• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOMBINASI LATIHAN RANGE OF MOTION ANKLE DORSOLFEKSI DAN FOOT MASSAGE TERHADAP NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KOMBINASI LATIHAN RANGE OF MOTION ANKLE DORSOLFEKSI DAN FOOT MASSAGE TERHADAP NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Mitrasehat, Volume VI Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2089-2551 PENGARUH KOMBINASI LATIHAN RANGE OF MOTION ANKLE DORSOLFEKSI DAN

FOOT MASSAGE TERHADAP NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh:

Muhammad Sahlan Zamaa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar

ABSTRAK: Diabetes melitus (DM) yang telah diderita selama bertahun-tahun dapat mengarah ke berbagai komplikasi, diantaranya yaitu terjadinya peripheral arterial disease (PAD). Salah satu indikator terjadinya PAD pada pasien DM tipe 2 yaitu adanya penurunan nilai ankle brachial index (ABI) pada ekstremitas bawah pasien. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bisa terjadi neuropati yang dapat memicu munculnya ulkus kaki diabetik. Intervensi yang dapat diberikan untuk meningkatkan nilai ABI yaitu dengan melakukan foot massage atau latihan ROM ankle dorsofleksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian kombinasi foot massage dan latihan ROM ankle dorsofleksi terhadap nilai ABI pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan metode pre and post test without control yang terdiri dari 2 kelompok intervensi dengan besar sampel 20 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian kombinasi latihan ROM ankle dorsofleksi dan foot massage terhadap peningkatan nilai ABI (p value = 0,033 untuk ekstremitas kanan dan p value = 0,001 untuk ekstremitas kiri). Rekomendasi penelitian ini yaitu agar para perawat dapat memberikan intervensi kombinasi latihan ROM ankle dorsofleksi dan foot massage dalam rangka mencegah terjadinya PAD pada pasien DM tipe 2.

Kata kunci : diabetes melitus tipe 2, foot massage, range of motion, ankle dorsofleksi, ankle brachial index

ABSTRACT: The chronic diabetes mellitus has the potential to cause several complications including peripheral arterial disease (PAD). A parameter indicating PAD amongst Type 2 diabetes mellitus patients is the decline in the ankle brachial index (ABI) on their lower extremity. Once this condition persists, it can cause neuropathy leading to the occurrence of leg diabetic ulcer. An intervention believed to overcome this problem is conducting foot massage or ankle dorsiflexion range of motion (ROM) exercises. This research aimed at investigating the effectiveness of exercise combination of foot massage and ankle dorsiflexion ROM on ABI scores among type 2 diabetes mellitus patients. This study used quasi-experiment method with pre and post-test without control design, and consisted two intervention groups involving 20 participants. The study revealed that there was distinctive correlation between the exercise combination of foot massage and ankle dorsiflexion ROM and the increase of ABI scores of the patients (p value = 0.033 for the right extremities and p value = 0.001 for the left extremities).The findings suggest that such intervention can be considered or even be provided by nurses taking care of type 2 diabetes mellitus patients to prevent them from the possible deteriorating complication, the peripheral artery disease.

Keywords : type 2 diabetes mellitus, exercise, foot massage, ankle dorsiflexion, range of motion, ankle brachial index

(2)

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang tersebar di seluruh negara maju dan negara berkembang di dunia. Negara dengan penderita diabetes tertinggi adalah China, dengan jumlah penderita sebanyak 98,4 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia sendiri, jumlah penderita diabetes semakin bertambah dari tahun ke tahun. International Diabetes Federation (IDF) memprediksikan akan terjadi kenaikan jumlah penderita diabetes di Indonesia dari 8,5 juta jiwa pada tahun 2013 menjadi 14,1 juta jiwa pada tahun 2035. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian serius dari pihak tenaga kesehatan, pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah penyakit ini. DM merupakan suatu kumpulan dari sindrom metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Menurut data Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2012, jumlah kematian yang diakibatkan oleh penyakit DM sebanyak 191 kasus dan termasuk dalam penyebab kematian utama urutan kelima terbanyak di seluruh kota Makassar (Dinkes Kota Makassar, 2012). Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 217 orang dan termasuk penyebab kematian urutan ke 5 setelah penyakit asma, jantung dan hipertensi (Dinkes Kota Makassar, 2013). Kota Makassar merupakan kota terbesar di Wilayah Indonesia Timur dan menjadi kota rujukan untuk seluruh rumah sakit yang berada di Wilayah Indonesia Timur.

