ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
KELAPA SAWIT RAKYAT
(Studi Kasus : Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau)
SKRIPSI
MARIA NORA MONICA 090304049
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
KELAPA SAWIT RAKYAT
(
Studi Kasus : Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir,Provinsi Riau)
SKRIPSI
MARIA NORA MONICA 090304049
AGRIBISNIS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujui oleh, Komisi pembimbing
Ketua
(Ir. M. Mozart B. Darus, M.Sc) NIP : 196210051987031005
Anggota
(Ir. Luhut Sihombing, MP) NIP : 196510081992031001
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
MARIA NORA MONICA (090304049/AGRIBISNIS) dengan judul penelitian
“ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT”. Studi kasus Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. M. Mozart B. Darus, M.Sc. dan Bapak Ir.Luhut Sihombing, MP.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat, untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun, dan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Metode analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat adalah dengan rumus TC=FC+VC, untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun adalah dengan rumus I=TR-TC, dan dan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakya adalah dengan analisis NPV, IRR, dan B/C. Metode penentuan sampel adalah metode accidental. Besarnya sampel penelitian adalah sebanyak 57 sampel. Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan pada bulan September tahun 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian memiliki biaya rata-rata produksi per hektar selama setahun adalah Rp9.961.585, yang terbesar adalah biaya sarana produksi sebesar Rp 5.488.163, yang kedua ialah biaya tenaga kerja sebesar Rp4.316.511, dan yang terakhir biaya penyusutan hanya sebesar Rp 156.911. Rata-rata pendapatan petani sampel per hektar dalam setahun adalah Rp 8.849.569 dan Rata-rata pendapatan per petani selama setahun adalah sebesar Rp 122.908.612. Secara finansial, usaha Perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian dikatakan layak untuk diusahakan dengan nilai NPV 13.028.717, IRR sebesar 13,88%, dan B/C sebesar 2,82.
RIWAYAT HIDUP
MARIA NORA MONICA, lahir di Bagansiapi-api pada tanggal 23 Oktober
1991. Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Bonifasius Sihotang,
Spd dan Ibu Betanita Sihombing, Spd.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1997 masuk Sekolah Dasar di SD Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu
dan tamat tahun 2003.
2. Tahun 2003 masuk Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Yosef
Arnoldi Bagan Batu dan tamat tahun 2006.
3. Tahun 2006 masuk Sekolah Menengah Atas di SMAN I Plus Matauli
Pandan dan tamat tahun 2009.
4. Tahun 2009 diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bulan Juli 2013 mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Tanah Merah,
Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Bulan September 2013
melakukan penelitian skripsi di Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan
Hilir, Provinsi Riau.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan
yaitu menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
KELAPA SAWIT RAKYAT”. Studi kasus Kecamatan Bagan Sinembah,
Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk dapat memenuhi sebagian dari
syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. M. Mozart B. Darus, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah memberikan waktu untuk membimbing penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
2. Bapak Ir. Luhut sihombing, MP selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu untuk membimbing penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS. selaku Ketua Program Studi Agribisnis, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Program Studi Agribisnis, Fakultas
5. Seluruh instansi dan responden yang terkait dengan penelitian ini yang telah
membantu penulisan dalam memperoleh data-data yang diperlukan.
6. Ayahanda Bonifasius Sihotang, S.Pd dan Ibunda Betanita Sihombing, S.Pd kakak tercinta Clara Gita Ramauli dan adik tercinta Yohannes Tulus Martinez
dan seluruh keluarga besar penulis atas dukungan, doa, serta materi yang
diberikan kepada penulis.
7. Teman-teman di Program Studi Agribisnis Stambuk 2009 yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dalam
penyusunannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Identifikasi Masalah ... 6
Tujuan Penelitian ... 7
Kegunaan Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka ... 8
Landasan Teori ... 12
Kerangka Penelitian ... 18
Hipotesis Penelitian ... 20
BAB III METODE PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 21
Metode Pengambilan Sampel ... 22
Metode Pengumpulan Data ... 23
Metode Analisis Data ... 23
Defenisi dan Batasan Operasional ... 26
Defenisi ... 26
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL
Deskripsi Daerah Penelitian ... 28
Luas dan Letak Geografis ... 28
Keadaan Penduduk ... 29
Penggunaan Lahan ... 30
Karakteristik Sampel ... 30
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik Budidaya Kelapa Sawit Rakyat ... 33
Biaya Produksi Kelapa Sawit Rakyat ... 36
Penerimaan Kelapa Sawit Rakyat ... 46
Pendapatan kelapa Sawit Rakyat ... 48
Analisis Kelayakan Finansial ... 49
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51
Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal
1. Luas Areal Perkebunan seluruh Indonesia Menurut Status Pengusahan (Ha) 4
2. Luas, Produksi, dan Jumlah Petani Perkebunan Rakyat di Rokan Hilir 21
3. Distribusi Penduduk Kecamatan Bagan Sinembah Berdasarkan Agama 29
4. Distribusi Penduduk Kecamatan Bagan Sinembah Berdasarkan Pekerjaan 30
5. Karakteristik Petani dan Usahatani Sampel 31
6. Biaya Penyusutan Rata-Rata Menurut Umur Tanaman 37
7. Biaya Saprodi Rata-Rata Menurut Umur Tanaman 39
8. Biaya Tenaga Kerja Rata-Rata Menurut Umur Tanaman 42
9. Biaya Produksi Rata-Rata Menurut Umur Tanaman 44
10. Penerimaan Rata-Rata Menurut Umur Tanaman 47
11. Pendapatan Rata-Rata Per Ha Per Tahun 48
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
1. Karakteristik Sampel
2. Jumlah Peralatan Sampel
3. Biaya Penyusutan
ABSTRAK
MARIA NORA MONICA (090304049/AGRIBISNIS) dengan judul penelitian
“ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT”. Studi kasus Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. M. Mozart B. Darus, M.Sc. dan Bapak Ir.Luhut Sihombing, MP.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat, untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun, dan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Metode analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat adalah dengan rumus TC=FC+VC, untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun adalah dengan rumus I=TR-TC, dan dan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakya adalah dengan analisis NPV, IRR, dan B/C. Metode penentuan sampel adalah metode accidental. Besarnya sampel penelitian adalah sebanyak 57 sampel. Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan pada bulan September tahun 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian memiliki biaya rata-rata produksi per hektar selama setahun adalah Rp9.961.585, yang terbesar adalah biaya sarana produksi sebesar Rp 5.488.163, yang kedua ialah biaya tenaga kerja sebesar Rp4.316.511, dan yang terakhir biaya penyusutan hanya sebesar Rp 156.911. Rata-rata pendapatan petani sampel per hektar dalam setahun adalah Rp 8.849.569 dan Rata-rata pendapatan per petani selama setahun adalah sebesar Rp 122.908.612. Secara finansial, usaha Perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian dikatakan layak untuk diusahakan dengan nilai NPV 13.028.717, IRR sebesar 13,88%, dan B/C sebesar 2,82.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14,72 persen pada
tahun 2011 atau merupakan urutan kedua setelah sektor industri pengolahan.
Pada waktu krisis ekonomi, sektor pertanian yang cukup kuat menghadapi
goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan
perekonomian nasional. Dalam sektor pertanian, salah satu subsektor yang cukup
besar potensinya adalah subsektor perkebunan. Meskipun kontribusi subsektor
perkebunan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 2,07
persen pada tahun 2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah
subsektor tanaman bahan makanan dan perikanan, akan tetapi subsektor ini
merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan
penghasil devisa (Badan Pusat Statistik, 2011).
