• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN GADIS PAKARENA KARYA KHRISNA PABICHARA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN GADIS PAKARENA KARYA KHRISNA PABICHARA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

DEWI ANDRIANI S. NIP: 10533 7211 12

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

▸ Baca selengkapnya: siapakah tokoh utama dalam kutipan cerpen bingkisan lebaran

(2)
(3)
(4)

ii

"Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan

yang teguh."

Di atas segala asa, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,

Dialah puncak segala ketaatan. Berkat karunia-Nya yang besar

hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, teriring penghargaan, terima kasih, cinta dan ketulusan,

kupersembahkan sebuah karya untuk mereka yang menantikan

saat-saat ini.

Kupersembahkan karya ini sebagai tanda terima kasihku kepada

kedua orang tua tercinta Ayah Suryadi dan Ibu Kurniati, Suamiku

Alfirman Tato dan Anakku Muh. Fajar Alfirman, kakakku dan adikku

beserta keluargaku juga untuk teman-temanku yang senantiasa

memberikan do’a, harapan, dan semangat.

(5)

i

Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh H. Tjoddin SB., Pembimbing I dan Iskandar, Pembimbing II.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara berdasarkan Pendekatan Psikologi Sastra Teori Sigmund Freud. Data penelitian ini adalah kalimat-kalimat atau paragraf yang mengandung aspek-aspek kepribadian dari tokoh utama. Sumber data penelitian ini adalah kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara yang diterbitkan oleh Dolphin pada tahun 2012 (cetakan pertama).

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik baca dan teknik pencatatan atau pengartuan dengan menggunakan teknik analisis isi dengan menggunakan teori Sigmund Freudn

Dari hasil analisis data dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan, cerpen Mengawini Ibu dengan tokoh utama Rewa memiliki tiga aspek kepribadian yaitu Id, Ego, dan Superego. Cerpen Silariang dengan tokoh utama Syarifuddin Tola memiliki dua aspek kepribadian yaitu Id dan Ego. Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Superego adalah perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu itu hidup.

Saran dalam penelitian ini adalah (1) Bagi peneliti selanjutnya harus mencari konsep dasar tentang pendekatan psikologi sastra secara meluas. Serta mengembangkan kajian ini sehingga menghasilkan karya-karya yang di dalamnya memaparkan tentang psikologi seseorang. (2) Penelitian terhadap kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara masih dapat diteliti lebih lanjut dengan pendekatan yang lain untuk lebih memahami isinya.

(6)

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhana Wataala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Karakter Tokoh Utama pada Kumpulan Cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara (Pendekatan Psikologi sastra)” dapat dirampungkan untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mulai dari penyusunan proposal sampai rampungnya skripsi ini berbagai macam hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun, Alhamdulillah, berkat doa dan usaha yang penulis tempuh semua hambatan dan rintangan dapat teratasi.

Ucapan terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan kepada Ayahanda Suryadi dan Ibunda Kurniati, sembah sujud yang tidak terhingga atas segalah jerih payah, kesabaran, dan ketulusan hati mendoakan dan mencurahkan kasih sayang kepada penulis. Demikian pula kepada saudara-saudaraku (Hendra, Warni, Sutiawan, Vevti Deningsi, Muammar Awansyah, dan Reza fahrul Ilmi) dan segenap keluarga atas bantuannya selama ini.

(7)

membimbing penulis, bahkan telah banyak memberikan bantuan kepada penulis berupa arahan, nasihat, masukan serta semangat dengan segala ketulusan dan kerendahan hati dalam menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam merampung skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada; Dr. H. Adbul Rahman Rahim, SE.,MM. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph. D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dr. Munirah, M.Pd., ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar beserta seluruh dosen dan Staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah membekali penulis dengan rangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.

Ucapan terima kasih yang teristimewa kepada Suamiku Alfirman Tato dan Anakku Muh. Fajar Alfirman. Atas dukungan, doa, semangat selama ini kepada penulis, semoga Allah Swt melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Ucapan terimah kasih kepada sahabat-sahabat Kelas G Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 012. Terima kasih atas dukungannya, doa, semangat dan kebersamaanya selama ini dengan penulis. Dari semua bantuan yang telah diberikan, penulis tentunya tidak akan dapat membalasnya kecuali berdoa semoga Allah Swt.

(8)

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, Februari 2017

(9)

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah... 4 C. Tujuan penelitian ... 5 D. Manfaat Penelitian ... 5 BAB II PEMBAHASAN ... 6 A. Tinjauan Pustaka... 6 B. Kerangka Pikir ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Fokus Dan Desain Penelitian ... 32

B. Defenisi Istilah ... 33

C. Data Dan Sumber Data ... 33

(10)

A. Penyajian Hasil Analisis Data ... 36

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 56

A. Kesimpulan ... 56 B. Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN ... 59 A. Korpus Data B. Cerpen C. Gambar Cerpen D. Riwayat Hidup iv

(11)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai objek invidual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikan iadapat diposisikan sebagai dokumen sosio-budaya Iswanto (dalam Pradopo dkk, 2001: 59)

Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam bentuk situasi setengah sadar, setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar. Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta rasa (Endraswara,2008: 96).

Karya sastra bukan hanya berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, dan masa yang akan

(12)

datang, tetapi juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan (Tang, 2007: 01)

Sastra menurut Jatman dan Roekhan (Endraswara, 2008: 87-88) adalah sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi terlalu dekat hubungannya. Meskipun sastrawan jarang berfikir secara psikologis, namun karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan. Hal ini dapat diterima karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungannya lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Cerpen (cerita pendek) sebagai salah satu genre karya sastra (prosa fiksi), hadir sebagai bagian dari medium untuk mengetahui realitas sosial yang diolah secara kreatif oleh pengarang. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realitas kehidupan lewat cerita yang ada dalam cerpen tersebut. Cerpen dalam khazanah sastra indonesia menjadi bagian penting sejarah sastra indonesia. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai cerpen harus di tempatkan dalam mainstreamnya sendiri bukan sebagai tempelan belaka atau sekedar pelengkap. Saat ini cerpen menjadi hidup dalam dunia pembaca dan menelusuri kegelisahan kultural masyarakat pembaca.

