• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Budaya dalam Disain Penelitian. Oleh: Ibnu Qizam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Budaya dalam Disain Penelitian. Oleh: Ibnu Qizam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Ibnu Qizam∗ Abstrak

Paper bertujuan untuk menjelaskan dampak kultur dalam kaitannya dengan perancangan instrumen riset. Peran budaya dalam riset dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain: 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya, 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur, dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual.

Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar, baik pengaruh secara langsung (yaitu merepresentasikan variabel-variabel utama) maupun tidak langsung (yaitu menjadi konteks dan setting yang mendasari variabel-variabel utama); dari sudut pandang kemunculannya (pengaruh kultur) dalam setiap tahapan (komponen) prosedur penelitian; dan juga dari sudut pandang kemanfaatannya dalam pengembangan disain riset ataupun lingkup variabel. Namun demikian, cukup banyak cara dan teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak budaya, antara lain dengan pendekatan umum, pendekatan khusus, pendekatan pengelompokan, dan pendekatan konvensional yang disesuaikan dengan tujuan riset lintas budaya.

Kata kunci: dimensi budaya, pergeseran makna, disain penelitian A. Pendahuluan

Budaya bisa didefinisikan dari berbagai segi. Taylor (1977) mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan yang kompleks yang melibatkan pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, kebiasaan dan apapun kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.”1 Linton (1945) mendefinisikan budaya sebagai “konfigurasi perilaku yang telah diperoleh (dipelajari) dan hasil-hasil

perilaku yang komponen-komponennya dimiliki bersama dan

ditransmisikan oleh anggota masyarakat tertentu.”2 Sedangkan Barnouw

(1963) telah menyatakan bahwa “budaya merupakan sebuah pandangan

Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kandidat Doktor Ilmu

Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

1 Taylor, E.B., Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, Vol. 1, (New York: Henry Holt, 1977), p.105

2 Linton, R., The Cultural Background of Personality, (New York: Appleton-Century, 1945), p. 74.

(2)

hidup dari sekelompok orang, konfigurasi semua pola perilaku dari hasil pembelajaran yang memiliki stereotype tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui penggunaan bahasa dan peniruan.”3 Dalam

hal ini, Kroeber dan Kluckhohn (1952) memberikan definisi budaya dengan lebih komprehensif, yaitu:4

Budaya terdiri dari pola, baik eksplisit ataupun implisit dari dan untuk perilaku yang telah diperoleh dan ditransmisikan dengan simbol, yang merupakan hasil pencapaian sekelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam artifact; inti budaya yang pokok terdiri dari ide-ide (baik yang secara historis diturunkan maupun terseleksi) tradisional dan terutama nilai-nilai yang melekat; dalam satu segi, sistem budaya dianggap sebagai produk tindakan, di lain pihak, dipandang sebagai elemen kondisioning tindakan berikutnya. Namun sekarang juga ada definisi budaya yang dikemukakan oleh Hofstede (1980). Budaya adalah pemrograman pikiran secara kolektif yang membedakan satu anggota kelompok manusia dengan yang lain dan agregat interaktif karakteristik yang dimiliki bersama yang mempengaruhi respon kelompok manusia terhadap lingkungannya.5

Dari berbagai definisi budaya di atas, apapun definisinya, menurut Adler (1984), peran budaya dalam riset paling tidak dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya; 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur; dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual.6 Dari ketiga pengelompokan permasalahan tersebut, yang paling sering adalah bahwa budaya dianggap sebagai variabel residual. Sementara riset-riset sekarang sudah mengarah untuk memperlakukan budaya sebagai variabel independen; banyak juga yang memasukkan sebagai konstanta; dan masih sedikit yang memasukkan sebagai variabel dependen sebagai contoh, penelitian Kumar tentang pengaruh korporasi internasional terhadap

3 Barnouw, V., Culture and Personality, Homewood, (Illinois: The Dorsey Press, 1963), p. 212.

4 Kroeber, A.L. and Kluckholm, C., Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, Papers of the Peabody Museum of American Archeology & Ethnology, Vol. 47 (No. 1), Cambridge, Mass.: Harvard University, 1952, p. 198-225.

5 Hofstede, Geert, Culture’s Consequences: International Differences in Work Related Valves, (Beverly Hills, Calif.: Sage, 1980), p. 145.

6 Adler, Nancy J., Understanding the Ways of Understanding: Cross-cultural Management Methodology Reviewed, Advances in International Comparative Management, Vol. 1: 31-67, 1984.

(3)

budaya lokal;7 Robert bahkan menganjurkan agar budaya dimasukkan sebagai variabel intervening yang menjelaskan atau dijelaskan oleh fenomena yang lain.8 Namun demikian problem utama yang dihadapi dalam disain

riset (instrument) pada umumnya adalah bahwa hasil riset sering dipengaruhi oleh adanya interaksi antara variabel kultural dan eksperimental. Sayangnya, dalam studi yang bersifat parosial dan etnosentris, main effect saja yang diinterpretasikan dan bukan pada interaksi tersebut.

Problem lain yang muncul adalah sering para peneliti menggunakan instrumen pada budaya tertentu (budaya A), tapi dirancang, dilakukan pre-test, direvisi, divalidasi dan seterusnya dengan menggunakan budaya yang lain (budaya B). Masalahnya muncul ketika peneliti berusaha untuk memperoleh kesimpulan tentang budaya tertentu (budaya A) dengan melakukan scoring menurut norma-norma yang diturunkan dari budaya yang lain (budaya B) sehingga norma kultur yang lain tersebut (budaya B) belum tentu relevan dengan kultur tertentu (budaya A) tersebut dan akibatnya hasil riset yang demikian itu bisa bias dan menyesatkan.9 Oleh sebab itu, pembahasan ini akan ditujuan untuk menjawab pertanyaan: apa peran budaya dalam disain instrumen penelitian (hubungan-hubungan apa yang terjadi antara riset dengan berbagai dimensi budaya dan teknik-teknik apa saja yang biasa dipakai untuk mencegah pergeseran makna dalam instrumen penelitian).