Pembangunan pertanian subsektor perkebunan memiliki arti penting, terutama di
negara berkembang yang selalu berupaya untuk memanfaatkan kekayaan sumber
daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Subsektor perkebuan mendorong
pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja,
negeri, bahan baku industri dalam negeri, serta optimalisasi pengelolaan sumber
daya alam secara berkelanjutan (Anonimous, 2008).
Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan
sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman
perkebunan cukup ramai permintaannya, baik di pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri. Selain itu, harga jual yang tinggi juga membuat tanaman perkebunan
menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang tidak sedikit. Saat ini puluhan
jenis komoditas perkebunan yang cukup potensial, antara lain karet, kakao, kelapa
sawit, kopi, tembakau, dan cengkeh (Anonimous, 2008).
Salah satu komoditi dari subsektor perkebunan yang mempunyai peran cukup
penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa
sawit merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang menghasilkan devisa
yang besar untuk negara sesudah minyak dan gas. Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar dunia (Badan Pusat Statistik, 2011).
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Namun, ada sebagian pendapat yang justru menyatakan bahwa kelapa sawit
berasal dari kawasan Amerika Selatan yaitu Brazil. Hal ini dikarenakan lebih
banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan di
Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah
asalnya seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan, mampu
memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Indonesia adalah negara
dengan luas areal kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu sebesar 34,18 persen dari
produksi. Pencapaian produksi rata-rata kelapa sawit Indonesia tahun 2004-2008
tercatat sebesar 75,54 juta ton tandan buah segar (TBS) atau 40,26 persen dari
total produksi kelapa sawit dunia (Fauzi, 2012).
Dalam dasawarsa terakhir ini, kelapa sawit mengalami tren apresiasi yang positif
karena dinilai prospektif dalam mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan alam
yang dimiliki, menghasilkan produk dengan daya saing yang tinggi, serta
memiliki nilai ekonomi yang strategis baik untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri maupun sebagai komoditas ekspor di pasar dunia. Tren ini mendorong
pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pesatnya pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga didorong oleh terus meningkatnya
permintaan minyak nabati dan lemak hewani dunia sebagai akibat pertumbuhan
penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto. Peningkatan konsumsi
minyak nabati dan lemak hewani tersebut berdampak pada meningkatnya
permintaan minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) yang pada akhirnya ikut
mendorong pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
(Pahan, 2007).
Perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit dimulai pada akhir tahun 1980an,
ketika perkebunan besar swasta (PBS) mulai masuk ke sektor perkebunan dan
pengolahan minyak kelapa sawit dalam jumlah besar. Sebelumnya perkebunan
kelapa sawit didominasi oleh perkebunan milik negara (PBN). Sejalan dengan
harga crude palm oil yang terus meningkat, maka selain perkebunan besar swasta,
petani kecil pun mulai ikut menanam kelapa sawit. Semula kebun sawit milik
maupun milik negara sebagai inti, namun kemudian perkebunan rakyat (PR)
semakin berkembang di luar skema inti plasma.
Luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir
cenderung menunjukkan peningkatan yakni berkisar 1,92 – 9,05 persen per
tahunnya. Pada tahun 2006 lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat
seluas 6,28 juta hektar, meningkat menjadi 8,55 juta hektar pada tahun 2010. Pada
tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat sebesar 2,64 persen
dari tahun 2010 menjadi 8,77 juta hektar dan ditahun 2012 meningkat sebesar
1,92 persen menjadi 8,94 juta hektar. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Status Pengusahaan (Ha) Tahun 2006 – 2012
No. Status
Pengusahaan 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 P. Rakyat 2.536.508 2.752.173 2.881.899 3.061.412 3.387.258 3.468.552 3.536.487
2 P. Besar Negara 692.204 685.087 626.666 651.216 658.492 675.823 668.957
3 P. Besar Swasta 3.056.248 3.416.656 3.825.142 4.236.761 4.503.078 4.629.319 4.717.989 Total / Jumlah 6.284.960 6.853.916 7.333.707 7.949.389 8.548.828 8.774.694 8.943.433 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar perkebunan kelapa sawit
pada tahun 2012 diusahakan oleh perkebunan besar swasta yakni 52,72 persen
atau 4,71 juta hektar, sementara perkebunan rakyat mengusahakan 39,54 persen
atau 3,53 juta hektar dan hanya 7,70 persen atau 0,69 juta hektar yang diusahakan
oleh perkebunan besar negara.
Selama periode tahun 2006 – 2012 areal perkebunan kelapa sawit Indonesia
Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Dari ke 22 provinsi tersebut, Provinsi
Riau merupakan provinsi dengan areal perkebunan kelapa sawit yang terluas di
Indonesia yakni 1,78 juta hektar pada tahun 2010 atau 20,82 persen dari total luas
areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan pada tahun 2011 luas kelapa sawit
di Provinsi Riau ialah sebesar 1,79 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2011).
Potensi areal perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa
sawit. Pengembangan perkebunan tidak hanya diarahkan pada sentra-sentra
produksi seperti Sumatera dan Kalimantan, tetapi daerah potensi pengembangan
seperti Sulawesi, Jawa, Papua terus dilakukan. Perkembangan luas areal
perkebunan kelapa sawit Indonesia pada empat dekade terakhir ini meningkat
cukup pesat, yaitu dari 133,30 ribu ha pada tahun 1970 menjadi 7,51 juta ha tahun
2009 atau meningkat rata-rata 11,12% per tahun. Jika dilihat dari status
pengusahaannya maka rata-rata pertumbuhan per tahun pasca krisis ekonomi di
Indonesia (antara tahun 1998 - 2009) yaitu Pekebunan Rakyat sebesar 11,83%,
Perkebunan Besar Negara 1,89%, dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 8,34%
(Pusdatin Pertanian, 2010).
Luas perkebunan rakyat yang terus meningkat menunjukkan minat rakyat yang
terus meningkat untuk usaha ini. Namun, peningkatan ini tidak serta merta
didukung dengan kestabilan harga. Atas dasar inilah diperlukan perangkat ukuran
berupa kriteria investasi untuk memberikan verifikasi terkait dengan kelayakan
finansial usaha perkebunan kelapa sawit khususnya perkebunan kelapa sawit
in-tertentu; dan (2) Perhitungan besaran-besaran terkait dengan kriteria investasi
finansial untuk menunjukkan nilai kelayakan usaha.
Seperti halnya berbagai macam jenis usaha, para pelaku usaha perkebunan kelapa
sawit rakyat tentulah menginginkan agar usaha mereka dapat menguntungkan.
Kiranya dengan dengan dilakukannya analisis finansial untuk tanaman kelapa
sawit rakyat, para petani rakyat dapat melihat layak atau tidak usahatani yang
sedang dikelolanya serta dapat memberikan pencerahan bagi para pelaku
agribisnis perkebunan kelapa sawit rakyat untuk dapat membuat
perhitungan-perhitungan dalam mengelola usahanya sehingga hasil yang diperoleh bisa
optimal dan tentunya bisa memberikan keuntungan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang
didapat antara lain:
1) Berapa besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat
di daerah penelitian?
2) Berapa besar pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun di daerah
penelitian?
3) Bagaimana tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakyat di daerah
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengidentifikasi besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani
kelapa sawit rakyat di daerah penelitian.
2) Untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan petani kelapa sawit rakyat per
tahun di daerah penelitian.
3) Untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa sawit rakyat di daerah
penelitian.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1) Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan dalam
mengembangkan usahatani kelapa sawit rakyat.
2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam
menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan usahatani kelapa sawit rakyat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kelapa sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman multiguna. Tanaman ini mulai banyak
menggantikan posisi penanaman komoditas perkebunan lain, yaitu tanaman karet.
Tanaman sawit kini tersebar di berbagai daerah di Indonesia (Suwarto, 2010).
