• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Sumber: ASEAN Selayang Pandang: 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Sumber: ASEAN Selayang Pandang: 2012)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

Dinamika perkembangan isu dalam politik internasional setiap saat bergerak secara dinamis dengan kecepatan yang tidak bisa diprediksi. Studi dalam Hubungan Internasional dituntut untuk mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut guna memperoleh kemajuan bagi disiplin ilmu ini dan bermanfaat bagi umat manusia. Penelitian ini diadakan sebagai suatu upaya dalam melihat salah satu isu yang terjadi dalam bidang dunia kedirgantaraan dan ruang udara pada khususnya. Dewasa ini, isu-isu yang menyangkut ruang udara dimanfaatkan perannya sebagai instrumen untuk mencapai cita-cita politik bagi suatu negara. Permasalahan mengenai ruang udara telah melampaui peran tradisional yang dimiliki, serta menembus batas-batas yang ada sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi kedirgantaraan itu sendiri.

Keputusan untuk meliberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara, memberikan implikasi langsung bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dengan keberadaan serta implementasi ASEAN Single Aviation Market (ASAM), diharapkan bahwa negara-negara ASEAN memiliki keuntungan secara sosio-ekonomi melalui beberapa indikator yang ada. Namun, tidak sedikit pihak-pihak yang memiliki rasa skeptis mengenai kebijakan liberalisasi ruang udara dalam kawasan Asia Tenggara, mengingat disparitas yang dimiliki menyangkut persiapan dan kemampuan antara negara-negara anggota ASEAN.

Tesis ini merupakan kajian analisis implikasi kebijakan liberalisasi penerbangan pada kawasan Asia Tenggara dengan skema open skies, terhadap kedaulatan wilayah ruang udara Indonesia. Kebijakan ASAM yang diberlakukan, memiliki arti dengan terbukanya jalur-jalur penerbangan (airways) dalam ruang udara Indonesia, atas berbagai penerbangan asing yang akan mendarat (landing) maupun hanya melintas (over fly). Posisi Indonesia berada di persimpangan jalan, mengingat potensi sektor ekonomi yang didapat sangat besar dengan melihat jumlah populasi serta luas wilayah negara yang dimiliki. Namun disisi lain, potensi akan ancaman kedaulatan semakin terbuka lebar dengan keberadaan

(2)

2 ASAM. Hal tersebut dapat dilihat dari kesiapan dan persiapan khususnya yang berkaitan langsung dengan infrastruktur-infrastruktur penunjang penerbangan, maupun kebijakan-kebijakan terkait yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

1.1. Latar Belakang Masalah

Association of South East Asian Nation (ASEAN)1, secara letak dan kondisi geografis berada diantara jaring strategis niaga global yang terhubung dengan benua-benua lainnya. Kawasan ASEAN memiliki jumlah total populasi mencapai 622 juta, dimana perputaran roda perekonomian yang terjadi di dalamnya sangat dinamis serta masif dan merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke 7 dunia.2

Gambar 1.1. Peta ASEAN

(Sumber: ASEAN Selayang Pandang: 2012)

Sejak berdiri menjadi organisasi regional, ASEAN meletakkan kerjasama dalam biang ekonomi sebagai suatu agenda fundamental yang wajib dikembangkan dan diimplementasikan oleh negara-negara anggota. Pada fase-fase awal berdirinya, kerjasama ASEAN dalam bidang ekonomi bertumpu pada pemberian preferensi perdagangan (trade preferences), usaha patungan (joint

1 Association of South East Asian Nations (ASEAN) terbentuk pada 8 Agustus 1967. Sepuluh negara-negara anggota ASEAN terdiri dari: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina dan Myanmar.

2 The ASEAN Secretariat, A Blueprint for Growth ASEAN Economic Community 2015: Progress and Key Achievements, Jakarta, 2008, p. 1.

(3)

3 venture), dan skema saling melengkapi antara pemerintah maupun pihak swasta di kawasan Asia Tenggara. Pada akhir dekade 80an sampai awal dekade 90an, dunia internasional mengalami pergeseran tren dalam melakukan liberalisasi disemua sektor guna menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi.3

Pemerintahan negara-negara anggota ASEAN merespon postif perubahan yang terjadi lingkungan internasional. Hal tersebut didasari bahwa cara terbaik adalah dengan saling berkerjasama dalam membuka perekonomian negara-negara anggota ASEAN, yang bertujuan untuk integrasinya kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Salah satu cara yang dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara untuk tujuan komersial.

Liberalisasi ruang udara tersebut terumuskan dalam ASEAN Single Aviation Market (ASAM), yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Concord II pada tahun 2003.4 Hal tersebut merupakan satu usaha dalam menjembatani konektivitas interaksi antar masyarakat dalam negara-negara anggota ASEAN dan dengan dunia internasional melalui media ruang udara.

