada struktur yang tidak berfungsi dianggap bukan bagian dalam masyarakat.

3 Santosa, “Inkulturasi Budaya Jawa …”, 85-104. 4 Richard Jenkins, Social Identity (Routledge, 2008), 5.

5 Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London and Newyork: Routledge, 1994).

6Talcott Parsons, The Structure of Social Action: A Study in Social Theory with Special Reference to a

Group of Recent European Writers (Amerika: McGraw-Hill Book Company, Incorporated, 1937), 44.

7 Jenkins, Social Identity, 5. 8 Jenkins. Social Identity, 6. 9 Parsonss, The Location …, 5.

(3)

3

Pandangan Parsons ini juga dipengaruhi oleh Max Weber.Weber berpendapat bahwa ajaran Gereja, khususnya Calvinis, sangat mempengaruhi masyarakat untuk membentuk semangat kapitalis. Dalam hal ini Weber yakin bahwa agama memiliki tindakan penting terhadap perubahan sosial. Apa yang terjadi dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tindakan agama.10 Perubahan sosial yang disebabkan oleh bidang ekonomi dan politik pun akan mendapat pengesahan dari Agama untuk bisa diyakini masyarakat sebagai kebenaran.11

Kelompok dan masyarakat, atau dalam tataran kelompok masarakat yang lebih, memungkinkan terjadi persinggungan dan benturan. Persinggungan itu sering membuat klasifikasi kelompok dominan dan terjajah. Dominan untuk menyebut kelompok yang menang, sedang terjajah untuk menyebut kelompok yang kalah. Yang menang mendominasi kelompok yang kalah.

Bhabha menjelaskan ketika dua budaya bertemu maka akan terjadi proses percampuran. Percampuran dua budaya akan membentuk budaya baru yang tidak sama lagi dengan kedua budaya asali, disebut budaya Gamang/hibrid. Kegamangan biasa terjadi jika batas kedua budaya sudah mengalami pelenturan dan budaya yang lemah berusaha untuk diterima oleh budaya dominan.12

Kegamangan identitas Gereja dalam tindakan sosial tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya. Dalam sejarah terdapat ajaran atau pengalaman yang mendasari perilaku dan tindakan Gereja. Dengan demikian penelitian ini dimulai dari sejarah berdirinya GKJTU sampai tindakan praktis Gereja sekarang ini. Sedang pembatasan waktu penelitan tindakan sosial diambil satu periode sinode GKJTU, yaitu antara tahun 2013 – 2018.

Sejarah masuknya agama Kristen di Indonesia dibagi menjadi dua periode. Periode pertama masuk bersama Portgis di daerah Indonesia timur, sedang periode kedua bersama

10 MaxWeber, The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (London and New York: Routledge.

1992), 102-120.

11 Max Weber, Sosiologi, Terj. Noorkholish (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 322. 12 Bhabha, The Location of Culture, 94-100.

(4)

4

penjajahan Belanda. Sejarah masuknya kekristenan di Jawa termasuk pada periode ke-dua. Periode kedua ini dibagi dua lagi, yaitu semasa Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan pasca VOC. Pada masa VOC, pekabaran injil masih dibatasi kepada kalangan orang Belanda sendiri dan ada larangan untuk mengabarkan kekristenan di wilayah-wilayah orang Islam, karena dianggap mengganggu kondusifitas bisnis VOC.13

Setelah masa VOC berakhir, situasi masyarakat di Belanda dipengaruhi oleh pencerahan yang terjadi di Eropa. Di masa ini ada semangat untuk lebih menghargai potensi lokal dan cenderung menghargai perbedaan agama. Hal ini berdampak pada terbukanya orang-orang Belanda, yang ada di Indonesia, untuk menerima orang pribumi beragama Kristen.14 Pada masa ini, sekitar Tahun 1905, orang-orang dari Belanda yang datang ke wilayah Hindia Belanda mengalami peningkatan yang luar biasa. Denys Lombard menuliskan:

“ Pada awal abad ke-19, jumlah orang Eropa tidak lebih dari beberapa ribu saja, pada tahun 1850 meningkat menjadi sekitar 22.000 orang… pada tahun 1872 jumlah mereka 36.467 orang; tahun 1882, 43.738 orang; tahun 1892, 58.806 orang; tahun 1905, 80.912 orang. Sebagian besar mereka, seperti dulu, bermukim di Jawa, tetapi sering di luar Batavia.”15

Pengaruh Pencerahan membuat keterbukaan terhadap orang Belanda, sehingga mendorong mereka keluar dari wilayahnya.