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Kelapa sawit merupakanan tanaman monokotil. Tanaman ini berakar serabut yang
berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah, respirasi tanaman dan sebagai
penyangga berdirinya tanaman. Batangnya tidak mempunyai kambium dan
umumnya tidak bercabang. batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan
diameter 20-75 cm. pada tanaman muda, batang tidak terlihat karena tertutup oleh
pelepah daun.
Daun kelapa sawit mirip daun kelapa, yaitu membentuk susunan daun majemuk,
bersirip genap, dan bertulang daun sejajar. Daun-daun ini membentuk pelepah
yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5-9m. Kelapa sawit merupakan tanaman
berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan betina terdapat dalam satu
tanaman serta masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga
jantan dihasilkan dengan siklus yang bergantian dengan bunga betina sehingga
dihasilkan setelah tanaman berumur 3,5 tahun dan diperlukan waktu 5-6 bulan
dari penyerbukan hingga buah matang dan siap dipanen (Fauzi, 2002).
Luasnya daerah-daerah Indonesia yang berpotensi untuk diusahakan menjadi areal
perkebunan mendukung pertumbuhan bisnis tanaman kelapa sawit di Indonesia.
Selain itu, faktor lain yang mendukung pertumbuhan tanaman perkebunan adalah
faktor agroklimat. Dari sisi agroklimat, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada
ketinggian 100-1.700 m dpl, curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun, suhu 22-32 °C
dengan kelembapan 80-90 %, serta pH tanah 4,0-6,0 (Anonimous, 2008).
Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi
tiga, yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar
Swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh
rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan
tersebut, tentunya menghasilkan produksi TBS yang terbatas pula sehingga
penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke prosesor /
industri pengolah (Fauzi, 2012).
2.1.2 Budidaya Kelapa Sawit
Dalam pelaksanaannya budidaya kelapa sawit dimulai dari pembukaan lahan.
Daerah yang akan dijadikan areal perkebunan perlu “dibuka” dahulu dengan cara
menebang pohon yang mengganggu serta membersihkan tunggul-tunggul,
sisa-sisa tanaman rumput, dan alang-alang. Pembersihan ini dilakukan agar sisa-sisa-sisa-sisa
tanaman tidak menjadi sarang hama penyakit yang dapat mengganggu nantinya
Setelah atau pun beriringan dengan pembukaan lahan dilakukan upaya pengadaan
bibit. Ada tiga cara pengadaan bibit kelapa sawit di Indonesia. Pertama, membeli
benih dan bibit liar. Kedua, membeli biji dari produsen resmi lalu
mengecambahkannya sendiri. Ketiga, membeli bibit hasil kultur jaringan.
Setelah pengadaan bibit telah dilakukan dilanjutkan dengan penanaman. Bibit dari
pembibitan dipilih untuk ditanam di areal perkebunan. Penanaman ini
memperhatikan jarak tanam agar tidak terjadi persaingan dalam penggunaan
lahan, sinar matahari, dan makanan. Kerapatan tanaman merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Jarak optimum adalah 9 m
untuk tanah datar dan 8,7 m untuk tanah bergelombang. Setelah hal itu dilakukan
dapat di lakukan penanaman penbutup tanah. Untuk perkebunan rakyat biasanya
tanaman ditanam dengan jarak 8 m antar pokok dengan mengarah pada sistem
mata lima walaupun aktual di lapangan sistem mata lima yang dilakukan
masyarakat belum sempurna (Fauzi, 2012)
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pemeliharan. Pemeliharaan tanaman
merupakan salah satu tindakan yang sangat penting yang menentukan masa
produktif tanaman. Pemeliharaan bukan hanya ditujukan pada tanaman tetapi juga
pada media tumbuh. Meskipun tanaman dirawat dengan baik, namun jika
perawatan tanah diabaikan maka tidak akan banyak memberi manfaat.
Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan dan yang sudah
menghasilkan memiliki beberapa perbedaan. Kegiatan yang perlu dilakukan di
dalam pemeliharaan untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman
menghasilkan (TM) berbeda. Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang belum
pembukaan pasar kontrol dan pasar pikul, pemupukan, penyisipan, serta kastrasi.
Sedangkan pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan,
meliputi: pemupukan, pemberantasaan gulma, penunasan, dan penjarangan
tanaman (Suwarto, 2010).
Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan membentuk buah setelah umur 2-3
tahun. Buah akan masak pada 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan
buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya. Buah akan
menjadi merah jingga ketika masak. Pada saat buah masak, kandungan minyak
pada daging buah telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan
lepas dan jatuh dari tangkai tandannya. Buah yang jatuh tersebut disebut
membrondol. Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit rakyat meliputi
pekerjaan memotong tandan buah masak, memungut berondolan, dan
mengangkutnya ke tempat pengumpulan hasil (TPH) kemudian menjualnya
kepada pedagang desa atau langsung ke pabrik kelapa sawit (Fauzi, 2002).
Saat ini, kriteria umum yang biasa dipakai untuk pemanenan adalah jumlah
brondolan, yaitu setiap 1kg tandan segar terdapat dua brondolan. Berdasarkan
tinggi tanaman, cara panen di Indonesia ada tiga cara. Untuk tanaman dengan
tinggi 2-5 m, digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan untuk
tanaman dengan tinggi 5-10 m dipanen dengan cara berdiri menggunakan alat
kapak siam. Untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m, pemanenan dilakukan
menggunakan alat arit bergagang panjang yang disebut egrek. Kriteria lain yang
perlu diperhatikan adalah rotasi dan sistem panen. Rotasi panen dianggap baik
Rotasi panen adalah waktu yang diperlukan antara panen terakhir sampai panen
berikutnya pada tempat yang sama. Perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia
pada umumnya menggunakan rotasi panen tujuh hari, artinya satu areal panen
harus dimasuki oleh pemetik tiap tujuh hari (Fauzi, 2012).
2.2 Landasan Teori
Menurut Pardamean (2008), kelapa sawit merupakan tanaman tahunan dengan
umur ekonomis 25 tahun. Pada 3 tahun pertama tanaman belum menghasilkan.
Sesudahnya, pada umur 4 tahun tanaman telah menghasilkan. Hutabarat (2011)
dan Sutanto (2012), menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan tanaman
yang cukup tangguh, tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif, tahan
terhadap hama dan penyakit, penggunaan teknologi produksi yang diterapkan
relatif sederhana, serta tenaga kerja yang diperlukan juga tidak terlalu banyak,
sehingga biaya yang diperlukan dalam pengelolaan tanaman tidak terlalu besar.
Dana untuk membuka 1 ha lahan berisi 136 bibit kelapa sawit sejak awal
pembukaan hingga perawatan TBM selama tiga tahun diperlukan sekitar Rp
18.662.716,00 dan biaya perawatan tanaman menghasilkan (TM) setiap tahunnya
sebesar Rp. 1.649.011,-. Biaya-biaya tersebut sudah dapat tertutupi setelah tahun
ke-6 atau setelah panen (Fauzi, 2012). Prospek pasar dari produk ini cukup tinggi
karena minyak sawit dapat dimanfaatkan di berbagai industri baik industri pangan
maupun non pangan. Walaupun prospek pasarnya cukup tinggi, harga tbs tidak
tetap sepanjang tahun (berfluktuasi). Kenaikan dan penurunan harga TBS
dipengaruhi oleh kenaikan dan penurunan harga CPO di pasar dunia
2.2.1 Biaya dan Pendapatan
Dalam analisa proyek, tujuan–tujuan analisa harus disertai dengan defenisi
biaya-biaya dan manfaat–manfaat. Biaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
mengurangi suatu tujuan, dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu
tujuan (Gittinger, 1986). Biaya dapat didefenisikan sebagai pengeluaran atau
korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima.