Cerpen sering kali hadir di tengah-tengah masyarakat dengan kisah yang menggetarkan, di mana pengarang biasanya menulis cerpen sesuai dengan kisah

(13)

nyata yang biasa terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara terdapat empat belas judul cerpen. Namun, peneliti hanya mengkaji duajudul cerpen saja, karena kedua judul tersebut hadir dengan kisah-kisah yang menonjolkan kejiwaan tokoh utamanya, terutama pada judul: Mengawini Ibu dan Silariang. Setiap tokoh utama pada kumpulan judul cerpen tersebut mengalami konflik-konflik yang memilukan. Cerpen yang berjudul Mengawini Ibu dengan tokoh utama Rewa, Naura Shabrina, dan Althan Adiva yang kerap di panggil Daeng Sambang. Ketiga tokoh utama tersebut adalah keluarga, Rewa adalah buah hati dari Naura Shabrina dengan Althan Adiva (Daeng Sambang). Rewa sangat membenci ayahnya karena sering membawa perempuan yang belum dinikahi ke rumahnya setelah Ibunya jatuh dari tangga sampai-sampai tak kuasa memenuhi kebutuhan batin suaminya. Namun, perlakuan ayahnya tersebut dibalas Rewa dengan menggauli semua perempuan yang pernah dinikahi ayahnya. Pesan yang dapat dipetik pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara yaitu janganlah berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hati seorang perempuan, karena perbuatan yang buruk dapat balasan yang buruk juga dan jadilah seorang laki-laki yang dapat menerima kekurangan seorang perempuan.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji secara detail problem kejiwaan yang dialami tokoh utama dalam menghadapi konflik yang sulit diterimanya. Dalam studi psikologi, problem kejiwaan selalu menjadi kajian penting. Peneliti memilih pendekatan psikologis yang difokuskan pada psikologi Sigmund Freud sebagai alat pisau bedah dalam melakukan penelitian ini. Adapun alasan peneliti memilih

(14)

kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara untuk dikaji karena kumpulan cerpen ini lebih menonjolkan karakter tokoh utamanya. Adanya relevansi antara pendekatan yang digunakan dan objek yang dikaji akan lebih memudahkan peneliti di dalam mengkaji persoalan-persoalan psikologi yang terdapat pada kumpulan cerpen tersebut.

Peneliti tentang psikologi telah dilakukan oleh Nakti, (2010), dengan judul penelitian “Karakteristik Tokoh Utama pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, Budi Mulyadi, (2007), dengan judul penelitian “Karakter Tokoh Utama Novel Utsukushisa To Kananshimi karya Kawabata Yasunari, dan Rahmawati (2010), dengan judul penelitian “Analisis Watak Tokoh Utama Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra). Perbedaan peneliti terdahulu yaitu terletak pada perbandingan objek kajian, sedangkan penelitian pada kumpulan cerpen Mengawini Ibu fokus pada karakter tokoh utama. Persamaan peneliti terdahulu dengan penelitian pada kumpulan cerpen Mengawini Ibu yaitu masing-masing menggunakan psikologi kepribadian Sigmund Freud.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan saya teliti dalam penelitian ini adalah ‘‘Bagaimanakah karakter tokoh utama pada kumpulan cerpan Gadis Pakarena Karya Krisnha Pabichara dengan pendekatan teori Sigmund Freud ?”

(15)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara dengan pendekatan psikologi sastra teori Sigmund Freud.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diinginkan dari hasil penelitian sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih rinci dan mendalam tentang karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca, memberikan sumbangsi pemikiran atau bahan informasi pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara.

b. Bagi pencinta sastra, sebagai bahan masukan dalam upaya pengkajian maupun kajian-kajian yang lainnya.

c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang akan saya uraikan pada penelitian ini dasarnya adalah sejumlah teori yang akan dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan dengan masalah yang akan saya teliti. Maka ada beberapa teori yang dianggap relevan dan fokus yang akan saya kaji dalam penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian yang relevan

Peneliti tentang psikologi telah dilakukan oleh Nakti, (2010), dengan judul penelitian “Karakteristik Tokoh Utama pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik tokoh utama yaitu (a) Gus Jakfar dalam cerpen Gus Jakfar, Id, ego, dan superego dalam diri Gus Jakfar bekerja secara harmonis. Keistimewaan yang dimilikinya untuk membaca garis nasib seseorang tidak digunakan lagi setelah dihadapkan dengan kehidupan nyata Kiai Tawakal dan semua kehidupan dan nasib seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan. (b) Kang Kasanun dalam cerpen Kang Kasanun, superego Kang Kasanun mampu mengalahkan id dan mendorong ego untuk melaksanakan hal-hal yang bersifat moralitas. Kang Kasanun tidak lagi menggunakan ilmu kanuragan yang dimilikinya untuk perbuatan jahat. Hal ini dilakukan agar tidak merugikan masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya. (c)

(17)

Ndara Mat Amit dalam cerpen Ndara Mat Amit, Berdasarkan konflik yang dihadapi Ndara Mat Amit dengan Pak Min, maka mendominasi Id dalam diri Ndara Mat Amit dapat dikendalikan oleh Superego melalui doronga Ego yang menjadi pelaksana kepribadian yang bersifat moralitas agar tidak terjadi pertengkaran yang tidak rumit, Ndara Mat Amit memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat terjadinya pertengkaran. (d) Gus Muslih dalam cerpen Gus Muslih, dorongan superego dalam diri Gus Muslih mampu menahan implus-implus Id dan mendorong Ego dalam mengontrol Id dalam melaksanak nilai-nilai moralitas. Superego ditunjukkan Gus Muslih dalam menolong anjing yang sedang sakit dijalan raya dan membawanya pulang untuk diobati sampai sembuh Gus Muslih rela melepas jasnya untuk membungkus anak anjing yang kedinginan dan berceceran darah agar tidak mengotori mobil panitia yang mengantarnya. (e) Tokoh Aku dalam Cerpen Amplop Abu-Abu , ego tokoh Aku mampu menjabatani dorongan Id dalam menemukan pemecahan masalah atas masalah yang dihadapi tokoh Aku dengan lelaki misterius yang selalu mengikutinya saat ia mengisi ceramah didaerah-daerah. Budi Mulyadi, (2007), dengan judul penelitian “Karakter Tokoh Utama Novel Utsukushisa To Kananshimi karya Kawabata Yasunari. Hasil dari penelitian ini menunjukkanbahwa karakter tokoh utama dari segi fisik, Otoko digambarkan sebagai seorang pelukis wanita terkenal yang cantik memesona. Kecantikannya itu tidak hanya dikagumi kaum pria, wanita pun mengagumi kecantikannya. Pada usia remaja, Otoko digambarkan sebagai remaja polos dan lugu. Karena kepolosan dan keluguhannya itu Otoko terjebak kedalam hubungan cinta terlarang dengan seorang pria dewasa

(18)

yang sudah berkeluarga. Hubungan cinta terlarang itu membuat hidup Otoko penuh dengan keindahan dan kepiluan. Otoko digambarkan memiliki banyak sifat terpuji salah satu sifat terpujinya adalah kerendahan hatinya. Sifat terpuji lainnya adalah ia bukan seorang pendendam. Ia tidak pernah merasa dendam terhadap Oki yang telah menghabcurkan masa remajanya. Otoka digambarkan sebagai wanita yang bisa belajar dari pengalaman masa lalu serta bisa bangkit dari keterpurukan. Penderitaan masa lalunya dijadikan cambuk untuk menjadi orang sukses. Otoko sukses menjadi seorang pelukis terkenal akan tetapi kesuksesannya itu menjadikan ia memiliki sifat narsis. Sifat terpuji lain Otoko adalah kelapangan hatinya memaafkan orang yang pernah menghancurkan hidupnya. Otoko juga bukan seorang pendendam. Otoko digambarkan sebagi wanita yang apatis dan terobsesi pada kematian. Dari segi kepribadian Otoko didominasi oleh Idyang ditunjukkan oleh sikapnya yang cenderung hanya memikirkan kesenangan semata. Kehamilannya di luar nikah adalah salah satu contoh dari hasil perbuatan Otoko yang tidak mempertimbangkan moral. Hal itu merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang didominasi id. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya usia, kepribadian Otoko mulai berubah. Superego yang bekerja berdasarkan pertimbangan moral mulai mendominasi kepribadian Otoko. Otoko mulai bersikap dewasa dan bijaksana. Sikap lapang dada dan pemaafnya mendorong ia memaafkan semua kesalahan Okoi. Ketika Keiko berniat membalas dendam kepada Oki, Otoko mencegahnya. Rahmawati (2010), dengan judul penelitian “Analisis Watak Tokoh Utama Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra).Hasil dari penelitian ini

