• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1. Latar Belakang

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan sebagai kondisi dimana muncul gejala-gejala khas iskemik miokard dan kenaikan segmen ST pada elektrokardiogram (EKG) yang menetap dan diikuti dengan meningkatnya biomarka nekrosis miokard (Steg et al., 2012).

Insidensi hospitalisasi akibat IMA-EST sendiri bervariasi di berbagai negara. Di Swedia terjadi 66 kasus STEMI/100.000 orang/tahun. Tingkat insidensi serupa juga dilaporkan di Belgia dan Amerika Serikat. Insidensi ini dilaporkan berkurang dari tahun 1997-2005 (Steg et al., 2012).

Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh penyakit jantung berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah. Di Indonesia sendiri, berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 pada kelompok umur ≥15 tahun sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Data prevalensi penyakit jantung koroner pada kelompok umur ≥15 tahun berdasarkan diagnosis dokter/gejala di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013 sebesar 1,3% atau diperkirakan sekitar 36.104 orang. Estimasi penderita penyakit gagal jantung umur ≥15 tahun

(2)

berdasarkan diagnosis dokter/gejala di Indonesia adalah 0,3% atau sekitar 530.068 orang. Di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013, jumlah penderita penyakit gagal jantung umur ≥15 tahun berdasarkan diagnosis dokter/gejala di Indonesia adalah 0,4% atau sekitar 11.109 orang (Data Riset Kesehatan Dasar, 2013).

IMA-EST sendiri bertanggung jawab terhadap 25%-40% dari keseluruhan kejadian infark miokard (O’Gara et al., 2013). Di Amerika Serikat, terdapat perbedaan dari mortalitas 30 hari akibat infark miokard akut dan tingkat readmisi pada kelompok usia ≥65 tahun. Sejak tahun 2005-2008, pada kelompok usia ini tercatat nilai tengah dari tingkat mortalitas 30 hari dari infark miokard akut adalah 16,6% sedangkan tingkat readmisinya 19,9% untuk infark miokard akut dan 24,4% untuk gagal jantung (Krumholz et al., 2009).

Secara umum, sejak diperkenalkannya terapi reperfusi, intervensi koroner perkutan (IKP) primer, terapi antitrombotik dan pengobatan prevensi sekunder sampai saat ini dapat menurunkan kejadian kardiovaskular mayor (KKM) di rumah sakit hingga 50%. Angka kematian di rumah sakit juga mengalami penurunan dari 12,5% menjadi 7,2% (Jernberg et al., 2011). Angka kematian dalam 1 tahun berkisar antara 7%-18% (O’Gara et al., 2013). Namun demikian, angka kematian dan KKM masih menetap 12% yang bertahan hingga pengamatan selama 6 bulan pasca infark pada pasien-pasien dengan risiko tinggi (Steg et al., 2012).

Minicucci et al. (2011) menyatakan kejadian gagal jantung setelah infark miokard adalah sekitar 20%. Hasil ini serupa dengan yang didapat pada studi

(3)

klinis lainnya. Kira-kira 40% dari infark miokard diikuti dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Fakta diatas mengindikasikan bahwa kejadian gagal jantung pasca infark miokard merupakan kejadian yang sering.

Biomarka merupakan produk selular yang dikeluarkan selama proses infark miokard terjadi. Biomarka yang mencerminkan inflamasi (protein reaktif C), fungsi ginjal (cystatin C), cedera miosit (troponin), peptida vasoaktif dan neurohormonal (NT-proBNP, MR-proADM) dapat meningkatkan prediksi risiko penyakit serebovaskular dalam 10 tahun dibanding bila hanya memperhitungkan faktor risiko tradisional (merokok, kadar kolesterol, tekanan darah, diabetes) saja (Hughes et al., 2014). Biomarka nekrosis miokard yaitu creatine kinase MB (CK-MB) dan troponin telah dimasukkan dalam suatu skor risiko prediksi yaitu skor GRACE yang menilai risiko terjadinya kematian dan KKM non fatal selama perawatan pada infark miokard akut, namun tidak spesifik untuk IMA-EST.

Soluble ST2 (sST2) sebagai salah satu biomarka baru yang telah diteliti mungkin lebih spesifik pada penyakit jantung karena dilepaskan dari kardiomiosit. Biomarka ini dilepaskan oleh miokard yang mengalami regangan. Seperti halnya N terminal pro brain natriuretic peptide (NT-proBNP), sST2 telah diteliti perannya pada beberapa penyakit jantung seperti gagal jantung kongestif dan sindroma koroner akut. Peningkatan kadar sST2 pada pasien dengan IMA berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas dan gagal jantung. Berbeda dengan NT-proBNP, kadar sST2 tidak dipengaruhi umur, keadaan gagal jantung sebelumnya, fibrilasi atrial, indeks massa tubuh, atau fungsi ginjal yang didapat

(4)

dari hasil penelitian yang melibatkan populasi umum dan risiko tinggi (Hughes et al., 2014).