Peripheral Arterial Disease (PAD) merupakan sumbatan pada pembuluh darah arteri yang bisa muncul pada pasien DM tipe 2. Screening kejadian PAD merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah timbulnya berbagai komplikasi yang bisa mengarah ke penyakit pada sistem kardiovaskular dan sistem saraf. Pemeriksaan ABI merupakan

screening untuk mengetahui adanya kejadian PAD, dimana nilai ABI di bawah normal dapat menjadi indikasi utama kejadian PAD pada pasien DM tipe 2.

Salah satu pencegahan terjadinya PAD yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu memperbanyak melakukan exercise yang melibatkan gerakan pada kaki karena nilai ABI yang rendah yang merupakan salah satu ciri PAD berhubungan dengan minimnya exercise yang dilakukan oleh pasien. Selain melakukan exercise yang melibatkan gerakan pada kaki, massage (pemijatan) juga dapat meningkatkan nilai ABI. Massage merupakan salah satu pengobatan alternatif yang telah dikenal sejak lama baik oleh masyarakat di Indonesia maupun di negara lain. Massage dapat melancarkan aliran darah pada organ yang dilakukan massage sehingga dapat meningkatkan nilai ABI.

Sampai saat ini belum ada penelitian yang mencoba menggabungkan pengaruh latihan ROM ankle dofrsofleksi dan foot massage terhadap nilai ABI pasien DM tipe 2, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti mengajukan pertanyaan penelitian : “Bagaimanakah pengaruh pemberian latihan ROM ankle dorsofleksi dan foot massage terhadap nilai ABI pada pasien DM tipe 2?”

Metode

Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment pre and post test without control dengan intervensi berupa latihan range of motion (ROM) ankle dorsofleksi dan foot massage. Sampel penelitian ini terbagi atas dua kelompok yaitu kelompok intervensi foot massage, dan kelompok intervensi foot massage dan ROM ankle dorsofleksi. Setiap kelompok terdiri atas 10 responden.

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Rumah Sakit B dan di seluruh wilayah Kota Makassar. Penelitian ini dibantu oleh

(3)

Jurnal Mitrasehat, Volume VI Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2089-2551 dua orang asisten yang merupakan

mahasiswa keperawatan. Setelah mengurus surat izin penelitian, peneliti melakukan pemeriksaan terhadap pasien DM tipe 2 yang melakukan kunjungan di poloklinik endokrin Rumah Sakit B. Jika didapatkan bahwa pasien tersebut sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, pasien akan diberikan penjelasan mengenai manfaat dan prosedur penelitian, menandatangani lembar informed consent dan mengisi kuisioner. Selanjutnya peneliti melakukan kontrak untuk mengadakan kunjungan ke rumah pasien selama 10 hari. Saat melakukan kunjungan rumah hari pertama, peneliti akan memeriksa kembali nilai ABI ekstremitas kanan dan kiri responden sebelum melakukan intervensi untuk dijadikan sebagai data ABI pre intervensi. Pengambilan data ABI selanjutnya dilakukan pada hari kelima dan hari kesepuluh pemberian intervensi.

Pengolahan data dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu editing, coding, processing dan cleaning. Analisa data terdiri dari analisis univariat untuk mengidentifikasi karakteristik responden (jenis kelamin, umur, kadar glukosa darah dan lama menderita DM). Sedangkan analisis bivariat dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian intervensi terhadap nilai ABI. Selanjutnya analisis hubungan variabel confounding dengan nilai ABI.

Prinsip etik dalam penelitian ini meliputi: 1). Memperlakukan semua responden secara adil (justice), 2). Mencegah bahaya yang dapat terjadi pada responden (Nonmaleficience), 3). Memberikan kebebasan kepada responden untuk berartisipasi (Autonomy), 4). Menjaga kerahasiaan identitas responden (Anonimity).

