• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 The Columbia Encyclopedia, Yoshida Shigeru (online), 2013,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 The Columbia Encyclopedia, Yoshida Shigeru (online), 2013,"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekalahan dari Sekutu dalam Perang Dunia II membuat Jepang harus rela menjadi negara yang tidak memiliki militer aktif seperti yang tertulis di dalam perjanjian San Fransisco pada tahun 1951, pasal dari konstitusi Jepang yang mengatur tentang militer dihapuskan dan Jepang harus menghindari benturan jika ikut dalam pembahasan masalah keamanan. Hal ini kemudian membuat keamanan Jepang hanya bisa berada di dalam bayang-bayang perlindungan Amerika Serikat. Setelah Amerika Serikat menjalankan perannya membangun kembali Jepang, Jepang berhasil menjadi kekuatan ekonomi terkuat kedua di dunia. Kestabilan ekonomi regional dan internasional serta perlindungan keamanan wilayah membuat Jepang sedikit lega, dengan situasi tersebut muncullah Doktrin Yoshida yang merupakan kebijakan dari PM Yoshida Shigeru yang memfokuskan pertumbuhan ekspor Jepang yang harus terus meningkat dan selalu mengambil

sikap yang sama dengan sekutunya, Amerika Serikat.1 Hal tersebut mempertegas

posisi Jepang sebagai negara yang ikut berkepentingan menjaga perdamaian dunia walaupun tanpa militer aktif, tapi dengan bantuan kekuatan ekonomi yang superior.

Saat ini, lebih dari 50 tahun setelah Perjanjian San Fransisco, situasi keamanan dunia telah mengalami perubahan keadaan yang signifikan. Asia bagian timur, mengalami satu perubahan yang menjadi sorotan saat ini, perkembangan keamanan yang jika tidak ditangani dengan tepat kaan memicu konflik yang besar. Salah satu negara yang menyebabkan perubahan itu adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar saat ini, Tiongkok. Mengalami masa-masa kelam selama Perang Dunia II, di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok,

1The Columbia Encyclopedia, Yoshida Shigeru (online), 2013, <http://www.encyclopedia.com/topic/Shigeru_Yoshida.aspx#2>, diakses 13 Maret 2014

2

(2)

Tiongkok mulai meningkatkan kekuatannya seperti bisa dilihat dalam sengketa kepulauan Senkaku/Diaoyu dengan Jepang, Tiongkok bersikap sangat tegas bahkan cenderung provokatif, tidak hanya sampai di situ, konflik antara dua Korea juga membuat suhu keamanan di kawasan ini semakin panas. Dua Korea ini sempat terlibat insiden saling membalas tembakan pada tahun 2010 di area pulau Yeonpyeong yang menyebabkan tewasnya 2 orang perwira angkatan laut

Korea Selatan dan melukai beberapa warga penghuni pulau tersebut.2 Kemudian

Korea Utara beberapa kali melakukan percobaan rudal balistik ke arah laut Jepang. Keadaan yang semakin memburuk di wilayah sekitar Jepang dapat mengganggu kepentingan nasional Jepang, dapat dikatakan seluruh negara tetangga terdekat Jepang berada dalam keadaan siaga dan saling menaruh kecurigaan satu sama lainnya.

Keadaan yang memanas serta Jepang yang tidak bisa memiliki militer aktif membuat Jepang harus membuat kebijakan yang tepat agar keamanan negaranya tetap terjaga. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan adalah pembentukan

Japanese National Security Council (NSC) yang akan membuat pengambilan

kebijakan keamanan menjadi lebih cepat dan akurat.3 Setelah itu disusul dengan

kebijakan National Security Strategy (NSS) yang merupakan stretegi kemanan

komprehensif pertama dalam sejarah pertahanan Jepang setelah Perang Dunia II.

NSS diresmikan oleh kabinet bersamaan dengan National Defense Program

Guidelines (NDPG).

