40
PENGEMBANGAN SINTAKS MODEL PEMBELAJARAN FISIKA SUB POKOK BAHASAN SUHU DAN KALOR UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA
I GDE EKA DIRGAYUSSA
Del Institute of Technology, Laguboti, Tobasa, Sumatera Utara
ABSTRACT.
Based on the preliminary study conducted in one of the high schools, 87.5% of respondents stated that physics is an interesting lesson as well as difficult subject and all respondents stated that they have difficulties in understanding and solving physics problems caused by the lack of mastery of the concept. This study was aim to determine the effectiveness of the syntax of learning models designed based on scientific stages to mastery the physics concepts. The syntax of physics learning model developed has five phases: (1) observing the phenomenon/observation to cultivate curiosity; (2) Collect the information / determine the quantity to be measured (independent variables and dependent variables) and create a table of observations; (3) Determining data processing techniques; (4) Interpreting the results of data processing / observation results; and (5) Drawing conclusions. The research design used The One Group Pretest-Posttest Design, with the sample are the students of grade X senior high school. Profile of learning model syntax achievement in each phase is seen from the answer of students answer sheet, while the influence of learning syntax to the improvement of concept mastery seen from the normalized gain value of pretest and posttest result. The results showed that the average of syntax achievement in Phase 1, Phase 2 through Phase 5 was 65.4% (good), 79.6% (good), 61.25% (medium), 71.1 % (Good), and 33.2% (less) respectively. The cognitive aspect that experienced the greatest improvement was the C1 aspect of 0.35 in the medium and the other category (C2-C5) was still in the low category.
KEYWORDS: Syntax of Learning Model, Improved Concept Mastery. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah menengah atas (SMA), fisika memiliki fungsi strategis dalam membangun karakter siswa agar memiliki kemampuan dalam mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis. IPA bukan hanya pemahaman sekumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. (Depdiknas, 2006). Untuk membangun kemampuan tersebut, kurikulum fisika telah dikembangkan oleh Pemerintah untuk memberikan panduan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tentang bagaimana seharusnya sains diajarkan di sekolah. Untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran fisika di sekolah, telah dilakukan studi pendahuluan pada 100 orang siswa pada salah satu sekolah SMA. Hasil studi pendahuluan menujukkan bahwa sebanyak 87,5% responden menyatakan bahwa fisika merupakan pelajaran yang menarik, 87,5% menyatakan pembelajaran fisika sukar dimengerti, dan 100% responden menyatakan bahwa eksperimen yang dilakukan disekolah bersifat membuktikan teori yang sudah diajarkan dan 100% siswa menyatakan mendapatkan kesulitan dalam belajar fisika.
41
Gambar 1. Hasil Studi pendahuluan pendapat siswa tentang pelajaran Fisika
Beberapa alasan yang diungkapkan oleh responden diantaranya adalah kesulitan tersebut berasal dari tidak paham rumus, kurang mengerti materi dan cara menggunakan rumus dalam menyelesaikan masalah. Sekilas data-data tersebut terlihat seperti suatu kontradiksi, fisika sebagai pelajaran yang menarik tapi sekaligus sulit untuk dimengerti. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat bahwa ada suatu proses dalam pembelajaran yang menyebabkan fisika menjadi sukar untuk dimengerti. Proses dalam pembelajaran adalah kata kuncinya. Inilah penyebab mengapa fisika menjadi sukar untuk dimengerti oleh siswa. Alasan kesulitan ini dapat dipahami sebagai akibat dari lemahnya penguasaan konsep fisika, sehingga tidak heran muncul pendapat-pendapat siswa seperti itu. Popov et.al, (2005) mengungkapkan bahwa banyak siswa merasa fisika merupakan terapan matematika yang memiliki hubungan terbatas dengan kehidupan sehari-hari. Fisika membutuhkan matematika khususnya dalam “real physics”, tetapi terkadang matematika digunakan dalam pembelajaran fisika tanpa pengertian yang benar dalam prinsip fisika (Eisenkraft, 2010). Beberapa penelitian yang terkait dengan bagaimana sains diajarkan khususnya fisika berdasarkan proses penemuan yaitu:
Investigation Science Learning Environmet (ISLE) (Etkina et.al, 2006) yang mengembangkan serangkaian
kegiatan laboratorium yang dilakukan oleh siswa sendiri untuk membangun kemampuan saintifik, Outdoor Physics (Popov, 2006) yang dikembangkan untuk memahami fenomena fisika secara langsung melalui kegiatan pengamatan/ eksperimen diluar ruangan (outdoor) menggunakan alat-alat yang ada disekitarnya.