(19)

menunjukkan bahwa watak tokoh utama Nayla yaitu: (1) Emosionalitas : Mudah marah, suka tertawa, perhatian tidak mendalam, tetap didalam pendiriannya, tidak suka tenggang menenggang, jujur dalam batas-batas hukum, tidak ingin berkuasa, (2) Proses pengiring/fungsi sekunder : Tenang, egoistis dan (3) Aktivitas : Riang gembira, dengan keras menentang penghalang, pandangan luas, setelah bertengkar cepat mau berdamai, cepat putus asa, segala soal dipandang berat, nafsu birahi kerap kali menggelora, sulit membuka hati. Perbedaan peneliti terdahulu yaitu terletak pada perbandingan objek kajian, sedangkan penelitian pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena pada judul Mengawini Ibu dan Silariang fokus pada karakter tokoh utama. Persamaan peneliti terdahulu dengan penelitian pada kumpulan cerpen Gadis Pakarenapada judul Mengawini Ibu dan Silariang yaitu masing-masing menggunakan psikologi kepribadian Sigmund Freud.

2. Pengertian Sastra

Sastra (sansekerta/Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansakerta sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini bisa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusasteraan, satra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengepresikan pengalaman atau bahasa (Sadikin, 2010: 6).

(20)

Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.

Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Apabila isi tulisan cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya buruk, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra, begitu juga sebaliknya.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Mereka beranggapan bahwa teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subyaktif manusia.

Menurut Sadikin (2010: 6-7) dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.

b. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.

c. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau pembacanya karena sifat keindahannya.

(21)

d. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca atau peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.

e. Fungsi religius, yaitu sastra menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra.

3. Cerpen

Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen adalah salah satu genre sastra yang termudah usianya dibandingkan dengan penerbitan puisi dan novel. Hikayat, selingan, sketsa atau buah bibir adalah cikal bakal lahirnya bentuk cerpen.

Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu prosa fiksi dari segi kuantitas menggunakan 500-an kata sampai dengan 20.000 kata atau sekitar lima puluhan halaman. Dari segi kuantitas cerita pendek (cerpen) bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short story) bahkan sangat pendek sekali berkisar 500-an kata, cerpen yang panjangnya cukup (middle short story) dan cerpen panjang (long short story), terdiri dari puluhan ribu kata, (Nurgiyantoro,2007:10)

Menurut teori Poe, cerita dalam sebuah cerpen di lingkupi oleh dua efek. Efek pertama adalah hasrat atau kengerian, efek kedua adalah usaha untuk menjelaskan sesuatu secara cerdas atau disebut efek kecerdasan. Dua efek tersebut menguras habis emosi dan intelegensi pembaca. Namun ulasan selanjutnya cerpen lebih banyak dibangun oleh tema. Cerpen bukan lagi diintikan oleh efek melainkan pemahaman yang sebagian diantaranya menyangkut masalah nilai.

(22)

Cerpen pada akhir abad ke – 19 sebagian besar telah bergaya realistis, dialog-dialog yang ada didalamnya adalah cuplikan-cuplikan kehidupan sehari-hari, latar yang terlukis sangat detail dan situasi-situasinya memungkinkan untuk dikendali. Oleh karena itu sebagian besar pengarang modern berpendapat bahwa cerpen adalah eksplorasi pengalaman tertentu. Pengalaman terdiri atas berbagai reaksi terhadap kejadian nyata yang memproduksi aktualitas permukaan (Stanton, 2007:80).

Selanjutnya, Ajib Rosidi (dalam Tarigan, 1984: 176-177) memberikan batasan dan keterangan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang merupakan satu kesatuan dan ide. Sebuah cerpen harus lengkap, padat dan singkat dan semua bagian saling terkait satu sama lain dalam satu kesatuan dan titik klimaksnya ada pada akhir cerita.

Sebenarnya tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sastrawan memilliki rumusan yang tidak sama. Namun, Stanton (2007:76) mengemukakan bahwa hal yang terpenting dalam cerita pendek adalah bentuknya yang padat. Jumlah kata dalam cerpen harus jauh lebih berisi dibandingkan dengan novel. Setiap bab novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen pengarang harus mampu menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, tindakan-tindakan sekaligus secara bersamaan.

(23)

Peristiwa dalam fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa mampu menjalani suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku dalam sebuah cerita disebut penokohan.

Tokoh cerita (charakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,2010: 165).

Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh utama (tokoh sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut sebagai tokoh sentral apabiala memenuhi tiga syarat, yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006 :31).

Menurut Aminuddin (2010:80-81) ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh cerita, yaitu:

a. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.

b. Gambran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun caranya berpakaian.

c. Menunjukkan bagaimana perilakunya.

(24)

e. Memahami bagaimana jalan pikirannya.

f. Melihat bagaimana tokoh lain itu berbicara tentangnya. g. Melihat tokoh lain berbincang kepadanya.

h. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya. i. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

5. Psikologi Sastra

Kehadiran psikologi sastra di tengah-tengah kita sebenarnya telah lama, hanya belum disambut antusias. Meskipun agak sulit dipastikan, namun dapat diduga bahwa psikologi sastra pun sebenarnya berniat melengkapi pemahaman sastra. Lebih dari itu, belakangan psikologi sastra tampak telah menjadi kebutuhan akademisi. Psikologi sastra semakin mendapat tempat khusus di bangku-bangku kuliah. Menurut Semi (dalam Endraswara, 2008:7), ada beberapa asumsi yang memunculkan psikologi sastra telah dianggap penting, yaitu:

a. Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concius) dalam bentuk penciptaan karya sastra.

b. Mutu sebuah karya satra ditentukan oleh bentuk proses penciptaaan dari tingkat pertama, yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada dalam keadaan sadar.

(25)

c. Di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh, perlu pula mendapat perhatian dan penelitian, yaitu aspek makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra.

d. Karya yang bermutu menurut pendekatan psikologis, adalahkarya sastra yang mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan, perlambangan yang bersifat universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dll.

e. Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri.

f. Kebebasan individu penulis sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga mendapat tempat istimewa. Dalam hal ini, sangat dihargai individu yang senantiasa berusaha mengenal dirinya sendiri.

