• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERENGGANGAN HUBUNGAN ANTARTETANGGA DI TOKYO: SALAH SATU ASPEK DARI MUEN SHAKAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERENGGANGAN HUBUNGAN ANTARTETANGGA DI TOKYO: SALAH SATU ASPEK DARI MUEN SHAKAI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KERENGGANGAN HUBUNGAN ANTARTETANGGA DI TOKYO:

SALAH SATU ASPEK DARI MUEN SHAKAI

Desi Setiyawati Ayumsari, Bachtiar Alam

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: setiyawati.desi@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai kerenggangan hubungan antartetangga di Jepang, khususnya di Tokyo, sebagai salah satu aspek dari Muen Shakai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan keadaan hubungan antartetangga di Jepang, terutama di Tokyo, dan menganalisis hal-hal apa saja yang telah menyebabkan kerenggangan hubungan antartetangga tersebut menurut teori dari para ahli ilmu sosial dan data survei. Pengumpulan data dilakukan dengan metode deskriptif analisis dan survei, yaitu semua data yang terkait dikumpulkan, dideskripsikan, dianalisis, dan kemudian dikaitkan dengan hasil survei. Metode sampling yang digunakan pada survei, yaitu purposive sampling dan snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka masalah sosial seperti kodokushi, jisatsu, dan lain-lain yang terjadi di Tokyo setiap tahunnya, menandakan tingkat hubungan antartetangga di sana sudah semakin menipis. Oleh karena itu, masalah ini menjadi masalah sosial yang serius di Jepang.

Kata kunci: hubungan antartetangga; jisatsu; kodokushi; muen shakai; Tokyo

The Rift of Neighbor Relations in Tokyo: One of Aspect of Muen Shakai Abstract

The focus of this study is about the rift of neighbor relations in Japan, especially in Tokyo, as one of aspect of Muen Shakai. The purposes of this study are to describe the situation of neighbor relations in Japan, especially in Tokyo, and to analyze the thing that causes the rift of neighbor relations according to the social scientists theories and survey data. This study used descriptive analysis and survey method, which is all relevant data were collected, described, analyzed, and then associated with the survey results. Sampling methods used in the survey are purposive sampling and snowball sampling. The results showed that a high number of social issues such as kodokushi, jisatsu, and others that occurred in Tokyo each year, indicating the level of neighbor relations in there gradually decreased. Therefore, this problem became a serious social problem in Japan.

Keywords: jisatsu; kodokushi; muen shakai; neighbor relations; Tokyo

1. Pendahuluan

Pada tahun 1955–1970-an, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang dalam bahasa Jepang disebut Kōdo Keizai Seichō (高度経済成長). Kondisi ini membawa pengaruh

(2)

pada struktur industri yang pada awalnya berpusat pada industri primer1beralih menjadi industri sekunder dan industri tersier. Peralihan struktur industri tersebut mendorong perluasan kesempatan kerja di bidang industri tersier, terutama di bidang jasa. Shimazono Susumu (2012:22) mengatakan bahwa pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi, banyak anak laki-laki petani yang pindah ke kota-kota besar di Jepang untuk mencari pekerjaan. Mereka yang telah mendapat pekerjaan di kota-kota besar akan terus bekerja di satu perusahaan sampai mereka pensiun. Hal ini karena adanya sistem kerja seumur hidup (shūshinkoyōseido). Mereka yang bekerja dalam sistem ini cenderung memiliki hubungan yang dekat dengan pegawai lainnya di perusahaan. Namun, karena sebagian besar di antara mereka cenderung hidup sendirian di kota, maka banyak di antaranya yang tidak begitu kenal dengan orang lain di luar perusahaannya, misalnya tetangganya. Hal inilah yang menyebabkan hubungan mereka dengan tetangga menjadi renggang.

Setelah sistem kerja seumur hidup ini hancur, dan akibat resesi ekonomi berkepanjangan pada tahun 1990-an, banyak anak muda Jepang yang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Ikeda (2011) menambahkan bahwa hancurnya sistem kerja seumur hidup telah mematikan suatu komunitas semu yang berlandaskan pada sistem itu. Akibatnya, tidak ada jaminan berapa lama masa bekerja para pegawai di perusahaan, sehingga hal ini menyebabkan persaingan di antara sesama pegawai. Hubungan dengan sesama pegawai yang pada awalnya dekat, akhirnya menjadi renggang. Kemudian, hubungan antarindividu dengan keluarganya pun ikut merenggang. Yamada Masahiro (2012:28) mengatakan bahwa pada masa sekarang ini, banyak orang Jepang yang lebih menganggap uang dan pekerjaan sebagai hal yang paling penting bagi mereka, dibandingkan keluarga. Renggangnya tiga hubungan ini, yaitu hubungan dengan keluarga2, tetangga, dan rekan kerja, disebut dengan Muen Shakai.

Muen Shakai (無縁社会) terdiri dari dua kata, yaitu kata muen (無縁) dan shakai (社

会). Kata en (縁) dalam kata muen (無縁) berarti hubungan, dan kata mu (無) berarti tidak ada atau tanpa; kata shakai (社会) berarti masyarakat. Jadi, secara harfiah muen shakai berarti

1

Industri primer disebut juga dai ichi ji sangyou (第一次産業) yang di dalamnya termasuk pertanian, perhutanan, dan perikanan; industri sekunder disebut juga dai ni ji sangyou ( 第 二 次 産 業 ) yang di dalamnya termasuk pertambangan, konstruksi, dan manufaktur; industri tersier disebut juga dai san ji sangyou (第三次産業) yang di dalamnya termasuk perdagangan, jasa, transportasi, dan asuransi (Fukutake, 1989:86).