B. Hubungan Riset dengan berbagai dimensi budaya

Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar. Hal ini bisa ditemui di berbagai penelitian, baik dalam penelitian-penelitian sosial dan humaniora maupun bidang lain seperti teknologi informasi. Dalam bidang teknologi informasi, sebagai contoh, budaya sudah dimasukkan sebagai bagian integral riset teknologi informasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa budaya memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap berbagai aspek dalam mengkaji teknologi informasi, seperti dalam penelitian Achjari and Quaddus; Quaddus and Tung, 2002;

7 Kumar, Krishna (ed.), Bonds Without Bandage: Explorations in Transnational Cultural Interactions, Honolulu, Hawaii: University Press of Hawaii. Dan (1980), Transnational Enterprises: Their Impact on Third World Societies and Cultures, (Colorado: Westview Press., 1979), p. 86.

8 Robert, K.H., On Looking at an Elephant: An Evaluation of Cross-Cultural Research Related to Organizations, Psychological Bulletin, Vol. 74: 327-350, 1970.

9 Brislin, R., Comparative Research Methodology: Cross-cultural Studies, International Journal of Psychology, Vol 11 (No. 3): 215-229, 1976.

(4)

Shore and Venkatachalm, 1996; Straub, 1994; Tan et al., 1993.10 Menurut Achjari (2004), dampak langsung yang dimaksud adalah bahwa budaya dapat direpresentasikan (diproksikan) ke dalam variabel-variabel utama dalam penelitian seperti dalam penelitian Dasgupta et al., 1999; Griffith, 1998; Straub, 1994; Straub et al., 1997; Hasan and Ditsa, 1999; Tan et al., 1998a; Tan et al., 1998b; sementara dampak tidak langsung yang dimaksud adalah bahwa budaya dapat menjadi konteks atau setting yang mendasari hubungan antar variabel utama, seperti dalam penelitian Robey and Rodriguez-Diaz, 1989; Tung and Quaddus, 2002; Quaddus and Tung, 2002 dan juga dapat menjadi pemicu munculnya variabel-variabel baru. 11

Di samping itu, menurut Brislin yang dikutip Akhjari dan Quaddus dimasukkannya budaya dalam disain riset juga memiliki berbagai keuntungan, antara lain:12 1) dapat meningkatkan lingkup variabel, yaitu kalau studi hanya dilakukan pada satu setting budaya tertentu, maka variabel yang diuji hanya terbatas pada satu budaya itu saja sehingga tidak bisa atau belum tentu bisa diaplikasikan ke setting budaya yang berbeda (cross-cultural). Oleh sebab itu, dimasukkannnya konteks budaya dalam disain riset dapat

meningkatkan berkembangnya variabel-variabel yang sudah

memperhitungkan konteks budaya tersebut; 2) unconfounding variables, yaitu studi dalam satu setting budaya mungkin tidak dapat mengungkap dampak variabel-variabel yang tidak diekspektasikan. Dalam hal ini Brislin dalam risetnya tentang peran keturunan biologis atau etnik dalam budaya dan kebiasaan diet menunjukkan bahwa penggunaan alkohol sangat tergantung pada lamanya masa tinggal orang-orang Jepang di Amerika. Jika hanya menggunakan subyek Amerika yang hidup di Amerika, maka akan sulit mengungkap bahwa kebiasaan diet dipengaruhi oleh keturunan biologis; dan 3) meningkatkan sensitivitas terhadap konteks, yaitu masalah-masalah dalam satu konteks dapat diidentifikasikan secara lebih mudah jika dilihat dari konteks yang lain karena peneliti dari budaya yang sama kadang-kadang kurang sensitif terhadap masalah tersebut.

Dalam perspektif lain, peran budaya dalam disain riset (instrumen) juga bisa dilihat dari setiap pentahapan riset. Dengan mengacu Adler, peran budaya bisa dilihat mulai dari topik, penyampelan, translasi, pengukuran dan instrumentasi, administrasi, pengumpulan data, gaya respon, dan terakhir analisis data dan interpretasi.13

10 Achjari, Didi and Mohammed Quaddus, Development of the Formal and Informal Network Constructs: Implicit Role of Culture in Information Technology Research, Working Paper, 2004.

11 Ibid. 12 Ibid.

(5)

Dalam tahap pemilihan topik, hal yang perlu diketahui adalah apakah topik yang dikaji sesuai untuk semua budaya yang akan dikaji; apakah topik tersebut memiliki makna yang sama pada setiap konteks (budaya); apakah topik ini dianggap penting untuk setiap budaya. Untuk bisa dianggap penting pada setiap budaya, menurut Hofstede, topik yang dipilih harus dapat dikelompokkan sebagai fenomena lazim atau ektrim pada setiap budaya.14 Sebagai contoh, tanggung jawab sosial korporat

(CSR) telah menjadi isu pokok di Amerika Utara untuk dekade yang lalu, namun mungkin tidak untuk negara-negara lain, seperti di India isu pokoknya mungkin kelaparan; sementara di Meksiko mungkin krisis transportasi kota.

Di samping itu, topik yang dipilih per definisi mungkin belum mencerminkan definisi yang ekuivalen untuk semua budaya. Sebagai contoh, studi-studi yang menggunakan efisiensi dan efektifitas sebagai ukuran outcome mungkin tidak bisa disamaratakan untuk semua budaya dari segi definisinya. Pada budaya tertentu, efektifitas bisa berarti laba maksimum dalam jangka panjang namun dalam budaya lain, mungkin hal ini memiliki makna yang berbeda, yaitu melestarikan pola-pola tradisi hubungan dan aktifitas dalam sebuah komunitas. Sebuah studi tentang perencanaan bencana alam mungkin dianggap rutin di Amerika Utara, namun mungkin tidak untuk negara yang lain. Membayangkan bencana saja diyakini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya bencana, apa lagi membuat perencanaan.