Hernanto (1991) menyatakan, bahwa biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani
dalam proses produksi serta membawanya menjadi produk disebut biaya produksi. Di
dalam jangka pendek, satu kali produksi kita dapat membedakan biaya tetap dan
biaya berubah (variabel), termasuk didalamnya barang yang dibeli dan jasa yang
dibayar didalam maupun di luar usaha tani. Tetapi dalam jangka panjang, semua
biaya bersifat variabel. Putong (2005) menyatakan, dalam jangka panjang semua
biaya bersifat variabel, artinya perusahaan tidak lagi memiliki beban tetap yang harus
dikeluarkan dalam masa produksi melainkan semua biaya yang dikeluarkan
berhubungan dengan proses dan operasional produksi.
Menurut Antoni (1995), biaya-biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi kelapa
sawit mencakup:
1. Biaya investasi awal, seperti: pembukaan lahan, biaya bibit, serta biaya
pemeliharaan sebelum tanaman menghasilkan.
2. Biaya pemeliharaan tanaman, seperti: pemberantasan gulma, pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit, tunas pokok (pruning), konsolidasi,
3. Biaya panen atau biaya yang dikeluarkan untuk melancarkan segala aktivitas
untuk mengeluarkan produksi (TBS) atau hasil panen dari lapangan (areal) ke
agen pengepul atau ke pabrik seperti biaya tenaga kerja panen, biaya pengadaan
alat kerja dan biaya angkutan
Menurut Soekartawi (2002), biaya diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Biaya tetap (fixed cost)
Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relative jumlahnya dan akan terus
dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Contohnya: pajak
dan penyusutan peralatan.
2. Biaya variabel
Biaya variabel ialah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang
diperoleh. Contohnya: biaya bibit, biaya pupuk, biaya pestisida, biaya tenaga kerja,
dan lain-lain.
Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari
penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau
modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan usahatani
merupakan selisih penerimaan dengan total biaya usahatani, dimana penerimaan
diperoleh dari perkalian antara jumlah produksi dan harga jual yang diterima petani
(Soekartawi, 2002)
2.2.2 Kelayakan Finansial
Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang
petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari
(gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai
sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek.
Hasil finansial sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus
diperhatikan dalam analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.
Aspek finansial mencakup pembiayaan proyek pembangunan yang akan atau yang
sedang dilaksanakan dan relevansinya dengan manfaat yang akan diperoleh
(Soekartawi, 1995).
Kelayakan dari suatu kegiatan usaha diperhitungkan atas dasar besarnya laba
finansial yang diharapkan. Kegiatan usaha dikatakan layak jika memberikan
keuntungan finansial, sebaliknya kegiatan usaha dikatakan tidak layak apabila
kegiatan usaha tersebut tidak memberikan keuntungan finansial
(Kasmir dan Jakfar, 2003).
Analisis finansial didasarkan pada keadaan yang sebenarnya dengan
menggunakan data harga yang sebenarnya ditemukan dilapangan (real price).
Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan dapat melihat
apa yang terjadi pada proyek dalam keadaan apa adanya. Dengan mengetahui
hasil analisis finansial, para pembuat keputusan juga dapat segera melakukan
penyesuaian (adjustment), bilamana proyek tersebut berjakan meyimpang dari
rencana semula. Sebaliknya, bila proyek berjalan seperti tujuan semula dan tanpa
halangan maka dapat dilihat seberapa besar manfaat proyek. Dalam analisis
finansial, nilai suatu uang sebagai alat pembayaran adalah berbeda pada waktu
diterima hari ini akan lebih tinggi nilainya daripada satu rupiah yang dibayar atau
diterima di masa mendatang (Soekartawi, 1995).
Fokus dari suatu analisis adalah menentukan apakah dan sampai berapa jumlah
proyek tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar jika disbanding
dengan biaya dan investasi kepada pemilik (owner) proyek tersebut. Discounting
rate (tingkat diskonto) merupakan suatu teknik perhitungan untuk dapat
menurunkan manfaat (benefit) yang diperoleh investor dimasa sekarang ataupun
nilai biaya dan investasi pada masa yang akan datang. Dalam rangka
mengevaluasi proyek tersebut apakah ditolak atau disetujui. Semua pengorbanan
rupiah untuk suatu proyek merupakan biaya pada saat sekarang dan diharapkan
mendapatkan manfaat untuk masa yang akan datang (Musa, 2012).
Menurut Gray (1999), dalam rangka mencari suatu ukuran yang menyeluruh
sebagai dassar persetujuan atau penolakan terhadap suatu proyek / usaha, telah
dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Kriteria investasi
yang umum dikenal ada 6 yaitu : (1) Net Present Value dari arus benefit dan biaya
(NPV) ; (2) Internal Rate of Return (IRR) ; (3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) ;
(4) Gross Benefit- Cost Ratio (Gross B/C) ; (5) Profitability Ratio (PV/C) ; dan
(6) Return on Investment (ROI). Setiap kriteria ini mempergunakan perhitungan
nilai sekarang atas arus benefit dan biaya.
Menurut Soekartawi dalam Analisis Usaha Tani (2002), umumnya ada beberapa
kriteria dalam menentukan kelayakan suatu usaha yang dapat dipilih sesuai
1. NPV
NPV dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (Present Value) dari selisih
antara benefit (manfaat) dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu. NPV (Net
Present Value) menunjukkan kelebihan benefit (manfaat) dibandingkan dengan
cost (biaya). Apabila evaluasi suatu proyek telah dinyatakan “Go” maka nilai
NPV ≥ 0. Bila NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar
sosial opportunity cost of capital, dan apabila NPV < 0, maka proyek tersebut “no
go” atau ditolak. Artinya, ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk
sumber – sumber yang diperlukan proyek.
2. IRR
IRR ialah alat ukur kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman
dari lembaga internal keuangan yang membiayai proyek tersebut. Pada dasarnya
IRR memperlihatkan bahwa present value (PV) benefit akan sama dengan present
value (PV) cost. Dengan kata lain IRR tersebut menunjukkan NPV = 0.
3. B/C ratio
B/C ratio menunjukkan bahwa besarnya benefit berapa kali besarnya biaya dan
investasi untuk memperoleh suatu manfaat. Cara ini banyak dipakai karena
dengan menghitung B/C ratio, maka akan diketahui secara cepat berapa besarnya
manfaat proyek yang dilaksanakan.
Cara perhitungan IRR berbeda dengan cara perhitungan B/C ratio. Pada
perhitungan B/C, maka nilai diskonto yang dipakai adalah tertentu, tetapi pada
perhitungan IRR yang dicari adalah besaran nilai diskonto tersebut (Soekartawi,
2.4 Kerangka Pemikiran
Usaha perkebunan kelapa sawit rakyat adalah usaha yang dikelola petani rakyat
dengan mengkoordinir faktor produksi berupa alam,tenaga kerja, dan modal untuk
melakukan proses produksi komoditi kelapa sawit sehingga dapat terlaksana dan
menghasilkan output berupa tandan buah segar (TBS).
Pendapatan diperoleh dari selisih penerimaan dengan biaya produksi. Penerimaan
diperoleh dari hasil perkalian penjualan hasil produksi (TBS) dengan harga yang
berlaku, sedangkan biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam
memproduksi kelapa sawit mencakup biaya pemeliharaan tanaman (tenaga kerja
pemeliharaan tanaman, pemberantasan gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit, tunas pokok (pruning), konsolidasi, pemeliharaan terasan dan tapak kuda,
pemeliharaan prasarana) dan biaya panen (tenaga kerja panen, biaya pengadaan alat
kerja dan biaya angkutan).
