• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan keteladanan sampai saat ini masih sangat perlu untuk dicari dan kemudian dirumuskan kembali. Hal ini ditujukan agar pendidikan dapat mencapai sasarannya dengan baik. Pada masa sekarang ini sangat sulit mencari sosok seorang guru yang dapat dijadikan sebagai panutan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Kedua hal tersebut harus ada keserasian, agar dapat menjadikan seorang manusia cerdas yang berbudi.

Begitu pentingnya suatu keteladanan dalam upaya pembentukan pribadi seorang anak, sehingga untuk mencapai kesuksesannya, pendidikan Islam berusaha menerapkan metode keteladanan tersebut dalam sistem pendidikannya. Namun permasalahan yang ada adalah dari faktor pendidik, termasuk di dalamnya adalah guru. Guru pada masa sekarang kurang dan bahkan tidak memperhatikan aspek keteladanan dalam proses pendidikannya. Mereka lebih berperan sebagai agen transfer of knowledge daripada transfer of value. Proses transfer of value ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri anak. Proses tersebut akan mengena dan diterima dengan baik oleh anak, apabila nilai-nilai tersebut logis dan disertai dengan contoh nyata.1 Dengan contoh konkrit dari pendidik, maka anak didik dapat dengan mudah menerima pesan yang ditujukan kepadanya. Dan kemudian mereka mau mengaplikasikan dalam kehidupannya. Untuk tujuan inilah, maka dalam proses pendidikannya, pendidikan Islam berusaha mengangkat derajat guru dan meletakkannya dalam tingkat pimpinan dan teladan dalam bidang pikiran dan spiritual.2 Dalam hal ini pendidik mempunyai kewenangan untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik.

Pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan pendidikan agama, bertujuan menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri anak sehingga prinsip

1

Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 2, hlm. 21.

2

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. 1, hlm. 584.

(2)

keislaman akan menyatu dan akhirnya menjadi jiwa dalam setiap perilaku anak. Namun usaha ini bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini berkaitan dengan adanya tantangan yang senantiasa menghadangnya. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana memahami simbol-simbol dalam pendidikan agama dan menangkap makna hakiki di baliknya dengan menggunakan ilmu.3 Begitu agungnya misi yang terkandung dalam pendidikan agama, sehingga diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaharui pilihan substansi ajaran keagamaan yang hendak ditanamkan kepada anak didik serta masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari dan menemukan metode pendidikan dan pengajaran agama yang efektif, efisien, dan produktif.4 Dengan penggunaan metode yang tepat, maka diharapkan misi yang dicita-citakan akan dapat tercapai.

Sebagai seorang pendidik, guru harus terus mengarahkan anak didik kepada pembinaan adat atau watak yang baik dengan cara memupuk kebiasaan dalam rangka menumbuhkan rasa cinta kepada hal-hal yang baik, serta kemauan untuk merealisasikannya atau mengikutinya.5 Kebiasaan yang baik ini akan menjadi teladan bagi anak didik. Unsur keteladanan ini ditujukan agar nilai-nilai dapat tersalurkan dengan mudah dan membekas dalam diri anak didik.

Dari fungsi pendidik (guru) sebagai agen transfer of value itulah kemudian muncul persoalan akan perlunya unsur keteladanan dalam pendidikan. Unsur utama dalam keteladanan adalah nilai. Permasalahan yang ada dalam pendidikan adalah keringnya nilai dalam proses tersebut. Padahal di sisi lain, nilai dalam pendidikan merupakan unsur yang penting. Dengan mendidikkan dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai pengetahuan yang disertai dengan contoh-contoh teladan dari sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan anak didik dapat menghayati dan kemudian

3

Hal ini ditujukan agar kita tidak terjebak dalam masalah perumpamaan atau simbol tanpa makna, dan pada akhirnya gagal dalam menangkap esensi ajaran agama itu sendiri. Dalam Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 160.

4

Ibid.

5

Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm. 96.