Tabel 1.1. ASEAN Single Aviation Market Dalam ASEAN Economic

Community

(Sumber: CSE Aviation: 2015)

3 The ASEAN Secretariat, ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke 15, Jakarta, 2007, p. 41.

4 The ASEAN Secretariat, The ASEAN Secretariat, A Blueprint for Growth ASEAN Economic Community 2015: Progress and Key Achievements, Jakarta, 2008, p. 21.

(4)

4 Dalam Tabel 1.1., menunjukan hirarki posisi ASAM yang merupakan salah satu bagian dari bentuk integrasi ekonomi regional ASEAN Economic Community (AEC). Pada prinsipinya, AEC mempunyai tujuan single market dan production base melalui aliran bebas komoditas barang, jasa, investasi, dan modal yang terwujud pada tahun 2020. AEC merupakan cita-cita bersama para pemimpin pemerintahan ASEAN, sebagai bentuk usaha dalam mensejahterakan dan memajukan masyarakat di kawasan Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.5

Implementasi dari kebijakan ASAM mulai berlaku pada 30 Juni 2015, yang pada dasarnya mencakup deregulasi dari peraturan-peraturan sampai penghapusan kendali pemerintah atas penetapan harga transportasi udara di negara-negara anggota ASEAN.6 Open Skies mendorong terjadinya iklim kompetisi antar maskapai penerbangan, serta memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga dapat melayani rute-rute yang ada di antara dua negara. Selain itu, maskapai-maskpai tersebut diberikan keleluasaan dalam mengembangkan rute-rute serta jaringan pelayanan yang akan dipilih.7 Liberalisasi ruang udara dalam skema Open Skies tersebut memberikan fleksibilitas kepada perusahaan maskapai penerbangan, yang memiliki konsepsi kebijakan berupa:8

1. Semua Bandar udara Internasional terbuka untuk perusahaan-perusahaan penerbangan asing;

2. Pelaksanaan rute-rute penerbangan beradasarkan market demand dan bukan letak geografis;

3. Kebebasan dalam menetapkan kapasitas dan frekuensi;

4. Pertukaran hak kebebasan di udara (Freedoms of the Air) sampai ke lima;

5. Tarif menggunakan sistem double disapproval;

5 Donald E. Weatherbee, International Relations In Southeast Asia: The Struggle For Autonomy, Rowman & Littlefield Publisher, Inc., Lanham, 2005, p. 108.

6 Sakti Adji Sasmita, Penerbangan dan Bandar Udara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, p. 66. 7 Peter Forsyth, John King, C. Lyn Rodolfo dan Keith Trace, Preparing ASEAN for Open Sky,

AADCP Regional Economic Policy Support Facility Research Project 02/008, Monash International Pty Ltd., 2004. p. 3.

8 Wassenbergh, Henri, Principle and Practices in Air Transport Regulation, Les Presses, The Hague, 1993, p. 79.

(5)

5 6. Penunjukan perusahaan-perusahaan penerbangan tidak terbatas; 7. Penerbangan tidak berjadwal (charter) merupakan pesaing

(competitor) dari penerbangan berjadwal (scheduled airlines) dan bukan sebagai pendukung;

8. Perusahaan-perusahaan penerbangan bebas menetapkan bentuk dan melakukan kerjasama dengan perusahaan penerbangan manapun; 9. Pelaksanaan multi moda transportasi terbuka bagi

perusahaan-perusahaan penerbangan asing;

10. Kebebasan angkutan khusus kargo (freight).

Dengan keberadaan serta implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market, diharapkan bahwa negara-negara anggota ASEAN memiliki keuntungan secara sosio-ekonomi melalui beberapa indikator yang ada. Dampak langsung bagi dunia penerbangan di kawasan Asia Tenggara adalah tarif yang lebih rendah serta pelayanan yang lebih baik karena adanya persaingan bebas antar maskapai. Tentunya para calon penumpang tersebut akan mendapatkan berbagai macam pilihan maskapai sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Keuntungan sekunder merupakan sektor pariwisata dapat terkena langsung manfaat Open Skies. Selain itu, pendapatan devisa kepada pemerintah, efek valuta asing, lapangan perkerjaan, konektivitas, dan perbaikan komunikasi bisnis dari negara-negara ASEAN juga ikut terangkat dengan keberadaan ASEAN Single Aviation Market.9

1.2. Identifikasi Permasalahan

Keadaan geografis Indonesia mendapat legitimasi dunia internasional melalui United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) III 1982.10 Sebagai negara dengan konsep kepulauan (archipelagic state), Indonesia terdiri dari 17.580 pulau dengan luas 5,5 Juta km2.11 Selain memiliki luas wilayah yang

9 Peter Forsyth, John King, C. Lyn Rodolfo dan Keith Trace, Op.Cit., p. 90-94.

10 United Nations Convention on the Law of the Sea III 1982, mulai berlaku efektif pada 16 November 1994 satu tahun setelah Guyana sebagai negara ke 60 yang meratifikasi Konvensi tersebut. Indonesia meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS III pada tanggal 31 Desember 1985.

(6)

6 besar, Indonesia merupakan negara dengan tingkat populasi terpadat ke 4 dunia dengan total 254,5 Juta penduduk.12 Kedua faktor tersebut dan dengan keberadaan 5 Bandar udara internasional13, implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market merupakan kesempatan emas bagi Indonesia dalam mengangkat potensi di semua lini sektor perekonomian.