Pada tahap penyampelan, isu-isu penyampelan terkait dengan jumlah budaya yang akan dimasukkan ke dalam sampel, pemilihan budaya-budaya yang spesifik yang akan dimasukkan, pilihan sampel-sampel yang sesuai dan representatif, dan independensi budaya dalam sampel. Dalam hal jumlah budaya yang akan dimasukkan ke dalam sampel, menurut Brislin et al., jumlah budaya yang dimasukkan sebaiknya cukup banyak untuk merandomisasi variansi variabel-variabel kultural yang tidak sesuai dan cukup besar untuk menghilangkan rival hypothesis.15 Menurut Sekaran,

studi-studi yang hanya memasukkan sedikit budaya seharusnya diperlakukan sebagai pilot study.16 Contoh kongkrit dalam hal ini adalah studi Hofstede tahun 1980 terhadap 40 negara (atau 160.000 individu)

14 Hofstede, Geert, Culture’s Consequences…,p. 148

15 Brislin, R., , Understanding Culture’s Influence on Behavior, Harcourt Brace College Publishers, Orlando, p. 102.

16 Sekaran, U., Are U.S. Organizational Concepts and Measures Transferable to Another Culture? An Empirical Investigation, Academy of Management Journal, Vol. 24 (No. 2): 409-417, 1981.

(6)

yang dilaporkan dalam bukunya: Culture’s Consequence (1980).17 Pemilihan budaya spesifik yang dimasukkan dan riset seharusnya didasarkan pada dimensi teori yang diacu. Budaya tertentu yang akan dimasukkan dalam riset seharusnya dipilih karena faktor budaya bisa dijadikan sebagai variabel independen, bukan dipilih karena ketersediaan akses untuk maksud coba-coba. Di samping itu, sampel yang digunakan seharusnya representatif, yaitu merefleksikan seluruh populasi kelompok budaya spesifik pada semua variabel-variabel demografi kunci dan atau matched (cocok), yaitu sampel yang digunakan harus secara fungsional ekuivalen untuk semua budaya yang dikaji. Dan sampel juga harus diekspektasikan independen, artinya tidak saling terkontaminasi satu dengan yang lain.

Pada tahap translasi, bahasa yang digunakan dalam setiap versi riset seharusnya ekuivalen untuk seluruh budaya. Instrumen yang dibuat baik dirancang untuk eksperimen maupun untuk survey seharusnya secara fungsional ekuivalen untuk seluruh budaya, baik dalam hal voabulary, grammar atau sintax.18 Dua teknik yang biasanya digunakan untuk

mengatasi hal ini antara lain, decentering dan back-translation. Namun, Hofstede menggunakan cara lain, yaitu dengan menggunakan penerjemah bilingual yang tahu baik secara linguistik maupun background budaya populasi dan pokok masalah.19

Pada tahap pengukuran dan instrumentasi, riset dikembangkan dalam rangka mendapatkan teori perilaku sosial yang ekuivalen yang kurang-lebih memiliki struktur yang serupa untuk semua budaya.20

Instrumen yang dikembangkan seharusnya menggambarkan variabel, skala, instrumentasi, dan manipulasi eksperimental yang ekuivalen, yang dimaksud dengan variabel yang secara struktural ekuivalen, menurut Triandis adalah bahwa kultur dapat berinteraksi dengan reaksi subyek terhadap susunan kata, tugas, setting riset ekperimental, dan alternatif respon. Variabel-variabel yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok budaya dalam sampel memiliki sesamaan baik dalam hal instrumen, format, interpretasi situasi sosial, gaya respon, dan tingkat kecemasan situasi tes yang sama pula. Interaksi antara variabel-variabel ekperimental dan budaya mungkin dapat mengganggu interpretasi studi lintas budaya.

Lebih jauh menurut Triandis ketika tingkat perhatian suatu dimensi berbeda pada dua budaya, maka sudah tidak sesuai lagi membuat

17 Hofstede, Geert , Culture’s Consequences…, p. 148

18 Sekaran, U., Are U.S. Organizational Concepts and…, p. 409-417. 19 Hofstede, Geert, Culture’s Consequences…, p. 150

20 Triandis, H., The Analysis of Subjective Culture, (New York: Wiley-Interscience, 1972), p. 137.

(7)

perbandingan lintas budaya kecuali jika pada level abstraksi yang lebih tinggi ditemukan suatu dimensi yang dapat dimiliki bersama. Item-item atau pengukuran-pengukuran seharusnya secara konseptual ekuivalen, reliabel dan valid dalam lintas budaya.21

Menurut Campbell, penyusunan skala juga dapat menimbulkan masalah dalam riset lintas budaya. Perbedaan rata-rata di antara kelompok kultural tidak bisa diinterpretasikan ketika tidak ada kemiripan yang cukup jelas sehingga perbedaannya bisa diinterpretasikan.22 Kesamaan-kesamaan

tersebut dapat ditunjukkan dengan 1) mengikuti dengan seksama prosedur-prosedur yang sama dalam budaya yang baru sebagaimna diikuti dalam pengembangan skala dalam budaya asli; 2) dengan menemukan pola-pola korelasi yang serupa antara skor yang diperoleh dengan instrumen dan variabel lain dalam setiap budaya. Di samping itu, instrumentasi juga harus disusun secara ekuivalen lintas budaya, baik dalam segi vocabulary, ekspresi idiomatik, grammar dan sintax, konteks eksperimental, dan konsep. Sedangkan manipulasi eksperimental juga dituntut ekuivalen. Interpretasi manipulasi eksperimental bisa dipengaruhi oleh interaksi antara variabel eksperimental dengan variabel-variabel kultural. Oleh sebab itu, manipulasi eksperimental juga harus ekuivalen di antara budaya yang sedang diteliti.