(3)

menjadikan nilai-nilai tersebut menjadi miliknya sehingga dapat menumbuhkan sikap mental.6 Tujuan dari penanaman nilai-nilai dalam pendidikan adalah agar nilai-nilai tersebut dapat melekat dalam jiwa anak didik. Apabila suatu nilai telah melekat pada pribadi seseorang, maka nilai itu akan menjadi jiwa dan semangat yang selalu memberi arahan-arahan yang baik. Pada dasarnya secara psikologi anak senang meniru, tidak hanya yang baik, yang jelek pun ditirunya.7 Untuk itulah seorang guru harus mengontrol perilakunya baik itu ketika berhadapan langsung dengan anak didik maupun tidak, karena semua perilakunya akan dicontoh oleh mereka. Anak tersebut tidak memperdulikan apakah yang dicontoh itu baik atau buruk. Dalam diri anak, yang penting adalah mereka meniru orang yang dianggap sebagai panutan baginya. Menurut A. Qodri A. Azizy, jika ada guru yang mempunyai perilaku jelek sedikit, murid akan mencontohnya dengan perilaku yang jelek dan bahkan lebih lagi.8 Inilah yang menjadi tantangan bagi guru untuk selalu menjadikan dirinya tetap menampilkan etika-etika kependidikan dalam setiap perilakunya.

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membawa manusia pada derajat yang lebih tinggi. Dan proses ini merupakan hal yang fitri dalam diri seseorang. Secara naluri tidak dapat disangkal bahwa manusia memang membutuhkan adanya pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam kajian filsafat pendidikan tentang kedudukan manusia sebagai homoeducandum yakni manusia adalah makhluk yang harus dididik.9 Maksud dari ungkapan ini adalah manusia bisa menjadi ‘manusia’ apabila ia mendapatkan pendidikan (dididik).

Proses pendidikan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan dari proses pengajaran. Kadang-kadang kita terkecoh oleh kedua makna kata

6

Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), Cet. 9, hlm. 136.

7

Lift Anis Ma’shumah, “Pembinaan Kesadaran Beragama Pada Anak”, dalam Ismail SM, (eds), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, hlm. 226.

8

A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), Cet. 2, hlm. 165.

9

Zuhairini, et. al., Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. 2, hlm. 97.

(4)

tersebut, keduanya dianggap sama. Persamaan antara pendidikan dan pengajaran adalah, keduanya merupakan salah satu usaha yang bersifat sadar tujuan, yang dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan anak.10 Kedewasaan ini tidak hanya diukur dari segi usia. Kematangan dalam berfikir juga merupakan alternatif penilaian kedewasaan seseorang. Kematangan diri inilah yang nantinya akan mengantarkan seorang individu menjadi pribadi yang mantap. Dalam hal ini, Islam menghendaki manusia untuk dididik agar ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana telah digariskan oleh Allah SWT.11

Manusia merupakan makhluk yang terdiri atas dua substansi, yaitu substansi jasad atau materi dan substansi non jasadi atau immateri. Keduanya merupakan unsur pokok sebagai bekal menjadi khalifah sekaligus ‘abd di muka bumi. Dengan adanya tugas tersebut, manusia dilengkapi dengan alat-alat potensial dan juga potensi-potensi dasar atau fitrah. Fitrah tersebut harus diaktualkan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata melalui pendidikan.12 Kata ini memang mudah diucapkan, tetapi sulit dalam pelaksanaannya. Kadang tanpa disadari proses pendidikan yang telah dilaksanakan mengalami kegagalan, tetapi ironisnya tidak ada yang menyadarinya. Secara lahir, proses pendidikan mungkin sudah dikatakan berhasil. Tetapi kemudian muncul pertanyaan apakah tujuan hakiki dari pendidikan sudah terealisir ataukah belum. Pertanyaan ini muncul karena perbuatan mendidik harus memuat tanggung jawab rasional dan moral, karena kegiatan ini menyangkut perbuatan mempengaruhi dan membimbing jiwa raga anak.13 Tanggung jawab ini adalah tugas yang berat karena berkaitan dengan jiwa dan nurani seorang pendidik. Hal ini tidak bisa dimanipulasi oleh pelaku pendidikan karena berkaitan dengan tuntutan moral dalam diri pendidik.