Langkah ini menunjukkan bahwa Jepang tetap mengumpulkan seluruh sumber daya yang ada untuk mengamankan kepentingan nasionalnya dari perkembangan keamanan di Asia Timur, Jepang belum siap untuk memberikan

status ‘pemimpin’ regional kepada para negara tetangga, khususnya Tiongkok.4

2 BBC News, North Korean artillery hits South Korean island (online), 2010, <http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-11818005>, diakses 21 April 2014

3J.B. Miller, ‘How Will Japan’s New NSC Work?’, The Diplomat Magazine (online), 29 January 2014, <http://thediplomat.com/2014/01/how-will-japans-new-nsc-work/>, diakses 12 Maret 2014.

4 C.W. Hughes, ‘Japan’s Response to China’s Rise: Regional Engagement, Global Containment, Danger of Collision’, The University of Warwick (online), 2009, <

http://wrap.warwick.ac.uk/1014/1/WRAP_Hughes_9871481-080709-japans_response_to_chinas_rise_international_affairs.pdf>, diakses 13 Maret 2014.

3

(3)

Dokumen NSS juga menyebutkan bahwa, “Tiongkok berusaha merubah status quo dengan cara-cara yang koersif yang berdasarkan pendapat mereka sendiri dan tidak sesuai dengan hukum internasional, baik itu di laut maupun udara, termasuk

kegiatan mereka di Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan”.5 Selain itu,

Jepang memang tidak menyukai konsep hegemoni di Asia, karena Jepang hanya memiliki kekuatan ekonomi yang lebih matang dari negara Asia lain, bukan kekuatan militer yang bisa digunakan untuk menekan negara lain yang bisa memicu konflik.

Dengan keadaan Amerika Serikat yang kekuatannya tersedot ke dalam konflik-konflik di seluruh dunia, para pembuat kebijakan di Jepang beranggapan bahwa inilah saatnya Jepang bisa memiliki sistem pertahanan yang lebih

independen namun tetap bersekutu dengan Amerika Serikat.6 Walaupun berusaha

untuk memiliki sistem pertahanan yang independen, Jepang juga tidak bisa melakukan hal itu sendirian, Jepang memerlukan mitra strategis untuk bisa mempertahankan wilayahnya dan berusaha meredam panasnya suasana. Salah satu negara yang sangat dekat dengan Jepang saat ini adalah India, negara dengan populasi penduduk 1.2 miliar orang ini dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan intensitas kerjasama keamanan dengan Jepang.

India oleh para pengamat dipercaya akan menjadi salah satu kekuatan dunia dan bisa berdiri sejajar dengan Tiongkok dan Amerika Serikat. India juga terletak di jalur strategis perdagangan dunia, Jepang dalam keadaan seperti ini harus mengamankan suplai barang-barang impor yang melewati samudra Hindia, hal yang sama juga dialami India, kerjasama di segala bidang menjadi pilihan

utama Jepang dalam hubungan bilateral dengan India.7 Kedekatan keduanya juga

disebabkan oleh latar belakang kesamaan permasalahan territorial dengan Tiongkok. Tiongkok mengklaim dua wilayah provinsi di utara India di sekitar Pegunungan Himalaya sebagai wilayahnya yang membuat India meningkatkan

5 Prime Minister of Japan and His Cabinet, National Security Strategy (Provisional Translation), 17 December 2013, p. 12.

6 D. Hayes, Japan Toothless Tiger, 2nd edn, Tuttle Publishing, Singapore, 2013, p. 31.

7 Prime Minister of Japan and His Cabinet, National Security Strategy (Provisional Translation), 17 December 2013, p. 24.

4

(4)

jumlah pasukan kemanan di perbatasan. Sedangkan Jepang memiliki sengketa wilayah kepulauan Senkaku yang sangat panas dengan Tiongkok.