Selanjutnya akan dilakukan analisis finansial yang digunakan untuk mengetahui
kelayakan suatu usaha dilihat dari arus kasnya. Adapun kriteria investasi yang
dipakai dalam analisis ini yakni B/C ratio, NPV, dan IRR. Bila kriteria tersebut
terpenuhi maka dapat dikatakan usaha tersebut layak untuk diusahakan.
Bila usaha dikatakan layak artinya usaha tersebut memberikan keuntungan /
manfaat secara finansial, namun bila dikatakan tidak layak artinya usaha tersebut
tidak memberikan keuntungan / manfaat secara finansial sehingga petani pemilik
dapat melakukan tindakan penyesuaian (adjustment) karena usaha yang
][[[]]
Keterangan :
: Pengaruh
: Hubungan
Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat
Harga
Biaya Produksi
Produksi
Penerimaan
Layak Tidak Layak
Analisis Finansial:
1. B/C Ratio
2. NPV
3. IRR
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang telah disusun, maka diajukan hipotesis bahwa
usaha perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian secara finansial layak
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian
Daerah penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) yaitu metode
penentuan sampel berdasarkan kriteria atau tujuan tertentu (Hartono, 2004).
Penelitian dilakukan di Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir,
Provinsi Riau. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Provinsi Riau
adalah Provinsi dengan luasan tanaman kelapa sawit terbesar di Indonesia dan
juga merupakan Provinsi dengan luasan areal perkebunan kelapa sawit rakyat
terbesar di Indonesia. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu kabupaten
dengan luasan areal sawit rakyat terbesar di Provinsi Riau. Berikut ini tabel luas,
produksi dan jumlah petani Perkebunan Rakyat komoditi kelapa sawit di
Kabupaten Rokan Hilir.
Tabel 2. Luas, Produksi, dan Jumlah Petani Perkebunan Rakyat Komoditi Kelapa Sawit di Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2011
No. Kecamatan Luas Areal
(Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (kg/Ha)
Petani (KK)
1 Bagan Sinembah 33.963 115.967,8 3.570 8.470
2 Bangko 1.345 1.749,0 3.000 685
3 Bangko Pusako 22.536 65.619,0 3.380 6.427
4 Batu hampar 925 1.703,2 3.080 360
5 Kubu 12.958 36.997,5 3.102 3.020
6 P. L. Kapas 8.620 2.972,5 2.900 846
7 Pujud 28.881 91.535,0 3.432 7.231
8 R. Kopar 1.181 2.227,5 3.142 468
9 Rimba Melintang 8.343 24.604,8 3.200 1.995
10 Simpang Kanan 16.258 46.433,6 3.325 3.019
11 Sinaboi 591 607,4 3.099 82
12 Tanah Putih 16.224 39.000,0 3.385 5.370
13 T. P. Tanjung Melawan 4.980 16.438,0 3.333 1.365
14 Pekaitan 2.113 4.201,4 3.060 820
Kecamatan Bagan Sinembah merupakan kecamatan dengan luasan areal kebun
sawit rakyat terbesar di kabupaten Rokan Hilir dengan luas 33.963 hektar dengan
produktivitas rata-rata 3,57 ton / ha.
3.2 Metode Penentuan Sampel
Sampel penelitian ditentukan dengan metode accidental yaitu metode penentuan
sampel berdasarkan orang yang ditemui secara kebetulan atau siapa pun yang
dipandang oleh peneliti cocok sebagai sumber data (Hartono, 2004). Dalam
analisis finansial yang dilakukan, diperlukan petani-petani kelapa sawit rakyat
yang memenuhi umur ekonomis tanaman kelapa sawit dari 0-25 tahun.
Menurut Singarimbun dan Sofian (1995), makin seragam populasi maka makin
kecil sampel yang dapat diambil. Apabila populasi itu seragam sempurna maka 1
satuan elementer dari seluruh populasi sudah dianggap cukup representatif untuk
diteliti, sebaliknya apabila populasi secara sempurna tidak seragam maka
pencacahan lengkap yang dapat memberikan gambaran representatif.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden
di daerah penelitian melalui daftar kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu. Data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dengan
penelitian ini, seperti Biro Pusat Statistik dan literatur–literatur yang berhubungan
dengan penelitian.
Untuk tujuan penelitian 1, yaitu mengidentifikasi besar biaya produksi yang
dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat di daerah penelitian dianalisis
menggunakan rumus:
TC = FC + VC
Keterangan :
TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp)
(Soekartawi, 1995).
Tujuan penelitian 2, mengenai pendapatan petani kelapa sawit rakyat per tahun
dianalisis dengan memperhitumgkan pendapatan petani yang menjual produk
berupa tandan buah segar (TBS). Adapun rumus yang digunakan:
I = TR – TC dimana, TR = P. Q
Keterangan :
I = Pendapatan Bersih / Benefit per tahun pada tanaman menghasilkan (Rp) TR = Total Penerimaan per tahun pada tanaman menghasilkan (Rp)
P = Harga TBS (Rp)
Q = Jumlah TBS yang dipanen (Ton)
(Soekartawi, 1995).
Untuk tujuan penelitian 3, yaitu menganalisis tingkat kelayakan finansial kelapa
sawit rakyat di daerah penelitian, dianalisis dengan:
a. Net Present value (NPV)
Menurut Musa (2012), NPV merupakan salah satu kriteria perhitungan investasi
untuk menghitung apakah suatu proyek layak atau tidak diusahakan. Bila NPV
dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu. NPV menunjukkan kelebihan
benefit (manfaat) dibandingkan dengan cost (biaya).
NPV = ∑�=0�=� ��−��
(1+� )t atau NPV = ∑ �=0
�=� ( Bt- Ct) (DF)
b. Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Musa (2012), IRR ialah alat ukur untuk mengetahui kemapuan proyek
dalam mengembalikan bunga pinjaman dari lembaga internal keuangan yang
membiayai proyek tersebut. Pada dasaranya IRR memperlihatkan bahwa Present
Value (PV) benefit akan sama dengan Present Value (PV) cost. Dengan kata lain,
IRR menunjukkan NPV = 0. Suatu proyek dikatakan menguntungkan apabila
menghasilkan IRR yang lebih besar dari opportunity cost of capital. IRR
diperoleh dengan rumus:
IRR = i’ + ���′
���′−���′′ ( i’’ – i’ )
c. Benefit cost ratio (B/C)
Menurut Musa (2012), B/C ialah perbandingan antara jumlah NPV postif dengan
jumlah NPV negatif. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya benefit berapa kali
besarnya biaya dan investasi untuk memperoleh suatu manfaat. Cara perhitungan
B/C ratio adalah:
Net B/ C Ratio = ∑ �=0
�=� (���)(+) ∑�=0�=� (���)(−)
Menurut Soekartawi (1991), manfaat (benefit) merupakan penjumlahan dari
besarnya nilai manfaat dari berbagai kegiatan dalam suatu proyek. Begitu pula
kegiatan yang tercakup dalam suatu proyek. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya
benefit berapa kali besarnya biaya dan investasi untuk memperoleh suatu manfaat.
Jika B/C > 1, maka usaha tersebut menguntungkan. Cara perhitungan B/C ratio
adalah:
B/C ratio = ∑ ����=� (1 +�)n / ∑��=1�� (1 +�)n
Keterangan :
B = manfaat C = biaya t = waktu n = waktu ke-n
3.5 Defenisi dan Batasan Operasional 3.5.1 Defenisi
1. Analisis Finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut
pandang petani sebagai pemilik dimana kelayakan dari suatu kegiatan
usaha diperhitungkan atas dasar besarnya laba finansial yang diharapkan.
