SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata Satu Psikologi
OLEH:
RANDY ALAN DARMASAPUTRA NIM: 71409011
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
MADIUN
SKRIPSI
OLEH:
RANDY ALAN DARMASAPUTRA NIM: 71409011
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
MADIUN
i SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata Satu Psikologi
OLEH:
RANDY ALAN DARMASAPUTRA NIM: 71409011
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
MADIUN
iv
Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan
berdoa juga
dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan
memuji juga
dengan akal budiku.
(1 korintus 14:15)
Segala sesuatu dapat kita lakukan, asalkan kita berpikir
kita sanggup
v
segala limpahan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: Pengaruh Metode Prompting dan Fading Terhadap Keterampilan Berpakaian Anak Retardasi Mental.
Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang ditemui, namun berkat bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rudi Santoso Yohanes, M.Pd selaku Rektor Universitas Widya Mandala Madiun.
2. Ibu B. Dhaniswara W., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Widya Mandala Madiun, dan juga sebagai penguji yang telah memberi kritik dan saran yang bermanfaat.
3. Ibu B. Dhaniswara W., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I dan penguji yang telah membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun serta memberi dorongan untuk terus belajar.
4. Bapak Andi Cahyadi, S.Psi. selaku dosen pembimbing II, yang dengan sabar dan telaten membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi dengan baik. 5. Bapak David Ary Wicaksono, M.Si. dan Ibu Herdina Tyas L., M.Psi., Psi
vi
7. Mbak Bunga, selaku karyawan TU Fakultas Psikologi yang telah membantu dalam hal administratif untuk pelaksanaan penelitian skripsi.
8. Karyawan Perpustakaan Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, yang telah membantu dalam peminjaman buku-buku yang digunakan untuk penulisan skripsi ini.
9. Bapak Bagyo Budikismono, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SLB Putra Idhata Kabupaten Madiun yang dengan baik hati telah mengizinkan dan membantu untuk melakukan penelitian.
10. Ibu Suprapti,S.Pd. selaku wali kelas subjek yang syang dengan baik hati memberikan informasi dan membantu untuk melakukan penelitian.
11. Papa, Mama, dan Kakak yang selalu mendoakan, memberikan motivasi, dan pengorbanannya baik dari segi moril, materi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Adek IM yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini. Semoga dalam setiap langkah selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa.
13. Keluarga dik IM khususnya bapak dan ibu yang telah memberikan ijin putrinya sebagai subjek penelitian ini dan menerima kehadiran peneliti dengan baik.
vii
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis dengan senang hati akan menerima saran dan kritik skripsi ini. Semoga penulisan ini berguna bagi setiap pembacanya. Tuhan Memberkati.
Madiun, Juli 2014
ix
HALAMAN PENGESAHAN ... MOTTO ... KATA PENGANTAR ... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... INTISARI ... ABSTRACT ... ii iv v viii ix xiii xiv xv xvi xvii 1 7 7 8 9 9 11 BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ... TINJAUAN PUSTAKA
A. Metode Prompting dan Fading ... 1. Pengertian Prompting dan Fading ... 2. Jenis Prompt ...
x BAB III
1. Pengertian Retardasi Mental ... 2. Karakteristik Retardasi Mental ... 3. Faktor yang Mempengaruhi Retardasi Mental ... 4. Aspek-asepk dalam Retardasi Mental ... 5. Adaptive Behavior dalam Retardasi Mental ... 6. Kemampuan Bina Diri (Activity Daily Living) ... C. Keterampilan Berpakaian ... 1. Pengertian Keterampilan ... 2. Pengertian Berpakaian ... D. Pengaruh Metode Prompting dan Fading Terhadap Keterampilan Berpakaian Anak Retardasi Mental ... E. Kerangka Pemikiran ... F. Hipotesis Penelitian ... METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... C. Subjek Penelitian ... D. Desain Penelitian ... E. Metode Pengumpulan Data ... 1. Wawancara ... 17 18 22 25 26 28 29 29 30 35 38 38 39 39 40 40 42 42
xi BAB IV
BAB V
F. Prosedur Pelaksanaan ... 1. Tahap Persiapan ... 2. Tahap Pengumpulan Data ... 3. Tahap Analisis Data ...
PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian ... B. Hasil Penelitian ...
1. Hasil Prompting Desain A-B I ... 2. Fading Desain A-B I ... 3. Prompting Desain A-B II ... 4. Fading Desain A-B II ... 5. Uji Hipotesis ... C. Pembahasan ... KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... B. Saran ... 44 44 46 48 49 50 52 56 60 64 68 69 72 73
xiii 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jadwal Penelitian ... Program Penelitian ... Mengenakan Seragam (Kemeja)... Mengenakan Seragam (Rok) ... Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Mengenakan Seragam (Kemeja)... Mengenakan Seragam (Rok) ... Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Mengenakan Seragam (Kemeja)... Mengenakan Seragam (Rok) ... Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Mengenakan Seragam (Kemeja)... Mengenakan Seragam (Rok) ... Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Menanggalkan Seragam dan Atribut ...
44 46 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
xiv 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Kerangka Pemikiran ... Rancangan Eksperimen ... Grafik Mengenakan Seragam (Kemeja) ... Grafik Mengenakan Seragam (Rok) ... Grafik Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Grafik Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Grafik Mengenakan Seragam (Kemeja)... Grafik Mengenakan Seragam (Rok) ... Grafik Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Grafik Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Grafik Mengenakan Seragam (Kemeja)... Grafik Mengenakan Seragam (Rok) ... Grafik Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Grafik Menanggalkan Seragam dan Atribut ... Grafik Mengenakan Seragam (Kemeja) ... Grafik Mengenakan Seragam (Rok) ... Grafik Mengenakan Kaos Kaki dan Sepatu ... Grafik Menanggalkan Seragam dan Atribut ...
38 41 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
xv
A. BIODATA SUBJEK ... 79
B. LAPORAN WAWANCARA DAN OBSERVASI ... 81
C. DESKRIPSI, HASIL OBSERVASI DAN WAWANCARA ... 101
D. MODUL PEMBELAJARAN METODE PROMPTING DAN FADING TERHADAP KETERAMPILAN BERPAKAIAN ANAK RETARDASI MENTAL ... 107
E HASIL EKSPERIMEN ... 114
F. DESKRIPSI PENYEKORAN DATA BASELINE DAN EKSPERIMEN... 131
G. HASIL VABS (VINELAND ADAPTIVE BEHAVIOR SCALES)... 201
H. ASESMEN GANGGUAN RETARDASI MENTAL ... 204
I. INFORMED CONSET (KESEDIAAN TERTULIS) ... 207
xvi
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Madiun INTISARI
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode
prompting dan fading terhadap keterampilan berpakaian anak retardasi mental.
Subjek dalam penelitian adalah satu subjek yang tinggal di Desa Ngrawan – Dolopo, Kabupaten Madiun.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara kepada guru dan orangtua subjek. Penelitian ini termasuk penelitian pra-eksperimen. Proses pencarian subjek diperoleh dari data sekolah di SLB Putra Idhata, Kabupaten Madiun yang mengalami retardasi mental. Rancangan eksperimen dengan menggunakan desain A-B-A-B.
Berdasarkan hasil analisis baik secara keseluruhan menunjukkan bahwa telah mengungkap hipotesis yang diajukan diterima, yaitu metode prompting dan
fading dapat meningkatakan keterampilan berpakaian anak retardasi mental.
Melalui hasil perbandingan pada desain A-B-A-B secara keseluruhan bahwa eksperimen yang dilakukan ada pengaruh metode prompting dan fading terhadap keterampilan anak retardasi mental.