2

Hubungan dengan keluarga (hubungan darah) dalam bahasa Jepang disebut ketsuen (血縁), hubungan dengan tetangga disebut chi‟en (地縁), dan hubungan dengan rekan kerja disebut sha‟en (社縁) (Sasaki, Okuda, Kamata, Shimazono, Yamada, & Ichijyo, 2012:12).

(3)

masyarakat tanpa hubungan. Namun, bukan berarti tidak ada hubungan sama sekali, hanya saja hubungan tersebut sudah menipis atau merenggang (Shimada, 2011:15). Kata muen

shakai adalah “kata bikinan” atau neologisme3 yang diciptakan oleh NHK pada serial program televisi yang telah diproduksi dan disiarkannya pertama kali pada 31 Januari 2010 (Shimada, 2011:14). Jadi, kata atau istilah ini bukan istilah bahasa Jepang yang baku.

Istilah muen shakai banyak menarik perhatian karena memang banyak gejala sosial yang sesuai dengan istilah ini. Selain itu, fenomena muen shakai ini dapat dikatakan sebagai fenomena yang serius karena menyebabkan dua dampak sosial yang cukup signifikan, yaitu

kodokushi dan jisatsu. Kodokushi (孤独死) berarti mati dalam keadaan sendiri. Kodokushi

sudah ada sejak tahun 1980-an dan masih terus menjadi masalah sosial di Jepang hingga sekarang (Nobel, 2010). Fenomena sosial ini berawal dari banyaknya jumlah tanshinsha (orang yang tinggal sendirian) di Jepang. Para tanshinsha ini cenderung menutup diri dan terasing dari orang lain, sehingga banyak kasus kodokushi yang tidak diketahui oleh tetangganya sendiri, dan baru terungkap beberapa hari kemudian. Kemudian, saat ini diperkirakan ada sekitar 10 orang yang mati sendirian setiap harinya di Tokyo (Kuchikomi, 2011).

Selanjutnya, dampak sosial yang kedua dari muen shakai adalah jisatsu (自殺) atau fenomena bunuh diri. Jepang sampai saat ini masih menjadi salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Badan Kepolisian Nasional (The National Police Agency) Jepang mengatakan bahwa angka bunuh diri di Jepang pada tahun 2011 mencapai 30.513. Selain itu, NHK juga melaporkan bahwa kasus bunuh diri terbanyak adalah di Tokyo, yaitu sekitar 3.100 kasus (Joy, 2012). Tingginya angka kodokushi dan jisatsu yang terjadi di Tokyo dipengaruhi oleh renggangnya atau menipisnya hubungan antartetangga di Tokyo. Oleh karena itu, penulis memfokuskan penelitian ini pada hubungan antartetangga di daerah Tokyo.

Masalah penelitian dalam skripsi ini adalah kerenggangan hubungan antartetangga di Jepang, khususnya di Tokyo, sebagai salah satu aspek dari muen shakai. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara teori dan nyata mengenai fenomena kerenggangan hubungan antartetangga di Tokyo dengan memaparkan ciri-ciri dan fakta yang terjadi saat ini.

3

Neologisme (neologism) adalah kata atau istilah baru yang dengan sengaja dibuat, dan umumnya tidak ada di dalam kamus, namun seringkali dipakai secara luas dalam komunitas tertentu (Fowler, 1993).

(4)

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai gambaran dari fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Jepang saat ini.

2. Tinjauan Teoritis

Studi ini akan dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi yang terdiri dari teori alienasi Karl Marx dan beberapa teori ahli ilmu sosial Jepang mengenai muen shakai. Marx menjelaskan keterasingan kaum buruh pada masyarakat kapitalis di abad ke-19 yang timbul karena adanya eksploitasi oleh kaum kapitalis (Allan, 2005:70). Keterasingan yang dialami kaum buruh tersebut adalah keterasingan dari hasil produksinya, keterasingan dari aktivitas produksi, dan keterasingan dari dirinya sendiri. Kemudian, Marx menambahkan bahwa konsekuensi langsung dari ketiga keterasingan tersebut adalah keterasingan manusia dari manusia lainnya (Suseno, 2005:97). Aspek keterasingan inilah yang akan digunakan pada penelitian ini.

Meskipun demikian, ada 2 kelemahan dari teori Marx di atas, yaitu dari segi kronologis dan geografis. Dari segi kronologis, alienasi yang diteliti oleh Marx adalah alienasi pada masyarakat kapitalis abad ke-19, dan Jepang juga telah menjadi negara kapitalis sejak abad itu. Namun, mengapa fenomena ini baru terjadi di Jepang setelah pertengahan abad ke-20 sampai saat ini. Sedangkan, dari segi geografis, mengapa fenomena ini hanya menjadi perhatian besar di Jepang saja, sedangkan di negara kapitalis lainnya tidak begitu menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, studi ini menggunakan beberapa teori pelengkap untuk meminimalisasi kelemahan dari teori alienasi Marx tersebut.

Teori pelengkap yang akan digunakan pada studi ini adalah teori dari para ahli ilmu sosial Jepang yang meneliti muen shakai, yaitu teori dari Ikeda Nobuo, Okuda Tomoshi, Kamata Tōji, Shimazono Susumu, Yamada Masahiro, dan Ichijyō Shinya. Ikeda (2012) mengatakan bahwa penyebab dari muen shakai, yaitu akibat dari orang-orang Jepang yang mencari kebebasan pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi, hancurnya sistem kerja seumur hidup, dan adanya Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi pada tahun 2000-an yang menyebabkan hubungan antarindividu semakin jauh, sehingga orang tidak mengenal lagi seseorang sebagai pribadi yang utuh. Kemudian, menurut Okuda (2012:16), penyebab muen

shakai adalah karena seringnya pegawai perusahaan dipindahtugaskan ke wilayah yang

(5)

mendekatkan diri dan bersosialisasi dengan rekan kerjanya di perusahaan maupun tetangga yang tinggal di sekitarnya.