Hubungan kedua negara ini sedang berada dalam masa-masa yang sangat baik, kenaikan signifikan dalam hubungan kedua negara adalah latihan bersama

armada laut kedua negara di Samudera Hindia.8 Walaupun masih mengajak mitra

latihan dari negara lain, latihan ini sudah cuup membuktikan kedekatan antara kedua negara. Kedua negara bahkan telah membicarakan tentang pertukaran teknologi dan jual beli persenjataan, jika kemudian usaha untuk melonggarkan ekspor senjata Jepang berhasil dilakukan. Perubahan kebijakan kemanan ini membuat Jepang bisa lebih leluasa menarik kekuatan dari negara lain untuk bisa ikut berpartisipasi membawa ketenangan dan kedamaian kembali di Asia Timur.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan pertahanan Jepang dalam merespon perkembangan

situasi keamanan di Asia Timur?

2. Mengapa Jepang menjadikan India sebagai mitra dalam peningkatan

kerjasama keamanan?

C. Landasan Konseptual a. Absolute Pacifism

Pasifisme secara umum merupakan teori yang melarang kekerasan,

pembunuhan dan menentang adanya perang.9 Namun, dalam

perkembangannya teori ini dibagi menjadi beberapa bagian, salah satunya

pasifisme absolut. Pasifisme absolut atau absolute pacifism ini terinspirasi

dari gerakan anti kekerasan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dan para pengikutnya serta dari ajaran Kristiani. Pasifisme absolut memiliki

8 Kyodo News International, Japan’s MSDF, Indian Navy Hold First Joint Exercise in Indian Ocean (online), 2013, < http://www.globalpost.com/dispatch/news/kyodo-news-international/131221/japans-msdf-indian-navy-hold-1st-joint-exercise-indian>, diakses 21 April 2014

9 M. Kohl, ‘Towards Understanding the Pragmatics of Absolute Pacifism,’ K.H. Klein dan J.C. Kunkel (eds.), In the Interest of Peace: A Spectrum of Philosophic Views, Longwood Academic, New Hampshire, 1990, p. 227.

5

(5)

sebuah prinsip bahwa kekerasan dan perang harus dihindari bahkan dihapuskan dari satu pertimbangan kebijakan untuk membuat keadaan

yang damai.10 Tindakan yang anti-kekerasan memang bisa membawa

banyak korban, tapi para penganut pasifisme absolut tetap meyakini bahwa jalan tanpa kekerasan adalah yang terbaik, mereka memiliki pandangan yang berdasar pada nilai etika dan moral. Jadi, bisa disimpulkan bahwa pasifisme absolut ini menolak perang dan pernyataan dari perang itu sendiri.

Pasifisme absolut ini oleh beberapa pakar dianggap sangat utopis, namun hal ini bisa dipraktekkan oleh satu negara karena telah dijadikan salah satu pandangan politik di Eropa. Pasifisme di Jepang cukup berbeda dengan di Eropa, pasifisme di Jepang bisa dikatakan sebagai pengakuan sebagai korban perang yang memiliki trauma mendalam atas akibat dari perang dan bom atom yang membuat masyarakat Jepang memiliki pandangan kolektif untuk menghindari hal tersebut terjadi lagi di masa

depan.11

Kekalahan telak di Perang Dunia II memaksa konstitusi Jepang untuk menganut paham pasifisme dan berdasarkan perdamaian. Pasifisme memiliki cara pandang yang dianggap tepat dalam hal usaha menjaga perdamaian dunia dan hal itu membuat konstitusi Jepang menganut paham pasifisme yang absolut. Salah satu pasal dalam konstitusi Jepang, pasal 9, menyatakan dengan tegas tentang pasifisme yang menyatakan bahwa rakyat Jepang meninggalkan perang sebagai hak negaranya yang membuat

Jepang tidak bisa memiliki pasukan militer dalam bentuk apapun.12

Penerapan paham pasifisme yang dianut Jepang ini membuat kebijakan luar negeri yang bertumpu pada dua hal, yaitu: Jepang lebih menguatkan diplomasi lewat ekonomi serta menghindari peran dalam konflik

10 M.Kohl, p.236.

11 Y. Cai, ‘The Rise and Decline of Japanese Pacifism,’ New Voices, vol. 2, 2008, p. 182. 12 Prime Minister of Japan and His Cabinet, The Constitution of Japan, 3 May 1947.