Kata Kunci : Metode prompting dan fading, keterampilan berpakaian, anak retardasi mental.
xvii
Faculty of Psychology
Widya Mandala Catholic University of Madiun ABSTRACT
This study specifically aims to determine the effect of prompting and fading methods to mentally retarded children dressing skills. This research includes pre-experimental studies and subject in this study is the subject who lives in Ngrawan - Dolopo, Madiun.
Data was collected through observation and interviews with teachers and parents subject. This research includes pre-experimental research. Process to search subject is supported by the data in SLB (outstanding school) Putra Idhata, Madiun who have mental retardation. The design of experiments using A-B-A-B design.
Based on the results of the analysis showed that overall both have revealed that the proposed hypothesis is accepted, the method of prompting and fading can increase the skills of mentally retarded children dress. Through the comparison of the overall A-B-A-B design that experiments carried no influence on the methods of prompting and fading skills of mentally retarded children.
Keywords: Method of prompting and fading, dressing skills, children with mental retardation.
1
A. Latar Belakang Masalah
Masa anak-anak adalah masa di mana seorang anak mengenal dunia sosial yang lebih luas, yang dapat membuat anak merasa tertantang dan perlu mengembangkan perilaku guna menghadapi tantangan yang ada. Dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum bisa mengembangkan perilakunya guna menghadapai tantangan yang ada dikarenakan tidak semua anak-anak dilahirkan dalam keadaan normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan.
Salah satu contohnya anak retardasi mental yang mempunyai intelegensi di bawah rata-rata anak normal sehingga menimbulkan gangguan maupun hambatan di dalam mengikuti program pendidikan di sekolah umum serta tidak memiliki kemampuan di dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat, sehingga memerlukan program pendidikan khusus.
Soetjiningsih (2006) retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama bagi negara berkembang. Hal itu diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh populasi dan hampir 3% mempunyai IQ (Intellegence quotient) di bawah 70. Sebagian sumber daya manusia tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan, karena 0,1% dari
anak-anak ini memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya.
Menurut catatan World Health Organization, penduduk yang mengalami retardasi mental di Amerika sebanyak 3%; di negeri Belanda 2,6%; di Inggris 1-8%; di Asia ±3%. Di Indonesia belum ada angka-angka yang pasti, tetapi berdasarkan atas hal-hal diatas diperkirakan 3%. Sedangkan menurut Hallahan (1998) mengestimasikan jumlah penyandang retardasi mental adalah 2,3% namun pada tahun 1984, Annual Report to Congress menyebutkan 1,92% anak usia sekolah menyandang retardasi mental dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3:2.
Permasalahan retardasi mental menurut Pola Dasar Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial adalah adanya gangguan fisik dan mobilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari, gangguan keterampilan kerja yang produktif, rawan kondisi sosial ekonomi, gangguan mental psikologis, seperti rendah diri, terisolasi dan kurang percaya diri, hambatan melaksanakan fungsi sosial, seperti tidak mampu bergaul, berkomunikasi secara wajar, tidak mampu berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada orang lain (Mangunsong, 1998)
Menurut American Association on Menthal Retardation (AAMR), retardasi mental merupakan kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal (IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area yaitu: berbicara dan berbahasa, ketrampilan merawat diri,
ketrampilan sosial, penggunaan sarana masyarakat, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, bekerja dan rileks, dan lain-lain (Soetjiningsih, 2006). Kemudian menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR dalam APA, 2000) mendefinisikan retardasi mental sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) disertai dengan kurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku adaptif sesuai dengan usianya, yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Sedangkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III, 1993) mendefinisikan retardasi mental suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh ketidakmampuan keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Menurut Mulyono (1994) karakteristik anak retardasi mental antara lain: dari segi fisik (penampilan), hampir sama dengan anak normal, kematangan motorik lambat, koordinasi gerak kurang; dari segi intelektual, sulit mempelajari hal-hal akademik, anak retardasi mental ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70, anak retardasi mental sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50, anak retrdasi mental berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah; dari segi sosial dan emosi: bergaul dengan anak yang lebih muda, suka menyendiri, mudah dipengaruhi, kurang dinamis, kurang pertimbangan/kontrol diri, kurang konsentrasi, mudah dipengaruhi, tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.
Anak retardasi mental mempunyai intelegensi di bawah rata-rata anak normal sehingga menimbulkan gangguan maupun hambatan di dalam mengikuti program pendidikan di sekolah umum serta tidak memiliki kemampuan di dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat, sehingga memerlukan program pendidikan khusus. Anak retardasi mental sebagaimana anak pada umumnya memiliki hak dan kebutuhan untuk berkembang atau mengaktualisasikan potensinya sehingga dapat hidup mandiri. Namun pada pemenuhan hal-hal tersebut di atas mengalami hambatan karena keterbatasan fungsi kecerdasan intelektual yang berada di bawah usia koronlogisnya secara signifikan. Oleh karena itu anak retardasi mental akan memperlihatkan aktualisasi fungsi intelektual dan kemampuan dalam perilaku adaptif di bawah usianya. Di sadari bahwa penyandang retardasi mental mempunyai karakteristik tersendiri serta permasalahan yang kompleks dan unik. (Astati, 2003).
Salah satu kebutuhan anak retardasi mental adalah keterampilan bina diri mempunyai manfaat bagi anak retardasi mental yaitu meningkatkan kemandirian anak dan dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain. Dengan keterbatasan intelektual dan potensi yang dimiliki oleh anak retardasi mental sehingga mengakibatkan mereka kurang mampu memenuhi kebutuhannya. Mereka juga kurang bisa bersosialisasi dengan lingkungannya, kurang bisa bekerja atau menciptakan lapangan pekerjaan. Pada dasarnya mereka kurang memiliki kemampuan kecakapan hidup yang diperlukan sehingga anak retardasi mental mampu untuk hidup mandiri. Berdasarkan hal penjelasan di atas, dikatakan bahwa
salah satu hambatan yang dialami anak retardasi mental adalah dalam menolong diri atau bina diri. Oleh karena itu, program keterampilan bina diri bagi anak retardasi mental sangat penting (Mahmudah, 2008).
Dalam kehidupan sehari sehari-hari seperti mengurus diri sendiri, anak retardasi mental perlu mendapat pembelajaran atau latihan yang rinci dan rutin mengenai keterampilan bina diri, karena anak retardasi mental mengalami hambatan dalam kecerdasan maka target kemandiriannya tentu harus dioptimalkan sesuai dengan potensi yang anak retardasi mental miliki. Dalam proses pembelajaran anak retardasi mental tidak sama dengan anak lain yang normal. Secara akademis maupun non akademis memiliki bobot yang berbeda dibandingkan dengan anak normal lainnya. Pendidikan non akademis pada siswa retardasi mental ditekankan pada faktor kemampuan mengurus diri sendiri. Keterampilan mengurus diri sendiri anak retardasi mental berbeda dengan anak normal, mengajarkan keterampilan mengurus diri pada anak retardasi mental tak semudah mengajarkan pada anak normal, jika pada anak normal bisa dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali maka pada anak retardasi mental harus dilakukan berulang kali sampai anak mampu (Depdikbud, 1997).
Beberapa kegiatan rutin harian yang perlu diajarkan dalam bina diri meliputi kegiatan atau keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet), merupakan kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang, serta keterampilan bermobilisasi (mobilitas), keterampilan berpakaian (dressing) dan merias diri (grooming) sangat erat kaitanya dengan
aspek sosial seseorang. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar (Astati, 2010).