10

Sardiman A.M., op cit, hlm. 12.

11

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2004), Cet. 4, hlm. 46.

12

Muhaimin, et. al., Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2002), Cet. 2, hlm. 12.

13

Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Mandar Maju, 1992), Cet. 1, hlm. 92.

(5)

Untuk tujuan tersebut, sebagai pendidik, guru harus memahami dan pandai mempergunakan segala macam metode yang berdayaguna dalam penerapan proses kependidikan.14 Pemakaian metode yang tepat dalam proses pendidikan akan sangat berperan dalam usaha mempengaruhi diri pribadi anak. Usaha mempengaruhi tersebut tidak akan mengena pada jiwa anak apabila seorang guru kurang tepat dalam pemakaian suatu metode.

Usaha mempengaruhi ini berkaitan dengan kepribadian seorang anak, dimana diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menanamkan sesuatu dalam diri anak. Seorang guru yang ingin membentuk kepribadian kuat dalam diri anak, maka ia harus membesaran anak tersebut dengan menggunakan metode yang tepat sehingga anak tersebut mempunyai kepribadian yang terpuji.15 Salah satu metode yang influentif dalam mempersiapkan dan membentuk moral anak adalah metode keteladanan.16 Dengan metode ini diharapkan anak dapat dengan mudah menangkap dan mencerna pesan moral dalam proses pendidikan. Disamping itu, dengan adanya contoh konkrit, anak menjadi tergugah untuk meniru apa yang disampaikan oleh guru.

Metode keteladanan ini, disamping efektif bagi pendidikan anak, juga dapat mengasah kreatifitas diri seorang pendidik. Menurut Charles Schaefer, teladan dapat lebih efektif dari bahasa sendiri karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berarti dan menyediakan suatu contoh yang jelas ditiru17 Dengan isyarat tersebut, diharapkan pesan yang disampaikan oleh pendidik akan diterima anak didik dengan baik. Dalam hal ini, anak tidak akan merasa kesulitan untuk menerjemahkan isyarat-isyarat yang disampaikan kepadanya. Dalam bukunya, Ag. Soejono menyatakan bahwa seorang pendidik tidak cukup menjadi pembawa norma-norma, melainkan wajib

14

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. 5, hlm. 143.

15

Shinichi Suzuki, Mengembangkan Bakat Anak Sejak Lahir, terj. Sidha Judiastri Suhayanto A., (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 53.

16

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, (Bandung: asy-Syifa, 1988), Cet. 1, hlm. 2.

17

Charles Schaefer, Bagaimana Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, (Medan: Monora, 1979), hlm. 21.

(6)

menjadi pemilik norma-norma tersebut.18 Maksud pemilik disini bisa diartikan bahwa seorang pendidik disamping menyampaikan norma-norma, ia juga harus mengamalkan apa yang ia sampaikan dalam segala perilakunya. Ia tidak cukup hanya memberikan teladan, tetapi juga harus menjadi teladan bagi anak didiknya.