Namun, mengadopsi kebijakan ASEAN Single Aviation Market secara tidak langsung mengurangi kemutlakan wilayah kedaulatan Indonesia, yang memiliki implikasi sosial-politik serta pertahanan dan keamanan di dalamnya. Potensi keuntungan ekonomi yang didadapat oleh Indonesia dalam kebijakan Open Skies Asia Tenggara, harus diikuti pula dengan pertimbangan-pertimbangan dari kebijkan politik dan lainnya. Hal tersebut menjadikan Indonesia harus mempersiapkan diri secara menyeluruh dalam sektor yang bersinggungan langsung dengan dunia penerbangan dan melihat ruang udara sebagai suatu aset strategis kepentingan nasional yang dimiliki.

Masalah lalu lintas dalam dunia penerbangan tidak dapat dilepaskan dari masalah kedaulatan negara di ruang udara. Menurut Frans Likadja, wilayah suatu negara merupakan lingkungan berlakunya ketentuan hukum nasional negara yang tidak terbatas pada panjang dan lebar saja, akan tetapi juga sampai pada tanah di bawah dan ruang udara di atasnya.14

Pesawat-pesawat udara yang dalam melakukan penerbangannya hendak memasuki dan melintasi ruang udara nasional suatu negara, hanya dapat melalui jalur-jalur udara yang sudah ditetapkan oleh negara kolong yang besangkutan. Semua pesawat baik yang hanya melintas secara international routes atau domestic routes maupun yang akan mendarat (landing), harus melaporkan diri (contact) pada instansi negara kolong yaitu kepada Flight Information Service

NKRI, Suara Bebas, Jakarta, 2005, p. 35.

12“Indonesia”, dalam, http://data.worldbank.org/country/indonesia, diakses pada 6 September 2016, pukul 11.22 WIB.

13 Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional ditetapkan bahwa Indonesia hanya akan membuka 5 bandar udara internasional untuk pelaksanaan ASEAN Open Skies 2015. Kelima Bandar udara tersebut yaitu Soekarno-Hatta (Jakarta), Kuala Namu (Medan), Ngurah Rai (Denpasar), Juanda (Surabaya), dan Sultan Hasanuddin (Makasar).

(7)

7 (FIS) yang bertanggung jawab pada suatu Flight Information Region (FIR). Sifat tertutup tersebut adalah demi keamanan dan pertahanan dari negara kolong dengan ruang udara sebagai media gerak yang rawan.15

Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi ruang udara melalui skema Open Skies memiliki makna dengan semakin terbukanya jalur lalu lintas penerbangan di atas wilayah ruang udara Indonesia untuk penerbangan asing. Maskapai-maskapai dari negara ketiga tersebut berkepentingan untuk melakuan pendaratan di Bandar udara sipil maupun hanya untuk melintasi wilayah Indonesia, sesuai dengan asas Freedoms of the Air yang disepakati oleh negara-negara ASEAN.

Potensi ancaman kedaulatan ruang udara Indonesia yang datang dari celah black flight harus dicermati keberadaannya. Black flight merupakan penerbangan tidak berjadwal yang dilakukan oleh pesawat asing dengan melintasi sebuah negara tanpa izin otoritas berwenang dari negara yang bersangkutan. Sejak akhir tahun 2014 hingga tahun 2015 setidaknya terdapat empat kali kasus penerbangan black fight yang terjadi di wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia, dan baik pesawat maupun pilotnya berhasil untuk dipaksa mendarat (force down) oleh TNI-AU.16 Dalam implementasi ASAM, akan terjadi peningkatan jumlah lalu lintas (traffic) pada jalur penerbangan, yang memiliki implikasi dengan semakin padatnya serta semakin menyulitkan para petugas Air Traffic Controllers (ATC) dalam mengidentifikasi keberadaaan black flight dari wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.

Ancaman terhadap kedaulatan lainnya datang dari permasalahan mendasar yang dihadapi oleh Indonesia, terkait dengan kualitas dan kuantitas infrastruktur penunjang penerbangan. Kekurangan dari sisi infrastruktur tersebut berdampak pada tidak semua wilayah udara terjamah dalam yurisdiksi hukum Indonesia, tepatnya ruang udara diatas Kepulauan Riau dikontrol oleh otoritas penerbangan sipil Singapura (Civil Aviation Authority of Singapore/CAAS).17

15 Ibid., p. 42-43.

16 Danang Risdiarto, Penegakan hukum Terhadap Pelanggaran Wilayah Udara Yurisdiksi Indonesia Oleh Pesawat Terbang Asing Tidak Terjadwal, Jurnal Rechts Vinding Volume 5 Nomor 1 April, 2016, Jakarta, p. 71.

17“A strange anomaly in management of airspace”, dalam, http://www.straitstimes.com/opinion/a-strange-anomaly-in-management-of-airspace, diakses pada 6 September 2016, pukul 14.41 WIB.