Berdasarkan hasil wawancara guru di SLB Putra Idhata Kabupaten Madiun, khususnya kelas 2 ditemukan beberapa permasalahan terutama pada siswa yang mengalami gangguan retardasi mental, ada satu siswa yang masih mengalami kesulitan dalam mengurus diri sendiri, terutama merawat diri sendiri dalam hal keterampilan berpakaian seragam. Menurut Astati (2010) keterampilan berpakaian seragam ini seharusnya dikuasai anak retardasi mental pada usia sekolah, namun kenyataannya ada anak retardasi mental di SLB Putra Idhata Kabupaten Madiun yang mengalami hambatan dalam bina diri khususnya dalam keterampilan berpakaian seragam. Selama ini di rumah tidak diajarkan cara berpakaian seragam orangtua hanya menolong anak untuk mengenakan seragam tanpa melalui cara atau metode yang digunakan, sehingga anak tergantung pada orang lain.
Dalam penelitian keterampilan berpakaian seragam untuk anak retardasi mental dikembangkan dengan metode prompting dan fading. Metode prompting dan fading merupakan prosedur dari modifikasi perilaku. Dalam prosedur modifikasi perilaku. Prompting adalah stimulus yang diberikan sebelum atau selama terjadinya perilaku. Fungsi dari prompting adalah membantu terjadinya perilaku yang diinginkan, sehingga siapapun yang melakukan perilaku tersebut bisa memperoleh penguatan dari instruktur (guru, konselor, dsb). Sedangkan
untuk memunculkan perilaku yang tepat tanpa adanya prosedur prompting (Cooper, Heron, & Heward, 1987).
Metode prompting dan fading ini lebih dapat membantu anak dalam keterampilan berpakaian seragam, sehingga anak retardasi mental dapat mengurus dirinya sendiri dan mandiri dalam keterampilan berpakaian seragam tanpa harus bergantung pada bantuan orang lain. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan maka penulis merumuskan judul penelitian yaitu: “ Pengaruh Metode
Prompting dan Fading Terhadap Keterampilan Berpakaian Anak Retardasi
Mental “. Penulis ingin membuktikan apakah metode prompting dan fading berpengaruh terhadap keterampilan berpakaian anak retardasi mental.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini “Apakah metode prompting dan
fading memberikan pengaruh terahadap keterampilan berpakaian anak retardasi
mental?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode prompting dan fading terhadap keterampilan berpakaian anak retardasi mental.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmiah untuk mengembangkan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis agar lebih kaya dan aplikatif dalam memahami anak retardasi mental.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna:
a. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam pengajaran bina diri khususnya dalam keterampilan berpakaian seragam sekolah anak retradasi mental melalui metode prompting dan
fading.
b. Bagi keluarga maupun lingkungan sekitar anak retardasi mental mampu mengembangkan keterampilan dalam hal berpakaian melalui metode prompting dan fading.
c. Bagi sekolah sebagai bahan pertimbangan dalam melatihkan keterampilan berpakaian anak retardasi mental melalui metode
9
A. Metode Prompting dan Fading
1. Pengertian Prompting dan Fading
Meski memiliki keterbatasan dalam berbagai area perilaku adaptif yang dimiliki, tidak berarti bahwa anak retardasi mental tidak dapat dilatih untuk menguasai keterampilan-keterampilan baru yang bisa membuat mereka lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan akan bantuan dari orang lain. Menguasai berbagai keterampilan baru dapat meningkatkan perasaan harga diri dan pandangan orang lain bahwa anak retardasi mental telah menjadi semakin kompeten.
Menurut Alberto & Troutman (2006) keterampilan baru (new skills) didefinisikan sebagai pembelajaran untuk anak retardasi mental dengan keterampilan baru melalui penggunaan prompt. Namun, penting untuk secara sistematis menarik fade agar individu dapat melakukan keterampilan secara mandiri, sedangkan Antecedent stimuli adalah sebuah kondisi lingkungan atau perubahan stimulus yang ada atau yang terjadi sebelum perilaku baru dibentuk. MacDuff’s (1999) mendefinisikan keterampilan baru (new skills) adalah sebagai petunjuk isyarat tambahan untuk anak retardasi mental.
MacDuff’s, Krantz, and McClannahan (1993) prompt sering didefinisikan sebagai “pembantu”, “tambahan” atau “buatan” rangsangan yang disajikan segera
sebelum atau setelah rangsangan yang akhirnya akan isyarat pelajar untuk menampilkan perilaku menarik pada waktu yang tepat atau dalam keadaan yang relevan. Prompt juga didefinisikan sebagai “instruksi”, gerakan, tindakan khusus atau sentuhan yang mengarahkan anak supaya mampu melakukan tindakan yang tepat atau sesuai dengan yang diharapkan.
MacDuff’s, Krantz, and McClannahan (1993) menjelaskan prompting adalah stimulus yang diberikan sebelum atau selama terjadinya perilaku. Fungsi dari prompting adalah membantu terjadinya perilaku yang diinginkan sehingga siapapun yang melakukan perilaku tersebut bisa memperoleh penguatan dari instruktur (guru, konselor, dan sebagainya).
Miltenberger (2004) berpendapat bahwa prompting digunakan untuk meningkatkan perilaku yang benar dan tepat selama pelatihan sehingga pengajar dapat memberikan penguatan serta penggunaan prompt membuat pengajaran atau pelatihan yang lebih efisien. Spiegler & Guevremont (2003) menjelaskan bahwa
prompting memberikan isyarat atau petunjuk dalam mengingatkan atau
memerintahkan subjek untuk melakukan perilaku. Bagi anak retardasi mental
prompt digunakan untuk memandu perilaku.
MacDuff (1999) menjelaskan bahwa fade adalah untuk menarik petunjuk secara bertahap, dalam langkah-langkah kecil, melalui serangkaian kesempatan belajar, sampai tidak ada petunjuk yang disediakan sama sekali dan respon yang terjadi dengan adanya stimulus yang diinginkan.
Miltenberger (2004) berpendapat bahwa fading adalah perubahan perlahan-lahan, pada treatment yang dilakukan berulang-ulang, dimana stimulus
mengontrol respon, sehingga respon yang terjadi diubah atau menjadi stimulus baru. Sedangkan Martin dan Pear (1992) menjelaskan fading adalah perubahan secara bertahap yang dapat dilalui secara perlahan meniadakan pendampingan dalam mempelajari perilaku baru.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa metode prompting memberikan isyarat atau petunjuk dalam mengingatkan atau memerintahkan untuk melakukan perilaku, sedangkan fading merupakan perubahan perlahan-lahan, pada treatment yang dilakukan berulang-ulang, dimana stimulus mengontrol respon, sehingga respon yang terjadi diubah atau menjadi stimulus baru.
2. Jenis Prompt
Menurut MacDuff (1999) beberapa jenis prompt yang sesuai dengan kebutuhan anak retardasi mental, yaitu:
a. Physical prompts, yaitu secara fisik membimbing subjek untuk melakukan suatu keterampilan serta mendorong perilaku yang diharapkan. Guru menyentuh subjek dengan tujuan memberikan pengarahan.
b. Gestural prompts, yaitu memberikan arahan dalam bentuk gerakan tubuh, seperti menunjuk untuk membimbing subjek ke respon yang benar.
c. Modeling prompts, yaitu ketika seseorang memberikan contoh keterampilan diinginkan sehingga subjek mampu melakukan perilaku yang diharapkan dengan menirunya.
d. Verbal Prompts, yaitu isyarat verbal yang mana memberikan kata-kata, instruksi, atau pertanyaan yang seharusnya mengarahkan seseorang untuk terlibat dalam respon sasaran.