Situasi demikian mendorong terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat Jawa. Kelompok Belanda menjadi kelas tertinggi, yang kedua dari orang-orang Cina dan Arab, dan kasta terendah adalah orang-orang pribumi. Sedangkan dalam orang pribumi sendiri terbagi menjadi dua kasta, yaitu priyayi dan Wong cilik. Priyayi adalah orang-orang Jawa yang memiliki tanah atau bekerja di birokrasi pemerintahan, yang artinya dia adalah orang-orang yang menjadi kepercayaan orang Belanda. Sedang Wong cilik adalah orang-orang yang

13 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2004), 46-55.

14 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan …, 75-77.

15 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-batas

(5)

5

pekerjaanya menjadi buruh dan atau petani tanpa kepemilikan tanah. Relasi antara Priyayi dan wong cilik seperti majikan dan pelayan karena dalam pekerjaan kesehariannya mereka memerankan identitas majikan dan pelayan. 16

Orang pribumi yang menjadi Kristen mayoritas dari golongan yang miskin. Banyak di antara mereka adalah para buruh dan petani yang tidak memiliki tanah sendiri. Secara Khusus orang-orang GKJTU dari para buruh perkebunan milik dari Nyonya D.D. Le Jolle. Itu artinya para warga GKJTU mula-mula adalah dari golongan buruh.

Nyonya D.D. Le Jolle bersama Petrus Sedaya, seorang Guru Injil dari Mojowarno, pada tahun 1853 merintis GKJTU. Dia adalah seorang pengusaha perkebunan di desa Simo, Boyolali. Yang menjadi pengikut pertamanya adalah para buruh di perkebunan yang dimiliki. Setelah perkumpulan menjadi besar dilayani oleh Salatiga Zending (sekitar tahun1884-1941). Salatiga Zending adalah persatuan misionaris-misionaris dari Belanda dan Jerman yang berada di wilayah Salatiga. Kemudian pada bulan Maret 1937 berdirilah Sinode GKJTU di wilayah Jawa.

GKJTU sekarang ini adalah salah satu Gereja yang menyatakan diri sebagai Gereja berbahasa dan berbudaya Jawa. Pernyataan itu tertuang dalam rencana Induk Pengembangan (RIP) GKJTU tahun 2003-2028. Namun yang menarik, GKJTU juga menyatakan bahwa dirinya bukanlah gereja etnis, yang artinya bukan gereja milik orang Jawa.17 Di dalam konteks Jawa, GKJTU tergabung di dalam Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa (BMGJ) yang anggotanya ada empat sinode Gereja Jawa: Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ), dan GKJTU. Ke-empat Gereja yang tergabung dalam BMGJ ini juga bersama-sama menyatakan sebagai gereja berbudaya Jawa.

16 Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya (Jakarta dan

Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Taman Pustaka Kristen, 2001), 15.

17 Rencana Induk Pengembangan (RIP) 2003 – 2028 Gereja Kristen Jawa tengah Utara, (Salatiga:

(6)

6

Selain menyadari bahwa GKJTU berada dalam konteks budaya Jawa, dia juga meyakini sebagai bagian dari Indonesia. Keyakinan itu terlihat dalam Tata Gereja GKJTU, dan semua anggota BMGJ, yang disebutkan bahwa asas bernegara dan berbangsa adalah Pancasila.18 Hal ini menggambarkan bahwa GKJTU menyadari dirinya adalah bagian dari Indonesia. Namun tindakan GKJTU untuk keindonesiaan juga gamang sepertihalnya terhadap budaya Jawa.