Hasil

Tabel 5.1

Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin (n=20)

Variabel Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan 17 3 15 85 Tabel 5.2

Hasil analisis univariat umur responden, glukosa darah puasa dan lama menderita

DM

Variabel Mean SD 95%CI Umur GDP Lama menderita DM 60,60 185,20 5,55 9,34 45,692 4,458 56,23-64,97 163,82-206,58 3,42-7,68 Tabel 5.3

Hasil analisa univariat nilai ABI

Kelompok Ekstremitas Intervensi Median Foot massage Kanan Hari 1 Hari 5 Hari 10 0,905 1,075 1,070 Kiri Hari 1 Hari 5 Hari 10 1,260 1,105 1,115 Foot massage dan ROM Kanan Hari 1 Hari 5 Hari 10 0,965 1,080 1,150 Kiri Hari 1 Hari 5 Hari 10 0,860 1,080 1,125 Tabel 5.4

Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan nilai ABI ekstremitas kanan dan

kiri pre intervensi

Variabel N p value Jenis kelamin

Laki-laki

(4)

Tabel 5.5

Hasil analisis hubungan umur, glukosa darah puasa dan lama menderita DM

dengan nilai ABI pre intervensi Variabel R p value Umur ABI Kanan ABI Kiri -0,084 -0,16 0,474 0,362 Glukosa darah puasa ABI Kanan ABI Kiri -0,172 0,207 0,191 0,235 Lama menderita DM ABI Kanan ABI Kiri -0,246 -0,259 0,148 0,136 Tabel 5.6

Hasil analisa efektivitas pemberian intervensi

Kelompok Ekstremitas p value Foot Massage Kanan

Kiri 0,135 0,975 Foot massage

dan ROM Kanan Kiri 0,033* 0,001* *Signifikan pada p value < 0,05

Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden yang berpartisipasi berjenis kelamin perempuan dengan jumlah sebanyak 17 orang (85%) dan laki-laki sebanyak 3 orang (15%). Menurut Ishida et al (2012) penurunan nilai ABI lebih cenderung terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini sesuai juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tavintharan, Nang, Lim, & Wu, et al. (2011) yang meneliti tentang distribusi kejadian PAD yang ditandai oleh penurunan nilai ABI pada beberapa etnis di negara Asia. Penelitian ini menemukan bahwa kejadian PAD yang ditandai oleh penurunan nilai ABI lebih dominan ditemukan pada responden perempuan dibandingkan laki-laki. Tomiyama,

melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui distribusi penurunan nilai ABI pada populasi laki-laki dan perempuan. Tomiyama et al juga menemukan bahwa penurunan nilai ABI lebih banyak terjadi pada responden perempuan dibandingkan laki-laki.

Hasil penelitian ini menunjukkan rerata umur responden adalah 60,60 tahun. Umur termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 77 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Laukka, Star & Deary (2013) yang menemukan bahwa para lansia lebih cenderung untuk mengalami penurunan nilai ABI. Pada umumnya tingkat aktivitas para lansia cenderung mengalami penurunan seiring dengan peningkatan usia. Penurunan aktivitas ini akan diikuti oleh penurunan massa otot yang dimana hal ini akan menjadi faktor yang mendukung penurunan nilai ABI. Penurunan massa otot dapat mempersulit lansia dalam beraktivitas sehingga para lansia ini lebih memilih untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah.

Hasil penelitian ini menunjukkan rerata kadar glukosa darah puasa responden adalah 185,20 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa terendah adalah 139 mg/dL dan tertinggi 318 mg/dL. Hasil estimasi interval menunjukkan bahwa rerata kadar glukosa darah puasa responden berada pada rentang 163,82-206,58 mg/dL. Hal ini menunjukkan bahwa kadar glukosa darah puasa responden diatas batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien DM dengan kadar glukosa darah puasa yang tinggi berisiko untuk mengalami penurunan nilai ABI.