Pada dasarnya psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya, psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan perkembangan psikologi sastra agak lamban dikarenakan beberapa sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, psikologi sastra seolah0olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek individual, sehingga analisis dianggap sempit. Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga

(26)

para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra. Alasan di atas membuat psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti (Ratna, 2003:341).

Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara, 2003:960). Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita.

Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian (Endraswara, 2008:89).

Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menetukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi

(27)

yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, sastra simultan menemuka teori dan objek penelitian (Endraswara, 2008:89).

6. Psikologi Kepribadian Sigmund Freud

Sigmund Freud dilahiran di Freiberg, pada tanggal 6 Mei tahun 1856 dan meninggal dunia di London, Inggris pada tahun 1939 pada umur 38 tahun.Ia adalah seorang keturunan Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Meskipun demikian ia lebih suka tinggal di Wina. Di sana ia hidup hampir selama delapan puluh tahun. Andaikata kaum Nazi tidak menduduki Austria dalam tahun 1937, yang menyebabkan Freud harus mencari perlindungan di inggris, seluruh hidupnya, kecuali ketiga tahun pertama usianya, mungkin akan dilangsungkan di ibu kota Austria itu. (Hall. 2000:1).

Sejak kecil ia ingin jadi ilmuan dan memahami secara mendalam berbagai gejala alam yang diamatinya. Menurutnya cara terbaik dalam mencapai tujuan ini adalah dengan menempuh pendidikan kedokteran. Sebagai dokter ia mula-mula menaruh perhatian besar pada ilmu faal dan bercita-cita menjadi profesor di bidang ini. Kenyataan yang dihadapinya, gaji seorang ilmuan faal ternyata kecil. Setelah menikah dengan Martha Bernays (dan kemudian dikaruniai lima orang anak) ia lebih memusatkan diri berpraktek sebagai dokter dengan kekhususan neorologi pada Rumah Sakit Umum Wina. Melalui neorologi ia kemudian juga berkenalan dengan beberapa psikiater terkenal. Tahun 1882 ia berkenalan dengan dr. Josef Breur dari siapa ia belajar menyadari teknik penyembuhan gangguan kejiwan

(28)

dengan meminta pasien menceritakan sebanyak mungkin hal tentang gangguannya dan awal terjadinya gangguan. Tahun 1885 di Paris ia belajar hipnosa dari dr. Jean-Martin Charcot dan melihat bahwa gangguan histeria terjadi akibat permasalahan psikis (Moesono, 2003:2).

Sejak itu Freud terus memperdalam pemahaman dan penangan berbagi gangguan jiwa yang dialami pasien-pasiennya dan membentuk berbagai konsep yang sama sekali baru waktu itu dan yang akan dinamakannya Psikoanatis. Bersama Carl Gustav Jung dan Alfred Adler ia membentuk Internasional Psycko-Analytic Association yang sampai sekarang masih eksis di berbagai kota besar di Eropa dan Amerika. Pada tahun 1909 Freud diundang memberi sejumlah kuliah di Clark University (Amerika Serikat) dan mendapat gelar doctor honoris causa. Anugerah ini amat mengharukannya karena selama ini berbagai teorinya banyak mendapat tentangan sengit di Wina (Moesono,2003:2).

Salah satu penemuan besar psikologi adalah adanya kehidupan tak sadar pada manusia. Selama ini para ilmuan meyakini bahwa manusia adalah makhluk rasional yang sepenuhnya sadar akan segala perilakunya. Ketidaksadaran ini adalah segi pengalaman yang tak pernah kita sadari (karena terjadi pada tahap perkembangan dimana kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) atau kita repres (secara tidak sadar tidak ingin kita sadari karena kita anggap mengganggu diri kita).

Bagi Freud ketidaksadaran merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak teprinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru ditentukan oleh alam tak

(29)

sadarnya. Ia membayangkan kesadaran manusia sebagai gunung es dimana hanya sebagian kecil saja yaitu puncak tertatasnya yang tampak terapung di laut. Bagian yang terendam ini di bagi menjadi dua yaitu : bagian pra-sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke kesadaran dan bagian tak sadar yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tak sengaja, fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongend dan sebagainya (dalam Maesono, 2003:3)

Tahun 1923 Freud (dalam Maesono, 2003;3-4) secara tegas mengemukakan dalam bukunya The ego and the id pandangannya mengenai struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian yaitu id, ego, dan super ego yang bekerjasama menciptakan perilaku manusia.

a. Id

Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Satu-satunya yang diketahui Id adalah perasaan senang-tidak senang , sehingga dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Teori Freud sebagai keseluruhan juga dikenal sebagai teori penurunan ketegangan (Maesono, 2003: 3-4).

Id adalah sumber primer dari energi rohaniah dan tempat berkumpul naluri-naluri. Id lebih dekat hubungannya dengantubuh dan proses-prosesnya daripada dengan dunia luar. Id kekurangan organisasi dibandingkan dengan ego den

(30)

superego. Energinya berada dalam keadaan bergerak sehingga energi itu dapat diredakan dengan segera atau dipindahkan dari suatu benda ke benda lain. Id tidak berubah menurut masa; ia tidak dapat diubah oleh pengalaman, karena ia tidak ada hubungannya dengan dunia luar. Akan tetapi ia dapat dikontrol dan diawasi oleh ego (Hall, 2003: 22-23).

b. Ego

Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada Id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian Ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan dalam batas tertentu. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle) , artinya ia dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan (fisik maupun sosial) dan hatu nurani. Ego menjalankan proses sekunder (secondary process), artinya ia menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik (Maesono, 2003:4).

Dalam seseorang yang wataknya tenang, ego adalah pelaksanaan dari kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan super ego dan memelihara hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian dan keperluannya yang luas. Jika ego ini melakukan perbuatan pelaksanaannya dengan bijaksana akan terdapatlah harmoni dan keselarasan. Kalau ego mengalah atau menyerahkan kekuasaannya terlalu banyak kepada id, kepada super ego atau

(31)

kepada dunia luar, akan terjadi kejanggalan dan keadaan tidak teratur (Hall, 2000: 25).

Ego dikuasai oleh prinsip kenyataan (reality principle). Kenyataan berarti apa yang ada. Tujuan dari prinsip kenyataan ini adalah untuk menangguhkan perbedaan energi sampai benda nyata yang akan memuaskan keperluan telah diketemukan atau dihasilkan. Penangguhan suatu tindakan berarti bahwaego harus dapat menahan ketegangan sampai ketegangan itu dapat diredakan dengan suatu bentuk kelakuan yang wajar. Pembentukan prinsip kesenangan hanya dibekukan untuk sementara waktu untuk kepentingan kenyataan. Akhirnya, prinsip kenyataan menuju juga kearah kesenangan, meskipun seseorang harus menahan sedikit kegerahan sambil mencari kenyataan (Hall, 2000:26).