(8)

8 Secara historis, pendelegasian ruang udara tersebut dilakukan sejak tahun 1946 melalui pertemuan Regional Air Navigation, yang diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), sebagai rumusan awal dalam penetapan FIR pada masing-masing regional belahan dunia.18 Hasil pertemuan tersebut tidak menguntungkan bagi Indonesia, keputusan ICAO menunjuk Singapura yang memiliki otoritas dalam mengontrol wilayah udara Keulauan Riau berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1944. ICAO melihat bahwa Indonesia belum siap dalam kemampuan untuk mengelola wilayah ruang udara diatas Kepulauan Riau, yang pada saat itu masih berfokus pada revolusi fisik.19

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dengan adanya perjanjian bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara mengenai ASEAN Single Aviation Market, dan dengan pemaparan sebelumnya dalam latar belakang serta identifikasi permasalahan, maka pada tesis ini pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana korelasi implementasi ASEAN Single Aviation Market, dengan potensi ancaman kedaulatan Indonesia melalui koridor ruang udara?

2. Apa strategi Indonesia dalam meminimalisir potensi ancaman terhadap kedaulatan yang masuk melalui koridor ruang udara, terkait implikasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market? 1.4. Riview Literatur

Beberapa kajian dilakukan oleh para peneliti mengenai liberalisasi ruang udara. Dalam dunia internasional, terdapat beberapa perjanjian Open Skies yang bersifat bilateral dan multilateral. Adanya perjanjian liberalisasi ruang udara

18 “1946: PICAO’s First Regional Air Navigation Meetings”, dalam, http://www.icao.int/secretariat/PostalHistory/1946_picao_first_regional_air_navigation_meeting s.htm,, diakses pada 23 Agsutus 2016, pukul 17.45 WIB.

19 Chappy Hakim, Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia? Tragedi Aru, Insiden Bawean, dan..., Red and White Publishing, Jakarta, 2012, p. 186-187.

(9)

9 tersebut didorong oleh arus globalisasi serta integrasi yang substansial. Kajian literatur berikut melihat bagiamana liberalisasi ruang udara pada umumnya, kajian liberalisasi ruang udara dalam kawasan Asia Tenggara, serta kajian liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara dengan Indonesia.

1.4.1. Kajian Umum Liberalisasi Ruang Udara Internasional

Menurut Alves dan Forte, Open Skies yang terimplementasi di Eropa merupakan pembentukan pasar tunggal dalam penerbangan sipil. Implementasi mulai dilakukan sejak tahun 1987 sampai finalisasi di tahun 1993, dimana liberalisasi penerbangan membuka kesempatan market yang sama terhadap negara anggota dari Uni Eropa (UE). Dinamika kebijakan liberalisasi ruang udara di Eropa berjalan dengan baik dengan hampir tidak adanya ganguan berarti dalam implementasi perjalanannya. Menurut Alves dan Forte, kesamaan pandangan politik yang terjadi di Eropa menjadikan negara-negara anggota lebih leluasa dalam menafsirkan kebijakan kedalam perundang-undangan masing-masing negara. Liberalisasi ruang udara di Eropa berhasil merestrukturisasi pasar penerbangan sipil yang secara siknifikan dengan komposisi lebih banyak pemain, terutama dari pangsa pasar Low Cost Carier yang sekarang ini menjadi hal penting dari penerbangan sipil.20

Dresner dan Hoon Oum, berpendapat Inisiatif untuk meliberalisasi penuh pasar transportasi udara melalui perjanjian Open Skies sesungguhnya pertama kali datang dari Amerika Serikat. Negara tersebut berupaya mengusulkan inisiatif Open Skies kepada negara-negara lain dalam rangka untuk mengatasi ketatnya persaingan antara Amerika Serikat dengan Eropa pada industri jasa transportasi udara. Amerika Serikat melakukan liberalisasi di sektor ini demi meningkatkan kemampuan kompetisi pada rute-rute internasionalnya guna meningkatkan jumlah penumpang dan mengambil keuntungan. Selain itu Dresner dan Tea juga berbicara mengenai dinamika liberalisasi ruang udara di Kanada. Pada awalnya, negara tersebut cenderung untuk bersikap membatasi diri dalam memfasilitasi

20 Vera Alves dan Rosa Forte, A Carnot Model For Analyzing The Effects Of An Open Skies Agreement, Centro de Economia e Finanças da Up Working Paper June, Lisbon, 2013, p. 1-6.