Menurut Kamata (2012:18–20), penyebab dari muen shakai adalah mulai menipisnya hubungan dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja. Misalnya seperti banyaknya anak muda Jepang yang lebih memilih untuk hidup “bebas” dari keluarga mereka, dan kurangnya sarana berkumpul dengan tetangga. Selanjutnya, menurut Shimazono (2012:22–23), penyebab muen

shakai adalah banyaknya orang Jepang yang tinggal sendirian (terutama anak laki-laki petani

yang pindah ke kota saat pertumbuhan ekonomi tinggi), kurangnya pergaulan dengan tetangga, dan kurangnya sarana berkumpul dengan tetangga dibandingkan di desa. Sedangkan, Yamada (2012:28–29) mengatakan bahwa penyebab dari muen shakai adalah karena saat ini sudah banyak orang Jepang yang lebih mengutamakan uang dan pekerjaan dibandingkan keluarga. Terakhir, menurut Ichijyo (2012:31), penyebab muen shakai adalah mulai menipisnya “ikatan” atau kizuna di antara orang-orang Jepang saat ini.

3. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dan survei, yaitu semua data yang terkait dikumpulkan, dianalisis, dan kemudian dikaitkan dengan hasil survei. Semua data yang diperoleh berasal dari:

1. Data kepustakaan

2. Data survei yang dilakukan penulis, yaitu: a. Tanggal: 2–15 Mei 2013

b. Jumlah sampel: 40 orang yang tinggal di Tokyo, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan berusia 20–30 tahun, serta 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan berusia 30–40 tahun.

c. Metode sampling yang digunakan, yaitu purposive sampling dan snowball sampling. Penulis menggunakan metode purposive sampling artinya penulis menentukan sendiri sampel yang diambil. Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah warga Tokyo yang terdiri dari 4 kategori dimana masing-masing kategori berjumlah 10 orang. Dengan menggunakan metode ini, penulis berharap kriteria sampel yang diperoleh sesuai atau relevan dengan penelitian ini. Kemudian, penulis menggunakan metode snowball

sampling artinya penulis pertama-tama memilih beberapa temannya untuk dijadikan

(6)

sampel yang diperoleh semakin besar bagaikan bola salju. Oleh karena itu, metode pengambilan sampel secara estafet ini disebut metode atau teknik bola salju.

4. Hasil Penelitian

Hubungan Antartetangga di Kota-kota Besar di Jepang Tahun 1975–2011

Kerenggangan hubungan antartetangga di Jepang sudah mulai terlihat setelah masa pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu sekitar tahun 1970-an. Menurut data “Survei Opini Publik Mengenai Kepedulian Sosial” dari Kantor Kabinet, persentase kedekatan hubungan antartetangga di kota-kota besar di Jepang dari tahun 1975–1997 mengalami penurunan. Saat ditanya “Bagaimana hubungan Anda dengan tetangga di lingkungan tempat tinggal Anda?”, pada tahun 1975 sebanyak 35,9% orang menjawab mereka bergaul sangat dekat dengan tetangga. Kemudian, angka ini mengalami peningkatan menjadi 39,1% pada tahun 1986, namun mengalami penurunan menjadi 31,1% pada tahun 1997. Selanjutnya, orang yang menjawab mereka bergaul dengan tetangga, namun tidak begitu dekat ada sebanyak 41,1% pada tahun 1975, 33,7% pada tahun 1986, dan 36,3% pada tahun 1997. Angka ini awalnya menurun, namun akhirnya meningkat kembali pada tahun 1997. Setelah itu, orang yang menjawab tidak begitu bergaul dengan tetangga mereka ada sebanyak 19,0% pada tahun 1975, 19,7% pada tahun 1986, dan 23,3% pada tahun 1997. Lalu, orang yang menjawab sama sekali tidak bergaul dengan tetangga mereka ada sebanyak 3,7% pada tahun 1975, 7,0% pada tahun 1986, dan 9,1% pada tahun 1997. Sisanya menjawab tidak tahu.

Gambar 1 Persentase Hubungan Antartetangga di Kota-kota Besar Tahun 1975–1997

Sumber: Cabinet Office, “Survei Opini Publik Mengenai Kepedulian Sosial” (Ministry of Health, Labour and Welfare, 2011)

Pertanyaan: “Bagaimana hubungan Anda dengan tetangga di lingkungan tempat tinggal Anda?” Keterangan: Data ini diambil dari 10 kota besar di Jepang pada tahun 1975. Namun, sejak 1986, data ini

diambil dari 11 kota besar di Jepang 1997 1986 1975 31,1 39,1 35,9 36,3 33,7 41,1 23,3 19,7 19 9,1 7 3,7 0,2 0,4 0,3 bergaul sangat dekat bergaul, tapi tidak begitu dekat

tidak begitu bergaul sama sekali tidak bergaul tidak tahu

(7)

Selanjutnya, tingkat kerenggangan hubungan antartetangga di kota-kota besar terus mengalami perubahan sampai pada tahun 2011. Dengan pertanyaan yang sama, pada tahun 2002 sebanyak 14,7% orang menjawab mereka bergaul sangat dekat dengan tetangga. Kemudian, angka ini mengalami penurunan menjadi 14,4% pada tahun 2004, namun mengalami sedikit peningkatan menjadi 15,0% pada tahun 2011. Selanjutnya, orang yang menjawab mereka bergaul dengan tetangga, namun tidak begitu dekat ada sebanyak 41,2% pada tahun 2002, 47,5% pada tahun 2004, dan 47,8% pada tahun 2011. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 6,6% dari tahun 2002–2011. Setelah itu, orang yang menjawab tidak begitu bergaul dengan tetangga mereka ada sebanyak 31,5% pada tahun 2002, 26,6% pada tahun 2004, dan 29,1% pada tahun 2011. Lalu, orang yang menjawab sama sekali tidak bergaul dengan tetangga mereka ada sebanyak 12,2% pada tahun 2002, 10,9% pada tahun 2004, dan 8,0% pada tahun 2011. Sisanya menjawab tidak tahu.