Pada tahap administrasi, pengumpulan data dan gaya respon, riset merupakan proses yang intrusif. Prosedur riset sendiri sebenarnya mempengaruhi fenomena yang diteliti. Pengaruh tersebut sering bervariasi menurut budayanya kecuali jika dikendalikan oleh peneliti yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tujuan peneliti seharusnya adalah untuk menjaga agar pengaruh proses riset adalah ekuivalen untuk semua budaya. Ekuivalensi administratif berarti ekuivalen respon subyek dalam 1) perkenalan, 2) pengenalan kepada peneliti, 3) perintah tugas, 4) komentar akhir, 5) setting riset, dan 6) waktu pengumpulan data.23

Yang dimaksud dengan respon yang ekuivalen adalah bahwa respon terhadap stimuli seharusnya ekuivalen terhadap hampir semua budaya. Subyek seharusnya memiliki familieritas yang serupa di antara budaya baik dalam uji instrumen, format dan situasi sosial riset. Dalam kaitannya dengan respon terhdap administrator riset. Maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah orang yang mengelola studi pada setiap budaya

21 Ibid., p. 138.

22 Campbell, D.T., Distinguishing Differences of Perception from Failures of Communication in Cross-Cultural Studies, dalam F.S.C. Northrop & H. H. Livingston (eds), Cross-cultural Understanding: Epistimology in Anthropology, (New York: Harper and Row, 1964), p. 315-343.

(8)

sama atau berbeda-beda; apakah administratur yang menyiapkan studi sama orangnya setiap waktu. Dalam hal ini, administratur yang berbeda budaya dapat memberikan pengaruh terhadap penyajian hasil riset. Menurut Adler & Kiggundu, orang yang berasal dari negara berkembang biasanya memberikan respon yang lebih baik terhadap para administratur yang berasal dari negara-negara maju secara ekonomis dari pada orang yang berasal dari negara berkembang atau negaranya sendiri. Sedangka dalam kaitannya dengan respon terhadap penyajian dan setting riset, setting seharusnya ekuivalen dalam hal formalitas, struktur dan lokasi.24 Yang maksudkan di sini adalah bahwa adanya standarisasi respon yang diberikan subyek bukan standarisasi setting untuk semua budaya. Sebagai contoh, kehadiran seorang bos atau tidak mungkin mempengaruhi respon karyawan yang diberikan pada suatu riset. Pada suatu budaya tertentu, kehadiran bos dapat memberikan sinyal bahwa riset adalah penting dan sangat penting artinya untuk bekerja-sama dengan para peneliti. Namun, pada sebagian budaya lain, kehadiran bos dapat dipandang sebagai suatu pemaksaan.

Pada tahap analisis data dan interpretasi, masalah yang muncul dalam kaitannya dengan budaya adalah sejauhmana sampel-sampel mencerminkan semua budaya yang terlibat dan sejauhmana proses riset yang ekuivalen bisa digunakan. Dalam hal ini, pendekatan yang biasanya digunakan dalam menggeneralisir temuan adalah multitrait-multimethod design.25

C. Teknik-Teknik untuk Mencegah Pergeseran Makna dalam Instrumen Penelitian

Teknik-teknik yang bisa digunakan untuk mencegah terjadinya pergeseran makna dapat digambarkan dengan mengikuti kerangka yang digunakan oleh Brislin dan Adler.26 Teknik-teknik ini bisa dikelompokan

menjadi tiga: 1) pendekatan umum, 2) pendekatan khusus, 3) pendekatan pengelompokan, 4) Pendekatan Konvensional. Dua pendekatan pertama dan satu yang terakhir mengikuti konsep yang dikembangkan Brislin dan pendekatan ketiga dikembangkan oleh Adler.

24 Adler, Nancy J., and Kiggundu, Moses N., Awareness at the Crossroad: Designing Translator Based Training Program. Handbook of Intercultural Training: Issues in Training Methodology, Vol. II, D. Landis and R. Brislin (eds), (New York: Pergamon Press, 1983), 124-150.

25 Campbell, D.T. & Fiske, D.W., Convergent and Discriminant Validation by the Multitrait-Multimethod Matrix, Psychological Bulletin, Vol. 56: 81-105, 1959.

26 Brislin, R., Comparative Research Methodology…, 215-229; Adler, Nancy J., Understanding the Ways of …, 31-67.

(9)

1. Pendekatan Umum

Pada pendekatan ini, para peneliti dianjurkan untuk mendasarkan pada konsep emik dan etik sebagai langkah awal untuk mengatasi pengaruh budaya dalam disain instrumen. Pembedaan dua konsep tersebut, yaitu emik dan etik berkaitan dengan tujuan riset yang diekspektasikan terkait dengan kultur, yaitu pertama untuk menyusun prinsip-prinsip yang valid yang menggambarkan perilaku pada budaya apapun, dengan memperhitungkan apa yang dinilai berarti dan penting oleh masyarakat. Ini yang terkait dengan analisis emik; kedua, untuk membuat generalisasi lintas budaya yang memperhitungkan semua perilaku manusia, yang pada gilirannya tujuan ini berkaitan dengan pembangunan teori. Dan ini yang terkait dengan analisis etik. Dengan pengetahuan tentang konsep emik dan etik ini, maka metode riset, antara lain yang berkaitan dengan pengembangan instrumen (kuesioner) dapat dilakukan dengan baik. Pendekatan etik digunakan sebagai dasar untuk menyusun core items (item-item pokok); sedangkan pendekatan emik digunakan sebagai dasar untuk menyusun culture specific items (item-item yang berkaitan dengan budaya spesifik).