(10)

10 pasar penerbangan global. Namun secara perlahan, setelah membuat perjanjian open skies dengan Amerika Serikat memberi kontribusi secara signifikan atas penerimaan jumlah penumpang yang akan bepergian langsung ke Kanada.21

1.4.2. Kajian Liberalisasi Ruang Udara Dalam Kawasan Asia Tenggara

Alan mengemukakan bahwa liberalisasi ruang udara dalam kawasan Asia Tenggara diperlukan keberadannya sebagai efek dari globalisasi yang menjalar disemua sektor. Perkembangan dunia penerbangan sipil di kawasan Asia Tenggara dalam dalam kurun waktu dua dekade, menjadikan industri kedirgantaraan sebagai tulang punggung dalam perkembangan ekonomi yang dirasakan oleh negara-negara ASEAN. Namun disisi lainnya, Alan melihat terdapat disparitas pembangunan ekonomi dan kapsitas industri antar negara

-negara anggota ASEAN, sehingga belum adanya suatu konsensus diantara mereka dalam liberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian dibutuhkan sinergi diantara para pemimpin ASEAN, khususnya insentif negara-negara yang lebih siap dalam meliberalisasi raung udaranya kepada yang masih dan sedang membangun industri penerbangan sipil. Oleh karenanya, sinergi yang terjadi diharapkan menciptakan masyarakat ekonomi ASEAN yang makmur melalui ASEAN Single Aviation Market.22

Forsyth, King, Rodolfo, dan Trace, melihat apakah ASEAN Single Aviation Market berisi ketentuan yang benar-benar secara liberal membuat kredibilitas rezim “ruang udara terbuka”, atau hanya akan berakhir menjadi pasar tunggal semata. Prospek dalam mencapai kesepakatan mengenai liberalisasi tersebut merujuk kepada tiga poin utama yaitu akses pasar, kepemilikan modal dan kontrol hubungan eksternal. Proses perubahan lingkungan yang cepat dari pembentukan Open Skies dalam kawasan Asia Tenggara, dilihat sebagai suatu yang mengancam

21 Martin Dresner and Tae Hoon Oum, The Effect of Liberalised Air Transport Bilaterals on Foreign Traffic Diversion. Journal of Transport Economics and Policy Volume 32 Number 3, University of Bath, 1998, p. 317-330.

22 Alan Khee-Jin Tan, Prospect For A Single Aviation Market In Southeast Asia, Annals of Air and Space Law Journal Volume 34, Montreal, 2009, p. 253-284.

(11)

11 negara-negara kecil ASEAN jika tidak segera mengintegrasikan pasar penerbangan sipil mereka.23

1.4.3. Kajian Liberalisasi Ruang Udara Dalam Kawasan Asia Tenggara Dengan Indonesia

Secara garis besar, Saraswati dan Hanaoka menyoroti kemauan Indonesia dalam meliahat kebijakan liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara sebagai suatu peluang. Namun disisi lainnya, Indonesia masih menemui kendala-kendala domestik sebagai penyebab terhambatnya implementasi kebijakan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati dan Haoka dimulai dengan meninjau kebijakan tentang penerbangan dan pembangunan industri di Indonesia yang berhubungan dengan jasa layanan transportasi moda udara. Indonesia dirasa masih enggan menuju implementasi ASEAN Single Aviation Market, karena permasalahan timbal balik serta manfaat yang akan diterima. Selain itu, ratifikasi perjanjian yang dilakukan oleh Indonesai dilaksanakan secara bertahap untuk memberikan waktu tenggang guna menyesuaikan keadaan infrastruktur industri penerbangan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut menjadi penting keberadaannya, mengingat kapasitas dan kualitas infrastruktur tetap menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam meliberalisasi ruang udara untuk tujuan komersil.24

1.5. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, kerangka teori yang dipergunakan terdiri dari sub-bab sebagai alat analisa untuk mengulas fenomena yang ada. Pertama, memaparkan penjelasan umum mengenai teori dalam studi Hubungan Internasional. Kedua mengerucut pada kedaulatan wilayah negara, ketiga difokuskan mengenai kedaulatan negara di ruang udara. Dan terakhir, keempat, model analisa tesis ini.

23 Peter Forsyth, John King, C. Lyn Rodolfo dan Keith Trace, Op.Cit., p. 7-21.

24 Batari Saraswati dan Shinya Hanoka, Aviation Policy in Indonesia and its Relation to ASEAN Single Aviation Market, Tokyo Institute of Technology Jornal Eastern Asia Society for Transportation Studies Volume 9, Tokyo, 2013, p. 1-13.

(12)

12

1.5.1. Teori Dalam Studi Hubungan Internasional

Ilmu Hubungan Internasional pada hakikatnya merupakan suatu bidang kajian tentang kesatuan interaksi serta sosialisasi dengan ruang lingkup yang bersifat global. Mochtar Mas’oed, mendefinisikan Ilmu Hubungan Internasional sebagai studi tentang interaksi antar beberapa aktor yang berpartisipasi dalam politik internasional yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan sub-nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu. Tujuan dasar studi Hubungan Internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara maupun non- negara didalam arena transaksi internasional. Perilaku ini bisa berwujud kerjasama, pembentukan aliansi, perang dan konflik serta interaksi dalam organisasi internasional.25