Sungguh mulia dan berat tugas seorang pendidik. Apabila tugas ini dapat dilaksanakannya dengan baik, maka ia adalah seorang pendidik yang sejati. Pendidik yang diidentikkan dengan guru, mempunyai fungsi tersendiri. Fungsi guru yang paling utama adalah memimpin anak-anak, membawa mereka ke arah tujuan yang tegas.19 Dalam bukunya, Made Pidarta mengatakan bahwa salah satu kode etik seorang pendidik adalah ia harus menjadi teladan dalam berperilaku. Menjadi teladan dalam mendidik merupakan faktor yang penting, sebab disamping memakai pikiran, perkataan dan ketrampilan, pendidik juga mendidik melalui pribadinya.20 Dengan demikian dimanapun dan kapanpun seorang pendidik berada, ia harus senantiasa menampilkan sosok pribadi yang unggul karena ia menjadi panutan orang-orang di sekitarnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Earl V. Pullias dan James D. Young, bahwa dari sekian banyak tugas yang dipunyai oleh seorang guru, salah satu yang paling besar adalah menjadi teladan atau contoh bagi murid-muridnya dan bagi semua yang memandangnya sebagai guru.21 Dari sini terlihat bahwa seorang guru tidak hanya menjadi panutan bagi anak didiknya saja, tetapi juga sebagai panutan bagi lingkungan sekelilingnya. Namun yang terjadi adalah tidak diperhatikannya unsur keteladanan dalam proses pendidikan, sehingga tugas utama seorang guru sebagai teladan tidak tampak.

18

Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: CV. Ilmu, 1980), Cet. 2, hlm. 155.

19

Disamping sebagai orang tua, guru juga harus menjadi model atau suri teladan bagi anak. Dengan adanya model tersebut, anak akan merasa aman dan selanjutnya rela menerima petunjuk maupun teguran, atau bahkan hukuman. Lihat S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. 7, hlm. 124.

20

Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. 1, hlm. 275.

21

Earl V. Pullias dan James D. Young, Guru dan Peranannya, (Yogyakarta: Gunung Agung, t.t.), hlm. 31.

(7)

Dengan adanya fenomena pengabaian aspek keteladanan, khususnya dalam pendidikan Islam, maka merupakan hal yang bijak untuk menelaah kembali konsep keteladanan yang ditawarkan oleh Abdullah Nashih Ulwan. Beliau adalah tokoh pendidikan Islam yang telah begitu banyak memberikan kontribusi melalui berbagai pemikiran-pemikirannya. Konsep keteladanan yang beliau kemukakan merupakan deskripsi dari keteladanan Nabi Muhammad saw. Konsep ini sangat bermakna dalam pengembangan metode pendidikan Islam pada khususnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengangkat judul “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya dalam Kepribadian Guru”.

B. Penegasan Istilah

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman mengenai arah judul yang dimaksud, penulis akan menegaskan istilah-istilah dari judul yang dimaksud, yaitu:

1 Keteladanan

Keteladanan berasal dari kata teladan yang berarti perbuatan, barang dan sebagainya yang patut ditiru, sedangkan keteladanan berarti hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh.22 Hal-hal tersebut dapat berupa hal-hal yang konkrit maupun abstrak. Keteladanan itu kemudian berusaha diterapkan dalam diri anak didik, sehingga nilai-nilai yang diharapkan akan menjadi milik anak didik. Keteladanan yang dimaksud adalah keteladanan sebagai metode dalam pendidikan. Keteladanan ini adalah keteladanan yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab ‘Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam’.

2 Abdullah Nashih Ulwan

Beliau adalah seorang tokoh pendidikan yang berkonsentrasi menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan, dakwah, dan kajian

22

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. 3, hlm. 1025.

(8)

keislaman. Beliau lahir di Kota Halab, Syiria pada tahun 1987. Beliau juga aktif sebagai da’i di sekolah-sekolah dan masjid di Halab.

3 Aktualisasi

Secara harfiah, aktualisasi berasal dari kata actualize yang berarti mewujudkan, melaksanakan.23 Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, aktualisasi berarti proses menjadi nyata atau menjadi sadarnya ingatan.24 Jadi aktualisasi merupakan proses mewujudkan atau melaksanakan sesuatu agar menjadi nyata. Disini penulis berusaha mewujudkan nilai-nilai keteladanan yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam pribadi seorang guru.

4 Kepribadian

Kepribadian merupakan sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang kemudian membedakan dirinya dengan orang lain,25 sehingga merupakan ciri seseorang. Kepribadian ini dapat dilihat dari sikap yang ditampilkannya.

5 Guru

Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.26 Guru merupakan salah satu pendidik yang berperan dalam membimbing anak didik menuju kedewasaannya. Dan guru yang dimaksud disini adalah guru Pendidikan Agama Islam.

C. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, dapat diangkat beberapa permasalahan, yaitu:

1 Bagaimanakah keteladanan menurut Abdullah Nashih Ulwan?

2 Bagaimana keteladanan menurut Abdullah Nashih Ulwan dan aktualisasinya dalam kepribadian guru?

23

Hassan Shadily dan John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), Cet. 22, hlm. 10.

24

Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hlm. 137.

25

Ibid., hlm. 788.

26

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Edisi 2, hlm. 330.

(9)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1 Untuk mengetahui bagaimanakah keteladanan menurut Abdullah Nashih Ulwan.

2 Untuk mengetahui bagaimanakah keteladanan menurut Abdullah Nashih Ulwan dan aktualisasinya dalam kepribadian guru.

Manfaat penelitian ini adalah: 1 Secara teoritis

Untuk mengetahui bagaimanakah keteladanan yang telah ditulis oleh Abdullah Nashih Ulwan sebagai sumbangsih bagi khazanah ilmu pendidikan pada umumnya dan ilmu pendidikan Islam pada khususnya. 2 Secara praktis

Untuk mengetahui bagaimanakah keteladanan menurut Abdullah Nashih Ulwan tersebut dalam diri seorang guru yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan informasi bagi para guru dalam mencapai pribadi yang ideal sebagai teladan bagi anak didik.

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai tokoh pendidikan, pemikiran Abdullah Nashih Ulwan sudah tidak asing lagi di kalangan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Beliau adalah pakar ilmuwan Islam yang telah banyak memberikan kontribusi melalui pemikiran-pemikirannya. Salah satu hasil karyanya adalah konsep keteladanan sebagai metode dalam pendidikan Islam.

Untuk memudahkan mendapatkan data dan juga untuk menghindari duplikasi penelitian, penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu:

(10)

1 Tesis Siti Mislikhah yang berjudul “Keteladanan dan Pembiasaan Sebagai Metode Pendidikan Keluarga Islam”.27 Tesis ini mendeskripsikan tentang pentingnya metode keteladanan dan pembiasaan dalam upaya mendidik anak. Pendidikan anak pada dasarnya adalah proses pembentukan kepribadian. Dan kedua metode ini merupakan metode yang efektif dan influentif dalam pendidikan kepribadian.

2 Skripsi Wahidin yang berjudul “Konsep Pendidikan Seks Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam Kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam”.28 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anaknya untuk memberikan pendidikan seks kepada anaknya agar mereka terhindar dari penyimpangan seks.

3 Skripsi Nur Faizah yang berjudul “Konsep Pendidikan Seks Bagi Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak Anak”.29 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa pendidikan seks juga diperlukan bagi anak. Namun disamping diberi pemahaman tentang seks, anak juga harus tetap diberi pendidikan akhlak agar mereka tidak terjerumus dalam dunia yang salah. Dan untuk mendidik anak tersebut digunakan metode teladan, nasihat, perintah, dan anjuran, latihan, dan hadiah.

4 Skripsi Sudardi yang berjudul “Metode Teladan dan Nasihat dalam al-Qur’an Implementasinya dalam Akhlak Anak”.30 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa diantara metode pendidikan akhlak pada anak yang efektif dalam pembentukan kepribadian anak yaitu metode teladan dan nasihat. Dengan nasihat dan teladan anak dapat mengerti sesuatu yang

27

Siti Mislikhah, “Keteladanan dan Pembiasaan Sebagai Metode Pendidikan Keluarga Islam”, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo, 2003), t.d.

28

Wahidin, “Konsep Pendidikan Seks Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam Kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2004), t.d.

29

Nur Faizah yang berjudul “Konsep Pendidikan Seks Bagi Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak Anak”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.

30

Sudardi, “Metode Teladan dan Nasihat dalam al-Qur’an Implementasinya dalam Akhlak Anak”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), t.d.

(11)

belum diketahuinya dan menjadikan anak mempunyai kepribadian yang tinggi.