Tingginya kadar glukosa darah (termasuk kadar glukosa darah puasa) termasuk salah satu penyebab menurunnya nilai ABI. Penyakit DM tipe 2 ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah yang menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada ekstremitas bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya

(5)

Jurnal Mitrasehat, Volume VI Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2089-2551 sensitivitas atau berkurangnya produksi

hormon insulin yang membuat glukosa darah tidak bisa digunakan untuk proses metabolisme sel. Menurunnya sekresi insulin menyebabkan tubuh menggunakan cadangan energi lain dalam bentuk lemak melalui peningkatan sekresi glukagon. Glukagon meningkatkan proses lipolisis yang menyebabkan terjadinya peningkatan asam lemak bebas di dalam pembuluh darah. Asam lemak ini bersifat lengket dan dapat dengan mudah mengendap di dinding pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya sumbatan (Marso & Hiatt, 2006; Grenon, et al 2009, Guyton & Hall, 2010).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata lama menderita diabetes melitus responden adalah 5,55 tahun. Durasi menderita diabetes melitus terpendek adalah 2 tahun dan terlama adalah 18 tahun. Hasil estimasi interval menunjukkan bahwa rerata lama menderita diabetes melitus responden adalah 3,42-7,68 tahun. Penyakit DM yang diderita selama bertahun-tahun dapat berkembang menjadi berbagai penyakit komplikasi jika tidak ditangani dengan baik. Komplikasi yang terjadi dapat terjadi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular) maupun pembuluh darah besar (makrovaskular).

Komplikasi makrovaskular yang terjadi pada kaki dapat berupa PAD. Penyakit DM yang dialami selama bertahun-tahun dapat meningkatkan risiko terkena PAD yang ditandai oleh penurunan nilai ABI dibawah 0,9. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah. Proses aterosklerosis ini terus terjadi selama bertahun-tahun sehingga sumbatan yang terjadi pada pembuluh darah menyebabkan menurunnya aliran darah, terutama pada organ ekstremitas bawah. Penelitian lainnya terkait tentang penurunan nilai ABI juga menemukan bahwa semakin lama durasi seseorang terkena DM, maka semakin besar risiko untuk mengalami penurunan nilai ABI (Kallio, Forsblom,

Groop, Groop, & Lepäntalo, 2003; Ishida et al , 2010; Laukka et al 2013).

Pada penelitian ini, responden dengan jenis kelamin perempuan memiliki persentase yang lebih banyak (85%) dibandingkan dengan responden laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa penurunan nilai ABI lebih dominan terjadi pada perempuan, walaupun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penurunan nilai ABI (p>0,05). Penelitian lain tentang penurunan nilai ABI juga telah membuktikan bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penurunan nilai ABI (Tomiyama et al, 2003; Tavintharan et al, 2011; Ishida et al, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Syvanen et al melibatkan 1028 responden yang terdiri dari 481 laki-laki dan 547 perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penurunan nilai ABI. Menurut pertimbangan peneliti, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan nilai ABI tidak signifikan. Pada penelitian ini, metode dalam pengambilan sampel yang dirasa kurang tepat. Seharusnya peneliti melakukan seleksi sampel di seluruh wilayah Puskesmas kota Makassar untuk dapat mewakili seluruh penduduk kota Makassar. Pada penelitian ini, peneliti hanya melakukan seleksi sampel di daerah atau kelurahan yang mampu dijangkau oleh peneliti baik dari segi administrasi maupun segi transportasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata umur responden adalah 60,60 tahun. Hal ini menunjukan bahwa pasien DM tipe 2 yang memasuki usia lansia berisiko tinggi untuk mengalami penurunan nilai ABI, walaupun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia responden dengan nilai ABI. Laukka et al (2013) telah melakukan penelitian tentang penurunan

(6)

nilai ABI dan menemukan bahwa penurunan nilai ABI lebih cenderung terjadi pada pasien dengan usia tua (lansia). Tavintaran et al (2011) melakukan penelitian tentang distribusi nilai ABI terkait dengan terjadinya PAD menemukan bahwa kejadian PAD yang ditandai oleh penurunan nilai ABI lebih cenderung ditemukan pada pasien lansia. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Ishida et al (2012) yang menemukan bahwa penurunan nilai ABI dapat terus terjadi seiring dengan meningkatnya umur pasien. Kallio et al (2003) melakukan follow up pada pasien DM tipe 2 untuk mengetahui pengaruh lama durasi menderita DM terjadap kejadian PAD dan menemukan bahwa semakin lama seorang pasien terkena DM maka semakin tingi risiko pasien tersebut terkena PAD. Dalam penelitian ini, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur responden dengan nilai ABI. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Syvanen et al (2007) yang menemukan bahwa umur responden tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penurunan nilai ABI. Menurut peneliti hal ini dapat disebabkan oleh jumlah responden yang minim (20 responden), dimana sebagian besar dari penelitian sebelumnya melibatkan responden dengan jumlah yang lebih besar.