Studi pada Hubungan Internasional, memiliki teori-teori sebagai instrumen analisis dalam isu-isu yang berkaitan dengan politik internasional. Teori merupakan hal penting dalam suatu penelitian, sebagaimana teori dapat menjelaskan suatu fenomena-fenomena yang terjadi secara akademis dengan menggunakan akal dan logika sehat. Jerald Hage berpendapat bahawa teori harus mengandung tidak hanya konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan, tetapi juga defenisi-defenisi baik teoritis maupun operasional dan pertalian, konsep dan defenisi harus dituangkan ke dalam sejumlah istilah yang sederhana dan tegas serta pernyataan dan pertalian harus dituangkan kedalam dasar-dasar pemikiran dan persamaan-persamaan.26

Teori dalam hubungan internasional dijadikan sebagai landasan guna memahami fenomena internasional yang dimaksud. Hal tersebut merupakan langkah teorisasi mengenai makna dasar terhadap studi Hubungan Internasional (study of inter-states relations) yang termasuk sebagai bidang studi yang sangat tua, didasari bahwa studi ini sudah dipelajari sejak masa Yunani Klasik.27

25 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1994, p. 28.

26 James A. Black, dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian, Refika Aditama, Bandung, 1999, p. 49.

(13)

13

1.5.2. Kedaulatan Wilayah Negara

Sebagai aktor dalam hubungan internasional, negara merupakan ujung tombak percaturan politik dunia dengan berbagai hal keistimewanya yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, serta keamanan. 28 Aristoteles mendefenisikan negara sebagai kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia senantiasa berindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik.29 Menurut Jean-Jaques Rosseau, negara adalah perserikatan dari rakyat yang bersama-sama melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka.30 Sedangkan dalam pandangan sosiologis berkebangsaan Jerman Max Weber, melihat negara adalah suatu suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.31

Selain faktor keberadaan masyarakat dan adanya pemerintahan, suatu negara memerlukan wilayah untuk bernaung sebagai daerah kedaulatannya.32 Dapat dikatakan bahwa kedaulatan merupakan keharusan yang tidak terpisahkan dari komponen dari apa yang dimaksud dengan negara itu sendiri. Secara umum kedaulatan memiliki defenisi sekumpulan hak-hak dan kompetensi yang melekat pada negara. Teoritikus besar pertama yang berbicara tentang kedaulatan adalah filusuf politik Perancis Jean Bodin. Melalui pandangannya Bodin melihat bahwa satu-satunya jaminan stabilitas politik dan sosial ialah dengan kedaulatan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam artian bahwa hukum tesebut mencerminkan “kemauan” dari penguasa. Bodin membagi kedaulatan menjadi empat macam:33

1. Tunggal; ini berarti bahwa hanya negara yang memiliki segalanya,

28 Umar Suryadi Bakry. Pengantar Hubungan Internasional, Jayabaya University Press, Jakarta, 1999, p. 60.

29 Aristoteles, La Politica, Transmedia Pusaka, Jakarta, 2007, p. 3.

30 I Gde Panja Astawa dan Supirin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, PT. Refika Aditama, Jakarta, 2009, p. 5.

31 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 49.

32 Plato mendefenisikan negara menjadi 3 unsur: pertama, harus ada rakyat; kedua, harus ada wilayah; ketiga, harus ada pemerintahan yang bedaulat.

(14)

14 jadi di dalam negara itu tidak ada kekuasaan lain untuk membentuk atau membuat undang-undang atau hukum.

2. Asli; ini berarti bahwa kekuasaan ini tidak berasal dari kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau kota praja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang ada padanya itu tidak asli, sebab diperoleh dari pusat. 3. Abadi; ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah negara, yang menurut pendapat Bodin negara itu adanya abadi.

4. Tidak dapat dibag-bagi; ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.

Menurut Thomas Hobbes, kebutuhan untuk berdaulat muncul dari self-seeking dan power-interested dari sifat dasar manusia itu sendiri. Hal tersebut mempunyai makna ketika tidak ada yang menguasai kedaulatan (diartikan dalam keadaan state of nature), kehidupan akan merosot ke dalam perang antar sesama dan berakibat kehidupan itu menjadi terpencil, miskin, keji, kasar dan tidak bertahan lama. Oleh karena itu Hobbes mendefenisikan kedaulatan sebagai monopoli kekuasaan koersif serta menganjurkan bahwa supremasi kedaulatan berada dalam satu penguasa saja (baik itu kerajaan, kelompok oligarki atau bahkan demokrasi).34

Pemikiran tentang kedaulatan dalam wilayah negara modern saat ini dapat kita telusuri dari apa yang terkandung di dalam perjanjian Westphalia yang mengakhiri perang 30 tahun pada abad ke XVI di daratan Eropa. Pada dasarnya isi perjanjian Westphalia berbicara tentang aspek legalitas kedaulatan, yang berarti bahwa para penguasa atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama.35 Kesepakatan tentang bagaimana keadaulatan

34 Andrew Heywood, Global Politics, Palgrave Macmillan, New York, 2011, p. 113. 35 Ibid.

(15)

15 disuatu negara terbentuk dalam era modern saat ini kembali dipahami melalui Konvensi Montevideo 1933. Konvensi tersebut hanya diikuti oleh negara-negara benua Amerika saja (Pan-American), namun hasil dari Konvensi tersebut bagaimana kedaulatan suatu negara dijadikan rujukan dari sudut pandang Hukum Internasional.36