Kegamangan yang terjadi mengindikasikan adanya kegamangan identitas GKJTU. Ada keraguan budaya antara menjadi Jawa atau menjadi Belanda dalam diri GKJTU. Di atas sudah di jelaskan bahwa motivasi menjadi Kristen adalah demi status sosial yang lebih baik, sehingga perubahan menjadi Kristen adalah perubahan budaya dari Jawa menuju Belanda.. Dalam hal ini Bhabha mengatakan sebagai bentuk penjajahan budaya.19 Penjajahan ini tidak sama dengan penjajahan secara fisik. Penjajahan yang dilakukan adalah penjajahan nilai-nilai dan sistem budaya.20 Adanya anggapan terhadap orang-orang pribumi sebagai bodoh dan tidak terpelajar dari orang-orang Belanda. Edward W. Said menjelaskan bahwa ketika penjajah mengidentifikasi budaya yang dijajah dan menanamkan nilai-nilai pada budaya yang dijajah, maka pada saat itu juga mereka sedang mengidentifikasi budayanya sendiri.21 Di saat para Penjajah mengatakan masyarakat yang dijajah adalah bodoh, itu artinya dia sedang mengatakan bahwa dirinya pintar.

Di dalam interaksi dua budaya ini terjadi proses Mimicry serta hybriditas budaya. Dalam situasi yang baru akan mendorong terjadinya perubahan budaya.22 Menurut Bhabha mimicry adalah sebuah proses peniruan masyarakat terjajah pada budaya penjajah namun

18 Tata Dasar & Tata Laksana Gereja Kristen Jawa Tengah Utara, Bab III, Pasal 5, (Salatiga:

Departemen pelayanan dan penatalayanan GKJTU), 3.

19 Bhabha, The Location of Culture ..., 74.

20 Gaudensio Angkasa, Teori Postkolonial dalam kerangka konsep Identitas, dikutip dari http://indahnyakomunikasi.wordpress.com/komunikasi/komunikasi-massa/teori-postkolonial, diunduh tanggal 05 Desember 2017, jam 21.00 wib.

21 Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan Membongkar Mitos Hegemoni Barat (Bandung:

Mizan, 1995), 68.

22 J.W.M. Bakker, S.J, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar (Yogyakarta & Jakarta: Kanisius dan

(7)

7

tidak sama persis. Selanjutnya mimicry ini akan berubah menjadi budaya hybrid. Sedang yang dikatakan sebagai hybrid adalah perpaduan dua budaya tanpa meninggalkan budaya aslinya.23

Kegamangan bisa terjadi jika batas-batas antar budaya mengalami pelenturan. Pelenturan budaya terjadi dalam kondisi komunitas yang lebih rentan ingin menjauhi kondisi biner (kondisi ketegangan antar dua kutub), di sinilah mimicry dan hybriditas ini terjadi. Hal ini terlihat dalam interaksi antara budaya lokal dan pendatang, tentu batas budaya milik pendatang akan lentur karena mereka harus berinteraksi dengan penduduk lokal. Sedang para pendatang akan merasa gelisah dengan klaim sebagai orang asing dari penduduk lokal. Pendatang akan mencoba mempelajari dan meniru budaya lokal untuk bertahan. Hal inilah yang disebut oleh Bhabha sebagai Mimicry. Sedang ketika peniruan itu menjadi identitas budaya, maka disebut sebagai budaya Hybrid.

Di awal sudah dijelaskan bahwa situasi masyarakat Jawa, saat perintisan GKJTU, terdapat tiga tingkatan status sosial. Tingkat pertama adalah Bangsa Eropa (Belanda), yang merupakan tertinggi. Yang ke-dua adalah kelas asing asia, yaitu orang Cina dan Arab, kebanyakan mereka adalah para pengusaha dan pedagang yang memiliki modal. Sedang kelas ketiga, yang paling rendah dan miskin, adalah kelas pribumi. Interaksi tiga kelas itu tentu terjadi dalam masyarakat Jawa. Namun yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah interaksi kelas Penjajah Belanda dengan Pribumi.