Gambar 2 Persentase Hubungan Antartetangga di Kota-kota Besar Tahun 2002–2011

Sumber: Cabinet Office, “Survei Opini Publik Mengenai Kepedulian Sosial” (Ministry of Health, Labour and Welfare, 2011)

Pertanyaan: “Bagaimana hubungan Anda dengan tetangga di lingkungan tempat tinggal Anda?” Keterangan: Data ini diambil dari 10 kota besar di Jepang pada tahun 1975. Namun, sejak 1986, data ini diambil

dari 11 kota besar di Jepang

Hasil Angket Mengenai Hubungan Antartetangga di Tokyo

Untuk mendapatkan jawaban yang lebih rinci mengenai kerenggangan hubungan antartetangga di Tokyo, studi ini juga menggunakan metode survei yang penulis lakukan sendiri. Survei ini penulis sebarkan kepada 40 warga Tokyo yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan berusia 20–30 tahun, serta 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan berusia 30–40 tahun. Meskipun hasil dari survei ini tidak dapat mewakili keadaan dari seluruh penduduk Tokyo, namun survei ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi hubungan antartetangga di Tokyo saat ini.

2002 2004 2011 14,7 14,4 15 41,2 47,5 47,8 31,5 26,6 29,1 12,2 10,9 8 0,4 0,7 0,2 bergaul sangat dekat bergaul, tapi tidak begitu dekat tidak begitu bergaul sama sekali tidak bergaul tidak tahu

(8)

Survei ini mencakup 13 distrik dari total 23 distrik yang ada di Tokyo, yaitu Bunkyō-ku, Shinjuku-ku, Shibuya-ku, Suginami-ku, Setagaya-ku, Meguro-ku, Shinagawa-ku, Taitō-ku, Arakawa-ku, Katsushika-ku, Nerima-ku, Minato-ku, dan Ōta-ku. Dari 40 responden, 12 di antaranya tinggal di apartemen, mansion, dan kondominium, sedangkan sisanya tinggal di rumah. Survei ini diambil oleh penulis pada tanggal 2–15 Mei 2013, dan terdiri dari 10 pertanyaan yang ditulis dalam bahasa Jepang (lihat lampiran), yang isinya berkaitan dengan keadaan hubungan antartetangga di Tokyo saat ini. Hasil dari survei tersebut akan dibahas satu per satu di bawah ini.

Pertanyaan No.1: “Sudah berapa lama Anda tinggal di daerah tempat tinggal Anda yang sekarang?”

Gambar 3 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.1

Pertanyaan: “Sudah berapa lama Anda tinggal di daerah tempat tinggal Anda yang sekarang?”

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa 4 dari 10 orang laki-laki dan 5 dari 10 orang perempuan berusia 20–30 tahun tinggal di daerah tempat tinggal mereka selama kira-kira 3–5 tahun. Namun, pada laki-laki dan perempuan berusia 30–40 tahun umumnya tinggal di daerah tempat tinggal mereka dalam waktu yang lebih lama daripada responden yang berusia 20–30 tahun, yaitu selama kira-kira 5–10 tahun. Angka ini juga sama dengan responden perempuan seusia tersebut yang sudah tinggal di daerah mereka selama kira-kira 10–20 tahun.

Pertanyaan No.2: “Dengan siapa Anda tinggal saat ini?”

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun

2 1 1 0 4 5 3 2 2 1 3 3 1 1 2 3 1 2 1 2 kurang dari 3 tahun kira-kira 3-5 tahun kira-kira 5-10 tahun kira-kira 10-20 tahun 20 tahun lebih

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun

4 4 3 4 1 1 1 2 1 0 1 0 1 1 0 0 3 4 4 4 0 0 1 0 dengan keluarga dengan kerabat dengan kolega dengan teman sendiri lainnya

(9)

Gambar 4 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.2

Pertanyaan: “Dengan siapa Anda tinggal saat ini?”

Dari hasil angket di atas, dapat diketahui bahwa responden laki-laki dan perempuan berusia 20–30 tahun yang menjawab tinggal bersama keluarga ada 4 dari 10 orang. Namun, jumlah ini juga sama dengan responden perempuan yang menjawab tinggal sendiri. Sebaliknya, pada responden laki-laki dan perempuan berusia 30–40 tahun, masing-masing 4 dari 10 orang di antaranya menjawab tinggal sendiri. Selain itu, ada 1 responden laki-laki berusia 30–40 tahun yang menjawab tinggal bersama kekasihnya.

Pertanyaan No.3: “Sejauh mana tingkat pergaulan Anda dengan tetangga?”

Gambar 5 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.3

Pertanyaan: “Sejauh mana tingkat pergaulan Anda dengan tetangga?”