1.5.3. Kedaulatan Negara Di Ruang Udara

Dalam memahami berdaulatnya suatu negara, tentunya kita harus mengerti keadaan dari batas-batas wilayah negara itu sendiri yang merupakan tanda pemisah satu wilayah dengan wilayah lain, baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak yang dimana hal tersebut didasarkan semakin pesatnya perkembangan dan pertumbuhan dewasa ini yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut.37

Wilayah dari suatu negara merupakan titik awal dalam menyelesaikan hampir semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan internasional dan mempunyai tiga dimensi yaitu daratan, perairan dan ruang udara.38 Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Setiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Suatu negara dikatakan berdaulat, maka makna yang terkandung adalah negara tersebut mempunyai kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.39

Pembahasan mengenai kedaulatan negara ruang udara dimulai dengan munculnya dalil Hukum Romawi yang berbunyi “Cujus est solum, ejus est usque ad coelom”, yang artinya barang siapa tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai kelangit dan

36 http://www.cfr.org/sovereignty/montevideo-convention-rights-duties-states/p15897, diakses pada 19 Agustus 2016, pukul 15.30 WIB.

37 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan (Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2009, p. 35.

38 Mochammad Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990, p. 32.

(16)

16 segala apa yang berada di dalam tanah.40 Sebagaimana yang diketahui menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Jika wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut.41

Berdasarkan prinsip dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 194442, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat mematuhi hukum serta regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan.43 Hal tersebut memiliki makna walapun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun khusus permasalahan kedaulatan negara di ruang udara bukan menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatan di wilayah ruang udara masing-masing negara.44

Rumusan tentang kedaulatan ruang udara pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, tidak menunjukan secara eksplisit sampai pada ketinggian berapa negara mempunyai kekuasaan atas delimitasi wilayahnya. Hal tersebut menimbulkan banyak penafsiran-penafsiran berbeda, yang dimana pada saat Konvensi tersebut dilaksanakan, dunia penerbangan masih dalam tahap pengembangan dan teknologi masih belum memadai.45

Kebutuhan akan status hukum ruang udara bukan merupakan persoalan yang mendesak, walaupun dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 merupakan usaha untuk memastikan kepastian hukum tentang adanya hak kedaulatan ruang udara suatu negara.46 Priyatna Abdurasyid, Guru Besar Hukum Udara pertama Indonesia menjelaskan:47

“Pada mulanya ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk mengurangi sengketa di antara negara-negara mengenai hak dan kewajiban negara bertalian dengan

40 Jawahir Thnontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontenporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, p. 190.

41 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1976, p. 70. 42 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944:“The Contracting States recognize that every State has

complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”.

43 H.K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 17.

44 Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, p. 55.

45 Raida L. Tobing, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Dirgantara, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, p. 38.

46 Priyatna Abdulrasyid, Op.Cit., p. 100. 47 Ibid.

(17)

17 kedaulatannya di ruang udara, tetapi apa yang dimaksudkan dengan sebagai suatu ketentuan yang membawa ketegasan akhirnya menjadi sumber keragu- raguan yang baru pula”.

Konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, hal tersebut berlaku dengan konvensi-konvensi internasional tentang penerbangan yang kemudian diadopsi kedalam perundang-undangan nasional. Dalam tatanan yurisdiksi nasional, Indonesia mempunyai produk hukum penerbangan yang konten-kontennya merujuk kepada perjanjian-perjanjian hukum internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan perwujudan dari kedaulatan Indonesia terhadap ruang udaranya, dengan Pasal 5 berbunyi:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan ekslusif atas

wilayah udara Republik Indonesia”.

Dan dengan jelas dalam Pasal 6 berikutnya tanggung jawab pemerintah terhadap kedaulatan atas wilayah udara menerangkan:

“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara

Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara”.

Dengan demikian konsep keudaulatan negara di ruang udara tersebut telah diatur dalam perundang undangan Indonesia, serta meyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya. Sehingga, ruang udara tersebut menajdi bentuk wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan politik yang berbentuk tiga dimensi.

(18)

18

1.5.4. Model Analisa Penelitian

Gambar 1.2. Model Analisa Penelitain

(Sumber: Peneliti: 2016)

OPEN SKIES

ASIA TENGGARA

INDONESIA

IM P LE M E N T A S I IM PL IKA S I

KEDAULATAN WILAYAH RUANG UDARA INDONESIA

(19)

19

1.6. Hipotesis

Melalui pemaparan dan penjelasan sebelumnya, maka diperoleh tiga hipotesa yaitu:

1. Dengan adanya kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan kebijakan ASEAN Single Aviation Market, dilihat bagi Indonesia merupakan suatu potensi ancaman terhadap kedaulatan wilayah yang masuk melalui koridor ruang udara.

2. Potensi ancaman tersebut datang dari hak kebebasan di udara (Freedoms of the Air) sebagai esensi dari Open Skies, yang memiliki implikasi dengan bertambahnya jalur udara (airways) dan semakin padatnya arus lalu lintas (traffic) yang melewati wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.