Untuk memperoleh core items dan cultural specific items, dua cara dianjurkan untuk digunakan, yaitu pertama, melakukan riset kolaboratif dengan kolega dari negara-negara lain yang memiliki pengetahuan tentang budaya secara langsung dari tangan pertama. Dari sini, maka pembahasan secara komprehensif dapat dilakukan untuk kemudian dapat menyusun core items dan cultural specific items; kedua, mengkaji literatur antropologis tentang budaya yang akan diteliti, dengan mencari kesamaan dan perbedaan perilaku orang yang relevan dengan isu yang diteliti.27

2. Pendekatan Khusus

Dalam pendekatan khusus ini, ada dua teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi pengaruh kultur dalam perancangan instrumen, yaitu: pertama, penggunaan decentering dan back-translation28 dan kedua, penggunaan

prosedur sebagaimana yang digunakan Triandis, yaitu pengembangan instrumen riset dalam masing-masing budaya dan penggunaan faktor analisis.29

27 Ibid.

28 Werner, O. & Campbell, D. T., Translating, Working Through Interpreters, and the Problem of Decentering, In R. Naroll & R. Cohen (Eds.), A Handbook of Method in Cultural Anthropology, (New York: Americal Museum of Natural History, 1970), pp. 398-420.

29 Triandis, H., Approaches toward Minimizing Translation, In R. Brislin (Ed.), Translation: Applications and Reaseach, (New York: Wiley/Halsted, 1976), p. 340.

(10)

Metode decentering ini didasarkan pada prosedur back-translation, yaitu seorang peneliti menyusun materi dalam satu bahasa dan meminta seorang bilingual untuk menerjemahkan materi tersebut ke dalam bahasa target (bahasa lain). Kemudian, seorang bilingual yang kedua diminta untuk menerjemahkan materi tersebut (yang sudah diterjemahkan oleh seorang bilingual pertama) kembali ke bahasa aslinya. Peneliti kemudian memiliki dua bentuk bahasa asli untuk diperiksa, dan meskipun peneliti tidak tahu bahasa target tersebut, dia tetap bisa menilai kualitas terjemahan (instrumen) tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan decentering ini, maka konsep etik dan emik bisa diturunkan. Konsep etik adalah konsep-konsep ‘tetap ada’ ketika dilakukan prosedur back-translation, yaitu istilah-istilah yang masih tetap muncul pada kedua bahasa tersebut; sedangkan konsep emik adalah konsep-konsep yang ‘hilang’ ketika prosedur back-translation dijalankan.

Pada pendekatan kedua sebagaimana disarankan Triandis, peneliti memulai dengan item-item etik yang diusulkan dan kemudian baru menulis item-item emik dalam setiap budaya untuk menuju konsep etik. Item-item emik ditulis oleh orang-orang yang mengenal secara dekat budaya tersebut. Dalam hal ini Triandis menemukan bahwa konsep etik yang meliputi ras, kewarganegaraan, agama, okupasi, social-distance terletak pada tingkat generalisasi yang lebih tinggi dari pada konsep emik dalam setiap budaya.30

Untuk menyusun realitas etik yang bisa diikuti dengan pengembangan emik dalam penyusunan instrumen, ada dua teknik yang bisa digunakan, yaitu penggunaan faktor analisis untuk memunculkan faktor-faktor utama yang diturunkan dari data yang terkumpul melalui instrumen; sedangkan cara yang lain adalah menghubungkan bidang-bidang investigasi yang baru ke bidang-bidang yang lama, yang telah terbentuk. Pertama-tama penyusunan instrumen dengan mengacu konsep emik dilakukan, dan kemudian penentuan dimensi etik diperoleh setelah dilakukan analisis faktor terhadap instrumen-instrumen emik tersebut.

Namun, bagaimanapun prosedur Triandis ini, masih dimungkinkan terjadinya kelemahan, pertama yaitu ketika mengembangkan instrumen emik dalam setiap budaya, dimensi etiknya bisa hilang;31 dan kedua,

kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penggunaan analisis faktor,

30 Ibid.

31 Lihat Davidson, A., Jaccard, J., Triandis, H.C., Morales, M. & Diaz-Guerrero, R., Cross-cutural Model Testing: Toward a Solution of the Emic-etic Delimma, International Journal of Psychology, Vol. 11: 1-13, 1976.

(11)

antara lain dalam hal metode rotasi, estimasi communality, penentuan jumlah faktor, pemilihan model faktor, dan lain-lain.32

3. Pendekatan Pengelompokan Studi Budaya

Dalam pendekatan ini, teknik-teknik yang bisa digunakan adalah menentukan asumsi-asumsi tertentu (asumsi-asumsi similaritas, perbedaan, dan universalitas) yang sesuai dengan tipe atau kelompok riset sebagaimana yang dikembangkan oleh Adler untuk sejauh mungkin menghindari pergeseran makna atau pengaruh kultur terhadap hasil riset. Adler (1984) mengelompokkan riset lintas budaya menjadi enam kelompok, yaitu studi parosial, etnosentris, polisentris, komparatif, geosentris, dan sinergistik.33

1). Riset parosial adalah proyek riset yang dirancang secara orisinil dan dilakukan dalam satu kultur oleh para peneliti dari kultur yang sama. Pertanyaan utama yang biasanya diangkat adalah perilaku orang seperti dalam satu lingkungan organisasi kerja dan studi ini hanya bisa diterapkan pada satu budaya, sehingga kurang cocok untuk diterapkan pada banyak kultur. Metodologi yang biasanya dipakai adalah semua prosedur metodologis yang pada umumnya digunakan seperti disain, penyampelan, instrumentasi, analisis dan interpretasi, kecuali budaya, karena budaya pada riset ini dianggap sebagai sebuah konstanta. Pendekatan umum yang bisa digunakan untuk penelitian jenis ini adalah mengasumsikan adanya similaritas (di antara kultur-kultur yang ada) dan mengasumsikan pula adanya universalitas (hasil-hasil riset bersifat universal, yaitu dapat diterapkan lintas budaya); meskipun sebenarnya, sebagian besar studi parosial tidak dapat diterapkan pada budaya lain, dan hanya bisa diterapkan untuk budaya tertentu.