Alberto & Troutman (2003) menjelaskan beberapa jenis atau tipe dari
prompt sebagai berikut:
a. Physical, secara fisik membimbing subjek untuk melakukan keterampilan. b. Verbal, isyarat verbal memberikan informasi untuk membantu subjek
untuk merespon dengan benar berupa instruksi singkat dan jelas. c. Model, ketika pengajar menunjukkan keterampilan yang diinginkan. d. Gestural, menggunakan gerakan, seperti menunjuk, untuk membimbing
subjek untuk respon dengan benar.
e. Visual, seperti gambar, simbol, dan teks yang dapat membantu subjek untuk merespon dengan benar.
f. Positional, menempatkan bahan di lokasi atau urutan yang menjamin keberhasilan menyelesaikan suatu kegiatan.
Ada beberapa tipe prompt menurut Miltenberger (2004) antara lain:
a. Verbal prompts, merupakan perilaku verbal dari orang lain yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang benar pada subjek.
b. Gestural prompts, merupakan gerakan fisik atau gesture dari orang lain yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang benar pada subjek. c. Modeling prompts, merupakan demonstrasi terhadap perilaku yang benar
dari orang lain sehingga dapat menyebabkan subjek mampu melakukan perilaku yang diharapkan dengan menirunya.
d. Physical prompts, merupakan sentuhan secara fisik dari orang lain kepada subjek untuk membantunya melakukan perilaku yang diinginkan secara benar.
Martin dan Pear (2003) menyebutkan beberapa jenis atau tipe dari prompt, di antaranya:
a. Physical prompts, membantu secara langsung perilaku yang diharapkan dengan memegang tangan atau memegang kaki.
b. Gestural prompts, mengajarkan subjek dalam bentuk gerakan tubuh dan memberikan petunjuk tanpa menyentuh subyek.
c. Modeling prompts, memberikan contoh kepada subjek untuk melakukan perilaku yang diharapkan.
d. Verbal prompts, bantuan dalam bentuk perintah atau pertanyaan untuk memudahkan subjek menjalankan perilaku yang diharapkan.
Menurut Spiegler & Guevremont (2003) ada empat jenis dari prompt yang sesuai dengan kebutuhan anak retardasi mental, antara lain:
a. Verbal Prompts, meminta subjek untuk melakukan perilaku yang akan di kerjakan yang sesuai dengan harapan.
b. Environmental prompts, isyarat lingkungan, seperti; tanda-tanda yang mengingatkan subjek untuk melakukan perilaku.
c. Physical prompts (juga disebut bimbingan fisik), melibatkan seseorang secara fisik mengarahkan subjek dalam melakukan perilaku.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak yang menderita retardasi mental membutuhkan dua jenis prompt diantranya,
Verbal prompts yaitu, memberikan bantuan berupa instruksi (perintah) atau
pertanyaan untuk mengarahkan subjek untuk terlibat dalam respon sasaran;
Physical prompts yaitu, membimbing subjek untuk melakukan suatu keterampilan
sehingga dapat menghasilkan respon yang benar pada subjek. 3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Fading:
Martin dan Pear (2003) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas fading, antara lain:
a. Memilih stimulus awal, pada permulaan fading, sangat penting menentukan stimulus awal yang mungkin memunculkan perilaku yang diinginkan.
b. Memilih stimulus akhir yang diinginkan, Sangat penting memilih stimulus akhir yang tepat untuk dapat menghasilkan perilaku (respon) akhir yang diinginkan.
c. Memilih tahapan fading, jika respon dapat terjadi dengan prompt yang diberikan, maka prompt dapat secara bertahap dihilangkan. Jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan subjek.
d. Memilih reinforcer yang sesuai, pemilihan reinforcer yang tidak sesuai bisa menyebabkan perilaku yang dihasilkan sebagai respon tidak terkuatkan.
e. Menerapkan rencana pada efek program, untuk memperkecil terbentuknya efek negatif dan memperbesar efek positif sebagai hasil program fading yang dilakukan.
Menurut Miltenberger (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas fading, antara lain:
a. Memilih stimulus akhir yang diinginkan, stimulus yang diharapkan dapat menghasilkan perilaku pada bagian akhir dari prosedur fading.
b. Memilih stimulus awal, untuk memilih stimulus awal, yang secara konstan/reliabel, dapat membangkitkan perilaku yang diinginkan.
c. Memilih langkah-langkah fading, untuk mengawasi secara dekat performa subjek serta menentukan seberapa lama seharusnya fading dilaksanakan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keefektivitasan fading adalah memilih stimulus awal untuk memunculkan perilaku yang diinginkan selanjutnya memilih stimulus akhir untuk dapat mengasilkan perilaku (respon) akhir yang akan diinginkan, memilih tahapan fading, menetapkan rencana pada efek program, dan memilih reinforcer yang sesuai.
4. Aspek Perilaku dalam Metode Prompting dan Fading
Miltenberger (2004) mengemukakan aspek perilaku dalam metode
prompting dan fading, antara lain:
a. Stimulus Discriminative, stimulus spesifik (hanya dengan stimulus ini, bukan stimulus lain) yang menyebabkan sebuah tingkah laku muncul.
b. Respon, suatu reaksi atau jawaban yang bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut.
c. Stimulus Respon, menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya.
Martin dan Pear (2003) berpendapat ada beberapa aspek dalam metode prompting dan fading, yaitu:
a. Stimulus Discriminative, stimulus yang secara konsisten hadir ketika respons menghasilkan penguatan.
b. Transfer Stimulus Kontrol, pengurangan dan penghilangan prompting untuk memunculkan perilaku di bawah kendali stimulus dari stimulus
discriminative yang relevan.
c. Stimulus dan Respon, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungan, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku.
d. Reinforcement, konsekuensi yang memperkuat tingkah laku.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek perilaku dalam metode prompting dan fading, meliputi: Stimulus dan Respon, Stimulus Discriminative, Transfer Stimulus Kontrol, Reinforcement.
B. Retardasi Mental 1. Pengertian Retardasi Mental
Anak retardasi mental pada dasarnya mengalami hambatan dalam kemampuan kognitif, koordinasi motorik dan sosialisasi, tetapi mereka dapat diarahkan kepada pendidikan yang bersifat keterampilan salah satunya keterampilan berpakaian sebagai bekal untuk kemandirian hidup dimasa depan serta tidak bergantung pada orang lain.
Delphie (2006) menjelaskan retardasi mental ialah gangguan yang tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang berada dibawah rata-rata. Menurut Maramis (2005) retardasi mental disebut juga
oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.
Menurut Payne & Patton (1983) retardasi mental merupakan suatu kondisi yang dicirikan oleh keterbatasan kemampuan intelektual sehingga sulit melakukan penyesuaian terhadap tuntutan didalam lingkungan dan sosial. Sadock & Sadock (1999) menjelaskan retardasi mental adalah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial.
Wenar (1994) mendefinisikan retardasi mental mengacu pada ketidakmampuan kognitif yang muncul dalam masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal (IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut: berbicara dan berbahasa; keterampilan merawat diri, ADL (Activity Daily Living); keterampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks, dan lain-lain.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR
dalam APA, 2000) mendefinisikan retardasi mental sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) disertai dengan kurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku adaptif sesuai dengan usianya, yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa retardasi mental merupakan gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak yang terutama ditandai oleh terjadinya kemampuan mental yang tidak mencukupi dan yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi. 2. Karakteristik Retardasi Mental
Payne & Patton (1983) berpendapat bahwa seseorang anak dikategorikan retardasi mental apabila memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
a. Mildly Retarded, kondisi individu mengalami kesulitan dalam hal akademik dan berperilaku, dalam mildly retarded ini sering tidak di curigai sampai subjek masuk sekolah.
b. Moderately Retarded, kondisi individu bisa mengurus dirinya sendiri namun dalam beberapa hal perlu bantuan dari orang lain.
c. Severely Retarded, kondisi individu mengalami kesulitan dalam menjaga diri, kurangnya koordinasi motorik, kemampuan bicara dan kemampuan berinteraksi.
d. Profoundly Retarded, kondisi subjek mengalami retardasi mental dalam setiap perkembangannya dan harus memperoleh perawatan total.