Biomarka sST2 merupakan suatu protein mirip reseptor interleukin (IL) 1 yang kadarnya meningkat di serum saat jantung mengalami stres mekanik. Pada pasien IMA-EST dimana injuri transmural miokard terjadi, miokard ventrikel kiri yang relatif sehat mengalami regangan. Peregangan miokardium ini ditandai dengan rilis biomarka seperti NT-pro BNP dan sST2 oleh miokardium. ST2 dapat memperkirakan terjadinya kematian kardiovaskular setelah mengalami sindrom koroner akut (Chan & Ng, 2010). Pada fase awal IMA-EST seringkali gejala dan tanda klinis gagal jantung belum muncul, meskipun proses regangan ventrikel kiri telah terjadi. Pada fase lanjut, proses regangan ventrikel kiri akan tetap berjalan dan terjadinya remodelling ventrikel yang berkelanjutan akan memunculkan tanda-tanda klinis gagal jantung. Pemeriksaan biomarka sST2 diharapkan dapat memberikan informasi proses regangan yang sedang berlangsung dan menilai kemungkinan terjadinya KKM berupa kematian dan gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri.

Beberapa penelitian besar telah menyimpulkan peranan kadar sST2 fase awal yang tinggi terhadap dampak buruk pada pasien IMA-EST dalam 30 hari (Shimpo et al., 2004; Sabatine et al., 2008) dan dalam 1 tahun dan 3,5 tahun (Demyanets et al., 2008; Dhillon et al., 2013), namun belum banyak penelitian yang meneliti pengaruh sST2 terhadap kejadian KKM jangka menengah pada pasien IMA-EST. Weir et al. (2010) melakukan pengukuran serial kadar sST2 pada baseline (1-2 minggu), 12 minggu, dan 24 minggu pasca IMA-EST,

(5)

didapatkan penurunan kadar sST2 baseline dan pada minggu ke-12. Sedangkan kadarnya pada minggu ke-12 dan ke-24 tidak terdapat perbedaan kadar yang bermakna. Perubahan kadar sST2 ini berkorelasi signifikan dengan fraksi ejeksi dan indeks volume diastolik akhir ventrikel kiri serta indeks volume infark pada saat baseline dan minggu ke 24. Walaupun demikian, penelitian ini tidak menghubungkan faktor prognostik kadar sST2 dengan kejadian KKM. Sedangkan Dieplinger et al. (2015) mengatakan bahwa pada pasien infark miokard, sST2 kadarnya meningkat pada hari pertama dan kembali ke kadar normal setelah 3 hari. Proses remodelling ventrikel kiri pasca IMA-EST dapat terus berlangsung bahkan ketika scar matur di area infark sudah selesai terbentuk pada 7 minggu sampai beberapa bulan pasca serangan (French dan Kramer, 2007). Penelitian oleh Richards et al. (2015) menyimpulkan bahwa kadar sST2 awal pasca infark dikatakan memiliki properti prognostik yang paling baik dalam memprediksi kematian kardiovaskular dan gagal jantung. Penelitian-penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk memperkuat bukti peranan sST2 dalam mempengaruhi perjalanan klinis dan terjadinya gagal jantung pada IMA-EST khususnya pada jangka menengah.

I.2. Perumusan Masalah

Standar penatalaksanaan IMA-EST dengan terapi reperfusi baik fibrinolisis maupun IKP primer telah dilakukan secara rutin di rumah sakit yang memiliki fasilitas intervensi koroner. Peranan biomarka pada kasus IMA-EST untuk penegakan diagnosis sudah banyak dibuktikan, namun biomarka dapat berfungsi untuk memprediksi KKM dan pemburukan klinis pasca serangan

(6)

IMA-EST. Pada fase akut, pasien IMA-EST berpotensi mengalami KKM yang berhubungan dengan disfungi ventrikel kiri, meskipun terapi reperfusi telah dilakukan. Pada fase awal, tanda-tanda klinis adanya disfungsi ventrikel kiri seperti gagal jantung akut dan syok kardiogenik sering belum didapatkan, meskipun proses regangan ventrikel kiri telah terjadi. Pada fase lanjut, proses regangan ventrikel kiri akan tetap berjalan dan terjadi remodelling ventrikel sehingga kemudian muncul tanda-tanda klinis gagal jantung. Pemeriksaan biomarka regangan ventrikel kiri memiliki peranan untuk mendeteksi potensi timbulnya gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri.