6

(6)

internasional, kemudian menyerahkan urusan keamanan regionalnya

kepada Amerika Serikat sebagai sekutu utama.13

Pengalaman buruk menjadi korban bom atom di Perang Dunia II merupakan salah satu dasar rakyat Jepang akhirnya menolak keterlibatan Jepang dalam perang dalam bentuk apapun. Hal tersebut membuktikan bahwa konstitusi pasifis yang dianut oleh Jepang sudah masuk ke dalam dasar pemikiran rakyat, kemudian dalam pengambilan kebijakan haruslah mengandung nilai pasifisme absolut. Jepang dalam hal ini telah diuntungkan dengan kekuatan ekonomi yang mapan dan perlindungan Amerika Serikat. Jepang dalam pergaulan internasional dapat bergaul dengan bebas namun menjadi garda terdepan dalam hal menentang perang dan pandangan anti-militerisme. Pasifisme yang absolut dengan tegas melarang bahwa perang merupakan tindakan yang tidak bermoral dan akan mengganggu perdamaian dunia. Jadi, Jepang harus membuat kebijakan yang tidak bisa menyimpang dari paham tersebut karena pasifisme absolut yang diamanatkan konstitusi Jepang merupakan identitas Jepang pasca perang yang bisa menyebabkan perlawanan dari rakyat jika tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Jepang masih memiliki beberapa opsi dalam merespon situasi keamanan di Asia Timur, opsi dari pasifisme absolut berusaha untuk tetap menjaga keadaan Jepang agar tidak terpancing dalam konflik yang lebih tajam di dalam wilayahnya sendiri. Respon yang ditawarkan pasifisme absolut adalah Jepang benar-benar membubarkan pasukan pertahanan diri yang dimiliki saat ini, karena

dengan secara de facto pasukan tersebut merupakan kekuatan militer yang

walaupun terbatas secara fungsi tetap saja melanggar konstitusi. Jika dibubarkan, Jepang harus kembali fokus untuk meningkatkan perekonomian yang saat ini telah dilampaui oleh Tiongkok.

13 P. Midford, ‘Japan's Leadership Role in East Asian Security Multilateralism: The Nakayama Proposal and the Logic of Reassurance,’ Pacific Review, vol. 13, no. 3, 2000, p.370.

7

(7)

b. Contingent Pacifism

Salah satu pecahan dari pasifisme adalah pasifisme yang kondisional

atau bisa disebut contingent pacifism. Dalam pandangan contingent

pacifism, perang bukanlah sesuatu hal yang dilarang, pembunuhan orang tak bersalah dalam perang pada prinsipnya secara moral dibenarkan, namun skala pembunuhan yang ada terlalu besar untuk ditangani para

penentangnya.14 Menurut Larry May, penganut contingent pacifism tidak

selalu menentang seluruh perang yang pernah terjadi, karena melihat dari pengalaman bahwa situasi bisa saja berubah secara radikal pada suatu waktu di masa yang akan datang dan dengan cara radikal yang tidak bisa

kita antisipasi, hal ini yang membuat contingent pacifism tidak

mengharamkan perang tapi tetap berjalan di jalan pasifisme sebagai paham

dasar yang mereka anut.15 Jadi, bisa disimpulkan contingent pacifism

tidak melarang adanya perang dan tetap membawa misi bahwa jalan tanpa kekerasan tetap diusahakan namun tetap melihat seluruh opsi yang ada termasuk perang, pasifisme ini lebih memfokuskan pada melihat keadaan serta melihat pengalaman sejarah tentang keadaan perang.