Beberapa kriteria diagnostik retardasi mental di dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition ( DSM IV TR dalam APA,
2000) antara lain:
a. Retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70) dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Di usia remaja mampu mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level anak kelas 6.
2) Mempunyai sedikit gangguan dalam bidang sensorimotor.
3) Ketika usia dewasa mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan.
b. Retardasi mental sedang (IQ 35-40 hingga 50-55) dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis. 2) Kebergantungan hidup pada orang lain cukup tinggi.
c. Retardasi mental berat (IQ 20-25 hingga 35-40) dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor.
2) Keterbatasan komunikasi dengan orang lain.
d. Retardasi mental sangat berat (IQ di bawah 20-25) dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki abnormalitas fisik yang berat. 2) Kebergantungan pada orang lain sangat tinggi.
Penggolongan retardasi mental untuk keperluan pembelajaran menururt Tarmansyah (1998) sebagai berikut:
a. Taraf perbatasan (border line) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slowlerner) dengan IQ 70 – 85.
b. Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded dengan IQ 50 – 75) c. Tunagrahita mampu latih (dependent of proudlley retarded dengan IQ 30 –
50 atau IQ 30 -55).
d. Tunagrahita butuh rawat (dependent of proudlly mentally retarded dengan IQ 25 – 30).
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III, 1993), karakteristik retardasi mental ditandai sebagai berikut:
a. Retardasi Mental Ringan
Anak retardasi mental ini memiliki tingkat kecerdasan antara 50-75. Masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah seperti membaca, menulis dan menghitung yang bersifat sederhana. Juga dapat dilatih melakukan keterampilan tertentu yang menunjang keperluan mengurus diri.
b. Retardasi Mental Sedang
Anak retardasi mental ini memiliki tingkat kecerdasan antara 25-50. Subjek masih dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan rutinitas harian, meskipun masih tetap memerlukan bantuan dan bimbingan serta pengawasan dari orang lain. Untuk kepentingan pendidikan, anak retardasi mental tipe sedang ini dididik dan dilatih di kelas SDLB/C1.
c. Retardasi Mental Berat
Tingkat kecerdasan anak sangat rendah, memiliki IQ antara 0-25. Pada umumnya mengalami kesulitan bicara dan tidak memiliki kemampuan mengurus diri sendiri. Anak retardasi mental ini memerlukan perawatan dan pengawasan secara terus menerus dari orang lain sepanjang hidupnya.
d. Retardasi Mental Sangat Berat
Anak yang memiliki karakteristik ini dikategorikan tingkat IQ kurang dari 20 dan ditandai dengan kemampuan untuk memahami atau mematuhi perintah atau permintaan sangat terbatas. Sebagian anak yang mengalami retardasi mental sangat berat tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam melakukan gerakannya, tidak mampu menahan urin dalam kandung kemih sampai urin keluar begitu saja di luar kendali, dan hanya mampu mengadakan komunikasi nonverbal yang belum sempurna. Anak yang memiliki kondisi seperti ini harus dibutuhkan perawatan yang ekstra serta pendampingan orang tua untuk memberikan semangat dalam menjalankan hidup.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa retardasi mental memiliki karakteristik sebagai berikut: Retardasi mental ringan, memiliki tingkat kecerdasan antar 50-75 dan masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah seperti membaca, menulis dan menghitung yang bersifat sederhana dapat juga dilatih melakukan keterampilan tertentu yang menunjang keperluan diri sendiri. Retardasi mental sendang, memiliki tingkat kecerdasan antara 25-50 dan masih dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri dan melakukan rutinitas harian, meskipun masih tetap memerlukan bantuan dan bimbingan serta pengawasan dari
orang lain. Retardasi mental berat, memiliki tingkat kecerdasan antara 0-25, pada umumnya mengalami kesulitan bicara dan tidak memiliki kemampuan mengurus diri sendiri dan memerlukan perawatan serta pengawasan secara terus menerus dari orang lain sepanjang hidupnya. Retardasi mental sangat berat, memiliki tingkat kecerdasan kurang dari 20 dengan ditandai kemampuan untuk memahami atau mematuhi perintah dan permintaan sangat terbatas.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Retardasi Mental
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III, 1993), faktor-faktor yang mempengaruhi retardasi mental adalah sebagai berikut:
a. Infeksi dan keracunan
Adanya infeksi dan keracunan serta terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan ibunya yang menyebabkan anak lahir menjadi retardasi mental.
b. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Retardasi mental langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolism karbohidrat dan protein), gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk termasuk dalam kelompok ini.
c. Penyakit otak
Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat beberapa reaksi sel-sel otak. Penyakit otak yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat menyebabkan penderita mengalamai keterbelakangan mental.
d. Prematuritas
Retardasi mental yang berhubungan dengan keadaan bayi yang pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa kehamilan kurang dari 38 minggu.
a. Akibat gangguan jiwa yang berat
Retardasi mental juga dapat terjadi karena adanya gangguan jiwa yang berat pada masa kanak-kanak.
b. Deprivasi psikososial
Deprivasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial awal-awal perkembangan dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental pada anak.
Cleland & Rago (1992) menyatakan penyebab dari retardasi mental dapat disebabkan oleh:
a. Abnormalitas kromosom
Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah down sindrom yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke 21, sehingga mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47.
b. Faktor prenatal
Penyebab retardasi mental adalah infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah Rubella, penyakit menular yang disebabkan oleh virus rubella. Virus rubella biasanya menginfeksi tubuh melalui pernapasan seperti hidung dan tenggorokan yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
c. Faktor-faktor psikososial
Penyebab retardasi mental pada sebagian kasus disebabkan faktor psikososial, seperti lingkungan rumah, atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental.
Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Individu dalam keluarga miskin kekurangan keperluan untuk menerima pendidikan dan pengembangan keterampilan-keterampilan. Akibatnya, individu menjadi retardasi mental akibat dari kemiskinan, tidak menerima pendidikan dan larangan-larangan pada budaya tertentu untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan individu.
Dari pendapat peneliti di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan keracunan serta terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan ibunya yang menyebabkan anak lahir menjadi retardasi mental, faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah, atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental serta gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi.
4. Aspek-Aspek dalam Retardasi Mental
Wicks-Nelson & Israel (2003) menyebutkan beberapa aspek-aspek dalam retardasi mental, diantaranya:
a. Fungsi intelektual dan keterampilan adaptif, b. Psikologis dan fungsi emosional,
c. Fungsi fisik dan kesehatan,
d. Keadaan lingkungan orang masa kini dan lingkungannya dianggap optimal untuk pertumbuhan yang berlangsung.