2). Riset Etnosentris adalah suatu riset yang diranang secara orisinil dan dilakukan dalam satu kultur oleh para peneliti dari budaya yang direplikasikan ke sebuah kultur yang lain (kultur kedua). Mayoritas riset etnosentris adalah riset Amerika yang direplikasikan ke negara-negara diluar Amerika, termasuk Indonesia. Pada riset jenis ini, pertanyaan yang sering diangkat adalah antara lain: dapatkah teori-teori yang dibangun di negara tertentu berlaku untuk negara lain; dapatkah teori yang dapat diterapkan pada kultur A diperluas ke kutur B. Sedangkan metodologi yang sering digunakan adalah standarisasi dan penerjemahan, yaitu antara lain dengan melakukan penerjemahan

32 Brislin, R., Lonner, Walter J., and Thorndike, Robert M., Cross-Cultural Research Methods, (New York: John Wiley., 1973), p. 87.

(12)

instrumen-instrumen secara literal. Pendekatan yang sering digunakan pada penelitian jenis ini adalah replikasi. Replikasi adalah identik dengan aslinya kecuali bahasanya yang berbeda. Pendekatan yang sering digunakan dalam riset replikasi ini antara lain adalah berusaha untuk mencari similaritas (jika terjadi perbedaan, maka hal ini dianggap disebabkan oleh pengaruh disain riset); tapi sudah mempertanyakan adanya universalitas (baik terhadap hasil maupun teori-teorinya). Jadi hasil riset bersifat konfirmatori, yaitu mendukung atau tidak terhadap hasil riset pada satu budaya tertentu ketika dibawa ke kultur lain.

3). Riset Polisentris adalah sebuah riset domestik individual yang dilakukan di berbagai negara. Pada bentuk yang paling ekstrim, studi polisentis memandang suatu obyek kajian sebagai satu-satunya realitas yang dapat dipahami dalam kaitannya dengan budaya tertentu. Pertanyaan yang sering diangkat adalah misalnya, bagaimana para manajer dan karyawan berperilaku dalam negara X? Pola-pola hubungan apa yang ada pada negara X? Untuk itu, prosedur metodologi yang biasanya digunakan adalah deskriptif, yang difokuskan pada metode induktif dan pengukurannya sering bersifat unobstrusive. Sedangkan pendekatan atau teknik yang sering dilakukan adalah justru berusaha untuk mencari perbedaan (peneliti berusaha mencari hal-hal yang spesifik pada budaya tertentu) dan sebagai konsekwensi logis, menolak adanya universalitas.

4). Studi Komparatif adalah suatu studi yang dirancang untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan di antara dua atau lebih budaya. Pertanyaan riset yang sering diangkat, sebgai contoh, adalah berkenaan dengan bagaimana persamaan dan perbedaan gaya manajemen dan karyawan di antara budaya-budaya? Teori yang mana yang tetap berlaku untuk seluruh budaya dan yang mana yang tidak? Prosedur metodologi yang sering digunkan adalah ekuivalensi, yaitu ekuivan dalam setiap tahapan proses riset, ekuivalen dalam makna atau definisi konsep inti, dan prosedur-prosedur lain, seperti penyampelan, instrumentasi, administrasi, analisis dan juga interpretasi juga dituntut untuk bisa ekuivalen dalam kaitannya dengan budaya yang dimasukkan. Sedangkan dalam hal pendekatan yang digunakan, riset jenis ini sering mencari kedua-duanya baik kesamaan maupun perbedaan dan universalitas yang dicari masih bersifat emergensi. Para peneliti harus berasumsi bahwa tidak ada budaya apapun yang dominan; pendekatan komparatif memperhitungkan baik aspek fenomena yang memiliki budaya yang bersifat umum dan juga yang spesifik. Karena jika peneliti berasumsi adanya suatu budaya yang dominan atau superior dibanding yang lain, maka saat itu juga sebenarnya risetnya termasuk kelompok riset lain (yaitu, etnosentris).

(13)

5). Studi geosentris adalah studi yang menyelidiki pengelolaan organisasi secara multinasional. Isu yang sering diangkat adalah bagaimana organisasi multinasional berfungsi karena obyek risetnya memang fenomena multinasional dan prosedur metodologi yang sering digunakan adalah dispersi geografis, yaitu semua prosedur metodologi tradisional dipakai dan ditambah dengan pengkajian terhadap kompleksitas jarak geografis. penerjemahan sering bukan menjadi masalah karena sebagian besar MNOs telah menggunakan bahasa yang sama pada semua negara tempat beroperasinya perusahaan. Problem utamanya justru terletak pada bagaimana mengembangkan suatu pendekatan untuk mempelajari kompleksitas organisasi yang besar. Dalam hal ini, budaya sering diabaikan. Secara tidak langsung studi jenis ini juga menggunakan pendekatan yang berusaha untuk mencari persamaan dan berusaha agar universalitas (lintas lintas budaya tanpa mempertanyakan validitasnya) yang telah ada bisa diperluas.