Martin Caedel memiliki pandangan yang hampir sama, pandangannya untuk pasifisisme, yaitu pandangan yang lebih optimistis dari defensifisme dengan tetap memiliki tujuan pokok untuk mencegah perang, tapi menerima fakta bahwa perang merupakan salah satu jalan dalam usaha untuk mencapai perdamaian, teori ini sering dimasukkan dalam bagian

teori pasifisme.16 Melihat dari pernyataan Martin Caedel, kita bisa

mengetahui bahwa pasifis tidak selamanya harus menjadi pihak yang pasif dan selalu menghindar. Walaupun, pasifisme berusaha untuk mencegah perang dan lebih memilih jalan yang damai dalam penyelesaian konflik. Pasifisme kontingen atau realistis berbeda dengan absolut, pasifisme ini

14 J. McMahan, ‘Pacifism and Moral Theory,’ Diametros, vol. 23, Maret 2010, p. 45.

15 L. May, ‘Selective, Refusal, Contingent Pacifism, and International Legal Theory,’ makalah untuk General Aspects of Law, University of California Berkeley, 20 April 2012, p.26.

16 M. Ceadel, Pacifism in Britain, 1914-45: The Defining of a Faith, Clarendon Press, Oxford, 1980, pp. 3-5.

8

(8)

memiliki penilaian tersendiri terhadap perang serta tidak menggeneralisasi peperangan.

Pandangan pasifisme kontingen ini sejalan dengan pemikiran yang dilontarkan oleh PM Shinzo Abe yang ingin menjadikan Jepang menjadi negara pasifis yang proaktif. Jika menjadi pasifisme yang lebih proaktif seperti yang dinyatakan oleh Shinzo Abe, Jepang akan memiliki opsi bisa dengan leluasa memilih jalannya sebagai suatu negara dalam usaha aktif untuk menjaga perdamaian, khususnya di Asia Timur. Keadaan yang seperti ini memungkinkan Jepang untuk menjalin aliansi dengan mitra strategis selain Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena Jepang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk bertahan sendiri untuk saat ini dan porsi untuk Jepang lebih banyak dalam hal menjaga perdamaian di Asia Timur yang saat ini sedang menghangat. Opsi kebijakan pertahanan dalam pasifisme kontingen ini bisa merepresentasikan keadaan Jepang saat ini yang menganut pasifisme namun memiliki pasukan pertahanan khusus

atau secara de facto kekuatan militer terbatas.

c. Normal State

Jepang dalam perpolitikan di dunia merupakan negara maju yang dikatakan ‘tidak normal’, karena dipaksa untuk tidak bisa memiliki serta mengembangkan kekuatan militer aktif karena kekalahannya dalam Perang Dunia II. Paham pasifisme yang ada dalam konstitusinya membuat Jepang menjadi sangat pasif dalam menanggapi isu-isu keamanan, bahkan cenderung untuk tidak terlalu banyak terlibat di dalamnya. Jika terjadi perubahan struktur kebijakan keamanannya saat ini, Jepang dianggap

sedang menuju arah menjadi negara yang ‘normal’. Konsep Normal State

ini merupakan bahasan yang tidak pernah hilang dalam hubungan internasional. Suatu negara dikatakan normal memiliki banyak variabel, satu negara dianggap normal jika melakukan pencarian kekuatan, mencari sekutu, ikut dalam usaha perdamaian, kemudian penggunaan kekuatan