Menurut Bastaman, dkk (2004) ada beberapa aspek-aspek dari retardasi mental, antara lain:
a. Aspek fisik, misalnya dalam kemampuan anak untuk duduk, berjalan, dan menulis.
b. Aspek perawatan diri sendiri, misalnya kemampuan untuk makan sendiri, mandi sendiri dan menggunakan alat-alat yang umum digunakan dalam rumah.
c. Aspek komunikasi, seperti berbicara, berbahasa dan memahami instruksi. d. Aspek sosial, seperti bersosialisasi dan bermain dengan anak lain.
e. Aspek mental emosional, seperti hiperaktivitas, depresi dan kecemasan. Maramis (2005) menyatakan ada dua aspek dalam retardasi mental, antara lain:
a. Fungsi intelektual secara nyata berada di bawah rata-rata.
b. Adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku dalam masyarakat.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR
dalam APA, 2000) menjelaskan beberapa aspek dalam retardasi mental, yaitu: a. Penilaian inteligensi, dalam menentukan intelegensi harus didasarkan pada
berbagai tes yang diberikan kepada seseorang oleh seorang profesional yang kompeten dan terlatih dengan baik.
b. Fungsi adaptif, merujuk pada penguasaan keterampilan masa kanak-kanak seperti menggunakan toilet, berpakaian, memahami konsep waktu dan uang, mampu menggunakan peralatan, berbelanja, malakukan perjalanan dengan transportasi umum dan mengembangkan responsivitas sosial. c. Aspek yang terakhir dalam pengertian retardasi mental, bahwa gangguan
retardasi mental terjadi sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas peneliti dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam retradasi mental adalah ketidakmampuan dalam keterampilan adaptif serta fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata.
5. Adaptive Behavior dalam Retardasi Mental
Salah satu hambatan pada anak retardasi mental adalah dalam perilaku adaptif. Perilaku adaptif adalah kemampuan seseorang dalam tanggung jawab sosial sesuai dengan norma sosial tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan perkembangannya.
Hambatan dalam perilaku adaptif pada anak retardasi mental dapat dilihat dalam terhambat dalam perkembangan keterampilan sensori motor, terhambat dalam keterampilan komunikasi, terhambat dalam keterampilan menolong diri,
terhambat dalam sosialisasi, terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat dan terhambat dalam menilai keterampilan sosial.
Hosni (2003) mendefinisikan perilaku adaptif adalah tingkat kemampuan/keefektifan seseorang dalam memenuhi standar kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial yang diharapkan untuk usia dan budaya kelompoknya meliputi dua hal pokok. Pertama, menyangkut keterampilan menolong diri (personal living skills) seperti: keterampilan makan, berpakaian, pergi ke kamar mandi, memelihara barang milik sendiri dan keterampilan sensori motor. Kedua, menyangkut keterampilan sosial (social living skills), seperti: keterampilan dalam menilai lingkungan secara tepat (berhubungan dengan tata krama), menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari (memahami arah untuk bepergian, menggunakan uang dalam belanja) dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terdekat. Sedangkan Wenar (1994) mendefinisikan perilaku adaptif sebagai keterampilan perilaku yang ditunjukkan dalam menanggapi tuntutan lingkungan.
Sparrow, Balla, dan Cicchinetti (1984) mendefinisikan perilaku adaptif sebagai performansi aktivitas sehari-hari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun sosial.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku adaptif adalah tingkat kemampuan/keefektifan seseorang dalam memenuhi kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial.
6. Kemampuan Bina Diri (Activity Daily Living)
Pembelajaran Bina Diri diajarkan atau dilatihkan pada anak retardasi mental mengingat dua aspek yang melatar belakanginya. Latar belakang yang utama yaitu aspek kemandirian yang berkaitan dengan aspek kesehatan, dan latar belakang lainnya yaitu berkaitan dengan kematangan sosial budaya.
Amin (1995) menyatakan bina diri adalah keterampilan dalam aktivitas sehari-hari yang tidak bisa lepas bagi individu mulai dari kegiatan yang biasa dilakukan setiap hari meliputi perawatan diri, kegiatan di dapur, kegiatan berpakaian, merawat perkakas rumah tangga dan kegiatan-kegiatan pada umumnya yang dilakukan dalam memenuhi hajat hidup setiap hari, seperti keterampilan menggunakan kamar kecil, mengenal mata uang.
Suhaeri (1992) menjelaskan bina diri adalah keterampilan dasar dan tugas okupasional yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya secara mandiri yang dikerjakan seseorang sehari-harinya dengan tujuan untuk memenuhi/berhubungan dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat.
Maria (2007) bina diri atau activity daily living merupakan kegiatan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari meliputi penggunaan toilet, makan, keterampilan berpakaian (berdandan), mandi, dan berpindah tempat.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa bina diri (activity daily living) merupakan kegiatan pembelajaran bagi anak retardasi mental yang tidak bisa mandiri dalam hal berpakaian, mandi, menggosok gigi, makan, dan penggunaan toilet.
C. Keterampilan Berpakaian 1. Pengertian Keterampilan
Mempelajari keterampilan dalam area bantu diri seperti keterampilan berpakaian merupakan hal yang penting bagi anak yang mengalami keterbelakangan mental, terutama jika keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan usia kronologisnya. Dengan keterbatasan fungsi inteligensi yang dimiliki maka dibutuhkan suatu cara untuk meningkatkan keterampilan berpakaian yang dimiliki agar anak dapat semakin mandiri dan mengurangi ketergantungan akan bantuan dari orang lain pada area bantu diri yang dimiliki.
Hurlock (1980) menyatakan keterampilan dalam makan dan berpakaian sendiri dimulai pada masa bayi dan disempurnakan dalam awal masa kanak-kanak. Kemajuan terbesar dalam keterampilan berpakaian umumnya antara usia 1,5 dan 3,5 tahun. Pada saat anak-anak mencapai usia taman kanak-kanak, mereka sudah harus dapat mandi dan berpakaian sendiri, mengikat tali sepatu, dan menyisir rambut dengan sedikit bantuan atau tanpa bantuan sama sekali.
Craig (1987) menyatakan bahwa keterampilan adalah kemampuan untuk mengerjakan atau melaksanakan sesuatu dengan baik. Kemampuan diartikan sebagai kecakapan dan potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk menguasai suatu keahlian yang dimilikinya sejak lahir. Kemampuan tersebut merupakan suatu hasil latihan yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Dunnette (1976) menyatakan keterampilan merupakan kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas yang merupakan pengembangan dari hasil training dan pengalaman yang didapat.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa keterampilan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan suatu tugas/pekerjaan dengan cepat dan benar yang diperoleh melalui latihan yang terus menerus.
2. Pengertian Berpakaian
Anggraeni (2010) menyatakan bahwa berpakaian merupakan salah satu keterampilan kehidupan sehari-hari penting yang harus dikembangkan menjadi anggota yang dapat diterima oleh masyarakat serta mendorong anak lebih mandiri dalam berpakaian. Menurut Barnard (1996) ditinjau dari sudut sosial budaya berpakaian merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi dengan manusia satu dengan lainnya.
Wenar (1994) menjelaskan bahwa berpakaian adalah salah satu keterampilan menolong diri (personal living skills) dalam perilaku adaptif.
Dalam keterampilan berpakaian jenis yang akan digunakan adalah seragam sekolah. Menurut Depdikbud (1997) seragam sekolah didefinisikan baju yang digunakan oleh siswa-siswi suatu sekolah atau lembaga pendidikan tertentu sebagai lambang atau identitas dari suatu sekolah.
Aspek-aspek dalam keterampilan mengenakan dan menanggalkan seragam sekolah, antara lain:
a. Melakukan perintah tahapan pertama yaitu perintah tiga tahapan, memilih jenis dan mengambil seragam sekolah didalam lemari, dan mengenakan seragam sekolah secara runtut.
b. Melakukan perintah tahap kedua yaitu perintah satu tahap yaitu, mengenakan rok.
c. Melakukan perintah tahapan ketiga yaitu perintah dua tahap, mengenakan atribut seragam sekolah (dasi, ikat pinggang) dan mengenakan kaos kaki serta sepatu.
d. Melakukan perintah tahapan keempat yaitu perintah dua tahap, membuka sepatu dan kaos kaki, kemudian menanggalkan semua atribut sekolah (dasi, ikat pinggang).
e. Melakukan perintah tahapan kelima yaitu perintah satu tahap, menanggalkan seragam sekolah (rok dengan reslesting).
f. Melakukan perintah tahap keenam yaitu perintah satu tahap, menangglkan seragam sekolah (kemeja).
g. Melakukan intruksi secara kompleks, antara lain:
1) Individu diajarkan serta diberikan contoh mengambil seragam sekolah mana yang akan dipakai.