Orang-orang Belanda berpandangan kalau orang pribumi rendah, bodoh, dan kasar. Pandangan ini tercermin dalam sikap orang-orang Belanda yang menutup diri dari orang pribumi. Wanita-wanita Belanda yang ada di Hindia Belanda hanya menikah dengan pria-pria Belanda, dan begitu juga sebaliknya, para pria-pria Belanda menikahi wanita Belanda. Seandainya ada pria Belanda menikahi wanita pribumi itu sebatas dijadikan Gundik (istri

(8)

8

kedua dan terkadang tidak resmi),24 yang diberi julukan Nyai. Selain itu orang-orang Belanda tidak mau berbahasa Melayu, walau bisa berbahasa Melayu, dalam berinteraksi dengan orang pribumi. Mereka merasa terhina jika orang pribumi menggunakan bahasa Belanda.

Kondisi ini membuat orang-orang pribumi, yang ingin naik status sosialnya, mengubah budayanya menjadi atau mendekati budaya Belanda. Upaya ini terjadi pada orang-orang Kristen Jawa. Orang-orang Jawa menaikan kelas sosialnya dengan beragama Kristen, karena dangan menjadi Kristen sama dengan berbudaya Belanda. Posisi mereka berada diantara orang Belanda dan orang Cina-Arab. Gaya berpakaian dan gaya rambut harus berubah, serta ketika di babtis diberikan nama baru. Yang menarik dalam upaya peniruan budaya barat ini orang Kristen Jawa tidak kehilangan ke-jawaannya.25

Dengan begitu, prilaku dan budaya dari orang-orang Kristen Jawa tidak sama lagi dengan orang-orang Jawa yang tidak menjadi Kristen. Namun orang-orang Kristen Jawa pun tidak benar-benar sama dengan Belanda. Situasi ini memunculkan reaksi negatif dari orang-orang Jawa. Orang-orang-orang Jawa original (kalau boleh saya katakan demikan bagi orang-orang Jawa yang tidak beragama Kristen) mengejek orang Kristen Jawa dengan perkataan: Londo wurung, Jawa Tanggung (Jadi Belanda gagal, dan menjadi Jawa setengah-setengah).26 Hal ini menandakan orang Jawa Kristen sudah tidak dianggap orang Jawa.

Demikian juga orang-orang Jawa yang menjadi warga GKJTU. Mereka dari para buruh perkebunan yang miskin berupaya mendekati tuannya dengan beragama Kristen. Dengan beragama Kristen mereka merasa bukan lagi buruh, namun sudah menjadi rekan. Relasi ini menjelaskan jika GKJTU beridentitas berbeda dari orang Jawa namun mereka masih orang Jawa.

24 Lombard, Nusa Jawa, 80. 25 Lombard, Nusa Jawa, 101.

(9)

9

Kegamangan identitas masih terjadi sampai saat ini. Dari sisi teologia GKJTU mengakui bercorak Calvinis, Pietis, dan Kontekstual.27 Hal ini wajar karena peletak dasar teologia GKJTU adalah dari para misionaris Salatiga Zending, yang memiliki latar belakang teologi beragam. Salah satu tanda GKJTU sebagai gereja Calvinis adalah dipakainya Katekismus Heidelberg, yang muncul dari konteks Eropa,28 sebagai bahan ajar gerejawi.29 Bahan ajaran ini. Dibanding dengan Gereja-gereja yang berada dalam BMGJ, hanya GKJTU yang masih konsisten memakai katekismus ini tanpa perubahan apapun.

Di sisi lain GKJTU menyebut diri sebagai Gereja yang kontekstual. Hal ini diwujudkan dengan dibuatnya buku pelengkap Katekismus Heidelberg. Isi buku ini terbagi menjadi beberapa bidang: budaya, kemajemukan agama dan kepelbagaian gereja, ekonomi, politik, serta pengetahuan dan teknologi. Namun ketika dilihat isinya maka tidak bisa dikatakan bahwa GKJTU benar-benar Gereja Jawa, karena dalam ajaran GKJTU terhadap budaya Jawa, warga gereja harus bersikap menguji dan memperbaharui budaya Jawa. Dalam sikap itu terdapat kecurigaan besar terhadap budaya Jawa. Secara jelas pernyataan itu demikian:

“ada dua sikap yang harus dikembangkan oleh orang Kristen dan GKJTU dalam menghadapi budaya. Pertama, menerima semua kebudayaan dengan kritis… sikap kritis dan hati-hati sangat diperlukan. Tugas orang Kristen dan Gereja adalah menguji, apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebenaran firman Tuhan? Dalam proses pengujian itu, orang Kristen dan Gereja harus mampu melakukan pemisahan, mana yang “terang” dan mana yang “gelap”, mana yang perlu disingkirkan, mana yang dipakai, dan mana yang perlu diperbaharui. Kedua, memperbaharui kebudayaan. Harus diakui bahwa setiap kebudayaan mengandung dosa… Tugas orang Kristen dan Gereja adalah memperbaharui kebudayaan dalam terang Injil…”30

Selain itu juga ada pernyataan untuk memanfaatkan budaya Jawa demi kepentingan Gereja: “penggunaan kesenian lokal untuk pewartaan Injil, penggunaan secara selektif berbagai

27 RIP GKJTU. 21-22. Sebagai catatan bahwa saat ini ada segolongan Pendeta yang mulai

mepertanyakan tentang corak Pietis di GKJTU.

28 Th. Van Den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2011),

201-202.

29 RIP GKJTU, 21-22.

(10)

10

bentuk upacara lokal untuk sarana pastoral dengan diisi muatan kritiani, mengadopsi berbagai simbol bahasa dan pakaian dalam kebaktian-kebaktian khusus.”31 Bahasa yang dipilih oleh GKJTU untuk mengungkapkan sebagai gereja kontekstual memposisikan diri sebagai orang di luar konteks yang berupaya masuk dalam konteks.

Dari apa yang diuraikan itu terlihat GKJTU dalam kegamangan identitas. GKJTU masih berusaha memakai ajaran yang lahir dari konteks Eropa, namun tidak benar-benar berbudaya Eropa. Dan di dalam upaya kembali menjadi Jawa pun tidak sepenuh hati. Sehingga hal ini mengakibatkan tidak adanya praktik adat Jawa yang masuk dalam pengajaran dan ritual atau liturgi gerejawi GKJTU.

Dalam konteks Jawa, harusnya GKJTU memiliki fungsi penting dalam membentuk perubahan masyarakat.32 Berada dalam budaya Jawa merupakan keuntungan bagi GKJTU di Indonesia. Perubahan Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan masyarakat di Jawa. Dengan demikian seharusnya GKJTU bisa bertindak untuk menentukan perubahan Indonesia. Menurut Habermas, perubahan sosial akan baik jika muncul dari diskusi semua unsur masyarakat di ruang publik, dan agama sebagai salah satu unsurnya, memiliki tindakan penting.33 Agama akan memberikan nilai-nilai etis. Di ruang publik inilah GKJTU bisa bertindakan. Begitu juga Weber berpendapat bahwa ajaran agama itu sangat meperngaruhi perubahan sosial, baik dari bidang ekonomi maupun etika.34 Berpijak dari teori Weber itu tentu GKJTU memiliki peluang untuk membentuk karakter dan tatanan sosial masyarakat Jawa, lebih luas ke Indonesia, Jika GKJTU mampu memerankan diri dalam identitas

31 RIP GKJTU, 22-23.

32 Mengingat GKJTU berbasis Jawa yang memiliki tindakan penting terhadap situasi sosial Indonesia. 33 Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion Philosophical Essays, Terj. Ciaran Cronin.

(Cambridge: Polity 2008), 114 – 147.

Habermas, Between Naturalism and Religions, 114 – 147.