Dari hasil di atas, dapat diketahui bahwa dari 40 responden, baik laki-laki dan perempuan berusia 20–30 tahun dan 30–40 tahun, menjawab tidak begitu bergaul dengan tetangga mereka. Selain itu, dari keempat kategori di atas, banyak juga yang menjawab bergaul dengan tetangganya, namun tidak begitu dekat. Kemudian, pada kategori laki-laki berusia 30–40 tahun, ada 3 orang yang menjawab tidak bergaul dengan tetangganya.

Pertanyaan No.4: “Berapa orang tetangga (tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat) yang hubungannya dekat dengan Anda dan tempat Anda bergantung dalam kehidupan sehari-hari?”

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun

1 0 0 0 2 3 2 2 5 5 5 6 1 2 3 1 1 0 0 1 bergaul sangat dekat bergaul, tapi tidak begitu dekat tidak begitu bergaul tidak bergaul

tidak tahu

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan 30-40 tahun 5 4 6 4 3 3 2 3 1 2 2 3 1 1 0 0 0 0 0 0 tidak ada 1 orang 2 orang 3-4 orang lebih dari 5 orang

(10)

Gambar 6 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.4

Pertanyaan: “Berapa orang tetangga (tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat) yang hubungannya dekat dengan Anda dan tempat Anda bergantung dalam kehidupan sehari-hari?”

Dari hasil angket di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab tidak ada tetangga yang hubungannya dekat dengan mereka. Dari 10 responden laki-laki dan perempuan berusia 20–30 tahun, hanya 3 orang yang menjawab memiliki 1 orang tetangga yang hubungannya dekat dengan mereka. Jumlah ini juga hampir sama dengan jawaban dari responden laki-laki dan perempuan berusia 30–40 tahun. Kemudian, dari 40 responden tersebut, yang paling banyak menjawab tidak ada tetangga yang hubungannya dekat dengan mereka adalah responden laki-laki berusia 30–40 tahun. Namun, ada juga kesamaan dari 40 responden tersebut, yaitu sama-sama tidak ada yang memiliki tetangga yang berhubungan dekat dengan mereka lebih dari 5 orang.

Pertanyaan No.5: “Saat ini, seberapa sering Anda mengunjungi tetangga?”

Pertanyaan kelima ini adalah untuk mengetahui tingkat hubungan antartetangga dalam kaitannya dengan seberapa sering responden mengunjungi tetangga mereka. Berikut hasilnya seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 7 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.5

Pertanyaan: “Saat ini, seberapa sering Anda mengunjungi tetangga?”

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa dari seluruh responden tidak ada yang menjawab sering berkunjung maupun kadang-kadang berkunjung ke tempat tinggal tetangga mereka. Selain itu, sebagian besar responden menjawab hampir tidak pernah berkunjung ke tempat tinggal tetangga mereka. Alasannya, yaitu karena tidak ada waktu dan kesempatan untuk bertemu dengan tetangga, tidak begitu kenal dekat dengan tetangga, tidak ada urusan atau keperluan dengan tetangga, dan menganggap hal itu bukanlah hal yang perlu dilakukan.

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun

0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 2 1 3 3 3 4 6 4 5 5

Sering berkunjung Kadang-kadang berkunjung

tidak begitu sering berkunjung hampir tidak pernah berkunjung sama sekali tidak pernah berkunjung

(11)

Pertanyaan No.6: “Apabila Anda berpapasan dengan tetangga di jalan, apakah saat itu Anda akan menyapanya?”

Gambar 8 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.6

Pertanyaan: “Apabila Anda berpapasan dengan tetangga di jalan, apakah saat itu Anda akan menyapanya?” Dari hasil angket di atas, dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden menjawab “ya”. Responden yang menjawab “tidak” memiliki beberapa alasan, yaitu karena hubungan mereka dengan tetangga tidak begitu dekat, tidak begitu kenal dengan tetangga, tidak bergaul dekat dengan tetangganya, dan bahkan ada yang tidak mengetahui wajah tetangganya.

Pertanyaan No.7: “Apakah Anda sering mengobrol dengan tetangga?”

Gambar 9 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.7

Pertanyaan: “Apakah Anda sering mengobrol dengan tetangga?” Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun 8 7 6 8 2 3 4 2 YA TIDAK Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun 0 1 0 0 8 7 4 7 2 2 6 3 sering mengobrol tidak begitu sering mengobrol sama sekali tidak pernah mengobrol

(12)

Dari hasil di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab tidak begitu sering mengobrol dengan tetangganya. Alasannya, yaitu tidak ada waktu dan kesempatan untuk mengobrol, tidak ada kesamaan topik untuk dibahas, tidak ada hal yang perlu dibicarakan dengan tetangga, dan tidak begitu dekat dengan tetangga. Lalu, pada kategori laki-laki berusia 30–40 tahun, jumlah orang yang menjawab sama sekali tidak pernah mengobrol dengan tetangganya, jauh lebih banyak. Di antaranya menjawab dengan alasan tidak kenal bahkan tidak tahu wajah tetangganya, dan tidak pernah mengobrol bersama tetangganya. Pertanyaan No.8: “Apabila tetangga yang tinggal di daerah lingkungan Anda meninggal dunia, apakah Anda mengetahuinya?”

Gambar 10 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.8

Pertanyaan: “Apabila tetangga yang tinggal di daerah lingkungan Anda meninggal dunia, apakah Anda mengetahuinya?”

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengetahui informasi mengenai kematian tetangga mereka. Sedangkan, jumlah responden yang tidak mengetahui informasi kematian tetangganya hampir sama, yaitu berkisar 2 sampai 3 orang. Alasannya adalah karena mereka tidak tahu kapan tetangganya itu meninggal. Hal ini karena mereka tidak memiliki informasi atau keterangan lebih lanjut mengenai tetangga yang tinggal di sekitar mereka, seperti nomor telepon tetangganya, dan informasi lainnya.