Salah satu ciri pasien DM tipe 2 yaitu meningkatnya kadar glukosa darah puasa di atas normal (>140 mg/dL) dimana hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk menegakkan diagnosis penyakit DM. Dalam penelitian ini, nilai tengah kadar glukosa darah puasa adalah 176 mg/dL yang menunjukkan adanya peningkatan nilai glukosa darah puasa diatas nilai normal. Selanjutnya, hasil uji secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingginya kadar glukosa darah puasa dengan nilai ABI. Penyakit DM yang diderita selama bertahun-tahun dapat dapat menimbulkan berbagai komplikasi

jika tidak dilakukan penatalaksanaan dengan baik. PAD merupakan salah satu komplikasi yang bisa muncul pada pasien dan risiko ini akan semakin meningkat seiring dengan pertambuhan umur pasien DM (Laukka, et al 2013). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2009) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar glukosa darah puasa dengan nilai ABI. Menurut asumsi peneliti, penyebab tidak adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa responden dengan nilai ABI karena data yang ada kurang bervariasi dimana hampir seluruh responden mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa di atas normal (>140 mg/dL). Data yang kurang bervariasi ini dapat menyebabkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara variabel independen atau variabel confounding dengan variabel dependen.

Hasil penelitian ini bahwa menunjukkan bahwa nilai tengah responden menderita DM adalah 4 tahun. Semakin lama durasi seseorang terkena DM maka semakin rentan orang tersebut untuk mengalami penurunan nilai ABI. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ishida et al (2012) dan Laukka et al (2013). Ishida et al menemukan bahwa penurunan nilai ABI akan terus terjadi seiring dengan pertambahan umur pasien dan durasi pasien terkena DM, dimana pasien lansia berjenis kelamin perempuan berisiko lebih tinggi untuk mengalami penurunan nilai ABI. Laukka et al (2013) bahwa pada pasien DM dan penyakit kardiovaskular, semakin lama durasi penyakitnya akan menyebabkan risiko yang tinggi untuk mengalami penurunan nilai ABI. Hal ini disebabkan oleh penyakit DM atau penyakit kardiovaskular lainnya yang memicu terjadinya ateroskleorsis sehingga resistensi pembuluh darah akan semakin meningkat. Peningkatan resistensi pembuluh darah akan mengakibatkan

(7)

Jurnal Mitrasehat, Volume VI Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2089-2551 menurunnya aliran darah di ekstremitas

bawah tubuh sehingga nilai ABI bisa menurun.

Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menderita DM dengan nilai ABI. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2009) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menderita diabetes melitus dengan nilai ABI. Menurut asumsi peneliti, hal ini dapat disebabkan oleh tidak akuratnya data lama menderita DM. Sebagian responden mengaku bahwa baru mengetahui bahwa dirinya terkena DM pada saat dilakukan pemeriksaan glukosa darah saat diadakan bakti sosial oleh salah satu instansi kesehatan. Hal ini dapat memberikan kemungkinan bahwa para responden ini bisa saja telah menderita DM bertahun-tahun sebelumnya, hanya saja hal ini belum terdeteksi.

Hasil analisa univariat menunjukkan peningkatan nilai tengah ABI hanya terjadi pada ekstremitas kanan yaitu pada pengukuran hari ke 5 dengan peningkatan sebesar +0,17 dibandingkan hari pertama. Selanjutnya untuk hari ke 10 terjadi penurunan sebesar -0,005 dibandingkan hari ke 5 pemberian intervensi. Sedangkan pada ekstremitas kiri kelompok intervensi foot massage, nilai tengah ABI cenderung menurun yaitu sebesar -0,155 pada pengukuran hari ke 5 dan pada hari ke 10 terjadi peningkatan nilai tengah ABI sebesar +0,01.