5 Skripsi Yolha Ulfana yang berjudul “Relevansi Tradisi Keguruan Rasulullah dalam Pendidikan Islam Modern”.31 Salah satu unsur penting dalam proses pendidikan adalah guru. Peran guru sebagai muaddib menuntut agar ia memiliki kepribadian. Untuk melacak masalah kepribadian yang ideal, maka harus mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw. Walaupun berpedoman pada perihidup rasulullah, namun dalam kehidupan modern, metode pendidikan rasulullah tersebut tidak dapat diterapkan secara kaku.

6 Skripsi Siti Kalimah yang berjudul “Persepsi Siswa Tentang Kepribadian Guru Pengaruhnya Terhadap Sikap Beribadah Siswa MI ad-Dainuriyah Semarang”.32 Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Dalam skripsi ini disebutkan bahwa kepribadian guru dicerminkan dalam perkataan dan perilakunya sehari-hari di sekolah. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap kepribadian guru di MI ad-Dainuriyah termasuk dalam kategori baik.

7 Skripsi Ja’far Shiddiq yang berjudul “Kepribadian Guru dalam Perspektif Surat al-Muddasir Ayat 1-7 Peranannya dalam Menyukseskan Tujuan Pendidikan Agama Islam”.33 Dalam skripsi ini disebutkan bahwa kepribadian guru dalam perspektif PAI lebih lengkap daripada kepribadian guru dalam perpektif surat al-Muddasir 1-7.

Penelitian yang telah dilakukan tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena penelitian yang penulis lakukan terfokus pada satu metode yakni metode keteladanan. Disamping itu, penelitian ini

31

Yolha Ulfana, ”Relevansi Tradisi Keguruan Rasulullah dalam Pendidikan Islam Modern”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2004), t.d.

32

Siti Kalimah, “Persepsi Siswa Tentang Kepribadian Guru Pengaruhnya Terhadap Sikap Beribadah Siswa MI ad-Dainuriyah Semarang”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), t.d.

33

Ja’far Shiddiq, “Kepribadian Guru dalam Perspektif Surat al-Muddasir Ayat 1-7 Peranannya dalam Menyukseskan Tujuan Pendidikan Agama Islam”, Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.

(12)

juga terfokus pada pendapat Abdullah Nashih Ulwan yang kemudian dihubungkan dengan kepribadian seorang guru.

F. Metodologi Penulisan Skripsi 1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi tokoh, sehingga penulis menggunakan pendekatan historis dan deskriptif. Pendekatan historis digunakan untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan mensintesiskan bukti untuk mendapatkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan.34 Pendekatan ini penulis gunakan untuk mengetahui biografi Abdullah Nashih Ulwan. Sedangkan pendekatan deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis bidang-bidang tertentu secara faktual dan cermat.35 Pendekatan kedua ini, dilakukan untuk mendeskripsikan pemikiran Abdullah Nashih Ulwan.

2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan menggunakan teknik library research (studi kepustakaan). Cara ini dilakukan dengan melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat. Sumber ini dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

a. Data primer (data tangan pertama)

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.36 Data

34

Jalaluddin Rachmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosda Karya, 1995), Cet. 4, hlm. 22.

35

Ibid.

36

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 91.

(13)

primer ini diperoleh dari buku yang ditulis oleh Abdullah Nashih Ulwan terutama yang berjudul ‘Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam’.

b. Data sekunder (data tangan kedua)

Data sekunder adalah sumber yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.37 Data ini diperoleh dari orang lain yang membahas tentang pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Wahidin yang berjudul “Konsep Pendidikan Seks Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam Kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam”, penelitian Nur Faizah yang berjudul “Konsep Pendidikan Seks Bagi Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak Anak”. 3 Teknik Analisa Data

Setelah dirasa cukup dalam memperoleh data-data yang diperlukan, kemudian penulis melakukan analisa data dengan menggunakan metode: a. Metode content analysis