6). Studi sinergistik adalah sebuah studi yang difokuskan pada pemahaman pola hubungan dan teori yang dapat diterapkan ketika orang lebih dari satu budaya berinteraksi dalam setting kerja. Riset sinergetik difokuskan pada perilaku 1) orang dalam organisasi multinasional dan transnational; 2) orang dalam organisasi domestik untuk assignment internasional; dan 3) orang dalam organisasi domestik yang memiliki karyawan, pemasok, atau populasi klien yang lintas budaya. Riset jenis ini dirancang untuk menjawab pertanyaan: bagaimana seharusnya kita mengelola interaksi antar budaya dalam organisasi. Hukum apa yang mengatur interaksi di antara orang yang kulturnya berbeda-beda? Cara-cara apa yang efektif untuk mengkaji interaksi lintas budaya? Bagaimana pola-pola yang universal dan secara kultural spesifik dapat dibedakan? Keseimbangan yang bagaimana yang paling sesuai antara proses yang universal dan yang secara spesifik kultural dalam satu organisasi? Bagaimana penggunaan perbedaan kultural yang proaktif untuk menciptakan pola-pola yang dapat diterima secara universal bisa dipelajari? Dalam kondisi ini, pendekatan yang sesuai adalah menggunakan persamaan dan perbedaan sebagai sumberdaya dan berusaha untuk menciptakan universalitas.

4. Pendekatan Konvensional

Pendekatan konvesnsional, menurut penulis, yang dimaksudkan di sini adalah pendekatan yang paling sering terjadi, yaitu berkenaan dengan

(14)

penggunaan analisis hipotesis alternatif.34 Pertama-tama peneliti mempertimbangkan interpretasi-interpretasi yang diekspektasikan dari data dengan membandingkan penjelasan alternatif lainnya. Interpretasi yang diekspektasikan biasanya merujuk pada suatu teori yang dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan lintas budaya, sementara penjelasan alternatifnya biasanya berupa kesulitan-kesulitan metodologis, seperti penyampelan subyek, instrumentasi, dan lain-lain. Setiap penjelasan alternatif tentang adat ditulis dan dipertimbangkan satu demi satu. Lalu, faktor-faktor apa yang terkait dengan sampel mungkin

berpengaruh terhadap hasil dan akan membatasi dapat

digeneralisasikannya hasil. D. Simpulan

Dari uraian di atas, maka jelas bahwa peran budaya dalam riset dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya; 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur; dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual.

Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar, baik pengaruh secara langsung (yaitu merepresentasikan variabel-variabel utama) maupun tidak langsung (yaitu menjadi konteks dan setting yang mendasari variabel-variabel utama); dari sudut pandang kemunculannya (pengaruh kultur) dalam setiap tahapan (komponen) prosedur penelitian; dan juga dari sudut pandang kemanfaatannya dalam pengembangan disain riset ataupun lingkup variabel. Namun demikian, cukup banyak cara dan teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak budaya, antara lain

dengan pendekatan umum, pendekatan khusus, pendekatan

pengelompokan, dan pendekatan konvensional yang disesuaikan dengan tujuan riset lintas budaya.

34 Campbell, D.T., Cooperative Multinational Opinion Sample Exchange, Journal of Social Issues, Vol. 24: 245-258, 1968; serta Campbell, D.T., Perspective: Artifact and Control. In R. Rosenthal & R. Rosnow (eds.), Artifact in Behavioral Research, (New York: Academic Press, 1969), pp. 351-382.

(15)

Daftar Pustaka

Adler, Nancy J., and Kiggundu, Moses N. (1983), Awareness at the Crossroad: Designing Translator Based Training Program. Handbook of Intercultural Training: Issues in Training Methodology, Vol. II, D. Landis and R. Brislin (eds), New York: Pergamon Press, 124-150.

Adler, Nancy J. (1984), Understanding the Ways of Understanding: Cross-cultural Management Methodology Reviewed, Advances in International Comparative Management, Vol. 1: 31-67.

Achjari, Didi and Mohammed Quaddus, Development of the Formal and Informal Network Constructs: Implicit Role of Culture in Information Technology Research, working paper.

Barnouw, V. (1963), Culture and Personality, Homewood, Illinois: The Dorsey Press

Brislin, R. (1970), Back-translation for Cross-cultural Research, Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 1: 185-216.

____ (1976), Comparative Research Methodology: Cross-cultural Studies, International Journal of Psychology, Vol 11 (No. 3): 215-229

____, Lonner, Walter J., and Thorndike, Robert M. (1973), Cross-Cultural Research Methods, New York: John Wiley.

____ (1993), Understanding Culture’s Influence on Behavior, Harcourt Brace College Publishers, Orlando.

Campbell, D.T. & Fiske, D.W. (1959), Convergent and Discriminant Validation by the Multitrait-Multimethod Matrix, Psychological Bulletin, Vol. 56: 81-105

Campbell, D.T. (1964), Distinguishing Differences of Perception from Failures of Communication in Cross-Cultural Studies, dalam F.S.C. Northrop & H. H. Livingston (eds), Cross-cultural Understanding: Epistimology in Anthropology, New York: Harper and Row.

____ (1968), Cooperative Multinational Opinion Sample Exchange, Journal of Social Issues, Vol. 24: 245-258.

____ (1969), Perspective: Artifact and Control. In R. Rosenthal & R. Rosnow (eds.), Artifact in Behavioral Research, New York: Academic Press, 351-382.

(16)

Dasgupta, S., Agarwal, D., Ionnidis, A. and Gopalakrishnan, S. (1999), Determinants of Information Technology Adoption: An Extension of Existing Models to Firms in a Developing Country, Journal of Global Information Management, Vol. 7 (no. 3): 30-40.