Salah satu penyebab menurunnya nilai ABI pada pasien DM yaitu buruknya sirkulasi darah pada ekstremitas bawah pasien yang merupakan efek dari hiperglikemia selama bertahun-tahun. Hiperglikemia menyebabkan penurunan aliran darah yang berdampak pada penurunan nilai ABI. Pemberian intervensi massage pada kaki telah terbukti dapat meningkatkan nilai ABI. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Agung (2013) dimana dalam penelitian ini dilakukan pemberian intervensi massage pada pasien dengan nilai ABI yang rendah sebanyak 2 kali sehari. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan nilai ABI yang signifikan (p = 0,000) setelah pemberian massage selama 10 hari.

Efektivitas pemberian intervensi massage terhadap nilai ABI juga telah dibuktikan oleh Adinugraha (2013) yang memberikan intervensi Swedish massage kepada responden. Pemberian Swedish massage dilakukan selama 3 minggu, setiap 2 kali seminggu dan nilai ABI terbukti meningkat setelah pemberian Swedish massage. Massage memiliki beberapa manfaat bagi kesehatan tubuh. Selain melancarkan aliran darah, pemberian terapi massage juga dapat menurunkan denyut jantung pada pengukuran 30 menit setelah pemberian intervensi foot massage. Selain itu, massage juga dapat meningkatkan saturasi oksigen pada anggota tubuh yang dilakukan massage. Pemberian massage dapat merangsang saraf parasimpatis yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan denyut jantung (Castro, Moreno, Matarán, Feriche, Fernández, Granados & Quesada, 2011).

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan nilai ABI yang terjadi pada kelompok intervensi foot massage tidak signifikan (p>0.05). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2009). Mulyati melakukan terapi foot massage pada kelompok intervensi yang terdiri dari 30 orang untuk mengetahui pengaruh pemberian foot massage terhadap peningkatan sensasi proteksi, nyeri dan nilai ABI. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati membuktikan bahwa pemberian massage pada kaki pasien DM tipe 2 tidak meningkatkan nilai ABI secara signifikan (p>0,05), walaupun terjadi peningkatan nilai rata-rata ABI sebesar 0,05 setelah pemberian intervensi.

(8)

Menurut asumsi peneliti terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan antara pemberian foot massage dengan nilai ABI tidak berhubungan. Pada penelitian ini, penurunan nilai ABI hanya terjadi pada salah satu ekstremitas saja. Nilai ABI yang menurun hanya terjadi pada kaki kanan atau kaki kiri pasien sehingga peningkatan nilai ABI yang terjadi tidak merata antara kaki kanan dengan kaki kiri. Selain itu pemberian foot massage ini hanya memberikan efek peningkatan nilai tengah ABI pada pemberian intervensi hari kelima, sedangkan pada pemberian intervensi hari ke sepuluh nilai tengah ABI kedua ekstremitas responden cenderung menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan peneliti dan asisten peneliti yang masih belum memadai dalam melakukan foot massage. Dalam melakukan sebuah intervensi, selayaknya seorang peneliti telah memiliki lisensi atau sertifikat. Hal ini bertujuan agar peneliti mendapat pengakuan secara sah bahwa intervensi yang diberikan telah sesuai dengan standard dan prosedur yang baku. Pada penelitian ini, peneliti dan asisten tidak memiliki sertifikat massage, sehingga intervensi foot massage yang diberikan tidak dapat memberikan hasil maksimal sesuai yang diharapkan oleh peneliti dimana pemberian foot massage dapat meningkatkan nilai ABI secara signifikan.

Saat ini sudah banyak artikel yang meneliti secara terpisah tentang efek pemberian foot massage atau latihan ROM pada kaki pasien DM. Tetapi untuk penelitian yang mencoba menggabungkan kedua intervensi ini masih jarang ditemukan. Secara teoritis, pemberian intervensi foot massage dan ROM ankle dorsofleksi pada kaki secara terpisah telah terbukti dapat meningkatkan nilai ABI.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Castro, Moreno, Matarán, Feriche, Castanys, Sánchez & Sánchez (2010) yang mencoba untuk menggabungkan intervensi foot massage dan exercise pada

pasien DM tipe 2 selama 10 minggu telah terbukti secara signifikan dapat meningkatkan nilai ABI serta meningkatkan pulsasi arteri di kedua ekstremitas bawah responden. Pengggabungan dua intervensi massage dan ROM pada penelitian ini terbukti lebih efektif dalam meningkatkan nilai ABI. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai rata-rata ABI sebelum dan setelah pemberian intervensi.