(9)

militer aktif yang sedikit koersif juga bisa dikatakan normal dalam

perpolitikan internasional.17

Kekuatan militer merupakan bahasan yang utama dari konsep normal

state, karena suatu negara harus memiliki kekuatan militer aktif yang bisa dipakai untuk keperluan defensif dan ofensif. Kekuatan militer juga akan menentukan posisi satu negara di dalam pergaulan internasional. Kemudian, menjadi negara normal membuat suatu negara lebih berperan dalam menjaga kestabilan internasional, karena jika menghindari suatu masalah atau konflik, bukan tidak mungkin mereka akan dikucilkan oleh yang lain karena dianggap tidak peduli. Variabel kekuatan militer ini dimiliki oleh seluruh negara tetangga terdekat Jepang. Oleh karena itu, Jepang berusaha untuk menjadi negara ‘normal’ untuk bisa mengimbangi kekuatan di regional. Bagi Jepang, menjadi negara yang normal adalah menjadi negara yang lebih independen dalam segala bidang termasuk militer dan pertahanan, Jepang saat ini seperti yang kita ketahui hanya bisa melakukan diplomasi lewat kekuatan ekonominya yang superior, sedangkan peran Jepang dalam politik internasional masih berada di bawah bayang-bayang Amerika Serikat.

Keadaan Jepang yang bisa menjadi normal akan memberi Jepang opsi bisa memadukan diplomasi lewat ekonomi serta politik serta militer, jadi tidak harus terus menerus menghabiskan anggaran untuk memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara lain dan tidak perlu takut lagi dalam mengambil sikap yang lebih agresif dalam isu-isu keamanan dunia. Perpaduan kekuatan yang bisa dilakukan Jepang dalam menjaga posisinya bisa memberi kestabilan dan kecurigaan makin meruncing karena Korea dan Tiongkok menolak keras ide re-militerisasi Jepang. Normalisasi Jepang merupakan opsi yang cukup berbahaya jika dikaitkan dengan keadaan Asia Timur saat ini dan sejarah kelam yang pernah terjadi di antara mereka saat Perang Dunia II.

17 P.E. Lam, ‘Japan’s Relations with Southeast Asia in The Post-Cold War Era: ‘Abnormal’ No More’, dalam Y. Soeya (eds.), Japan’s as A ‘Normal Country?’: A Nation in Search of Its Place in The World, University of Toronto Press, Toronto, 2011, p. 196.

10

(10)

d. Balance of Power

Politik internasional tidak pernah jauh dari kata persaingan atara dua pihak atau lebih, ini disebabkan oleh keinginan mereka untuk mendominasi serta mengamankan kepetingan nasional mereka. Jika dilihat kembali, persaingan ini akan menciptakan suatu konflik yang bisa mengganggu stabilitas internasional. Kemudian, dalam bukunya, Hans J. Morgenthau menjelaskan konsep dari pertentangan ini bukan menjadi

masalah, konsep balance of power atau perimbangan kekuasaan

merupakan hal yang tidak bisa dihidari dalam satu tatanan sosial, karena dengan adanya dua pihak yang bertentangan ini akan mengembalikan

keadaan sosial menjadi stabil sesuai dengan keadaan semula.18 Konsep ini

merupakan konsep yang sangat berkaitan erat dengan realisme klasik yang menganggap perilaku negara sama seperti manusia yang selalu ingin mendominasi yang lain.

Untuk menganalisa satu keadaan regional atau internasional, konsep ini menyediakan dua lensa analisa yang umum dipakai, yaitu: perlawanan langsung dan persaingan. Pola perlawanan langsung menyatakan bahwa perimbangan kekuasaan yang muncul merupakan murni keinginan kedua

negara untuk saling mengungguli politiknya satu sama lain.19 Hal ini akan

membuat negara tersebut akan berusaha melindungi kemerdekaannya dari negara lain, karena kedua pihak langsung berhadapan satu sama lain dengan segala kebijakannya untuk mengungguli pihak lainnnya. Kemudian, pola persaingan merupakan pola yang melibatkan pihak/negara ketiga yang menjadi instrumen tambahan dari perimbangan kekuasaan karena kestabilan terjadi ketika kedua negara berusaha berebut pengaruh di

negara ketiga, jadi pertentangan keduanya terjadi di negara ketiga.20 Pola

18 H.J. Morgenthau, Politics Among Nations, The Struggle for Power and Peace, edisi Bahasa Indonesia Politik Antar Bangsa, diterjemahkan oleh S. Maimoen; A.M. Fatwan; C. Sudrajat, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, p.200.