2. Perusahaan perkebunan adalah suatu perusahaan berbentuk badan usaha /
badan hokum yang bergerak dalam kegiatan budidaya tanaman
perkebunan di atas lahan yang dikuasai, dengan tujuan ekonomi /
komersial dan mendapat izin usaha dari instansi yang berwenang dalam
pemberian izin usaha perkebunan.
3. Perkebunan Besar Negara (PBN) adalah perusahaan perkebunan yang
diusahakan oleh pemerintah (BUMN).
4. Perkebunan Besar Swasta (PBS) adalah perusahaan perkebunan yang
5. Perkebunan Rakyat (PR) adalah usaha budi daya tanaman perkebunan
yang diusahakan oleh rumah tangga dan tidak berbentuk badan usaha /
badan hukum yang dalam hal ini mengusahakan komoditi kelapa sawit.
6. Petani adalah orang yang memiliki dan mengusahakan budidaya kelapa
sawit mulai dari pembukaan lahan hingga memperoleh hasil produksi
untuk dijual.
7. Produksi adalah tandan buah segar (TBS) yang dijual langsung ke
pedagang pengumpul ataupun pedagang besar.
8. Biaya produksi adalah keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memperoleh hasil produksi.
9. Penerimaan adalah perkalian antara hasil produksi dengan harga jual.
10.Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan biaya produksi.
3.5.2 Batasan Operasional
1. Analisis Finansial memperhatikan segi cash-flow yaitu perbandingan
antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah
biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk
mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan usaha.
2. Daerah penelitian adalah Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan
Hilir, Provinsi Riau.
3. Sampel penelitian adalah petani kelapa sawit dengan umur tanaman 0 - 25
tahun.
BAB IV
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK SAMPEL
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, tepatnya di
Kecamatan Bagan Sinembah.
4.2 Luas Daerah Dan Letak Geografis
Kecamatan Bagan Sinembah memiliki luas areal 139.189 Ha. Kondisi geografis
kecamatan Bagan Sinembah terdiri dari ketinggian wilayah 10 m dari permukaan
laut, curah hujan berkisar 198.166 mm/bulan, 2485 mm/tahun. Topografi
kecamatan ini terdiri dari 89% dataran dan 11% bergelombang. Suhu udara
berkisar dari 27°C hingga 32°C.
Jarak kantor kecamatan dengan Desa/Kepenghuluan terjauh adalah ± 30 km, jarak
dengan ibu kota kabupaten/kota adalah ±180 km, dan dengan ibu kota provinsi
adalah ±360 km. Kecamatan ini terdiri dari 33 kelurahan/kepenghuluan.
Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Bagan Sinembah adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan
Kecamatan Kubu
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pujud
- Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara
4.3 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Bagan Sinembah adalah 131.846 orang yang
terbagi dalam 30.202 KK, yang terdiri dari 67.958 orang laki-laki dan 65.939
orang perempuan. Penduduk desa ini terdiri dari berbagai agama seperti yang
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Penduduk Kecamatan Bagan Sinembah berdasarkan Agama
Agama Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)
Islam 93.418 69,77
Katolik 19.210 14,35
Protestan 20.120 15,03
Hindu 30 0,02
Budha 1.119 0,84
Jumlah 133.897 100,00
Sumber : Kantor Camat Bagan Sinembah, 2012
Dari tabel 4 yang disajikan, penduduk Kecamatan Bagan Sinembah terdiri dari
berbagai agama. Mayoritas penduduk kecamatan ini menganut agama Islam
(69,77%), kemudian diikuti agama Protestan (15,03%), Katolik (14,35%), Budha
(0.84%), dan Hindu (0,02%).
Selain terdiri dari berbagai agama, penduduk Kecamatan Bagan Sinembah juga
terdiri dari berbagai mata pencaharian. Pada Tabel 5 disajikan berbagai jenis
pekerjaan yang menjadi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Bagan
Tabel 5. Distribusi Penduduk Kecamatan Bagan Sinembah berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaaan Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)
Petani 21.946 62,34
Pengrajin 100 0,28
Pengusaha 1.411 4,01
Buruh Bangunan 1.623 4,61
Pengangkutan 1.291 3,67
PNS 371 1,05
ABRI 56 0,16
Pensiunan 165 0,47
Peternak 896 2,55
Lain-lain 7.346 20,87
Jumlah 35.205 100,00
Sumber : Kantor Camat Bagan Sinembah, 2012
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk di
Kecamatan Bagan Sinembah adalah petani (62,34%), kemudian diikuti dengan
lain-lain (20,87%), buruh bangunan (4,61%), pengusaha (4,01%), pengangkutan
(3,67%), peternak (2,55%), PNS (1,05%), pensiunan (0,47%), pengrajin (0,28%),
dan ABRI (0,16%).
4.4 Penggunaan Lahan
Kecamatan Bagan Sinembah memiliki lahan seluas ± 139.189 Ha. Mayoritas
lahan dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit baik perkebunan besar
maupun perkebunan rakyat dengan total luasan 103.695 Ha, perkebunan karet
3.961 Ha, hutan 350 Ha, sawah 67,25 Ha, dan sisanya digunakan untuk keperluan
umum-sosial dan sebagainya.
4.5 Karakteristik Sampel
Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi umur petani sampel, tingkat
Tabel 6. Karakteristik Petani dan Usahatani Sampel
No. Uraian Rentang Rataan
A. Petani
1 Umur Petani Sampel (Tahun) 26 - 61 46,81
2 Tingkat Pendidikan (Tahun) 6 - 18 12,84
3 Jumlah Tanggungan (Jiwa) 1 - 8 4,21
4 Pengalaman Bertani (Tahun) 4 - 47 14,95
B. Usahatani
1 Luas Lahan 2-100 12,66
2 Produksi 1.695.308 – 0 192.937,21
3 Produktivitas 25.967 – 0 14.633,37
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1
Dari tabel 6 yang disajikan, diketahui bahwa umur petani sampel di daerah
penelitian berkisar antara 26-61 tahun dengan rataan 46,81 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata petani sampel masih berada di umur produktif
sehingga masih mampu mengelola usahataninya dengan baik. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa mayoritas petani pemilik mengupahkan tenaga kerja luar
keluarga untuk mengerjakan kegiatan budidaya mulai dari pembibitan hingga
pemanenan. Hal ini dilakukan mengingat pekerjaan tersebut cukup berat jika
dikerjakan sendirian oleh petani sampel tersebut.
Rata-rata tingkat pendidikan petani sampel di daerah penelitian adalah 12,45 atau
setara dengan telah melewati jenjang SMA. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
tingkat pendidikan petani sampel sudah tergolong cukup baik. Jumlah tanggungan
petani sampel di daerah penelitian berkisar antara 1- 8 0rang dengan rataan 4,21
orang. Hal ini menunjukkan jumlah tanggungan para petani sampel tergolong
tinggi.
Pengalaman bertani petani sampel di daerah penelitian berkisar antara 4-47 tahun,
dengan rataan 14,95 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman bertani para
petani sampel memang telah mengusahakan kelapa sawit sejak lama, namun
sebagian lainnya masih mulai merintis usaha tersebut.
Rata-rata luas lahan petani sampel adalah 12,66 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa
petani sampel termasuk petani yang memiliki lahan cukup luas untuk
mengusahakan kebun kelapa sawit.