Prinsip kenyataan diladeni oleh suatu proses yang telah Freud dinamakan proses sekunder, oleh karena proses ini berkembang sesudah dan melingkupi proses primer dari Id. Proses sekunder terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah berkembang melalui pikiran dan akal (pengenalan). Proses sekunder tidak kurang dan tidak lebih sifatnya dibanding yang biasa disebut pemecahan soal atau pemikiran. Kalau seseorang melaksanakan suatu rencana tindakan untuk melihat apakah rencana itu akan berjalan atau tidak, ia dikatakan sedang menguji kenyataan. Proses sekunder menunaikan apa yang tidak dapat dilakukan oleh proses primer, yaitu untuk memisahkan dunia pikiran yang subjektif dan dunia kenyataan wujud yang objektif.

(32)

Proses sekunder tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh proses primer, ialah: menganggap gambaran suatu benda dan itu sendiri.

Hal yang harus diperhatikan dari ego ini adalah:

1. Ego merupakan bagian dari ide yang kehadirannya bertugas untuk memuaskan kebutuhan id, bukan untuk mengecewakannya.

2. Seluruh energi (daya) ego berasal dari id, sehingga ego tidak terpisah dari id. 3. Peran utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuhan lingkungan sekitar. 4. Egobertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan

pengembangbiakannya.

Untuk mencapai pemuasan dan perbedaan ketegangan, energi kita kaitkan atau inventasikan dalam objek pemuas tertentu. Proses ini disebut kateksis. Sebaliknya objek yang tidak dapat memuaskan dorongan naluri kita atau bila terjadi hambatan dalam upaya mencapai pemuasan naluri dinamakan anti-kateksis. Sifat energi yang lentur atau cair memungkinkan kita untuk mencari obyek pemuas pengganti. Proses ini di sebut pemindahan (displacement). Freud yakin bahwa seluruh peradaban manusia sebaimana terwujud dalam seni, ekonomi, politik, agama dan sebagainya adalah hasil dari proses pemindahan naluri hidup dan naluri mati. Pada tataran individu, proses kateksis-anti kateksis serta berbagai keberhasilan dan kegagalan yang di sertai pemindahan, merupakan dinamika kepribadian manusia. Hambatan terhadap libido dan ketegangan yang tak tersalurkan menimbulkan kecemasan (anxiety) dan ini merupakan dasar berkembangnya neurosa pada manusia. Pandangan ini ia buah pada tahun 1926

(33)

dengan mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberi peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar. Dengan demikian kecemasan tidak selalu menjadi dasar berkembangnya neurosa, tetapi juga memungkinkan dikembangkannya perilaku perilaku adaptif (Meosono,2003:6).

c. Superego

Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu itu hidup. Anak mengembangkan superegonya melalui berbagai perintah dan larangan dari orang tuanya. Titik perkembangan yang amat penting dalam pembentukan superego adalah dilaluinya tahap oidipal dengan baik. Freud membagi superego dalam dua subsistem yaitu hati nurani dan ego ideal. Hati nurani diperoleh melalui penghukuman berbagai perilaku anak yang dinilai ‘jelek’ oleh orang tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah (guilt feeling). Sedangkan egoideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku yang dinilai ‘baik’ oleh orang tua. Berbeda dengan ego yang berpegangan pada prinsip realitas, superego yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri (self control) selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (Maesono, 2003:4-5).

Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar (misalnya orang tua). Hal ini diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya dianggap “asing” bagi subjek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek

(34)

sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranannya superego dapat dibandingkan dengan hakim. Sikap seperti observasi diri, kritik diri, berasal dari superego (Bartens, 2006:33-34).

Penghargaan dan hukuman rohaniah yang dipergunakan oleh superego masing-masing adalah perasaan bangga dari perasaan bersalah atau perasaan kurang harga diri. Ego merasa bangga jika ia telah berkelakuan baik atau telah mengandung pikiran-pikiranyang baik, dan ia merasa malu tentang dirinya sendiri kalau ia telah mengalah kepada godaan. Kebanggaan sama dengan cinta diri sendiri, dan rasa salah atau rasa kurang harga diri sama dengan kebencian terhadap diri sendiri; semuanya adalah pengganti dalam batin dari cinta orang tua dan penolakan orang tua (Hall, 2000:32-33).

Superego adalah wakil dalam kepribadian dari ukuran-ukuran dan cita-cita tradisional masyarakat sebagai yang di sampaikan oleh orang tua kepada anak-anak. Dalam hubungan ini harus diingat, bahwa superego anak bukanlah pencerminan dari kelakuan orang tua, tetapi pencerminan dari superego orang tua. Seorang dewasa dapat mengatakan sesuatu dan bertindak lain daripada yang dikatakan tadi, tetapi apa yang dikatakannya iyulah, disokong dengan ancaman-ancaman atau hadiah, yang ada artinya untuk membentuk nilai-nilai etika anak (Hall, 2000: 33).

Tujuan dari superego adalah untuk mengontrol dan mengatur gerak hati yang dinyatakan secara sewenang-wenang akan membahayakan kemantapan masyarakat. Gerak hati itu adalah seks dan agresi. Anak yang tidak menurut, Bengal atau yang

(35)

ingin tahu tentang soal-soal seksual dianggap jahat dan amoral. Superego, dengan jalan menempatkan kekangan bati terhadap ketidakpatuhan dan kekecauan, memungkinkan seseorang untuk menjadi anggota masyarakat yang taat kepada hokum (Hall, 2000: 33).

Jika id dianggap sebagai hasil dari evolusi dan sebagai wakil rohaniah dari pembawaan biologis, dan ego sebagai hasil tindakan timbal-balik dengan kenyataan yang objektif dan lingkungan proses rohaniah yang lebih tinggi, maka superego dapat dianggap hasil sosialisasi dan adat tradisi kebudayaan (Hall, 2000: 33-34).

7. Metode Telaah Perwatakan 1. Metode Telling dan Showing

Metode Telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Biasanya metode ini digunakan oleh para penulis fiksi zaman dahulu atau bukan fiksi modern. Melalui metode ini keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa, sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh berdasarkan paparan pengarang (Minderop, 2005:6). Metode langsung atau Direct Method (telling) mencakup: Karakterisasi Melalui Penggunaan Nama Tokoh, Karakterisasi melalui Penampilan Tokoh, dan Karakterisasi Tuturan Pengarang (Minderop, 2005:8).

Karakterisasi melalui tuturan pengarang memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahnya. Pengarang

(36)

berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Dengan demikian, pengarang tidak sekedar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.

Metode Showing (tidak langsung) memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action. Namun demikian, bukan tidak mungkin, bahkan banyak pengarang masa kini (era modern) yang memadukan kedua metode ini dalam satu karya sastra. Jadi, tidak mutlak bahwa pengarang “harus” menggunakan atau memilih salah satu metode (Minderop, 2005:6-7). Metode showing mencakup: Dialog dan Tingkah Laku, Karakterisasi Melalui Dialog – Apa yang dikatakan Penutur, Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi Percakapan, Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh penutur, Kualitas Mental Para Tokoh (Minderop, 2005:22-23). Karakterisasi Melalui Tingkah Laku Para Tokoh mencakup: Ekpresi Wajah dan Motivasi yang Melandasi tindakan tokoh (Minderop, 2005:38).