Biomarka regangan miokard ventrikel kiri yang telah diterima sebagai prediktor KKM adalah NT-pro BNP. Sampai saat ini NT-pro BNP belum dimasukkan dalam stratifikasi risiko pada pasien dengan IMA-EST. Adanya biomarka baru yaitu sST2 yang dirilis dalam sirkulasi pada regangan miokardium telah terbukti berhubungan dengan tingginya NT-pro BNP dan rendahnya fraksi ejeksi ventrikel kiri pada fase akut IMA-EST.

Pada 30 hari pasca IMA-EST, terjadinya tanda dan gejala gagal jantung kronis seringkali belum timbul karena proses remodelling ventrikel kiri yang berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri dapat terus berlangsung bahkan ketika scar matur di area infark sudah selesai terbentuk pada 7 minggu sampai beberapa bulan pasca serangan. Dhillon et al. (2013) pada penelitiannya yang menghubungkan kadar sST2 fase awal pada pasien IMA-EST dengan mortalitas didapat data bahwa pada pasien dengan kadar sST2 kuartil ke-4 atau lebih, tingkat mortalitas kumulatif pada tahun pertama mencapai 20%. Kadar sST2 awal pasca

(7)

infark dikatakan memiliki properti prognostik yang paling baik dalam memprediksi kematian kardiovaskular dan gagal jantung. Weir et al. (2010) telah membuktikan bahwa terdapat korelasi antara perubahan kadar sST2 yang diukur 1-2 minggu dan jangka menengah pasca IMA-EST dengan fraksi ejeksi dan indeks volume diastolik akhir ventrikel kiri serta indeks volume infark. Namun penelitian tersebut tidak mengukur kadar sST2 tepat pada awal admisi dan menghubungkannya dengan kejadian KKM jangka menengah. Pemilihan waktu 90 hari atas dasar pertimbangan bahwa pembentukan scar sudah matur sehingga tanda dan gejala gagal jantung kronis mulai tampak. Pertanyaan apakah kadar sST2 memiliki faktor prognostik kuat terhadap kejadian KKM jangka menengah membuat peneliti memutuskan melakukan penelitian yang menghubungkan kadar sST2 tepat pada awal admisi dengan kejadian KKM jangka menengah dalam 90 hari pada pasien IMA-EST dengan reperfusi. Diharapkan dengan penelitian ini dapat membantu menentukan prognosis pasien pasca IMA-EST dalam jangka menengah serta penatalaksanaannya.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Apakah tingginya kadar sST2 dalam sirkulasi darah meningkatkan risiko munculnya KKM dalam 90 hari pada pasien IMA-EST dengan reperfusi?

I.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peranan tingginya kadar sST2 yang diukur pada saat admisi terhadap terjadinya KKM dalam 90 hari pada pasien IMA-EST dengan reperfusi.

(8)

I.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan tambahan bukti ilmiah peran kadar sST2 terhadap munculnya KKM dalam 90 hari pada pasien IMA-EST, (2) membantu mengidentifikasi dan menambahkan variabel biomarka yang bernilai untuk stratifikasi risiko pasien dengan IMA-EST dan (3) menambah wawasan pengetahuan mengenai patofisiologi infark miokard akut dan potensi pengaruhnya terhadap kinerja miokard pada kondisi infark miokard akut.

I.6. Keaslian Penelitian

Dari studi literatur yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sST2 yang tinggi meningkatkan angka kematian dan KKM non fatal selama perawatan rumah sakit, pengamatan jangka pendek dan panjang pada pasien dengan IMA-EST. Sampai saat ini belum ditemukan nilai cut-off ST2 pada pasien sindroma koroner akut. Beberapa penelitian tersebut merupakan penelitian besar dengan menggunakan data register clinical trial, yaitu:

1. Shimpo et al. (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Serum Levels of the Interleukin-1 Receptor Family Member ST2 Predict Mortality and Clinical Outcome in Acute Myocardial Infarction. Pada penelitian ini didapatkan angka KKM 3% dengan HR 1,8 pada 180 pasien IMA-EST onset < 12 jam dari subjek penelitian TIMI 14 dan ENTIRE-TIMI 23 dengan pengamatan selama 30 hari. Nilai dasar ST2 lebih tinggi secara signifikan pada pasien IMA-EST yang mengalami kematian (0.379 versus 0.233 ng/mL, P = 0.0001)

(9)

atau yang berkembang menjadi gagal jantung baru (0.287 versus 0.233 ng/mL, P = 0.009).