Jumlah hasil panen Tandan Buah Segar (TBS) petani sampel bervariasi hal ini
disebabkan oleh luas lahan yang diusahakan bervariasi dan pola pemeliharaan
yang berbeda pada tiap petani sampel. Rataan produksi TBS di daerah penelitian
adalah sekitar 192.795,18 kg/Tahun dengan rata-rata produktivitas
14.633,37kg/Ha/Tahun atau sekitar 1.219,6 kg/Ha/bulan. Jika dibandingkan
dengan data Badan Pusat Statistik 2011 yang disajikan pada tabel 2 yang
menunjukkan bahwa rata – rata produktivitas kelapa sawit rakyat di Kecamatan
Bagan Sinembah sebesar 3.570 kg/Ha/Bulan, maka produktivitas kelapa sawit
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penerapan Teknik Budidaya Kelapa Sawit Rakyat
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel di lapangan pembukaan lahan
oleh petani rakyat adalah dengan cara membakar ataupun menebang pohon yang
mengganggu serta membersihkan tunggul-tunggul, sisa-sisa tanaman rumput, dan
alang-alang. Beiringan dengan itu dilakukan upaya pengadaan bibit. Pengadaan
bibit oleh petani rakyat umumnya adalah dengan cara membeli benih dan bibit
liar, walaupun ada pula yang mebeli benih dan bibit yang bersertifikat. Di dalam
pembibitan benih di bibitkan selama 1 tahun sebelum di pindahkan ke lahan milik
petani sampel.
Tahapan selanjutnya adalah penanaman. Awalnya dilakukan pemancangan untuk
menentukan jarak tanam yang sesuai sesuai dengan lahan yang tersedia dan
kemudian di buatlah lubang tanam. Untuk perkebunan rakyat biasanya tanaman
ditanam dengan jarak 8 m antar pokok dengan mengarah pada sistem mata lima
walaupun aktual di lapangan sistem mata lima yang dilakukan masyarakat belum
sempurna.
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pemeliharan. Pemeliharaan tanaman
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lingkungan tumbuh optimal bagi
tercapainya pertumbuhan dan produksi optimal tanaman yang dibudidayakan.
Pemeliharaan tanaman sesuai dengan standar merupakan persyaratan mutlak
untuk menjamin tanaman tumbuh dengan baik dan berproduksi optimal dan
Kegiatan yang perlu dilakukan di dalam pemeliharaan untuk tanaman belum
menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) berbeda. Pemeliharaan
tanaman kelapa sawit rakyat yang belum menghasilkan (TBM) milik petani
sampel umumnya tidak didampingi oleh tanaman penutup tanah. Pemeliharaan
TBM meliputi penyisipan, pemupukan, pembabatan, penyemprotan, perawatan
piringan, pembukaan pasar kontrol dan pasar pikul, serta kastrasi.
Penyisipan dilakukan apabila ada bibit yang mati setelah ditanam di lapangan.
Oleh petani rakyat, penyisipan kadang kala tidak langsung dilakukan mengingat
terbatasnya bibit yang dimiliki dan modal petani yang relatif kecil, sehingga
dalam satu areal lahan kelapa sawit rakyat kadang ditemukan umur tanaman yang
tidak merata.
Pemupukan merupakan salah satu tindakan pemeliharaan tanaman yang
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemupukan
bertujuan menambah ketersediaan unsur hara di dalam tanah terutama agar
tanaman dapat menyerap sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, agar efisien
dan efektif di perlukan prinsip lima tepat, yaitu tepat waktu, tepat jenis, tepat
dosis, tepat cara, dan tepat tempat. Untuk TBM umumnya petani sampel di daerah
penelitian menggunakan jenis dan dosis pupuk yang beragam. Sedangkan untuk
waktu pemupukan dilakukan 2-3 kali dalam setahun.
Pembabatan untuk TBM oleh petani sampel umumnya dilakukan 2 kali dalam
setahun untuk mencegah tingginya gulma seperti ilalang dan anakan kayu.
Kadang petani sampel juga melakukan penyemprotan untuk mengatasi gulma
Perawatan piringan, pembukaan pasar kontrol dan pasar pikul, serta kastrasi
umumnya dilakukan oleh tenga kerja luar keluarga. Perawatan piringan dilakukan
sejak umur tanaman 2 tahun. Kastrasi dilakukan ketika tanaman berumur 5 tahun,
TBM dikastrasi sekaligus dengan dilakukannya pembukaan pasar kontrol dan
pasar pikul.
Pemeliharaan yang dilakukan petani sampel untuk tanaman kelapa sawit yang
sudah menghasilkan (TM), meliputi: pemupukan, penunasan/prunning, perawatan
piringan, pembabatan dan penyemprotan. Pemupukan tanaman kelapa sawit oleh
petani sampel relatif beragam baik dosis maupun jenis pupuknya. Beragamnya
jenis, dosis, waktu dan cara pemberian pupuk disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain karena harga yang relatif lebih mahal dan pembelian pupuk oleh petani
tergantung pada uang yang dimiliki saat itu.
Keseluruhan kegiatan pemeliharaan umumnya dilakukan oleh tenaga luar
keluarga. Penunasan/pruning dilakukan sekali dalam setahun dengan upah yang
berbeda sesuai dengan lokasi lahan dan umur tanamannya. Perawatan piringan
dilakukan untuk memudahkan dilakukannnya pemupukan dan panen.
Pembabataan dilakukan untuk mengatasi gulma yang ada. Pembabatan dapat
dibantu dengan penyemprotan herbisida. Penyemprotan dilakukan untuk
mengatasi tanaman pengganggu, dan juga hama penyakit. Dosis penyemprotan
tiap petani sampel beragam tergantung dari kondisi di lapangan.
Tanaman kelapa sawit rakyat mulai berbunga dan membentuk buah setelah
tanaman umur 4 tahun. Perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia pada
menggunakan rotasi panen 10 hari dan 14 hari. Proses pemanenan pada tanaman
kelapa sawit rakyat meliputi pekerjaan memotong tandan buah masak, memungut
berondolan, dan mengangkutnya ke tempat pengumpulan hasil (TPH). Proses
penjualan TBS milik petani sampel ada beberapa cara, yaitu: pedagang datang
membeli langsung ke lahan kelapa sawit milik petani sampel, petani sampel yang
menjualnya langsung ke pedagang besar (sering disebut ‘ram’), dan ada pula yang
langsung membawanya ke pabrik kelapa sawit terdekat.
5.2 Biaya Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
Analisis finansial merupakan analisis kelayakan yang dilihat dari sudut pandang
petani sebagai pemilik, dengan memperhatikan segi cash-flow perbandingan
antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah
biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria
kelayakan atau keuntungan suatu proyek (Soekartawi, 1995).
Analisis finansial didasarkan pada keadaan yang sebenarnya dengan
menggunakan data harga yang sebenarnya ditemukan dilapangan (real price).
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan di dalam
usaha perkebunan kelapa sawit rakyat, yang akan digunakan untuk menganalisis
kelayakan usaha ini dari sisi finansial dengan menggunakan data harga yang
ditemukan dilapangan. Biaya produksi atau biaya total adalah keseluruhan biaya
yang dikeluarkan petani selama proses produksi berlangsung, baik biaya tetap
maupun biaya variabel. Berikut ini akan dijelaskan tiap komponen biaya produksi
5.2.1 Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang relatif jumlahnya dan akan terus dikeluarkan
walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Biaya tetap yang
diperhitungkan di usaha perkebunan kelapa sawit rakyat adalah biaya penyusutan.
Biaya penyusutan adalah besar biaya modal yang hilang untuk suatu peralatan
yang disebabkan umur pemakaian. Berikut disajikan biaya penyusutan rata-rata
per tahun menurut umur tanaman.