2. Teknik Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang adalah suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan. Sudut pandang persona ketiga-“diaan”-digunakan dalam pengisahancerita dengan gaya “dia”. Narator atau pencerita

(37)

adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau menggunakan kata ganti orang seperti “ia”, “dia” atau “mereka” (Minderop, 2005:96).

3. Gaya Bahasa Simile, Metafor, personifikasi, dan Simbol

Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain simile, metafor, personifikasi, dan simbol. Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan.

a. Contoh Telaah Perwatakan melalui Simile

Simile adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang secara esensial tidak selalu mirip. Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya terdapat kata “seperti”, “bagaikan” , “seakan-akan” atau “laksana” (“engkau laksana bulan”) dan “ketimbang” serta “daripada” (“ia lebih cantik ketimbang mawar merekah”).

b. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Metafor

Metafor adalah suatu gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung yang dalam bahasa Inggris menggunakan to be. Dalam bahasa Indonesia tidak ada to be dan bisa digunakan secara langsung, contoh: “kehidupan ini binatang lapar” atau “cintaku burung terbang yang berkelana ke segala penjuru”. Binatang lapar merupakan metafor kehidupan artinya

(38)

kehidupan yang rakus dan ganas dan burung terbang merupakan metafor cinta sang penyair yang berkelana ke mana saja.

c. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Personifikasi

Personifikasi adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, termasuk abstraksi atau gagasan. Contohnya: bulan diibaratkan seorang wanita karena kecantikannya. Terdapat banyak personifikasi dari bermacam kualitas seperti virginitas, kejahatan atau keabadian. Penyair mempersonifikasikan semua ini seakan-akan memiliki karakteristik seperti manusia.

d. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Simbol

Karya sastra yang bermutu, menurut pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan, perlambangan yang bersifat universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain (Endraswara, 2008:8).

Simbol menurut kamus Webstren, “sesuatu yang berarti atau mengacu pada sesuatu yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi, kebetulan ada kemiripan... tanda yang dapat dilihat dari suatu yang tak terlihat. Sesungguhnya simbol selalu berada didekat kita dan merupakan ungkapan (kata-kata) atau benda-benda-yang tidak memunculkan diri, paling tidak dalam konteks tertentu-tetapi memiliki hubungan yang mengandung makna dan perasaan. Misal kata home (yang berbeda dengan house) bernuansakan kehangatan dan rasa aman serta adanya

(39)

hubungan pribadi antar keluarga, teman-teman, dan tetanngga; bendera Amerika merupakan simbol kebangsaan dan Patriotisme.

Simbol dalam kesusasteraan dapat berupa ungkapan tertulis, gambar, benda, latar, peristiwa dan perwatakan yang biasanya digunakan untuk memberi kesan dan memperkuat makna dengan mengatur dan mempersatukan arti secara keseluruhan.

Simbol atau lambang dapat bersifat pribadi(arti simbol tersebut hanya diketahui oleh satu orang), asli (arti simbol dijelaskan melalui konteks dalam suatu karya tertentu), tradisional ( bila arti simbol itu dapat dijelaskan melalui pendekatan budaya dan warisan turun-temurun). Contohnya, kata whale (ikan paus putih) dalam MobyDick karya Herman Melville adalah simbol pribadi yang berasal dari pengalaman Melville sendiri.

Dari konsep-konsep tentang simbol di atas dapat disimpilkan bahwa untuk menentukan apakah kata-kata yang kita asumsikan sebagai simbol atau bukan, adalah berdasarkan intensitas penampilan kata-kata tersebut. Bila si pengarang kerap kali menggunakan kata tersebut dan selaras dengan konteks dari suatu karya, maka kata-kata tersebut dan selaras dengan konteks dari suatu karya, maka kata kata tersebut bisa merupakan perlambangan. Bila kata-kata atau suatu keadaan seperti cuaca di negara empat musim dapat dikatakan simbol universal karena dikenal secara luas.

(40)

8. Kerangka Pikir

Karya sastra terdiri atas tiga jenis yaitu prosa fiksi, drama, dan puisi. Salah satu jenis karya sastra yang dilihat dari bentuknya adalah prosa fiksi merupakan salah satu gendre sastra yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarang, seperti novel (roman) dan cerpen (cerita pendek).

Peneliti melakukan pengamatan secara fokus terhadap karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, yang berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang.

Dalam peneliti ini peneliti memilih pendekatan psikologi sastra teori Sigmund Freud yang terbagi atas tiga aspek kajian, yaitu id, ego, dan super ego sebagai pisau bedah dalam penelitian ini mengingat kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara lebih menonjolkan aspek kejiwaan tokoh utamanya. Dalam cerpen Mengawini Ibu, Rewa tokoh utama memiliki sifat yang pendendam dan penyayang. Dalam Cerpen SilariangStarifuddin Tola memiliki sifat yang pantang menyerah dan setia.

(41)

Bagan Kerangka Pikir

Karya Sastra

Kumpulan Cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara

Mengawini Ibu Silariang

Rewa Syarifuddin Tola

Analisis Karakter Tokoh

Temuan

Id Ego Superogo Pendendam Penyayang Id Ego Setia Pantang Menyerah

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Fokus dan Desain Penelitian

Metode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal yang berkaitan dengan cara kerja dalam mendapatkan data sampai menarik sebuah kesimpulan. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat deskriptif kualitatif. Masalahnya yang akan dianalisis adalah karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Krisnha Pabichara.

1. Fokus Penelitian

Ruang lingkup yang diamati dalam penelitian ini adalah karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Krisnha Pabichara berdasarkan pendekatan teori Sigmund Freud.

2. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif Kualitatif. Desain deskriptif kualitatif adalah rancangan penelitian atau strategi yang tidak dalam bentuk angka-angka atau statistik. Maksudnya, dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan atau mendeskripsikan karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Krisnha Pabichara, yang berjudul : Mengawini Ibu dan Silariang,berdasarkan pendekatan teori Sigmund Freud. Dalam penerapan desain penelitian ini, peneliti mula-mula mengumpulkan data, mengelola, dan selanjutnya menganalisis data secara objektif.

(43)

B. Definisi Istillah

Untuk menghindari salah penafsiran dalam penelitian ini, perlu dikemukakan defenisi istilah sebagai berikut:

1. Karakter tokoh adalah sifat-sifat kejiwaan yang dialami oleh tokoh dalam menghadapi konflik atau masalah yang terjadi dalam hidupnya.

2. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan.

3. Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia.

4. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan.

5. Superego adalah perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu itu hidup.

C. Data dan Sumber Data 1. Data

Data dalam penelitianini adalah kutipan-kutipan teks yang berupa karakter tokoh utama (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) pada kumpulan cerpen Mengawini Ibu dan Silariang.\

(44)

Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, yang berjudul : Mengawini Ibu dan Silariang . Penerbit Dolphin . Jakarta Selatan. Tahun 2012 (cetakan pertama) dengan tebal 180 halaman.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan dalam mengumpulkan data (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) yang berhubungan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca, dan teknik catat. Kedua teknik tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Teknik Baca

Teknik baca dilakukan dengan cara membaca literatur dan sumber data utama penelitian, yakni kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara, yang berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang.