Sesuai dengan sumber data yang digunakan dan juga jenis data yang diperoleh, maka penulis melakukan analisa terhadap data yang telah terkumpul dengan menggunakan metode content analysis yaitu analisis tentang isi pesan suatu komunikasi.38 Dari data yang diperoleh, penulis berusaha mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. b. Metode interpretasi

Metode ini dilakukan dengan cara menyelami isi buku untuk secepat mungkin menangkap isi dan nuansa uraian yang disajikannya.39 Dengan metode ini, peneliti berusaha untuk menyelami alam pikiran penulis yang kemudian dituangkan dalam tulisan, baik itu menggunakan bahasa sendiri maupun meminjam bahasa penulis.

37

Ibid.

38

Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), Cet. 7, hlm. 49.

39

Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 4.

(14)

c. Metode deduktif

Merupakan cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang khusus.40 Masalah umum tersebut berupa pemikiran Abdullah Nashih Ulwan yang ditulis dalam kitab ‘Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam’.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pembaca dalam memahami dan mengetahui pokok-pokok pembahasan skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan mengenai sistematika penulisan, yakni sebagai berikut:

Bagian pertama adalah bagian muka. Bagian ini terdiri dari Halaman Judul, Halaman Abstrak, Halaman Nota Pembimbing, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Persembahan, Halaman Kata Pengantar, dan Halaman Daftar Isi.

Pada bagian selanjutnya (bagian kedua) adalah bagian isi. Bagian ini terdiri dari beberapa bab, yaitu:

Bab pertama adalah Pendahuluan. Dalam bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penulisan Skripsi, dan Sistematika Penulisan Skripsi.

Bab kedua merupakan landasan teori tentang Kepribadian Guru yang meliputi: Pengertian Kepribadian dan Aspek Kepribadian, Karakteristik Kepribadian Guru; juga berisi tentang Keteladanan Guru yang meliputi: Kompetensi Kepribadian Guru dan Guru Sebagai Teladan.

Bab ketiga terdiri dari: Biografi Abdullah Nashih Ulwan yang meliputi Sejarah Hidup dan Riwayat Pendidikan serta Karya-Karya Abdullah Nashih Ulwan, Konsep Keteladanan Abdullah Nashih Ulwan yang meliputi Peranan Keteladanan dalam Pendidikan, Keteladanan Rasulullah Sebagai Figur

40

(15)

Seorang Muslim, Keteladanan Orang Tua dalam Mendidik Anak, dan Keteladanan Guru.

Bab keempat berisi tentang Formulasi Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam Kepribadian Guru yang meliputi: Aktualisasi Keteladanan Rasulullah dalam Kepribadian Guru, Aktualisasi Keteladanan Orang Tua dalam Kepribadian Guru, dan Aktualisasi Keteladanan Guru dalam Kepribadian Guru.

Bab kelima adalah Penutup yang meliputi Kesimpulan, Saran-Saran, dan Kata Penutup.

Pada bagian terakhir (bagian ketiga) penulis cantumkan daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat pendidikan penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tentang nilai perkembangan, ketercapaian KKM dan KKM indikator dapat dikatakan bahwa hasil belajar matematika siswa meningkat sehingga dapat menjawab

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kombinasi pupuk organik cair bio-stimulator dengan pupuk NPK yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) pengaruh jarak tanam berbeda nyata sampai berbeda sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 15, 30, dan 45 hari setelah

Sementara UKE pertanian meskipun ada di dalam masa PSBB ternyata memiliki kemampuan bertahan hidup yang masih baik, dengan rata-rata pengeluaran yang tetap berada

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan strategi pembelajaraan aktif tipe Questions Students Have lebih baik dari pada pemahaman

Zona bening yang terbentuk antara dua koloni cendawan disebabkan oleh adanya senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh koloni cendawan antagonis sehingga cendawan

Karena tiap teks ini sudah memiliki pemaknaan yang nyaris absolut dalam kehidupan sehari-hari, maka tawaran Wimo untuk menempatkannya dalam konteks yang lebih netral menjadi