(11)

11

sosialnya. Dan menurut Parsonss, GKJTU sebagai salah satu struktur dalam masyarakat di Indonesia harus memerankan fingsinya dengan baik.35

Saat ini semua tindakan sosial tersebut belum bisa dilakukan dengan maksimal oleh GKJTU, karena ada kegamangan dalam dirinya. Sampai di sini bisa diketahui bahwa kegamangan identitas terlihat dalam tindakan sosial Gereja. GKJTU sering tidak melakukan apapun ketika ada kebijakan atau paraturan pemerintah yang diskriminatif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kebersamaan di masyarakat. Selain itu GKJTU juga sering diam ketika melihat persoalan yang mengancam masyarakat. Seperti contoh adanya sindikat pelacuran anak yang terjadi diwilayah pelayanan GKJTU. Dalam hal itu tidak ada tindakan apapun dari GKJTU untuk mengatasi persoalan yang ada.36

GKJTU tentu harus melakukan tindakan sebagai pembawa damai bagi masyarakat. Tanpa tindakan itu GKJTU tidak bisa disebut sebagai Gereja. Akan tetapi, untuk bisa bertindak dengan baik GKJTU harus diterima sebagai bagian masyarakat. Jika Gereja dipandang asing, maka tidak bisa melakukan sesuatu bagi masyarakat. Untuk itu GKJTU, sebelum melakukan tugasnya sebagai Gereja, harus menyelesaikan kegamangan identitasnya.

Pertanyaan Penelitian

Dari apa yang telah diuraikan di atas maka pertanyaan yang diteliti jawabannya adalah, bagaimana GKJTU, yang memiliki kegamangan identitas dalam tindakan sosialnya, bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat? Pertanyaan itulah yang menjadi pembatas penelitian ini. Dan dari upaya menjawab pertanyaan itulah akan ditemukan solusi yang tepat untuk kekristenan Jawa, khususnya GKJTU, dalam memberi kontribusi terhadap masyarakat

.

35 Parsonss, The Structure…, 44.

36 Di wilayah Kopeng terdapat penginapan-penginapan yang menyediakan Pekerja seks komersial.

(12)

12

Pembatasan Masalah

Garis sejarah GKJTU dapat dibagi menjadi dua aliran. Aliran Pertama, yaitu yang lebih tua, adalah garis Zending dan yang kemudian adalah garis pasca konflik Gerakan 30 september 1965 (G30S). Garis Zending ini menyebar dari Pemalang, Semarang, Salatiga, Purwodadi, Blora, dan Bojonegoro, sedang garis G30S berada di lereng Gunung Merbabu. Kedua garis ini memiliki karakter yang berbeda terhadap tindakan sosial. Garis G30S lebih terbuka dan membaur dengan masyarakat dibanding dengan garis Zending.

Dalam penelitian ini akan melihat GKJTU yang pernah dilayani oleh Zending. Karena garis Zending memiliki sejarah perjumpaan dengan budaya Belanda secara langsung. Jemaat-jemaat ini pernah dilayani seorang pendeta dari Belanda atau Jerman yang tentunya memiliki corak teologia Eropa.

Namun begitu, sebagai pembanding, juga akan diteliti garis yang kedua juga. Di sini akan dicari bukti tentang kedekatan dengan masyarakat karena identitas yang tidak berbeda. Tentu juga akan diteliti sejauh mana pengaruh budaya Jawa dalam aktivitas gerejawi. Jika ada perbedaan dengan garis yang pertama, itu akan diyakini sebagai bukti bahwa Garis pertama terdapat kegamangan identitas dalam tindakan sosial.

Karena begitu luasnya cakupan wilayah penelitian maka akan digunakan sistem sampling. Akan dipilih beberapa Warga Gereja yang pernah dilayani atau didirikan oleh para Zending. Jemaat-jemaat itu adalah Wonorejo, yang menjadi jemaat pertama di GKJTU, Pemalang, dan Bojonegoro. Sedang untuk wilayah garis kedua akan dipilih beberapa jemaat yang berdiri pasca G30S, yaitu GKJTU Getasan.

Sedangkan bidang yang akan diteliti adalah pengajaran dan kegiatan sosial Gereja. Pengajaran akan dilihat dan diteliti dari bahan ajaran yang dipakai serta pandangan Pendeta terhadap politik dan masyarakat di luar Gereja, sedangkan kegiatan-kegiatan sosial akan diteliti pada aktivitas yang dilakukan terkait dengan persoalan praktis dalam masyarakat.

(13)

13

Untuk tindakan sosial dilihat dalam kurun waktu satu periode sinode GKJTU, antara tahun 2013-2018.