Physics by Inquiry (McDermott, 1996) yang menggunakan proses inquiry sebagai langkah dalam memahami
fisika. Penelitian yang juga dilakukan oleh Mahjadi (2000) merekomendasikan bahwa guru sebaiknya dalam proses kegiatan belajar mengajar sering menekankan kepada siswa bahwa dalam mempelajari fisika bukan hanya menghapal rumus-rumus saja, tetapi juga harus memahami kondisi dan permasalahannya. Proses penemuan tentu tidak hanya didapat dari membaca buku, tetapi melakukan sendiri suatu percobaan dan proses investigasi. Siswa di sekolah yang melakukan praktikum di laboratorium kebanyakan hanya mengikuti resep seperti instruksi yang terdapat dalam percobaan verifikasi, sehingga mereka jarang mendesain eksperimen mereka sendiri, memformulasikan pertanyaan mereka sendiri atau memahami hasil yang tidak terprediksi (Etkina et. al. 2006). Pembelajaran yang bersifat menemukan, tidak menurunkan rumus secara matematis tetapi menemukan sendiri konsep fisika berdasarkan pengamatan dan percobaan yang siswa lakukan adalah tujuan yang ingin dicapai dari sintaks model pembelajaran yag dirancang dalam penelitian ini, khususnya pada konsep-konsep yang bersifat observable dan measurable. Luaran dari penelitian ini adalah draft sintaks model pembelajaran materi suhu dan kalor yang telah diuji beserta perangkat pembelajarannya.
[PER CENT AGE] [PER CENT AGE] Pelajaran Fisika [PER CENT AGE] [PER CENT AGE] Kategori Fisika 0,00 % 100% Jenis Eksperimen menarik tidakmenarik mudah sulit Eksperimen verifikasi Eksperimen non-verifikasi
42
Metode penelitian yang digunakan adalah “The One-Group Pretest-Posttest Design” yang termasuk dalam kelompok weak eksperimental design/pre-eksperimental design (Frankel dan Wallen, 1993: 246; Sugiyono, 2007:74). Desain ini menggunakan satu kelompok untuk diteliti. Pengamatan/ pengambilan data dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan (treatment).Diagram desain penelitian ini ditunjukkan sebagai berikut.
(Pretest) (Treatment) X (Posttest)
Gambar 2. Diagram the One-Group Pretest-Posttest Design
Populasi yang digunakan adalah 34 orang siswa kelas X pada salah satu SMA. Dalam penelitian ini, semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Teknik sampling yang digunakan termasuk dalam nonprobability
sampling dengan kategori sampling jenuh (Sugiyono, 2007: 85). Sehingga sampel yang digunakan adalah
43
MulaiPe laksanaan Pre-Test
Sele sai
Studi Pen dahulu an
(Seko lah, Guru, Siswa)
Pe nentuan Topik Pe mbelajaran
Pembuatan peran gkat pembelajaran: RPP LK S Alat Peraga Media P embelajaran Pe mbuatan Instrumen Pe nelitian Studi Pustaka Teori Pembelajaran Analisis SK dan KD materi
Judgement dan uji validitas d an reabilitas
instrumen
Keputusan Pe rbaikan
Judgement dan uji validitas d an reabilitas
instrumen tolak Keputusan tolak Pe rbaikan dite rima Pe laksanaan Pe mbelajaran Pe laksanaan Post-Test dite rima
Analisis dan Evalua si Observasi Aktivitas S iswa
dan Guru
Gambar 3. Bagan alur penelitian
Berdasarkan hasil studi pustakan dan analisis SK dan KD pada pokok bahasan suhu dan kalor, maka Sintaks pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 tahapan yaitu:
1. Mengamati fenomena/observasi untuk menumbuhkan rasa ingin tahu
2. Menentukan besaran yang akan diukur (variabel bebas dan variabel terikat) dan membuat tabel pengamatan.
3. Menentukan teknik pengolahan data
4. Menginterpretasi hasil pengolahan data/ hasil pengamatan. 5. Menarik kesimpulan
44
serta proses pembelajaran yang terjadi. Kemudian dilakukan penentuan topik pokok bahasan yang akan dibuat sintaks pembelajarannya. Proses selanjutnya adalah pembuatan instrument penilaian dan perangkat pendukung pembelajaran seperti LKS dan kegiatan eksperimen lainnya. Persiapan instrumen dan perangkat pembelajaran secara rinci dilakukan dengan tahap sebagai berikut:
1) Menganalisis SK dan KD pokok bahasan.