Menurut peneliti, penggabungan kedua intervensi foot massage dan latihan ROM akan memberikan efek yang lebih signifikan dibandingkan pemberian intervensi ini secara terpisah. Pemberian foot massage dapat merangsang saraf parasimpatis yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran darah akan menjadi lebih lancar. Selain itu, pemberian intervensi latihan ROM ankle dorsofleksi akan menimbulkan efek calf muscle pump yang merangsang otot pada betis untuk memompa darah kembali ke jantung sehingga sirkulasi darah di kaki menjadi lebih lancar. Kedua efek ini telah terbukti secara signifikan dapat meningkatkan nilai ABI kelompok intervensi (p value <0,05).

Kesimpulan

Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel jenis kelamin, umur, kadar glukosa darah dan lama menderita DM dengan nilai ABI responden. Pemberian intervensi foot massage terbukti dapat meningkatkan nilai ABI walaupun secara statistik peningkatan ini tidak signifikan. Pemberian intervensi foot massage yang digabung dengan latihan ROM ankle dorsofleksi terbukti secara signifikan dapat meningkatkan nilai ABI.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan di lingkungan kerja perawat untuk mencegah terjadinya penurunan nilai ABI atau dalam meningkatkan nilai ABI pasien yang menurun dibawah nilai normal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

(9)

Jurnal Mitrasehat, Volume VI Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2089-2551 menjadi tambahan referensi intervensi

mandiri untuk perawat dalam menjaga nilai ABI pasien DM tipe 2 tetap dalam batas normal. Data pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., Ph.D., dan Bapak I Made Kariasa, MM., M,Kep., Sp.KMB., selaku pembimbing penelitian yang dengan sabar dan penuh perhatian memimbing peneliti dalam melakukan penelitian hingga penyusunan laporan hasil penelitian.

Referensi  Jurnal

Allison, M. A., Hiatt, W. R., Hirsch, A. T., Coll, J. R., & Criqui, M. H. (2008). A high ankle-brachial index is associated with increased cardiovascular disease morbidity and lower quality of life. Journal of the American College of Cardiology, 51(13), 1292-1298.

Barone Gibbs, B., Dobrosielski, D. A., Althouse, A. D., & Stewart, K. J. (2013). The effect of exercise training on ankle-brachial index in type 2 diabetes. Atherosclerosis, 230(1), 125-130.

Castro-Sánchez, A. M., Moreno-Lorenzo, C., Matarán-Peñarrocha, G. A., Feriche-Fernández-Castanys, B., Granados-Gámez, G., & Quesada-Rubio, J. M. (2011). Connective tissue reflex massage for type 2 diabetic patients with peripheral arterial disease: randomized controlled trial. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2011.

Goats, G. C. (1994). Massage--the scientific basis of an ancient art: Part 2. Physiological and therapeutic effects. British Journal of Sports Medicine, 28(3), 153-156.

Grenon, S. M., Gagnon, J., & Hsiang, Y. (2009). Ankle–brachial index for

assessment of peripheral arterial disease. New England Journal of Medicine, 361(19).

Ishida, A., Miyagi, M., Kinjo, K., & Ohya, Y. (2012). Age-and sex-related effects on ankle–brachial index in a screened cohort of Japanese: the Okinawa Peripheral Arterial Disease Study (OPADS).

Mulyati, L. (2009). Pengaruh masase kaki secara manual terhadap sensasi proteksi, nyeri dan ankle brachial index (ABI) pada pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit daerah Curup Bengkulu 2009. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Tesis tidak diterbitkan.

European journal of preventive cardiology, 2047487312462822.