19 H.J. Morgenthau, p.206. 20 H.J. Morgenthau, p.207.

11

(11)

ini biasanya terjadi di regional yang memiliki dua negara yang kekuatannya berimbang dan satu negara kecil yang berusaha menjaga kemerdekaannya dari pengaruh kedua negara yang lebih besar.

Perimbangan kekuasaan saat ini terjadi di seluruh belahan dunia, salah satu lokasi terhangat adalah Asia Timur. Saat ini, Tiongkok mulai tumbuh menjadi satu kekuatan besar yang berlaku asertif cenderung koersif terhadap tetangganya di Asia Timur. Amerika Serikat bersama Jepang dulunya merupakan menjadi penyeimbang di kawasan ini, namun saat ini Amerika Serikat mulai kewalahan dan berusaha menggiring Jepang untuk lebih aktif dalam mempertahankan kestabilan wilayahnya sendiri. Hal ini akan memunculkan suatu bentrok kepentingan antara Tiongkok langsung berhadapan dengan Jepang, hal ini didasari oleh pengalaman sejarah keduanya pada saat Perang Dunia II. Saat ini, Jepang sedang gencar meningkatkan kerjasama keamanan dengan India yang oleh banyak pihak merupakan usaha untuk meredam Tiongkok. Maka dari itu Jepang pasti memiliki perhitungan strategis ketika mengambil kebijakan untuk meningkatkan kerjasama keamanan dengan India.

Strategi kerjasama dengan India merupakan pilihan terbaik Jepang saat ini, karena kedekatan keduanya yang telah terjalin sejak lama. India juga merupakan negara yang memiliki kekuatan diplomasi yang cukup unik, karena walaupun memiliki sengketa dengan Tiongkok, mereka masih menjalin hubungan yang baik, selain itu India juga memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat dan Rusia. Jepang bisa memanfaatkan kekuatan diplomasi yang unik dan kekuatan militer India untuk meredam tindakan koersif yang ditunjukkan oleh Tiongkok beberapa tahun belakangan. Perimbangan kekuasaan di Asia Timur sangat dibutuhkan saat

ini agar India bisa melaksanakan Look East Policy dengan lancar dan

Jepang bisa fokus untuk mengembalikan ekonominya yang telah dilampaui oleh Tiongkok.

(12)

D. Argumen Utama

Penulis memiliki argumen yang berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ada, yang pertama adalah situasi keamanan di Asia Timur saat ini memerlukan suatu pendekatan yang tepat dengan keadaan Jepang yang secara militer bergantung pada Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan Jepang berada di keadaan yang cukup rumit, karena Tiongkok sudah tidak ragu lagi menunjukkan kekuatan militernya. Jepang memiliki beberapa opsi respon yang akan didasari

pandangan psifisme absolut, pasifisme kontingen dan normal state, yang

ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Namun, untuk saat ini

Jepang paling tepat menjalankan visi Shinzo Abe yang menyuarakan proactive

pacifism yang sejalan dengan pasifisme kontingen yang membuat Jepang bisa meningkatkan kekuatan pertahanannya.

Kemudian, walaupun dengan adanya peningkatan kekuatan pertahanan, itu saja belum cukup untuk menjaga kestabilan di Asia Timur. Jepang butuh mitra selain Amerika Serikat yang memiliki kemampuan ekonomi militer yang mumpuni, pilihan akhirnya jatuh pada India. India saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi terpandang di dunia dan telah sejak lama memiliki hubungan yang erat dengan Jepang dan juga memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok, masalah yang sama dengan Jepang. Kemampuan perang India sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk meningkatkan kemampuan pasukan pertahanannya.