Tabel 8. Biaya Penyusutan Rata-Rata Menurut Umur Tanaman Per Tahun
Umur Tanaman (Tahun) Biaya Penyusutan Rata-Rata (Rp/Ha)
0 195.691
1 79.889
2 143.875
3 139.089
4 53.497
5 177.706
6 154.597
7 130.154
8 281.810
9 256.079
10 345.003
11 191.200
12 219.700
13 169.291
14 105.861
15 248.629
16 121.631
17 71.049
18 162.977
19 166.667
20 189.378
21 85.490
22 102.686
23 81.435
24 71.761
25 236.139
Pada tabel 8 yang disajikan di atas, diketahui bahwa biaya penyusutan rata-rata
per umur tanaman bervariasi. Hal ini disebabkan bervariasinya jumlah peralatan
milik petani sampel dan untuk satu jenis alat ada berbagai merk mulai dari dalam
negeri hingga produksi luar negeri sehingga harga beli alat bervariasi.
5.2.2 Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang
diperoleh. Pada usaha perkebunan kelapa sawit rakyat, biaya variabel yang
diperhitungkan adalah total dari biaya penggunaan sarana produksi (saprodi) dan
biaya tenaga kerja. Dimana biaya saprodi merupakan akumulasi dari biaya bibit,
pupuk, dan obat-obatan.
Pada umur tanaman 0-1 tahun biaya saprodi yang dikeluarkan adalah biaya bibit,
pupuk, dan obat-obatan. Pada tanaman umur 2 tahun hingga 25 tahun, biaya saprodi
yang dikeluarkan adalah biaya pupuk dan biaya obat-obatan. Untuk biaya tenaga
kerja akan dibahas selanjutnya. Berikut disajikan biaya saprodi rata-rata per tahun
Tabel 9. Biaya Saprodi Rata-Rata Menurut Umur Tanaman Per Tahun
Umur Tanaman (Tahun) Biaya Saprodi Rata-Rata (Rp/Ha)
0 862.031
1 3.093.000
2 1.247.583
3 1.955.000
4 2.309.479
5 5.468.333
6 4.251.500
7 5.446.389
8 7.633.224
9 4.449.267
10 8.154.819
11 8.404.467
12 4.766.689
13 5.130.169
14 8.768.583
15 6.729.211
16 7.473.958
17 3.862.813
18 5.187.583
19 6.308.042
20 9.573.083
21 8.874.785
22 5.077.972
23 5.929.945
24 5.485.136
25 6.249.167
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 6
Dari tabel 9 yang disajikan diatas dapat diketahui, bahwa biaya saprodi rata-rata
tanaman 0 tahun lebih kecil dari pada tanaman 1 tahun, hal ini disebabkan karena
sampel petani yang di peroleh pada tanaman 0 tahun mengusahakan tanamannya
mulai dari kecambah, sedangkan petani sampel di umur 1 tahun membeli bibit
siap tanam. Perbedaan harga kecambah dan harga bibit siap tanam yang cukup
tinggi menyebabkan perbedaan rata-rata biaya produksi di umur ini cukup
mencolok.
Selanjutnya, biaya saprodi mulai jauh meningkat sejak umur 5 tahun, hal ini
intens dilakukan oleh petani sampel karena dirasa sudah mulai memberi
pemasukan, seperti peningkatan dosis pupuk.
Pada umur 22-25 tahun, terjadi penurunan biaya saprodi yang cukup mencolok.
Hal ini disebabkan pemberian perawatan sudah mulai dikurangi mengingat hasil
produksi pada umur tersebut sudah mulai berkurang dan juga penggunaan
obat-obatan seperti herbisida yang sudah sangat minim diaplikasikan mengingat
tanaman kelapa sawit yang sudah tinggi, sehingga jarang ditemui tanaman
pengganggu disekitarnya.
Tenaga kerja merupakan usaha fisik atau mental yang dikeluarkan karyawan
untuk mengolah suatu produk. Biaya tenaga kerja adalah harga yang dibebankan
untuk penggunaan tenaga kerja manusia tersebut. Biaya tenaga kerja merupakan
salah satu komponen biaya penyusun biaya variabel.
Tenaga kerja yang digunakan di dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat di
daerah penelitian umumnya adalah tenaga kerja luar keluarga. Hal ini dikarenakan
kegiatan budidaya tersebut berat untuk dilakukan oleh seorang diri dan juga
dikarenakan kebanyakan petani memiliki areal usaha tani yang berjauhan dari
rumahnya sehingga sulit bagi petani pemilik untuk setiap harinya mengontrol
kebun miliknya.
Ada dua jenis pola penggunaan tenaga kerja di daerah penelitian. Yang pertama,
sistem borongan dimana tenaga kerja luar keluarga itu hanya dibayar ketika ia
melalukan suatu pekerjaan yang dhitung menurut sistem upahan yang berlaku di
tersebut ditambah dengan upah panen (premi panen) yang diperolehnya per
kilogram hasil panen. Dalam kenyataannya sering sekali petani pemilik
mengeluhkan penggunaan tenaga kerja dengan pola kedua.
Untuk sampel tanaman 0 - 1 tahun, biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah biaya
pembibitan, persiapan lahan, penanaman, dan biaya perawatan dengan sistem tenaga
kerja borongan yakni biaya pemupukan dan biaya penyemprotan.
Untuk sampel tanaman 2-3 tahun, biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah biaya
perawatan seperti pemupukan, pemiringan, penyemprotan, dan pembabatan. Untuk
sampel tanaman 4 tahun biaya tenaga yang dikeluarkan mulai ditambah dengan biaya
panen dan pasca panen. Biaya panen yang berlaku di daerah penelitian sekitar
Rp100,- / kg dari total hasil panen. Biaya pasca panen yang dikeluarkan adalah biaya
transportasi yang juga sekitar Rp 60.- sampai dengan 100,- / kg dari total hasil panen.
Namun, adapula petani sampel yang tidak mengeluarkan biaya transportasi ini,
karena pedagang (toke) datang membeli TBS langsung ke lokasi kebun kelapa sawit
petani sampel.
Pada tanaman umur 5 tahun, biaya tenaga kerja untuk pruning/penunasan mulai
ditambahkan ke dalam keseluruhan biaya tenga kerja yang akan dilakukan di setiap
umur tanaman selanjutnya.
Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan dari tanaman umur 5-25 tahun adalah biaya
pemupukan, pruning, perawatan piringan, penyemprotran, pembabatan, serta biaya
panen dan pasca panen. Namun tidak semua kegiatan pemeliharaan di atas dilakukan
oleh setiap petani sampel, seperti biaya pemiringan, penyemprotan, dan pembabatan,
kurangnya modal yang ia miliki. Oleh sebab itu, untuk menghitung biaya tenaga kerja
di dalam biaya variabel digunakanlah biaya tenaga kerja rata-rata. Berikut disajikan
biaya tenaga kerja rata-rata per tahun menurut umur tanaman.
Tabel 10. Biaya Tenaga Kerja Rata-Rata Menurut Umur Tanaman Per Tahun
Umur Tanaman (Tahun) Biaya Tenaga Kerja Rata-Rata (Rp/Ha)
0 2.861.504
1 3.406.490
2 1.463.333
3 1.548.983
4 1.737.489
5 3.303.183
6 3.499.833
7 4.539.444
8 4.490.034
9 6.251.587
10 6.652.167
11 4.704.956
12 6.050.567
13 6.585.369
14 4.753.056
15 4.850.617
16 5.525.333
17 6.249.983
18 4.617.426
19 5.423.650
20 4.327.625
21 3.766.130
22 3.797.131
23 3.960.783
24 4.305.389
25 3.518.833
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 7
Pada tanaman umur ke-0 dan 1 rata-rata biaya tenaga kerja lebih tingggi
dibanding rata-rata biaya tenaga kerja tanaman umur ke-2 hingga 4 tahun,hal ini
disebabkan karena pada tananaman 0 dan 1 tahun terdapat biaya pembibitan,
persiapan lahan dan penanaman yang tidak ada pada tanaman 2 tahun. Pada