Syvänen, K., Aarnio, P., Jaatinen, P., & Korhonen, P. (2007). Effects of age, sex and smoking on ankle-brachial index in a Finnish population at risk for cardiovascular disease. The International journal of angiology: official publication of the International College of Angiology, Inc, 16(4), 128. Tomiyama, H., Yamashina, A., Arai, T.,

Hirose, K., Koji, Y., Chikamori, T., ... & Hinohara, S. (2003). Influences of age and gender on results of noninvasive brachial–ankle pulse wave velocity measurement—a survey of 12 517 subjects. Atherosclerosis, 166(2), 303-309.

Buku

Black & Hawks. (2009). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes eight edition. Singapura: Saunders Elsevier.

Cael, C. (2010). Functional anatomy: musculoskeletal anatomy, kinesiology, and palpation for manual therapists. Wolters Kluwer Health.

Cassar, M. P. (2004). Handbook of clinical massage. Churchill Livingstone.

(10)

Clay, J. H. & Pounds, D. M. (2008). Basic clinical massage therapy: integrating anatomy and treatment. Lippincott Williams & Wilkins

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, KH. (2010). Text book of medical surgical nursing twelfth edition. China: Lippincott Williams & Wilkins.

Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata M.K., Setiati, S. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Artikel online

Agung, Mertha & Widianah. (2013). Pengaruh foot massage terhadap Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas di Denpasar Barat. Retrieved from http://web.as.uky.edu/Biology/faculty/c

ooper/Pimser-KAS%20presentations2012/KAS/ankle -brachial%20index-3.pdf

Dey, S., Das, K., Begum, S.A., Ahmed, A.U., Mohiuddin, A.S. (2012). Comparison of lower limb arterial pulsatility and ankle brachial indices in diabetic subjects with and without neuropathy. Birdem Medical Journal. 2(2) 89-94. Retrieved from http://www.banglajol.info/index.php/BI RDEM/article/viewFile/12309/8984 Kim, S.H., Wattanakit, K., Heather L.

(2014). Using the ankle brachial index

to diagnose pheripheral artery disease and assess cardiovascular risk. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 79(9) 651-661. Retrieved from http://www.ccjm.org/content/79/9/651.f ull.pdf.

Kubo, K., Matsumoto, J., Murata, K., Ohashi, S., Izawa, K., Yamazaki, K., et al. (2013). Relationship between ankle-dorsiflexion range of motion and plantar wound region in diabetic and peripheral arterial disease patients. Asia Science and Technology Portal. Retrieved from astp.jst.go.jp.

Kulik, D. (2002). Reflexology and massage in the treatment of type II diabetic neuropathy. (Order No. 1412110, University of the Pacific). ProQuest Dissertations and Theses, , 69-69 p.

Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/24 9942456?accountid=17242.(24994245 6).

Laukka, E. J., Starr, J. M., & Deary, I. J. (2013). Lower Ankle-Brachial Index Is Related to Worse Cognitive Performance in Old Age. Retrieved from

http://psycnet.apa.org/journals/neu/28/ 2/281.

Perkeni. (2011a). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Retrieved from www.perkeni.org.

Perkeni. (2011b). Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus. Retrieved from www.perkeni.org.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan penulis, adalah agar skripsi ini menjadi bahan informasi positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat Islam dan

Pada kegiatan keagamaan tersebut peran remaja masjid sangat di himbau oleh para takmir masjid dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan yang berbasis pluralisme.

Pengertian belajar secara umum adalah perubahan pada diri orang yang belajar karena pengalaman dengan serangkai kegiatan. Misalkan dengan membaca, mengamati, mendengarkan,

Tujuan dari penelitian ini yaitu guna mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan adanya penerapan model pembelajaran

Kesimpulan penelitian ini adalah model pembelajaran Think Pair Share dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa semester I A Program Studi Pendidikan

kehidupan bangsa, mulai dari teknologi, sosial budaya, ekonomi, hukum dan berbagai keilmuan yang digunakan untuk memajukan negara ini, melalui daya saing bangsa yang kuat dengan

Misalnya dalam perkara “Tancho” yang terkenal, kita saksikan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia, karena dianggap sebagai telah bertindak tidak dengan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besar dari luas permukaan karbon aktif dan angka iodin dari bahan tempurung kelapa dan tandan kosong kelapa sawit