E. Jangkauan Penelitian

Tinjauan tentang kebijakan pertahanan Jepang dan kerjasama dengan India ini akan dibatasi dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. Dipilih pada tahun 2009 karena merupakan tahun diadakannya pertemuan tingkat tinggi dalam hubungan bilateral kedua negara yang bisa dikatakan menjadi titik tolak dari hubungan kedua negara untuk menjadi lebih kuat dan strategis. Kemudian tahun 2012 karena Shinzo Abe yang sangat nasionalis dan konservatif mulai menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang untuk kedua kali serta langsung melakukan konsolidasi untuk meningkatkan kekuatan keamanan Jepang. Tahun 2012-2013 juga merupakan tahun dilaksanakannya latihan bersama antara angkatan laut India

(13)

dan Jepang di sekitar laut Jepang dan samudera Hindia. Kemudian tahun 2014

adalah tahun dikeluarkannya dokumen National Security Strategy (NSS) yang

pertama dalam sejarah Jepang oleh pemerintah sebagai salah satu respon dari situasi keamanan yang memanas di regional Asia Timur dan suatu awal perubahan Jepang menjadi negara pasifis yang lebih proaktif sesuai dengan pernyataan yang didengungkan oleh PM Shinzo Abe.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi literatur/kajian pustaka. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari beberapa situs resmi yang berkaitan dengan NSS, keamanan dan hubungan kedua negara seperti situs pemerintah Jepang, pemerintah India, situs berita internasional dan situs lain yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari buku atau jurnal ilmiah baik berupa media cetak maupun digital.

Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis akan menggunakan

teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis ini terdiri dari tiga bagian yang berkesinambungan, yaitu reduksi data, organisasi data, dan interpretasi data. Reduksi data meliputi manipulasi, integrasi, transformasi, dan mengambil benang

merah dari data serta meringkas, coding, dan kategorisasi. Organisasi data ialah

mengumpulkan informasi yang terkait dengan tema, mengkategorisasi informasi dalam kelompok yang lebih spesifik, dan menyampaikan hasilnya dalam berbagai bentuk. Sedangkan interpretasi ialah pengambilan keputusan dan mengidentifikasi pola, perkembangan, dan penjelasan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesa, jangkauan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(14)

BAB II berisi tentang situasi keamanan di Asia Timur dan respon dari kebijakan keamanan Jepang, kepentingan India di Asia Timur yang nanti akan menjawab rumusan masalah yang pertama.

BAB III berisi tentang perkembangan hubungan antara India-Jepang serta analisis strategis dari kerjasama keamanan kedua negara yang nanti berusaha menjawab rumusan masalah yang kedua.

BAB IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya perbedaan yang sangat signifikan ini disebabkan karena pembelajaran yang menggunakan peta konsep memiliki kelebihan antara lain: (1) Pemetaan konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diazinon (pestisida) terhadap tingkat keberhasilan larva yang terbentuk dan waktu dari setiap tahap perkembangan

Proses ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo dilakukan dengan menggunakan software ALOS PrismDEM ver. Makoto Ono dari RESTEC {Remote Sensing Tech-.. nology Center

Kesimpulan: Ada hubungan antara pendidikan, pengetahuan, sikap, motivasi, dan sumber informasi dengan praktek penerapan pendidikan kesehatan reproduksi oleh orang

Guru kelas yang bertindak sebagai observer melakukan observasi pelaksanaan siklus 1 mengenai aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru dalam pembelajaran

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepercayaan diri adalah kondisi mental atau psikologis seseorang dan yakin pada kemampuan

Dengan pewarnaan H-E ini dapat diketahui struktur intestinum larva ikan wader pari, yaitu vili intestinalis, kripte intestinalis, dan epitel kolumner selapis yang

Berdasarkan kesimpulan dan data temuan hasil penelitian maka dapat diimplikasikan bahwa (1) penerapan metode simulasi dalam proses pembelajaran IPS memiliki peranan yang berarti