Pertanyaan No.9 (untuk responden yang menjawab “YA” pada pertanyaan no.8): “Saat itu, apakah Anda akan menghadiri pemakamannya?”

Pertanyaan kesembilan ini dijawab apabila responden menjawab “Ya” pada pertanyaan sebelumnya. Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun 8 7 7 8 2 3 3 2 YA TIDAK

(13)

Gambar 11 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.9

Pertanyaan: “Saat itu, apakah Anda akan menghadiri pemakamannya?” (untuk responden yang menjawab “YA” pada pertanyaan no.8)

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab tidak menghadiri pemakaman tetangganya. Alasannya, yaitu karena mereka tidak begitu dekat dengan tetangganya, dan tidak tahu informasi kapan tetangganya meninggal. Dari total 40 responden, ada 30 responden yang menjawab pertanyaan kesembilan ini, berarti sisa 10 orang lainnya menjawab “Tidak” pada pertanyaan kedelapan.

Pertanyaan No.10: “Bagi Anda, perlukah hubungan bertetangga?”

Gambar 12 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.10

Pertanyaan: “Bagi Anda, perlukah hubungan bertetangga?”

Dari hasil di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa hampir sebagian besar responden menjawab “tidak begitu perlu”. Sebaliknya, justru tidak ada satu pun responden yang menjawab “sangat perlu”. Ada bermacam alasan yang dikemukakan oleh responden mengapa mereka menganggap hubungan dengan tetangga tidak begitu diperlukan, yaitu hubungan

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun 2 1 1 1 6 6 6 7 YA TIDAK

Laki-laki usia 20-30 tahun Perempuan usia 20-30 tahun Laki-laki usia 30-40 tahun Perempuan usia 30-40 tahun

0 0 0 0 2 2 1 1 6 7 5 7 2 1 4 2 0 0 0 0 sangat perlu perlu tidak begitu perlu tidak perlu sama sekali tidak perlu

(14)

bertetangga bukanlah hal yang penting, tidak masalah jika tidak berhubungan dengan tetangga, dan mereka menganggap dapat hidup sendiri tanpa harus bergaul dengan tetangga.

5. Pembahasan

Melalui data-data dan hasil angket di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada tahun 1970-an, yaitu pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi di Jepang, hubungan antartetangga di kota-kota besar di Jepang, termasuk Tokyo, mulai merenggang, meskipun belum dalam persentase yang besar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ikeda (2011) dan Shimazono (2012:22–23), bahwa pada saat itu banyak anak laki-laki petani yang pindah ke kota-kota besar di Jepang untuk mencari pekerjaan. Di kota besar, mereka cenderung hidup seorang diri.

Selanjutnya, Ikeda (2011) menambahkan bahwa dengan hancurnya sistem kerja seumur hidup menyebabkan hilangnya jaminan masa bekerja para pegawai di perusahaan, sehingga terjadi persaingan di antara sesama pegawai. Pada akhirnya, hal itu akan menyebabkan hubungan di antara para pegawai menjadi renggang. Hal ini juga diperparah dengan krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Jepang pada tahun 1990-an. Akibatnya, saat itu banyak perusahaan yang bangkrut sehingga menyebabkan tingkat pengangguran tinggi dan angka bunuh diri yang meningkat tajam. Keadaan inilah yang menunjukkan bahwa pada masa itu sudah muncul kerenggangan hubungan antartetangga di kota-kota besar di Jepang.

Kemudian, kerenggangan hubungan antartetangga ini semakin mengalami peningkatan sampai pada tahun 2011. Studi ini berargumentasi bahwa tingkat kerenggangan hubungan antartetangga yang semakin tinggi ini, erat kaitannya dengan tingginya angka bunuh diri yang terjadi di Jepang setiap tahunnya. Selain itu, saat ini jumlah orang yang berusia sekitar 30 tahun sampai 40 tahun yang terisolasi atau terasing dari masyarakat pun meningkat pesat. Seperti yang dikatakan oleh Marx, bahwa keterasingan itu muncul di negara kapitalis, dan bermula dari keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Setelah itu, mereka juga akan merasa terasing dari orang lain. Kemudian, Ikeda (2011) juga menyebutkan bahwa adanya perlindungan informasi pribadi yang dilindungi ketat oleh Undang-Undang menyebabkan hubungan antarindividu menjadi semakin jauh, sehingga orang tidak mengenal lagi seseorang sebagai pribadi yang utuh.

Kemudian, sejalan dengan data dari hasil survei penulis mengenai hubungan antartetangga di Tokyo, saat ini sebagian besar orang Jepang sudah menganggap hubungan dengan tetangga tidak begitu diperlukan lagi. Mereka menganggap tanpa hubungan

(15)

bertetangga, mereka masih dapat menjalani kehidupannya di Tokyo. Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang hidup sendirian di Tokyo. Padahal, masalah sosial seperti kodokushi dan jisatsu yang banyak terjadi di Tokyo, erat kaitannya dengan banyaknya jumlah orang yang tinggal sendirian.

Studi ini berasumsi bahwa banyaknya kasus kematian yang terisolasi dan tidak teridentifikasi di Tokyo, bermula dari banyaknya jumlah orang yang tidak mengenal tetangganya sendiri. Selain itu, banyak juga yang mengatakan bahwa kurangnya tingkat pergaulan mereka dengan tetangganya adalah karena tidak ada waktu atau kesempatan untuk bertemu. Hal ini dapat diasumsikan karena sibuknya mereka dengan pekerjaan masing-masing, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Yamada (2012:29) bahwa saat ini lebih banyak orang Jepang yang mengutamakan uang dan pekerjaan. Kemudian, Okuda (2012:16) juga menjelaskan bahwa merenggangnya hubungan di antara para pegawai di tempat kerja dan hubungan dengan tetangga di apartemen tempat tinggal mereka disebabkan karena sempitnya waktu yang mereka miliki untuk bergaul dengan rekan kerja maupun tetangganya.