3. Indonesia bereaksi dengan melakukan strategi-strategi yang diperlukan baik secara lingkup domestik maupun internasional, untuk meminimalisir potensi ancaman terhadap wilayah kedaulatan ruang udara sebagai konsekuensi penerapan kebijakan ASEAN Single Aviation Market.

1.7. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian Kedaulatan Ruang Udara Indonesia dan ASEAN Single Aviation Market, menggunakan metode deskriptif analitis. Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah suatu fenomena- fenomena yang ada, pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti dari data itu sendiri.

Penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan sumber data yang ada dan tersedia untuk memperoleh bahan sebagai acuan dalam memberikan analisa terhadap pokok-pokok permasalahan penelitian secara ilmiah. Angka-angka pada penelitian kualitatif dipakai hanya untuk menjelaskan kualitas dari data yang tersedia.

(20)

20 berupa data yang dipergunakan mengacu pada sumber tertulis yakni diperoleh dari bahan-bahan berupa literatur bacaan berupa buku, jurnal serta referensi lain

1.8. Sistematika Penulisan

Tesis ini terbagi atas lima bab secara sistematika penulisan, yaitu:

BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi permasalahan, pertanyaan penelitian, riview literature, kerangka teori yang di dalamnya terdapat teori dalam studi Hubungan Internasional, konsep kedaulatan ruang udara, serta model analisa penelitian, kemudian hipotesis, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, serta sistematika penulisan.

BAB II dalam tesis ini merupakan tinjauan umum mengenai perkembangan

rezim dirgantara internasional, dinamika liberalisasi penerbangan Asia Tenggara, dan wilayah kedaulatan Indonesia. Isi dari sub-bab akan berbicara mengenai aspek sejarah serta aspek yuridis mengenai keberadaaan rezim udara internasional, serta implementasi dan dinamika liberalisasi ruang udara dalam lingkup internasional dan kawasan Asia Tenggara secara khusus. Berikutnya, berisi bagaimana wilayah kedaulatan Indonesia terbentuk yang dapat terlihat dari sisi wilayah maritim serta wilayah ruang udara yang dimiliki.

BAB III akan menganalisa mengenai korelasi ASEAN Single Aviation Market

dengan potensi ancaman kedaulatan Indonesia yang datang melalui koridor ruang udara. Isi pembahasan sub-bab menganalisa esensi Open Skies yaitu terbukanya ruang udara suatu negara untuk tujuan komersil. Di dalamnya, terdapat pembahasan mengenai hak bagi maskapai negara ketiga (Freedoms of the Air), dengan asas cabotage yang dimiliki oleh Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah ruang udaranya. Pembahasan berikutnya, merupakan potensi ancaman kedaulatan Indonesia yang masuk melalui koridor ruang udara. Terdapat dua celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing berkaitan dengan kedaulatan raung udara Indonesia. Pertama dikontrolnya ruang udara di atas Kepulauan Riau oleh otoritas Singapura dan kerawanan akan black flight yang masuk kedalam wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.

(21)

21

BAB IV merupakan analisa reaksi Indonesia terhadap implikasi ASEAN

Single Aviation Market. Dalam bab tersebut akan menganalisa strategi-strategi yang digunakan oleh Indonesia terkait upaya dalam meminimalisir potensi ancaman yang datang melalui koridor ruang udara, sebagai konsekuensi diberlakukannya kebijakan ASEAN Single Aviation Market. Strategi tersebut terbagi kedalam 2 aspek, yaitu aspek domestik dimana Indonesia berupaya menguatkan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan dengan dunia penerbangan. Dan aspek internsional, merupakan upaya diplomasi politik luar negeri Indonesia, untuk menunjukan diri sebagai negara yang memiliki posisi tawar dalam percaturan politik penerbangan global.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran dari tesis penelitian Kedaulatan

Ruang Udara Indonesia dan ASEAN Single Aviation Market.

Gambar

Gambar 1.1.  Peta ASEAN
Tabel 1.1.  ASEAN Single Aviation Market Dalam ASEAN Economic  Community
Gambar 1.2. Model Analisa Penelitain

Referensi

Dokumen terkait

Mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh Notaris sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh menjalankan di daerah atau wilayah

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when

dipilih oleh pihak ketiga yang bertikai, tetapi bisa juga mediator menawarkan diri. Mediator harus dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai. Ketiga,

Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap motivasi belajar biologi siswa kelas VII SMP Islam 4-5 Tambakboyo pada materi

Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis dengan memperhatikan bentuk, warna, bau,

Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan tiga alasan, yaitu pertama, kegiatan

Dalam penulisan tugas akhir ini pokok-pokok bahasan yang meliputi perancangan dan implementasi algoritma Single Pass Clustering untuk pembuatan aplikasi klasterisasi

Symbolic Precognitive Dream ditandai dengan informasi prekognitif yang abstrak yang pada umumnya tidak disadari hingga kejadian yang sebenarnya terjadi.Hal ini sulit