2) Individu diajarkan bagaimana cara membuka seragam sekolah yang terlipat, menemukan seragam bagian depan, membuka kancing seragam, memasukkan tangan kiri, memasukkan tangan kanan, menarik pakaian kepada posisi mengancingkan, mengarahkan kancing ke lubang kancing, mengkancingkan seluruh seragam.
3) Setelah selesai mengancingkan seragam kemudian dilanjutkan dengan mengenakan dasi dengan cara menaikan krah baju
kemudian memasukan tali dasi pada leher krah dan merapikan krah baju.
4) Mengenakan rok, yaitu mengambil rok yang akan dipakai, membedakan antara bagian depan dan belakang, membuka reslesting rok, kemudian memasukkan rok dimulai dari kaki kanan terlebih dahulu kemudian kaki kiri.
5) Rok dinaikkan keatas sampai pinggang kemudian dinaikkan keatas sampai pinggang kemudian seragam bagian bawah dimasukkan ke dalam rok.
6) Tahap selanjutnya yaitu individu diajarkan menaikkan reslesting kemudian mengaitkan kancing rok dengan benar dan rok di putar sampai reslesting berada di belakang dan merapihkan, mengambil ikat pinggang dan mengenakannya: masukkan salah satu ujung ikat pinggang kelubang celana bagian depan, menarik ujung ikat pinggang kelubang sebelahnya, dan seterusnya hingga ikat pinggang memutar kembali kedepan, mengancingkan ikat pinggang pada lubang ikat pinggang yang sesuai.
7) Berikutnya yaitu individu mengambil sepatu dari rak sepatu, duduk di kursi, mengambil kaos kaki, sebelum mengenakan individu harus membedakan antara kaos kaki sebelah kanan dan sebelah kiri baru kemudian mengenakan kaos kaki dengan cara membuka kaos kaki dan memasukkan kaki lalu menarik kaos kaki sesuai bentuk kaki dan panjang kaos kaki baru setelah itu menegenakan sepatu,
pertama-tama sepatu sebelah kanan dilanjutkan sebelah kiri, mengkancingkan sepatu.
8) Tahap yang lain yaitu membuka kancing sepatu kiri-kanan dan menanggalkan sepatu kiri-kanan kemudian menanggalkan kaos kaki bagian kiri dan kanan, baru setelah itu menaruh pada rak sepatu. Sesudah itu menanggalkan atribut seragam sekolah (topi, dasi, ikat pinggang).
9) Tahap selanjutnya yaitu, menanggalkan rok mulai dari memutar rok ke depan kemudian membuka pengait pada rok serta membuka reslesting dan menepatkan rok pada tempatnya dan kemudian menanggalkan seragam, pertama-tama membuka kancing pada seragam satu per satu dari atas ke bawah atau sebaliknya, lalu melepaskan lengan seragam dari lengan kiri dan kanan, kemudian meletakan seragam pada tempatnya.
10) Kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan teratur, secara perlahan-lahan individu dibantu dengan pengawasan dan evaluasi. Setelah berkelanjutan kemudian individu hanya diawasi dari kejauhan untuk melakukan kegiatan tersebut.
Dari pendapat para ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa berpakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk dapat diterima oleh masyarakat sehingga dapat menyampaikan pesan atau image kepada orang yang melihat.
Jadi keterampilan berpakaian seragam sekolah adalah kemampuan yang dimiliki individu mulai dari aspek-aspek memilih seragam sekolah, kemudian
mengambil dan memakai seragam mulai dari kemeja, rok, dasi, topi, ikat pinggang, kaos kaki dan sepatu pada sampai tahap menanggalkan sepatu, kaos kaki, dasi, topi, ikat pinggang, rok serta kemeja.
D. Pengaruh Metode Prompting dan Fading Terhadap Keterampilan Berpakaian Anak Retardasi Mental
Retardasi mental bukan merupakan suatu penyakit akan tetapi lebih pada suatu proses terhambatnya perkembangan mental. Anak-anak yang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan/intelektual yang lebih rendah sehingga mengalami kesulitan dalam proses belajar dan adaptasi sosial, seperti merawat diri (makan, berpakaian, mandi, ke kamar kecil) dan berkomunikasi (Anggraeni, 2010).
Menurut Somantri (2006) retardasi mental adalah kondisi dimana perkembangan kecerdasanannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak retardasi mental dalam kehidupan sehari-hari cenderung dikucilkan oleh teman-temannya sehingga mereka membutuhkan bantuan dari orang lain berupa dukungan sosial.
Robinson (1993) menjelaskan anak retardasi mental pada dasarnya mengalami hambatan dalam kemampuan kognitif, koordinasi motorik, dan sosialisasi, tetapi anak retardasi mental ini dapat diarahkan kepada pendidikan yang bersifat keterampilan sebagai bekal kemandirian hidup di masa depan. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki anak retardasi mental adalah dengan
mengembangkan keterampilan menolong diri sendiri salah satunya dalam hal meningkatkan keterampilan berpakaian.
Kasus anak retardasi mental untuk keterampilan berpakaian masuk dalam perilaku adaptif yang artinya kemampuan individu secara efektif ditingkatkan supaya dapat menghadapi kebutuhan untuk mandiri sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kemampuan mandiri penting untuk anak retardasi mental agar anak tidak bergantung dalam segala sesuatu terhadap orang lain. Setidaknya bisa berusaha sendiri dengan batas-batas kemampuan diri sendiri, bila sampai titik tertentu menemukan kesulitan bisa bertanya pada yang lebih tahu, atau lebih mengerti.
Upaya mengembangkan keterampilan berpakaian pada anak retardasi mental membutuhkan metode yang tepat salah satunya dengan metode prompting dan fading, dimana dalam metode prompting dan fading dapat digunakan untuk membentuk perilaku pada anak yang mengalami gangguan perkembangan (develompmental disabilities) salah satunya retardasi mental.
Miltenberger (2004) metode prompting dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku yang benar dan tepat selama dilakukannya pelatihan. Martin dan Pear (2003) menyatakan prompting sebagai perubahan secara bertahap dimana sebelum melangkah ke tahap berikutnya maka tahap sebelumnya harus berhasil terlebih dahulu, sehingga fading bertujuan untuk mengurangi dari
prompting yang berlebihan. Program modifikasi perilaku dalam metode prompting dan fading dilakukan agar anak retardasi mental mampu mengenakan
pakaian sendiri dengan menggunakan bantuan verbal prompts, gestural prompts,
modeling prompts serta physical prompts.
Riddick (1982) dan Venkatesan (2004) berpendapat bahwa peningkatan keterampilan berpakaian ini akan disertai dengan prinsip modifikasi perilaku untuk meningkatkan perilaku. Prinsip modifikasi perilaku yang akan digunakan adalah pemberian reinforcement positif setiap kali anak retardasi mental menampilkan tingkah laku yang diinginkan (berhasil berpakaian sendiri tanpa bantuan). Metode yang digunakan adalah prompting dan fading dimana dalam metode ini prompting yang memberikan kesempatan bagi anak retardasi mental untuk melakukan kegiatan berpakaian sendiri dan fading diberikan agar anak retardasi mental tidak bergantung oleh prompting, hal ini supaya membuat anak retardasi mental lebih mengenal kemampuan dirinya dan lebih percaya diri untuk mencoba melakukan lebih baik pada kesempatan lain.