2. Teknik Catat

Teknik catat ini dilakukan dengan mencatat data yang mengandung karakter tokoh utama (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) yang terdapat pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara, yang berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang. Data tersebut dicatat dalam kartu yang telah dipersiapkan.

(45)

E. Teknik Analisis Data

Vredenbreght (dalam Ratna, 2007:48) mempertegas bahwa analisis isi sebagai salah satu metode kualitatif, digunakan untuk menganalisis terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal. Dasar pelaksanaan metode ini adalah penafsiran yang memberikan perhatian khusus pada isi pesan teks.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik interprestasi. Analisis data yang di gunakan mengikuti langkah-langkah operasional sebagai berikut:

1. Mengindentifikasi karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena kayra Khrisna Pabichara.

a. Mengidentifikasi karakter tokoh utama melalui tuturan pengarang.

b. Mengidentifikasi karakter tokoh utama berdasarkan pernyataan-pernyataan para tokoh dan dialog antar tokoh.

2. Struktur kepribadian dianalisis sehingga menunjukkan karakter yang terbentuk pada diri tokoh utama.

3. Karakter yang terbentuk pada diri tokoh utama dianalisis sehingga ditemukanlah bentuk system id, ego, dan superego pada diri tokoh utama.

4. Setelah menganalisis karakter tokoh dengan psikologi sastra dengan teori Sigmund Freud yang terdiri dari system Id, Ego, dan Superego pada tokoh utama, maka dilakukanlah analisis psikis pengarang sebagai interpretasi psikis tokoh utama.

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyajian Hasil Analisis Data

Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan terhadap karakter tokoh utama kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara dengan pendekatan psikologi sastra teori Sigmund Freud, yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama, penyajian hasil analisis data yang mengungkapkan karakter tokoh utama yang dikaji melalui suatu pendekatan psikologi sastra Sigmund Freud. Kemudian bagian kedua adalah pembahasan hasil penelitian yang menguraikan hasil analisis data.

Kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, terdapat lima judul cerpen yang akan dikaji: Mengawini Ibu dan Silariang. Untuk lebih memperkuat hasil analisis data dalam menentukan karakter pada tokoh utama tersebut, penulis melihat cara pengarang mengungkapkan karakter tokoh utama melalui dialog dengan tokoh lain, penggambaran fisik atau postur tubuh, dan bahasa yang digunakan pengarang dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra teori Sigmund Freud yang terdiri dari tiga aspek kajian yaitu id, ego, dan super ego. Berikut ini uraian karakter tokoh.

(47)

1. Cerpen: Mengawini Ibu Karater Tokoh Utama Rewa a) Pendendam

Data 1

”Kelakuan Ayah seperti binatang. Ayah tidak menghargai Ibu, juga aku”.

Pada data (1) menjelaskan Dendam Rewa kepada Ayahnya yang bersifat seperti binatang yang tidak menghargai ibunya juga dirinya, bahkan tidak peduli kepada sesama. Bagaimana mungkin bisa menghargai sesama sementara dia tidak prihatin sama sekali kepada keluarganya.

Data 2

“Kebiasaan kedua dan ketigalah yang membuat aku benci kepadanya dengan benci yang sebenci-bencinya”.

Pada data (2) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya yang mempunyai kebiasaan yang suka bermain perempuan dan juga dia pun gemar bertitah bahwa semua orang harus patuh terhadap aturannya walaupun menyakitkan.

Data 3

“Tersebabkan oleh berlaksa kesedihan yang terus ditahan, Ibu pun digerogoti penyakit, tak perlu kusebutkan apa nama penyakitnya, hingga akhirnya berpulang ke sisi-Nya. Sejak itulah bermula segala dendamku kepada Ayahku”.

(48)

Pada data (3) menjelaskan dendam Rewa yang bermula saat melihat Ibunya yang terus menahan kesedihan atas perlakuan Ayahnya yang kerap bermesra-ria dengan perempuan lain hingga Ibunya pun digerogoti penyakit , sampai akhirnya meninggal dunia.

Data 4

“Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan kenapa aku ingin membunuh Ayah”.

Pada data (4) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya hingga meningkatkan amarahnya. Ia tidak suka melihat perilaku Ayahnya yang menyakiti perasaan dan berpaling dari Ibunya hingga ia ingin membunuh Ayahnya.

Data 5

“Sungguh, aku tak mampu memaafkan Ayah. Akibat syahwat dan lelaku kawin cerainya itu, aku kehilangan Ibu, kehilangan segalanya”.

Pada data (5) menjelaskan dendam Rewa yang tidak mampu memaafkan kelakuan Ayahnya, ia menyalahkan Ayahnya karena akibat syahwat dan perilaku kawin cerainya dan suka gonta-ganti perempuan sehingga ia kehilangan Ibunya dan kehilangan segalanya.

(49)

b. Penyayang Data 6

“Aku yakin, kamu pasti juga tak betah melihat perempuan yang mengandung dan melahirkanmu terus-menerus disakiti”.

Pada data (6) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya yang tidak bisa melihat Ibunya terus menerus disakiti oleh Ayahnya, bahkan ia menyuruh Ibunya untuk meminta cerai kepada Ayahnya.

Data 7

“Aku pernah berharap, sesekali Ibu merajuk atau berontak atau marah kepada Ayah, bukan semata mengelus dada lantas berdoa semoga Ayah lekas berubah”.

Pada data (7) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya dan selalu berharap agar Ibunya berontak atau marah kepada Ayahnya yang sering menyakiti perasaan Ibunya bukan hanya mengelus dada atau berdoa semoga Ayah bisa berubah.

Data 8

“Kenapa aku tidak mencari Ayah saja? Bagaimana jika dia butuh bantuanku? Bagaimana jika dia pingsan di tengah jalan atau ditabrak truk atau digilas kereta atau dirampok dan dikeroyok kawanan preman?”

Pada data (8) menjelaskan Rewa yang bahkan penuh dendam kepada Ayahnya tetapi ia masih masih mempedulikan Ayahnya semenjak Ayahnya

(50)

pergi dari rumah ia bahkan mencemaskan Ayahnya,dan ia berfikir untuk mencari Ayahnya.

Data 9

“Apakah aku harus suka atau berduka? Aneh saja rasanya jika Ayah tak ada”.

Pada data (9) menjelaskan Rewa bertanya pada dirinya apakah ia harus suka atau berduka saat Ayahnya tidak ada dirumah. Karena rasa sayang kepada Ayahnya ia merasa aneh dan sangat kehilangan saat Ayahnya pergi meninggalkan rumah tanpa mengabarinya.

Karakter Tokoh Utama (Rewa) Berdasarkan Id

1) ”Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan saja kenapa aku begitu ingin membunuh Ayah. Bencana ketika Ibu terjatuh di tangga rumah. Semenjak itu Ibu tak bisa melayani berahi Ayah yang berlebihan. Semenjak itu pula Ayah berpaling, mula-mula diam-diam, lalu terang-terangan” (Pabichara, 2012:53).