2. Sabatine et al. (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Complemen-tary Roles for Biomarkers of Biomechanical Strain ST2 and N-Terminal Prohormone B-Type Natriuretic Peptide in Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. Didapatkan angka KKM (gagal jantung, kematian) 7% dengan OR 2,43 pada 1239 pasien IMA-EST dari subjek CLARITY-TIMI 28 dengan lama pengamatan 30 hari. Kadar ST2 diatas nilai median berhubungan dengan peningkatan risiko kematian kardiovaskular atau gagal jantung (P < 0,0001).

3. Dhillon et al. (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Pre-discharge risk stratification in unselected STEMI : Is there a role for ST2 or its natural ligand IL-33 when compared with contemporary risk markers?. Didapatkan angka KKM sebesar 9% dengan HR 2,6 pada 667 pasien IMA-EST dengan lama pengamatan 1 tahun. Peningkatan kadar ST2 dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian pada 30 hari (HR 9,34. P < 0,001) dan 1 tahun (HR 3,15, P = 0,001).

4. Demyanets et al. (2014) pada penelitiannya yang berjudul Soluble ST2 and interleukin-33 levels in coronary artery disease: relation to disease activity and adverse outcome. Didapatkan angka KKM 10% dengan HR 2,2 pada 373 pasien IMA-EST, IMA-nonEST, dan angina stabil dengan rerata lama pengamatan 3,5 tahun. Kadar sST2 meningkat secara signifikan pada pasien dengan IMA-EST dibandingkan pada IMA-nonEST, angina stabil, dan pasien

(10)

tanpa penyakit jantung koroner. sST2 merupakan prediktor signifikan terjadi KKM pada pasien IMA-EST.

Penelitian dengan subjek IMA-EST dan pemeriksaan kadar sST2 juga telah dilakukan oleh peneliti di Indonesia. Penelitian tersebut juga menghubungkan kadar sST2 dengan KKM pada pasien IMA-EST, namun KKM yang dinilai adalah KKM yang terjadi pada saat perawatan intensif di rumah sakit. Hartopo et al. (2016) pada penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kadar Solubel ST2 Serum terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor Selama Perawatan Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST. Didapatkan nilai rerata dan simpang baku kadar sST2 pada subjek yang mengalami KKM adalah 747,7 pg/mL dan 115,4 pg/mL, dengan median 770,9 pg/mL (rentang interkuartil: 697,4 pg/mL - 824,1 pg/mL). Nilai rerata dan median sST2 sedikit lebih tinggi pada subjek yang mengalami KKM dibandingkan subjek yang tidak mengalami KKM, namun hasil tersebut tidak berbeda secara signifikan (p = 0,25). Penelitian cross-sectional oleh Ardhana et al. (2013) dan Nugroho et al. (2014) pada 17 pasien IMA-EST dan 17 pasien IMA-non EST selama perawatan di rumah sakit menyimpulkan bahwa sST2 berkorelasi kuat dan signifikan dengan NT-pro BNP (r=0,593) serta berkorelasi positif dengan kelas Killip III dan IV.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil panen yang dapat diperoleh dari sistem hidroponik yaitu lima sampai sepuluh kali lipat lebih banyak daripada hasil panen yang diperoleh dengan sistem budidaya

Marketing Pada Agen Tour Kaye Bromo menggunakan SDLC, berikut ini adalah skema yang digunakan berikut ini adalah gambar skema metodologi penelitian yang diterapkan... Analis:

Seseorang siswa yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh penuh, gairah atau semangat. Sebaliknya, belajar

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sikap kemandirian siswa pada siklus I sebanyak 84,1% dengan kriteria mandiri dan pada siklus II sebanyak 98,75%, sehingga mengalami

Sehingga dibutuhkan sebuah sistem yang dapat membantu pegawai dari mulai pendaftaran,poli gigi, poli umum, pemberian obat sampai pelaporan, Metode yang digunakan

Melalui hasil data pada Tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa modul GSM SIM800L yang dipasang pada pos petugas keamanan dapat mengirimkan info melalui SMS kepada nomor handphone

Apabila tidak terdapat peralatan atau instrument, dapat digunakan cara : pasien dapat mengeluarkan benda asing hidung tersebut dengan cara menghembuskan napas kuat-kuat melalui