Jika peningkatan kemandirian dalam keterampilan berpakaian berhasil, maka dengan menggunakan metode yang sama, fungsi mandiri sehari-hari (fungsi bantu diri) lain yang belum terbentuk juga dapat menerapkan prinsip yang sama. Fungsi mandiri sehari-hari (fungsi bantu diri) lain yang dapat dibentuk adalah fungsi bersih diri dan makan. Peningkatan keterampilan berpakaian bagi anak penderita retardasi mental menjadian individu mulai dapat mandiri dan percaya diri untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhannya sendiri, sesuai dengan usianya.
Dari pemaparan di atas peneliti tertarik mengkombinasikan metode
karena dalam metode prompting dan fading sangat memberikan bantuan yang efektif untuk kelancaran keterampilan berpakaian anak retardasi mental, Sehingga anak retardasi mental mampu meningkatkan keterampilan berpakaian serta anak dapat semakin mandiri, mengurangi ketergantungan akan bantuan orang lain pada area bantu diri yang dimiliki.
E. Kerangka Pemikiran
Metode yang digunakan untuk melatih keterampilan berpakaian pada penelitian ini adalah prompting dan fading. Dalam metode prompting dan fading ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berpakaian yang dimiliki sehingga anak retardasi mental dapat semakin mandiri, mengurangi ketergantungan akan bantuan dari orang lain pada area bantu diri yang dimiliki.
Berdasarkan uraian di atas, diharapkan bahwa dengan metode prompting dan fading dapat membantu keterampilan berpakaian anak retardasi mental. Secara sederhana gambaran dari kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Metode Prompting dan Fading
F. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
Ada pengaruh metode prompting dan fading terhadap keterampilan berpakaian anak retardasi mental.
39
A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas (X) : Metode Prompting dan Fading.
2. Variabel terikat (Y) : Keterampilan Berpakaian Anak Retardasi Mental.
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Metode prompting yaitu, bantuan atau arahan dengan memberikan verbal
prompts yaitu, bantuan dalam bentuk instruksi singkat dan jelas artinya singkat
terdiri kata yang pendek, jelas maksudnya perintah sesuai dengan apa yang akan diajarkan maksudnya, sedangkan physical prompts yaitu, bantuan dengan cara menyentuh fisik (tangan, kaki) subjek dengan tujuan memberikan arahan secara tepat. Sedangkan fading yaitu, bagaimana memecah bantuan yang diberikan kepada individu, agar individu tidak tergantung terhadap bantuan yang diberikan.
2. Keterampilan berpakaian anak retardasi mental adalah kecakapan individu untuk dapat memilih jenis pakaian yang akan digunakan, mengambil pakaian dari lemari, memakai, menanggalkan pakaian dengan benar dan lengkap sehingga menjadikan individu mandiri tanpa harus dibantu orang lain. Jenis pakaian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pakaian seragam
sekolah. dalam memakai seragam sekolah individu terlebih dahulu belajar langkah-langkah mengenakan dan menanggalkan seragam sekolah.
C. Subjek Penelitian
Penelitian ini mengambil subyek siswi SLB Putra Idhata Kabupaten Madiun berinisial IM yang berusia 10 tahun dengan jenis kelamin perempuan, dan duduk di kelas 2 SD. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 1 orang, dengan kategori retardasi mental mampu latih dan mempunyai masalah dalam keterampilan merawat diri khususnya keterampilan berpakaian.
D. Desain Penelitian
Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku individu yang diamati, maka penelitian eksperimen merupakan penelitian yang bersifat prediktif, yaitu meramalkan akibat dari suatu manipulasi terhadap variabel terikatnya (Latipun, 2004).
Desain eksperimen merupakan suatu proses yang diperlukan dalam merencanakan dan melaksanakan suatu eksperimen, dalam arti lain desain eksperimen disebut sebagai suatu proses merencanakan eksperimen, sehingga hasil yang diperoleh dapat memecahkan masalah secara mantap (Latipun, 2004).
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pra-eksperimental, yaitu eksperimen yang dilakukan dengan tanpa melakukan pengendalian terhadap
variabel-variabel yang berpengaruh, yang diutamakan dalam penelitian ini adalah perlakuannya saja, tanpa ada kelompok kontrol.
Desain dalam penelitian ini adalah eksperimen kasus tunggal, yaitu sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perilaku dengan kasus tunggal. Adapun format desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain A-B-A-B. Desain A-B-A-B pada pokoknya adalah desain A-B-A dengan tambahan fase perlakuan kedua. Desain ini tidak hanya mengatasi penolakan etika sebagaimana pada desain A-B-A, dengan berakhirnya eksperimen selama fase perlakuan, tetapi juga sangat memperkuat kesimpulan eksperimen dengan menunjukkan dua kali efek perlakuan dua kali. Fase perlakuan kedua tidak dikehendaki, dapat diperpanjang melampuhi akhir eksperimen yang sesungguhnya. Apabila penggunaan desain A-B-A-B memungkinkan, desain tersebut menyediakan bukti yang sangat meyakinkan dari perlakuan. Skema desain A-B-A-B adalah sebagai berikut (Latipun, 2004).
O O O X O X O X O O O O X O X O X O Fase A Fase B Fase A Fase B
Gambar 2
Rancangan Eksperimen Keterangan :
O : baseline X : perlakuan
Jika perilaku meningkat selama fase perlakuan, maka terdapat efektivitas perlakuan.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi. Alasan pemilihan metode ini karena dengan menggunakan metode ini diharapkan tidak akan terjadi manipulasi perilaku subjek. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:
1. Wawancara Mendalam
Proses wawancara dilakukan dengan bantuan orang tua dan guru pengajar subjek. Wawancara dengan guru dilakukan pada saat jam mengajar selesai sehingga tidak menganggu saat jam-jam pelajaran, sedangkan wawancara orangtua subjek (ibu) dilakukan pada saat menunggu subjek di sekolah dan di rumah. Wawancara guru dan orangtua subjek dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya (Moleong, 2005).
2. Observasi
Proses observasi dilakukan pada saat subjek di sekolah dan rumah hal-hal yang diamati antara lain perilaku dan aktivitas subjek di sekolah, hubungan dan interaksi sosial dengan guru maupun teman sebaya. Selain di sekolah peneliti melakukan observasi di rumah, mulai dari kondisi rumah, kedekatan subjek dengan keluarga dan kedekatan dengan lingkungan sekitar hingga sampai pada keterampilan berpakaian subjek.
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data yang melalui pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan untuk memaksimalkan kemampuan penulis dalam menginterpretasikan data dan mendeskripsikan hasil penelitian (Moleong, 2005).
Keuntungan menggunakan metode observasi dalam sebuah penelitian adalah dapat melihat secara langsung dan mendapatkan informasi yang murni tentang subjek penelitian. Selain itu, observasi dalam penelitian ini juga ditujukan untuk membahas mengenai lingkungan tempat tinggal, keadaan sosial dan ekonomi keluarga, penampilan fisik, perilaku, dan cara bertutur subjek penelitian. Metode observasi yang digunakan pada penelitian ini lebih bersifat empiris, bukan interpretatif.
3. Sistem Scoring
Mengenai scoring, dapat diberikan score/nilai untuk mempermudah pencatatan. Besaranya nilai yang diberikan adalah sebagai berikut:
a. 1 = Tidak mampu, apabila individu tidak menunjukkan perilaku sama sekali.
b. 2 = Kurang Mampu, apabila individu mulai menunjukkan perilaku namun tidak terarah.
c. 3 = Cukup Mampu, apabila individu menunjukkan perilaku namun masih kurang tepat atau pas.