Pembentukan reaksi yang dilakukan oleh Rewa yang merasa dendam meningkatkan amarahnya adalah ego yang mendapat dorongan dari superego, dan superego yang mendapat pengaruh dari id untuk mencapai kepuasan. Ia tidak suka melihat perilaku Ayahnya yang berpaling dari Ibu dan berencana membunuh Ayahnya. Sesuai dengan teori Freud yang

(51)

menyatakan bahwa superego orang yang berbudi tinggi dapat juga mencapai kepuasan bagi id dengan jalan menyerang orang-orang yang dianggap amoral.

2) “Aku terkejut saat membuka pintu. Ada orang lain di kamarku, seorang gadis berbaju putih dengan rok abu-abu. Aku melangkah masuk, ragu-ragu. Aku melihat dia menggeliat. Dadaku berdebar. Sesuatu di bagian tengah tubuhku bergetar. Bau harum terhirup. Entah dari mana pangkal mulanya, aku tiba-tiba bergairah. Kutatap gadis itu lebih lama, lebih dekat, lebih lekat. Siapakah perempuan yang demikian cantik, seperti terkirim dari surga, yang menderaskan darah remajaku ini? Mungkinkah dia sesaji baru untuk Ayah? Sekonyong-konyong aku teringat pesan ibu: jadilah laki-laki, Nak, yang bukan Ayahmu.sekedar kamu tahu, tak pernah sebelumnya aku sekamar, apalagi seranjang, dengan perempuan, bahkan dengan Ibu sekalipun” (Pabichara, 2012:55-56).

Perasaan terkejut Rewa saat melihat ada orang lain di kamarnya, sehingga membuat dadahnya berdebar. Keinginan Rewa untuk melakukan sesuatu bakal terjadi, pesan Ibu sebelum meninggal terabaikan. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau tanpa aturan), tidak mengenal amoral, tidak memiliki rasabenar-salah.

3) “Selama tujuh belas tahun aku menelan ajaran Ibu dan memuntahkan nasehat Ayah. Tetapi tidak untuk saat ini! Aku seakan dirasuki oleh roh Ayah. Kini dia menjadi pandu berahiku. Terasa aneh olehku ketika kulitku merasakan kehangatan tubuh perempuan ini. Ini pengalaman pertamaku, dan aku tak kuasa mengendalikan akal sehatku. Karena dendam atau cintakah? Mungkin

(52)

keduanya: dendam kepada Ayah, cinta kepada Ibu. Sementara perempuan bertubuh sempurna ini tertidur dengan cara wah. Dia menggeliat, terbangun dan membuka matanya” (Pabichara, 2012: 56-57).

Keinginan Rewa untuk merasakan kehangatan tubuh perempuan termasuk menyatu dalam sistem id, karena menunjukkan sifat bawaan yang telah lama menyatu dalam diri Rewa, dan telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan tersebut menjadi prinsip kesenangan yang berkuasa atas dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwaid bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure priciple). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindar dariketegangan.

4) “Tahukah kamu apa yang terjadi seusai peristiwa itu? Aku mulai ketagihan, dan aku sekarang punya cita-cita baru: mengawini semua perempuan yang diinginkan Ayah menjadi ibuku, pengganti ibu yang melahirkanku. Anehnya, Ayah sama sekali tak tahu. Atau, jangan-jangan Ayah Cuma pura-pura tak tahu? Tetapi, tidak. Ayah memang benar-benar tidak tahu, buktinya dia tidak pernah menegur atau memearahiku atau mendampratku. Dia tetap rutin memberiku uang harian, mingguan, dan bulanan, uang yang selama ini mulai banyak kugunakan untuk menyumpal mulut ibu-ibu baruku. Kadang aku sangat menyesal, tetapi gelagak marah lebih menguasaiku” (Pabichara, 2012:57-58).

Kebiasaan yang dilakukan Rewa dengan jalan menyumpal mulut ibu-ibu barunya menunjukkan sifat bawaan yang telah lama menyatu dengan diri Rewa, dan telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan tersebut menjadi kesenangan yang berkuasa atas dirinya. Sesuai dengan teori Freud

(53)

yang menyatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure priciple). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindari ketegangan.

Karakter Tokoh Utama ( Rewa) Berdasarkan Ego

1) “Begitulah jawaban Ibu setiap kali aku protes melihat ulah Ayah. Aku menganggap Ibu terlalu lembut atau sangat penurut atau sebenarnya terjadi lantaran takut. Entahlah. Sekat antara lembut, penurut dan takut sangat tipis. Ibu selalu bisa tersenyum sabar ketika Ayah kedapatan sedang bermesra-ria dengan perempuan lain di mall, pasar, bioskop, bahkan beranda rumah. Aku pernah berharap sesekali Ibu merujuk atau berontak atau marah kepada Ayah, bukan semata mengelus dada lantas berdoa semoga Ayah lekas berubah. Tetapi, jagankan merujuk, berontak, apalagi marah, Ibu selalu sepasrah-pasrahnya. Aku malah pernah bilang kepada Ibu untuk minta cerai saja. Alhasil, Ibu malah sangat marah dan mengatai aku gila karena menurutnya aku telah menganjurkan keburukan. Aku yakin, kamu juga pasti tak betah melihat perempuan yang mengandung dan melahirakanmu terus-menerus disakiti” (Pabichara, 2012:52).

Data di atas menunjukkan bahwa Rewa merasa tidak senang kepada Ayahnya yang sering bermesra-ria dengan perempuan lain, sehingga meminta kepada Ibunya agar menceraikan Ayahnya, ia tidak ingin melihat perempuan yang mengandung dan melahirkannya terus-menerus disakiti. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan struktur yang membangun novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara; (2) mendeskripsikan aspek sosial dalam novel

BAB IV Merupakan bab inti dari penelitian yang akan membahas aspek karakter tokoh utama Ikal dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. BAB V Berisi tentang penutup

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN MILANA KARYA BERNARD BATUBARA DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR TEKS CERITA PENDEK PADA SISWA SMA KELAS XI

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana karakterisasi tokoh utama dalam novel Anak Sejuta Bintang karya Akmal Nasery Basral dan novel Surat Dahlan karya Khrisna

Bab IV Merupakan inti dari penelitian yang membahas analisis konflik batin tokoh utama dalam cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam , Faktor- faktor yang mempengaruhi

Aspek Kepribadian Dan Profil Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Arini>lla>h Karya Taufi>q Al-Chaki>m (Analisis Psikologi Sastra Sigmund Freud). Skripsi: Jurusan

Menurut peneliti kumpulan cerpen ini pantas untuk diteliti karena tokoh-tokoh maupun jalan cerita yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut sangat menarik dan unik

Tujuan penelitian ini adalah untuk medeskripsikan aspek kepribadian tokoh utama dan pengaruh aspek kepribadian terhadap bentuk kecemasan yang dialami tokoh utama dalam kumpulan cerpen