Selanjutnya juga akan dicari respon masyarakat di luar GKJTU mengenai tindakan sosial gereja. Apakah Kegiatan sosial itu diterima dengan baik atau masih dicurigai sebagai yang asing dan berbahaya. Untuk mencari responden ini akan dicari dalam konteks masyarakat yang masih dekat dangan budaya Jawa. Dalam hal ini tidak dipilih dari masyarakat perkotaan yang sudah terdapat kemajemukan budaya dan cenderung eksklusif. Namun dalam masyarakat pedesaan yang masih berbudaya Jawa di luar agama Kristen.

Tujuan Penelitan

Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan kegamangan identitas GKJTU dan menganalisisnya dalam tindakan sosial.

Metode Penelitian

Penelitian ini bermula dari asumsi adanya persoalan identitas yang tercermin dalam tindakan sosial GKJTU. Oleh karena itu metode penelitan yang dipakai adalah Kualitatif. Creswell mendefinisikan metode penelitian Kualitatif sebagai berikut:

“Penelitian Kualitatif dimulai dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran/teoritis yang membentuk atau mempengaruhi studi tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok pada pada suatu permasalahan sosial atau manusia…”37

Sedangkan dalam mencari data akan dilakukan di tingkat sinodal dan jemaat-jemaat lokal. Dalam proses pencarian data ini akan dipakai metode penelitian Pustaka, termasuk dokumen Gerejawi yang berkaitan dengan pokok penelitian, dan juga dengan metode wawancara langsung dengan para pemimpin Gereja di tingkat sinode dan jemaat, serta

37 John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Risert, Terj. Ahmad Lintang Lazuardi

(14)

14

masyarakat di luar warga Gereja. Selanjutnya data yang diperoleh akan dianalisis secara mandalam.

Tehnik Pengambilan Data

Jenis data yang akan dicari adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian langsung, sedang data sekunder adalah data yang diperoleh dari referensi-referensi ilmiah yang berkaitan dengan pokok bahasan. Kedua data itu akan di cari untuk menuntaskan penelitian ini.

Data-data akan diperoleh dari beberapa informan. Informan itu terdidri dari:

1. Pengurus Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode GKJTU untuk memperoleh informasi tentang gambaran umum GKJTU.

2. Bidang Diakonia dan pengembangan Masyarakat GKJTU. Dalam hal ini yang dipilih adalah Yayasan Sion dan paguyuban Samiaji. Hal ini dikarenakan kegiatan diakonia GKJTU di tingkat sinodal dilakukan oleh yayasan Sion. Sedang paguyuban Samiaji Ngawen, Blora, adalah lembaga diakonia gereja lokal yang tidak terkait dengan Zending. Informasi yang akan dicari adalah tentang tindakan dan respon masyarakat terhadap tindakan sosial yang dilakukan.

3. Para Pendeta jemaat. Dalam hal ini adalah Pendeta-pendeta yang berkaitan langsung dengan jemaat dan masyarakat. Pendeta yang akan diwawancarai tidak semua Pendeta GKJTU namun dipilih beberapa Pendeta yang melayani dilokasi yang telah ditentukan sebagai objek penelitian. Penentuan lokasi berdasar pada sejarah yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

4. Warga Gereja dari jemaat yang telah ditentukan. Akan dipilih beberapa warga gereja yang berpengaruh terhadap kegiatan Gerejawi. Dalam hal ini akan dicarai informasi tentang pandangan Gereja terhadap budaya Jawa.

(15)

15

5. Masyarakat di luar warga Gereja yang beragama non Kristen dan berbudaya Jawa. Dalam hal ini akan dicari informasi tentang pandangan masyarakat terhadap tindakan sosial Gereja.

Selain dari informan data juga diperoleh dari buku-buku yang membahas dan meneliti tentang kegamangan identitas serta tindakan sosial Gereja.

Dalam pengambilan data dari para narasumber menggunakan model wawancara dan angket. Untuk MPH sinode, Para Pendeta, yayasan Sion, dan Masyarakat non Kristen akan menggunakan model wawancara, sedang untuk warga Gereja menggunakan wawancara.

Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini akan dibagi menjadi bebKerapa bab dengan urutan; Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, metode pengambilan data, dan sistematika penulisan.

Bab II : Kerangka Teori

Bab ini berisi tentang uriaan teori dari beberapa akademisi yang dibutuhkan dalam tulisan ini, yaitu teori identitas sosial Jenkins yang menjelaskan bahwa identitas sosial itu terdapat dalam tindakan individu-individu yang berada di dalamnya. Tindakan sosial Talcott Parsons menjelaskan bahwa di dalam masyarakat itu terdapat struktur-struktur yang saling terkait dan masing-masing berfungsi dalam keseimbangan untuk membangun masyarakat. Budaya hibryd Homi K. Bhabha menjelaskan bahwa persinggungan budaya yang dominan dan terjajah akan memicu perlawanan dari budaya terjajah dengan bentuk Mimicry yang selanjutnya membentuk budaya Hybrid. Budaya Hybrid adalah realita baru diantara dua budaya yang saling bersinggungan.

(16)

16 Bab III : Sejarah GKJTU

Dalam bab ini akan dipaparkan tentang sejarah lahirnya GKJTU serta tokoh-tokoh yang berpengaruh membentuk GKJTU. Penulisan sejarah difokuskan juga pada pembentukan corak teologia GKJTU. Maka dari itu pemaparan sejarah dibagi menjadi dua garis besar, yang pertama garis Zending, merupakan gereja-gereja yang didirikan atau pernah dilayani oleh para misionaris dari Belanda atau Jerman, dan yang kedua garis penginjil pribumi, yang merupakan gereja-gereja yang dirintis oleh orang-orang pribumi sendiri. Mayoritas gereja Zending berdiri pada masa penjajahan Belanda, sedang gereje penginjil pribumi pada masa pasca 1965.

Bab IV : Tindakan Sosial GKJTU

Dalam bab ini akan diuraikan tentang tindakan-tindakan sosial yang sudah dilakukan oleh GKJTU. Dengan demikian yang dipaparkan menyangkut structural, asosiasi, dan keseharian masyrakat. Structural adalah tindakan yang terkait dengan struktru Negara. Asosiasi adalah tindakan gereja yang terkait dengan lembaga-lembaga non pemerintah yang ada dalam satu konteks. Keseharian masyarakat adalah tindakan Gereja yang langsung terkait dengan masyarakat. dalam hal ini ada dua lembaga di GKJTU yang dipakai acuan, yaitu Yayasan Sion dan Paguyuban Samiaji.

Bab V : Kegamangan GKJTU

Bab ini berisi tentang analisis dari apa yang telah diuraiakan dalam bab-bab sebelumnya yang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu kegamangan identitas dalam sejarah, kegamangan dalam tindakan sosial, alternative solusi, dan kesimpulan. Di sini akan dilihat letak terjadinya kegamangan yang telah di paparkan dalam bab III dan IV menggunakan kerangka teori yang telah dibangun dalam bab II. Setelah itu akan dicari solusi untuk mengatasi kondisi yang ditemukan dalam penelitan ini.

(17)

17 Bab VI : Pentup

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi dari hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Pengajaran perbaikan (remidial) adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan atau membuat jadi baik. Jadi pengajaran remidial ini merupakan bentuk

Turbin Gorlov Helikal adalah jenis turbin yang baru dikembangkan pada tahun 1995, mengubah energi kinetik yang dihasilkan oleh arus aliran menjadi energi

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.. Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang geomatika ( GIS ) adalah dengan melalui pelatihan dan sertifikasi

aureus resisten terhadap antibiotik ciprofloxacin (15%), cefotaxime (31%), dan cefadroxil (8%), sedangkan bakteri Gram negatif yang mengalami resistensi tertinggi

Proses komunikasi pembangunan dalam mendampingi masyarakat desa untuk menanamkan gagasan-gagasan, sikap mental, mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh suatu negara

Atas kehendak-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN CERITA BIMA BUNGKUS MELALUI STRATEGI PQ4R (PREVIEW,

Untuk itu diperlukan kelanjutan upaya Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan memperluas bidang kebijakan pokok percepatan dengan