Menurut keseluruhan data yang telah dipaparkan di atas, studi ini berargumentasi bahwa angka kodokushi, jisatsu, maupun kematian yang tidak teridentifikasi lainnya, menandakan bahwa saat ini ada sesuatu yang kurang yang tidak dimiliki oleh orang Jepang, yaitu sebuah

kizuna (ikatan). Menurut Ichijyo (2012:31), ikatan merupakan hal yang harus ada dalam

masyarakat. Jika dalam suatu masyarakat sudah tidak terdapat ikatan, maka tidak dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat. Banyaknya masalah sosial di Jepang yang berkaitan erat dengan sebuah hubungan, terutama hubungan dengan tetangga, menandakan bahwa ikatan di antara orang Jepang sudah mulai hilang.

Untuk menangani dan meminimalisasi tingkat kerenggangan hubungan antartetangga di Jepang, ada salah satu upaya yang ditempuh, yaitu mengadakan rinjin matsuri. Rinjin Matsuri (隣人祭り) adalah sebuah matsuri atau acara dimana para tetangga berkumpul dan melakukan hal bersama-sama seperti makan dan minum teh bersama, yang diselenggarakan untuk mengakrabkan hubungan di antara para tetangga (Ichijyo, 2011:27). Acara ini biasanya diadakan di pekarangan rumah atau pekarangan mansion yang cukup luas dari salah satu tetangga. Acara ini bertujuan untuk mendekatkan diri dengan tetangga, menciptakan hubungan saling membantu di antara tetangga, dan menerapkan sikap saling kerjasama antartetangga secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama.

(16)

6. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan temuan-temuan dari skripsi ini, yaitu:

1. Tingginya angka kodokushi, jisatsu, dan kematian terisolasi lainnya dipengaruhi oleh banyaknya jumlah orang yang hidup sendirian di Jepang.

2. Pentingnya pekerjaan bagi orang Jepang menyebabkan kesibukan mereka memengaruhi kurangnya waktu dan kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

3. Kurangnya kesadaran setiap individu akan pentingnya berhubungan dengan orang lain. 4. Menipisnya sikap kepedulian orang Jepang terhadap keadaan tetangganya.

5. Adanya anggapan bahwa mereka masih dapat bertahan hidup dan menjalani aktivitasnya masing-masing, meskipun tanpa hubungan bertetangga, khususnya bagi orang yang tinggal di Tokyo.

6. Lamanya seseorang tinggal di tempat tinggalnya yang sekarang, bukan berarti hubungan mereka dengan tetangganya menjadi lebih dekat.

Dari hasil temuan-temuan di atas, dapat kita lihat bahwa keadaan hubungan antarmanusia di Jepang saat ini, terutama hubungan mereka dengan tetangganya, semakin menipis. Hal yang semakin menipis tersebut adalah interaksi mereka dengan tetangga, kepedulian mereka terhadap kondisi tetangga, dan menipisnya “ikatan” di antara mereka dalam hidup bertetangga. Hal inilah yang pada akhirnya memengaruhi tingginya angka kodokushi dan jisatsu di Jepang, terutama di Tokyo. Selain itu, merenggangnya hubungan antartetangga yang terjadi di Tokyo juga terlihat pada banyaknya kasus kodokushi dan jisatsu tersebut yang tidak diketahui oleh tetangganya sendiri, sehingga banyak kasus yang baru terungkap beberapa hari bahkan beberapa bulan kemudian. Saat ini, sudah ada beberapa upaya untuk mengakrabkan kembali hubungan di antara tetangga dengan menyediakan sarana berkumpul bagi para tetangga, salah satunya adalah rinjin matsuri. Namun, jika upaya tersebut tidak didukung oleh masing-masing individu, maka upaya tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, setiap individu perlu menyadari terlebih dahulu pentingnya menjaga hubungan yang positif dengan tetangga.

7. Saran

Aspek muen shakai yang diteliti dalam studi ini hanya aspek kerenggangan hubungan antartetangga. Apabila ada yang ingin meneliti dengan fenomena yang sama, maka dapat mengambil aspek yang lainnya, yaitu aspek kerenggangan hubungan dengan keluarga atau

(17)

aspek kerenggangan hubungan dengan rekan kerja. Namun, karena fenomena muen shakai ini termasuk fenomena baru di Jepang, karena istilahnya baru diciptakan sekitar 3 tahun yang lalu, maka hampir seluruh bahan bacaan ditulis dalam bahasa Jepang. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya, dapat difokuskan pada daerah lain yang ada di Jepang, selain Tokyo.

Daftar Pustaka Sumber Buku

Allan, Kenneth. (2005). Explorations in Classical Sociological Theory. USA: Pine Forge Press. Fukutake, Tadashi. (1989). The Japanese Social Structure: Second Edition. Japan:

University of Tokyo Press.

Ichijyo, Shinya. (2011). Rinjin no Jidai. Japan: Sangokan.

Sasaki, Okuda, Kamata, Shimazono, Yamada, & Ichijyo. (2012). Muen Shakai kara Yuuen

Shakai he. Japan: Suiyosha.

Shimada, Hiromi. (2011). Hito wa Hitori de Shinu—“Muen Shakai” wo Ikiru tame ni. Japan: NHK.