2) Menentukan indikator ketercapaian pembelajaran. 3) Membuat kisi-kisi soal tes pemahaman konsep.
4) Menyusun soal tes pemahaman konsep. Soal tes yang disusun dikembangkan berdasarkan indikator yang telah dibuat.
5) Menjugment soal yang telah diberikan kepada dua orang dosen dan satu orang guru. Proses ini penting untuk menjamin validitas logis merujuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan hasil penalaran.
6) Merevisi soal yang telah dijugment.
7) Uji coba soal tes pemahaman konsep. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui validitas empiris instrumen. yaitu validitas yang didasarkan pada pengalaman (Arikunto, 2009:66).
8) Menganalisis hasil uji coba soal tes dan melakukan revisi instrumen.
9) Membuat perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), alat peraga, dan media pembelajaran.
Setelah instrumen dinyatakan menuhi uji validitas dan realiabilitas, maka dilanjutkan dengan proses impelementasi untuk menguji sintaks pembelajaran yang telah dibuat terhadap pengaruhnya dengan penguasaan konsep siswa. Terlebih dahulu dilakukan pre-test untuk mengetahui kemampuan konsep awal siswa terkait topik yang akan dibahas. Kemudian dilakukan proses pembelajaran menggunakan sintaks pembelajaran khusus suhu dan kalor yang telah dibuat. Pembelajaran dilakukan sebanyak dua kali pertemuan. Untuk mengetahui apakah lima fase dalam sintaks yang telah dibuat terlaksana, maka dibuat instrumen penilaian keterlaksanaan untuk setiap fase pembelajaran yang dinilai oleh observer pembelajaran. Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan evaluasi dan analisis data.Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa setelah diterapkan sintaks model pembelajaran dilakukan dengan cara menganalisis terhadap gain ternormalisasi dari hasil skor pretest dan posttest. Nilai gain ternormalisasi dihitung dengan menggunakan rumus:
〈 〉 ( ) ( ) (Hake, 1998) Keterangan:
45
Menurut Hake (1998), hasil perhitungan gain ternormalisasi dibagi ke dalam tiga kategori pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Kriteria Peningkatan Penguasaan Konsep Berdasarkan Nilai Gain
Nilai Kategori
0,00 < (<g>) < 0,03 Rendah 0,30 ≤ (<g>) < 0,70 Sedang 0,70 ≤ (<g>) Tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketercapaian fase proses pembelajaran sesuai RPP yang telah dirancang merupakan faktor penting yang mendukung pembelajaran. Grafik berikut menunjukkan ketercapaian dua pertemuan pembelajaran untuk setiap fase. Fase 2 yaitu 2. Menentukan besaran yang akan diukur (variabel bebas dan variabel terikat) dan membuat tabel pengamatan memiliki ketercapaian paling tinggi dibandingkan fase lainnya, sedangkan fase 5 yaitu menarik kesimpulan merupakan fase yang memiliki ketercapaian paling rendah.
Gambar 4. Bagan alur penelitian
Garis putus-putus pada Gambar 2 diatas menunjukkan rata-rata ketercapaian fase dari dua proses pembelajaran dikelas yang telah dilakukan. Fase 1 – Fase 4 menunjukkan ketercapaian mencapai angka > 60%, kecuali untuk fase 5 memiliki rata-rata ketercapai sebesar 35%. Fase 5 yaitu menyimpulkan masalah merupakan fase terakhir yang dilakukan pada ujung pembejalaran, ketercapaian ini rendah karena dibatasi waktu saat implementasi di lapangan. Keterlaksanaan RPP untuk setiap pertemuan diobservasi untuk melihat bagaaimana keterlaksanaannya. Gambar 32 dibawah ini menunjukkan keterlaksanaan aktivitas siswa dan guru.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1 2 3 4 5 Pe rs en tas e (% ) Fase Pembelajaran
Ketercapaian Fase Pembelajaran
Pertemuan 1 Pertemuan 2 Rata-Rata
46
Gambar 5. Grafik Keterlaksanaan Proses Pembelajaran
Grafik tersebut menunjukkan bahwa pada pertemuan satu, aktivitas siswa dan guru sudah dalam kategori sangat baik yaitu > 70%, kemudian pada pertemuan dua keterlaksanaan siswa dan guru mencapai angka 90%. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses pembelajaran, akitivas siswa dan guru yang terjadi telah sesuai dengan RPP yang dibuat.