Davidson, A., Jaccard, J., Triandis, H.C., Morales, M. & Diaz-Guerrero, R. (1976), Cross-cutural Model Testing: Toward a Solution of the Emic-etic Delimma, International Journal of Psychology, Vol. 11: 1-13 Griffith, T.L. (1998), Cross-cultural and Cognitive Issues in the

Implementation of New Technology: Focus on Group Support Systems and Bulgaria, Interacting with Computers (vol. 9): 431-447. Hofstede, Geert (1980), Culture’s Consequences: International Differences in

Work Related Valves, Beverly Hills, Calif.: Sage.

Hassan, H. and Ditsa, G. (1999) The Impact of Culture on the Adoption of IT: An Interpretive Study, Journal of Global Information Management, Vol. 7 (No. 1): 5-15.

Kroeber, A.L. and Kluckholm, C. (1952), Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, Papers of the Peabody Museum of American Archeology & Ethnology, Vol. 47 (No. 1), Cambridge, Mass.: Harvard University.

Kumar, Krishna (ed.) (1979), Bonds Without Bandage: Explorations in Transnational Cultural Interactions, Honolulu, Hawaii: University Press of Hawaii.

____ (ed) (1980), Transnational Enterprises: Their Impact on Third World Societies and Cultures, Colorado: Westview Press.

Linton, R. (1945), The Cultural Background of Personality, New York: Appleton-Century.

Quaddus, M. A. and Tung, L. L. (2002), Explaining Cultural Differences in Decision Conferencing, Communications of the ACM, Vol 45 (No. 8): 93-98

Robert, K.H. (1970), On Looking at an Elephant: An Evaluation of Cross-Cultural Research Related to Organizations, Psychological Bulletin, Vol. 74: 327-350.

Robey, D. and Rodrigues-Diaz, A. (1989), The Organizational and Cultural Context of Systems Implementation: Case Experience from Latin America, Information and Management, Vol. 17 (No. 4): 131-152.

(17)

Sekaran, U. (1981a), Are U.S. Organizational Concepts and Measures Transferable to Another Culture? An Empirical Investigation, Academy of Management Journal, Vol. 24 (No. 2): 409-417.

____ (1981b), Methodological and Theoretical Issues and Advancements in Cross-Cultural Research, Paper presented at the McGill International Symposium on Cross-Cultural Management, Montreal, Canada.

Shore, B. and Venkatachalam, A. R. (1996), Role of National Culture in the Transfer of Information Technology, Journal of Strategic Information Systems, Vol. 5: 19-35.

Straub, D., Keil, M. and Brenner, W. (1997), Testing the Technology Acceptance Model Across Cultures: A Three Country Study, Information and Management, Vol. 33 (No. 1): 1-11

Straub, D. W. (1994), The Effect of Culture on IT Diffusion: E-Mail and FAX in Japan and the U.S., Information Systems Research, Vol. 5 (No. 1): 23-47.

Tan, B. C. Y., Watson, R. T., wei, K.K., Rahman, K.S. and Kerola, P.K. (1993), National Culture and GSS: Examining the Situation Where Some People are More Equal than Others, in the 26th Hawaii

International Conference on Systems Sciences, Hawaii: 132-141

Tan, B. C. Y., Wei, K.K., Watson, R.T., Clapper, D.L. and McLean, E.R. (1998a), Computer-Mediated Communication and Majority Influece: Assessing the Impact in an Individual and a Collectivistic Culture, Management Science, Vol. 44 (No. 9): 1263-1278.

Tan, B. C. Y., Wei, K.K., Watson, R.T., and Walczuch, R.M. (1998b), Reducing Status Effects with Computer-Mediated Communication: Evidence from Two Distinct National Cultures, Journal of Management Information Systems, Vol 15 (No. 1): 125-143.

Triandis, H. (1963), Factors Affecting Employee Selection in Two Cultures, Journal of Applied Psychology, Vol. 47 (No. 2): 89-96.

____ (1972), The Analysis of Subjective Culture, New York: Wiley-Interscience.

____ (1976) Approaches toward Minimizing Translation, In R. Brislin

(Ed.), Translation: Applications and Reaseach, New York:

(18)

Taylor, E.B. (1977), Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, Vol. 1, New York: Henry Holt.

Tung, L.L. and Quaddus, M.A. (2002), Cultural Differences Explaining the Differences in Result in GSS: Implications for the Next Decade, Decision Support Systems, Vol. 33 (No. 2): 177-199

Werner, O. & Campbell, D. T. (1970), Translating, Working Through Interpreters, and the Problem of Decentering, In R. Naroll & R. Cohen (Eds.), A Handbook of Method in Cultural Anthropology, New York: Americal Museum of Natural History, 398-420.

Referensi

Dokumen terkait

 Teleangiectatic osteosarcoma adalah type yg plg agresif, gambaran radiologis bisa berupa “ purely osteolytic lesion” yg mirip dg. aneurysmal

Ramuan Pelangsing Tradisional, Jamu Pelangsing Tradisional, Obat Herbal Pelangsing Perut, Obat Herbal Penurun Berat Badan, Obat Pelangsing Cepat Dan Aman,..

Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KDRT kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.. Dalam

Kemampuan Kinestetik Anak Melalui Pembelajaran Tari Kreasi Binatang Laut ” (Penelitian Tindakan Kelas Pada Kelompok B Tk Kebon Baru Utara Kecamatan Kesambi Kota Cirebon

Zat warna fluoresin bila menempel pada epitel kornea yang defek/luka akan menjadi hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih

• Mual muntah juga salah satu predisposisi terjadinya aspirasi cairan asam lambung terutama pada saat induksi anestesi dan kondisi emergensi. Antiemetic dapat

Yaitu luka bersih yang dapat terkontaminasi, misalnya luka insisi yang.. mengenai saluran gastrointestinal, saluran kemih, genital

Pengajaran model adalah pengajaran yang dilakukan praktikan dengan cara mengamati guru pamong mengajar. Kegiatan ini juga dilakukan pada minggu pertama PPL II. Hal ini