Suseno, Franz Magnis. (2005). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumber Internet

Fowler, H.W. (1993). Neologisms. 3 Juli, 2013. http://www.bartleby.com/116/103.html

Ikeda, Nobuo. (2011). Newsweek Japan: Seifu wa “Muen Shakai” ya “Kozoku” wo Sukueru no

ka. 27 Januari, 2011. http://www.newsweekjapan.jp/column/ikeda/2011/01/post-280.php

Joy. (2012). Suicide in Japan exceeds 30,000 for 14th year. 10 Januari, 2013.

http://www.tokyotimes.com/2012/suicide-in-japan-exceeds-30000-for-14th-year/ Kuchikomi. (2011). No. of People Dying Alone Rises in „no-relationship‟ Society. 10 Januari,

2013. http://www.japantoday.com/category/kuchikomi/view/no-of-people-dying-alone-rises-in-no-relationship-society (10 Januari 2013, 21.20 WIB).

Ministry of Health, Labour and Welfare. (2011). Roudou Keizai Hakusho “White Paper on Labor

Economy”. 14 Mei, 2013. http://www.mhlw.go.jp/english/wp/wp-l/2-2-2.html

Nobel, Justin. (2010). Japan‟s „Lonely Deaths‟: A Business Opportunity. 11 Januari, 2013. http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1976952,00.html

(18)

Lampiran: Angket Penelitian Penulis

UNIVERSITAS INDONESIA FACULTY OF HUMANITIES JAPANESE STUDIES PROGRAM

KAMPUS UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK 16424, INDONESIA TEL. 62-21-787-5883 FAX: 62-21-778-85097 Depok, May 2013 近所付き合いに関するアンケート調査 お手数ですが、以下、アンケートへのご協力をお願い致します。インドネシア大学の日 本学科のデシと申します。これは近所付き合いに関するアンケートです。このアンケー ト結果を基に、日本の近所付き合いに関する卒業論文を書こうと思っております。それ では、よろしくお願い致します。 1.どのぐらい今の地域に住んでいますか? a. 3 年間以下 b. 3 年間~5 年間ぐらい c. 5 年間~10 年間ぐらい d. 10 年間~20 年間ぐらい e. 20 年間以上 2.あなたは今誰と一緒に住んでいますか? a. 家族と住んでいる b. 親族と住んでいる c. 同僚と住んでいる d. 友達と住んでいる e. 一人で住んでいる f. その他 (お書き下さい : )

(19)

(lanjutan) 3.あなたは隣人との付き合いをどの程度していらっしゃいますか? a. 親しく付き合っている b. 付き合いはしているが、あまり親しくない c. あまり付き合っていない d. 付き合いはしていない e. 分からない A 以外を選んだ方は理由をお書き下さい : ( ) 4.あなたが日頃から何かと頼りにして、親しくしている隣人(家族・親族を除く)は何人お られますか? a. 0 人 b. 1 人 c. 2 人 d. 3~4 人 e. 5 人以上 5.あなたは現在、隣人とどのぐらい行き来していますか? a. よく行き来している b. ある程度行き来している c. あまり行き来していない d. ほとんど行き来していない e. 全然行き来したことがない A 以外を選んだ方は理由をお書き下さい : ( ) 6.もしあなたは道で隣人とすれ違ったら、その時声をかけますか? a. Yes b. No NO の方のみ、その理由はお書き下さい :

(20)

20 (lanjutan) ( ) 7.あなたは隣人とよく喋りますか? a. よく喋る b. あまり喋らない c. 全然喋ることがない A 以外を選んだ方は理由をお書き下さい : ( ) 8.もしあなたが住んでいる地域の隣人が亡くなったら、あなたは知っていますか? a. Yes b. No  NO の方のみ、その理由はお書き下さい: ( ) 9.[8 番で、YES を選ばれた方] その時、あなたは葬式に参加しますか? a. Yes b. No NO の方のみ、その理由はお書き下さい : ( ) 10. あなたにとって近所付き合いのは必要ですか? a. とても必要 b. 必要 c. あまり必要ない d. 必要ない e. 全然必要ない (その理由はお書き下さい: ) 最後に、以下のご記入をお願い致します。 年齢 : 性別 : 住居 :

Gambar

Gambar 1 Persentase Hubungan Antartetangga di Kota-kota Besar Tahun 1975–1997
Gambar 2 Persentase Hubungan Antartetangga di Kota-kota Besar Tahun 2002–2011
Gambar 3 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.1
Gambar 4 Hasil Angket untuk Pertanyaan No.2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyelesaikan beberapa kasus tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Merauke, ditemukan adanya kekurangan hak mutlak perlindungan anak yang terdapat

diharapkan proses evolusi lanjutan pada horizontal branch menggunakan model ZAHB yang dibuat pada tesis ini dapat mengikuti evolusi HB dengan baik... VI.4

2) Sistem drainase di buat secara ekslusif sehingga saluran drainase bandara Kualanamu hanya akan mengalirkan air dari hujan yang jatuh di area bandara maupun

Dengan menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) di kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Karanganyar penelitian ini diharapkan

adalah untuk mengetahui hubungan risiko tsunami terhadap tingkat ansietas pada anak sekolah dasar di zona merah.. dan hijau Kota

Jogiyanto Hartono M, 2005, Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis , Andi, Yogyakarta. Jogiyanti, 2005, Analisis dan

Sebagai discount store , DealMedan menyediakan banyak pilihan promo dari berbagai macam merchant yang bisa customer dapatkan.DealMedan menyediakan ruang untuk para merchant

Menurut penelitian Hestiana (2017) terdapat hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan dalam pengelolaan diet pada pasien rawat jalan penderita diabetes melitus tipe