Peningkatan aspek kognitif yaitu gain ternormalisasi <g> untuk C1 – C5 berdasarkan taksonomi Bloom setelah dilakukan proses pembelajaran ditampilkan pada gambar berikut ini.
Gambar 6. Peningkatan aspek kognitif penguasaan konsep
Berdasarkan grafik tersebut, kemampuan mengingat (C1) mengalami peningkatan yang cukup signifikan (kategori sedang) dibandingkan dengan kemampuan lainnya. Sedangkan kemampuan menilai (C4) mengalami peningkatan paling rendah dengan nilai gain ternormalisasi sebesar 0.05. Nilai gain ternormalisasi merupakan nilai relatif yang membandingkan nilai pretest dan nilai posttest. Jika dikaitkan dengan dua kondisi ini, maka dapat digambarkan rata-rata kemampuan pengausaan konsep siswa yang dikaitkan dengan ketecapaian pelaksanaan pembelajaran yang ditampilkan pada gambar .
78,1 0 20 40 60 80 1 2 Pers en ta se (% ) Pertemuan ke- Aktivitas Siswa Aktivitas Guru 0,35 (sedang) 0,09 (rendah) 0,24 (rendah) 0,05 (rendah) 0,25 (rendah) 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 C1 C2 C3 C4 C5 Nilai gain Aspek Kognitif
47
Gambar 7. Perbandingan Nilai Pretest, Posttest dan Keterlaksanaan Pembelajaran KESIMPULAN
1.
Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis data dapat disimpulkan bahwa:
- Sintaks model pembelajaran memiliki rata–rata ketercapaian fase dalam kategori kurang. Sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap sintaks ini.
- Profil Pengusaan Konsep mengalami peningkatan dalam kategori rendah. Aspek kognitif yang mengalami peningkatan paling besar dibandingkan dengan aspek kognitif lainnya adalah aspek C1 (menggingat).
SARAN
Beberapa saran untuk
- Penyusunan pelatihan aspek kognitif sebaiknya dibuat merata agar pelatihannya dapat maksimal dilakukan.
- Tiga fase terakhir dalam sintaks masih tergolong sedang, sehingga perbaikan-perbaikan proses pembelajaran untuk tahap tersebut perlu dilakukan.
- Faktor tidak terduga seperti keterlambatan siswa memasuki ruang laboratorium kerena pergantian jam pelajaran yang tidak sesuai jadwal perlu diperhitungkan oleh peneliti agar tidak mengganggu sekenario yang telah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 C5 C4 C3 C2 C1 Persentase (%) As p ek Kogn itif rata-rata posttest keterlaksanaan pembelajaran rata-rata pretest
48
---. (2006). “Scientific Ability and Their Assessment”. Journal of Physics Education Research. 2, 020103.
---. (2010). “Design and Reflection Help Students Develop Scientific Abilities: Learning in Introductory Physics Laboratories”. The Journal of The Learning Sciences, 19: 54-98.
Frankel, J.R. dan Wallen, N.E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education (2nd ed). Singapore: McGRAW-HILL INC.
Hake, R.R. (2002). Relationship of Individual Student Normalized Learning Gains in Mechanics with Gender, High-School Physics, and Pretest Scores on Mathematics and Spatial Visualization. * †. Physics Education Research Conference; Boise, Idaho; August 2002.
McDermott, L.C. (1996). Physics by Inquiry. Volumes I & II. New York: John Wiley & Sons. Panggabean, Luhut. P. 1996. Penelitian Pendidikan. Diktat Kuliah. UPI: tidak diterbitkan.
Popov, O. (2005). Crossing the threshold out of physics classroom: developing an outdoors approach in science teacher education in Sweden and Russia - Department of Mathematics, Technology and Science Education, Umea University, Sweden. [23 Oktober 2011].
_________ (2008). Developing Outdoor Physics Project Using Activity Theory Framework - Department Of Mathematics, Technology and Science Education, Umea University, Sweden. [23 Oktober 2011]. Tersedia di: www.nshu.se/download/3935/020g04popovslutrapportfinalversion.pdf